Anda di halaman 1dari 35

1

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat agar menambah sedikit pengetahuan kita mengenai pengetahuan Ilmu
Fiqih yakni Perkawinan Dalam Islam sehingga kita dapat memahami apa sebenarnya makna perkawinan itu, secara mendalam dan
terperinci.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, diperlukan suatu pemahaman khusus mengenai hal-hal mendasar tentang Ilmu Fiqih.
Untuk itu, penyusunan makalah ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua termasuk penyusun.
Penulisan makalah ini dapat terselenggara berkat sumber-sumber referensi yang sangat membantu mengenai Perkawinan
Dalam Islam dan untuk itu penyusun mengucapkan terimakasih atas bantuan materi-materinya yang sangat bermanfaat.
Kami mohon maaf jika makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan agar para pembaca makalah ini
dapat memberikan saran serta kritiknya untuk perbaikan yang semestinya.

Penyusun
2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... 1
Daftar Isi ............................................................................................................. 2
BAB I Pendahuluan .............................................................................................
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Kegunaan Pembelajaran 4

BAB II Pembahasan .............................................................................................


A. Pengertian Nikah 5
B. Hukum Pernikahan Dalam Islam 7
C. Larangan Pernikahan Menurut Islam 10
D. Rukun dan Syarat Nikah 15
E. Wali Nikah dan Urutannya 18
F. Tujuan Pernikahan 22
G. Pembatalan Pernikahan 23
H. Hikmah Pernikahan 26

BAB III Penutup ...................................................................................................


A. Kesimpulan 27
B. Signifikansi 27
3

Daftar Pustaka .................................................................................................. 28

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah

tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.

Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan

untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan
4

perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi

keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.

Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata

aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat

penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang

menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal perkawinan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pernikahan itu ?
2. Apa dan bagaimana hukum pernikahan itu ?
3. Apa saja larangan pernikahan menurut hukum islam ?
4. Apa saja Rukun dan Syarat sah dari nikah?
5. Siapa saja wali dalam pernikahan dan bagaimana urutannya?
5

6. Apa tujuan dari pernikahan ?


7. Bagaimana pandangan islam tentang pembatalan pernikahan ?
8. Apa hikmah dari pernikahan itu ?

C. Tujuan dan Kegunaan Pembelajaran


1. Agar kita dapat mengetahui dan memahami pengertian pernikahan
2. Kita dapat mengetahui hukum pernikahan
3. Mengetahui larangan-larangan pernikahan dalam hukum islam
4. Kita dapat mengetahui dan memahami rukun dan syarat pernikahan
5. Kita dapat mengetahui wali-wali dan urutunnya dalam pernikahan
6. Kita dapat mengetahui tujuan dari pernikahan
7. Mengetahui dan memahami pandangan islam tentang pembatalan pernikahan
8. Kita dapat mengetahui dan memaknai hikmah dari pernikahan

BAB II
6

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu nakaha yankihu nikahan yang mengandung arti nikah atau kawin1, sedangkan
menurut istilah dikemukakan oleh beberapa perspektif diantaranya :
Pengertian Pernikahan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa2.Di dalam KHI (Kompilasi

Hukum Islam), pernikahan itu didefenisikan sebagai salah satu akad yang sangat kuat atau mitsqan galidzhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian pernikahan itu mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu

untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.3

Pengertian Pernikahan menurut Fiqih

Perkawinan menurut istilah ilmu Fiqih dipakai perkataan nikah dan perkataan ziwaaj. Nikah menurut arti sebenarnya

adalah dham yang berarti menghimpit,menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasnya adalah wathaayang berarti setubuh

atau akad yang berarti yang mengadakan perjanjian pernikahan.4

1
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 19
2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1.
3
Departemen Agama R.I, Intruksi Presiden R.I No.1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tahun 2000 hlm. 14
4
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang ,Jakarta, tahun 1974 hlm. 11
7

Menurut Fiqih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang

sempurna5. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara

suatu kaum dengan kaum yang lainnya.

Pengertian Pernikahan Menurut Para Ulama6

imam Hanbali, pengertian nikah secara syara ialah :


Artinya :suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij untuk mengambil manfaat kenikmatan
(kesenangan).

Imam Syafii, pengertian nikah secara syara ialah :

Artinya : adakalanya suatu akad yang mencakup kepemilikan terhadap wathi dengan lafaz inkah atau tazwij atau dengan

menggunakan lafaz yang semakna dengan keduanya.

