Anda di halaman 1dari 21

SEKOLAH TINGGI TEKNIK MALANG

PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

TUGAS MATA KULIAH


AZAS PEMUKIMAN
PERIODE SEMESTER GENAP 2015/2016

Disusun oleh :

Nama: JIHAN PRIMADINA

Nim: (613021))

JULI 2016
CITY OF TOMORROW
City of Tomorrow adalah acara pameran arsitektur dan seminar yang
diadakan di gedung Fakultas Teknik Universitas Brawijaya atas kerja sama dengan
Universitas Brawijaya, IFI, IAI. Didalam seminar ini banyak membahas tentang
beretika dalam arsitektur dan suatu perencanaan kota dengan kepadatan yang tinggi
dengan baik. Dihari pertama seminar dengan pembahasan City of Tomorrow, di hari
kedua yaitu Arsitektur perkotaan dan ruang public, kemudian Urban design dari IAPI,
dan yang terakhir ditutup dengan acara talkshow studi lanjut dan seni budaya
Perancis.

Konsep Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan

Grogoire Dubreux (MU architect Agency, France)

Banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan kemiskinan, kemerosotan serta


kerusakan lingkungan (Mitchell, Setiawan & Rahmi 2003). Isu lingkungan hidup dan
pembangunan menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional
dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional
mengenai "Human Environment" di Stockholm, Swedia dan khususnya setelah
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992. Konferensi
Tingkat Tinggi Bumi 1992 menghasilkan Deklarasi Rio de Janeiro, Agenda 21, Forests
Principles, serta Konvensi Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati. Konferensi
Tingkat Tinggi Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang
mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup
(Mitchell, B. , B. Setiawan dan D. H. Rahmi, 2003).

Pembangunan berkelanjutan di sektor permukiman diartikan sebagai pembangunan


permukiman, termasuk di dalamnya pembangunan kota, secara berkelanjutan
sebagai upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan
kualitas lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti
pembangunan permukiman yang berkelanjutan merupakan upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan. Menurut Kirmanto (2002),
pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan dan
permukiman merupakan kegiatan yang menerus atau berkelanjutan sehingga
memerlukan dukungan sumber daya pendukung, baik ruang dan lingkungan, alam,
kelembagaan dan finansial maupun sumber daya lainnya secara memadai.

Untuk itu pembangunan yang dilakukan perlu mempertimbangkan kelestarian dan


keserasian lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya yang ada
maupun daya dukungnya sejak tahap perencanaan, pengelolaan dan pengembangan.
Hal ini dimaksudkan agar arah perkembangannya tumbuh selaras dan serasi sesuai
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan baik secara ekonomi, lingkungan,
maupun sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu pengalihan orientasi dari
membangun rumah ke membangun permukiman.

Pembangunan yang sekarang sedang marak adalah pembangunan yang


hanya bersifat sementara. Dengan tuntutan globalisasi, Indonesia mengikuti
perkembangan jaman tanpa melihat prospek kedepan. Perkembangan masyarakat
yang serba instan dan asal jadi, budaya konsumtif telah mendarah daging pada
sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan
adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak parsial, instan dan
pembangunan kulit. Maka, dengan adanya konsep Sustainable Development yang
kemudian disebut SD akan berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya
melestarikan lingkungan alam demi masa depan, generasi yang akan datang.

Pengertian Sustainable Development

Wikipedia : Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan


(lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan

Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah


terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainabel development. Salah satu faktor yang
harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana
memperbaiki kehancuran lingkungantanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan


sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang
saling bergantung dan memperkuat.

Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali


konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa
keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya
keragaman hayati bagi alam. Dengan demikian pembangunan tidak hanya
dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk
mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual. dalam
pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup
kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Network of Excellence Sustainable Development in a Diverse WorldSUS.DIV,


sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka
mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkankeragaman
budaya sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan.
Dari berbagai pengertian pembangunan berkelajutan diatas dapat disimpulkan bahwa
pembangunan berkelanjutan (sustainable development)adalah sebuah upaya
pembangunan yang meliputi aspek ekonomi, sosial, lingkungan bahkan budaya untuk
kebutuhan masa kini tetapi tidak mengorbankan atau mengurangi kebutuhan
generasi yang akan datang.

Meliputi aspek ekonomi, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan


pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi
dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun konsep
pertumbuhan ekonomi itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri
terbatas.

Aspek sosial, maksudnya pembangunan yang berdimensi pada manusia dalam hal
interaksi, interrelasi dan interdependesi. Yang erat kaitannya juga dengan aspek
budaya. Tidak hanya pada permasalahan ekonomi, pembangunan berkelanjutan
untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya sebuah
amsyarakat tetap bisa eksis untuk menlajalani kehidupan serta mempunyai sampai
masa mendatang.

Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang ambigu, dimana pandangan


yang luas berada di bawah naunganya. konsep ini memasukkan pemahaman
keberlanjutan lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam. konsep yang
berbeda juga menunjukkan tarik ulur yang kuat antara eko(lingkungan)sentrisme dan
antropo(manusia)sentrisme. Oleh karena itu konsep ini lemah didefinisikan dan
mengundang debat panjang mengenai definisinya.

Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena


perhatian kepada lingkungan. Terutama sumber daya alam yang tidak bisa
diperbaharui sedang ekspoitasi terhadapnya dilakukan terus menerus.

Pengertian dari tidak mengurangi dan mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang adalah pembangunan yang dilakuakn dimasa sekarang itu jangan sampai
merusak lingkungan, boros terhadap SDA dan juga memperhatikan generasi yang
akan datang. Generasi yang akan datang juga jangan terlalu dimanjakan dengan
tersedianya semua fasilitas. Tetapi mereka juga harus di beri kesempatan untuk
berekspresi menuangkan ide kreatifnya untuk mengolah dan mengembangkan alam
dan pembangunan.

