City of Tomorrow
City of Tomorrow
PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
Disusun oleh :
Nim: (613021))
JULI 2016
CITY OF TOMORROW
City of Tomorrow adalah acara pameran arsitektur dan seminar yang
diadakan di gedung Fakultas Teknik Universitas Brawijaya atas kerja sama dengan
Universitas Brawijaya, IFI, IAI. Didalam seminar ini banyak membahas tentang
beretika dalam arsitektur dan suatu perencanaan kota dengan kepadatan yang tinggi
dengan baik. Dihari pertama seminar dengan pembahasan City of Tomorrow, di hari
kedua yaitu Arsitektur perkotaan dan ruang public, kemudian Urban design dari IAPI,
dan yang terakhir ditutup dengan acara talkshow studi lanjut dan seni budaya
Perancis.
Aspek sosial, maksudnya pembangunan yang berdimensi pada manusia dalam hal
interaksi, interrelasi dan interdependesi. Yang erat kaitannya juga dengan aspek
budaya. Tidak hanya pada permasalahan ekonomi, pembangunan berkelanjutan
untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya sebuah
amsyarakat tetap bisa eksis untuk menlajalani kehidupan serta mempunyai sampai
masa mendatang.
Pengertian dari tidak mengurangi dan mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang adalah pembangunan yang dilakuakn dimasa sekarang itu jangan sampai
merusak lingkungan, boros terhadap SDA dan juga memperhatikan generasi yang
akan datang. Generasi yang akan datang juga jangan terlalu dimanjakan dengan
tersedianya semua fasilitas. Tetapi mereka juga harus di beri kesempatan untuk
berekspresi menuangkan ide kreatifnya untuk mengolah dan mengembangkan alam
dan pembangunan.
Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro lingkungan hidup,
pro rakyat miskin, pro kesetaraan jender, pro penciptaan lapangan kerja dan harus
antikorupsi, kolusi serta nepotisme.
Kotler dan Lee mengidentifikasi enam pilihan program bagi perusahaan untuk
melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial
sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam
inisiatif sosial yang bisa dieksekusi oleh perusahaan adalah:
Etika berarsitektur
Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang
tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek
jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang
boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam masyarakat modern bukan apa yang
pertama-tama dipentingkan melainkan bagaimana, yaitu bagaimana ketiga bidang
(arsitek/arsitektur, budaya, dan etika) dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika
jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan sejumlah kaidah bagi orang perorangan,
mengenai apa yang halal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu
merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri
(van Peursen 1976:192). Bahwa etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit,
janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur dan kota yang tak berwajah itu.
Setiap bentuk arsitektur dan tata ruang kota hendaknya menghasilkan etika,
tetapi untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu counter play juga. Yang
bersifat normatif, itulah counter partner sejati bagi masyarakat.
Pemandangan kita terhadap arsitektur dan kota menjadi kabur, dan mereka
kehilangan identitas mereka sendiri. Secara fungsional mereka baru menjadi seorang
pribadi, bila mereka terbuka untuk sesuatu yang lain atau seorang arsitek-kota yang
lain. Jalur-jalur baru dirintis dan dibuka sehingga terbentanglah sejumlah
kemungkinan baru, tetapi itu semua lalu tersumbat; alternatif-alternatif makin jauh
dari pandangan kita. Identitas kita sendiri tak dapat ditemukan lagi. Masyarakat dan
arsitek-kota memudar dalam denah perbuatan-perbuatan di mana keontentikan kita
hilang. Maka dari itu, sikap berbudaya-beretika-berarsitektur lebih menunjukkan
suatu tanggung jawab dari pada suatu tahap yang telah tercapai.
Pakar sejarah dan pelestarian arsitektur ini menyampaikan definisi kota secara
bahasa baik Sansekerta maupun Jawa Kuno adalah benteng atau kubu pertahanan.
Dan juga, hampir semua benteng-benteng yang ada di kota-kota kuno yang ada di
Jawa berbeda secara konstruksi dengan benteng-benteng peninggalan Belanda.
Yang asli memang sejak awal perkembangan kota-kota tua di Indonesia awal
mulanya bagian dari kerajaan. Tetapi kecenderungan perkembangan kota kita
sekarang menuju ke kota-kota yang ada di Eropa, tukasnya.
