Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MENINGIOMA
2.1.1. Sejarah Dan Definisi Meningioma
Pada tahun 1922, Harvey Cushing memaparkan 85 kasus meningeal tumor pada
kuliahnya dan Cushing memberikan istilah meningioma untuk menjelaskan lesi tersebut.
Beberapa tahun kemudian Louise Eisenhardt menciptakan monograf tentang tumor ini (Igaki,
2009 dan Nakamura, 2003) Dia menyebutkan bahwa semua tumor yang berasal dari
arachnoidal cap cells tergabung dalam arachnoid granulations (Al-Rodhan, 1991).
Pada awalnya tumor ini dinamakan tumor fungoid, sarcoma, cylindroma,
endothelioma, fibroma, meningoethelioma, arachnothelioma, meningocytoma, mesothelioma,
leptomeningioma, dural exothelioma, arachnoidal fibroblastoma, dan pada akhirnya
dinamakan meningioma (Chou, 1991).
Jadi meningioma intrakranial merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang
terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meningens otak dan tumbuh dari sel-
sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).
Meningioma tidak hanya dijumpai pada intrakranial tetapi dapat juga dijumpai pada
medulla spinalis, disebut juga spinal meningioma. Spinal meningioma sering dijumpai pada
wanita paruh baya. Rasio wanita berbanding pria tidak jauh yaitu 3:4. Spinal meningioma
sering terjadi pada wanita disebabkan adanya kaitan dengan sex hormone. Meskipun
pengaruh sex hormone pada meningioma masih kontroversi, hingga saat ini banyak
ditemukan reseptor sex hormone pada meningioma (Haugsten, 2010).

2.1.2. Epidemiologi Meningioma Intrakranial


Meningioma intrakranial menduduki 15% hingga 20% dari keseluruhan tumor
intrakranial primer, namun insiden pada skrining rutin sekitar 1 dalam 100 populasi. Insidensi
meningkat dengan pertambahan usia. Lebih sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan pria:wanita sama dengan 1:2,5. Perbedaan ini semakin meningkat pada
meningioma intraspinal, dengan rasio 1:10. Jarang dijumpai pada anak, namun jika ada,
cenderung agresif (Landriel, 2012).
Ketika dijumpai pada anak, insidensi berkisar 0,4%-4,1% dari keseluruhan tumor otak
pada anak dan sekitar 1,5%-1,8% dari keseluruhan meningioma intrakranial. Meningioma

Universitas Sumatera Utara


intrakranial anak lebih cenderung terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
dengan rasio 1,2-1,9:1 dan paling sering dijumpai pada ventrikuler (Landriel, 2012).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden meningioma intrakranial pada ras
hitam Non-hispanics sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan
Hispanics. Jenis kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma intrakranial, yaitu
dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (Wiemels, 2010 dan Rockhill,
2007).

2.1.3. Patologi Meningioma Intrakranial


Meningioma intrakranial merupakan neoplasma yang tumbuh lambat dan berasal dari
sel meningotelial yang ditemukan dalam granulasi arachnoid. Terkonsentrasi mayoritas pada
dinding sinus vena, struktur ini, mengandung arachnoid cap cell (Al-Mefty, 2011).
Kelompok-kelompok arachnoid cap cell akan menjadi lebih jelas, membentuk whorls dan
psammoma bodies identik dengan yang ditemukan pada meningioma intrakranial (Marwin,
2010).
Secara makroskopis meningioma intrakranial merupakan tumor yang memiliki batas
tegas, permukaan yang halus dan melekat pada duramater. Falx meningioma atau tentorial
meningioma dapat berbentuk bilobus, dumbbell shape. Pada meningioma ganas, tumor
terpisah dengan jaringan otak atau medula spinalis, dan dijumpai bagian-bagian yang
nekrosis serta mudah berdarah. Meningioma intrakranial yang jarang dijumpai ialah en
plaque meningioma, suatu meningioma yang melekat dan menutupi dura dalam bentuk yang
datar dan menyerupai karpet. Varian ini sering disertai dengan hiperostosis pada tulang yang
ditempel, sering berada pada sphenoid ridge atau dalam sinus cavernosus. Kebanyakan
meningioma intrakranial menekan dan masuk ke dalam jaringan otak tanpa adanya invasi ke
jaringan otak (Scheithauer, 2010).
Struktur jaringan bervariasi, mulai dari lembut bergelatin hingga keras dan
berkalsifikasi. Jika dilakukan pemotongan, permukaan yang terpotong akan tampak
translucent dan pucat keabuan atau homogen merah kecoklatan pada tumor dengan
vaskularisasi yang meningkat. Tumor dengan kandungan lemak yang tinggi (perubahan
xanthomatous) menunjukkan adanya bercak kekuningan dan terkadang dijumpai struktur
tulang. Lesi kistik terkadang juga dapat dijumpai namun hanya 1,6-10% dari seluruh
meningioma intrakranial dan dapat dilihat secara makroskopis (Scheithauer, 2010).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4. Klasifikasi Meningioma Intrakranial
Meningioma intrakranial dapat diklasifikan berdasarkan histopatologi, lokasi tumor,
serta pola pertumbuhan tumor.