Hubungan Sustainable Development dengan CSR

Sustainable development menjadi goal dari CSR karena bukan hanya


pembangunan komunitas atau Community Development yang menjadi inti tujuan dari
CSR melainkan bagaimana Com.Dev tersebut bisa terus eksis berada dalam
masyarakat sebagai upaya untuk keseimbangan lingkungan dan alam.
Sisi lain

Pakar lingkungan dari Bandung, Otto Soemarwoto, mengajukan enam tolok


ukur pembangunan berkelanjutan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah.
Keenam tolok ukur itu diyakininya akan mampu menjadi kriteria keberhasilan seorang
kepala pemerintahan.

Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro lingkungan hidup,
pro rakyat miskin, pro kesetaraan jender, pro penciptaan lapangan kerja dan harus
antikorupsi, kolusi serta nepotisme.

Enam program pilihan

Kotler dan Lee mengidentifikasi enam pilihan program bagi perusahaan untuk
melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial
sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam
inisiatif sosial yang bisa dieksekusi oleh perusahaan adalah:

o Pertama, cause promotions dalam bentuk memberikan kontribusi dana


atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-
masalah sosial tertentu seperti, misalnya, bahaya narkotika.

o Kedua, cause-related marketing bentuk kontribusi perusahaan dengan


menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi
masalah sosial tertentu, untuk periode waktu tertentu atau produk
tertentu.

o Ketiga, corporate social marketing di sini perusahaan membantu


pengembangan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk
merubah perilaku tertentu yang mempunyai pengaruh negatif, seperti
misalnya kebiasaan berlalu lintas yang beradab.

o Keempat, corporate philantrophy adalah inisitiatif perusahaan dengan


memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering
dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.

o Kelima, community volunteering dalam aktivitas ini perusahaan


memberikan bantuan dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya
untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.

o Keenam, socially responsible business practices, ini adalah sebuah inisiatif di


mana perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta
investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan
melindungi lingkungan.
ARSITEKTUR DAN KOTA TANPA ETIKA

Prof. Ir. Antariksa Sudikno, M.Eng., Ph.D

Perkembangan arsitektur dan kota dewasa ini telah menimbulkan


kesemrawutan baru dalam kehidupan berarsitektur. Kota-kota di Indonesia telah
dijadikan sebagai tempat kompetisi para arsitek-perencana dalam menentukan
bentukan dan suasana kebaruan arsitektur. Di era yang disebut sebagai globalisasi ini
perkembangan kota dan arsitektur menjadi salah kaprah dalam penerjemahanya.
Ruang publik dan terbuka hijau yang terdapat dalam kota mulai tergeser oleh
pembangunan kota yang tidak terkendali. Tatanan papan-papan reklame,
bergesernya ruang publik dan terbuka hijau menjadi fungsi baru, serta munculnya
bangunan-bangunan ruko dan mall, telah menandai terjadinya perubahan peradaban
dalam budaya berarsitektur. Kota menjadi tempat permainan baru untuk meletakkan
bangunan dengan desain dan wacana komersial yang menyilaukan. Para arsitek yang
mengatasnamakan bisnis-kreatif telah menjadikan lahan ruang publik dan ruang
terbuka hijau sebagai ajang permainannya. Peraturan perundangan maupun Perda
tergeser oleh perubahan tata ruang telah bergeser menjadi tata uang. Nuansa
kearifan lokal pun dimunculkan, diharapkan agar dapat mengantisipasi keganasan
arsitektur-kota yang sedang berkembang di Indonesia saat ini. Dalam Great
Disruption, Fukuyama (2002:11) menegaskan, bahwa kebiasaan, adat-istiadat yang
telah menjadi ciri khas kehidupan desa dan kampung telah digantikan oleh ritme
perusahaan dan kota. Tak hanya itu, kawasan bersejarah pun tak luput dari ekspansi
arsitektur pasca post-modern ini, bahkan bangunan-bangunan lama yang mepunyai
nilai sejarah tinggi pun ikut dihancurkan. Charles Jencks dalam The Post-Modern
Agenda mejelaskan, ekspansi arsitektur pasca post-modern sering menghancurkan
struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional
dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat cetusan jiwa modern untuk maju
(progress). (Grenz 2001:39) Sekarang kita sedang merasakan perubahan budaya yang
berlawanan dengan ciri khas budaya setempat, yakni inovasi yang lahir sebagai reaksi
terhadap kemandulan dan kelumpuhan budaya arsitektur di Indonesia. Arsitektur
yang diilhami oleh logos mekanistis telah terbukti membuat kita gagal. Menanggapi
hal di atas, Skolimowski (2004:122-123) pun melakukan pembelaan, bahwa
kekurangan-kekurangan arsitektur yang sekarang dan ketakmampuannya memberi
tempat perlindungan yang memadai pada kita dan memberi ruang yang
meningkatkan mutu kehidupan terutama bukanlah kesalahan para arsitek dan para
pembangun, tetapi lebih berupa kesalahan konsepsi-konsepsi yang lebih besar yang
mendasari arsitektur dan kebudayaan kita. Hal yang paling penting adalah,
bagaimana para arsitek mencari cara pandang universal untuk melihat ekspresi
budaya melalui dimensi kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaannya. Ada sesuatu
yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para arsitek yang
berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin, membangun lebih baik daripada
yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam konteks masa kini.
Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan yang
didominasi oleh kekuatan ekonomi dan teknologi. Arsitek dan karya arsitekturnya
pun dalam perkembangannya selalui dipengaruhi oleh kedua hal tersebut. Kadang-
kadang arsitektur membuat kegelisahan, kemegahan, bukan hanya kekokohan dan
komoditi, tetapi juga kegembiraan. Ketika kebudayaan sedang runtuh, dan tak
mampu mempertahankan corak khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak
dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya. Peran kebudayaan sebagai sumber
informasi untuk memecahkan persoalan-persoalan arsitektur sebenarnya dapat
menjelaskan alasan mengapa ekonomi muncul melampaui batas-batas kultural. Kalau
kita lihat, seperti proyek Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri dianggap sebagai lambang
arsitektur modern. Rumah itu berdiri sebagai gambaran modernisme, yang
menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan
manusia. Akan tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan
sengaja (Grenz 2001:26). Pembrontakan sosial masyarakat masa kini terhadap
arsitektur modern, post-modern, dan pasca post-modern adalah suatu ungkapan dari
pertimbangan-pertimbangan atas kehidupan ini.

Hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau

Perjalanan yang dilakukan oleh para arsitek-perencana kota dalam menentukan


kehidupan berarsitektur telah menjamah bagian inti dari paru-paru kota, yaitu ruang
publik dan ruang terbuka hijaunya. Kehancuran tatanan kota-kota besar di Indoensia
saat ini, terjadi sebagian besar akibat hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) maupun
ruang publik. Semakin terdesak dan hilang tergusur oleh budaya konsumerisme baru,
datangnya dari penentu kebijakan akibat desakan globalisasi ekonomi yang tak
terkendali. Ruang publik dan terbuka hijau beralih dan mungkin berubah menjadi
kerajaan baru, yaitu bangunan mall atau ruko. Hal ini menandakan telah terjadi
ekspansi fungsi dan guna lahan dan perubahan tata ruangnya. Suasana
keruangpublikan sebagai tempat masyarakat beraktifitas sudah tidak ada lagi. Dalam
bahasa arsitektur aspek-aspek ruang manusia yang mencakup sosial-psikologis-estetis
(ruang eksistensial) menjadi hilang. Arsitekturdan kota yang memiliki kualitas
kehidupan adalak arsitektur dan kota yang mempunyai kebranian untuk mengakui
dimensi spiritual dan transendental manusia. Skolimowski (2004:135) menegaskan,
bahwa kualitas bersemayam di dalam ruang-ruang yang dengan bebas dan bertujuan
diaugerahi dengan karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang transfisik.
Kesejahteraan fisik bukanlah suatu suasana fisik, tetapi suatu suasana psikologis.
Habermas (2007:5) menegaskan, bahwa di dalam penafsiran-diri Yunani kuno, ruang
publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Hanya di dalam terang cahaya
ruang publik saja, apa yang eksis menjadi benar-benar tersingkap, karena segala
sesuatu menjadi terlihat bagi semua orang. Malapetaka-malapetaka ruang publik dan
sosial yang utama telah terjadi di masa kini karena masyarakat menerima dengan
sikap yang tidak kritis terhadap kota sebagai basis merancang yang mereka lakukan.
Peran arsitek dalam berarsitektur

Kembali pada masalah berarsitektur, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan


sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi
arsitek lainnya. Ia mengatakan bahwa bangunan modern harus merupakan sebuah
kesatuan organis. Bangunan harus merupakan kesatuan yang agung (one great
thing) dan bukan kumpulan bahan yang tidak agung (little things). Sebuah
bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz 2001:39). Kalau disimak
dengan cermat bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Paolo Portoghesi
dalam After Modern Architecture mengatakan bangunan-bangunan modern
menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri (Grenz
2001:41). Jelaslah bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah
air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tak ada demensi kehidupan
yang tidak terkena. Kehidupan dalam kota-kota kita sekarang lebih berbeda dari kota-
kota kita seratus tahun yang lalu. (Magnis-Suseno 1987:16) Pada bagian lain
Skolimowski (2004:124-125) mengatakan, jika kita melihat dengan mata yang arif pada
aneka ragam apa yang disebut tren-tren dan kecenderungan-kecenderungan baru,
kita tidak bisa tidak mengatakan bahwa hampir semuanya adalah ungkapan etos
teknologis; episilus dari sistem teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau
arsitektur rasional operasionalisme baru-semuanya mengandung kesan teknologi.
Kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur ternyata sangat tidak manusiawi.
Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Akan
tetapi, ada sebagian yang menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian.
Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai kenekaragaman dan
pluralisme. Charles Moore dalam Conversation with Architects mengatakan, bahwa
sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkan,
mengatakan apa yang ingin dikatakan sehingga telinga kita mulai mendengar apa
yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Tujuan sejati
arsitektur ialah, melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan. Frasa
melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan kehidupan harus dilihat di dalam
konteks yang tepat. Para penipu industrial yang menghancurkan habitat-habitat kita
demi keuntungan dan sering memaksa para arsitek untuk merancang lingkungan-
lingkungan yang anti kehidupan dapat mengklaim melanjutkan, meningkatkan mutu,
dan merayakan kehidupan mereka sendiri (Skolimowski 2004:136).