Namun, bukan berarti Antariksa menentang teori dari barat. Tetapi secara kultural,
geografis, dan konteksnya sangat berbeda sekali. Lantas ia mencontohkan kota-kota
berdasar pengertian diatas seperti Kota Pingyao dan Xian di Cina, serta Kota
Mohenjodaro dan Kumbhalgarh di India. Kota dikelilingi tembok tinggi atau benteng
tempat rakyat berlindung sewaktu ada bahaya.
Dosen kelahiran Yogyakarta ini kemudian menuturkan bahwa Asia Tenggara menjadi
wilayah yang penting dan menarik untuk pengkajian budaya. Di pusat-pusat kota di
Asia Tenggara budaya bisa homogen tetapi di dalamnya terdapat unsur heterogen.
Begitu juga sebaliknya, unsur heterogen dapat dimasuki unsur homogen. Hal ini
berbeda dengan yang terjadi di negara barat.
Itulah yang menjelaskan kenapa ada Kampung Cina, Kampung Hindu, Kampung
Arab. Kalau sudah demikian bagaimana? Elemennya pasti berubah, dari hal ini akan
muncul alkulturasi, tegasnya.
Hal seperti ini tidak akan dijumpai di kota-kota di luar Asia Tenggara. Menurut
alumni Kyoto Institute of Technology tersebut, hal ini justru menarik sebagai lahan
untuk kajian penelitian, konteks budaya lebih luas dan etnisnya lebih banyak sehingga
akan mempengaruhi ruang kota.
Sebenarnya, lanjut Antariksa, tiap kota di negara manapun memiliki ciri-ciri universal.
Hanya konteks budayanya yang berbeda. Kota dengan tingkat ekonomi dan
pendidikan bagus pasti menarik. Sebaliknya, kota dengan ekonomi dan pendidikan
jatuh maka kota tersebut akan timbul banyak permasalahan.
Kontek budaya ekonomi itu sangat berpengaruh sekali. Kita mau mengadopsi kota-
kota yang ada di Eropa ke kota yang ada di Jawa butuh waktu lama, karena tingkat
ekonomi pendidikan sangat berpengaruh, jelasnya.
Perencanaan arsitektur dan kota tanpa etika akan menimbulkan masalah. Ruang
publik dapat tergusur oleh pembangunan dan fungsi yang baru, papan reklame yang
semrawut, dan munculnya bangunan dan ruko-ruko mall yang tidak terkendali.
Rancang kota selalu berkembang dari masa ke masa, bermula dari Jane Jacobs
yang mengkritik perancangan struktur kota yang hanya mementingkan
pembangunan kota yang ideal dan modern tanpa memperhatikan detail-detail
pembentuk ruang kota seperti konektivitas, pejalan kaki dan lainnya. Seperti kita
ketahui rancangan suatu kota mempengaruhi bentuk kota dan aktivitas manusia di
dalamnya, apabila detail yang dirancang pada suatu kota tidak sesuai dengan aktivitas
manusianya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kota tersebut. Detail
pembentuk ruang kota tidak hanya berupa zona peruntukan lahan, linkage, street
furniture dan sebagainya tetapi kita juga harus mempertimbangkan dampak yang
dihasilkan dari penataan sebuah kawasan atau kota tersebut.
Menurut Castel, ruang kota di masa sekarang tidak lagi terbentuk dari aktivitas
manusia dan budaya namun bisa terbentuk dari dominasi aktivitas ekonomi.
Munculnya kota-kota kecil di dalam kota seperti China Town yang secara tidak
langsung dapat merubah struktur kota yang ada. Dominasi ekonomi juga secara tidak
sadar membentuk budaya masyarakat perkotaan di zaman sekarang, semakin banyak
bangunan yang didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dan tidak lagi
memperhatikan budaya lokal di kota tersebut. Saat ini bangunan-bangunan dibangun
hanya untuk memenuhi kebutuhan investor dan perancang dihadapkan dengan
dilema merancang untuk kaum kapitalis atau mendengarkan keinginan masyarakat
yang mungkin hanya menginginkan ruang publik yang gratis tanpa harus membayar
atau membeli barang apapun. Ruang publik yang harusnya menjadi ruang sosial (third
place) kehilangan maknanya, makna ruang publik setelah kehadiran ruang-ruang
sosial yang modern seperti departement store menjadi bias.
Dalam artikel principles for regional design disebutkan di masa lalu ada batasan
yang bisa dilakukan untuk merubah lingkungan dan yang bisa ditambahkan untuk
memodifikasi lingkungan, sehingga dampak kekuatan teknologi dan ekonomi ini
terhadap lingkungan sebelumnya tidak pernah memiliki potensi besar untuk
menghancurkan sistem kehidupan.
