Anda di halaman 1dari 18

Skrining Kanker Cerviks dengan Tes IVA

Felix rico suwandi - 10.2012.239

Flxrco@gmail .com

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA

Jl. TerusanArjuna no.6, Jakarta Barat

BAB I

PENDAHULAN

Kanker adalah suatu penyakit neoplastik yang dapat berakibatan fatal. Sel kanker
tidak seperti sel tumor, ia mempunyai kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasis
kebagian lain dalam tubuh dan bersifat sangat anaplastik yaitu bisa membelah tanpa
berdiferensiasi. Kanker leher rahim atau yang biasa disebut kanker serviks adalah tumor
ganas yang tumbuh di dalam leher rahin atau serviks. Kanker serviks biasanya menyerang
wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi
serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil ledir pada saluran servikal yang
menuju ke dalam rahim
Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat
penyakit kanker di negara berkembang. Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000
penderita baru di seluruh dunia dan umumnya terjadi di negara berkembang. Sesungguhnya
penyakit ini dapat dicegah bila program skirining sitologi dan pelayanan kesehatan
diperbaiki.
Skrining adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu
penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tidak seperti apa yang
biasanya terjadi dalam kedokteran, tes skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda
klinis penyakit.

Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai
negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan
dan perawat yang terlatih. Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia
yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan.
Karenanya pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di
daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan
dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi

Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada
leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di
antara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker. 1

Penyebab kanker leher rahim yaitu virus HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini dapat menyerang semua wanita, khususnya
wanita yang aktif secara seksual. Saat ini sudah terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV
khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks
di Asia.1

2. Etiologi

Gambar 2.1 Etiologi

(Sumber nicsheav.2010)

Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau
lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan
kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).
Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tiga puluhan,
walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus HPV
yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 56.13 dimana HPV tipe 16 dan 18
ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-
sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/
LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah
menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51,
52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55.13. 1

3. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi
penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005.Kurang lebih 80% kematian tersebut
terjadi di Negara berkembang. Tanpa prenatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian
akibat kanker serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.2

4. Faktor resiko

Gambar 4.1 Faktor resiko


(Sumber :GraceS.2009)

Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini, berhubungan
seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka berganti-ganti pasangan.
Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun.
Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher rahim adalah: 2

a. Faktor HPV :
- tipe virus
- infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan
- jumlah virus (viral load)
b. Faktor host/ penjamu :
- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif)
yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan
kanker.
- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker
c. Faktor eksogen
- merokok
- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral 2.

d. Nutrisi

Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat


mencegah kanker.Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat,
vitamin C, E, beta karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker
serviks.2
Table 1 Risiko relative kanker serviks dari beberapa factor 2

Factor risiko Risiko relative


Usia pertama hubungan seks (tahun)
<16 16
16-19 3
>19 1
Jarak antara hubungan seks pertama
dengan menarche (tahun)
<1 26
1-5 7
6-10 3
>10 1
Jumlah pasangan seks 3,6
>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1
pasangan)
Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun
>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan) 7
Genital wart
Ada (dibandingkan tidak ada) 3,2
Merokok >5 batang perhari
Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun) 4

5. Pembahasan Diagnosis Kanker serviks

Prosedur penentuan diagnosis

1. Anamnesa, untuk mencari factor predisposisi dan keluhan penderita. Keputihan dan
pendarahan abnormal per vaginam merupakan keluhan utama pasien yang dicurigai
menderita kanker serviks invasive.
2. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal
3. Pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sitoskopi, retroskopi, CT-scan
optional, MRI, serta Bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase
4. Biopsy serviks untuk menentukan jenis histopatologis
5. Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari uji
pap konvensional, IVA, thin prep, servikografi, uji HPV .2

Cara Penularan Kanker Serviks

Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak
ada tes umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan
Status HPV, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di
mulut, atau tenggorokan. Bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan
pemeriksaan PCR, tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat
dilakukan pemeriksaan tes DNA HPV.2

Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu
menular melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin,
yang paling sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara
pasangan berbeda jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan
ketika terinfeksi, pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.2

Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak
seksual dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak
menyadari mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga
memungkin seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV.2

Sangat jarang terjadi, seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat
menularkan HPV pada bayinya selama proses persalinan.2

Deteksi Dini Kanker Leher Rahim

Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang
merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada gilirannya
akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim. Prinsip dasar kontrol penyakit ini adalah
memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas lesi displasia sel-sel leher rahim
(disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan
kemudian segera diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian
hari.3
Perempuan yang terkena lesi prakanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%,
sementara kanker yang ditemukan pada stadium dini memberikan harapan hidup 92%.
Karenanya deteksi sedini mungkin sangat penting untuk mencegah dan melindungi
perempuan dari kanker leher rahim.WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi
pilar dalam penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini
melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan
tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. Deteksi dini kanker leher rahim
meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia
tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan
edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif. Beberapa hal penting yang
perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan
terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan
dengan sumber daya yang terbatas.3

Keunggulan Tes IVA

a. Hasil segera diketahui saat itu juga.


b. Efektif karena tidak membutuhkan banyak waktu dalam pemeriksaan, aman
karena pemeriksaan IVA tidak memiliki efek samping bagi ibu yang memeriksa, dan
praktis.
c. Teknik pemeriksaan sederhana, karena hanya memerlukan alat-alat kesehatan yang
sederhana, dan dapat dilakukan dimana saja.
d. Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah.
e. Sensivitas dan spesifikasitas cukup tinggi.
f. Dapat dilakukan oleh semua tenaga medis terlatih 3
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah antara
usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum pernah
diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus kanker leher
rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual
perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan
yang sudah menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher
rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endocerviks dalam kanalis servikalis sehingga
tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5 Namun untuk pelaksanaan di Indonesia,
perempuan yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program
skrining, untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu
disertakan informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak
ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan perempuan
ini.4

Program IVA di Puskesmas

Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap
telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun
di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya
menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan.4

Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium


sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat
dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan). Skrining dengan metode tes
Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up)
yang belum dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Hanya sebagian kecil dari
perempuan yang menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan
pengobatan yang semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka
insidens kanker leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. 4
Masalah yang berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong
banyak penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu
metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA). Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian
perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA sepertinya sulit dievaluasi karena
perbedaan protokol dan populasi. 4

Pertimbangan metode alternatif didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA
itu. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan
dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-
alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan
sederhana. 4

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat


yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil
dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu
kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan
bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk
peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker. 4

Dasar Pemeriksaan IVA


Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas
leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam
asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas
cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke
stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih,
disebut juga epitel putih (acetowhite). 4,5
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah
pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang.
Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih
lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi
protein lebih banyak. 5
Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.
Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim
yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut.
Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan
didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih
(mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan
merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses
keratosis.5

Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi

Gambar 5,1 Test iva


(Sumber : medstud.2011)
Gambar 5.2 Interpretasi test IVA
(Sumber :yoh.2010)

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada
lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka).
Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak
dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. 5
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai
berikut: 5
- Ruang tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
- Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.
- Speculum vagina
- Asam asetat (3-5%)
- Swab-lidi berkapas
- Sarung tangan
Dengan speculum melihat leher rahim yang dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada
lesi prakanker akan menampilkan warna berkankerk putih yang disebut aceto white
epithelium. Dengan tampilnya portio dan berkankerk putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA
positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andai kata penemuan tes IVA positif
oleh bidan, maka beberapa negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan
cryosergury. Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahan dalam menyingkirkan lesi
invasive. 5

Kategori klasifikasi IVA

Tabel 5.1 . Kategori Klasifikasi IVA.5

Klasifikasi IVA Kriteria Klinis

Tes negative Halus, berwarna merah muda, seragam, tidak berfitur, ektropion,
servisitis, ovula Nabothi, dan lesi acetowhite tidak signifikan

Tes positif Bercak putih (acetowhite epithelium sangat jelas terlihat dengan
batas tegas dan meninggi, tidak mengkilap yang terhubung atau
meluas SSK (squamouscolumnar junction)