Bentuk mengikuti kebudayaan

Relativisme kultural adalah kepercayaan bahwa aturan-aturan kultural bersifat


arbitrer, merupakan artefak-artefak yang dikonstruksi secara sosial dari berbagai
masyarakat yang berbeda dan bahwa tidak ada standar moralitas universal dan tidak
ada cara yang bisa kita gunakan untuk menilai norma dan aturan-aturan dari
kebudayaan lain. (Fukuyama 2002:253). Bahkan Eco (2004:369) mengatakan, kita
dapat memberikan sebuah interpretasi yang berkaitan dengan sejarah budaya,
arsitektur atau bahkan dalam sudut pandang visual, oral, maupun komunikasi tulisan.
Ditegaskan lagi oleh Skolimowski (2004:127) yang mengatakan, dengan kemampuan
apa yang harus dilakukan setelah pasca peristiwa, kini kita dapat menyarankan suatu
karakterisasi arsitektur yang jauh lebih memadai: bentuk mengikuti kebudayaan.
Sebagai kemungkinan lain kita dapat mengatakan: kulit mengikhtisarkan jiwa (yakni
sebagaimana diungkapkan ole kebudayaan tertentu), atau bahkan kulit menampung
jiwa. Keyakinan Skolimowski ini, di dasari bahwa dogma arsitektur dari bagian
pertama abad ke-20 ialah: bentuk mengikuti fungsi. Ketika fungsi dibatasi pada
parameter-parameter fisik dan ekonominya, kita, sebagai manusia menemukan
bentuk yang dihasilkan bersifat memaksa dan mencekik. Jadi slogan itu sama sekali
telah dibuang. Dengan demikian, bukan bentuk mengikuti fungsi, bukan kulit yang
mendahului pelaksanaan, tetapi bentuk yang cocok menampung jiwa kebudayaan.
Singkatnya, bentuk mengikuti kebudayaan. Bahkan van Peursen (1976:85)
menegaskan, bahwa fungsionil diperuntukkan bagi kebudayaan modern, karena
sifat kebudayaan yang istimewa dalam menonjolkan diri. Masyarakatlah yang
membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau
mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan selalu memberi wujud baru
kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Perubahan-perubahan yang signifikan
di dalam arsitektur tidak dicapai dengan cara memperkenalkan teknologi-teknologi
yang lebih efisien atau hanya dengan memanipulasikan teori arsitektur. Jika kita
hendak mengubah arsitektur kita tidak dapat membatasi diri pada arsitektur atau
memulainya dari arsitektur saja. Ditegaskan oleh Skolimowski (2004:128), kita harus
memulai bersamaatau secara serentak mengarahkan perhatian kita padalevel
yang lain, level kebudayaan umum yang mendasari pemikiran dan perilaku zaman
yang tengah kita jalani.

Etika berarsitektur

Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang
tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek
jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang
boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan apa yang
pertama-tama dipentingkan melainkan bagaimana, yaitu bagaimana ketiga bidang
(arsitek/arsitektur, budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika
jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan sejumlah kaidah bagi orang perorangan,
mengenai apa yang halal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu
merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri
(van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit,
janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu.
Setiap bentuk arsitektur dan tata ruang kota hendaknya menghasilkan etika,
tetapi untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu counter play juga. Yang
bersifat normatif, itulah counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka
kehilangan identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang
pribadi, bila mereka terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang
lain. Jalur-jalur baru dirintis dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah
kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh
dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat ditemukan lagi. Masyarakat dan
arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di mana keontentikan kita
hilang. Maka dari itu, sikap berbudaya-beretika-berarsitektur lebih menunjukkan
suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.

Pakar sejarah dan pelestarian arsitektur ini menyampaikan definisi kota secara
bahasa baik Sansekerta maupun Jawa Kuno adalah benteng atau kubu pertahanan.
Dan juga, hampir semua benteng-benteng yang ada di kota-kota kuno yang ada di
Jawa berbeda secara konstruksi dengan benteng-benteng peninggalan Belanda.

Yang asli memang sejak awal perkembangan kota-kota tua di Indonesia awal
mulanya bagian dari kerajaan. Tetapi kecenderungan perkembangan kota kita
sekarang menuju ke kota-kota yang ada di Eropa, tukasnya.

Namun, bukan berarti Antariksa menentang teori dari barat. Tetapi secara kultural,
geografis, dan konteksnya sangat berbeda sekali. Lantas ia mencontohkan kota-kota
berdasar pengertian diatas seperti Kota Pingyao dan Xian di Cina, serta Kota
Mohenjodaro dan Kumbhalgarh di India. Kota dikelilingi tembok tinggi atau benteng
tempat rakyat berlindung sewaktu ada bahaya.

Dosen kelahiran Yogyakarta ini kemudian menuturkan bahwa Asia Tenggara menjadi
wilayah yang penting dan menarik untuk pengkajian budaya. Di pusat-pusat kota di
Asia Tenggara budaya bisa homogen tetapi di dalamnya terdapat unsur heterogen.
Begitu juga sebaliknya, unsur heterogen dapat dimasuki unsur homogen. Hal ini
berbeda dengan yang terjadi di negara barat.

Itulah yang menjelaskan kenapa ada Kampung Cina, Kampung Hindu, Kampung
Arab. Kalau sudah demikian bagaimana? Elemennya pasti berubah, dari hal ini akan
muncul alkulturasi, tegasnya.

Hal seperti ini tidak akan dijumpai di kota-kota di luar Asia Tenggara. Menurut
alumni Kyoto Institute of Technology tersebut, hal ini justru menarik sebagai lahan
untuk kajian penelitian, konteks budaya lebih luas dan etnisnya lebih banyak sehingga
akan mempengaruhi ruang kota.

Sebenarnya, lanjut Antariksa, tiap kota di negara manapun memiliki ciri-ciri universal.
Hanya konteks budayanya yang berbeda. Kota dengan tingkat ekonomi dan
pendidikan bagus pasti menarik. Sebaliknya, kota dengan ekonomi dan pendidikan
jatuh maka kota tersebut akan timbul banyak permasalahan.
Kontek budaya ekonomi itu sangat berpengaruh sekali. Kita mau mengadopsi kota-
kota yang ada di Eropa ke kota yang ada di Jawa butuh waktu lama, karena tingkat
ekonomi pendidikan sangat berpengaruh, jelasnya.

Perencanaan arsitektur dan kota tanpa etika akan menimbulkan masalah. Ruang
publik dapat tergusur oleh pembangunan dan fungsi yang baru, papan reklame yang
semrawut, dan munculnya bangunan dan ruko-ruko mall yang tidak terkendali.

Kemudian, ekspansi arsitektur pasca postmodern sering menghancurkan struktur


bangunan tradisional. Menurutnya, sekarang Indonesia sedang merasakan perubahan
budaya yang berlawan dengan ciri khas budaya setempat.

