Adapun Faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkena nya artritis
reumatoid adalah;
Jenis Kelamin.
Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki. Perbandingannya adalah 2-3:1.
Umur.
Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun penyakit ini
juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis reumatoid juvenil)
Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis Reumatoid maka
anda kemungkinan besar akan terkena juga.
Merokok.
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.
2. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
4. Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh
adanya darah yang membeku.
5. Terjadi splenomegali.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11. Alih
bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC
Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of
Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA
(Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange,
International Edition, Connecticut 2005, 729-32.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC. 2002.
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta :
EGC
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius
Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2.
Jakarta: EGC
KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS
BAB I
PENDAHULUAN
Artritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimmune yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi adalah target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah poliarthritis
simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan synovial sendi,
AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata.
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan,
dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progresifitas penyakit.
Terdapat berbagai prevalensi kasus AR di daerah di Indonesia. Hasil survey yang dilakukan di
Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Di
poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus
AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%).
Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan
rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan
pada decade keempat dan kelima.
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1
Wanita 40 tahun, perokok, datang berobat kepada seorang GP dengan keluhan nyeri pangkal jari-
jari tangan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan selanjutnya, sendi yang nyeri dan bengkak, serta kemerahan,
teraba hangat, pada kedua tangan di metacarpophalangeal . pasien sedang minum obat-obat tbc dalam
6 bulan ini.
Sesi 2
Pada pemeriksaan lebih lanjut, ternyata pagi hari sendi-sendi pangkal jari tangan kiri dan kanan
kaku lebih dari ! jam. Rupanya keluhan tersebut telah berlangsung sekitar 2 bulan. Pasien sudah minum
obat-obat rematik sendiri.
BAB III
PEMBAHASAN
Nama : X
Umur : 40 tahun
Status perkawinan : -
Alamat : -
Agama : -
3.2 ANAMNESIS
aan : perokok, sedang minum obat-obat tbc dalam 6 bulan ini, sudah minum obat-obat rematik sendiri.
Ini untuk mengindikasikan apakah pasien sakit reumatoid artritis, osteoartritis ataukah gout, karena
pada ketiga penyakit tersebut memiliki sifat nyeri yang berbeda dimana reumatoid artritis lebih sering
terjadi pada pagi hari sedangkan pada osteoartritis terjadi setelah melakukan suatu aktivitas tertentu
dan gout lebih sering terjadi pada sore hari tanpa didahului oleh aktivitas tertentu.
Pada saat nyeri berlangsung, apakah daerah nyeri tampak bengkak, hangat dan merah atau tidak ?
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa jika pada daerah nyeri tampak bengkak, hangat dan merah ini
menandakan bahwa adanya inflamasi. Dan inflamasi dapat terjadi pada reumatoid artritis dan gout.
Hal ini untuk mengindikasikan perjalanan penyakit antara akut ataukah kronis.
Jika nyeri simetris biasanya terjadi pada reumatoid artritis sedangkan jika asimetris kemungkinannya
osteoartritis dan gout.
Suhu :-
Denyut Nadi :-
Tekanan Darah :-
Pernapasan :-
Faktor reumatoid
Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif dapat diulang
setelah 6-12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapap penyakit seperti ;
SLE ,sklerodema, penyakit keganasan,sarkoidosis, infeksi (virus,parasit atau bakteri)
C-reactive protein
Umumnya meningkat sampai . 0,7 picogram/mL. Bisa digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit
Terlihat adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto pergelangan
tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar,sebagai pembanding dalam penelitian
selanjutnya.
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, tampilan struktur
sendi lebih rinci
Dilakukan jika diagnosa meragukan . pada AR tidak ditemukan kristal kultur negatif dan kadar glukosit
rendah.
Hb 12 g%.
Nilai normal Hb pada wanita dewasa adalah 11,5 - 16,5 g/dl). Maka, kadar Hb pada pasien ini masih
dalam batas normal.
Nilai normal leukosit adalah 5000 - 10000/mm3. Maka, kadar leukosit pada pasien ini masih dalam batas
normal.
Differential count : 0/2/2/70/20/6. Secara keseluruhan nilai basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil
segmen, limfosit, dan monosit adalah normal pada pasien ini.
Pada awalnya American College of Rheumatology mendefinisikan criteria sebagai acuan untuk
menegakkan diagnosis RA, tetapi pada tahun 2010 dilakukan revisi terhadap criteria tersebut.