2.1.4.1. Klasifikasi Meningioma Berdasarkan Histopatologi


Pembagian meningioma secara histopatologi telah ditentukan oleh WHO pada tahun
2007 menjadi 3 grade, yaitu Jinak (Benign :Grade I), Atipikal (Atypical : Grade II), dan
Ganas (Malignant : Grade III). Menurut histopatologinya, meningioma grade I
diklasifikasikan sebagai meningioma meningothelial, meningioma fibrous (fibroblastik),
meningioma transisional, meningioma psammomatous, meningioma angiomatosa,
meningioma mikrokistik, meningioma sekretorik, meningioma lymphoplasmacyte-rich;
Meningioma grade II diklasifikasikan sebagai meningioma chordoid, meningioma clear-cell,
meningioma atypical; Meningioma grade III diklasifikasikan sebagai meningioma papillary,
meningioma rhabdoid, meningioma anaplastik (Marwin, 2010).

Tabel 2.1. Subtipe meningioma dan Grade menurut klasifikasi WHO


(Marwin et al, 2010).

Subtipe histologi Grade WHO

Meningothelial meningioma I
Fibrous (fibroblastic) meningioma I
Transitional (mixed) meningioma I
Psammomatous meningioma I
Angiomatous meningioma I
Microcystic meningioma I
Secretory meningioma I
Lymphoplasmacyte-rich meningioma I
Metaplastic meningioma I

Chordoid meningioma II
Clear-cell meningioma II
Atypical meningioma II
Brain invasive meningioma II

Universitas Sumatera Utara


Papillary meningioma III
Rhabdoid meningioma III
Anaplastic (malignant) meningioma III

2.1.4.2. Klasifikasi Meningioma Berdasarkan Lokasi


Berdasarkan lokasi tumor, meningioma dapat berada di konveksitas, parasagital,
tuberkulum sella, falx, sphenoid ridge, CPA, frontal base, petroclival, fosa posterior,
tentorial, middle fossa, foramen magnum, dan lainnya (Otsuka, 2010).
Lokasi umum meningioma primer dalam urutan paling sering adalah parasagital,
cavernous, tubercullum sellae, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium
cerebelli, sudut serebelopontin, dan sinus sigmoid. Meningioma dengan frekuensi lebih
rendah dapat terjadi di medula spinalis, intraventrikular, orbita (optic nerve sheath dan
foramina opticum), intraoseus (tulang temporal petrosa), pineal, ekstracalvaria, dan ektopik
(cavum nasi, sinus paranasal, glandula parotis, paru-paru, glandula adrenal, dan
mediastinum (Chou, 1991).
Tabel 2.2. Lokasi Tumor Meningioma (Otsuka, 2010).
Lokasi Jumlah Persentase
Convexity 246 30
Falx/parasagital 227 27
Sphenoid wing 126 15
Tentorium 53 6
Cerebellopontine 50 6
Olfactory groove 44 5
Multifocal 30 4
Suprasellar 22 3
Intraventricular 15 2
Foramen magnum 13 2
Pineal 3 <1
Total 829 100

