Anda di halaman 1dari 59

REPUBLIK INDONESIA

UPAYA PENCEGAHAN DAN


PENANGGULANGAN KORUPSI
PADA
PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN


TIM PENGKAJIAN SPKN
2002
SAMBUTAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi
tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan
negara sejak tahun 1997.
Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri
kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang
harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita
sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada
pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh
komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government)
menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi.

Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat
Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan
Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD,
BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat.

Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan
mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat
mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien.

Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki


munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka
dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta
kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya
tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan
ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat dapat sukses.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama.

Jakarta, 31 Juli 2002


MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

FEISAL TAMIN
REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
(BPKP)

KATA PENGANTAR KEPALA BPKP

Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin
berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif -
secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua
unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat
luas.

Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun 2000-2004, serta sebagai hasil
koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan
percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku Upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat.

Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala
keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih
terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara
penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu
masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat
diharapkan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di
Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi
dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para
pimpinan instansi/BUMN/BUMD yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan
korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada
penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih
efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini
merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan
oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas
permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihak-
pihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai
dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara
berkesinambungan.

Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan
membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk
APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam
melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan
dan penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Jakarta, 31 Juli 2002

KEPALA

ARIE SOELENDRO
DAFTAR ISI

Halaman

SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2


KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3
DAFTAR ISI 5

Bab I UMUM
A. Dasar Pemikiran 6
B. Pengertian Umum 8
C. Tujuan dan Sasaran 9
D. Ruang Lingkup 10
E. Sistim Pengendalian Manajemen 10
F. Metode Penyajian 11

Bab II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN
1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah
1) Bidang Hukum dan Peradilan 13
2) Bidang Keimigrasian 18
3) Bidang Keuangan 21
4) Bidang Ketenagakerjaan 23
5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana 25
6) Bidang Pendidikan 28
7) Bidang Pertanian/Pangan 34
8) Bidang Pertanahan 34
9) Bidang Pekerjaan Umum 37
10) Bidang Perhubungan 39
11) Bidang Kependudukan 45
12) Bidang Permukiman 46
2. Pelayanan oleh BUMN/BUMD
1) Bidang Kelistrikan 48
2) Bidang Transportasi 49

Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF


A. Penyelesaian oleh Unit Kerja Terkait 51
B. Penyelesaian melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik 51

Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan


Tim Penyusun
BAB I
UMUM

A. Dasar Pemikiran
Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalah- gunaan
wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas
dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi,
oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal
yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya
sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap
berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan
terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya.

Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah
diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4
(empat) aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang


melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi
godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan
hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras,
serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ;
2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi
yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem
pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang
terjadi dalam organisasi ;
3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana
individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif
untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari
terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam
praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil
bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-
pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-
undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau
kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang
memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan,
penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi
dan revisi peraturan perundang-undangan.

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya


komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara
kongkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut
telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan
di antaranya sebagai berikut:
1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.
4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31
tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat
Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Di samping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan
Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena
pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif
untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan
sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif,
yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.

BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif,
detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :

1. Strategi Preventif
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya
korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat ;
2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya ;
3) Membangun kode etik di sektor publik ;
4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis;
5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;
6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan
kesejahteraan Pegawai Negeri ;
7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja
bagi instansi pemerintah;
8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) ;
10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;
11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;
2. Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi.
Strategi detektif dapat dilakukan dengan :
1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat ;
2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu ;
3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di
masyarakat internasional ;
5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;
6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
3. Strategi Represif
Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat
dilakukan dengan :
1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;
2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch
some big fishes);
3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk
diberantas ;
4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;
5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem
peradilan pidana secara terus menerus ;
6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi
secara terpadu ;
7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya ;
8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak
pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan
memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif,
eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu
dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan
untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control),
maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat
(wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).
Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan
fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan
menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN
Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan
dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional
Pemerintah (APFP)/Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dalam upaya mencegah
dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing.

B. Pengertian Umum
Dalam buku ini yang dimaksud dengan:
1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk
meminimalkan penyebab dan peluang korupsi ;
2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-
kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera
ditindaklanjuti ;
3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang
telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga
kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Kejaksaan Agung, POLRI, Bank Indonesia, Sekretariat Lembaga Tertinggi dan
Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, dan Instansi
Pemerintah lainnya ;
5. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha
yang modalnya seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah ;
6. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :
1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ;
2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan
yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

C. Tujuan dan Sasaran


Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah,
mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang
pengelolaan pelayanan masyarakat.
Sasarannya adalah :
1. Terciptanya pelayanan kepada masyarakat oleh Instansi Pemerintah dan
BUMN/BUMD secara cepat, tepat, murah dan memuaskan ;
2. Menurunnya penyimpangan pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dan
BUMN/BUMD, sehingga meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap
instansi pemerintah dan BUMN/BUMD;
3. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara/masyarakat sebagai akibat
penyimpangan di bidang pelayanan masyarakat ;
4. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus pelayanan masyarakat yang
berindikasi korupsi ;
5. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menginformasikan kasus
penyimpangan pelayanan masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan
BUMN/BUMD ;
6. Menurunnya jumlah aparatur pemerintah dan BUMN/BUMD yang terlibat/melakukan
perbuatan korupsi di bidang pelayanan masyarakat ;
7. Meningkatnya efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pelayanan kepada
masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ;

D. Ruang Lingkup
Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi
pemerintah dan BUMN/BUMD yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Buku ini tidak memuat semua jenis kasus penyimpangan pada semua jenis pelayanan
masyarakat secara rinci dan spesifik, mengingat begitu luasnya pelayanan yang diberikan
instansi pemerintah/BUMN/BUMD kepada masyarakat. Namun demikian karena hampir
semua jenis pelayanan memiliki ciri yang relatif sama, maka cara pencegahan dan
penanggulangan kasus penyimpangan yang terjadi pada jenis pelayanan yang satu,
dapat pula digunakan untuk jenis pelayanan masyarakat yang lain.

E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Pelayanan Masyarakat


Keberhasilan pelayanan masyarakat ditentukan oleh kompetensi aparatur yang
memberikan pelayanan, moral dan kemauannya dalam memberikan pelayanan, serta
didukung sistem pengendalian manajemen pelayanan yang prima, perangkat teknologi
yang tepat dan prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan produk
pelayanan yang profesional dan bersih dari korupsi.
Penanggulangan korupsi oleh karenanya harus dimulai dari internal organisasi, melalui
upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem pengendalian manajemen
pelayanan masyarakat yang memadai, meliputi :
1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan,
indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik;
2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan;
3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward &
punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja ;
4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan ;
5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ;
6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan
sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ;
7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas pelayanan
selalu prima.

Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen di bidang pelayanan masyarakat,


perlu diperhatikan :

1. Sendi-sendi Pelayanan Prima sebagaimana diatur dalam Keputusan


Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18/1993
sebagai berikut :
a. Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan ;
b. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai :
(1) Prosedur/tata cara pelayanan umum ;
(2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif ;
(3) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan umum ;
(4) Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya;
(5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum ;
(6) Hak dan kewajiban dari pemberi maupun penerima pelayanan umum
berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai
alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan hingga ke
penyelesaiannya ;
(7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang
tidak jelas atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan.
c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian
hukum.
d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja
penanggungjawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian
biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
e. Efisien, dalam arti :
(1) Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan
langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
umum yang diberikan;
(2) Mencegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang
sama, dalam hal proses pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan :
(1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya yang tinggi
di luar kewajaran ;
(2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;
(3) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan
secara adil.
h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan
dalam waktu yang telah ditentukan.

2. Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat Sesuai


dengan Aspirasi Reformasi, sebagaimana disampaikan Menko Wasbangpan
melalui surat edaran No. 56/MK.WASPAN/6 /1998 tanggal 1 Juni 1998,
sebagai berikut:
a. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan mutu
pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor pelayanan termasuk
BUMN/BUMD ;
b. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut diupayakan
dengan:
(1) Memberikan pelayanan secara tertib, cepat dan langsung kepada masyarakat
bagi pelayanan yang memerlukan penyelesaian sesaat;
(2) Khusus pelayanan yang memerlukan waktu, agar dilandasi kebijaksanaan
yang transparan dan diketahui masyarakat luas, yaitu:
(a) Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat
persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu
penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk buku panduan/
pengumuman atau melalui media informasi lainnya ;
(b) Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan
pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian
mengenai diterimanya atau ditolaknya berkas permohonan tersebut
pada saat itu juga ;
(c) Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu
yang telah ditetapkan dan apabila batas waktu penyelesaian yang
ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti (dianggap)
disetujui ;
(d) Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak
lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar, di luar biaya jasa
pelayanan yang telah ditetapkan ;
(e) Sedapat mungkin menerapkan pola pelayanan secara terpadu (satu
atap satu pintu) bagi unit-unit kerja/kantor pelayanan yang terkait
dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan ;
(f) Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan
pelanggan/masyarakat atas pelayanan yang diberikan, antara lain
dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelanggan/masyarakat dan
hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti ;
(g) Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan
sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat;
3) Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik langsung
maupun melalui media massa untuk menyampaikan saran dan atau
pengaduan mengenai pelayanan masyarakat.

3. Perlunya keteladanan pimpinan serta pengembangan dan penerapan nilai-


nilai budaya kerja, sehingga aparat mau dan mampu memberikan
pelayanan dengan cepat, tepat, murah dan berkualitas kepada masyarakat.

F. Metode Penyajian
Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan,
kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi
upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif,
disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab III.
BAB II
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI
PADA
PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

Penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat pada umumnya berupa pungutan


liar (pungli), dan suap serta mahalnya biaya pelayanan akibat adanya korupsi, sehingga
kualitas pelayanan menjadi tidak memuaskan. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan
pada bab ini hanya mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang
dilaporkan oleh APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum
mencakup seluruh kasus penyimpangan yang terjadi pada pelayanan masyarakat.
Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan
pelayanan masyarakat meliputi penyusunan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian
dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya
penyimpangan. Upaya-upaya preventif yang disajikan dalam buku ini tidak bersifat mutlak,
tetapi hanya merupakan pengendalian minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum.
Oleh karena itu, pimpinan instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain
yang dianggap perlu, sesuai dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi,
dan kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/
organisasi. Sistem pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan
keandalannya berdasarkan umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif.

Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi


terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat. Upaya detektif ini
dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk
mendukung simpulan hasil pemeriksaan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut (upaya
represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of
innosence).

Upaya detektif dalam petunjuk teknis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap
penting untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu dikembangkan lebih
lanjut sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam program
pemeriksaan (audit program).

Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam
pengelolaan pelayanan masyarakat dapat disajikan sebagai berikut:

A. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah


1. Bidang Hukum & Peradilan
1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat penegak
hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan hukum yang dilakukan
dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi klien yang sedang dibela.

Upaya-upaya preventif :
a. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan penegakan hukum
perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
b. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para hamba hukum
secara terus menerus ;
c. Kepada para hamba hukum diberikan sarana dan prasarana kerja yang
diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
d. Proses hukum harus dilakukan secara obyektif. Harus diyakini bahwa
dalam proses hukum tidak ada hubungan istimewa antara pihak yang
terindikasi bersalah, jaksa, hakim, pembela dan lain-lain pihak, yang pada
dasarnya masing-masing harus independen ;
e. Pembenahan oleh lembaga persatuan Advokat (misalnya : Ikadin, Serikat
Pengacara Indonesia), Hakim, Jaksa, Polisi dll., menyangkut pengawasan
atas pelaksanaan kode etik profesi, dan penerapan sanksi-sanksi yang
tegas sesuai kode etik profesi yang bersangkutan terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh para anggotanya ;
f. Dilakukan kampanye anti suap, misalnya melalui penempatan peringatan
ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral
keagamaan di tempat-tempat yang strategis, seperti kantor pengacara,
polisi, kejaksaan dan ruang-ruang sidang pengadilan ;
g. Kekayaan para hamba hukum selaku penyelenggara negara dipantau
secara terus-menerus oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan
yang berlaku, dan segera dilakukan penelitian jika ditemukan
ketidakwajaran mutasinya ;
h. Menerapkan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan,
kepada penyuap (yang menyampaikan uang suap dan yang menyuruh
melakukan penyuapan) dan penerima suap ;
i. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai perlindungan kepada para saksi
pelapor kasus suap ;
j. Metode kerja masing-masing instansi penegak hukum secara terus
menerus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh sistem peradilan yang
semakin sehat dan transparan ;
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian atas kasus-kasus hukum yang dimenangkan oleh
pihak yang terindikasi bersalah ;
b. Mendapatkan informasi mengenai nama pengacara yang membela, polisi /
jaksa penyidik / penuntut yang menangani, hakim yang mengadili, ketua
panitera yang mengatur dan mencatat proses persidangan, saksi-saksi
yang dihadirkan dan meneliti reputasinya masing-masing ;
c. Mendapatkan keterangan dari saksi-saksi yang dihadirkan, mengenai
kemungkinan adanya suap dalam proses hukum tersebut;
d. Mempelajari proses hukum yang dilakukan, dan meneliti apakah ada
kejanggalan, misalnya pada alat-alat bukti yang diajukan ;
e. Menilai kewajaran peningkatan kekayaan yang dimiliki para penegak
hukum di atas dan meneliti adanya peningkatan yang signifikan dan tidak
sebanding dengan tingkat penghasilannya yang sah ;
f. Meneliti interaksi pihak yang terindikasi bersalah dan pengacaranya
dengan jaksa/polisi penyidik, jaksa penuntut, hakim dan Panitera dan
saksi-saksi dan mengamati apakah ada hubungan istimewa di antara
mereka yang dapat melemahkan proses hukum.