5
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
6
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang ,Jakarta, tahun 1974 hlm. 16
8

Imam Jalaluddin, al-Mahalli dalam kitabnya al-Mahalli.

Artinya :Nikah menurut syara (istilah) ialah suatu akad yang membolehkan wathi (hubungan seksual) dengan menggunakan lafaz
inkah atau tazwij.

Hanabilah, Nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang bermakna tajwizdengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang7.

Berdasarkan uraian diatas, jelaslah terlihat bahwa pengertian nikah menurut istilah (syara) yang dikemukakan oleh para ulama
bermuara pada satu konteks akad yang menghalalkan hubungan biologis.Hal ini mengingat yang menyebabkan laki-laki dan
perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya karena adanya dorongan-dorongan yang bersifat biologis. Serta
jika di tinjau dari konteks agama islam, pernikahan juga merupakan ibadah. Dengan kata lain, pernikahan adalah perjainjian
perikatan antara pihak seorang laki-laki dengan pihak seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami-istri, hidup
berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama.8

7
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Ala Muzahib al-Arbaah, Turaz Al-Arabi, 1986 ,Juz IV hlm.3
8
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, jilid II (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi IAIN, 1984), hlm. 50
9

B. Hukum Pernikahan Dalam Islam9

Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat
bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu
para ulam malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah untuk sebagian
orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua pendapat-pendapatan diatas berdasarkan pada kepentingan. Namun Ibnu
Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan
hadits yang berkenaan dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt
yang menyatakan:





Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka
kawinilah satu saja .(QS. An-Nisa: 3)

()





Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan.(Q.S. An-Nur : 32)

9
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : Al- Bayan, 1994), Cet ke1, h. 62
10

Hadist tentang pernikahan:











Dari Aisyah R.A. berikut, bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda:menikah adalah sunnahKu, siapa yang tidak mengamalkan sunnahKu,
maka dia bukan termasuk umatKu,menikahlah karena aku sangat senang atas jumlah besar kalian dihadapan umat-umat lain, siapa
yang telah memiliki kesanggupan, maka menikahlahjika tidak maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali.

Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang berbeda pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan arti
perkawianan. Berdasarkan Al-quran dan As-sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk
melangsungkan perkawinan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan dari
perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah.

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya
beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam:

Pernikahan hukumnya Wajib


11

Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus
dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.

Kata Qurtuby :

Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk
menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman :

Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-
Nya, (QS. An-Nuur : 33).

Dari Abdullah bin Masud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai golongan orang-orang muda! Siapa-siapa
dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih
memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri bagimu.(Ibnu Hajar Al-
Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).

Perkawinan hukumnya Sunnah

Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari
berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup
sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash bahwa Rasulullah bersabda :
12

Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita.

Perkawinan hukumnya Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak,
haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya
atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya
atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri (QS. Al-Baqarah :195)10.

Perkawinan hukumnya Makruh

Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri,
karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti
dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

Perkawinan hukumnya Mubah

10
Al-quran dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 hlm.36
13

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

C. Larangan Pernikahan Menurut Islam

Dalam membicarakan larangan Pernikahan menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu:

Asas Absolut Abstrak

Ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah
ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan.

Asas Selektifitas

Ialah suatu asas dalam suatu Pernikahan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan
siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya.

Asas Legalitas
14

ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)

Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan
dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah). Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:11

1. Larangan perkawinan karena berlainan agama

Dasar hukumnya Al quran surah Al Baqarah ayat 221, yang berbunyi. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik
hatimu. (Al Baqarah ayat 221).Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum
mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada
manusia, supaya mereka mengambil pelajaran

2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat

11
Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo
15

Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu
akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas.
Larangan-larangan tersebut meliputi :

Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.


Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.
Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.
Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu kamu.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah karnu.

Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga
termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.

Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah
hubungan seksual, sedangkan menurut syafi' i nikah itu menurut pengertian majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara
seorang wan ita dengan seorang pria.

Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari antara ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian
juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma
hukum Allah SWT.
16

3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan

Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pernah menyusu
(menetek) dengan ibu (wanita) yang sama dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an
tara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah menyusu itu atau berapa
lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.
Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul
larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan anak
dari ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut
seperti juga, hambali dan imam malik.

Pendapat kedua, ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan
kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka
barulah timbul larangan perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi'i dengan para penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu baru berproses menjadi
darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila menyusui itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang12.