2.1.4.3. Klasifikasi Meningioma Berdasarkan Pola Pertumbuhan


Berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma dapat tumbuh sebagai suatu masa (en
masse) atau tumbuh memanjang seperti karpet (en plaque). Varian en plaque pada awalnya
dideskripsikan oleh Cushing sebagai suatu karakteristik tipikal meningioma sphenoid ridge,
yang dapat juga disebut sebagai hyperostosing en plaque meningiomas. Deskripsi ini
kemudian direvisi oleh Bonnal pada tahun 1980, dengan tipe-tipe dari meningioma sphenoid
ridge adalah: en masse, invading en plaque, dan invading en masse. En masse adalah
meningioma globular klasik, meningioma invading en plaque didefinisikan sebagai tumor

Universitas Sumatera Utara


berbentuk seperti karpet dengan adanya abnormalitas tulang, sedangkan meningioma en
masse didefinisikan sebagai bentuk antara dari en masse klasik dan meningioma invading en
plaque dengan perlekatan dura yang luas tetapi tanpa tampilan seperti karpet (Talacchi,
2011).

2.1.5. Karakteristik dan Diagnostik Meningioma Intrakranial


Secara umum, penampilan karakteristik dan diagnostik dari meningioma intrakranial
adalah batas yang tegas dan perlekatan fokal pada dura. Tumor ini biasanya berbentuk
globular, berkapsul, dan memiliki proyeksi pertumbuhan ke arah dalam, menekan tetapi tidak
menginvasi parenkim kecuali dalam bentuk maligna, terkadang menginvasi dura dan sinus.
Jika meningioma intrakranial segar dipotong akan tampak pucat dan semi transparan atau
homogen dan berwana coklat kemerahan tergantung dari derajat vaskularisasinya. Pola
kumparan (whorl) biasanya akan tampak pada permukaan potongan setelah dilakukan fiksasi.
Konsistensi berpasir adalah tampilan umum yang dihubungkan dengan adanya badan
psammoma. Jaringan pembuluh darah yang kasar dapat tampak pada varian meningioma
angiomatosa (Chou, 1991).

2.1.6. Prognosis
Prognosis dari meningioma intrakranial memiliki perbedaan pada setiap klasifikasi
atau derajat meningioma. Invasi parenkim otak jelas akan mempengaruhi prognosis. Lokasi
anatomis akan mempengaruhi laju rekurensi. Tumor-tumor yang berada pada posisi yang
sulit akan menimbulkan kesulitan dalam total removal dari tumor, seperti pada ala
sphenoidalis. Meningioma intrakranial yang menginvasi sinus, seperti pada meningioma
parasagittal, memiliki rekurensi yang tinggi (Al-Mefty, 2011).
Walaupun meningioma intrakranial yang berbatas tegas dapat diangkat secara
keseluruhan, meningioma intrakranial dengan ekstensi yang pipih pada ruang subdural (10%
meningioma) akan sulit untuk direseksi seluruhnya, seperti pada meningioma en plaque.
Rekurensi juga kerap terjadi pada meningioma intrakranial yang memiliki profil ganas,
seperti pola hemangiopericytic atau papiler. Kriteria selular keganasan adalah adanya mitosis,
meningkatnya selularitas, polimorfisme inti sel, dan nekrosis fokal. Indeks mitosis yang
tinggi juga salah satu aspek yang mengarah pada keganasan (Al-Mefty, 2011).