2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum / keamanan, dimintai sejumlah


dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli), dengan alasan instansinya
tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memberikan pelayanan yang
diminta.
Upaya-upaya preventif :
a. Instansi yang berwenang memberikan perlindungan hukum/ keamanan
harus secara transparan menyampaikan jenis-jenis pelayanan yang dapat
diberikan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
disertai dengan prosedur dan syarat-syaratnya secara menyeluruh yang
ditempelkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan atau
disosialisasikan lewat berbagai media massa yang ada ;
b. Diberlakukan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan,
kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah (pungli) serta
memberikan pelayanan secara diskriminatif ;
c. Dibuat kampanye anti pungli, misalnya melalui penempatan peringatan
ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral
keagamaan di tempat-tempat yang strategis di lingkungan kantor pemberi
pelayanan ;
d. Kepada aparat pemberi pelayanan diberikan sarana dan prasarana kerja
yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang
wajar ;
e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan
perlindungan hukum/keamanan perlu mensyaratkan ketaqwaan-nya
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam
menjalankan agamanya ;
f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat pemberi
pelayanan hukum/keamanan secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :
a. Dapatkan informasi mengenai tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani
dan lakukan evaluasi mengenai kualitas pelayanan perlindungan
hukum/keamanan yang telah diberikan kepada masyarakat yang
bersangkutan ;
b. Teliti penyebab dari ketidakpuasan masyarakat yang dilayani ;
c. Jika penyebab ketidakpuasan adalah adanya diskriminasi dan pungli,
identifikasikan siapa oknum pelakunya dan lakukan penelitian apakah
yang bersangkutan telah melaksanakan pelayanan sesuai ketentuan yang
berlaku ;
d. Teliti penyebab oknum tersebut melakukan pungli;

3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, dirampok


dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak yang berwajib,
ketika hendak mengambil kendaraan miliknya dari kantor pihak yang berwajib
dikenakan biaya oleh oknum pihak yang berwajib secara tidak sah. Di samping
itu dalam banyak kasus barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan
tidak lengkap.
Upaya-upaya preventif :
a. Sosialisasikan ketentuan yang berlaku mengenai prosedur pelayanan
pencarian barang hilang karena kejahatan (pencurian, perampokan) oleh
aparat yang berwajib disertai seluruh persyaratannya secara jelas ;
b. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai cara-cara pengembalian barang yang
berhasil ditemukan kembali oleh aparat yang berwajib kepada pemiliknya
dan disosialisasikan kepada masyarakat lengkap dengan semua
persyaratannya yang sah ;
c. Secara berkala barang-barang hasil kejahatan yang berhasil disita oleh
aparat yang berwajib, diumumkan kepada masyarakat luas melalui media
massa untuk dicocokkan dengan bukti-bukti kepemilikan yang selanjutnya
proses hukum dan pengembaliannya perlu dilakukan dengan segera,
sehingga terhindar dari kerusakan-kerusakan/kehilangan bagian-bagian
kendaraan akibat terlalu lamanya disimpan di lokasi kantor aparat yang
berwajib ;
d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang
berlaku (untuk kepentingan pribadi);
e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan dana
operasional yang memadai serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan
hidup yang wajar ;
f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan
dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang
berwajib secara terus menerus ;
h. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin
sehat dan transparan ;
Upaya-upaya detektif :
a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat korban pencurian kendaraan yang
melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwajib ;
b. Teliti dari laporan yang masuk, berapa yang diproses dan berapa yang
berhasil ditemukan kembali ;
c. Jika jumlah yang diproses rendah, teliti sebab-sebabnya. Perhatikan
kemungkinan adanya pungutan yang memberatkan pelapor, sehingga bagi
pelapor yang tidak mau membayar, laporannya tidak diproses ;
d. Lakukan pengamatan atas barang-barang bukti (kendaraan yang berhasil
ditemukan/dirampas kembali oleh pihak berwajib) apakah sudah lama
berada di tempat penampungan yang disediakan, dan apakah masih dalam
keadaan lengkap. Teliti sebab-sebabnya;
e. Lakukan juga pengecekan apakah atas barang-barang bukti yang ada telah
dilakukan pemberitahuan kepada para pemiliknya atau diumumkan di media
massa. Teliti pula kemungkinan adanya kesengajaan untuk tidak memberi-
tahukan kepada pemilik yang sah, supaya barang bukti tersebut dapat
digunakan secara pribadi oleh oknum aparat ;
f. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada para pemilik yang telah
mengambil kembali kendaraannya, apakah dikenakan biaya-biaya saat
mengambil kendaraannya tersebut ;
g. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan memang diatur secara resmi dan
disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan Surat
Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang memberatkan oleh
oknum pihak yang berwajib.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat prosedur pelayanan SKKB yang sederhana, efisien, dan efektif
dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang
memerlukan ;
b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian SKKB disertai seluruh
persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas.
Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat
pelayanan ;
c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang
berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan
dengan konsekuen ;
d. Kepada aparat yang memberikan pelayanan diberikan sarana, prasarana
kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan
dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang
bertugas memberi pelayanan secara terus menerus ;
g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin
sehat dan transparan ;
h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;
Upaya-upaya detektif :
a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat pemohon SKKB ;
b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang
memberatkan ;
c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan SKKB memang
diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris dilaksanakan dengan


jadual yang tidak pasti, mengambang dan tidak jelas nama pejabat (Hakim,
Panitera) yang ditugasi untuk menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk
satu urusan harus dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga
membuka peluang penyelesaian secara kolusif.
Upaya-upaya preventif :
a. Diadakan ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan
persyaratan pelayanan pengurusan fatwa waris ;
b. Pejabat yang ditugaskan untuk melayani (sidang) pengurusan fatwa waris
harus ditunjuk secara tegas, sehingga pemohon pelayanan mendapat
kepastian mengenai siapa petugas yang memberikan pelayanan kepadanya
;
c. Persidangan dilakukan secara terbuka dan transparan ;
d. Tarif pelayanan yang sah dan prosedur pembayarannya diinformasikan
kepada masyarakat pemohon pelayanan melalui berbagai media yang ada,
termasuk pada papan-papan pengumuman yang tersedia di tempat-tempat
pelayanan ;
e. Memberi peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk
mempertanyakan hal-hal yang tidak disetujuinya ;
f. Membuka kotak pengaduan, dan memproses semua pengaduan yang
masuk untuk meningkatkan pelayanan dan atau mengusutnya lebih lanjut
sesuai dengan sifat pengaduan yang diterima ;
Upaya-upaya detektif :
a. Menguji apakah pelayanan pengurusan surat fatwa waris telah dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku ;
b. Melakukan pengujian secara uji petik atas permohonan pelayanan yang
prosesnya memakan waktu lama dan mempelajari apakah penyebabnya
dapat dipertanggungjawabkan ;
c. Meneliti apakah pejabat yang menangani pelayanan telah ditunjuk dengan
surat penugasan dari pejabat yang berwenang ;
d. Meneliti apakah pelaksanaan sidang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk ;
e. Menguji apakah pelayanan diberikan menurut urutan permohonan. Jika
tidak, diteliti faktor penyebabnya ;
f. Menguji penerimaan biaya-biaya pelayanan, apakah telah disetor dan
dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan ;
g. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon pelayanan tentang
biaya-biaya pelayanan yang telah dibayarnya ;
h. Meneliti pengaduan-pengaduan masyarakat yang diterima, dan memeriksa
lebih lanjut dengan kenyataannya menurut fakta/bukti-bukti yang ada ;

2. Bidang Keimigrasian
1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasi-an berbelit-belit
dan diskriminatif, sehingga masyarakat cen-derung menggunakan jasa calo
dengan konsekuensi menge-luarkan biaya yang lebih besar dari ketentuan yang
seharusnya. Terindikasi adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang
merugikan masyarakat pemohon.
Upaya-upaya preventif:
a. Pemasangan papan pemberitahuan tentang persyaratan permohon-an, tarif
biaya pelayanan, prosedur pelayanan dan jangka waktu penyelesaian,
disertai dengan contoh-contoh formulir dan cara pengisiannya sesuai
ketentuan yang berlaku ;
b. Dilakukan penyederhanaan cara pelayanan dengan memotong jalur
birokrasi yang berlebihan, sehingga masyarakat tidak harus berhadapan
dengan banyak petugas ;
c. Pemberian tanda-tanda/petunjuk yang jelas pada loket pelayanan, loket
informasi, loket pembayaran, ruang sidik jari, ruang foto, ruang wawancara
dan lain-lain ;
d. Menyediakan petugas yang memberikan informasi secara langsung kepada
pemohon tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan
keimigrasian ;
e. Pelayanan diberikan kepada semua pemohon yang telah memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sesuai urutan
penerimaan permohonan ;
f. Percepatan permohonan hanya dimungkinkan bila ada alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan ;
g. Dibuat ketentuan mengenai sanksi yang tegas terhadap petugas yang
diketahui bekerjasama dengan calo ;
h. Pemasangan kotak pengaduan untuk menampung keluhan dan saran para
pemohon ;
Upaya-upaya detektif:
a. Amati apakah persyaratan dan prosedur permohonan paspor dll di kantor
pelayanan telah diinformasikan secara jelas di tempat-tempat yang mudah
dilihat ;
b. Lakukan pengujian secara uji petik atas berkas-berkas permohonan apakah
telah diproses oleh petugas yang berwenang sesuai urutan permohonan.
Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;
c. Teliti apakah permohonan yang diproses telah dilengkapi dengan dokumen-
dokumen yang dipersyaratkan ;
d. Jika pemrosesan tidak didasarkan pada urutan permohonan tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, teliti kemungkinan adanya kerjasama
yang tidak sehat antara oknum petugas dengan para calo, dengan cara
menemui orang yang proses pelayanannya didahulukan, untuk memastikan
apakah pengurusan dilakukan sendiri atau melalui calo ;
e. Mintakan daftar biro jasa yang mendapat ijin dari Kanwil Kehakiman
setempat kemudian lakukan pengecekan apakah calo tersebut di atas
tercantum dalam daftar dimaksud;
f. Teliti kemungkinan calo tersebut adalah oknum petugas itu sendiri.

2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan doku-men keimigrasian,


seperti paspor dan sebagainya (misalnya pemotretan), dilakukan melalui kerja
sama antara instansi imigrasi dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara
oknum pejabat instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam
menetapkan biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih
mahal.
Upaya-upaya preventif:
a. Pungutan kepada masyarakat atas biaya pelayanan harus mengacu kepada
ketentuan yang berlaku ;
b. Meninjau kembali kontrak-kontrak kerja sama yang bernuansa korupsi dan
mengakibatkan mahalnya biaya pelayanan ;
c. Jika menurut pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kerja
sama dengan pihak swasta sebenarnya tidak membuat biaya pelayanan
menjadi mahal dan bahkan lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka
hal tersebut perlu disosialisasikan secara transpa-ran kepada masyarakat ;
d. Rincian biaya pelayanan diinformasikan kepada masyarakat ;
e. Penyetoran biaya-biaya pelayanan dilakukan pada loket-loket resmi dan
penerimaannya dipertanggungjawabkan oleh petugas loket sesuai
ketentuan yang berlaku.
Upaya-upaya detektif:
a. Dapatkan data kontrak-kontrak kerja sama antara instansi pemerintah
yang memberikan pelayanan keimigrasian dengan pihak swasta ;
b. Pelajari apakah kerjasama tersebut tidak mahal dan memang diperlukan
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam hal ini perlu
diperhatikan fasilitas-fasilitas pemerintah yang digunakan pihak swasta
dan tidak diperhitungkan dalam kontrak kerja sama ;
c. Jika kontrak kerja sama tersebut mahal dan tidak meningkatkan kualitas
pelayanan, lakukan pengamatan apakah ada hubungan istimewa antara
pihak swasta dengan pimpinan instansi dan teliti adanya indikasi korupsi
dalam menetapkan harga kontrak .
(3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar negeri,
petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa memperhatikan
dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas berkolusi dengan calo supaya
wajib pajak membayar fiskal dengan tarif lebih murah dari tarif resmi kepada
calo tanpa menerima bukti pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan
wajib pajak melewati petugas yang telah berkolusi dengannya.
Upaya-upaya preventif:
a. Sistem pengendalian manajemen penerimaan fiskal luar negeri dan
pengawasan keimigrasian perlu disinkronkan dengan melibatkan unsur-
unsur/ instansi terkait ;
b. Pemeriksaan atas bukti pembayaran fiskal luar negeri dilakukan secara
berlapis dan sistem check dan recheck atas penerimaan fiskal luar negeri
tersebut dievaluasi dan disempurnakan ;
c. Perlu dibuat ketentuan mengenai pengenaan sanksi/denda yang
tegas/berat kepada petugas/wajib pajak yang tidak menjalankan
tugasnya/membayar fiskal sesuai ketentuan yang berlaku dan bahkan
bekerja sama dengan calo ;
d. Rotasi petugas diatur sedemikian rupa untuk mencegah peluang terjadinya
kolusi antara petugas dan para calo ;
e. Dilakukan pengawasan yang ketat dan penertiban secara terus-menerus
kepada para calo/orang-orang yang tidak berkepentingan di tempat-
tempat pelayanan fiskal/ embarkasi (bandara/pelabuhan);
Upaya-upaya detektif:
a. Lakukan penelitian apakah setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar
negeri telah membayar fiskal luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku ;
b. Jika ada yang tidak membayar fiskal dimaksud, teliti apakah menurut
ketentuan yang bersangkutan memang dibebaskan dari pembayaran fiskal
LN ;
c. Lakukan pengamatan terhadap efektivitas pengendalian intern dalam
pembayaran fiskal LN dan pastikan petugas yang berwenang telah
melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen imigrasi termasuk bukti
pembayaran fiskal LN atas setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar
negeri ;
d. Teliti kemungkinan adanya jalur masuk ke ruang tunggu bandara/
pelabuhan yang tidak resmi sehingga terbebas dari pemeriksaan
imigrasi/fiskal dan amati kemungkinan digunakannya untuk
menyelundupkan wajib pajak ;
e. Lakukan pengamatan terhadap non penumpang yang senantiasa lalu-
lalang melewati petugas imigrasi untuk memastikan kegiatan yang
sedang dilaksanakannya ;
f. Lakukan penelitian apakah jumlah bukti pembayaran fiskal telah sesuai
dengan jumlah penumpang/wajib pajak yang berangkat ke luar negeri ;
g. Teliti sebab-sebab terjadinya selisih, jika ada.

