Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis

sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang

pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah

pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.

Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis

merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian

yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus

epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk

dari pusat osifikasi primer.

Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang

mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses

pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai

arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan

berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.

11
12

3.2 DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang

menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada

lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa

trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan

tulang klavikula atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan

arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat

menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut

patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat

menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

3.3 KLASIFIKASI

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan

dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur

tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit

diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi

menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta

ringannya patah tulang.


13

Derajat Luka Fraktur


I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen

minimal
II Laserasi >2 cm, kontusi otot Dislokasi fragmen jelas

disekitarnya
III Luka lebar, rusak hebat, atau Kominutif, segmental, fragmen

hilangnya jaringan di tulang ada yang hilang

sekitarnya

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tipe
Batasan

I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm


II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental

terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi,

fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan

fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh

Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):


14

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan

lunak yang luas


IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping

atau terjadi bone expose


IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat

kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal

tibia dibagi menjadi lima tipe :

Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya

masih utuh.

Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama

sekali dari metafisis.

Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi


15

Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram

epifisis

Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan

kematian dari sebagian cakram tersebut.

Menurut Penyebab terjadinya

Faktur Traumatik : direct atau indirect

Fraktur Fatik atau Stress

Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan

Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan

Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya

Fraktur Simple : fraktur tertutup

Fraktur Terbuka : bone expose

Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera

Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-

239) fraktur diklasifikasikan menjadi :

1. Berdasarkan garis patah tulang

a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.

b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.


16

c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.

d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tula

2. Berdasarkan bentuk patah tulang

a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan

fragmen tulang biasanya tergeser.

b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.

c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan


17

tulang lain.

d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.

e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa

bagian.

f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.

g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari

tempat yang patah.

h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang

normal.

i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.

3.4 ETIOLOGI
18

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana

trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi

terjadinya fraktur

Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,

arah dan kekuatan trauma.

Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,

kekuatan, dan densitas tulang.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur

transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai

dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti

dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.

Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik

trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada

olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau

metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.

Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada

penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur.

Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.

3.5 PATOFISIOLOGI FRAKTUR

Penyebab dari terjadinya fraktur antara lain karena adanya trauma dan kelemahan

abnormal pada tulang. Jika satu tulang sudah pata, maka jaringan lunak sekitarnya
19

juga rusak dan dapat menembus kulis sehingga dapat terjadi kontaminasi oleh

lingkungan pada tempat terjadinya fraktur. Cidera yang terjadi juga dapat

menimbulkan spasme otot dan adanya luka terbuka yang mengakibatkan

terpotongnya ujung-ujung syaraf bebas sehingga merangsang dikeluarkannya

bradikinin dan serotinin sehingga menimbulkan nyeri. Rusaknya jaringan lunak di

sekitar patah tulang dan terpisahnya periostium dari tulang menimbulkan

perdarahan yang cukup berat sehingga membentuk bekuan darah yang kemudian

menjadi jaringan granulasi di mana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik)

berdiferensiasi menjadi osteoblast dan kondroblast yang akan mensekresi fosfat

yang merangsang deposit kalsium sehingga terbentuk lapisan tebal (kalus) yang

terus menebal, meluas dan bersatu dengan fragmen tulang menyatu. Kalus tulang

akan mengalami remodelling dimana osteoblas akan membentuk tulang baru yang

akhirnya menjadi tulang sejati. (Smeltzer, 2002)

3.6 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :

1. Nyeri

Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen

tulang tidak bisa digerakkan.

2. Gangguan fungsi

Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung

menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur


20

karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang

tersebut saling berdekatan.

3. Deformitas/kelainan bentuk

Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang

diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.

4. Pemendekan

Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas

yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah

lokasi fraktur.

5. Krepitasi

Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur

digerakkan.

6. Bengkak dan perubahan warna

Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

3.7 DIAGNOSIS

Riwayat

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian)

dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera


21

atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia

konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi / Look

Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak

Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo

b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)

Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan

palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas

dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi

Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,

pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi

c. Gerakan / Moving

Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan

dengan lokasi fraktur.

d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis

Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut

protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan

circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat

disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka

dilakukan secondary survey.

Pemeriksaan Penunjang
22

Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test,

dan urinalisa.

Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :

I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral

II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur

III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang

cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali,

yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :

1. Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut

2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)

3. Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya

4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

3.8 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis

dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation

yaitu mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan

splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
23

sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple

trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah

hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah

dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik

reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat

dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu

dengan reposisi terbuka yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal

reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur

patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post

reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan

(shortening), fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan

sekitar
24

Jenis Fiksasi :

Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

Gips ( plester cast)

Traksi

Jenis traksi :

Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus

Skin traksi

Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan

kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan

kulit akan lepas

Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur,

lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat

terjadi pada pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12

kg, trauma saraf peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat

masuknya pin
25

Indikasi OREF :

Fraktur terbuka derajat III

Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

fraktur dengan gangguan neurovaskuler

Fraktur Kominutif

Fraktur Pelvis

Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

Non Union

Trauma multiple

Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


26

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini

adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

Indikasi ORIF :

a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya

fraktur talus dan fraktur collum femur.

b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur

dislokasi.

c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur

Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.

d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan

operasi, misalnya : fraktur femur.

c. UNION

d. REHABILITASI
27
28

3.9 PENYEMBUHAN FRAKTUR

Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :

1. Fase hematoma

Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang

melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah

fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma

yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat

mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi

ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.

Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur

akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin

avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal

Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi

penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik

yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada

daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis

medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka

penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak

berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan

fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi
29

pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari

tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi

pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari

fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada

pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan

suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel

dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk

tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan

perlengketan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang

yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan

radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik

pertama terjadinya penyembuhan fraktur.

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah

menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur

lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang

menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
30

remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi

proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan

menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi

sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk

membentuk ruang sumsum.


31

3.10 KOMPLIKASI FRAKTUR

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat

penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik

a. Komplikasi umum

Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan

gangguan fungsi pernafasan.

Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama

pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan

metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat

berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren

b. Komplikasi Lokal

Komplikasi dini

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,

sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut

komplikasi lanjut.
32

Pada Tulang

1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi

pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau

bahkan non union

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi

pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi

kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi

Pada Jaringan lunak

1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial

karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan

melakukan pemasangan elastik

2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh

karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang

menonjol

Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut

terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut

yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit
33

dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley

& Solomon,1993).

Pada pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan

pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan

perdarahan berhenti spontan.

Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma

atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan

mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan

intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri

yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh

vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi

(Apley & Solomon, 1993).

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada

tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler

sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada

pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan

terjadi edema dalam otot.

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat

menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan

fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur
34

volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor

(pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis

Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis

(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi

nervus (Apley & Solomon,1993).

Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada

pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau

perpanjangan.

Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada

pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung

fraktur,

Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20

minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)

Non union
35

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur

dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai

potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat

jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan,

proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum

yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi

yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi,

infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)

Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan

refraktur atau osteotomi koreksi .

Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada

fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union

(infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis

mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot

Kekakuan sendi
36

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,

sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,

perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek

waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan

kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Pustaka-1
    Daftar Pustaka-1
    Dokumen6 halaman
    Daftar Pustaka-1
    Galih Hayyu Salim Prasetyawan
    Belum ada peringkat
  • Multiple Fraktur
    Multiple Fraktur
    Dokumen52 halaman
    Multiple Fraktur
    Galih Hayyu Salim Prasetyawan
    Belum ada peringkat
  • Diphtheria Galih
    Diphtheria Galih
    Dokumen15 halaman
    Diphtheria Galih
    Galih Hayyu Salim Prasetyawan
    Belum ada peringkat
  • Surat Pengantar KKN
    Surat Pengantar KKN
    Dokumen1 halaman
    Surat Pengantar KKN
    Galih Hayyu Salim Prasetyawan
    Belum ada peringkat
  • Kista
    Kista
    Dokumen4 halaman
    Kista
    Galih Hayyu Salim Prasetyawan
    Belum ada peringkat
  • LP Kejang Demam
    LP Kejang Demam
    Dokumen25 halaman
    LP Kejang Demam
    rapani
    Belum ada peringkat
  • Als
    Als
    Dokumen5 halaman
    Als
    Nurwiati Dwi Putri
    Belum ada peringkat
  • Myelitis
    Myelitis
    Dokumen4 halaman
    Myelitis
    FadLyFide
    Belum ada peringkat