Anda di halaman 1dari 17

Administrasi Rumah Sakit :

Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Laboratorium Rumah Sakit

Irma Nur Khoiriah


101211131028
IKM A 2012
S1 KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan merupakan tempat kerja yang unik
dan sangat kompleks. Semakin luas pelayanan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan
semakin kompleks fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan. Kompleksitas tersebut membuat
rumah sakit mempunyai potensi bahaya yang besar baik bagi pasien, pekerja medis dan
nonmedis maupun bagi pengunjung rumah sakit.
Laboratorium merupakan salah satu pelayanan dan fasilitas dasar bagi rumah sakit.
Kegiatan yang ada di laboratorium mempunyai potensi bahaya yang cukup besar yang
berasal dari faktor biologis, fisik, kimia, ergonomi dan psikososial. Seiring dengan kemajuan
IPTEK, khususnya kemajuan teknologi laboratorium, maka resiko yang dihadapi petugas
laboratorium di rumah sakit akan semakin meningkat.
Petugas laboratorium merupakan orang pertama yang terpajan bahan biologi dan
kimia yang merupakan bahan toksik korosif, mudah meledak dan terbakar. Selain itu dalam
pekerjaannya menggunakan alat-alat yang mudah pecah, berionisasi dan radiasi serta alat-
alat elektronik dengan voltase yang mematikan, dan melakukan percobaan dengan penyakit
yang dimasukan ke jaringan hewan percobaan.
Oleh karena itu, pihak pengelola rumah sakit harus menerapkan upaya-upaya
kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit (K3RS) dengan efektif, efisien dan terpadu.
Salah satu dari upaya tersebut adalah upaya kesehatan dan keselamatan kerja
laboratorium. Upaya tersebut meliputi pengontrolan bahaya kimia, biologi, radiasi, dan
mekanikal serta penggunaan alat pelindung diri (APD).
TINJAUAN PUSTAKA

Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk
dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang menimbulkan dampak
kesehatan, tidak hanya terhadap pekerja medis maupun nonmedis, tapi juga terhadap
pasien dan pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pengelola RS menerapkan upaya-
upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di RS.
K3 merupakan upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan
derajat kesehatan dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK),
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Konsep dasar K3 RS adalah upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien,
pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah
sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien,
pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar rumah
sakit.

Program K3RS

Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan


serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan
masyarakat serta lingkungan sekitar rumah sakit.
Kinerja setiap petugas pekerja kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan
dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Program K3RS
yang harus diterapkan adalah :

1. Pengembangan kebijakan K3RS


2. Pembudayaan perilaku K3RS
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS
4. Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure (SOP) K3RS
5. Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja
6. Pelayanan kesehatan kerja
7. Pelayanan keselamatan kerja
8. Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair, gas
9. Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya
10. Pengembangan manajemen tanggap darurat
11. Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3
12. Review program tahunan
Kebijakan pelaksanaan K3

Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi,
namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit
dan kecelakaan akibat kerja. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan pelaksanaan K3
yang bertujuan untuk mendukung ketercapaian program K3. Kebijakan pelaksanaan K3
tersebut antara lain :
1. Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan RS
2. Menyediakan Organisasi K3 di rumah sakit
3. Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah sakit
4. Membudayakan perilaku K3 di rumah sakit
5. Meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit
kerja di rumah sakit
6. Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit

Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit

Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sarana,


prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan kerja yang dilakukan :
1. Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana, prasarana, dan
peralatan kesehatan
2. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap pekerja
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
4. Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
5. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja
6. Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja
7. Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan tempat
kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan/keamanan
8. Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
9. Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan Kebakaran
(MSPK)
10. Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan
kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di
wilayah kerja kerja Rumah Sakit
Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya

Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
1. Kategori B3
Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar,
Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik, Mutagenic, Arus
listrik.
2. Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3
a. Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk mengenal ciri-
ciri dan karakteristiknya.
b. Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan
sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani
sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi
c. Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang
dilakukan meliputi pengendalian operasional, pengendalian organisasi
administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan proses kerja
yang aman, pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah
ambang.
d. Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya
3. Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya
Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang yang
diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan proposal berikut
company profile. Informasi yang diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari
material atau produk, kapabilitas rekanan, harga, pelayanan, persyaratan K3 dan
lingkungan serta informasi lain yang dibutuhkan oleh rumah sakit.
Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan,
mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic sebagai unit
pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang yang
diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan melakukan proses seleksi, dibuat
form seleksi yang memuat kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta
sistem penilaian untuk masing-masing criteria yang ditentukan.
Standar SDM K3 di Rumah Sakit

Kriteria tenaga K3
1. Rumah Sakit Kelas A
a. S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
b. S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
c. Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran Okupasi
minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai
K3 RS
d. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
e. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang
dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
f. Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
g. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang
h. Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan
khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
i. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 2 orang
2. Rumah Sakit Kelas B
a. S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS
b. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
c. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang
dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
d. Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
e. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
f. Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan
khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
g. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 1 orang
3. Rumah Sakit kelas C
a. Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat
pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
b. Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang
dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS
c. Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
d. Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 1 orang

Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan

1. Pembinaan dan pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang. Pembinaan dan
pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Pembinaan dapat
dilaksanakan antara lain dengan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu
konsultasi.
Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit
dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal, yang dilakukan oleh pimpinan
langsung rumah sakit yang bersangkutan, dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh
Menteri kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan tugasnya
masing-masing.
2. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3 secara tertulis dari
masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan K3RS secara keseluruhan yang
dilakukan oleh organisasi K3RS, yang dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh
organisasi K3RS, ke Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah Rumah Sakit.
Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah menghimpun dan
menyediakan data dan informasi kegiatan K3, mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan
kegiatan K3; mencatat dan melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan
melaksanakan pelaporan kegiatan K3.
Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan tahunan) dilakukan
sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan
yang dilakukan sewaktu-waktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan
K3. Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat dan
melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang tercakup di dalam :
a. Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan lingkungan
rumah sakit.
b. Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya penanggulangan dan
tindak lanjutnya.

Manajemen K3 RS

Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS, pasien, serta
pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja RS yang sehat,
aman dan nyaman termasuk pemukiman masyarakat sekitarnya.
Langkah manajemen:
1. Komitmen dan Kebijakan
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan
mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS
mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti
pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS.
Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam struktur
organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS, perlu
disusun strategi antara lain :
a. Advokasi sosialisasi program K3 RS.
b. Menetapkan tujuan yang jelas.
c. Organisasi dan penugasan yang jelas.
d. Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja di
lingkungan RS.
e. Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f. Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif
g. Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan
dan pencegahan.
h. Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.
2. Perencanaan
RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan meliputi:
a. Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko.
Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk
menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan
penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya
risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang
menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
b. Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4 tingkatan yakni
menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana atau
peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah bahkan tidak ada risiko
sama sekali, administrasi, dan alat pelindung pribadi (APP).
c. Membuat peraturan.
Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar Operasional
Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui, serta harus
dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan pihak yang
terkait.
d. Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)
e. Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3
dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian
SMK3 RS.
f. Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan
dicatat serta dilaporkan.

3. Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan
kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.
a. Tugas pokok unit pelaksana K3 RS
1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan
dan prosedur.
3) Membuat program K3 RS
b. Fungsi unit pelaksana K3 RS
1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya
promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.
3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan
sesuai kegiatannya.
8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung dan proses.

Struktur Organisasi K3 RS

Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan


merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur RS. Hal ini
dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan, biaya, logistik
dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3 RS, yang dibantu
oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS.