Tujuan sejati arsitektur adalah melanjutkan, meningkatkan mutu, dan merayakan


kehidupan. Agar masyarakatnya bisa lebih mapan dan lebih enak dalam segala hal
dari sebelumnya, tegasnya.
Perencanaan Kota Masa Deppan dan Perencanaan Generasi Ketiga
untuk Kota Berkelanjutan

Dr. Ir. Agus Dwi Wicaksono, Lic. Rer.Reg

Rancang kota selalu berkembang dari masa ke masa, bermula dari Jane Jacobs
yang mengkritik perancangan struktur kota yang hanya mementingkan
pembangunan kota yang ideal dan modern tanpa memperhatikan detail-detail
pembentuk ruang kota seperti konektivitas, pejalan kaki dan lainnya. Seperti kita
ketahui rancangan suatu kota mempengaruhi bentuk kota dan aktivitas manusia di
dalamnya, apabila detail yang dirancang pada suatu kota tidak sesuai dengan aktivitas
manusianya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kota tersebut. Detail
pembentuk ruang kota tidak hanya berupa zona peruntukan lahan, linkage, street
furniture dan sebagainya tetapi kita juga harus mempertimbangkan dampak yang
dihasilkan dari penataan sebuah kawasan atau kota tersebut.

Menurut Castel, ruang kota di masa sekarang tidak lagi terbentuk dari aktivitas
manusia dan budaya namun bisa terbentuk dari dominasi aktivitas ekonomi.
Munculnya kota-kota kecil di dalam kota seperti China Town yang secara tidak
langsung dapat merubah struktur kota yang ada. Dominasi ekonomi juga secara tidak
sadar membentuk budaya masyarakat perkotaan di zaman sekarang, semakin banyak
bangunan yang didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dan tidak lagi
memperhatikan budaya lokal di kota tersebut. Saat ini bangunan-bangunan dibangun
hanya untuk memenuhi kebutuhan investor dan perancang dihadapkan dengan
dilema merancang untuk kaum kapitalis atau mendengarkan keinginan masyarakat
yang mungkin hanya menginginkan ruang publik yang gratis tanpa harus membayar
atau membeli barang apapun. Ruang publik yang harusnya menjadi ruang sosial (third
place) kehilangan maknanya, makna ruang publik setelah kehadiran ruang-ruang
sosial yang modern seperti departement store menjadi bias.

Masyarakat seakan menyetujui adanya creative destruction karena ikut merasakan


kesenangan dan kemewahan yang ada, creative destruction merupakan pengaruh dari
mutasi industri yang secara perlahan mereduksi, merusak, hingga dapat
menggantikan dengan pemahaman baru. Bangunan bangunan baru yang modern
dan terkesan sama di setiap kota dengan fungsi dan bahkan bentuk yang sama
sehingga kota menjadi kehilangan konteks lokalnya, kebudayaan masyarakatnya pun
seketika dapat berubah dahulu dapat berbincang sambil duduk-duduk di ruang
terbuka seperti alun-alun atau tepian sungai sekarang untuk berbincang saja harus
mengunjungi cafe di mal-mal.
Third place merupakan ruang sosial yang memungkinkan orang dari latar belakang
yang berbeda mengenal satu sama lain dan bersosialisasi secara aman tanpa
ancaman. Ruang sosial telah menjadi issue penting di masyarakat modern karena
penurunan dalam kualitas desain dan penurunan dalam menciptakan kegiatan di
tingkat kota. Kita sebagai perancang kota dapat menciptakan third place untuk
berbagai level sosial, bisa saja tidak berupa taman namun menciptakan kegiatan
berkumpul.

Dalam artikel principles for regional design disebutkan di masa lalu ada batasan
yang bisa dilakukan untuk merubah lingkungan dan yang bisa ditambahkan untuk
memodifikasi lingkungan, sehingga dampak kekuatan teknologi dan ekonomi ini
terhadap lingkungan sebelumnya tidak pernah memiliki potensi besar untuk
menghancurkan sistem kehidupan.

Dalam artikel ini juga dibahas prinsip-prinsip yang paling tepat untuk mendesain
kawasan berdasarkan identitas kawasan seperti:

1. Knowing the place, salah satu cara dengan mengenali bagaimana orang
menggunakan tempat berbeda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di satu
bangunan yang memiliki sense of place yang khas, cara ini dapat ditingkatkan
dalam perkotaan. Kriteria mendasar dalam menentukan ini adalah pertama
dengan proses alami dari konteks lokal dan alam menjadi pertimbangan
utama, kedua dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang tinggal agar
mudah beradaptasi.

2. Identity through the landscape, kita dapat langsung mengenali suatu tempat
dengan topografi dan keindahan alam daerah tersebut.

3. Different places for different people, pembentukan lanskap juga harus


beragam berdasarkan keberagaman sosial penduduknya seperti
terbentuknya hard space berupa plaza dan pasar untuk mewadahi
kebisingan dalam hal ini kebutuhan masyarakat untuk berbincang dan
bersosialisasi lalu tempat tenang seperti taman yang formal dan acara
kebudayaan.

4. Maintaining a sense of history, membuat tempat yang memorable dan


terhubung dengan sejarah.
5. Environmental learning and direct experience, agar kawasan dikenali oleh
masyarakat yang tinggal dilingkungan tersebut melalui edukasi dan
pengalaman langsung termasuk budayanya.

6. Doing as little as possible, tetap mengontrol penggunaan energi dan


mengontrol pembangunan agar dapat menyeimbangkan lingkungan.

7. Sustainability, desain yang sustainable dapat memberikan benefit bagi


masyarakat maupun lingkungan.

Sebagai perancang kita memang diharapkan untuk merancang kota dengan tidak
meninggalkan budaya lokal namun harus dapat mengikuti perkembangan zaman.
Identitas suatu kota semakin lama dapat semakin memudar bahkan hilang apabila
sebagai perancang kita tidak mengasah sense of place, rasa memiliki suatu tempat
tidak hanya mengetahui kebudayaan lokal dan aktivitas masyarakatnya tapi lebih dari
itu kita harus benar-benar merasakan sejarah dan apa yang masyarakatnya rasakan.