(4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang berada
di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah diberikan ditakut-takuti akan
diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan TKA tersebut mau
memberi sejumlah uang kepada oknum dimaksud.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja
di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi
jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya
yang diperlukan serta lamanya izin tinggal yang diberikan ;
b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan
pengecekan terhadap TKA tersebut apakah mematuhi izin tinggal yang
diberikan;
c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ;
d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang
melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus
dilaksanakan dengan konsekuen;
e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan
penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para
pegawai/petugas secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-
benar bekerja sesuai izin dan batas waktu yang diberikan ;
b. Jika terdapat TKA yang berkerja dan tinggal tidak sesuai dengan izin yang
diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-
sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang
dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ;
c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan
izin tinggal memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

3) Bidang Keuangan
(1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa memberikan
sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum petugas/pejabat
pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut berjalan cepat dan lancar.
Dalam beberapa kasus terdapat keadaan yang sebaliknya, di mana wajib
pajak yang tidak memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar
restitusi dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi.
Upaya-upaya preventif :
a. Sosialisasi peraturan, khususnya agar wajib pajak mengetahui dan
memahami dengan mudah mengenai prosedur dan persyaratan restitusi
pajak yang berlaku ;
b. Adanya peraturan internal yang jelas tentang hubungan wajib pajak yang
mengajukan restitusi dengan aparat pelayanan pajak ;
c. Kebijakan rotasi pegawai yang baik di instansi yang memberikan
pelayanan perpajakan ;
d. Peningkatan pengawasan dari atasan atau dari aparat pengawasan
internal atas kinerja petugas pelayanan ;
e. Pemberian sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar
kepada petugas pelayanan pajak ;
f. Pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan ;
g. Membuka kotak pengaduan.
Upaya-upaya deteksi :
a. Mengamati hubungan antara petugas pelayanan pajak dengan wajib pajak
untuk melihat adanya hubungan tidak wajar dikaitkan dengan
permohonan restitusi pajak ;
b. Pelajari kebijakan rotasi yang ada dan teliti apakah ada pegawai atau
pejabat pelayanan pajak yang sudah lama melaksanakan pelayanan
restitusi pajak tertentu dan khusus menangani wajib pajak-wajib pajak
tertentu. Teliti mengapa kepada yang bersangkutan tidak dikenakan rotasi
;
c. Meneliti berkas wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi untuk
memastikan bahwa prosedur dan persyaratan restitusi telah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ;
d. Inspeksi mendadak dari atasan langsung atau dari aparat pengawasan
internal;
e. Mengamati pola hidup petugas pelayanan pajak untuk menilai
kewajarannya dibandingkan dengan tingkat penghasilannya yang sah.

(2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin maupun
Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika tidak memberikan
sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas yang memberikan pelayanan.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang transparan dan dipaparkan dalam papan
pengumuman dan terlihat jelas oleh setiap peminta pelayanan;
b. Persyaratan pengajuan SPP diinformasikan secara jelas kepada para
pimpinan instansi, Bendaharawan Proyek/Rutin dan pihak-pihak lain yang
membutuhkan pelayanan pencairan dana ;
c. Petugas pelayanan di Kas Negara diberi sarana dan prasarana kerja serta
penghasilan yang wajar ;
d. Dibuat larangan kepada petugas pelayanan untuk meminta dana kepada
peminta pelayanan penerbitan SPM/pencairan dana, dan dibuat aturan
sanksi yang tegas secara tertulis kepada pelanggarnya;
e. Larangan tersebut pada butir d disosialisasikan kepada para pimpinan
instansi, bendaharawan dan semua pihak yang membutuhkan pelayanan
(misalnya rekanan) ;
f. Dibuat sistem rotasi pegawai yang dapat menutup peluang kolusi antara
pihak pelayan dan pihak yang dilayani ;
g. Dilakukan pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian apakah standar pelayanan yang berlaku diketahui
secara luas oleh para pemohon pelayanan ;
b. Melakukan uji petik atas berkas permohonan pelayanan apakah telah
diproses sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku. Jika tidak, teliti
penyebabnya ;
c. Jika terdapat berkas permohonan yang prosesnya lama, perlu diteliti
adanya kemungkinan petugas meminta kelengkapan berkas yang
sebenarnya tidak diperlukan, dan atau menganggap tidak sah berkas yang
sebenarnya sudah sesuai ketentuan, sehingga timbul kondisi tawar-
menawar dengan pemohon pelayanan ;
d. Jika terdapat permohonan yang prosesnya sangat cepat, diteliti apakah
persyaratannya telah dipenuhi dengan benar, untuk memastikan bahwa
cepatnya pelayanan karena memang kualitas pelayanannya yang baik,
bukan karena adanya uang pelicin ;
e. Mengamati apakah aturan rotasi pegawai telah dilaksanakan dengan baik ,
jika tidak, teliti penyebabnya ;

4) Bidang Ketenagakerjaan
(1) Kepada TKI yang meminta surat keterangan bebas fiskal, dipungut sejumlah
biaya tertentu oleh oknum pegawai yang memberikan pelayanan surat
keterangan tersebut.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat prosedur pelayanan pemberian surat keterangan bebas fiskal yang
sederhana, efisien dan efektif, dengan persyaratan-persyaratan yang
ringan bagi masyarakat yang memerlukan ;
b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian surat keterangan bebas fiskal
disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada
masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis
di tempat-tempat pelayanan ;
c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
petugas yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan
yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus
dilaksanakan dengan konsekuen;
d. Kepada petugas diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan
sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para petugas secara
terus menerus ;
g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang
semakin sehat dan transparan ;
h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;
i. Adanya rotasi pegawai yang bertugas memberikan pelayanan untuk
mencegah terjadinya kolusi.
Upaya-upaya detektif :
a. Teliti tingkat kepuasan para TKI pemohon Surat Keterangan Bebas Fiskal
;
b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-
pungutan yang memberatkan ;
c. Melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap prosedur yang
dijalankan dalam pemberangkatan TKI ;
d. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para TKI dan Perusahaan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) tentang adanya pungutan-pungutan
yang tidak sah ;
e. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan Surat
Keterangan Bebas Fiskal memang diatur secara resmi dan disetor sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Orang asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang bekerja di Indonesia tanpa izin,
ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan
supaya TKA tersebut memberi sejumlah uang.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja
di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi
jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya
yang diperlukan serta lamanya izin bekerja/tinggal yang diberikan ;
b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan
pengecekan terhadap TKA tersebut apakah memiliki izin bekerja dan
mematuhi izin bekerja yang diberikan;
c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ;
d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang
melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus
dilaksanakan dengan konsekuen;
e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan
penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para
pegawai/petugas secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-
benar bekerja sesuai izin yang diberikan ;
b. Jika terdapat TKA yang berkerja tidak sesuai dengan izin yang diberikan,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya.
Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan
oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ;
c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan
izin bekerja memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

(3) Uang titipan para TKI untuk pengurusan visa, airport tax, asuransi dan biaya
hidup di luar negeri disalahgunakan oleh oknum petugas di instansi yang
mengurus ketenagakerjaan.
Upaya-upaya preventif :
a. Buat aturan yang jelas dan transparan mengenai biaya-biaya untuk TKI.
Sejauh mungkin dihindari adanya hubungan keuangan antara calon TKI
dengan petugas. Titipan uang semacam itu hendaknya dilakukan melalui
jasa perbankan oleh, atau atas nama masing-masing TKI.
b. Dibuat sanksi yang tegas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran
dengan cara berlaku sebagai mediator (calo) ;
c. Adanya lembaga/institusi yang dapat menampung dan memproses setiap
laporan penyimpangan yang disampaikan TKI.
Upaya-upaya detektif :
a. Mendapatkan aturan mengenai persyaratan keuangan yang harus dipenuhi
TKI yang akan bekerja ke Luar Negeri dan mempelajari apakah ada
kebijakan uang titipan tersebut ;
b. Mendapatkan data macam-macam uang yang dititipkan TKI kepada
instansi yang memberikan layanan ketenagakerjaan dan tempat
penitipannya ;
c. Memeriksa kesesuaian jumlah uang titipan menurut catatan instansi
pelayan dengan data menurut bukti-bukti titipan dan uang yang ada;
d. Jika terdapat uang yang dititipkan kepada Bank, perlu diperiksa
pendapatannya (bunga, jasa giro) apakah telah dipertanggung-jawabkan
dengan benar ;

5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana


(1) Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada masyarakat
yang seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan memungut jasa pelayanan
sejumlah kurang-lebih sama dengan harga jual obat-obatan tersebut, tetapi
hasil pungutan tidak disetor ke kas negara.
Upaya-upaya preventif :
a. Dilakukan sosialisasi secara luas kepada seluruh lapisan masyarakat
mengenai adanya pelayanan obat-obatan secara cuma-cuma, lengkap
dengan informasi mengenai di mana dapat diperoleh dan persyaratannya ;
b. Pengadaan obat-obatan yang dibiayai dari anggaran negara harus jelas
aturan penggunaannya. Jika atas penggunaan obat-obatan tersebut
dipungut biaya, maka penerimaan biaya tersebut harus
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan anggaran yang berlaku ;
c. Jika obat-obatan diberikan secara cuma-cuma,maka perlu ada
pencantuman label Cuma-cuma,tidak diperjual belikan pada kemasan
obat-obatan tersebut;
d. Pemungutan biaya pelayanan kesehatan harus jelas rinciannya ;
e. Dilakukan administrasi persediaan yang tertib terhadap pemasukan dan
pengeluaran obat-obatan yang telah disediakan pemerintah.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan pengamatan atas distribusi obat-obatan cuma-cuma, apakah
telah sesuai dengan rencana pengadaannya dan diberi label Cuma-cuma,
tidak diperjual-belikan ;
b. Melakukan penelitian apakah obat-obatan cuma-cuma tersebut diterima
oleh instansi pelayanan kesehatan yang memang membutuhkan sesuai
dengan program pelayanan kesehatan yang sudah direncanakan ;
c. Meneliti apakah adanya obat-obatan cuma-cuma tersebut telah
disosialisasikan kepada masyarakat secara memadai ;
d. Meneliti mutasi obat-obatan cuma-cuma, apakah sejalan dengan realisasi
program pelayanan kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya ;
e. Pengamatan langsung pelayanan vaksinasi, pemasangan alat kontrasepsi
dan pelayanan kesehatan lainnya di pusat-pusat kesehatan, klinik dan di
rumah sakit serta pengamatan langsung di apotik atau di tempat-tempat
penjualan lainnya yang memberikan pelayanan kesehatan dengan obat-
obatan secara cuma-cuma, apakah obat-obatan benar-benar telah
diberikan secara cuma-cuma;
f. Melakukan pengamatan secara uji petik ke praktek Bidan/Dokter yang
memberikan pelayanan kesehatan/KB mengenai jenis obat/alat
kontrasepsi yang digunakan, serta meneliti dari mana memperoleh
obat/alat kontrasepsi tersebut ;
g. Melakukan pengamatan di pasaran, untuk memastikan bahwa obat-obatan
cuma-cuma tersebut tidak diperjual-belikan. Jika ternyata diperjual-belikan
perlu diusut asal-usulnya ;

(2) Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan kesehatan di


luar RSU, yang lebih memberikan keuntungan finansial secara pribadi.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat aturan yang tegas mengenai kewajiban dan disiplin para dokter
RSU dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di RSU
beserta sanksi pelanggarannya ;
b. Dibuat evaluasi mengenai kualitas pelayanan RSU akibat tidak disiplinnya
para dokter, dan hasilnya diinformasikan kepada pimpinan RSU dan para
dokter terkait ;
c. Setiap pelanggaran yang dilakukan dokter, diinformasikan kepada lembaga
yang mengawasi pelaksanaan kode etik dokter ;
d. Diberikan penghargaan kepada para dokter yang disiplin dan kinerjanya
baik ;
e. Dibekukan sementara izin praktek dokter yang lalai terhadap tugas dan
kewajibannya di RSU.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian terhadap daftar absensi dokter dihubungkan dengan
kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan,visite dokter kepada pasien
rawat inap dan kegiatan dokter lainnya di RSU ;
b. Atas pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter, diteliti apakah
penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ;
c. Dilakukan penelitian apakah ketidakdisiplinan dokter dilakukan dengan
sengaja untuk meraih tujuan-tujuan pribadi ;
d. Menggali informasi dari pasien yang dikirim/dirujuk ke RSU dari tempat
praktek dokter.

