b. Pengertian Wahyu
Secara konseptual, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang
lebih populer seperti Al-Kitab, Al-Quran, Risalah, dan Balagh. Dalam
terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-
Quran. Al-Quran adalah kitab dan Firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi
SAW. dengan demikian wahyu menurut konsepsi Al-Quran, merupakan parole
tuhan, wahyu sama dengan firman Tuhan (kalam Allah.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa
wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
pelantara maupun tanpa pelantara.
b. Menurut Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
fungsi akal. Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan
segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang,
baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya
ialah wahyu Allah SWT yakni Al-Quran dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW
sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan dijelaskan
oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Quran
atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang
diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits. Kekuatan
akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta
mendekatnya kepada alam pikiran.
Jadi fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan
penjelas dalil-dalil Al-Quran , bukan menjadi hakim yang mengadili dan
menolaknya.
c. Menurut Asyariyah
Menurut Asyariyah, fungsi wahyu (Al-Quran) dan hadits adalah sebagai
pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Akal kata Asyari, tidak mewajibkan sesuatu, dia tidak pula menuntut
supaya menetapkan baik dan buruk. Jelas bahwa dalam faham Asyariyah tentang
kemampuan akal berbeda jauh dengan faham Mutazilah yaitu hanya satu
kemampuan akal, yaitu mengetahui adanya Tuhan dan tidak ada hak akal untuk
mewajibkam sesuatu. Bagi kaum Asyariyah, karena akal dapat mengetahui hanya
adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Jelas bahwa dalam
pendapat aliran Asyariyah wahyu mempunyai fungsi banyak sekali. Wahyu
menentukan boleh dikata hampir segala persoalan.Sekiranya wahyu tidak ada,
manusia akan bebas berbuat apa saja sesuai kehendaknya dan sebagai akibatnya
masyarakat akan berada dalam kekacauan. Salah satu fungsi wahyu, menurut al-
dawwani ialah member tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di
dunia.
Bagi kaum al-Asyariyah, bahwa akal dapat mengetahui hanya adanya
Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan
buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu.
Dengan demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui
kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syariat tidak ada, kata al-Ghazali manusia
tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn berkewajiban
berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi
wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting
dalam aliran Asyariyah.
Dengan demikian, jelaslah Al-Asyari sebagai seorang muslim yang ikhlas
membela keperayaan dan mempercayai isi Al-Quran dan Hadits, dengan
menempatkan sebagai dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang
tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.
d. Menurut Al-Maturidiyah
1. Al-Maturidiyah Samarkhan
Menurut paham Maturidiyah Samarkhan, berpendapat hampir sama
dengan paham Mutazilah mengenai kekuatan akal dan wahyu, kalau mutazilah
mendapat nilai 4 dalam penggunaan akal maka maturidiyah Samarkhan adalah 3.
Perbedaanya adalah, kalau Mutazilah menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu
diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut al-maturidi,
meskipun kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.
Akal bagi pendapat Maturidiyah Samarkhan, hanya bisa sampai kepada
tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan mengenai
baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi larangan.
Bagi Maturidiyah Samarkhan wahyu diperlukan untuk memberitahukan manusia
bagaimana cara berterimakasih kepada Tuhan, menyempurnakan pengetahuan
akal tentang mana yang baik dan mana yangburuk serta menjelaskan perincian
upah dan hukuman yang akan diterima manusia di akherat. Tanpa wahyu
masyarakat manusia akan hidup dalam kekacauan.
b. Al-Maturidi Bukhara
Adanya perbedaan paham antara Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah
Bukhara, disebutkan oleh Abu Uzba. Al-Maturudi sepaham dengan Mutazilah,
berpendapat bagi maturidiyah Samarkhan kematangan akallah yang menentukan
kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak dan bukan tercapainya umur dewasa oleh
anak itu.Golongan maturidiyah Bukhara tridak mempunyai paham demikian.
Dalam paham mereka akal tidak mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban;
akal hanya mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban. Sebagaimana kata Abu
uzba, akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan yang
menentukan kewajiban adalah Tuhan. Dengan demikian, akal menurut paham
maturidiyah Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya
mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi wajib.
Akal dalam Maturidiyah Bukhara mempunyai kedudukan lemah.
Wahyulah yang banyak mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, dan akal
tidak dapat mengetahui bahwa manusia wajib menjauhi perbuatan-perbuatan baik.
Sekiranya wahyu tidak turun dan nabi tidak diutus manusia akan hidup dalam
keadaan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap kebaikan dan keburukan
dan akibatnya akan timbul kekacauan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Maturidiyah
Samarkhan lebih dekat kepada Mutazilah dibanding Asyariyah, sebaliknya
Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada Asyariyah dibanding kepada Mutazilah
didalam pemikirannya.