Terkadang mengasah kepekaan terhadap suatu tempat masih sulit di praktekkan oleh
perancang saat ini yang referensinya kebanyakan mengacu kepada budaya
luar/modernisasi. Padahal Indonesia memiliki keberagaman dalam budaya, namun
apabila perancangnya tidak memiliki kepekaan terhadap itu bisa saja kota-kota di
Indonesia menjadi sama dan perlahan akan hilang identitas lokalnya hanya karena
seorang perancang mempertimbangkan kebutuhan investor dan pasar.

Produk perancangan menjadi penentu lanskap/ struktur kota sebagai perancang,


moral menjadi alat kontrol diri agar rancangan tidak memihak ke satu kepentingan.
Dalam merancang sebuah kota, kita tidak dapat melihat dari satu sisi saja dalam hal ini
sisi sebagai perancang kota tapi harus melihat dari berbagai bidang.

Apabila kita merancang sebuah kawasan, apakah lokalitas kawasan itu tetap terjaga?
Apakah kita sudah benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakatnya? Bagaimana
dampak suatu kegiatan terhadap struktur kotanya? Masalah kemacetan?. Apakah
seorang perancang kota dapat menjawab seluruh pertanyaan itu sendiri??
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin akan terus berlanjut seiring kita merancang
suatu kawasan atau kota, segala pertanyaan itu menjadi renungan dan pembelajaran
bagi para perancang kota agar tidak hanya dapat menghasilkan rancangan yang baik
namun memiliki sense of place.
Seringkali praktisi planner (perencana kota) menghadapi dilema dalam merencanakan
tata ruang kota. Apakah perencanaan dengan tipe pemukiman kepadatan tinggi atau
dengan tipe pemukiman kepadatan rendah. Atau bila harus memilih, perencanaan
pemukiman dengan pola jalan grid atau dengan pola jalan besar. Pertanyaannya
adalah, manakah yang lebih baik? bagaimanapun juga banyak faktor yang
mempengaruhi perencanaan suatu kota. Namun, bagaimana tuntutan perencanaan
suatu kota di masa depan?

Kalau kita berbicara kota yang baik, seharusnya mencerminkan kearifan lokal,
menginterprestasi kebijakan makro, mampu memecahkan masalah lokal, dan mampu
menjawab isu global (berkelanjutan), beber Agus di Auditorium Prof. Ir Suryono,
Rabu, 11 Mei 2016.

Lebih jauh, Agus memaparkan isu global kota yang berkelanjutan. Ia mengusulkan
konsep perencanaan generasi ketiga dalam kota berkelanjutan.

Dalam paparannya, Agus menguraikan banyak istilah, konsep, tipologi, atau kriteria
untuk kota berkelanjutan dari pakar-pakar di dunia; Neotraditional
Development, Urban Containment, Compact City, dan Eco City. Masing-masing
mempunyai ciri-ciri tersendiri.

Neotraditional Development misalnya, konsep ini menawarkan kota berorientasi


pedestrian dan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan
sekitarnya dan mendukung penggunaan lahan campuran. Kemudian Urban
Containment, konsep ini bertujuan menghambat ekspansi area terbangun suatu kota
dan mendorong perkembangan ke dalam (inward).

Tidak jauh berbeda, Compact City memiliki ciri bentuk kota kompak dengan radius
kota yang kecil, kepadatan tinggi, serta mendukung penggunaan guna lahan
campuran. Namun, bila dirangkum, maka terdapat kriteria-kriteria yang hampir sama
dari masing-masing konsep.

Bila dirangkum kriteria kota masa depan memiliki kepadatan tinggi, keragaman
tinggi, guna lahan campuran, kompaksi tinggi, transportasi berkelanjutan, passive
solar design, dangreening ecological design, jelasnya.

Menurut kota berkelanjutan, lanjut Agus, masing-masing kriteria dapat mengurangi


penggunaan sumber daya alam atau energi, mengurangi jarak tempuh dan
penggunaan kendaraan pribadi, mendorong interaksi sosial, meningkatkan
keseragam sosial budaya dan kesetaraan, serta peningkatan kualitas lingkungan.

Buktinya pada kota dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Hongkong, Singapore,
Moscow, Tokyo, semakin efisien kebutuhan energinya. Tapi kota-kota dengan
kepadatan rendah seperti Amerika Utara dan Australia, kebutuhan akan energinya
susah, kata Agus.
Dampaknya bukan hanya itu, bahkan penggunaan angkutan umum di Singapore,
Hongkong, dan Tokyo tidak perlu disubsidi lagi. Karena mereka mampu untuk
mendapatkan incomeyang lebih bila dibandingkan kota-kota di Amerika Utara atau
Australia. Memang, Agus menambahkan, bila kepadatan terlalu tinggi ternyata juga
banyak dampak negatifnya.

Yang terbaik adalah tidak terlalu padat atau rendah dengan kemungkinan banyak
desain yang masih bisa dikembangkan. Istilahnya adalah Urban Perimeter Blocks,
tutur alumniUniversitat Karlsruhe TH ini.

Kemudian, keragaman penggunaan lahan yang tinggi berupa perdagangan dan jasa,
industri, pendidikan dan fasum, perumahan, dan sarana rekreasi harus mendukung
jarak yang yang dapat dicapai dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Radius atau jarak orang maksimal orang berjalan kaki yang nyaman dalam aktivitas
sehari-sehari rata-rata ke pusat layanan adalah 750 meter, tukasnya.

Sementara itu, merancang jalan permukiman tidak boleh terlalu lebar atau sempit.
Konsep ini dikenal dengan istilah konsep small block size. Mengapa? Dengan
banyaknya persimpangan meningkatkan indeks konektivitas dan dapat mengurangi
kecepatan kendaraan bermotor. Jalan ini harus memiliki pola saling terhubung agar
mempunyai pilihan rute dan dapat memilih rute terpendek.