2.1.7. Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Meningioma


2.1.7.1. Sex Hormon

Universitas Sumatera Utara


Hubungan antara hormon dan meningioma telah dibuktikan oleh beberapa penelitian,
termasuk data meningkatnya penderita tumor ini pada wanita dibandingkan pada pria (2:1).
Dijumpai adanya estrogen, progesteron, dan reseptor androgen pada beberapa meningioma,
adanya hubungan antara kanker payudara dengan risiko meningioma, perubahan ukuran
meningioma yang semakin membesar pada fase luteal dari siklus menstruasi dan siklus
kehamilan, dan adanya proliferasi in vitro pada sel meningioma yang di kultur setelah
terpapar dengan estrogen, merupakan bukti bahwa meningioma dipengaruhi oleh hormon
(Fisher, 2007 dan Wrensch, 2002). Sebuah penelitian pada 31 sampel meningioma
melaporkan munculnya ekspresi gen lebih kuat berkaitan dengan adanya reseptor progesteron
dibandingkan dengan reseptor estrogen (McCarthy, 1998). Penelitian-penelitian pada paparan
hormon endogen memperlihatkan bahwa risiko meningioma berhubungan dengan status
menopause, paritas, dan usia pertama saat menstruasi. Namun, hal-hal ini masih menjadi
kontroversi (Wiemels, 2010 dan Taghipour, 2007).

2.1.7.2. Growth Factor


Growth factor merupakan senyawa senyawa protein yang memiliki peranan penting
dalam pertumbuhan dan proliferasi sel. Sebuah penemuan terkini dalam bidang onkologi
bahwa Platelet Derived Growth Factor (PDGF) merupakan sebuah produk onkogen yang
menstimulasi pertumbuhan (Krisch,1997). Beberapa growth factor yang mempengaruhi
pertumbuhan meningioma ialah Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Epidermal Grotwh
Factor (EGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), dan Fibroblast Growth Factor
(FGF) (Krisch,1997).
Platelet Derived Growth Factor (PDGF) mampu menstimulasi proliferasi dan sintesis
DNA pada kultur meningioma manusia melalui sebuah mekanisme yang melibatkan
oncogene c-fos (Weisman,1986). PDGF dihasilkan oleh meningioma dan paparan terhadap
protein yang menstimulasi sintesis DNA (Wang, 1986). Penelitian lain menunjukkan bahwa
PDGF merupakan komponen dari suatu media yang dihasilkan dari kultur meningioma dan
dapat menstimulasi pertumbuhan meningioma (Todo,1996)
Epidermal Grotwh Factor (EGF) diekspresikan secara luas pada meningioma
manusia. Tidak ada korelasi yang dijumpai antara subtipe histopatologi dengan derajat tumor
dan EGF pada meningioma (Ragel, 2003). Paparan EGF mengaktifkan sinyal transduksi yang
menstimulasi proliferasi sel dan sintesis DNA pada kultur meningioma manusia (Ragel,
2003).

Universitas Sumatera Utara


Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) disekresikan oleh meningioma, dan
dua reseptor utama dari VEGF telah ditemukan pada vaskularisasi tumor meningioma (Ragel,
2003). VEGF sangat mempengaruhi edema pada peritumoral meningioma dan angiogenesis.
Beberapa penelitian menemukan adanya korelasi peritumoral edema dengan ekspresi VEGF
dengan transkripsi mRNA (Ragel, 2003). Hubungan antara ekspresi VEGF dan derajat
histopatologi meningioma masih kontroversi, beberapa penelitian melaporkan ada nya
hubungan, namun penelitian lainnya melaporkan tidak dijumpai hubungan yang positif
(Ragel, 2003).
Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Fibroblast Growth Factor Receptors
merupakan protein yang dijumpai pada semua meningioma. Dari beberapa penelitian FGF
dilaporkan menstimulasi proliperasi sel dan sintesis DNA pada kultur meningioma manusia
(Abe,1994). Selain itu FGF juga mempunyai efek angiogenesis dan mitogenesis dalam proses
tumorigenesis meningioma. Penelitian penelitian imunohistokimia telah menunjukkan
adanya FGF dan FGF-R pada sel meningioma manusia (Ragel,2008). Hingga saat ini dua
puluh jenis FGFs telah ditemukan, dan dinamakan dengan FGF-1 hingga FGF-20. Baru
baru ini, beberapa penelitian menyatakan overekspresi dari FGF-2 pada sel dapat
menyebabkan aktivasi dari FGF-2 terus menerus. Menariknya, inhibisi dari FGF-2 signaling
pada sel menginduksi apoptosis. Oleh karena itu FGF-2 signaling yang terus menerus
diproduksi sebagai akibat dari overekspresi menyebabkan adanya proteksi terhadap
apoptosis, dan dapat memicu terjadinnya tumor (Chin, 2006).