4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda

12
Dr. Ahmadi ramali, Jalan Menuju Kesehatan, Jilid I hlm. 221
17

Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri
kamu (laki-laki).Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan
perkawin antara suami dari kakak adik perempuan itu dengan kakaknya perempuan itu. Lazimnya di indonesia disebut kakak adik
ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.

5. Larangan perkawinan poliandri

Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.


Dari sudut wanita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi
dengan laki-iaki lain).

6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li' an

Li'an diatur dalam Al Quran Surah An-Nuur ayat 4 dan 6.Akibat istri yang di ii' an maka mereka bercerai untuk selama-
lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi antara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan
hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

7. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina

Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi
lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang
didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga
kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam surah An Nuur ayat 3).Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan baikbaik.
18

Ia hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baikbaik. Dia
hanya dapat menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik. Demikian ditetapkan oleh allah dan diharamkan
orang-orang mukmin melakukan di luar ketentuan allah tersebut.

8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga)

Kecuali perempuan bekas istri tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak lagi serta
habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Lihat Surah Al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi sebagai berikut:

Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan bekas istri itu) untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum allah, itulah hukum-hukum Allah, di terangkan-Nya kepada kaum yanng (mau) mengetahui.

9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat

Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk
kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut
dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4
19

(empat) orang istri. Apabiia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk kelimanya (istri
keiima).

D. Rukun dan Syarat Sah Nikah

Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :


Calon suami
Secara umum syarat-syarat bagi calon suami untuk melangsungkan pernikahan adalah sebagai berikut : 13

13
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, hlm. 851
20

Beragama islam Calon suami ridha


Laki-laki Tidak sedang dalam ihram haji
Jelas orangnya atau umrah
Calon suami itu tahu dan kenal kepada calon isteri
Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isteri, dan
Tidak sedang mempunyai isteri empat.

Calon istri
Syarat-syarat calon isteri adalah sebagai berikut :14
Calon isteri atau perempuan yang akan dinikahi tidak kosong oleh suatu pernikahan
Tidak ber-iddah
Orangnya jelas.
Secara umum persyaratan bagi seorang calon isteri yang akan dinikahi oleh seorang laki-
laki adalah sebagai berikut :15
Beragama islam atau ahli kitab
Terang wanitanya
Tidak dalam masa iddah
Tidak haram dinikahi.

Syarat syarat calon mempelai :16


Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan
dirinya.
Keduanya sama-sama beragama islam.
Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan
mengawininya.

14
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) hlm. 58
15
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ) hlm. 60
16
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, hlm. 859
21

Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7
dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.

Wali nikah dari mempelai perempuan


Syarat syarat wali:17

17
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, hlm. 865
22

Telah dewasa dan berakal sehat Berpikiran baik


Laki laki. Tidak boleh perempuan. Adil
Muslim Tidak sedang melakukan ihram,
Orang merdeka untuk haji atau umrah.
Tidak berada dalam pengampuan

Dua orang saksi


Syarat syarat saksi :18

18
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, hlm. 868
23

Saksi itu berjumlah paling kurang Kedua saksi itu adalah laki laki.
dua orang. Kedua saksi itu bersifat adil.
Kedua saksi itu adalah bergama Kedua saksi itu dapat mendengar
islam. dan melihat.
Kedua saksi itu adalah orang yang
merdeka.

Ijab dan Qabul


Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari pihak kedua.
Syarat syarat akad nikah :19
Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun
sesaat.
Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.

E. Wali Nikah dan Urutannya

Kata wali merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab dengan akarkata al-wilayah
yang berarti hak yang diberikan syariat untuk melangsungkan suatu hal atas yang lainnya,
(boleh) dengan paksaan20.Dengan demikian, kata al-waliy yang merupakan isim fail
(subjek) dari kata alwilayah dapat diartikan dengan seseorang yang memiliki hak yang
diberikansyariat untuk melangsungkan suatu hal atas orang lain dengan paksaan. Atau
dengan bahasa lain, wali adalah kekuasaan atau wewenang syari atas segolongan manusia
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna dikarenakan adanya kekurangan tertentu
pada orang yang dikuasainya itu.Dalam konteks pernikahan, wali nikah bisa diartikan