(3) Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya pungutan


yang tidak sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran tenaga medis di
Puskesmas, kurangnya kunjungan ke rumah penduduk yang membutuhkan,
ketidaksesuaian program Puskesmas dengan kebutuhan masyarakat, dan
penyalahgunaan sarana Puskesmas.
Upaya-upaya preventif :
a. Sosialisasikan mengenai obat dan pelayanan yang atasnya tidak dipungut
pembayaran kepada masyarakat;
b. Menciptakan sistem insentif dan hukuman di mana pembayaran tunjangan
tenaga medis dikaitkan dengan kehadiran;
c. Pemerintah setempat, mewakili masyarakat membuat laporan teratur
kepada Dinas/Kantor Kesehatan mengenai aktivitas Puskesmas, termasuk
mengenai kehadiran dan kunjungan tenaga medis ke masyarakat;
d. Sosialisasi bahwa kunjungan dokter dan tenaga medis lainnya kepada
masyarakat adalah bagian dari fungsi pelayanan Puskesmas, dengan
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat;
e. Menciptakan fungsi kendali masyarakat (social control) mengenai sarana
Puskesmas yang ada, yakni adanya pengetahuan masyarakat mengenai
sarana Puskesmas.
Upaya-upaya detektif :
a. Dilakukan inspeksi secara mendadak kepada Puskesmas untuk mengetahui
mutu pelayanan yang diberikan ;
b. Meneliti adanya pembayaran kepada Puskesmas yang tidak sesuai dengan
ketentuan dengan melakukan konfirmasi langsung kepada para pasien;
c. Mengecek daftar hadir yang dilaporkan Puskesmas dengan kehadiran
tenaga medis di Puskesmas ;
d. Meneliti dan menganalisis laporan Puskesmas kepada unit pemerintah
daerah terkait berkenaan dengan kunjungan dokter dan tenaga medis
kepada penduduk setempat, apakah telah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Jika perlu lakukan konfirmasi kepada pihak yang dikunjungi ;
e. Membandingkan program pelayanan Puskesmas yang
disetujui/dianggarkan dengan mutasi obat-obatan, sarana yang digunakan
dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ;
f. Meneliti tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas.

6) Bidang Pendidikan
(1) Penilaian program studi dalam rangka akreditasi kepada Perguruan Tinggi
(PT) dilakukan oleh oknum asesor dari instansi yang berwenang memberikan
akreditasi tidak obyektif, melainkan dengan cara tawar-menawar sejumlah
uang.
Upaya-upaya preventif :
a. Adanya aturan yang jelas dan transparan mengenai prosedur, persyaratan
dan biaya-biaya dalam rangka akreditasi program studi di Perguruan
Tinggi ;
b. Petugas yang melakukan penilaian harus kompeten, bermoral baik dan
punya komitmen tinggi di bidang pendidikan ;
c. Para petugas penilai dilengkapi dengan sarana & prasarana kerja serta
penghasilan yang memadai ;
d. Standar dan kriteria penilaian harus jelas ;
e. Laporan hasil penilaian beserta kertas kerjanya diriviu oleh pimpinan
instansi yang berwenang secara berjenjang ;
f. Dibuat sanksi yang tegas, kepada petugas penilai yang tidak
melaksanakan tugas sesuai standar yang ditetapkan dan bahkan
melakukan pungutan-pungutan secara tidak sah ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti program-program studi yang diakreditasi dan mengidenti-fikasi
para petugasnya ;
b. Meneliti laporan hasil penilaian program studi yang diakreditasi dan
meneliti kertas-kerja serta bukti-bukti yang mendukung penilaian.
Evaluasi, apakah penilai telah bekerja sesuai standar dan kesimpulan yang
diambil telah mencerminkan kesesuaian antara kriteria yang ada dengan
data/bukti-bukti yang diperoleh ;
c. Melakukan konfirmasi data ke Perguruan Tinggi yang diakreditasi;
d. Jika terdapat perbedaan data, dilakukan penelitian mengenai sebab-
sebabnya untuk melihat adanya kemungkinan manipulasi data dalam
rangka mencapai tingkat akreditasi tertentu ;

(2) Pungutan biaya legalisasi ijazah dan berkas-berkas siswa yang pindah sekolah
oleh oknum instansi pendidikan yang berwenang.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan
persyaratan legalisasi ijazah, yang diinformasikan secara luas kepada
masyarakat. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di
tempat-tempat pelayanan ;
b. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan
yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus
dilaksanakan dengan konsekuen;
c. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan
sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
d. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
e. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara
terus menerus ;
f. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang
semakin sehat dan transparan ;
g. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :
a. Teliti tingkat kepuasan para pemohon legalisasi ijazah ;
b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-
pungutan yang memberatkan yang tidak sah ;
c. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon legalisasi ijazah
tentang adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;
d. Teliti apakah biaya-biaya yang dipungut dalam pengurusan legalisasi
ijazah memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

(3) Bea siswa untuk mahasiswa tidak diterima penuh, tetapi dipotong sejumlah
tertentu dengan alasan untuk biaya administrasi, padahal dana digunakan
untuk keperluan taktis dan pribadi.
Upaya-upaya preventif :
a. Anggaran bea siswa untuk mahasiswa harus disertai dengan anggaran
untuk biaya administrasinya ;
b. Prosedur dan persyaratan pencairan serta besarnya bea siswa harus
diinformasikan secara jelas dan transparan kepada para penerimanya.
Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-
tempat pelayanan ;
c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan
yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus
dilaksanakan dengan konsekuen;
d. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan
sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;
e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara
terus menerus ;
g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang
semakin sehat dan transparan ;
h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;
Upaya-upaya detektif :
a. Mempelajari ketentuan, syarat, prosedur pemberian bea siswa ;
b. Meneliti apakah bea siswa diberikan kepada mereka yang menurut
ketentuan berhak menerimanya ;
c. Memeriksa bukti-bukti pembayaran bea siswa dengan cara mencocokkan
bukti pengeluaran kas dengan daftar nominatif/tanda terima yang
ditandatangani oleh mahasiswa, atau bukti lain yang sejenis ;
d. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para mahasiswa tentang
ada/tidak adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;
e. Meneliti peruntukan uang yang dipotong dari bea siswa ;

(4) Pembelian alat-alat peraga, kesenian dan olah raga untuk sekolah dari dana
proyek secara terpusat dengan harga tinggi (dimark-up) tetapi berkualitas
rendah, bahkan ada yang diarahkan pada merk tertentu, sehingga cepat rusak
dan tidak dapat dimanfaatkan untuk proses belajar-mengajar secara
memuaskan.
Upaya-upaya preventif :
a. Jenis dan kualitas alat-alat peraga, kesenian dan olah raga yang diadakan
harus berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan oleh sekolah sesuai
kurikulum yang berlaku, bukan ditentukan oleh kantor pusat ;
b. Dibuat ketentuan bahwa sekolah harus menolak peralatan yang tidak
sesuai jenis dan kualitasnya dengan yang dibutuhkan ;
c. Dibuat aturan bahwa pengadaan secara terpusat harus lebih murah dari
pengadaan setempat ;
d. Pembayaran oleh Proyek kepada rekanan hanya dapat dilakukan jika
barang telah diterima Sekolah dengan baik ;
Upaya-upaya detektif :
a. Mengecek rincian kebutuhan Sekolah akan alat-alat peraga, kesenian dan
olah raga, dan membandingkannya dengan kebutuhan menurut kurikulum
yang tersedia ;
b. Mengecek apakah pengadaan peralatan dimaksud oleh proyek didasarkan
pada kebutuhan Sekolah-Sekolah. Jika tidak perlu diteliti sebab-sebabnya ;
c. Meneliti apakah pengadaan peralatan tersebut oleh proyek telah
memenuhi prinsip kualitas, harga, waktu, dan lain-lain yang paling
menguntungkan bagi negara serta peraturan pengadaan barang yang
berlaku ;
d. Meneliti apakah peralatan yang diserahkan kepada Sekolah-Sekolah telah
sesuai dengan yang dibutuhkan baik jumlah, jenis maupun kualitasnya
dan dilaksanakan tepat waktu ;

(5) Berbagai urusan yang berkaitan dengan kepentingan guru di tingkat SD,
SLTP, dan SMU yang meliputi urusan kepangkatan, gaji, perpindahan,
kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan
lain-lain dipersulit oleh pejabat-pejabat yang berwenang dengan cara-cara :
menambah-nambah persyaratan; birokrasi berbelit-belit; mengulur waktu
penyelesaian; dan cara-cara lainnya yang pada akhirnya memaksa guru-guru
mengeluarkan biaya.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan
persyaratan pengurusan kepangkatan, gaji, perpindahan, kesempatan
mengikuti pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan lain-lain,
yang diinformasikan secara luas kepada para guru. Informasi mengenai
hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;
b. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada
pegawai/pejabat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar
ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini
harus dilaksanakan dengan konsekuen;
c. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu
mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;
d. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara
terus menerus ;
e. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus
dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang
semakin sehat dan transparan ;
f. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti berkas-berkas kepangkatan, kenaikan gaji, perpindahan, usulan
peserta pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan lain-lain
apakah telah diproses sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Jika terdapat berkas yang diproses secara istimewa, lakukan penelitian
lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya
pungutan-pungutan atau suap ;
c. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para guru terkait mengenai
proses pengurusan dan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang
tidak sah ;
d. Teliti apakah biaya-biaya yang dipungut memang diatur secara resmi dan
disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(6) Dana Bantuan Operasional (DBO) yang diberikan kepada sekolah-sekolah


(untuk menutupi kekurangan biaya operasional sekolah), oleh oknum instansi
yang membawahkan sekolah-sekolah tersebut diarahkan untuk membeli alat
peraga, peta dan sebagainya yang sebenarnya tidak diperlukan sekolah,
dengan cara berkolusi dengan rekanan. Dalam hal ini Sekolah hanya
menerima alat peraga, peta dan lain-lain bentuk barang, yang pengadaannya
dilakukan oleh oknum instansi atasan Sekolah secara berkolusi dengan
rekanan.
Upaya-upaya preventif :
a. DBO dikirim langsung ke rekening sekolah ;
b. Diadakan ketentuan mengenai larangan instansi atasan sekolah untuk
mencampuri urusan penggunaan DBO oleh sekolah, kecuali pengawasan
penggunaannya ;
c. Jika penggunaan DBO tidak sesuai dengan ditujuannya, diberikan sanksi
kepada Sekolah yang bersangkutan berupa tidak lagi diberi DBO.
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah DBO diterima langsung oleh Sekolah berbentuk uang tunai
;
b. Meneliti apakah penggunaan DBO telah sesuai dengan tujuannya dalam
mendukung kegiatan belajar-mengajar;
c. Meneliti apakah penggunaan DBO telah dipertanggungjawabkan sesuai
ketentuan yang berlaku ;

(7) Pungutan oleh oknum pimpinan sekolah kepada siswa pindahan.


Upaya-upaya preventif :
a. Adanya ketentuan dari instansi pemerintah di bidang pendidikan yang
melarang pungutan kepada siswa-siswa yang pindah ke sekolah lain ;
b. Adanya ketentuan yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan yang
harus dipenuhi untuk pindah sekolah yang disosialisasikan secara
luas/tertulis di tiap-tiap sekolah dan instansi pemerintah lainnya yang
memberikan / mendukung pelayanan di bidang pendidikan ;
c. Kepada para pengelola Sekolah diberikan penghasilan yang layak;
d. Sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kebutuhan proses
belajar dan mengajar ;
e. Seluruh pungutan yang diatur secara resmi dalam peraturan perundang-
undangan diinformasikan secara transparan kepada masyarakat pengguna
pelayanan pendidikan.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian secara uji petik ke Sekolah-Sekolah, untuk
mengetahui mutasi siswa ;
b. Mengidentifikasikan siswa yang mutasi dari sekolah lain ;
c. Melakukan konfirmasi kepada siswa yang bersangkutan atau wali murid
mengenai biaya-biaya yang dibayar dalam rangka kepindahan siswa ;
d. Mengecek apakah biaya-biaya yang dipungut telah sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan disetorkan kepada pejabat/instansi yang
berwenang ;
e. Jika biaya-biaya yang dipungut tidak sesuai dengan ketentuan, sebab-
sebabnya perlu diteliti, untuk diambil langkah berikutnya secara tepat
berdasarkan peraturan yang berlaku.

