Anda di halaman 1dari 9

Rachayu Arsid

N 101 12 171

Makalah Kesehatan
Demam Tifoid

15
Artikel Kesehatan September, 2015

Demam Tifoid

a. Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Samonella Thypi (Nashar A et al, 2010). Demam tifoid disebut juga
dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Alan, R.T., 2003)
Demam tifoid, salah satu infeksi bakteri utama di seluruh dunia , disebabkan
adaptasi oleh S. enterica serovar Typhi di dalam tubuh manusia. Untuk setiap
sepuluh kasus infeksi S. Typhi, ada satu atau dua kasus demam paratifoid, yang
disebabkan oleh S. enterica serovar Paratyphi A , B dan Paratyphi Paratyphi C.
Demam paratifoid tidak dapat dibedakan dari demam tifoid dalam proses klinis,
S. enterica serovar Typhi, Paratyphi A , B dan Paratyphi Paratyphi C secara
kolektif disebut serovar Salmonella dalam demam tipoid (Rafatellu, M et al.,
2008)
b. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid
.dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap dirumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh

1
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta
kasus pertahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus (Wardhani, P et al., 2005)
Epidemiologi penyakit demam tifoid berdasarkan penelitian WHO tahun 2003
diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (WHO, 2004). Berdasarkan profil
kesehatan Indonesia 2007 departemen kesehatan Republik Indonesia,
memperlihatkan bahwa 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di Rumah
Sakit tahun 2006 bahwa demam tifoid menurut kode Daftar Tabulasi Dasar
(DTD) 2 dan kode International Classification of Diseases (ICD) A1 adalah
72.804 dengan persentase 3,26%. Menduduki peringkat ke 3 setelah penyakit
diare dangan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu dan demam berdarah
dengue (Saraswati, N.A et al,. 2012)
Rata-rata insiden kejadian demam tifoid sangat tinggi ditemukan di Asia,
terutama di wilayah Selatan-Tengah dan Selatan-timur, dimana sekitar 100 kasus
per 100.000 penduduk setiap tahun. Membaiknya kondisi sanitasi dan kesehatan
diperkirakan menjadi faktor untuk mengurangi insiden demam tifoid. Namun,
sanitasi tidak mampu menjelaskan mengapa insiden kejadian demam tifoid di
Afrika lebih rendah bila dibandingkan dengan Asia (100 kasus/ 100.000
penduduk) (Rafatellu, M et al., 2008)
c. Patogenesis Demam Tifoid
Masuknya kuman Salmonella thypi (S.thypi) dan Salmonella parathypi
(S.parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan di fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat

2
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama di limpah dan di hati (Sudoyo
et al., 2009)
S.typhi dalam saluran pencernaan akan menyerang sel mukosa usus halus.
Setelah melekat, bakteri melakukan migrasi pada folikel limfoid dari usus dan
nodul limfa mesentrik. Bakteri dapat bertahan dan memperbanyak diri diantara sel
fagosit mononuklear dari folikel limfoid, hati dan limfa. Waktu yang dibutuhkan
pada periode ini selama bakteri memperbanyak diri antara 10 14 hari dari masa
inkubasi demam tifoid. S.typhi mengeluarkan endotoksin dalam proses inflamasi
lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang biak dan merangsang pelepasan
zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam.
Jumlah bakteri yang banyak dalam darah (bakteremia) menyebabkan demam
makin tinggi. Bagian utama yang sering terkena infeksi sekunder adalah hati,
sumsum tulang, kantung empedu dan ginjal (Everest., 2001)
d. Prinsip Dasar Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Penyakit demam tifoid memiliki masa inkubasi rata-rata antara 7-20 hari,
dengan inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Masa inkubasi ini
mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang tertelan, umur, status gizi
dan status imunologik (WHO., 2003)
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya di dapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, suhu 1C tidak diikuti

3
peningkatan denyut nadi 8 kali permenit, lidah yang yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. Penegakkan
diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias diberikan terapi yang
tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit
ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu membutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis (Sudoyo et al., 2009)
2. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Widal
Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun mempunyai banyak
keterbatasan dan penafsiran uji Widal, untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat
pemeriksaan, pengobatan antibiotik yang mendahuluinya, daerah endemis,
status imunologis, vaksinasi, penggunaan obat imunosupresif, reaksi
silang serta teknik pemeriksaan. Untuk melacak kenaikan titer dilakukan
dengan cara menentukan titer aglutinin O dan H.
Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%),
asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita
demam nontifoid. Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji Widal
masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan kesulitan dalam
memeriksa bakteri di negara berkembang. Hampir semua ahli sepakat
bahwa kenaikan titer agglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau aglutinin
H dalam jangka waktu 57 hari bernilai diagnostik amat penting untuk
demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu
kali pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti

4
diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Namun demikian, masih
dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di penderita dewasa
yang berasal dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun
dari daerah endemik. Sebab di kelompok penderita ini kemungkinan
terkena S.typhi dalam dosis subterinfeksi masih amat kecil (Wardhani, P et
al., 2005)
2) Kultur Darah
Kultur merupakan gold standar, termasuk kultur sumsum tulang
dalam diagnosis demam tifoid dan secara khusus cocok untuk pasien yang
kultur darahnya negatif. Aspirat sumsum tulang memberikan hasil positif
sekitar 80-95% pada pasien tifoid. Kultur sumsum tulang berguna untuk
diagnosis penyakit yang berkepanjangan dan pada pasien yang sedang
menjalani terapi antibiotik (WHO, 2003). Akan tetapi walaupun metode
ini sangat sensitif tetapi metode ini sulit sehingga jarang diterapkan dalam
praktek sehari-hari. Kultur tinja dan urine baru menunjukkan hasil positif
setelah minggu pertama infeksi, dan sensifitasnya lebih rendah daripada
kultur darah dan biasanya digunakan untuk diagnosis karier kronis (Zhou
and Pollard., 2010)
e. Penanganan Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid,
yaitu:
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dan perawatan profesional
bertujuan untuk mencegah komplikasi. Dalam perawatan perlu dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik
serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatiakn dan dijaga.
2. DIET dan Terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Dimana

5
lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberi nasi,yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa selulosa (menghindari
sementara sayuran berserat) dapat biberikan dengan aman pada pasien demam
tifoid.
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman (Nashar A et al, 2010)
Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (4,39%), ampisilin
(2,19%), amoksisilin (1,65%), dan tiamfenikol (1,65%) jarang diberikan pada
pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan
untuk pengobatan demam tifoid. Namun dalam hal kemampuan untuk
menurunkan demam, efektivitas amoksisilin, ampisilin dan tiamfenikol lebih kecil
dibandingkan dengan kloramfenikol. Sedangkan kotrimoksazol efektivitasnya
tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol (Musnelina Lili et al., 2004)

6
DAFTAR PUSTAKA

Alan, R.T., 2003. Diagnosis dan Tata Laksana Demam Tifoid, Dalam Pediatric
Update, Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta

Everest, P., Wain, J., Roberts, M., et.al. 2001. The Molecular Mechanisms of Severe
Typhoid Fever. Trends in Microbiology. Vol.9 No.7.Easmon, C. 2006, Typhoid
Fever and Paratyphoid Fever.
http://www.netdoctor.co.uk/travel/diseases/typhoid.htm. Diakses 7 Pebruari 2013.

Musnelina Lili, Afdhal A.F., Gani, A., Andayani, P., 2004. Pola Pemberian
Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Tahun 2001-2002. Makara, Kesehatan Vol. 8. No.1. Di Akses 7 Juni 2015

Nashar A et al, 2010, The Disease, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta

Raffatellu, M., Wilson P.R., Sebastian, E., Andreas, J.B., 2008. Clinical Pathogenesis
Of Thypoid Fever. Journal Infect Developing Countries Vol. 2, No. 4 : 260-266.
Di Akses 7 Juni 2015

Saraswati, N.A., Junaidi, A.R., Maria, U., 2012. Karakteristik Tersangka Demam
Tifoid Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode
Tahun 2010. Syifa Medika Vol. 3. No.1. Di Akses 7 Juni 2015

Sudoyo, A.W, Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. 2009. Buku Ajar


Ilmu Penyakit dalam Edisi V Jilid III. EGC : Jakarta

Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo, 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal


Menggunakan Antigen Import Dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1 : 31-37. Di Akses 7 Juni 2015

WHO, 2003: Diagnosis of Typhoid Fever: The diagnosis, Treatment and Prevention
of Typdoid Fever:7-18

Zhou, L and Pollard, A.J. 2010. A fast and highly sensitive blood culture PCR
method for clinical detection of Salmonella enterica serovar Typhi. Annals of
Clinical Microbiology and Antimicrobials, 9:14:1-8.

7
8

Anda mungkin juga menyukai