Dalam artikel ini juga dibahas prinsip-prinsip yang paling tepat untuk mendesain
kawasan berdasarkan identitas kawasan seperti:
1. Knowing the place, salah satu cara dengan mengenali bagaimana orang
menggunakan tempat berbeda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di satu
bangunan yang memiliki sense of place yang khas, cara ini dapat ditingkatkan
dalam perkotaan. Kriteria mendasar dalam menentukan ini adalah pertama
dengan proses alami dari konteks lokal dan alam menjadi pertimbangan
utama, kedua dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang tinggal agar
mudah beradaptasi.
2. Identity through the landscape, kita dapat langsung mengenali suatu tempat
dengan topografi dan keindahan alam daerah tersebut.
Sebagai perancang kita memang diharapkan untuk merancang kota dengan tidak
meninggalkan budaya lokal namun harus dapat mengikuti perkembangan zaman.
Identitas suatu kota semakin lama dapat semakin memudar bahkan hilang apabila
sebagai perancang kita tidak mengasah sense of place, rasa memiliki suatu tempat
tidak hanya mengetahui kebudayaan lokal dan aktivitas masyarakatnya tapi lebih dari
itu kita harus benar-benar merasakan sejarah dan apa yang masyarakatnya rasakan.
Terkadang mengasah kepekaan terhadap suatu tempat masih sulit di praktekkan oleh
perancang saat ini yang referensinya kebanyakan mengacu kepada budaya
luar/modernisasi. Padahal Indonesia memiliki keberagaman dalam budaya, namun
apabila perancangnya tidak memiliki kepekaan terhadap itu bisa saja kota-kota di
Indonesia menjadi sama dan perlahan akan hilang identitas lokalnya hanya karena
seorang perancang mempertimbangkan kebutuhan investor dan pasar.
Apabila kita merancang sebuah kawasan, apakah lokalitas kawasan itu tetap terjaga?
Apakah kita sudah benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakatnya? Bagaimana
dampak suatu kegiatan terhadap struktur kotanya? Masalah kemacetan?. Apakah
seorang perancang kota dapat menjawab seluruh pertanyaan itu sendiri??
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin akan terus berlanjut seiring kita merancang
suatu kawasan atau kota, segala pertanyaan itu menjadi renungan dan pembelajaran
bagi para perancang kota agar tidak hanya dapat menghasilkan rancangan yang baik
namun memiliki sense of place.
Seringkali praktisi planner (perencana kota) menghadapi dilema dalam merencanakan
tata ruang kota. Apakah perencanaan dengan tipe pemukiman kepadatan tinggi atau
dengan tipe pemukiman kepadatan rendah. Atau bila harus memilih, perencanaan
pemukiman dengan pola jalan grid atau dengan pola jalan besar. Pertanyaannya
adalah, manakah yang lebih baik? bagaimanapun juga banyak faktor yang
mempengaruhi perencanaan suatu kota. Namun, bagaimana tuntutan perencanaan
suatu kota di masa depan?
Kalau kita berbicara kota yang baik, seharusnya mencerminkan kearifan lokal,
menginterprestasi kebijakan makro, mampu memecahkan masalah lokal, dan mampu
menjawab isu global (berkelanjutan), beber Agus di Auditorium Prof. Ir Suryono,
Rabu, 11 Mei 2016.
Lebih jauh, Agus memaparkan isu global kota yang berkelanjutan. Ia mengusulkan
konsep perencanaan generasi ketiga dalam kota berkelanjutan.
Dalam paparannya, Agus menguraikan banyak istilah, konsep, tipologi, atau kriteria
untuk kota berkelanjutan dari pakar-pakar di dunia; Neotraditional
Development, Urban Containment, Compact City, dan Eco City. Masing-masing
mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Tidak jauh berbeda, Compact City memiliki ciri bentuk kota kompak dengan radius
kota yang kecil, kepadatan tinggi, serta mendukung penggunaan guna lahan
campuran. Namun, bila dirangkum, maka terdapat kriteria-kriteria yang hampir sama
dari masing-masing konsep.
Bila dirangkum kriteria kota masa depan memiliki kepadatan tinggi, keragaman
tinggi, guna lahan campuran, kompaksi tinggi, transportasi berkelanjutan, passive
solar design, dangreening ecological design, jelasnya.