(8) Pengaturan Nilai Ebtanas Murni (NEM) oleh oknum pejabat yang berwenang
dengan imbalan tertentu dari orang tua murid dengan tujuan agar murid
dapat diterima di sekolah yang dianggap favorit.
Upaya-upaya preventif :
a. Kebijakan NEM menjadi pertimbangan utama dalam menerima murid di
Sekolah-sekolah perlu dikaji ulang ;
b. Kualitas pendidikan di seluruh sekolah diupayakan merata, dengan cara
antara lain, meningkatkan kualitas para guru dan membuat sistem mutasi
guru yang dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas
sekolah, serta melengkapi prasarana dan sarana sekolah sesuai dengan
kebutuhan proses belajar dan mengajar ;
c. Para penyelenggara pendidikan diberi penghasilan yang layak ;
d. Adanya upaya penyadaran kepada pihak-pihak terkait bahwa tindakan
pengaturan NEM merupakan tindakan koruptif dan tidak sportif yang
sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri ;
e. Dibuat sanksi yang tegas kepada para pelaku, yang diterapkan secara
konsekuen dan konsisten.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian secara uji petik di sekolah-sekolah yang dianggap
favorit atas NEM dari siswa-siswa yang nilai rapor di jenjang pendidikan
sebelumnya lebih rendah dari NEM-nya ;
b. Meneliti dan mengevaluasi hasil ujian akhir siswa yang bersangkutan
apakah sama nilainya dengan DANEM yang bersangkutan ;
c. Melakukan konfirmasi kepada para guru-guru yang pernah mengajar
mengenai kualitas siswa yang NEM - nya lebih tinggi dari nilai rapornya ;
d. Meneliti apakah ada perubahan angka hasil ujian dengan yang tercantum
dalam DANEM, kemudian lakukan analisa kemungkinan ada unsur
kerjasama untuk merubah antara unsur oknum sekolah, orang tua murid
dan pihak instansi yang menerbitkan DANEM ;
e. Perlu diteliti pula kemungkinan tingginya NEM murid akibat menerima
bocoran soal-soal ujian ;

(9) Guru pengganti dan guru kontrak di suatu daerah tidak aktif melaksanakan
tugasnya tetapi menerima imbalan berupa honor, biaya penempatan dan THR.
Upaya-upaya preventif :
a. Kepala sekolah yang menerima guru pengganti dan kontrak harus aktif
dan membuat/mengirimkan secara periodik laporan kegiatan kehadiran
guru tersebut ke proyek;
b. Dibuat teguran kepada para guru pengganti/kontrak yang tidak
menjalankan tugasnya sesuai ketentuan ;
c. Dibuat ketentuan yang tegas mengenai sanksi atas ketidakhadiran guru
baik secara finansial maupun secara administratif ;
d. Koordinasi pihak proyek dengan Kepala Sekolah di mana guruguru
tersebut melaksanakan tugasnya lebih ditingkatkan.
Upaya-upaya detektif :
a. Dapatkan data-data mengenai guru pengganti dan kontrak yang
ditempatkan di sekolah-sekolah untuk suatu periode tertentu;
b. Lakukan konfirmasi ke sekolah-sekolah yang menerima guru pengganti
dan guru kontrak dan bandingkan dengan data tersebut di atas;
c. Lakukan penelitian atas pengeluaran dana untuk pembayaran jasa guru
pengganti dan guru kontrak pada proyek yang bersangkutan untuk
mengetahui apakah pengeluaran tersebut sesuai dengan peruntukannya ;
d. Melakukan penelitian apakah dana yang dikeluarkan untuk guru pengganti
dan atau guru kontrak yang indisipliner tersebut benar-benar dibayarkan
kepada guru yang bersangkutan atau tidak ;

7) Bidang Pertanian/Pangan
(1) Beras Operasi Pasar Khusus (OPK) yang seharusnya hanya boleh dijual
kepada masyarakat miskin dengan harga subsidi pemerintah, oleh oknum
aparat pelaksana terkait dijual kepada masyarakat umum dengan harga jauh
lebih tinggi dari harga subsidi pemerintah. Selisih harga tersebut dibagi-bagi
kepada oknum aparat pelaksana yang bersangkutan. Akibatnya tujuan
program pengentasan kemiskinan antara lain melalui OPK tidak tercapai.
Upaya-upaya preventif :
a. Adanya aparat berwenang melakukan pengawasan intensif terhadap
pelaksanaan penyaluran beras OPK agar sesuai prosedur operasional yang
telah ditetapkan;
b. Dalam sistem pengawasannya melibatkan masyarat luas dengan cara
mensosialisasikan program ini sebelum dilaksanakan;
c. Adanya tanda bukti penerimaan beras (daftar orang yang menerima beras
dan kupon) dari masyarakat (daftar orang yang menerima beras dan
kupon) yang diketahui oleh RT/RW setempat;
d. Transparansi pada saat penyaluran dan pembagian beras OPK pada setiap
level instansi pelaksana;
e. Penjatahan beras OPK berdasarkan usulan dari instansi terkait yang
didukung dengan daftar masyarakat miskin setempat yang diketahui oleh
RT, RW dan Lurah/Kepala Desa;
f. Adanya pengenaan sanksi yang tegas kepada oknum aparat pelaksana
terkait yang menjual beras OPK diluar ketentuan yang telah ditetapkan.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian terhadap usulan penjatahan beras OPK dari instansi
terkait yang didukung dengan daftar masyarakat miskin setempat yang
diketahui oleh RT, RW dan Lurah/Kepala Desa. Bandingkan usulan
tersebut dengan realisasi penjatahannya ;
b. Melakukan penelitian terhadap laporan pertanggungjawaban pada
berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan penyaluran beras OPK,
kemudian bandingkan dengan prosedur yang berlaku;
c. Melakukan penelitian terhadap laporan pertanggungjawaban pada
berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan penyaluran beras OPK,
kemudian bandingkan dengan bukti penerimaan beras yang diketahui oleh
aparat lurah/ desa setempat ;
d. Melakukan pengujian lapangan atas pelaksanaan penyaluran beras OPK.

8) Bidang Pertanahan
(1) Sertifikasi tanah milik masyarakat (misalnya tanah wakaf) maupun milik
pemerintah melalui satuan kerja/proyek-proyek di instansi pemerintah
uangnya diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan sertifikasi,
namun diterima oleh oknum dan dimanfaatkan dulu secara pribadi. Akibatnya
pelaksanaan sertifikasinya menjadi terhambat, dan berakibat lebih lanjut pada
permintaan dana tambahan akibat adanya kenaikan tarif pelayanan;
Upaya-upaya Preventif :
a. Kontrak kerja sama antara instansi/unit kerja/proyek dengan instansi yang
memberikan pelayanan sertifikasi harus memuat secara tegas mengenai
jangka waktu penyelesaian sertifikasi. Jika diperlukan dibuat ketentuan
mengenai sanksi yang dapat dikenakan, bila terdapat wanprestasi ;
b. Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi tanah tidak
menyetorkan biaya pelayanan sertifikasi kepada oknum, tetapi kepada
Bendaharawan Khusus Penerima yang ditunjuk dengan suatu surat
keputusan ;
c. Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi tanah memantau
perkembangan sertifikasi sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam
kontrak, dan memberikan teguran atas keterlambatan yang terjadi dan
atau mengenakan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
kontrak ;
d. Apabila setelah diberikan sanksi, ternyata instansi yang memberikan
pelayanan sertifikasi tetap tidak dapat melaksanakan pelayanannya sesuai
kontrak, maka Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi
tanah melaporkan masalah ini kepada atasan instansi pelayan dan
atasannya sendiri, untuk dilakukan proses tindak lanjut secepatnya .
Upaya-upaya Detektif :
a. Melakukan pengamatan apakah ketentuan kontrak pelayanan sertifikasi
telah memuat ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan pelayanan
dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan jika terdapat pihak yang
melakukan wanprestasi ;
b. Melakukan penelitian atas penyetoran biaya pelayanan, apakah telah
dilakukan sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku ;
c. Melakukan pengecekan apakah perkembangan pelaksanaan pelayanan
telah dipantau dengan baik ;
d. Melakukan penelitian atas perpanjangan kontrak dan atau perubahan
harga kontrak, jika ada, diteliti apakah alasannya dapat
dipertanggungjawabkan, jika alasannya tidak logis, perlu diteliti
kemungkinan adanya kolusi antara kedua belah pihak.

(2) Prosedur pelayanan sertifikasi tanah dan tarif yang berlaku tidak
diinformasikan secara transparan kepada masyarakat yang membutuhkan,
sehingga memungkinkan oknum-oknum tertentu yang berhubungan dengan
pelayanan sertifikasi mengambil keuntungan pribadi dengan cara memungut
biaya-biaya tidak resmi kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Upaya-upaya preventif :
a. Prosedur standar pelayanan sertifikasi, lamanya waktu yang dibutuhkan
beserta tarip yang berlaku hendaknya diinformasikan kepada masyarakat,
baik melalui mass media, booklet, papan pengumuman di kantor-kantor
pelayanan maupun sarana informasi lainnya yang tersedia ;
b. Dibuat prosedur pengecekan yang memadai untuk memastikan bahwa
setiap permohonan pelayanan yang masuk telah dilayani oleh
pejabat/pegawai yang berwenang sesuai dengan prosedur standar yang
berlaku ;
c. Diupayakan pelayanan diberikan melalui satu loket atau jika hal demikian
tidak dimungkinkan, diupayakan sesedikit mungkin. Tidak setiap pegawai
instansi pelayanan yang diperbolehkan menerima permohonan pelayanan,
kecuali yang telah ditentukan ;
d. Pegawai yang memberikan pelayanan dilarang meminta/menerima uang
jasa dari pemohon pelayanan ;
e. Diatur sanksi yang tegas terhadap para petugas pelayanan yang
mempersulit pelayanan dan atau meminta biaya tambahan di luar yang
telah ditentukan. Aturan ini hendaknya dilaksanakan secara konsekuen
dan konsisten.
Upaya-upaya detektif :
a. Dilakukan penelitian apakah prosedur standar yang telah ditentukan telah
diinformasikan secara memadai kepada masyarakat, khususnya yang
memohon pelayanan sertifikasi tanah ;
b. Dilakukan pengecekan untuk memastikan bahwa permohonan pelayanan
telah diproses oleh pejabat/pegawai yang berwenang sesuai prosedur
yang berlaku, dan jika tidak diteliti sebab-sebabnya ;
c. Teliti jumlah penerimaan biaya pelayanan dan hubungkan dengan jumlah
permohonan yang diterima ;
d. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada masyarakat yang mengajukan
permohonan pelayanan, terutama yang jenis pelayanannya cukup rumit
dan biaya pelayanannya cukup tinggi (misalnya HGU tanah perkebunan,
pabrik dll).

(3) Pelaksanaan prosedur penerbitan Sertifikat tanah berbelit-belit,


pengurusannya tidak mudah dan prosesnya memakan waktu lama, sehingga
menyuburkan praktek-praktek percaloan.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah.
Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu pintu ;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan sertifikat tanah
disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai
hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;
c. Setiap permohonan sertifikasi tanah, serta proses pelayannya harus
dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau
efektivitas pelayanannya ;
d. Biaya-biaya pengurusan sertifikasi tanah tidak boleh diterima/ disampaikan
kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon sertifikasi tanah untuk kepentingan
pribadi. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten
;
g. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih
ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya
secara berkala ;
h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
melayani sertifikasi tanah secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan
serta lamanya pengurusan sertifikasi tanah yang ditetapkan dalam suatu
peraturan secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas usulan sertifikasi tanah yang
persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa
diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro
Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan sertifikasi
tanah telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pihak pemohon sertifikasi tanah telah sesuai dengan ketentuan dengan
jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;

9) Bidang Pekerjaan Umum


(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan IMB berbelit-belit akibat birokrasi yang
kaku sehingga pengurusannya membutuhkan waktu yang lama dan
menimbulkan praktek percaloan yang memperberat beban biaya bagi pihak
pemohon.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah.
Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit
mungkin loket ;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan IMB
disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai
hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;
c. Setiap permohonan IMB, serta proses pelayannya harus dicatat secara
kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas
pelayanannya ;
d. Biaya-biaya pengurusan IMB tidak boleh diterima/disampaikan kepada
petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon IMB untuk kepentingan pribadi.
Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
g. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih
ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya
secara berkala ;
h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
melayani IMB secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan
serta lamanya pengurusan IMB yang ditetapkan dalam suatu peraturan
secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan IMB yang
persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa
diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro
Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan IMB telah
sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pihak pemohon IMB telah sesuai dengan ketentuan dengan jalan antara
lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;
e. Melakukan uji petik terhadap pembangunan-pembangunan baru yang
sedang dilaksanakan.

(2) Oknum petugas yang berwenang dalam menertibkan bangunan yang tidak
memiliki IMB tidak tegas dan bahkan melakukan pungutan-pungutan di luar
ketentuan kepada para pemilik bangunan yang tidak memiliki IMB.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat peta/inventarisasi atas bangunan-bangunan yang tidak memiliki
IMB ;
b. Dilakukan penertiban secara berkala dan terus-menerus atas bangunan-
bangunan yang tidak memiliki IMB oleh para petugas yang kompeten
dengan dilengkapi surat tugas ;
c. Pegawai yang diberi wewenang untuk melakukan penertiban bangunan
yang tidak memiliki IMB, harus orang yang memiliki integritas kejujuran
dalam melaksanakan tugasnya ;
d. Adanya aturan yang jelas dalam penugasan penertiban IMB, menyangkut
masalah antara lain prosedur penertiban, cara-cara/aturan penindakan
dan sistem pelaporan hasil penertiban ;
e. Biaya operasional dalam rangka penugasan penertiban IMB harus
dianggarkan secara wajar ;
f. Dibuat sanksi yang tegas terhadap para petugas yang tidak menjalankan
tugas sesuai ketentuan dan melakukan pungutan-pungutan secara tidak
sah. Ketentuan mengenai sanksi ini harus diterapkan secara konsekuen
dan konsisten;
g. Dilakukan pengawasan yang memadai atas kegiatan petugas yang
melakukan penertiban IMB .
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti daftar inventarisasi bangunan yang tidak memiliki IMB apakah
telah dilakukan tindakan penertiban secara menyeluruh sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ;
b. Meneliti secara uji petik terhadap penugasan penertiban bangunan yang
tidak memiliki IMB apakah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ;
c. Meneliti kemungkinan adanya bangunan tidak ber IMB yang tidak pernah
ditertibkan dan mempelajari sebab-sebabnya ;
d. Meneliti laporan-laporan hasil penertiban dan mengecek secara uji petik
dengan keadaan di lapangan. Pada langkah ini dapat dilakukan pula
konfirmasi kepada pemilik bangunan mengenai adanya pungutan-
pungutan tidak sah yang dilakukan oleh petugas penertiban ;
e. Meneliti apakah penindakan yang diambil sudah sesuai dengan kondisi
yang ditemukan dari hasil penertiban ;

10) Bidang Perhubungan


(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan SIM berbelit-belit sehingga
pengurusannya menjadi tidak mudah dan prosesnya memakan waktu yang
lama dan pada akhirnya makin menyuburkan praktek percaloan.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah.
Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit
mungkin loket ;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan SIM
disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai
hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;
c. Setiap permohonan SIM, serta proses pelayannya dicatat secara
kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas
pelayanannya ;
d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu
dan ramah, sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan,
tidak menakutkan ;
e. Biaya-biaya pengurusan SIM tidak boleh diterima/disampaikan kepada
petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon SIM untuk kepentingan pribadi.
Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
h. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih
ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya
secara berkala ;
i. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
melayani SIM secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan
serta lamanya pengurusan SIM yang ditetapkan dalam suatu peraturan
secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan SIM yang
persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa
diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro
Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan SIM telah
sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pihak pemohon SIM telah sesuai dengan ketentuan dengan jalan antara
lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;

(2) Pelaksanaan prosedur pengurusan STNK, BPKB dan BBN berbelit-belit


sehingga prosesnya memakan waktu yang lama yang mengakibatkan
timbulnya praktek pencaloan.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah.
Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit
mungkin loket ;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan STNK, BPKB dan
BBN disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi
mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat
pelayanan ;
c. Setiap pengurusan STNK, BPKB dan BBN, serta proses pelayannya dicatat
secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas
pelayanannya ;
d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu
dan ramah, sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan,
tidak menakutkan ;
e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas
yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus
diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
h. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih
ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya
secara berkala. Hasil pengawasan ini menjadi bahan penilaian konduite
daan rotasi pegawai ;
i. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
pelayanan secara terus menerus.
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan
serta lamanya pengurusan STNK, BPKB dan BBN yang ditetapkan dalam
suatu peraturan secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan
STNK, BPKB dan BBN yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai
dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus
sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan STNK,
BPKB dan BBN telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-
sebabnya ;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pihak pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan
antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon.