Keanggotaan:
a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran
direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3.
b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan
anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta
anggota.
c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di
RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS.
d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3
RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).
DISKUSI

Sebagai seorang manajer, agar kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium


rumah sakit berjalan dengan efektif, maka harus memperhatikan pengorganisasian untuk K3
laboratorium RS, sistem informasi K3 laboratorium RS, pengontrolan bahaya kimia, biologis,
radiasi, mekanis, alat pelindung diri, desain laboratorium dan monitoring bahaya di
laboratorium.
Laboratorium Kesehatan adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pengukuran,
penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan yang
bukan berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi
kesehatan dan faktor yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan perorangan dan
masyarakat.
1. Disain laboratorium harus mempunyai sistem ventilasi yang memadai dengan
sirkulasi udara yang adekuat.
2. Disain laboratorium harus mempunyai pemadam api yang tepat terhadap
3. bahan kimia yang berbahaya yang dipakai.
4. Kesiapan menghindari panas sejauh mungkin dengan memakai alat pembakar gas
yang terbuka untuk menghindari bahaya kebakaran.
5. Untuk menahan tumpahan larutan yang mudah terbakar dan melindungi tempat yang
aman dari bahaya kebakaran dapat disediakan bendungbendung talam.
6. Dua buah jalan keluar harus disediakan untuk keluar dari kebakaran dan terpisah
sejauh mungkin.
7. Tempat penyimpanan di disain untuk mengurangi sekecil mungkin risiko oleh bahan-
bahan berbahaya dalam jumlah besar.
8. Harus tersedia alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaam (P3K)

Organisasi K3 laboratorium RS

Persyaratan pertama agar program K3 laboratorium RS efisien adalah perintah yang


jelas, dengan adanya misi institusi, standar dasar, peran dan tanggung jawab dari seluruh
tingkat dalam organisasi.
Administrasi berperan dalam keselamatan dari lingkungan kerja, memastikan
akomodasi, fasilitas, keuangan rumah sakit, dan legal responsibilities berjalan dengan baik.
Depertemen dan unit kepala berperan memonitor program K3 laboratorium RS dan
memastikan supervisor telah melaporkan pelaksanaan kebijakan K3. Supervisor dan
investigator berperan untuk memastikan pelaksanaan dari kebijakan K3 dan melaporkan
hasilnya kepada departemen dan unit kepala departemen. Pekerja laboratorium berperan
mematuhi kebijakan dan prosedur kerja yang telah ditetapkan agar tidak terjadi kecelakaan
kerja. Komite K3 berperan sebagai tulang punggung kesuksesan program K3, komite harus
selalu mamantau, dan menginspeksi langsung kegiatan yang adda di laboratorium. Dan
manajer K3 berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3.

Sistem Informasi K3 laboratorium

Laboratorium yang merupakan pusat dari bahan kimia dan biologis yang berbahaya,
harus melakukan labeling dengan pelabelan MSDSs. Selain itu harus ada pelatihan K3
laboratorium agar pekerja selalu waspada terhadap bahaya dalam laboratorium.

3 Komponen Kesehatan kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan dari
tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang
dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi
maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan
produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah
kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan
menurunkan produktivitas kerja.
1. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum
memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 3040%
masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35%
kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak
memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal.
Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian
besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai
banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering
mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
2. Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis
beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada
laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilir dan tugas/jaga malam. Pola kerja
yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya
perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban
kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif
rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara
berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.
3. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi
kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident),
Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease &
Work Related Diseases).