Buktinya pada kota dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Hongkong, Singapore,
Moscow, Tokyo, semakin efisien kebutuhan energinya. Tapi kota-kota dengan
kepadatan rendah seperti Amerika Utara dan Australia, kebutuhan akan energinya
susah, kata Agus.
Dampaknya bukan hanya itu, bahkan penggunaan angkutan umum di Singapore,
Hongkong, dan Tokyo tidak perlu disubsidi lagi. Karena mereka mampu untuk
mendapatkan incomeyang lebih bila dibandingkan kota-kota di Amerika Utara atau
Australia. Memang, Agus menambahkan, bila kepadatan terlalu tinggi ternyata juga
banyak dampak negatifnya.
Yang terbaik adalah tidak terlalu padat atau rendah dengan kemungkinan banyak
desain yang masih bisa dikembangkan. Istilahnya adalah Urban Perimeter Blocks,
tutur alumniUniversitat Karlsruhe TH ini.
Kemudian, keragaman penggunaan lahan yang tinggi berupa perdagangan dan jasa,
industri, pendidikan dan fasum, perumahan, dan sarana rekreasi harus mendukung
jarak yang yang dapat dicapai dengan berjalan kaki atau naik sepeda.
Radius atau jarak orang maksimal orang berjalan kaki yang nyaman dalam aktivitas
sehari-sehari rata-rata ke pusat layanan adalah 750 meter, tukasnya.
Sementara itu, merancang jalan permukiman tidak boleh terlalu lebar atau sempit.
Konsep ini dikenal dengan istilah konsep small block size. Mengapa? Dengan
banyaknya persimpangan meningkatkan indeks konektivitas dan dapat mengurangi
kecepatan kendaraan bermotor. Jalan ini harus memiliki pola saling terhubung agar
mempunyai pilihan rute dan dapat memilih rute terpendek.
Skala kecil dari kota berkelanjutan adalah kampung kota. Ia mencontohkan beberapa
kampung kota yang dapat dijadikan contoh pengembangan. Diantaranya Kampung
Kota di Surabaya, Kotagede Yogyakarta, Kampung Batik Laweyan Solo, Kampung
Kemasan Gresik, dan Kampung Ampel Surabaya.
Tinggal dibenahi atau dipoles saja hal-hal kecil seperti masalah sirkulasi udara.
Apalagi kalau kita tambahkan namanya vitalitas ekonomi atau istilahnya kampong
tematik maka akan semakin baik, imbuh Agus.
Dari keempat bentuk kota di atas memiliki beberapa kriteria yang sama yaitu
budaya Indonesia dan Prancis sangat berbeda, hingga perlu kita bekali
informasi-informasi terkait pendidikan itu sendiri, kebudayaan, culture shock,
bagaimana perpanjangan visa, serta administrasi pengurusan visa menjadi izin
tinggal.Dan yang terpenting adalah materi metodologi, bagaimana mahasiswa
kita bisa sukses kuliah di sana.Secara lebih spesifik, terdiri dari kehidupan
sehari-hari di Prancis, prosedur tinggal di Prancis, adaptasi terhadap kehidupan
baru di Prancis, kehidupan siswa, hingga wisata dan budaya di Prancis.
Beasiswa Eiffel
Tiga jurusan yang dapat diambil melalui skema beasiswa ini adalah Ilmu
Teknik pada jenjang S-2, sains dalam lingkup luas pada jenjang S-3, seperti ilmu
teknik, matematika, fisika, kimia, nano dan bioteknologi, ilmu bumi dan
lingkungan serta teknologi komunikasi dan informasi; dan ilmu manajemen,
ekonomi, hukum dan politik.
Beasiswa akan diberikan selama maksimal 12 bulan untuk M2, 24 bulan untuk
M1, 36 bulan untuk program studi teknik dan maksimal 10 bulan untuk
program doktoral.
Beasiswa yang diberikan senilai 1.181 euro untuk mahasiswa S-2 dan
1.400 euro untuk mahasiswa S-3. Fasilitas lainnya adalah biaya transportasi
internasional, asuransi kesehatan dan aktivitas budaya. Scholars juga bisa
mendapatkan biaya akomodasi tambahan dalam kondisi tertentu. sementara
itu, beasiswa S-3 akan diberikan senilai 1.400 euro. Scholars juga mendapatkan
biaya transportasi internasional, asuransi kesehatan, dan aktivitas budaya.
Sistem Pendidikan