(3) Terdapat pungutan-pungutan biaya formulir yang sangat mahal dalam


pengurusan STNK, BPKB dan BBN dan tidak jelas pungutan tersebut untuk
negara atau pihak-pihak tertentu.
Upaya-upaya preventif :
a. Meninjau kembali kebijakan penetapan tarif-tarif pelayanan. Biaya-biaya
yang dikeluarkan instansi yang memberikan pelayanan berasal dari
anggaran negara, oleh karenanya seluruh biaya-biaya pelayanan yang
dipungut dari masyarakat harus disetorkan pula kepada negara;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya-biaya pengurusan STNK,
BPKB dan BBN diinformasikan secara transparan kepada masyarakat.
Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-
tempat pelayanan ;
c. Seluruh pembayaran biaya pelayanan disetorkan lewat satu loket;
d. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan melalui petugas
yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas yang tidak berwenang tidak
menerima biaya pelayanan dari masyarakat dan petugas loket
pembayaran harus menerima biaya pelayanan langsung dari pemohon
pelayanan ;
f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan.
Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
g. Pengawasan kepada para petugas yang melakukan pelayanan harus lebih
ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya
secara berkala. Hasil pengawasan ini menjadi bahan penilaian konduite
daan rotasi pegawai ;
h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
melakukan pelayanan secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan
serta lamanya pengurusan STNK, BPKB dan BBN yang ditetapkan dalam
suatu peraturan secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah tarif biaya pelayanan STNK, BPKB dan BBN
telah diinformasikan secara transparan kepada masyarakat ;
c. Melakukan penelitian apakah seluruh biaya pelayanan telah disetorkan
kepada petugas yang ditunjuk secara resmi untuk itu dan
dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku ;
d. Meneliti adanya pungutan-pungutan yang diatur dan disetorkan ke pihak-
pihak tertentu secara melawan hukum ;
e. Melakukan konfirmasi langsung kepada pemohon pelayanan secara uji
petik.
(4) Pelaksanaan prosedur pengurusan KIR dan Ijin Trayek berbelit-belit sehingga
prosesnya memakan waktu yang lama dan menimbulkan percaloan.

Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, mudah,
murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau
sesedikit mungkin loket ;
b. Prosedur, persyaratan teknis & administrasi serta tarip biaya pengurusan
KIR dan Ijin Trayek diinformasikan secara luas dan transparan kepada
masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah
di tempat-tempat pelayanan ;
c. Setiap pengurusan KIR dan Ijin Trayek serta proses pelayannya dicatat
secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas
pelayanannya ;
d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang
kompeten/mampu, ramah, jujur dan terbuka sehingga dapat memberikan
pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;
e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas
yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus
diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para pegawai secara
terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, per-syaratan,
tarip biaya pelayanan serta lamanya pengurusan KIR dan Ijin Trayek yang
ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan KIR
dan Ijin Trayek yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai
dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus
sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya proses KIR dan Ijin
Trayek telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan antara
lain konfirmasi langsung kepada pemohon secara uji petik ;
e. Melakukan uji petik terhadap kendaraan penumpang umum yang batas
waktu KIR ataupun izin trayeknya telah habis.

(5) Parkir kendaraan bermotor di jalan umum, perkantoran dan pertokoan sering
dilayani oleh petugas yang tidak berseragam dan berpenampilan kurang
bersahabat, bahkan sering meminta uang yang lebih besar tanpa disertai bukti
pembayaran/karcis, padahal masyarakat seharusnya merasa aman karena
telah mengeluarkan biaya. Dengan demikian patut dicurigai bahwa
penerimaan perparkiran ini tidak disetorkan ke pihak yang kompeten dengan
lengkap, bahkan sebagian besar berpotensi bocor ke pihak-pihak tertentu.
Upaya-upaya preventif :
a. Meninjau kembali pasal-pasal perjanjian-perjanjian pengelolaan parkir
dengan pihak swasta, jika ada di mana antara lain perlu diatur bahwa
setiap petugas parkir harus memiliki identitas yang jelas, dan pengelola
parkir dapat menjamin agar tidak terdapat duplikasi pungutan kepada
pemilik kendaraan. Jika menurut pengaduan masyarakat hal tersebut tidak
dilaksanakan, maka kontrak harus dibatalkan ;
b. Jika perparkiran dikelola sendiri oleh PEMDA melalui suatu Badan
Pengelola, maka personil petugas parkir harus menggunakan pakaian
seragam yang rapi dan unik pada saat melaksanakan tugas, dan diberikan
sanksi yang tegas kepada mereka yang melanggar ;
c. Badan Pengelola Parkir harus mampu menertibkan juru parkir-juru parkir
liar dengan cara melakukan inspeksi secara rutin ;
d. Karcis parkir dibuat secara standar yang mencantumkan lokasi, besarnya
tarif dan tanggal parkir;
e. Pada area parkir dipasang rambu-rambu atau papan pengumuman yang
jelas mengenai aturan parkir (tarif, jam pemakaian tempat parkir);
f. Badan Pengelola Parkir harus memiliki peta potensi pendapatan parkir di
seluruh wilayah kerjanya, sebagai acuan dalam menetapkan target
penerimaan dan melakukan pengendalian/pengawasan atas realisasi
penerimaannya ;
g. Sistem pertanggungjawaban penerimaan uang parkir harus terus menerus
dievaluasi dan disempurnakan sehingga mencerminkan pengendalian
penerimaan kas yang baik, dalam rangka memperkecil tingkat kebocoran ;
h. Kepada para petugas parkir diberikan penghasilan dan prasarana & sarana
kerja yang memadai ;
i. Adanya pengawasan yang ketat dari pihak pengelola parkir terhadap
petugas parkir ;
j. Adanya peran serta aktif dari masyarakat luas untuk meminta karcis parkir
setiap membayar pungutan parkir, dan meneliti keabsahan karcis tersebut
serta melaporkan adanya kejanggalan-kejanggalan kepada Badan
Pengelola Parkir.
Upaya-upaya detektif :
a. Lakukan penelitian apakah ada aturan yang mengatur secara tegas
tentang keharusan juru parkir menggunakan pakaian seragam, kemudian
cek realisasinya di lapangan ;
b. Pelajari sistem dan prosedur kerja yang berlaku dalam pemungutan dan
pertanggungjawaban penerimaan jasa parkir, teliti kemungkinan adanya
kerawanan-kerawanan atau peluang-peluang terjadinya penyimpangan ;
c. Dilakukan pengecekan ke lapangan mengenai juru parkir yang bertugas,
serta penggunaan karcis parkir dan tarifnya, apakah telah sesuai dengan
ketentuan dan penugasan yang berlaku ;
d. Dilakukan pengamatan apakah terdapat mekanisme pengendalian yang
memadai terhadap kegiatan perparkiran di lapangan ;
e. Dilakukan penelitian apakah terdapat rambu-rambu atau papan
pengumuman yang jelas mengenai aturan parkir (tarif, jam pemakaian
tempat parkir) di tempat-tempat yang digunakan sebagai areal/kawasan
parkir;
f. Melakukan pengamatan atas potensi penerimaan parkir di suatu kawasan
parkir tertentu berdasarkan sampel secara uji petik pada periode tertentu
dan membandingkan dengan jumlah relaisasi penerimaan/setoran juru
parkir pada periode yang sama.

(6) Retribusi Dispensasi Pemakaian Jalan (RDPJ) yang dipungut oleh pemerintah
daerah setempat terlalu mahal dan diragukan bahwa pemungutan retribusi
tersebut disetor ke kas daerah karena beberapa pemungutan retribusi tidak
disertai dengan bukti pembayaran.
Upaya-upaya preventif :
a. Adanya pungutan RDPJ harus diatur dengan PERDA di mana pasal-pasal
aturannya harus mencantumkan dengan jelas maksud dan tujuan
pungutan serta tata cara pengelolaan dan pertanggung-jawabannya ;
b. Tarip RDPJ harus ditetapkan berdasarkan suatu perhitungan yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan pula pungutan-pungutan
sejenis yang dilakukan daerah yang bertetangga, agar tarip yang
ditetapkan tidak memberatkan pengguna jalan (wajib retribusi) yang
melewati beberapa daerah ;
c. Perhitungan tarip dilakukan secara transparan ;
d. Karcis-karcis retribusi dicetak bernomor seri, dicantumkan antara lain
besarnya tarip, masa berlaku dan diberi cap oleh instansi berwenang (di
luar instansi yang melaksanakan pungutan) ;
e. Karcis retribusi diserahkan kepada instansi yang melakukan pungutan
secara bertahap. Instansi yang melakukan pungutan bisa mengambil
karcis lagi bila telah mempertanggungjawabkan karcis yang telah diterima
sebelumnya ;
f. Sosialisasikan peraturan-peraturan tersebut kepada masyarakat,
khususnya masyarakat wajib retribusi dan memberi rambu-rambu tertentu
di pos-pos pemungutan;
g. Potensi penerimaan RDPJ harus dihitung dan dijadikan alat pengendalian
atas realisasi penerimaan RDPJ ;
h. Sistem pemungutan RDPJ harus disesuaikan dengan kondisi pengguna
jalan wajib retribusi. Bagi Wajib Retribusi yang setiap hari menggunakan
fasilitas obyek retribusi, diatur agar dapat membayar misalnya secara
lumpsum ;
i. Di Pos-pos retribusi dibuat catatan mengenai kendaraan wajib retribusi
yang lewat dan catatan penerimaan uang retribusi. Petugas yang
mencatat kendaraan, mencatat penerimaan retribusi dan yang mengelola
karcis tidak boleh sama ;
j. Pengawasan atas penarikan dan penyetoran RDPJ ditingkatkan dan
dibuatkan laporannya.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian apakah ada ketentuan resmi yang mengatur RDPJ ;
b. Melakukan penelitian apakah sistim pengendalian manajemen pengelolaan
RDPJ telah memadai untuk menghindari adanya kecurangan;
c. Lakukan pengamatan langsung di lapangan secara uji petik untuk melihat
kinerja petugas dalam memberikan pelayanan RDPJ apakah sudah
mematuhi ketentuan yang berlaku ;
d. Lakukan pengawasan pemungutan dan pembayaran RDPJ di pos-pos
retribusi dengan melakukan opname karcis, dibandingkan dengan catatan
kendaraan wajib retribusi yang lewat dan uang yang ada ;
e. Melakukan pengecekan jumlah karcis retribusi yang diterima dibandingkan
dengan sisa karcis yang ada dan uang yang telah disetor ke Kas Daerah
serta uang yang belum disetor.
f. Melakukan penelitian mengenai tingkat kepuasan wajib retribusi terhadap
pelayanan fasilitas jalan yang diterimanya.