19
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, hlm. 869
20
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm.517.
24

dengan seseorang yang memiliki hak penuh atas putrinya (yang masih perawan) untuk
menikahkannya dengan orang lain.
Macam-macam wali
Dalam hukum pernikahan Islam, wali nikah dibedakan ke dalam empat
macam, yaitu:21

a. Wali nasab, yaitu wali nikah karena pertalian nasab atau pertalian darah dengan
calon mempelai perempuan. Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat
di kalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang
jelas dari Nabi, sedangkan al-Quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa
yang berhak menjadi wali.Jumhur ulama berpandangan bahwa wali nasab seorang
wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan as}abah, yaitu kerabat dari
kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan
perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari
pihak keluarga ayah/laki-laki)

b. Wali mutiq, yaitu wali nikah karena memerdekakan, artinya seseorang ditunjuk
menjadi wali nikah seorang perempuan karena orang tersebut telah
memerdekakannya.

c. Wali hakim, yaitu wali nikah yang dilakukan oleh penguasa bagi seorang perempuan
yang wali nasab-nya karena suatu hal tidak ada, baik karena menolak menjadi wali
atau sebab-sebab lain.

d. Wali muh}akkam, yaitu wali nikah yang terdiri dari seorang laki-laki yang diangkat
oleh kedua calon suami istri untuk menikahkan mereka, dikarenakan tidak ada wali
wali yang disebutkan di atas. Pakar lain menyebutkan terkait wali muh}akkam,
bahwa orang yang bertindak sebagai wali muh}akkam adalah orang yang tidak ada
hubungan saudara, dan juga bukan penguasa.

21
Happy Susanto, Nikah Sirih Apa Untungnya , Visi Media tahun 2007 hlm.44
25

Orang-orang yang berhak menjadi wali

Menurut mayoritas para pakar fikih, para wali nikah adalah mereka yang termasuk
as}abah, yakni para kerabat terdekat dari pihak ayah. Maka tidak ada hak perwalian dalam
nikah bagi paman dari pihak ibu atau saudara seibu dan sebagainya.Orang-orang yang
berhak menjadi wali, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:22
a. Wali qarib (wali dekat); yaitu ayah dan kalau tidak ayah pindah kepada kakek. Keduanya
mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia
dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan
dari
anaknya tersebut.

b. Wali abad (wali jauh); yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga
selain anak dan cucuk, karena anak menurut jumhur ulama tidak boleh menjadi wali
terhadap ibunya dari segi dia adalah anak. Namun bila anak berkedudukan sebagai wali
hakim maka ia boleh
mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun orang-orang yang termasuk wali abad ini
adalah sebagai berikut:

22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm.75
26

Saudara laki-laki kandung; Paman seayah;


Saudara laki-laki seayah; Anak paman kandung;
Anak saudara laki-laki kandung; Anak paman seayah;
Anak saudara laki-laki seayah; Ahli waris kerabat lainnya kalau
Paman kandung; ada.

Di samping itu semua, ada beberapa pihak lagi yang berhak menjadi wali, yaitu wali
mutiq (orang yang memerdekakan), wali hakim (penguasa) dan wali muh}akkam (orang
yang diangkat wali oleh kedua belah pihak; calon suami dan calon istri).

Dalam Pernikahan, tetunya di perlukan wali dalam pelaksanaan pernikahan. Wali


nikah juga mempunyai beberapa syarat dan ketentuan serta urutan wali dalam nikah. Di
jelaskan sebagai berikut :

Syarat wali adalah:23

Telah dewasa dan berakal sehat; dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak
menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad.
Laki-laki; tidak boleh perempuan menjadi wali. Namun menurut sebagian ulama,
perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya
sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan
adanya wali.
Muslim; tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim
Orang merdeka.
Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialahbahwa orang
yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya.
Sementara kedudukannya sebagai walimerupakan suatu tindakan hukum.
Berpikiran baik; orang yang pikirannya terganggu karena ketuaannyatidak boleh
menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam
perkawinan tersebut.

23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia hlm.76
27

Adil; adalah menurut para ahli fikih yaitu bukan seorang pendosa,terhindar dari
dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, membunuh danlain sebagainya. Di
samping itu, dia tidak terus menerus tenggelamdalam dosa-dosa kecil dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya
Tidak sedang melakukan ihram, baik untuk haji ataupun umrah.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:24

24
Happy Susanto, Nikah Sirih Apa Untungnya , Visi Media tahun 2007 hlm.43
28

a. Ayah g. Paman sekandung


b. Kakek h. Paman seayah
c. Saudara laki-laki sekandung i. Anak laki-laki dari paman
d. Saudara laki-laki seayah sekandung
e. Anak laki-laki dari saudara laki j. Anak laki-laki dari paman seayah.
laki sekandung k. Hakim
f. Anak laki-laki dari saudara laki l. Adanya saksi (2 orang pria).
laki seayah

Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar
pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
Adil
Dapat mendengar dan melihat.
Tidak dipaksa.
Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

Urutan-urutan di atas tidak boleh dilanggar. Artinya, tidak dibenarkan seseorang dari
mereka bertindak sebagai wali nikah, sementara masih ada wali yang lebih dekat dalam
urutan-urutannya. Sebab hal itu merupakan hak yang bersumber pada ketentuan syariat,
seperti halnya ketentuan dalam hal pewarisan harta peninggalan. Maka jika seseorang dari
mereka bertindak sebagai wali nikah dengan melanggar urutan-urutan itu, maka nikah
tersebut dianggap tidak sah adanya.

F. Tujuan Pernikahan

Adapaun tujuan moral dari pernikahan adalah untuk melakukan pengabdian kepada
Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan pengabdian ini diharapkan adanya intervensi
dalam kehidupan berkeluarga yang akhirnya akan melahirkan generasi-generasi yang taat
29

dan shalih. Sakralnya tujuan yang terkandung dalam pernikahan menunjukkan bahwa
pernikahan bukanlah sekedar uji coba yang bilamana tidak mampu melanjutkannya dan
dapat diberhentikan dengan seketika yang seolah-olah perceraian adalah sesuatu yang
lumrah. Banyaknya terdapat persepsi seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih
memandang bahwa pernikahan hanya merupakan persoalan biologis semata

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan


syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:25

1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:




...

Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah.

2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda:

Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat
nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.

3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan


pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan:

26


.


25
www.wikipedia.org/ di akses pada 27 Mei 2013
30

Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. (An-Nur: 30-31)

G. Pembatalan Pernikahan

Pengertian batalnya perkawinan

Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang,
karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan syariat 27. Selain
tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama.
Jadi secara umum, batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena
tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang
atau diharamkan oleh agama.
Menurut Al-Jaziri batalnya nikah dibedakan ke dalam dua istilah, yaitu nikah batil
dan nikah fasid. Nikah fasid ialah nikah yang tidak memenuhi syarat-syarat sah untuk
melaksanakan pernikahan, sedangkan yang dimaksud dengan nikah batil adalah nikah yang
tidak memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara. Hukum nikah yang tidak
memenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahannya tidak sah.Dalam bahasa Arab, batalnya
perkawinan disebut dengan fasakh. Secara bahasa, fasakh berarti merusak atau mencabut.
Dan menurut istilah, fasakh berarti perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang
dianggap berat oleh suami atau istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk
melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuannya28.Fasakh dapat terjadi
karena sebab-sebab yang berkenaan dengan akad (sah atau tidaknya) atau dengan sebab
yang datang setelah berlakunya akad.Fasakh yang berkenaan dengan akad, misalnya akad

26
Al-quran dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002
27
Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqh, hlm.41
28
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang ,Jakarta, tahun 1974 hlm.212
31

sudah berlangsung, tetapi ternyata perempuan yang dinikahi itu adalah saudara
perempuannya sendiri. seorang dari suami dan istri murtad dari Islam dan tidak kembali lagi.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dengan proses peradilan. Hakimlah
yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian.
Karena itu pihak pemohon dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti
yang lengkap demi meyakinkan para hakim yang mengadilinya. Karena keputusan hakim
didasarkan kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut.

Sebab-sebab terjadinya fasakh


Sebelumnya, perlu diketahui bahwa jika ditinjau dari segi alasan terjadinya, maka
fasakh secara garis besar dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:29

Pertama: Perkawinan yang sebelumnya telah berlangsung, ternyata kemudian tidak


memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun maupun syaratnya; atau pada
perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan.
Bentuk seperti ini dalam kitab fikih disebut dengan fasakh.