Dicurigai kanker Pertumbuhan massa seperti kembang kol yang mudah berdarah
atau luka bernanah/ulcer
Gambar 5.1 Hasil dari iva
(Sumber : Mednetgrace.2009)

6. Skrining
Sasaran yang akan menjalani skrining

WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut :6

a. Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes
Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala
abnormal lainnya
d. Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.6

Pertimbangan program skrining

Wilson dan Junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli epidemiologi
saat merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang kesehatan
masyarakat, skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.6

Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining


untuk kelompok populasi yang besar:

1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
terungkap saat proses skrining dilakukan.
3. Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis
dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakatumum
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi
10. Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses
yang teratur dan berkelanjutan.6

Tes skrining

Sensitivitas dan Spesifisitas


Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang
terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit
seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang
benar-benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara
tepat terkena penyakit melalui tes skrining.6
positif benar positif benar
= =
positif benar + negatif palsu semua orang berpenyakit
Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar
presentase mereka yang tidak terkena penyakit. Orang yang tidak terkena penyakit dan
terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas
menunjukkan proporsi orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani
skrining dan mereka yang diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena
penyakit melalui uji skrining.6

negatif benar negatif benar


= = 100%
negatif benar + positif palsu semua orang berpenyakit

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes
melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu.6

Kriteria Evaluasi
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang
tinggi, yaitu mendekati 100%. Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining
dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values).6
1. Validitas
Validitas adalah kemampuan dari tes penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar-
benar sakit terhadap yang sehat. Validitas merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu
alat ukur (test) dapat mengukur secara benar dan tepat apa yang akan diukur. Validitas
mempunyai 2 komponen, yaitu:
- Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.
- Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.
Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila
sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk
menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan
penyaringan, apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak
menderita, ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat.8
Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan
spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat
positif artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit., sedangkan nilai prediktif
negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit. Nilai
prediktif positif sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat
dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula
nilai prediktif positif dan sebaiknya.6

Disamping nilai sensitivitas dan nilai spesifisitas, dapat pula diketahui beberapa nilai lainnya
seperti:6
a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar menderita
penyakit dengan hasil tes positif pula.
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang sebenarnya tidak sakit
tetapi test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan hasil test
yang negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang sebenarnya menderita
penyakit tetapi hasil test negatif.6
Tabel 1
Sakit Tidak Sakit Jumlah
Positif A b a+b
(true +) False (+)
Negatif C d c+d
(False -) (True -)
Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Rumus :
1. Sensitivitas dan Spesifisitas
Sensitivitas =

Negatif palsu =

Spesifisitas =
Positif palsu =
2. Nilai prediksi
Nilai prediksi tes (+) atau PPV=

Nilai prediksi tes (-) atau NPV=


Contoh kasus :
Dokter A dipuskesmas Wanasari melakukan skkrining Ca serviks pada kelompok
wanita lokalisasi tuna susila dengan menggunakan tes IVA. Dari 100 orang yang
diperiksa, didaptkan 30 orang terdeteksi positif tes IVA. Setelah diperiksa lebih lanjut
dengan menggunkan Pap smear ternyata dari yang positif tes IVA 6 orang dinyatakan
sakit kanker serviks dan yang tes IVA(-) ternyata 3 orang yg dinayatakan sakit kanker
serviks.
Tabel.2.

Kanker serviks
JUMLAH
POSITIF NEGATIF
TES POSITIF 6 24
30
IVA (True+) (False +)
NEGATIF 3 67
70
(False-) ( True -)
JUMLAH 9 91 100

6
a. Sensitivitas = + x 100 % = 6+3 x 100 % = 66,67 %
67
b. Spesifisitas = + x 100 % = 24+67 x 100 % = 73,62 %
6
c. Positive predictive value = x 100% = x 100% =
+ 6+24
20%
67
d. Negative predictive value = x100% = x100%=
+ 67+3
95,7%
e. Negatif palsu =

f. Positif palsu =

g. Nilai prediksi tes (+) atau PPV =


6
h. Nilai prediksi tes (-) atau NPV =

2. Reliabilitas
kemampuan suatu tes memberikan hasil yang sama/ konsisten bila tes dilakukan lebih
dari satu kali sasaran (objek) sama dan pada kondisi yang sama pula.6
6. Pengendalian Kanker Serviks