11) Bidang Kependudukan :


(1) Pelaksanaan pengurusan KTP atau Akte Kelahiran berbelit-belit, prosesnya
memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek pencaloan yang
bekerja sama dengan petugas pelayanan.
Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat
sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, mudah,
murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau
sesedikit mungkin loket ;
b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan KTP dan Akte
Kelahiran diinformasikan secara luas kepada masyarakat. Informasi
mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat
pelayanan ;
c. Setiap pengurusan KTP dan Akte Kelahiran serta proses pelayannya
dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau
efektivitas pelayanannya ;
d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang
kompeten/mampu, ramah, dan terbuka sehingga dapat memberikan
pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;
e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas
yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;
f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator
(calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang
telah mendapatkan izin ;
g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau
bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta
bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus
diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;
h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang
pelayanan secara terus menerus ;
Upaya-upaya detektif :
a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan,
tarip biaya pelayanan serta lamanya pengurusan KTP atau Akte Kelahiran
yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;
b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan KTP
atau Akte Kelahiran yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai
dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus
sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);
c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan KTP atau
Akte Kelahiran telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-
sebabnya ;
d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh
pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan antara
lain konfirmasi langsung kepada pemohon secara uji petik ;

12) Bidang Permukiman


(1) Terdapat tunggakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang
merupakan kewajiban pengembang dengan nilai yang sangat signifikan, tidak
ditagih oleh instansi yang berwenang, sehingga patut diduga terdapat kolusi
antara pejabat yang berwenang dengan para pengembang yang
bersangkutan.
Upaya-upaya preventif:
a. Setiap perijinan yang diberikan kepada pengembang oleh pejabat pemda
harus mematuhi RUTR dan RTRW yang telah ditetapkan ;
b. Kewajiban para pengembang untuk membangun fasum dan fasos harus
dibuat secara jelas dan tertulis pada dokumen perijinan yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang ;
c. Dokumen-dokumen terkait harus diadministrasikan dan diarsipkan dengan
sebaik-baiknya ;
d. Dilakukan pengawasan terhadap para pengembang mengenai realisasi
pembangunan fasos dan fasum yang menjadi kewajibannya;
e. Secara berkala dan sistematis dilakukan teguran kepada para pengembang
yang lalai dalam membangun Fasos dan Fasum yang menjadi
kewajibannya ;
f. Dibuat sanksi yang berat atas kelalaian para pengembang yang tidak
mampu membangun Fasos dan Fasum sesuai batas waktu yang diberikan
;
g. Dibuat sanksi yang berat kepada pejabat berwenang yang berkolusi
dengan pihak pengembang dan tidak menjalankan tugasnya sesuai
ketentuan.
Upaya-upaya detektif:
a. Dapatkan data mengenai RUTR dan RTRW yang telah ditetapkan dan
bandingkan dengan lahan untuk pengembang untuk mengetahui apakah
peruntukannya telah sesuai RUTR dan RTRW;
b. Melakukan penelitian apakah ijin yang diberikan kepada pengembang
telah mencantumkan kewajiban membangun fasum dan fasos secara
tertulis disertai dengan seluruh persyaratan dan hak serta kewajiban
masing-masing pihak ;
c. Melakukan pengecekan apakah kewajiban para pengembang untuk
membangun fasos dan fasum telah dilaksanakan sesuai ketentuan. Jika
belum diteliti sebab-sebabnya, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ;
d. Melakukan pemeriksaan mengenai sebab-sebab adanya tunggakan fasos
dan fasum oleh para pengembang dengan memperhatikan kemungkinan
adanya kolusi antara para pengembang dengan pejabat berwenang terkait
;
e. Lakukan penelitian apakah pejabat yang berwenang telah menetapkan
keputusan pengenaan sanksi yang berlaku dalam hal terjadinya
pelanggaran kewajiban membangun fasum dan fasos oleh pengembang.
Jika belum, selidiki apa sebabnya.

(2) Perusahaan pengembang diminta untuk menyerahkan lahan atau uang yang
sifatnya titipan sebagai biaya pembebasan tanah dengan alasan untuk
mempercepat proses penyelesaian ijin lokasi dan penerbitan Site Plan
pengembang. Uang titipan ini pada akhirnya tidak jelas
pertanggungjawabannya.
Upaya-upaya preventif:
a. Adanya ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan
persyaratan ijin lokasi dan penerbitan site plan;
b. Adanya ketentuan yang jelas, tegas dan transparan mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak (pemda dan pengembang) sehubungan
dengan pembangunan suatu kawasan tertentu oleh pengembang ;
c. Adanya ketentuan yang tegas dan transparan mengenai kewajiban
perusahaan pengembang dalam penyediaan lahan untuk prasarana
lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial dan perijinan yang
diperlukan. Kebijakan penggantian dalam bentuk uang titipan atau bentuk
lain perlu ditinjau kembali karena memerlukan pengawasan dan
administrasi tambahan serta berpeluang menimbulkan penyalahgunaan
untuk kepentingan pribadi ;
d. Adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari instansi yang
berwenang.
Upaya-upaya detektif:
a. Melakukan penilaian terhadap ketentuan uang titipan, apakah diterbitkan
oleh instansi yang berwenang ;
b. Mengevaluasi ketentuan tersebut, apakah cara-cara pengelolaannya telah
mencerminkan sistem pengendalian yang baik, antara lain diadakan
pemisahan antara petugas yang menyimpan, mencatat, dan yang
menyetujui penerimaan/pengeluaran serta yang mengawasi uang titipan
tersebut;
c. Meneliti apakah terdapat pengawasan yang memadai atas pengelolaan
uang titipan tersebut ;
d. Mengecek kesesuaian jumlah/saldo uang titipan yang ada dengan catatan
bendaharawan ;
e. Meneliti mutasi uang titipan dan mengecek apakah penerimaannya serta
penggunaannya telah sesuai dengan ketentuan ;
(3) Penyerahan luas lahan TPU oleh pengembang tidak sesuai dengan luas
menurut kewajibannya antara lain pengembang tidak menyerahkan lahan,
luas lahan kurang dari yang seharusnya, dan lahan tidak siap bangun.
Upaya-upaya preventif:
a. Adanya ketentuan pelaksanaan yang tegas yang mewajibkan pengembang
menyediakan lahan TPU dalam bentuk lahan matang atau siap bangun
dan luasnya sesuai.
b. Setiap penyerahan lahan TPU harus dibuatkan Berita Acara Serah Terima
dengan penetapan lokasi dan luas sesuai dengan ijin yang telah diberikan.
c. Penyerahan lahan untuk keperluan TPU harus dilaksanakan pada waktu
pengajuan site plan dan pengaturan penyediaan lahan ditetapkan dengan
peraturan.
d. Pengawasan yang ketat terhadap kewajiban pengembang untuk
menyediakan lahan untuk keperluan TPU.
Upaya-upaya detektif:
a. Lakukan penelitian terhadap ketentuan pelaksanaan yang tegas yang
mewajibkan pengembang menyediakan lahan TPU dalam bentuk lahan
matang atau siap bangun dan luasnya sesuai.
b. Lakukan penelitian terhadap Berita Acara Serah Terima lahan untuk TPU
apakah penetapan lokasi dan luas telah sesuai dengan ijin yang diberikan
dan waktu penyerahannya dilaksanakan pada saat pengajuan site plan.

B. Pelayanan oleh BUMN/BUMD


1) Bidang Kelistrikan
(1) Investasi perusahaan untuk sarana pembangkit dan distribusi dan atau
pembelian listrik dari swasta terlalu mahal karena adanya unsur korupsi yang
menguntungkan oknum-oknum tertentu sehingga biaya investasi menjadi
tinggi. Hal ini akan berakibat pada mahalnya tarif listrik yang menjadi beban
konsumen.
Upaya-upaya preventif :
a. Penyelenggara tender harus melaksanakan tender secara transparan
sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Mewajibkan rekanan peserta tender membuat pernyataan yang mengikat
bahwa jika perusahaannya terbukti melakukan persaingan yang tidak
sehat, maka penawarannya akan dibatalkan;
c. Melibatkan lembaga auditor independen untuk melakukan audit khusus
(special audit) dalam menilai kewajaran nilai investasi.
Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian atas proses tender yang diikuti oleh sedikit peserta
atau prosesnya tidak terbuka;
b. Meneliti apakah Owners Estimate (OE) telah disusun sesuai ketentuan dan
menggambarkan perhitungan yang wajar ;
c. Meneliti kewajaran harga yang ditawarkan oleh rekanan calon pemenang
dengan membandingkannya dengan OE ;
d. Meneliti berkas penawaran para rekanan yang kalah untuk melihat adanya
unsur rekayasa ;
e. Meneliti berkas-berkas publikasi dan evaluasi penawaran yang dilakukan
oleh penyelenggara tender untuk menemukan indikasi pelanggaran prinsip
persaingan sehat ;

2) Bidang Transportasi
(1) Oknum petugas kereta api menagih ongkos di atas kereta api dari penumpang
yang tidak membeli karcis (penumpang gelap) tidak sesuai dengan ketentuan,
dan uangnya masuk ke kantong pribadi oknum tersebut.
Upaya-upaya preventif :
a. Diadakan pemeriksaan tiket sebelum penumpang naik ke Kereta Api ;
b. Untuk Kereta Api kelas eksekutif penjualan tiket sesuai dengan jumlah
tempat duduk ;
c. Penumpang tanpa tiket hendaknya diturunkan di stasiun terdekat ;
d. Untuk Kereta Api kelas eksekutif hendaknya ada catatan mengenai mutasi
penumpang dari tempat awal perjalanan sampai dengan tujuan akhir ;
e. Adanya ketentuan yang tegas disertai sanksi yang berat kepada petugas
yang berkolusi dengan penumpang yang membayar di atas Kereta Api
dengan tarif damai dan tidak menyetorkan hasilnya ke Kas Perusahaan ;
f. Adanya pengawasan yang ketat, konsekuen dan konsisten dari manajemen
kereta api kepada petugas dan penumpang untuk mematuhi ketentuan
yang telah ditetapkan ;
g. Disiapkan rangkaian gerbong kereta yang mencukupi bagi penumpang
dalam rangka menghindari penumpang yang berjubel-jubel disetiap
gerbong yang akhirnya akan menyulitkan petugas saat pemeriksaan karcis.
Upaya-upaya detektif :
a. Lakukan penelitian apakah jumlah penumpang pada setiap rangkaian
perjalanan telah sesuai dengan jumlah karcis terjual;
b. Lakukan penelitian terhadap mutasi penumpang untuk memastikan bahwa
seluruh penumpang telah membayar tiket sesuai ketentuan ;
c. Lakukan penelitian apakah pengawasan oleh manajemen telah dilakukan
secara periodik, kontinyu dan konsisten kepada petugas maupun
pengguna jasa kereta api.

(2) Pelayanan penjualan karcis kereta api terutama untuk trayek jarak jauh (kelas
eksekutif) kurang memuaskan karena banyaknya karcis/tiket yang dijual para
calo dengan harga tinggi, yang berindikasi berkolusi dengan oknum petugas
loket.

Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat kampanye anti calo secara besar-besaran dengan cara memasang
spanduk di tempat-tempat penjualan tiket atau tempat lain yang dianggap
strategis ;
b. Di setiap loket penjualan dijaga oleh petugas yang mengatur dan
mengawasi calon penumpang yang membeli tiket. Para petugas tersebut,
juga bertugas menertibkan para calo yang ikut antri membeli tiket ;
c. Para petugas tersebut pada butir b, rotasi penugasannya diatur untuk
mencegah terjadinya kolusi dengan para calo ;
d. Dibuat aturan dan sanksi yang tegas kepada petugas loket yang diketahui
menjual karcis kepada calo ;
e. Buka kotak saran/pengaduan di tempat-tempat yang strategis ;
f. Melakukan evaluasi secara berkala mengenai tata cara penjualan
karcis/tiket, agar diperoleh cara pelayanan yang lebih memuaskan dan
bebas percaloan.

Upaya-upaya detektif :
a. Lakukan penelitian di loket-loket penjualan/pemesanan tiket apakah
terdapat calo-calo yang ikut antri membeli tiket ;
b. Lakukan penelitian apakah para calo tersebut sudah saling mengenal
dengan petugas loket ;
c. Dengan menyamar sebagai calon penumpang, lakukan wawancara dengan
para calo, untuk mengetahui oknum petugas loket yang terlibat ;
d. Lakukan permintaan keterangan/konfirmasi kepada oknum petugas loket
yang dicurigai bekerjasama dengan calo, mengenai alasannya menjual
tiket kepada calo ;
e. Lakukan opname tiket terjual dengan uang yang diterima, serta sisa
tiket/tempat duduk yang masih tersedia ;
f. Lakukan pengecekan secara uji petik mengenai kebenaran identitas
penumpang dengan nama yang tercantum dalam tiket, dan teliti
penyebabnya jika terdapat perbedaan.
BAB III

UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REFRESIF

Penyelesaian atas kasus penyimpangan dilakukan secara proporsional sesuai peraturan


perundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing instansi. Setiap
tahap penyelesaian kasus harus dilakukan pemantauan perkembangannya. Pada dasarnya
setiap kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan
yang berlaku. Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan
perlu dilakukan pembinaan secara administratif dapat dilakukan penanganannya secara
internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus penyimpangan yang ditemukan
pada masing-masing unit kerja dari hasil langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal
sebagai berikut :
- Setiap kasus penyimpangan yang telah diidentifikasikan merugikan keuangan negara dari
langkah detektif agar didukung dengan bukti yang memadai termasuk
penjelasan/keterangan tertulis dari pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan
tersebut.
- Setiap kasus penyimpangan harus dilakukan pembahasan melalui pemaparan kasus
untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan
tersebut, jika perlu, menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan ada
tidaknya Tindak Pidana Korupsi/Perdata.

A. Penyelesaian Oleh Unit Kerja Terkait


1. Pelaksanaan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yang
ditemukan melalui :
a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP 30/1980 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.
b. pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi)
untuk instansi pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku yang selanjutnya
dituangkan dalam Surat Kesanggupan dari pejabat/petugas yang bertanggung
jawab.
2) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yang
sanksi TP/TGR-nya tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara
perdata;
3) Pimpinan instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang
diperlukan untuk menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.
2. Pemantauan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan sanksi administratif dan
pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) dan
atau ketentuan lainnya yang berlaku ;
2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian kasus
penyimpangan baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun TP/TGR dan atau
ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus kepada Instansi


Penyidik.
1. Pelaksanaan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus penyimpangan yang berindikasi
Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus perdata kepada
kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku ;
2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara hukum
dengan prinsip cepat, tepat dan efisien;
3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/unit kerja mengenakan sanksi
administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan atau peraturan lain yang berlaku
kepada pegawai yang telah dinyatakan bersalah;
4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasus
tindak pidana korupsi/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.
2. Pemantauan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus tindak pidana korupsi/perdata yang
diserahkan kepada instansi penyidik;
2) Pimpinan instansi/unit kerja yang melaporkan kasus tindak pidana
korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik disertai dengan
perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
LAMPIRAN

DAFTAR KASUS / PENYIMPANGAN


PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

No Uraian Halaman

1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah

1) Bidang Hukum & Peradilan

(1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat 13


penegak hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan
hukum yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi
klien yang sedang dibela.