Kedua: fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau istri terdapat sesuatu yang
menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, karena kalau dilanjutkan akan
menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau keduanya sekaligus. Fasakh dalam
bentuk ini dalam kitab fikih disebut khiyar fasakh. Fasakh dalam bentuk pertama di atas
tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab-kitab fikih. Alasannya ialah bahwa perkawinan
itu jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan perkawinan atau terdapat padanya halangan
(mawani) nikah. Dalam ketentuan umum yang disepakati semua pihak ialah bahwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun atau terdapat padanya mawani itu
dinyatakan batal. Ketentuan batal itu berlaku untuk memulai dan juga berlaku untuk
melanjutkan. Ulama sepakat bahwa bila kesalahan atau kekurangan itu terjadi sebelum
berlangsung, maka wajib dihindarkan atau dicegah, dan bila terjadi setelah berlangsung
maka wajib dibatalkan.Sayyid Bakri dalam bukunya Hasyiyah ianah atTalibin menjelaskan
bahwa suatu pernikahan akan batal dengan adanya kesaksian- saksi atau pengetahuan

29
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm.243
32

hakim, atau dengan pengakuan langsung dari suami atau istri akan adanya sesuatu yang
mencegah kesahan pernikahan tersebut, seperti fasiknya para saksi atau wali ketika akad
nikah dilangsungkan dan lain sebagainya. Fasakh yang banyak dibahas dalam hampir semua
kitab-kitab fikih adalah fasakh dalam bentuk kedua, yaitu fasakh yang disebabkan oleh
karena terjadinya sesuatu pada suami atau istri atau keduanya yang tidak memungkinkan
dilanjutkannya ikatan perkawinan.

Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fasakh dalam bentuk kedua ini,
antara lain:30
Karena terdapat cacat pada diri suami atau istri, seperti balak (penyakit belang kulit),
gila, penyakit kusta dan lain-lain.
Karena syiqaq, yakni adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin
didamaikan.41
Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah.
Karena suami ghaib (al-mafqud), yakni suami meninggalkan tempat tetapnya dan
tidak diketahui ke mana perginya dan di mana beradanya dalam waktu yang sudah
lama.
Karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.
Karena menganiaya berat, yakni suami atau istri melakukanpenganiayaan satu sama
lain dengan berlebihan
Karena murtad, yakni salah satu dari suami atau istri keluar dari islamdan tidak
kembali lagi.

Akibat hukum fasakh


Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak.
Apabila talak raji (salah satu bentuk talak)- tidak bisa secara langsung mengakhiri ikatan
suami istri dengan seketika, maka fasakh, baik karena halhal yang datangnya belakangan
ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, bisa secara langsung mengakhiri
ikatan perkawinan dengan seketika. Hal ini disebabkan karena fasakh berstatus bain sugra.
Karenanya, bila mantan suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan

30
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, hlm.144
33

perkawinannya, maka mereka harus melakukan akad nikah baru setelah sang istri
menjalankan masa iddah-nya karena fasakh tersebut.Akibat lain dari fasakh adalah bahwa
dengan terjadinya fasakh tidak berarti mengurangi bilangan talak. Hal ini berarti, hak suami
untuk mentalak istrinya maksimal tiga kali, tidak berkurang dengan fasakh itu. Dalam bahasa
sederhana, fasakh boleh terjadi berkali-kali tanpa batas.

H. Hikmah Pernikahan31
Adapun hikmah dalam melaksanakan pernikahan diantaranya :

1. Untuk menjaga keninambungan generasi manusia.


2. Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan
hak dan kewajiban.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam hukum islam menikah itu salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, karena
kita sendiri mengetahui jika rasulullah telah menganjurkannya dalam anjuran
nikah.Namun,kita tidak perlu ragu karena dengan menikah mempunyai keuntungan dan
hikmah tersendiri baik untuk diri sendiri maupun orang lain, misalkan jika kita menjaga tali
ikatan pernikahan dengan sebaik-baiknya karena sekarang telah banyak sekali manusia yang
mulai menyelewengkan arti dari menikah tersebut.

B. Signifikansi

Dalam penulisan makalah serta isi redaksinya, masih terdapat banyak kekurangan
dalam penyajian materi bukan dikarenakan buku yang telah kami pilih sebagai bahan

31
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), Hlm.89
34

penyajian materi, melainkan kekurangan kami dalam pengetahuan yang kami miliki. Maka
dari itu kami dalam halnya penulis membutuhkan banyak saran dan masukan serta kritik
yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1.Departemen Agama R.I, Intruksi Presiden R.I No.1
Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tahun 2000

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang ,Jakarta, tahun 1974

H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010)

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : Al- Bayan, 1994)

Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Dr. Ahmadi ramali, Jalan Menuju Kesehatan, Jilid I

Al-quran dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002

Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah

Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999)
35

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqh

www.wikipedia.org/ di akses pada 27 Mei 2013

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat

Anda mungkin juga menyukai