Pengendalian kanker. Ada empat komponen pengendalian kanker leher rahim


menurut WHO 2002.7

1. Pencegahan penyakit kanker

Pencegahan dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasikan


pajanan penyebab dan faktor resiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu
terhadap efek dari penyebab kanker. Selain faktor resiko, ada faktor protektif yang
akan mengurangi kemungkinan seseorang terserang kanker. Pendekatan pencegahan
ini memberikan peluang paling besar dan sangat cost-effective dalam pengendalian
kanker tetapi membutuhkan waktu lama.7

Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup (termasuk mengkonsumsi


buah dan sayur lebih dari 500 gram per hari, mengurangi konsumsi lemak dan lain-
lain), mempromosikan anti rokok termasuk menurunkan resiko terpajan asap rokok,
perilaku seksual aman, serta pemberiaan vaksin HPV, merupakan contoh-contoh
kegiatan pencegahan.7

2. Deteksi dini

Dilihat dari aspek kesehatan masyarakat, kegiatan deteksi dini adalah


menyediakan metode pemeriksaan yang murah. terjangkau, aman, dan mampu
laksana untuk membedakan masyarakat yang beresiko terkena kanker atau bukan.
Ada dua komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi tentang
penemuan dini (early diagnosis).7

A. Penapisan atau skrining

Adalah upaya pemeriksaan atau test yang sederhana dan mudah


dilaksanakan pada populasi masyarakat sehat, yang bertujuan untuk
mengetahui masyarakat yang sakit atau beresiko terkena penyakit di antara
masyarakat yang sehat. Upaya penapisan dikatakan adekuat bila tes dapat
mencakup seluruh atau hampir seluruh populasi sasaran, untuk itu dibutuhkan
kajian jenis pemeriksaan yang mampu laksana pada low-resource setting
seperti di Indonesia. Sebagai contoh: pemeriksaan sitologi untuk memeriksa
lesi prakanker leher rahim dan mamografi telah dilaksanakan negara-negara
maju, tetapi negara berkembang memakai Inspeksi visual dengan aplikasi
Asam Asetat (IVA) sebagai cara untuk pemeriksaan lesi prakanker leher
rahim.7

B. Penemuan dini (early diagnosis)

Adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah merasakan


adanya gejala. Oleh karena itu edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang
tanda-tanda awal kemungkinan kanker di antara petugas kesehatan, kader
masyarakat, maupun masyarakat secara umum merupakan kunci utama
keberhasilannya. Penemuan dini dapat dilakukan terutama pada penyakit-
penyakit kanker. Program atau kegiatan deteksi dini yang dilakukan pada
masyarakat hanya akan berhasil apabila kegiatannya dihubungkan dengan
pengobatan yang adekuat, terjangkau, aman, dan mampu laksana, serta
mencakup 80% populasi perempuan yang beresiko. Untuk itu dibutuhkan
perencanaan akan kebutuhan sumber daya dan strategi-strategi yang paling
efektif untuk melaksanakan program ini.7

3. Diagnosis dan terapi

Diagnosis kanker lahir rahim membutuhkan kombinasi antara kajian klinis dan
investigasi diagnostik. Sekali diagnosis ditegakkan harus dapat ditentukan stadiumnya
agar dapat mengevaluasi besaran penyakit dan melakukan terapi yang tepat. Tujuan
dari pengobatan adalah menyembuhkan, memperpanjang harapan hidup, dan
meningkatkan kualitas hidup.7

Prinsip pengobatan harus ditujukan pada kanker dengan stadium awal dan
yang lebih berpotensi untuk sembuh. Dan pengobatan harus terpadu termasuk
pendekatan psikososial, rehabilitasi, dan terkoordinasi dengan pelayanan paliatif
untuk memastikan peningkatan kualitas hidup pasien kanker.7

4. Pelayanan paliatif

Hampir di seluruh dunia, pasien kanker terdiagnosa pada stadium lanjut.