2.2. FIBROBLAST GROWTH FACTOR 2


2.2.1. Sejarah dan Struktur Fibroblast Growth Factor 2
Ketika protein disintesis oleh suatu sel, protein tersebut dapat berdifusi ke daerah di
sekitarnya dan menginduksi perubahan dari sel di sekitarnya, hal ini disebut sebagai interaksi
parakrin, dan protein yang berdifusi tersebut dikenal sebagai faktor parakrin atau Growth and
Differentiation Factors (GDFs). Faktor parakrin ini dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok besar berdasarkan strukturnya. Kelompok tersebut ialah: Fibroblast Growth Factor
(FGF) family, Hedgehog family, Wingless family, dan TGF- superfamily (Abnova 2014).
Kelompok FGF memiliki struktur yang sangat banyak. FGF-1 juga dikenal sebagai
acidic FGF; FGF-2 dikenal dengan basic FGF, dan FGF7 kadang disebut sebagai
keratinocyte growth factor (Abnova 2014).
Pada tahun 1984, bFGF pertama sekali ditemukan oleh Gospodarowicz. Ada beberapa
reseptor FGF. FGF-1 merupakan reseptor dengan afinitas tertinggi. Dahulu dilaporkan bahwa

Universitas Sumatera Utara


ekspresi bFGF terdeteksi pada neoplasma intrakranial seperti glioma, dan berhubungan
dengan derajat keganasan neoplasma intrakranial serta angiogenesis (Wei,2004)
Hingga saat ini dua puluh jenis FGFs telah ditemukan, dan dinamakan dengan FGF-1
hingga FGF-20, pembagian dapat dlihat pada tabel di bawah ini. Penamaan yang berbeda ini
berdasarkan pada perbedaan aktivitas biologi dari masing masing FGFs dan tidak semua
FGF ini memiliki aktivitas stimulasi. Fibroblast Growth Factor yang tidak memiliki efek
stimulasi ini tetap dikategorikan sebagai famili FGF dikarenakan bentuk struktur yang sama
(Wei,2004).
Tabel.2.3. Pembagian Fibroblast Growth Factor (Wei,2004)

FGF-2 disebut juga basic FGF. FGF-2 berukuran 18kDa dan sekitar 55%
Saat ini dijumpai empat jenis FGF-2, pembagian ini didasarkan kepada berat molekul
FGF-2 yang terdiri dari; 18kDa, 22.5-, 23.1-, dan 24.2-kDa. FGF dengan berat molekul 18-
kDa merupakan hasil translasi inisiasi start codon 5AUG. Sementara lainnya merupakan
hasil translasi dari upstream codon, CUG. Oleh karena itu bentuk FGFs dengan berat molekul
yang lebih besar merupakan co-linear amino-terminal extensions dari bentuk 18-kDa. Hal ini
serupa dengan myc proto-oncogene, yang juga dapat menggunakan alternate non-AUG codon
untuk inisiasi translasi (Bikfalvi, 1997).
FGF-2 memiliki empat residu sistein pada asam amino 26, 70, 88, dan 93. Mutasi dari
empat sistein ini menjadi senyawa serine menghasilkan protein dengan struktur sekunder dan
memiliki kemampuan mitogenik sama dengan sel 3T3 dan dikenal sebagai wild-type FGF-2.
FGF-2 juga merupakan substrat untuk posforilasi oleh protein kinase C (PKC) dan protein
kinase A (PKA). PKC memposforilasi FGF-2 pada Ser64; namun hal ini tidak memiliki
aktivitas biologi, ataupun kapasitas mengikat reseptor. Namun, PKA memposforilasi FGF-2
pada Thr112 pada domain reseptor FGF, dan menghasilkan ikatan yang lebih kuat 3-8 kali
lipat (Denizot, 2006).

2.2.2. Peranan FGF-2

Universitas Sumatera Utara


Selama masa perkembangan embriologi, FGF-2 memiliki peranan dalam mengatur
proliferasi sel. Pada organisme dewasa, FGF-2 merupakan faktor homeostatik dan berfungsi
untuk memperbaiki jaringan dan respon cedera. Jika FGF-2 salah diekspresikan, beberapa
senyawa FGF-2 menyebabkan pertumbuhan kanker.