American College of Rheumatology telah didefinisikan (1987) kriteria berikut untuk klasifikasi
Rheumatoid Arthritis:
1. Arthritis dan jaringan lunak pembengkakan> 3 dari 14 sendi / kelompok bersama, hadir selama minimal
6 minggu
2. Arthritis sendi tangan (metacarpophalanx dan proximal interphalanx) , hadir selama minimal 6 minggu
Score
A. Joint involvement
1 large joint 0
D. Duration of symptoms
<6 weeks 0
6 weeks 1
* Kriteria tersebut ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Selain itu, pasien dengan penyakit erosif
khas rheumatoid arthritis (RA) dengan sejarah yang kompatibel dengan pemenuhan sebelumnya dari
kriteria 2010 diklasifikasi sebagai pengidap penyakit RA. Pasien dengan penyakit menetap, termasuk
mereka yang penyakitnya tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data
retrospektif, sebelumnya telah memenuhi kriteria tahun 2010 harus diklasifikasikan sebagai memiliki RA.
Diagnosa Diferensial bervariasi antara pasien dengan presentasi yang berbeda, dapat
mencakup kondisi seperti SLE, arthritis psoriasis, dan asam urat. Jika tidak
jelas tentangdiagnosa diferensial yang relevan untuk dipertimbangkan, harus dikonsultasikan harus
dikonsultasikan kepada ahli rheumatologist.
Walaupun pasien dengan skor <6/10 tidak diklasifikasikan sebagai memiliki RA, status
merekadapat ditinjau kembali dan kriteria dapat dipenuhi secara kumulatif dari waktu ke waktu.
Sendi yang terlibat mengacu pada setiap sendi yang bengkak atau sendi tender pada pemeriksaan
yang dapat dilihat dengan gambar sinovitis. Sendi interphalangeal distal, sendi carpometacarpal
pertama, dan sendi metatarsophalangeal pertama dikecualikan dari penilaian. Kategori distribusi
gabungan diklasifikasikan sesuai dengan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, dengan penempatan ke
dalam kategori tertinggi yang mungkin didasarkan pada pola keterlibatan sendi.
Sendi besar mengacu kepada sendi bahu, sendi panggul, sendi lutut, dan sendi pergelangan kaki.
** Dalam kategori ini, setidaknya 1 dari sendi yang terlibat berupa sendi kecil, sendi lainnya dapat
mencakup kombinasi dari sendi besar dan tambahan sendi kecil, serta sendi lain tidak secara khusus
tercantum di tempat lain (misalnya, temporomandibular, acromioclavicular, sternoklavikularis , dll).
negatif mengacu pada nilai-nilai IU yang kurang dari atau sama dengan batas atas normal (ULN)
untuk uji laboratorium dan assay, low-positif mengacu pada nilai-nilai IU yang lebih tinggi dari ULN
tetapi 3 kali ULN untuk uji laboratorium dan assay, high-positif mengacu pada nilai-nilai IU yang> 3 kali
ULN untuk uji laboratorium dan assay. Dimana Informasi faktor rheumatoid (RF) hanya tersedia positif
atau negatif, hasil positif harus mencetak low-positif untuk RF. ACPA = anti-citrullinated protein
antibodi.
Normal / abnormal ditentukan oleh standar laboratorium lokal. CRP = C-reactive protein, ESR = laju
endap darah.
Durasi gejala mengacu pada laporan-diri pasien durasi tanda-tanda atau gejala sinovitis (misalnya
nyeri, pembengkakan, tender) sendi yang terlibat pada saat penilaian klinis, terlepas dari status
pengobatan.
Osteo arthritis
Gout arthritis
Polimialgia reumatik
3.6 PENATALAKSANAAN
- Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi
Asimptomatik:
- Memberikan pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya dan siapa saja
yang berhubungan dengan penderita.
- Istirahat merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang hebat.
- Latihan Fisik dan Termoterapi Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi
sendi.
Simptomatik :
Pemberian obat adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan penyakit
reumatik. Pemberian OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
Prednison (glukokortikosteroid) kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan
dapat memperlambat kerusakan sendi. Atau pemakaian obat-obatan golongan DMARD, seperti
leflunomide, infliximab, dan etanercept. Sulfasalazin atau hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat sering
digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin
digunakan sebagai terapi lini pertama.
3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Karena pada penyakit rheumatoid artritis tidak merusak organ-organ vital yang menyebabkan kematian.