Untuk kasus seperti ini pengobatan yang realistik adalah mengurangi nyeri dan
pelayanan paliatif. Diyakini, pelayanan paliatif yang baik dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien kanker.7

7. Pencegahan

Pencegahan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan


dan angka kematian akibat kanker serviks.8

1. Pencegahan primodial
Tujuan pencegahan primodial adalah mencegah timbulnya faktor resiko
kanker serviks bagi perempuan yang belum mempunyai faktor resiko dengan cara
seperti pendidikan seks bagi remaja, menunda hubungan seks remaja sampai pada
usia yang matang yaitu lebih dari 20 tahun.8
2. Pencegahan primer
Pencegahan tingkat primer bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
faktor resiko bagi perempuan yang mempunyai faktor resiko, untuk mengetahui
bagaimana pencegahan primer dapat dilakukan pada kanker serviks. Maka perlu
diketahui karsinogenesisnya yaitu bagaimana kanker dapat timbul. Pencegahan
dilakukan dengan menghindari diri dari bahan karsinogenik atau penyebab kanker
berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan. 8
a. Segi kebiasaan
Hindari hubungan seks terlalu dini
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan yang sudah
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat ia sudah
menstruasi atau belum, tetapi juga bergantung pada kematangan sel-sel
mukosa yang terdapat diselput kulit bgian dalam rongga tubuhn. Umumnya
sel-sel mukosa baru meradang setelah perempuan berusia 20 tahun ke atas.
Terutama untuk perempuan yang masih dibawah 16 tahun mempunyai resiko
kanker serviks lebih tinggi bila telah melakukan hubungan seks. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks perempuan. Pada
usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan
terhadap rangsangan sehingga belum siap menerima rangsangan dari luar
termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma sehingga sel ini bisa berubah
sifanya menjadi kanker. 8
Hindari berganti-ganti pasangan seks
Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang berganti-
ganti pasangan seks daripada yang tidak. Hal ini berkaitan dengan
kemungkinan tertularnya penyakit kelaimin salah satunya HPV. Virus ini
mengubah sel di permukaan mukosa sehingga memebelah menjadi lebih
banyak, bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan akan menjadi
kanker. 8
Hindari kebiasaan pencucian vagina
Kebiasaan mencuci vagina dengan obat-obatan antiseptik bisa menimbulkan
kanker serviks. Douching atau cuci vagina menyebabkan iritasi di serviks
seperti penggunaan betadine untuk pencucian vagina. Iritasi berlebihan dan
terlalu sering akan merangsang terjadinya perubahan sel, yang akhirnya
menjadi kaner. Sebainya pencucia vaginan dengan bahan-abahan kimia tidak
dilakukan secara rutin. Kecuali bila ada indikasinya misalkan infeksi yang
memerlukan pencucian dengan zat-zat kimia dan atas saran dokter. Terlebih
lagi pembersih tersebut umumnya akan membunuh kuman termasuk Basillus
doderlain di vagina yang memproduksi asam laktat untuk mempertahanlkan
pH vagina, bila pH vagina tidak seimbang maka kuman patogen seperti jamur
dan bakteri mempunyai kesempatan untuk hidup di vagina. 8
Upayakan hidup sehat dan periksa kesehatan secara berkala dan teratur. 8