2.2.3. FGF-2 Signaling Pada Kanker


Pada lingkungan ekstraseluler FGFs akan berikatan dengan reseptor sel di permukaan
sel dan mengaktifkan kaskade transduksi sinyal. Sinyal tersebut kemudian mengaktifkan
berbagai variasi program genetik melalui regulasi faktor-faktor transkripsi, menstimulasi
pertumbuhan sel dengan memicu progersi siklus sel dan menginhibisi pathway kematian sel.
Semua komponen dari pathway ini, mulai dari FGFs hingga faktor transkripsi merupakan
onkoprotein yang potensial. Oleh karena itu, hilangnya regulasi pada tahap mana saja dapat
memicu komponen downstream dan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkontrol dan
menjadi neoplasma (Haughsten, 2010).

2.2.4. Program Genetika Pertumbuhan Tumor


FGF-2 mungkin mengaktivasi program genetika yang merangsang pertumbuhan sel
dengan tiga mekanisme: pertama sebagai mitogen terhadap sel tumor itu sendiri, kedua
dengan merangsang angiogenesis untuk suplai pertumbuhan tumor, dan ketiga dengan
menginhibisi apoptosis dan membiarkan sel tumor untuk tumbuh diatas normal (Haughsten,
2010).

2.2.4.1. FGF-2 Sebagai Faktor Mitogenic


FGF-1 dan FGF-2 awalnya diidentifikasi berdasarkan kemampuan utnuk
menstimulasi [3H]thymidine 3T3 fibroblast dan dianggap sebagai faktor mitogen yang kuat.
Bagaimanapun juga sangat penting untuk membedakan konsep antara penambahan agen
eksogen yang menghasilkan protein dengan konsep overexpresi dari gen itu sendiri.
Sementara itu, FGF-1 dan FGF-2 merupakan patogen mitogen dengan sendirinya,
overekspresi FGF-1 dan FGF-2 cDNAs hanya dijumpai pada fibroblast yang sedang
bermutasi. Hal ini memberikan asumsi bahwa mutasi yang disertai dengan sekresi FGF-1
atau FGF-2 mungkin bersifat onkogenik (Haughsten, 2010).

2.2.4.2. FGF-2 Sebagai Faktor Angiogenesis

Universitas Sumatera Utara


FGF-1 dan FGF-2 dikenal juga sebagai molekul pro-angiogenic, dan FGF-1 dan FGF-
2 telah dibuktikan mampu merangsang angiogenesis secara in vivo pada membran
korioalantois (Haughsten, 2010).
Angiogenesis diperantarai oleh sejumlah growth factor dan merupakan proses vital
untuk pertumbuhan tumor (Denizot, 2006). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
basic fibroblast growth factor (bFGF) merupakan dua angiogenic growth factor potensial
yang merangsang stimulasi proliferasi sel endotelial pembuluh darah dan terlibat dalam
angiogenesis neoplasma dari beberapa tumor termasuk meningioma (Sanmoto, 1995 dan
Pietsch, 1997).
Angiogenesis terdiri dari beberapa tahap termasuk migrasi, proliferasi, dan
tubulogenesis. Tahapan tahapan ini terintegrasi secara bertahap dan sesuai dengan urutan
proses pada tahap intraseluler dan ekstraseluler. FGF-2 berperan dalam kontrol migrasi,
proliferasi, dan tubulogenesis. Peranan dan mekanisme aksi dari isoform FGF-2 dalam
regulasi fenomena ini telah dipahami (Bikfalvi, 1997).
Angiogenesis tumor diregulasi tidak hanya pada level FGF-2 tetapi juga pada level
reseptor. Arbeit telah menganalisa pola ekspresi dari sistem FGF-FGF reseptor dalam multi
tahap karsinogenesis menggunakan tikus transgenik. Sementara FGF-1 berperan hanya dalam
up-regulasi displasia, FGF-2 berperan pada semua tahap secara simultan. Dari beberapa
penelitian didapat sistem reseptor FGF-FGFR memiliki peran signifikan pada semua tahap
karsinogenesis dan angiogenesis tumor pada epidermis. Oleh karena itu angiogenesis tumor
mungkin dikendalikan juga pada level reseptor. (Arbeit, 1996)
Data klinis juga mendukung peranan FGF-2 dalam angiogensis tumor. Cairan CSF
anak dan dewasa dengan tumor otak mengandung aktivitas angiogenik yang identik dengan
FGF-2, dan berkorelasi dengan perluasan microvessel intra tumor. Kemudian, kadar FGF-2
juga meningkat pada sampel urin dari penderita tumor otak. Penderita tumor agresif atau
tumor ganas memiliki kadar FGF-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita tumor
jinak. (Li,1994).