Karena hasil reumatoid faktornya masih negatif dan belum ditemukan tanda-tanda destruksi tulang,
kartilago, fibrosis dan belum Ada komplikasi yang timbul akibat ra Nya pada pasien ini.
Karena kemungkinan penyebab Utama pada kasus ini adalah penyakit TBC yang mencetuskan terjadinya
rheumatoid artritis, apabila penyakit tbcnya diberikan terapi secara adekuat dan pasien menjaga Gaya
hidup yang sehat maka kemungkinan rekurensidari penyakit tbc sebagai penyebab ra pada kasus ini
dapat dicegah.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 AUTOIMUNITAS
4.11 Definisi
1. Autoimunitas didefiniskan sebagai respon imun yang melawan antigen diri. Faktor-faktor yang berperan
dalam mengembangkan autoimunitas adalah kerentanan gen dan lingkungan, seperti infeksi.2
1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi pada organ spesifik; contoh : Thiroiditis,
dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-antibodi terhadap pankreas;
sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-
antibodi terhadap usus.
2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi yang tidak terbatas pada
satu organ.
Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatoid, vaskulitis sistemik dan scleroderma,
dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ.
4.2 KASUS RHEUMATIK
- Reumathoid Arthritis
Penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini
merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang
walaupun mengenai jaringan persendian, sering kali juga melibatkan organ tubuh lainnya.1
- Gout arthritis
Penyakit yang sering tersebar di seluruh dunia. Gout arthritis merupakan kelompok penyakit heterogen
sebagai akibat deposisi Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat super saturasi asam urat di
dalam cairan ekstra seluler.2
- Osteo arthritis
Penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut,
dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.3
- Polimialgia reumatik
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan kekakuan yang terutama
menyerang ekstremitas proximal, leher, bahu, dan panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau
lanjut usia, sekitar 50 tahun ke atas.
Arthritis Reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dam
progresif, dimana sendi merupakan target utama. Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti tapi
ada beberapa factor yang dianggap mencetuskan penyakit ini yaitu factor genetic, hormone sex, protein
heat shock(HSP) dan beberapa factor resiko.
a. Factor genetic
Terdapat interaksi yang kompleks antara factor genetic dan lingkungan. Factor grnrtic berperan penting
terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-
DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga
berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode activator
reseptor nuclear factor kappa B. gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR.
b. Hormone sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormone sex
berperanan dalam perkembangan penyakit ini.
HSP adalah keluarga protein yang di produksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon homolog
terhadap stress. Protein ini mengandung untaian asam amino. HSP tertentu manusia dan HSP
mikobaktrium tuberculosis mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibody dan
sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi kemiripan molekul (molecular mimicry).
d. Factor resiko
Factor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok,
sering mengonsumsi kopi decaffeinated.
4.4. PATOGENESIS
Patogenesis
Arthritis rheumatoid adalah penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenerasi jaringan ikat.
Peradangan (inflamasi) pada AR terjadi secara terus-menerus terutama pada organ sinovium dan
menyebar ke struktur sendi di sekitarnya seperti tulang rawan, kapsul fibrosa sendi, ligamen dan
tendon. Inflamasi ditandai dengan penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen, fagositosis
ekstensif dan pembentukan jaringan granular. Inflamasi kronik menyebabkan hipertropi dan penebalan
pada membran sinovium, terjadi hambatan aliran darah dan nekrosis sel dan inflamasi berlanjut
Inflamasi menyebabkan pelepasan berbagai protein sitokin. Sitokin memiliki fungsi antara lain
memelihara keseimbangan tubuh selama terjadi respon imun, infeksi, kerusakan, perbaikan jaringan,
membersihkan jaringan mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan. Jika produksi sitokin
meningkat, kelebihan sitokin dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada sendi saat inflamasi AR.
Sitokin yang berperan penting pada AR antara lain adalah IL-1, IL-6, TNF- dan NO. Nitrit oksida,
diketahui dapat menyebabkan kerusakan sendi dan berbagai manifestasi sistemik
Leukosit adalah bagian sistem imun tubuh yang secara normal dibawa ke sinovium dan
menyebabkan reaksi inflamasi atau sinoviositis saat antigen berkenalan dengan sistem imun. Elemen-
elemen sistem imun (gambar 1) dibawa ke tempat antigen, melalui peningkatan suplai darah (hiperemi)
dan permeabilias kapiler endotel, sehingga aliran darah yang menuju ke lokasi antigen lebih banyak
membawa makrofag dan sel imun lain.