(2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum/keamanan, dimintai 14


sejumlah dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli),
dengan alasan instansinya tidak memiliki dana operasional yang
cukup untuk memberikan pelayanan yang diminta.

(3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, 15


dirampok dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh
pihak yang berwajib, ketika hendak mengambil kendaraan miliknya
dari kantor pihak yang berwajib dikenakan biaya oleh oknum pihak
yang berwajib secara tidak sah. Di samping itu dalam banyak kasus
barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan tidak
lengkap

(4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan 17


Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang
memberatkan oleh oknum pihak yang berwajib

(5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris 17


dilaksanakan dengan jadual yang tidak pasti, mengambang dan
tidak jelas nama pejabat (Hakim, Panitera) yang ditugasi untuk
menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk satu urusan harus
dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga membuka
peluang penyelesaian secara kolusif

2) Bidang Keimigrasian

(1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasian 18


berbelit-belit dan diskriminatif, sehingga masyarakat cenderung
menggunakan jasa calo dengan konsekuensi mengeluarkan biaya
yang lebih besar dari ketentuan yang seharusnya. Terindikasi
adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang merugikan
masyarakat pemohon.

(2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan dokumen 19


keimigrasian, seperti paspor dan sebagainya (misalnya
pemotretan), dilakukan melalui kerja sama antara instansi imigrasi
dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara oknum pejabat
instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam menetapkan
biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih
mahal.

(3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar 20


negeri, petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa
memperhatikan dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas
berkolusi dengan calo supaya wajib pajak membayar fiskal dengan
tarif lebih murah dari tarif resmi kepada calo tanpa menerima bukti
pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan wajib pajak
melewati petugas yang telah berkolusi dengannya.
(4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) 21
yang berada di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah
diberikan ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum
petugas dengan tujuan TKA tersebut mau memberi sejumlah uang
kepada oknum dimaksud.
3) Bidang Keuangan
(1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa 21
memberikan sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum
petugas/pejabat pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut
berjalan cepat dan lancar. Dalam beberapa kasus terdapat
keadaan yang sebaliknya, di mana wajib pajak yang tidak
memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar restitusi
dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi.
(2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin 22
maupun Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika
tidak memberikan sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas
yang memberikan pelayanan
4) Bidang Ketenagakerjaan
(1) Kepada TKI yang meminta surat keterangan bebas fiskal, dipungut 23
sejumlah biaya tertentu oleh oknum pegawai yang memberikan
pelayanan surat keterangan tersebut.
(2) Orang asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang bekerja di Indonesia 24
tanpa izin, ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum
petugas dengan tujuan supaya TKA tersebut memberi sejumlah
uang.

(3) Uang titipan para TKI untuk pengurusan visa, airport tax, asuransi 25
dan biaya hidup di luar negeri disalahgunakan oleh oknum petugas
di instansi yang mengurus ketenagakerjaan.
5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana
(1) Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada 25
masyarakat yang seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan
memungut jasa pelayanan sejumlah kurang-lebih sama dengan
harga jual obat-obatan tersebut, tetapi hasil pungutan tidak disetor
ke kas negara.

(2) Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan 26


kesehatan di luar RSU, yang lebih memberikan keuntungan finansial
secara pribadi.
(3) Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya 27
pungutan yang tidak sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran
tenaga medis di Puskesmas, kurangnya kunjungan ke rumah
penduduk yang membutuhkan, ketidaksesuaian program
Puskesmas dengan kebutuhan masyarakat, dan penyalahgunaan
sarana Puskesmas.

6) Bidang Pendidikan
(1) Penilaian program studi dalam rangka akreditasi kepada 28
Perguruan Tinggi (PT) dilakukan oleh oknum asesor dari instansi
yang berwenang memberikan akreditasi secara tidak obyektif,
melainkan dengan cara tawar-menawar sejumlah uang.
(2) Pungutan biaya legalisasi ijazah dan berkas-berkas siswa yang 28
pindah sekolah oleh oknum instansi pendidikan yang berwenang.
(3) Bea siswa untuk mahasiswa tidak diterima penuh, tetapi dipotong 29
sejumlah tertentu dengan alasan untuk biaya administrasi,
padahal dana digunakan untuk keperluan taktis dan pribadi.

(4) Pembelian alat-alat peraga, kesenian dan olah raga untuk sekolah 30
dari dana proyek secara terpusat dengan harga tinggi (dimark-up)
tetapi berkualitas rendah, bahkan ada yang diarahkan pada merk
tertentu, sehingga cepat rusak dan tidak dapat dimanfaatkan
untuk proses belajar-mengajar secara memuaskan.
(5) Berbagai urusan yang berkaitan dengan kepentingan guru di 30
tingkat SD, SLTP, dan SMU yang meliputi urusan kepangkatan,
gaji, perpindahan, kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan,
pengesahan angka kredit dan lain-lain dipersulit oleh pejabat-
pejabat yang berwenang dengan cara-cara : menambah-nambah
persyaratan; birokrasi berbelit-belit; mengulur waktu
penyelesaian; dan cara-cara lainnya yang pada akhirnya
memaksa guru-guru mengeluarkan biaya.
(6) Dana Bantuan Operasional (DBO) yang diberikan kepada sekolah- 31
sekolah (untuk menutupi kekurangan biaya operasional sekolah),
oleh oknum instansi yang membawahkan sekolah-sekolah
tersebut diarahkan untuk membeli alat peraga, peta dan
sebagainya yang sebenarnya tidak diperlukan sekolah, dengan
cara berkolusi dengan rekanan. Dalam hal ini Sekolah hanya
menerima alat peraga, peta dan lain-lain bentuk barang, yang
pengadaannya dilakukan oleh oknum instansi atasan Sekolah
secara berkolusi dengan rekanan.
(7) Pungutan oleh oknum pimpinan sekolah kepada siswa pindahan 32
(8) Pengaturan Nilai Ebtanas Murni (NEM) oleh oknum pejabat yang 32
berwenang dengan imbalan tertentu dari orang tua murid dengan
tujuan agar murid dapat diterima di sekolah yang dianggap
favorit.
(9) Guru pengganti dan guru kontrak di suatu daerah tidak aktif 33
melaksanakan tugasnya tetapi menerima imbalan berupa honor,
biaya penempatan dan THR.
7) Bidang Pertanian/Pangan
(1) Beras Operasi Pasar Khusus (OPK) yang seharusnya hanya boleh 34
dijual kepada masyarakat miskin dengan harga subsidi
pemerintah, oleh oknum aparat pelaksana terkait dijual kepada
masyarakat umum dengan harga jauh lebih tinggi dari harga
subsidi pemerintah. Selisih harga tersebut dibagi-bagi kepada
oknum aparat pelaksana yang bersangkutan. Akibatnya tujuan
program pengentasan kemiskinan antara lain melalui OPK tidak
tercapai
8) Bidang Pertanahan
(1) Sertifikasi tanah milik masyarakat (misalnya tanah wakaf) 34
maupun milik pemerintah melalui satuan kerja/proyek-proyek di
instansi pemerintah uangnya diserahkan kepada instansi yang
berwenang melakukan sertifikasi, namun diterima oleh oknum
dan dimanfaatkan dulu secara pribadi. Akibatnya pelaksanaan
sertifikasinya menjadi terhambat, dan berakibat lebih lanjut pada
permintaan dana tambahan akibat adanya kenaikan tarif
pelayanan
(2) Prosedur pelayanan sertifikasi tanah dan tarif yang berlaku tidak 35
diinformasikan secara transparan kepada masyarakat yang
membutuhkan, sehingga memungkinkan oknum-oknum tertentu
yang berhubungan dengan pelayanan sertifikasi mengambil
keuntungan pribadi dengan cara memungut biaya-biaya tidak
resmi kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

(3) Pelaksanaan prosedur penerbitan Sertifikat tanah berbelit-belit, 36


pengurusannya tidak mudah dan prosesnya memakan waktu
lama, sehingga menyuburkan praktek-praktek percaloan
9) Bidang Pekerjaan Umum
(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan IMB berbelit-belit akibat 37
birokrasi yang kaku sehingga pengurusannya membutuhkan
waktu yang lama dan menimbulkan praktek percaloan yang
memperberat beban biaya bagi pihak pemohon.
(2) Oknum petugas yang berwenang dalam menertibkan bangunan 38
yang tidak memiliki IMB tidak tegas dan bahkan melakukan
pungutan-pungutan di luar ketentuan kepada para pemilik
bangunan yang tidak memiliki IMB.

10) Bidang Perhubungan


(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan SIM berbelit-belit sehingga 39
pengurusannya menjadi tidak mudah dan prosesnya memakan
waktu yang lama dan pada akhirnya makin menyuburkan praktek
percaloan.

(2) Pelaksanaan prosedur pengurusan STNK, BPKB dan BBN berbelit- 40


belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama yang
mengakibatkan timbulnya praktek pencaloan
(3) Terdapat pungutan-pungutan biaya formulir yang sangat mahal 41
dalam pengurusan STNK, BPKB dan BBN dan tidak jelas pungutan
tersebut untuk negara atau pihak-pihak tertentu
(4) Pelaksanaan prosedur pengurusan KIR dan Ijin Trayek berbelit- 42
belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama dan
menimbulkan percaloan.

(5) Parkir kendaraan bermotor di jalan umum, perkantoran dan 42


pertokoan sering dilayani oleh petugas yang tidak berseragam
dan berpenampilan kurang bersahabat, bahkan sering meminta
uang yang lebih besar tanpa disertai bukti pembayaran/karcis,
padahal masyarakat seharusnya merasa aman karena telah
mengeluarkan biaya. Dengan demikian patut dicurigai bahwa
penerimaan perparkiran ini tidak disetorkan ke pihak yang
kompeten dengan lengkap, bahkan sebagian besar berpotensi
bocor ke pihak-pihak tertentu
(6) Retribusi Dispensasi Pemakaian Jalan (RDPJ) yang dipungut oleh 44
pemerintah daerah setempat terlalu mahal dan diragukan bahwa
pemungutan retribusi tersebut disetor ke kas daerah karena
beberapa pemungutan retribusi tidak disertai dengan bukti
pembayaran.

11) Bidang Kependudukan


(1) Pelaksanaan pengurusan KTP atau Akte Kelahiran berbelit-belit, 45
prosesnya memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek
pencaloan yang bekerja sama dengan petugas pelayanan
12) Bidang Permukiman
(1) Terdapat tunggakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial 46
(fasos) yang merupakan kewajiban pengembang dengan nilai
yang sangat signifikan, tidak ditagih oleh instansi yang
berwenang, sehingga patut diduga terdapat kolusi antara pejabat
yang berwenang dengan para pengembang yang bersangkutan.

(2) Perusahaan pengembang diminta untuk menyerahkan lahan atau 47


uang yang sifatnya titipan sebagai biaya pembebasan tanah
dengan alasan untuk mempercepat proses penyelesaian ijin lokasi
dan penerbitan Site Plan pengembang. Uang titipan ini pada
akhirnya tidak jelas pertanggungjawabannya.
(3) Penyerahan luas lahan TPU oleh pengembang tidak sesuai 48
dengan luas menurut kewajibannya antara lain pengembang tidak
menyerahkan lahan, luas lahan kurang dari yang seharusnya, dan
lahan tidak siap bangun.
2. Pelayanan oleh BUMN/BUMD
1) Bidang Kelistrikan
(1) Investasi perusahaan untuk sarana pembangkit dan distribusi dan 48
atau pembelian listrik dari swasta terlalu mahal karena adanya
unsur korupsi yang menguntungkan oknum-oknum tertentu
sehingga biaya investasi menjadi tinggi. Hal ini akan berakibat
pada mahalnya tarif listrik yang menjadi beban konsumen.

2) Bidang Transportasi
(1) Oknum petugas kereta api menagih ongkos di atas kereta api dari 49
penumpang yang tidak membeli karcis (penumpang gelap) tidak
sesuai dengan ketentuan dan uangnya masuk ke kantor pribadi
oknum tersebut.
(2) Pelayanan penjualan karcis kereta api terutama untuk trayek 49
jarak jauh (kelas eksekutif) kurang memuaskan karena
banyaknya karcis/tiket yang dijual para calo dengan harga tinggi,
yang berindikasi berkolusi dengan oknum petugas loket.
Lampiran

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

TIM PENYUSUN

Pengarah : 1. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan


Pembangunan ;
2. Sekretaris Utama BPKP

Narasumber : 1. Sjahrudin Rasul ;


2. S. Herutomo ;
3. Pontas R. Siahaan ;
4. Imran ;
5. Atjeng Sastrawijaya ;
6. Joko Susilo

Penanggung jawab : Deputi Kepala BPO Bidang Investigasi


Agus Setiasena

Pembantu Penanggung jawab : Direktur Investigasi Hambatan Kelancaran Pembangunan


Gunawan Semedi

Ketua Tim : Teguh. W. Utomo

Anggota : 1. Djadja Sukirman ;


2. Aprinaldi ;
3. Dadang Budiawan ;
4. Djaenal Arifin ;
5. Suprayitno ;
6. Yohanes Sigit Subandriawan

Tim Perbantuan : 1. Wiharto ;


2. Bram Brahmana ;
3. Gatot Wibisono ;
4. I. G. Made Mandita

Anda mungkin juga menyukai