2.2.4.3. FGF-2 Sebagai Faktor Anti Apoptosis


BCL-2 merupakan protein antiapoptosis yang dijumpai overexpresi pada limfoma
folikuler. Kemungkinan bahwa FGF-2 turut berpartisipasi .dalam regulasi apoptosis melalui
BCL-2 oleh karena antibodi teradap FGF-2 ditemukan menginduksi apoptosis pada sel
glioma manusia (Arbeit, 1996).

Universitas Sumatera Utara


Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) merupakan faktor pertumbuhan dengan
fungsi angiogenesis dan proliferasi. Respon biologi dari bFGF timbul oleh adanya ikatan
dengan reseptor spesifik pada permukaan sel. Penelitian menunjukkan Basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) memiliki peranan penting dalam angiogenesis tumor, invasi, dan
proliferasi (Arbeit, 1996).
Fibroblast Growth Factor 2 (FGF)-2 merupakan anggota tertua dari growth family
sejak ditemukan pada tahun 1982. Growth Factor ini mampu menstimulasi pertubuhan sel
endotel dan angiogenesis baik secara in vitro atau in vivo, dan telah lama diperkirakan
sebagai faktor angiogenesis tumor (Arbeit, 1996).

2.2.5. Peranan FGF-2 dalam Tumorigenesis Meningioma Intrakranial


2.2.5.1. Reseptor Tyrosine Kinase dan Tumor
FGF-2 merupakan keluarga dari reseptor tyrosine kinase (RTK), yang merupakan
reseptor single-pass transmembrane dengan extracellular ligand-binding domains dan
intracellular tyrosine kinase domain (Haugsten, 2010). Aktivasi dari RTK oleh respective
ligands menginduksi aktivasi kinase yang akan menginisiasi intracellular signaling network
sehingga proses proses seluler akan dimulai, seperti proliferasi sel, pertumbuhan,
diferensiasi, migrasi, dan survival (Haugsten, 2010). Dengan cara ini RTK memainkan
peranan biologi penting selama pertumbuhan dan kehidupan organisme multiseluler. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika terjadi deregulasi sejumlah besar RTK dihubungkan
dengan berkembangnya berbagai penyakit pada manusia termasuk pembentukan tumor
(Haugsten, 2010).

2.2.5.2. Mekanisme Imbalanced FGF-2 Signaling


Deregulasi aktivitas FGF-2 paling sering dikenal sebagai proses onkogen. Beberapa
mekanisme dapat menyebabkan FGF-2 signaling yang berlebihan. Pertama, upregulated
FGF-2 expression menyebabkan meningkatnya FGF-2 signaling. Kedua, mutasi atau adanya
penyusunan ulang pada kode gen FGF-2 dapat menyebabkan meningkatnya jumlah reseptor
dan perubahan aktivitas signaling. Ketiga, availibilitas ligand yang mempengaruhi FGF-2
signaling. Selanjutnya, gangguan pada terminasi FGF-2 signaling seperti deregulasi protein
inhibisi atau degradasi defective juga dapat meningkatkan FGF-2 signaling (Haugsten, 2010).