Skala kecil dari kota berkelanjutan adalah kampung kota. Ia mencontohkan beberapa
kampung kota yang dapat dijadikan contoh pengembangan. Diantaranya Kampung
Kota di Surabaya, Kotagede Yogyakarta, Kampung Batik Laweyan Solo, Kampung
Kemasan Gresik, dan Kampung Ampel Surabaya.

Tinggal dibenahi atau dipoles saja hal-hal kecil seperti masalah sirkulasi udara.
Apalagi kalau kita tambahkan namanya vitalitas ekonomi atau istilahnya kampong
tematik maka akan semakin baik, imbuh Agus.

Perencanaan generasi ketiga menuju kota berkelanjutan mengibaratkan kampung


sebagai sel yang harus berinteraksi dengan sistem lingkungan yang lebih luas. Pada
dasarnya, titik kritis proses perencanaan yang pertama ada pada tahap survey dan
yang kedua adalah proses pengendalian.
Kota yang baik dalam perspektif ke tiga adalah sebuah kota yang
seharusnya mencerminkan kearifan lokal, menginterprestasi kebijakan makro,
mampu memecahkan masalah lokal, dan mampu menjawab isu global.
Disamping itu juga untuk membentuk sebuah kota yang baik kita harus
mengetahui mengenai sebuah proses dalam mereproduksi ruang ruang yang
ada dan sebelum membentuk sebuah kota dengan konsep yang ada kita harus
mempelajari bagaimana pola aktivitas masyarakat sekitarnya agar tidak
menimbulkan kerusakan fatal dikedepannya.
Terdapat beragam konsep-konsep yang menjelaskan tentang model
atau bentuk dan struktur ruang kota yang berkelanjutan. Konsep-konsep
tersebut, dapat dikelompokkan dalam model Neotraditional, Urban
Containment, Compact City, dan The Eco-City.

Dari keempat bentuk kota di atas memiliki beberapa kriteria yang sama yaitu

1. kepadatan yang tinggi


2. tingkat keragaman yang tinggi
3. tata guna lahan campuran
4. bentuk kota yang kompak
5. transportasi yang berkelanjutan
6. passive solar design
7. Greening Ecological Design

Penelitian mengenani struktur ruang dan juga bentuk kota yang


berkelanjutan tersebut, diwarnai dengan pencarian bentuk kota yang mampu

1. Mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor sehingga


menimbulkan emisi yang lebih rendah sekaligus mengurangi konsumsi
energi
2. meningkatkan pelayanan transportasi umum yang lebih baik
3. meningkatkan aksesibitas
4. memanfaatkan kembali prasarana dan lahan yang telah dibangun
5. meningkatkan regenerasi kawasan perkotaan
6. meningkatkan kualitas hidup
7. memberi perlindungan terhadap ruang terbuka hijau

Dari penjabaran diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kota


berkelanjutan adalah sebuah upaya atau suatu cara untuk membangun sebuah
kota yang berkualitas tinggi dengan cara mengkaji unsur-unsur yang terlibat
didalamnya seperti dari segi ekonominya, dari segi kesejahteraan masyarakat
suatu kota itu, bahkan dari pengkonsumsian energi di kota tersebut dan lain
sebagainya.
Penerapan kota yang berkelanjutan yaitu dengan menitik beratkan
pada intensifikasi kegiatan, kepadatan penduduk, ukuran kota yang kecil
dengan batas yang jelas, optimalisasi transportasi publik, kesejahteraan sosio-
ekonomi, dll. Hal ini merupakan satu kesatuan dan jika salah satu komponen
tidak terpenuhi maka suatu kota tidak memenuhi syarat sebagai kota
berkelanjutan. Hal ini tentu membutuhkan kesiapan dan dana yang sangat
besar untuk pengimplementasiannya bagi suatu negara.
Namun saat ini Indonesia dirasa belum siap dalam penerapan ide kota
kompak, atau eco-city atau konsep kota lainnya karena selain terkendala
masalah-masalah yang kompleks, nilai-nilai budaya masyarakatnya masih
dipegang teguh dan menjadikan karakteristik sendiri bagi Indonesia.
Sudah saatnya negara kita berkembang menjadi sebuah negara dengan
kota-kota yang berkelanjutan dan kita hidup bukan hanya untuk kepentingan
jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi
mendatang yang akan hidup di Indonesia. Oleh karena itu harus ada
perubahan paradigma agar keputusan apapun yang diambil akan
menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan
yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan harus lah
menjaga lingkungan hidup serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat,
Untuk itulah Indonesia sudah saatnya menyusun program pembangunan
berkelanjutan secara terintegral agar supaya lebih efektif dalam menjaga
lingkungan hidup kita. Namun demikian kebijakan dengan program yang
baguspun tidaklah dapat menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
Banyak bukti menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pembangunan
berkelanjutan adalah implementasi dari kebijakan yang diambil. Oleh karena
itulah perlu disiapkan suatu environment agar tujuan pembangunan
berkelanjutan berhasil. Dalam hal ini kebijakan ataupun program tersebut
mesti mempertimbangkan baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi,
politik, etik dan budaya agar mudah diimplementasikan.
Pendidikan Arsitektur di Perancis
Astrini Simajuntak dari IFI, Dwi Maulidatuz Zakiah , serta Naufal Abdullah
Ramadhan

Dari segi sistem pembelajaran di perancis dengan Indonesia sama yaitu


ada tugas, Tanya jawab, yang membuatnya sedikit berbeda yaitu setelah
memaparkan teori dosen akan mengajukan pertanyaan langsung kepada
mahasiswanya berbeda dengan di indonesia seorang dosen meminta
mahasiswa untuk bertanya kepadanya. Jadi mahasiswa yang aktif bukan
dosen. Periode pendidikan di perancis sangat singkat karena banyak libur,
seperti libur pergantian musim. Untuk maasalah biaya dan kebutuhan hihdup
sangat sangat relative tergantung dari kebutuhan masing-masing individu.

budaya Indonesia dan Prancis sangat berbeda, hingga perlu kita bekali
informasi-informasi terkait pendidikan itu sendiri, kebudayaan, culture shock,
bagaimana perpanjangan visa, serta administrasi pengurusan visa menjadi izin
tinggal.Dan yang terpenting adalah materi metodologi, bagaimana mahasiswa
kita bisa sukses kuliah di sana.Secara lebih spesifik, terdiri dari kehidupan
sehari-hari di Prancis, prosedur tinggal di Prancis, adaptasi terhadap kehidupan
baru di Prancis, kehidupan siswa, hingga wisata dan budaya di Prancis.