Saat inflamasi leukosit berfungsi menstimulasi produksi molekul leukotriens, prostaglandin (membuka
pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah) dan NO (gas yang berperan dalam fleksibilitas dan
dilatasi pembuluh darah, dalam jumlah yang tinggi merupakan substansi yang berperan besar pada
berbagai kerusakan AR) (Visioli 2002).
Peningkatan permeabilitas vaskular lokal menyebabkan anafilatoksin (C3, C5). Local
vascular pada endotel melepas NO dengan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, ekspresi
molekul adhesi pada endothel, pembuluh darah, ekspresi molekul MHC kelas II dan infiltrasi sel neutrofil
dan makrofag
Inflamasi sinovial dapat terjadi pada pembuluh darah, yang menyebabkan hiperplasia sel
endotel pembuluh darah kecil, fibrin, platelet dan inflamasi sel yang dapat menurunkan aktivitas
vaskuler pada jaringan sinovial. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah dan berakibat pada
peningkatan metabolisme yang memacu terjadinya hipertropi (bengkak) dan hiperplasia (membesar)
dan sel dalam keadaan hipoksia (gambar 2). Sel yang hipoksia dalam sinovium berkembang menjadi
edema dan menyebabkan multiplikasi sel sinovial. Sel pada sinovium tumbuh dan membelah secara
abnormal, membuat lapisan sinovium menebal, sehingga sendi membesar dan bengkak
Interaksi antara antibodi dan antigen menyebabkan perubahan komposisi cairan sinovial, cairan sinovial
kurang mampu mempertahankan fungsi normal dan bersifat agresif-destruktif. Respons dari perubahan
dalam sinovium dan cairan sinovial, menyebabkan kerusakan sejumlah besar sendi dan jaringan lunak
secara bertahap berdasarkan fase perkembangan penyakit (tabel 1)
Destruksi yang terjadi pada tulang menyebabkan kelemahan tendon dan ligamen, perubahan
struktur tulang dan deformitas sendi sehingga mempengaruhi aktivitas harian dan menghilangkan fungsi
normal sendi. Destruksi dapat terjadi oleh serangan panus (proliferasi sel pada lining sinovial) ke
subkodral tulang. Destruksi tulang menyebabkan area hialin kartilago danlining synovial tidak dapat
menutupi tulang, sendi dan jaringan lunak.
Tahap lebih lanjut, terjadi kehilangan struktur artikular kartilago dan menghasilkan instabilitas
terhadap fungsi penekanan sendi, menyebabkan aktivitas otot tertekan oleh destruksi tulang, lebih jauh
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sendi yang bersifat ireversibel dan dapat terjadi
perubahan degeneratif terutama pada densitas sendi. Destruksi dapat menyebabkan terbatasnya
pergerakan sendi secara signifikan, ditandai dengan ketidak stabilan sendi.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus pasien wanita ini, keluhan nyeri pada persendian jari-jari tangannya yang disertai
pembengkakan dan inflamasi menunjukkan gejala rematik, yang mengacu kepada Reumathoid Artritis.
Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan sejumlah indicator
Reumathoid Artritis, walaupun skor berdasarkan klasifikasi ACR-EULAR 2010 belum menunjukkan angka
6. Gejala reumatik yang ditimbulkan lebih dikarenakan adanya pemicu berupa infeksi bakteri
tuberculosis, sehingga tatalaksana pada pasien ini adalah bersifat simtomatik untuk menyembuhkan
tuberkulosisnya serta gejala nyeri, namun tidak diberikan TNF blocker karena mengurangi daya
opsonisasi pada pathogen tuberculosis.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. In: Suarjana
I.N. Artritis Reumatoid. Edisi ke-5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. P. 2495-2513.
American College of Rheumatology. 1987 Criteria for the Classification of Acute Arthritis of
Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari: http://www.rheumatology.org. Diakses 23 september 2012
American College of Rheumatology. The 2010 ACR-EULAR classification criteria for rheumatoid
arthritis. Diunduh dari: http://www.rheumatology.org. Diakses 23 september 2012
Daud R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. In: Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p. 1174.
Daud R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. In: Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p. 1208.
Daud R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. In: Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p. 1195.
Abbas KA, Lichtman AH. Basic Immunology. 2nd ed. Philadelphia: Independences Square West; 2004.
p. 182.
Helbert M. Flesh and Bones of Immunology. Elseivers Health Sciences Right Departement; 2006. p. 82