Penyakit Akibat Kerja & Penyakit Akibat Hubungan Kerja di laboratorium RS

Penyakit akibat kerja di laboratorium kesehatan umumnya berkaitan dengan faktor


biologis (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien); faktorkimia (pemaparan
dalam dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada kulit, zat kimia/solvent yang
menyebabkan kerusakan hati; faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien
salah); faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi,
radiasi dll.); faktor psikologis (ketegangan di kamar penerimaan pasien, gawat darurat,
karantina dll.)
1. Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya strain
kuman yang resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang
bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar
melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi
pekerja hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk
jarum yang terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi. Secara
teoritis kemungkinan kontaminasi pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter di RS
mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada dokter yang praktek
pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah yang infeksius
senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen, debu beracun mempunyai
peluang terkena infeksi Pengembangan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium.
Pencegahan :
a. Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan, epidemilogi
dan desinfeksi.
b. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan dalam
keadaan sehat badani, punya cukup kekebalan alami untuk bekerja dengan bahan
infeksius, dan dilakukan imunisasi.
c. Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang benar (Good Laboratory
Practice)
d. Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang benar.
e. Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan infeksius dan
spesimen secara benar
f. Pengelolaan limbah infeksius dengan benar
g. Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
h. Kebersihan diri dari petugas.
2. Faktor Kimia
Petugas di laboratorium kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan
obat-obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan
dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua
bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada
umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena
alergi (keton). Bahan toksik ( trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau
terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian.
Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible
pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :
a. Material safety data sheet (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada untuk
diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
b. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah
tertelannyabahan kimia dan terhirupnya aerosol.
c. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan, celemek, jas
laboratorium) dengan benar.
d. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan lensa.
e. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
3. Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses
dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk
terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi
yang setinggi-tingginya.
Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua pendekatan
tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja
dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini
disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya tidak
sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat
menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka
panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang
paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain)
4. Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan
kerja meliputi:
a. Kebisingan, getaran akibat mesin dapat menyebabkan stress dan ketulian
b. Pencahayaan yang kurang di ruang kamar pemeriksaan, laboratorium, ruang
perawatan dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan
kecelakaan kerja.
c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
d. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
e. Terkena radiasi
Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya
meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang
menangani.
Pencegahan :
a. Pengendalian cahaya di ruang laboratorium.
b. Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup memadai.
c. Menurunkan getaran dengan bantalan anti vibrasi
d. Pengaturan jadwal kerja yang sesuai.
e. Pelindung mata untuk sinar laser
f. Filter untuk mikroskop
5. Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat
menyebabkan stress :
a. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati
seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan di tuntut untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahan-
tamahan
b. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
c. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama
teman kerja.
d. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sector formal ataupun
informal.
SIMPULAN

Rumah sakit sebagai institusi yang menyediakan pelayanan kesehatan bagi


masyarakat merupakan tempat kerja yang sangat kompleks dan memiliki potensi bahaya
yang besar bagi pekerja medis dan nonmedis, pasien maupun pengunjung rumah sakit.

Upaya-upaya kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit (K3RS) dapat


meminimalisir potensi bahaya rumah sakit. Upaya tersebut memerlukan manajemen K3
yang baik, meliputi kebijakan, perencanaan dan pengorganisasian.

Kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium rumah sakit merupakan salah satu
implementasi K3RS. Untuk dapat menjalankan K3 laboratorium RS dengan efektif dan
efisien seorang manajer harus memperhatikan pengorganisasian untuk K3 laboratorium RS,
sistem informasi K3 laboratorium RS, pengontrolan bahaya kimia, biologis, radiasi, mekanis,
alat pelindung diri, desain laboratorium dan monitoring bahaya di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA

Wolper, L.F., 2011. Health care administration: managing organized delivery system. 5th ed.
Canada: Jones and Barlett publisher.
Dunn, R.T., 2002. Haimanns healthcare management. 7th ed. Chicago: Health
Administration Press.
Charney, W.ed., 2010. Handbook of modern hospital safety. Boca Raton: CRC Press-Taylor
& Francis Group.
Robson, L.S., et al. 2007. Review the effectiveness of occupational health and safety
management system interventions: A systemic review. Safety science 45, pp.329-353.
Bakti Husada, 2009. Standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS). [pdf]
Available at < http://www.depkes.go.id/downloads/Standart%Kesehatan20dan%20
Keselamatan%20Kerja%20di%20Rumah%20Sakit%20(K3RS).PDF> [Accessed 11
October 2013]

Anda mungkin juga menyukai