Biaya hidup di Paris dengan kota-kota lain di Perancis berbeda.


Normalnya untuk di kota selain Paris, biaya hidupnya sekitar 700 euro per
bulan. Untuk Paris, biaya hidup bisa mencapai 1.000 euro per bulan. Masalah
biaya hidup ini dapat ditekan dengan mengajukan bantuan kepada Pemerintah
Perancis yang dapat dilakukan melalui CampusFrance. Bantuan tersebut
umumnya berupa bantuan perumahan dan bantuan makan. Pengajuan
bantuan ini bisa lewat online. Untuk tempat tinggal, harga murah juga bisa
didapat di apartemen pribadi tanpa harus ke asrama kampus. Untuk makan,
bagi mahasiswa biasanya hanya seharga 3 euro di restoran universitas.

Hampir 70% mahasiswa Indonesia yang berangkat sekolah ke Perancis


berbekal biaya sendiri. Pasalnya, pemerintah Perancis memberikan
kemudahan untuk biaya pendidikan bagi semua siswa baik siswa asal Perancis
maupun siswa asing.

Pemerintah Perancis sangat fokus menangani masalah pendidikan.


Setiap mahasiswa berhak mendapat tunjangan pendidikan sebesar kurang
lebih 10.000 euro yang digunakan untuk membayar biaya perkuliahan selama
setahun. Beban yang harus dibayarkan mahasiswa hanya uang pendaftaran
yang kisarannya sekitar 200-300 euro per tahun.
Bisa melanjutkan studi ke Perancis dengan beasiswa tentunya jadi
kebanggaan tersendiri.Ada dua beasiswa yang tersedia di perancis yaitu :

Bourses du Gouvernement Franais


Beasiswa Eiffel

Bourses du Gouvernement Franais

Pemerintah Perancis, melalui Institut Francais Indonesia (IFI) setiap


tahunnya menawarkan sekitar 300 beasiswa untuk mahasiswa Indonesia.
Kandidat yang terpilih akan mendapatkan beasiswa penuh Bourses du
Gouvernement Franais (BGF) atau beasiswa pemerintah Perancis untuk
jenjang S-2 dan S-3.
Beasiswa ini didanai bersama dengan beberapa kementerian di
Indonesia, perusahaan Perancis di Indonesia dan sejumlah yayasan swasta.
BGF akan menanggung biaya kuliah di salah satu universitas negeri, biaya visa
dan fasilitas jaminan sosial. Sementara itu, beasiswa dari pemerintah Indonesia
mencakup biaya hidup dan tiket pesawat pulang pergi.
Untuk program S-2, studi dapat ditempuh melalui dua pilihan skema.
Skema pertama yaitu setahun ditempuh di Indonesia sambil kursus bahasa
Perancis lalu setahun terakhir dirampungkan di Perancis. Skema kedua
menawarkan studi penuh 2 tahun di Perancis. Sementara itu, untuk program S-
3, skema studi ditentukan berdasarkan subjek disertasi dan dosen
pembimbingnya.
Tentu saja kandidat yang berminat melanjutkan studi di perancis harus
menunjukkan kemampuan bahasa Perancis dengan lulus tes DELF B2.
Kandidat yang berminat pada bidang sains harus lulus tes DELF B1. Namun
kandidat yang terpilih tetap akan dibekali kelas intensif bahasa Perancis.

Beasiswa Eiffel

Selain IFI tadi, Kementerian Luar Negeri Prancis juga menawarkan


beasiswa Eiffel untuk pelajar internasional. Beasiswa tahunan ini diberikan
untuk mahasiswa S-2 dan mahasiswa S-3 melalui penelitian bersama atau
pendampingan dosen dari perguruan tinggi Prancis.

Tiga jurusan yang dapat diambil melalui skema beasiswa ini adalah Ilmu
Teknik pada jenjang S-2, sains dalam lingkup luas pada jenjang S-3, seperti ilmu
teknik, matematika, fisika, kimia, nano dan bioteknologi, ilmu bumi dan
lingkungan serta teknologi komunikasi dan informasi; dan ilmu manajemen,
ekonomi, hukum dan politik.
Beasiswa akan diberikan selama maksimal 12 bulan untuk M2, 24 bulan untuk
M1, 36 bulan untuk program studi teknik dan maksimal 10 bulan untuk
program doktoral.

Beasiswa yang diberikan senilai 1.181 euro untuk mahasiswa S-2 dan
1.400 euro untuk mahasiswa S-3. Fasilitas lainnya adalah biaya transportasi
internasional, asuransi kesehatan dan aktivitas budaya. Scholars juga bisa
mendapatkan biaya akomodasi tambahan dalam kondisi tertentu. sementara
itu, beasiswa S-3 akan diberikan senilai 1.400 euro. Scholars juga mendapatkan
biaya transportasi internasional, asuransi kesehatan, dan aktivitas budaya.

Sistem Pendidikan

Jenjang pendidikan tinggi,diberikan di universitas-universitas. Universitas


Sarbonne di Paris adalah universitas pusat.Pendidikan Tinggi dibagi dalam 3
cycle,masing-masing 2 tahun lamanya dan diakhiri dengan ujian.

1. Cycle pertama mengenai Science


2. Cycle kedua mengenai kesenian
3. Cycle ketiga,ditujukan untuk menghasilkan para peneliti dengan gelar
maitrese

Anda mungkin juga menyukai