2.2.5.3. Upregulasi Ekspresi FGF-2

Universitas Sumatera Utara


Overekspresi dari gen dapat disebabkan oleh adanya amplifikasi atau regulasi
transkripsi yang terganggu. Peningkatan kadar FGF-2 telah ditemukan pada beberapa tumor
manusia, seperti tumor otak, kepala dan leher, paru, payudara, lambung, dan prostat, serta
sarkoma dan multiple myeloma (Chin, 2006)
Baru baru ini, beberapa penelitian menyatakan overekspresi dari FGF-2 pada sel
dapat menyebabkan aktivasi dari FGFR-2 terus menerus. Menariknya, inhibisi dari FGF-2
signaling pada sel menginduksi apoptosis. Oleh karena itu FGF-2 signaling yang terus
menerus diproduksi sebagai akibat dari overekspresi menyebabkan adanya proteksi terhadap
apoptosis, dan dapat memicu terjadinya tumor (Chin, 2006).

2.2.5.4. Switching Antara Spliced Isoforms Alternatif


Switching antara spliced isoforms alternatif juga dapat menyebakan gangguan
keseimbangan FGF-2 signaling. Beberapa penelitian mengindikasikan potensial onkogen
yang berbeda dari berbagai variasi isoform FGF-2. Pergeseran pada splicing isoform dengan
kapasitas FGF-binding yang juga bergeser menyebabkan ketidakseimbangan FGF-2 signaling
dan memicu pertumbuhan tumor (Cha, 2008).

2.2.5.5. Mutasi FGF-2


Beberapa variasi displasia skeletal pada manusia talah diketahui disebabkan adanya
mutasi fungsi germline dari FGF-1 ke FGF-3, dan mekanisme mutasi yang sama juga
dijumpai pada berbagai tumor termasuk meningioma intrakranial. Banyak mutasi yang telah
teridentifikasi memberikan bentuk reseptor yang lebih aktif. Titik mutasi dijumpai pada
domain ekstraseluler dari reseptor dan dapat meningkatkan ligand binding atau ligand
specifity. Beberapa mutasi juga telah menginduksi dimerisasi reseptor dan mengaktifkan terus
menerus domain reseptor kinase. Mutasi yang teridentifikasi pada domain reseptor kinase
menyebabkan peningkatan aktivitas FGF-2. Lebih lagi, gangguan terminasi FGF-2 signaling
dapat merupakan akibat dari mutasi domain tersebut (Cha, 2008 dan Ezzat,2002).
2.2.5.6. Fusi Protein FGF-2
Penyusunan ulang kromosom dapat menyebabkan intragenic, reciprocal
translocations, yang menghasilkan fusi protein. Fusi protein ini dapat melahirkan fungsi yang
baru yang berbeda dari fungsi perotein sebelumnya, dan fungsi baru tersebut dapat berupa
onkogen yang poten. Sedikitnya 11 jenis fusi telah ditemukan. Pada fusi ini domain tyrosine
kinase secara khusus terpapar menjadi domain dimerisasi dari gen pasangan, menginduksi
dimerisasi dan aktivasi terus menerus dari tyrosine kinase (Cha,2008 dan Ezzat,2002).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5.7. Availibilitas Ligand
Peningkatan availibilitas ligand mungkin dapat meningkatkan FGF-2 signaling.
Keduanya, ekspresi yang tidak tepat dari FGF-2, seperti up regulation dari ekspresi FGF-2
pada sel malignan atau lingkungan di sekitar sel malignan, dan pelepasan FGF-2 dari
penyimpanan lokal di matriks ekstraseluler dapat meningkatkan availibiltas ligand (Itoh,
1994).

2.2.5.8. Gangguan Terminasi FGF-2 Signaling


Gangguan down regulation pada aktivitas FGF-2 dapat menyebabkan
ketidakseimbangan FGF-2 signaling. Terminasi FGF-2 signaling terjadi melalui proses
deposforilasi/posforilasi dan proses endositosis serta degradasi reseptor di lisosom (Cha,
2008 dan Ezzat,2002).
Endositosis diikuti oleh degradasi FGF-2 di lisosom menyebabkan terminasi sinyal.
Setiap gangguan pada komponen endositosis yang dibutuhkan pada pathway ini
menyebabkan hambatan pada terminasi dan memicu onkogenesis. Beberapa komponen
endositosis ditemukan telah bermutasi pada meningioma. Beberapa FGF-2 yang bersifat
onkogen telah bermutasi dan tidak dapat didegradasi (Cha, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai