Ca Nasofari

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 40

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 STATUS PASIEN


MRS : 22 April 2015
Tempat Pemeriksaan : Ruang Melati
Identitas
Nama : Tn. JM
Usia : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bendosari RT 02 RW08 Kebumen Banyubiru
Pekerjaan : Buruh bangunan
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
A. HASIL ANAMNESA
Autoanamnesis pada tanggal 22 April 2015
1. Keluhan Utama
Benjolan di leher
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak tahun 2014, Pasien mengeluh ada benjolan di leher kiri. Benjolan
pertama kali terasa tepat di bawah dagu, tidak terlalu menonjol keluar hanya
teraba jika dilakukan penekanan dalam. Benjolan pada awalnya tidak dirasa nyeri
dan tidak bergerak-gerak. Selain benjolan pasien juga mengaku tenggorokan
sering kering dan sedikit nyeri sehingga pasien selalu minum air putih. Pada awal
tahun 2015, pasien merasa benjolan semakin membesar dan pasien merasa timbul
benjolan di sebelah kanan. pasien juga mengeluh tenggorokan kering dan nyeri,
yang tidak sembuh-sembuh, pasien juga mengaku sering flu dan sering tersumbat
saat pagi hari. Benjolan dirasa pasien sangat mengganggu, sehingga pasien merasa
agak sulit untuk menelan dan berbicara. Pasien juga mengeluh hidung terasa
tersumbat sehingga sulit untuk bernafas. Hidung tersumbat dirasakan muncul

1
setiap hari terutama di pagi hari. Selain itu pasien mengeluh pendengaran kedua
telinga berkurang, terasa tidak nyaman dan seperti mampet terutama telinga kiri.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala cekot-cekot, hilang timbul, semakin memberat,
timbul tiba-tiba saat pagi hari dan hilang menjelang siang. Pasien tidak mengeluh
pandangan ganda, namun pasien mengeluh pandangan agak sedikit kabur. Pasien
dibawa oleh keluarga berobat di RS Dokter Kariadi Semarang, dan dilakukan
endoskopi dan biopsi nasofaring. Hasil biopsi didapatkan suspek karsinoma
nasofaring. Pasien dan keluarga dimotivasi untuk dilakukan biopsi ulang dan
kemoradiasi, namun pasien menolak dan pulang. Pada tanggal 22 April 2015,
Benjolan di leher dirasa menimbulkan nyeri tertusuk sehingga pasien menjadi
sulit untuk menelan dan bernafas, kemudian pasien dibawa ke RSUD Ambarawa.
Selama di Igd pasien diberi oksigen. Keluarga pasien meminta untuk dirawat inap
dan menolak untuk dirujuk kembali ke RS dokter Kariadi. Selain sulit bernafas,
pasien juga mengeluh nyeri kepala seperti tertusuk,hidung mampet, Pendengaran
berkurang dan telinga sebelah kiri sakit, pandangan sedikit kabur, sulit menelan
dan agak sedikit sakit jika menelan. Selama anamnesis suara pasie serak dan
pasien sulit mengucapkan kalimat dan terkadang berhenti sesekali di tengah
kalimat

2. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Hipertensi (-) Disangkal
Riwayat DM (-), disangkal
Riwayat Jantung disangkal (belum pernah melakukan pemeriksaan dan tidak
ada keluhan)
Riwayat alergi disangkal
Riwayat gastritis diakui
Riwayat ISPA diakui

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi dan riwayat DM tipe II, penyakit
jantung, dan asma disangkal. Ayah pasien meninggal karena stroke tahun
2000
Riwayat kanker dikeluarga disangkal oleh pasien.

2
4. Riwayat sosial Ekonomi:

Pasien merupakan perokok aktif sejak SMP sampai saat ini, 1 hari pasien
bisa menghabiskan 2 bungkus rokok.
Pola makan pasien tidak teratur, dan pasien sering mengkonsumsi makanan
instant dan ikan asin.
Pasien bekerja sebagai buruh bangunan kasar dan tidak pernah memakai alat
peindung terutama masker

5. Anamnesa Sistem :
Sistem serebrospinal : Pusing cekot-cekot
Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan
Sistem respirasi : Sesak nafas
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem Muscukoskeletal : tidak ada keluhan
Sistem Integumen : tidak ada keluhan
Sistem Urogenital : tidak ada keluhan
6. Resume Anamnesa :
Tn. JM 47 tahun datang dengan riwayat benjolan dileher yang semakin
lama semakin besar dan mengganggu. Pasien juga mengeluh benjolan tersebut
mengakibatkan pasien sulit untuk menelan sehingga pasien jarang makan. Sering
mengeluh nyeri kepala cekot-cekot, pandangan kabur, hidung tersumbat,
pendengaran di berkurang dan nyeri terutama di telinga kiri. Awal tahun 2015
dilakukan biopsy nasofaring dan didiagnosis suspect carcinoma nasofaring.
Pasien dan keluarga dimotivasi untuk biopsy ulang dan kemoradiasi namun
keluarga menolak.
B. PEMERIKSAAN FISIK ( Tanggal 22 April 2015)
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit berat, kesan status gizi cukup

Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/69 mmHg
Nadi : 108x/menit
Pernafasan : 22 x/menit

3
Suhu : 37,40C
SpO2 : 98 %
Kepala
Normosephal . Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher
Inspeksi : Pembesaran KGB (+) di 1/3 lateral kiri dan kanan atas
Palpasi : Teraba massa di region submandibularis sinistra dan dextra,
nyeri tekan (+)
Thoraks
Paru
I : Dada tampak simetris pada thoraks dextra dan sinistra,
tidak terlihat retraksi intercosta
Pa : Gerakan nafas teraba simetris pada thoraks dextra dan
sinistra, fremitus suara teraba simetris pada thoraks dextra
dan sinistra
Pe : Batas paru-hepar : ICSVI MCL dextra
A : Wheezing (-/-), Rhonki (-/-), vs (+/+)
Jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
Pa : Ictus cordis tidak teraba
Pe : Batas jantung :
Batas jantung atas : ICS IIIMCL sinistra
Batas jantung kanan : parasternal line dextra
Batas jantung kiri : ICS V II jari lateral MCL sinistra
Batas jantung bawah : ICS VI MCL sinistra
A : S1/S2 normal, thrill (-), gallop (-), murmur (-)

Abdomen
I:
Bentuk datar
Gerakan peristaltik tidak terlihat
Massa (-)

4
A : Peristaltik usus normal
Pa :
Soefl
Hepar tidak teraba
Lien tak teraba
Nyeri tekan epigastrium (-)
Pe : Timpani di seluruh abdomen
Ekstremitas atas dan bawah
Edema (-)
Sianosis (-)
Hangat
2. Status Lokalis
Telinga :
Dekstra Sinistra
Auricula Bentuk normal, Nyeri tekan Bentuk normal, Nyeri tekan
(-), Massa (-) (-), Massa (-)
PreAuricula Tragus pain (-), Fistel (-), Tragus pain (-), Fistel (-),
abses (-) abses (-)
RetroAuricula Nyeri tekan (-), abses (-), Nyeri tekan (-), abses (-),
edema (-), Hiperemis (-) edema (-), Hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE Serumen (+), hiperemis (-) Serumen (+), hiperemis (-)
discharge mukopuruloen (-), discharge mukopuruloen (-),
corpus alienum(-) corpus alienum(-)
Membran timpani
Perforasi (-) (-)
Cone Of Light Positif arah jam 5 Positif arah jam 7
Warna Putih keabuan seperti Berwarna merak pink
mutiara
Bentuk Cekung Cekung

5
Hidung
Dekstra Sinistra
Hidung luar Bentuk(Normal), Bentuk(Normal),
Hiperemi(-), Nyeri tekan Hiperemi(-), Nyeri tekan
(-), Deformitas (-) (-), Deformitas (-)
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Normal, Ulkus (-) Normal, Ulkus (-)
Cavum Nasi Bentuk(Normal), Bentuk ( Normal)
Mukosapucat(-), Mukosapucat(-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Meatus Nasi Media Mukosa Hiperemi (-), Mukosa Hiperemi (-),
Sekret (+ bening kental) Sekret (+ bening kental)
Massa (-) Massa (-)
Konka Nasi inferior Edema (-), Mukosa Edema (-), Mukosa
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Septum Nasi Deviasi (-), Perdarahan Deviasi (-), Perdarahan
(-), Ulkus (-) (-), Ulkus (-)

Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna pucat, sudut bibir
mencong ke kiri.
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Lidah Permukaan lidah putih, tampak seperti sisa
makanan, atrofi (-), Deviasi kearah kiri.
Geligi
Uvula
Palatum Mole
Faring Tidak dapat dievaluasi karena pasien susah
Tonsila palatin membuka mulut, lebarnya 2 jari
Fossa tonsillaris dan
arkus faringus

6
3. Status Neurologicus
a. Kesadaran
Kompos mentis, GCS (E4 V5 M6)
b. Kepala
Bentuk normal, simetris. Pericranial tenderness (-/-)
c. Leher
Pergerakan (+).
d. Pemeriksaan Saraf Kranialis

Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri


Olfaktorius (I)
Subjektif Normal Normal
Objektif (Kopi, Teh, rokok) Normal Normal
Optikus (II)
Tajam penglihatan (Subjektif) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan pandang (Subjektif) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Okulomotorius (III)
Pergerakan mata kearah Normal Normal
superior, medial, inferior, torsi
inferior
Ptosis (-) (-)
Strabismus (-) (-)
Nystagmus (-) (-)
Eksoftalmus (-) (-)
Refleks Cahaya (+) (-)
Refleks Cahaya konsensuil (+) (+)
Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat, isokor
Ukuran 3 mm 3 mm
Diplopia Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi

7
Troklearis (IV)
Pergerakan mata torsi superior Normal Normal
Trigeminus (V)
Membuka mulut Terbatas, lebar 2 jari
Mengunyah Normal
Menggigit Normal
Sensibilitas muka Normal Normal

Abdusens (VI)
Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
Mengerutkan dahi Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Memperlihatkan gigi Normal Normal

Sudut bibir Sedikit mencong ke kiri


Bersiul Sulit dievaluasi

Vestibulokoklearis (VIII)
Fungsi pendengaran Normal Normal
(Subjektif)
Detik arloji Normal Normal
Suara berbisik (+) (+)
Tes Rinne, Scwabah, weber Rinne (positif) Rinne (positif)
Weber (lateralisasi -) Weber(lateralisasi-)
Scwabah ( Sama Scwabah ( Sama
dengan pemeriksa dengan pemeriksa
Glossofaringeus (IX)
Perasaan lidah (bagian Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
belakang)
Refleks muntah (+) (+)
Suara sengau (+) (+)

8
Vagus (X)
Bicara (+) serak (+)serak
Menelan Sulit sulit
Assesorius (XI)
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
Pergerakan lidah Berkurang
Deviasi kearah kiri
Artikulasi Berkurang

Pemeriksan otonom
Fungsi BAB : dalam batas normal
Fungsi BAK : dalam batas normal
Keringat : Normal

4. Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi 24 Januari 2015
No Jenis Pemeriksaan Dekstra Sinistra
1 Nasoskopi
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) (-)
Konka Inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi(-)
Konka Media Edema(-), Hipertrofi(-) Edema(-), Hipertrofi(-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Massa (-) (-)
Lain-lain (-) (-)
2 Nasofaringoskopi
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret Discharge (+) mukoid Discharge (+) mukoid
OsteumTubaeustachi Tidak tampak Tidak tampak
Torus Tubarius Sulit dinilai Sulit dinilai

9
Fossa rosen mulleri Sulit dinilai Sulit dinilai
Massa (+)Permukaan rata, (+)Permukaan rata, tidak
tidak rapuh, tidak rapuh, tidak mobile
mobile
Lain-lain
3 Sinuskopi
Mukosa Tidak dilakukan (TDN) TDN
Osteum TDN TDN
Tubaeustachii
Massa TDN TDN
Lain-lain TDN TDN
4 Laringoskopi
Pangkal lidah TDN TDN
Valekula TDN TDN
Epiglotis TDN TDN
Plika Ari epiglotika TDN TDN
Ariteroid TDN TDN
Fossa Piriformis TDN TDN
Plika Ventrikularis TDN TDN
Plika Vokalis TDN TDN
Gerakan TDN TDN
Aproksimasi TDN TDN
Massa TDN TDN
Lain-lain TDN TDN
KESAN: Tampak Massa di Nasofaring kanan dan kiri, permukaan rata,
tidak rapuh, tidak mobile

2. Biopsi Nasofaring tanggal 28 January 2015


Makroskopik
Keping-keping jaringan sebanyak kurang lebih 1,5 cc, Warna putih
kekuningan kenyal. Sebagian rapuh.

10
Mikroskopik
Setelah potong dalam tipis serial, sediaan biopsi nasofaring menunjukan
keeping jaringan yang sebagian tampak dilapisi epitel pseudostratified bersilia,
diantaranya tampak infiltrasi kelompok-kelompok sel epithelial yang sedikit
sekali, berinti bulat, oval, pleomorfik, hiperkromatik, kromatin kasar, nucleoli
prominen, mitosis abdnormal sedikit ditemukan dengan stroma jaringan ikat
fibrous kolagen sembab hiperemis bersebukan limfosit, histiosit, leukosit
PMN.
Kesimpulan
Infiltrasi sel-sel ganas epithelial
Catatan : Jenis Sulit ditemukan karena sel ganas yang ditemukan sedikit sekali
Saran :
Biopsi Ulang.

1.2 Diagnosis
Diagnosis utama : Carcinoma nasofaring
Otitis Media Akut Aurikula Sinistra stadium hiperemis
Diagnosis Banding : Limfoma

11
1.3 Planning
Rencana terapi :
Medikamentosa :
- Infus RL 20 tpm
-Ketorolac 2x30mg
- Ranitidine 2x1 amp

- Mecobalamin 1x1

- Vitamin C 1x1

Non-Medikamentosa:

-Tirah baring

-Diet lunak

- Biopsi ulang

- Rujuk untuk kemoterapi dan radioterapi

1.4 FOLLOW UP

Tanggal S O A P

23-4-2015 Pasien TD : 110/70 Karsinoma - Infus RL 20 tpm


08.00 mengeluh sulit HR : 89 nasofaring -Ketorolac 2x30mg
menelan, RR : 21
- Ranitidine 2x1 amp
telinga sakit, T : 37,4
hidung - Mecobalamin 1x1
tersumbat, Pupil: Isokor
kepala cekot- 3mm/3mm - Vitamin C 1x1
cekot RC+/-RK +/+
RCTL +/+
Motivasi untuk rujuk

Aurikula:
AD: Membran
timpani utuh,
mukosa
normal,
serumen +
AS: Membran

12
timpani utuh,
mukosa
normal
serumen +

Nasal :
Deviasi
septum (-),
Sekret (+/+)
mukoid

Oris:
Tonsil t1-t1
Atrofi lidah (-
) Karies dentis
(-) sudut bibir
mencong ke
kiri, lidah
deviasi ke kiri
24-4-2015 Pasien TD : 120/80
08.00 mengeluh sulit HR : 78 Karsinoma Terapi lanjut
menelan, RR : 19 Nasofaring
telinga sakit, T : 36,7 Motivasi ulang untuk
hidung rujuk
tersumbat
Keluarga
pasien
menolak untuk
dirujuk

25-4-2015 Pasien TD : 100/70


mengeluh sulit HR : 68 Terap lanjut
menelan, RR : 20 Karsinoma Menunggu konfirmasi
telinga sakit, T : 37,6 Nasofaring untuk rujuk pasien
hidung
tersumbat
Keluarga
pasien
menolak untuk

13
dirujuk

26-4-2015 Pasien TD : 100/70


menyutujui HR : 68 Karsinoma Pasien dirujuk ke RSD
untuk dirujuk RR : 20 nasofaring Kariadi semarang
T : 37,6

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING

Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi


karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum
molle.2

Batas nasopharing3 :

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia


Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri

15
Bangunan yang penting pada nasopharing4

Ostium tuba eustachii pars pharyngeal


Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan
nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar
tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.
Torus tubarius
Fossa rosen mulleri
Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat
predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di
THT.
Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor
angiofibroma nasopharing
Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha
Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan
mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior
dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas
hidung.

16
Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding
posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti
hak.
Fungsi nasopharing4 :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena :

Gaya gravitasi
Gerakan menelan
Gerakan silia (kinosilia)
Gerkan usapan palatum molle

2.2 DEFINISI

Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel


epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis. Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan
frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.5

2.3 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi,


yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus
per tahun di seluruh Indonesia (survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1980 secara pathology based). Dalam pengamatan dari pengunjung
poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif
lebih banyak dari suku bangsa lainya.1

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan
rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin
ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.

Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda. Pada daerah dengan


insiden rendah insiden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada

17
daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya
pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.6

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga


kekerapan cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal.
Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker
Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim
secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat.
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)
antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang
terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana
kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya,
apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna
dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut.
Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih
mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring
(KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah
maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker
ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong
ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin),
bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan
pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang
diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat
karsinogen bagi hewan percobaan.1,7

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu
(boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal
ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di
Singapura.6

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF


telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada
1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada
KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen.
Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus
ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan
dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi
penyakit.2

18
Ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara
umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan
perokok. Ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika
utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok.
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF
dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada
mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan
lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.2

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau


familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh
terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi
didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum
didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ
lain.1

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti


formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian
dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine = CHB).
Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi
EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat
menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yang ada di alam dan tumbuhan
jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob
yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus,
meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan
mempromosikan pembentukan KNF (genesis).2

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk


yaitu2 :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah
sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan
tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil
disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi
ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma
sel skuamosa dengan diferensiasi baik.

19
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferatif

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah


sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur
atau polipoid jarang dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai
ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa
diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak
dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin.
Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi
seluruh rongga nasofaring. Tumor ini dapat mendorong palatum molle ke
bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung.
Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.

2.4 VIRUS EBSTEIN BARR

Virus Epstein-Barr, juga disebut Virus herpes human 4 adalah virus


dari famili herpes (yang juga terdapat virus herpes simplex dan Sitomegalovirus),
dan merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia. Banyak orang
terinfeksi dengan Virus Epstein-Barr yang sering asimtomatik tetapi umumnya
menyebabkan mononukleosis. Virus Epstein-Barr berasal dari nama Michael
Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong, menemukan virus
ini tahun 1964.8

Sel leukemia berisi virus Epstein Barr (berwarna hijau).

20
Klasifikasi EBV :

Kelas: Kelas I (dsDNA)


Famili: Herpesviridae
Genus: Lymphocryptovirus
Spesies: Human herpesvirus 4 (HHV-4)

2.5 PATOLOGI

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat
berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas
yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan KNF, yaitu2 :
1. Adanya infeksi EBV
2. Faktor lingkungan
3. Genetik

1) Virus Epstein-Barr2
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua
reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus Epstein-Barr dapat menimbulkan beberapa

21
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus Epstein-
Barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus Epstein- Barr yang
menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali
menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel
dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga
terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,
yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1
berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen
yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam
amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan
200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.

2) Genetik2
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial.
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen)
dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah
gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1
bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen.

3) Faktor lingkungan2
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang
berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah dikonfirmasikan
bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan
kembali infeksi dari EBV.

22
2.6 GEJALA DAN TANDA1

GEJALA STADIUM DINI

a. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh.
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

b. Ear sign :
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi,
karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa Rosenmulleri. Tekanan
dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
GEJALA STADIUM LANJUT
a. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
b. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
c. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni akibat paralisis dari pita suara

23
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus

2.7 DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma


nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor2:
1. Anamnesis/pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF).

2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop.

3. Biopsi nasofaring1,2,4
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau
sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian,
hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah
nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut

24
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor
akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan
mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam
narcosis.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu1 :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini
sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk
oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak
terlihat dengan jelas.

5. Pemeriksaan Radiologi1,4,9
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

25
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

b. CT Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
sedangkan bila kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika
perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan
pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan
sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam
mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan dibandingkan dengan foto
polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas
pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-
perubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor
nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai
apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.

6. Pemeriksaan Neuro-Oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut KNF ini.

7. Pemeriksaan Serologi1
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat
berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

26
2.8 DIAGNOSIS BANDING2,9

a. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat
suatu massa jaringna lunak pada atap nasofaring umunya berbatas tegas dan
umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda
infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.

b. Angiofibroma juvenilis
Baisanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltratf. Pada
foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas.
Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang
menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor.
Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus
maksilaris yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan
vaskular maka arteriografi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenilis dengan polip hidung pada foto polos.

c. Tumor sinus sphenooidalis


Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.

d. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan di dinding lateral nasofaring. Secara CT Scan,
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu membedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.

e. Tumor kelenjar parotis


Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak
dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring.
pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial
yang tampak pada pemeriksaan CT Scan.

27
f. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan
untuk membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau
destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada
pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.

g. Menigioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
Ganbaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense
sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah
pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteriografi juga sangat
membantu diagnosis tumor ini.

2.9 STADIUM1

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara


UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai
berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan/atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan/sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral/bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau
bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh

28
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12

2.10 PENATALAKSANAAN

a. Radioterapi1,9,10
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta
klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi,
yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini
banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi
tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi
eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus
kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian
radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek
samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intersified
Modulated Radiotion Therapy) telah digunakan dibeberapa negara maju.

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA
Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA
terutama terdapat pada kromosom ionizing radiation menghambat
metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti
sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granular serta timbul vakuola-
vakuola yang akhirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu
keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan

29
sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring
sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok
timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan
kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi
dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka
luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad ,
terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat.

Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai


mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad. Pada penderita dengan stadium T3
dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad.
Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila


tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat
profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis
yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk
menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus,
maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah
depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

Dosis radiasi

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6
7 minggu dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya
dipakai ialah cobalt 60, megavoltage, orthovoltage

Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan
pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan
kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

30
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :


Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis
yang terkena radiasi)
- Eritema

Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum


dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi
oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi,
memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut
dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan
obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma
diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan
umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik
terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.

b. Kemoterapi9,11
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh.

31
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif.


- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala


leher dibagi menjadi :

neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi


mendahului pembedahan dan radiasi)
concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan
dan atau radiasi )
Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal
yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan sel pada
traktus gastrointestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi
sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.
Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh
normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum tulang, folikel rambut, mukosa
saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker
menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama
dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas


terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru
berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering
terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan
neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan


dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan

32
meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi.

Manfaat Kemoradioterapi adalah

Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan


memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor


sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete Response) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi


perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi


(concurrent or concomitant chemoradiotherapy) dimaksud untuk mempertinggi
manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi
lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya
bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker
yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.

33
Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain


mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara


bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan
jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen
kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan


kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi
(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-
Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

c. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan
serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada
kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.2

d. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.6

2.11 PROGNOSIS2

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %.


Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.


Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan

34
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak


Adanya metastasis jauh

2.12 KOMPLIKASI2

a. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum


sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.
II yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik
yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra (N. III)

Ophthalmoplegia (N. III, N. IV, N. VI)

b. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat


menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah
daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening.
Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi
gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior


serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

35
N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva.

N XI : kelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot SCM serta hemiparese


palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

c. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang
buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,
sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

2.13 PENCEGAHAN1

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus


Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.

36
BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, pasien didiagnosis Karsinoma nasofaring. Hasil anamnesa yang
mendukung adalah adanya benjolan dileher yang semakin lama semakin
membesar sejak 1 tahun yang lalu, nyeri ketika dipegang. Benjolan di leher
tersebut bisa disebabkan oleh karena sel ganas maupun kelenjar getah bening.
Adanya progesivitas pertumbuhan ukuran dari benjolan lebih mengarahkan suatu
keganasan. Pasien juga mengeluh hidung sering tersumbat dan rasa tidak nyaman
serta nyeri di telinga. Kedua gejala tersebut merupakan gejala klinis awal yang
sering terjadi pada pasien karsinoma nasofaring. Pasien juga mengeluh
Tenggorokan yang sering kering dan nyeri, kesulitan untuk berbicara dan
menelan, kepala sering pusing cekot-cekot terutama dipagi hari, pandangan sedikit
kabur namnun tidak ganda, dimana semua gejala tersebut mengarahkan kepada
gejala lanjut dari karsinoma nasofaring. Pasien memiliki gaya hidup yang buruk
yaitu sering merokok 2 bungkus sehari dan memakan makanan instan dan ikan
asin, dimana hal tersebut merupakan faktor resiko karsinoma nasofaring.

Dari hasil pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal, Pemeriksaan
telinga didapatkan serumen di kedua telinga, dan membrane telinga sebelah kiri
tampak kemerahan, diduga merupakan otitis media akut (OMA). Adanya otitis
media akut kemungkinan disebabkan karena faktor higienitas pasien yang kurang
atau akibat karsinoma nasofaring yang menyebabkan oklusi tuba telinga kiri,
sehingga menimbulkan resiko OMA. Pada pemeriksaan hidung didapati discharge
mukoid dikedua hidung. Pada pemeriksaan tenggorokan sulit untuk diperiksa.
Pemeriksaan leher didapati benjolan di kedua leher, konsistensi agak kenyal,
jumlah 1, immobile, permukaan licin, terfiksir. Massa ini kemungkinan adalah
pembesaran kelenjar getah bening leher (KGB), yang menunjukkan telah terdapat
metastasis secara limfogen pada karsinoma nasofaring. Pembesaran KGB juga
dapat terjadi pada limfoma. Perlu dicari pembesaran KGB lain di bagian tubuh
lain untuk meningkatkan kecurigaan limfoma. Pada pemeriksaan neurologis,
ditemukan gangguan pada N VII yang ditandai oleh sudut bibir yang asimetris

37
condong ke kiri, selain itu terdapat gangguan pada N XII yang ditandai oleh
deviasi lidah kearah kiri ketika dijulurkan. Suara sengau dan serak pada pasien
dicurigai adanya parese pada N IX. Kesukaran untuk menelan diakibatkan karena
gangguan N X. Gangguan pada nervus kranialis tersebut mengarahkan bahwa
karsinoma nasofaring telah meluas hingga ke daerah otak.

Pada pemeriksan penunjang dilakukan endoskopi dan biopsy nasofaring.


Kedua hasil pemeriksaan tersebut menemukan pertumbuhan sel-sel ganas di daerh
nasofaring. Hasil tersebut menunjang diagnosis pasti pasien yaitu karsinoma
nasofaring.

Terapi yang dilakukan selama dirawat di RSUD Ambarawa adalah terapi


simptomatik berupa pemberian obat-obatan injeksi. Pemberian analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri dan pemberian multivitamin untuk menjaga kondisi
pasien. Terapi definitive berupa kemoterapi dan radioterapi dapat dilakukan
setelah merujuk pasien.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Ejaz M, Saeed A, Naseer A, Chaudrhy, Qureshi G.R, 2005. Intra-cranial


Space Occupying Lesions A Morphological Analysis. Department of
Pathology, Postgraduate Medical Institute, Lahore Pakistan. Biomedica
Vol. 21
2. Kaptigau, W. Matui ,Ke Liu. Space-occupying lesions in Papua New
Guinea the CT era. Port Moresby General Hospital, Papua New Guinea
and Chongqing Emergency Medical Centre, Chongqing City, China.PNG
Med J 2007 Mar-Jun;50(1-2):33-43
3. Wulandari, A., 2012. Space Occupaying Lesion (SOL). Available
from:http://www.scribd.com/doc/181664046/Sol [Last accessed 22th April
2014]
4. Kleihus P. Burger PC, Scheithauer. Histological typing of tumours of the
Central nerbus system. WHO Histological clasification of tumour. Second
edition. Springer-Verlag, Berlin Heidelber.1993. Hal 1-20.
5. Ningrum, F.Y., 2013. Space Occupaying Lesion( SOL). Available
from:http://www.scribd.com/doc/123949291/referat-SOL [Last accessed
22th April 2014]
6. Widyalaksono, A., 2012. SOL Space Occupayimg Lesion. Available
from:http://www.scribd.com/doc/129372631/CR-SOL [Last accessed 22th
April 2014]
7. Meagher, R.J., & Lutsep, H.L. 2013. Subdural Hematoma. Dipetik
Desember 10, 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/113720.
[Last accessed 22th April 2014]
8. Japardi, I. 2004 Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting dalam
Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu
Populer.
9. Lombardo MC. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam: Price SA,
Wilson LM, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Wilkinson, Iain. 2005. Brain Tumour. Essential Neurology, 4th Edition.
Page 50-52.

39
40

Anda mungkin juga menyukai