b. Segi makanan
Pengaturan pola makan sehari-hari juga diperlukan agar tubuh mempunyai
cadangan antioksidan yang cukup sebagai penangkal radikal bebas yang
merusak tubuh. 8
Perbanyak makan buah dan sayuran berwarna kuning atau hijau karena banyak
mengandung vitamin seperti betakarotein, vitamin C, mineral, klorofil dan
fitonutrein;lainnya, klorofil bersifat radio protektif, antimutagenik, dan
antikarsinogenik. 8
Kurangi makanan yang diasinkan, dibakar, diasap, atau diawetkan dengan
nitrit karena dapat menghasilkam senyawa kimia yang dapat merubah menjadi
kasinogen aktif. 8
Konsumsi makanan golongan kubis seperti kubis bunga, kubis tunas, kubis
rabi, brokoli karena dapat melindungi tubuh dari sinar radiasi dan
menghasilkan suatu enzim yang dapat menguraikan dan membuang zat
beracun yang beredar dalam tubuh. 8
3. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan kasus
dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan, termasuk skrining,
deteksi dini (Paps smear) dan pengobatan. 8
Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan
program skrining dapat memperoleh beberapa keuntungan yaitu : memperbaiki
prognosis ada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker,
tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya perasaan
tentram bagi mereka yang menunjukan hasil negatif dan penghematan biaya karena
pengobatan yang relatif murah. Kanker serviks mengenal stadium pra-kanker yang
dapat ditemukan dengan skrining sitologi yang relatif murah, tidak sakit, cukup akurat
dan dengan bantuan koloskopi, stadium ini dapat diobati dengan cara konservatif
seperti krioterapi, kauterisasi atau sinar laser dengan memperhatikan fungsi
reproduksi. Adapun pengobatan yang dilakukan untuk penderita kanker serviks
sebagai pencegahan tingkat kedua adalah : 8
Operasi (bedah)
Pada prinsipnya operasi sebagai pengobatan apabila kanker belum menyebar
yang tujuannya agar kanker tidak kambuh lagi. Operasi terutama dilakukan
untuk kuratif disamping tujuan paliatif (meringankan). Operasi dilakukan pada
karsinoma in situ dan mikrovasif, dalam operasi tumor dibuang dengan
konisasi, koagulasi, ataupun histerektomi. Khusus karsinoma mikrovasif
banyak ahli ginekologik memilih tindakan histerektomi radikal (seluruh rahim
diangkat berikut sepertiga vagina, serta penggantung rahim akan dipotong
hingga sedekat mungkin dengan dinding panggul). Pada perempuan yang
masih menginginkan anak atau penderita yang menolak histerektomi dapat
dipertimbangkan konisasi atau elektrokoagulasi.8
Pada karsinoma invasif stadium IB dan IIA, lebih banyak dipilih tindakan
operasi pengangkatan rahim secara total berikut kelenjer getah bening
sekitarnya (histerektomi radikal). 8
Radioterapi
Radioterapi adalah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi.
Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja
tetapi juga pada sel-sel normal disekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker
umumnya lebih besar dari pada sel normal, karena itu perlu diatur dosis radiasi
sehingga kerusakan jaringan yang normal minimal dan dapat pulih kembali.
Radioterapi dilakukan pada karsinoma invasif stadium lanjut (IIB, III, IV).
Terapi biasanya hanya bersifat paliatif (mengurangi atau mengatasi keluhan
penderita), dititik beratkan pada radisi eksternal dan internal. Kemajuan
teknologi radioterapi pada saat ini dimana radiasi dapat diarahkan pada massa
tumor secara akurat, sehingga pemberian dosis tinggi tidak memberikan
penyulit yang berarti. Pada stadium IV lebih banyak memilih mutilasi
eksentaris total yaitu mengangkat kantong kemih, rektum dan dibuat uretra
dan anus tiruan (Praeter naturalis). 8
Kemoterapi
Khemoterapi ialah terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat
anti kanker yang disebut sitostatika. Pada umumnya sitostatika hanya
merupakan terapi anjuvant (terapi tambahan yaitu terapi yang bertujuan untuk
menghancurkan sisa-sisa sel kanker yang mikroskopik yang mungkin masih
ada) setelah terapi utama dilakukan. Khemoterapi yang sering dipergunakan
pada karsinoma serviks adalah Methotrexate, Cyclophospahanimide,
Adiamycin dan Mitomicin-C. Sitostatika biasanya diberi kombinasi. 8

4. Pencegahan tertier

Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif


menderita kanker serviks. Penderita yang menjadi cacat karena komplikasi
penyakitnya atau karena pengobatan perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk
dan/atau fungsi organ yang cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan
wajar di masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker
serviks yang baru menjalani operasi contohnya seperti melakukan gerakan-gerakan
untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan,
bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat khemoterapi dan
radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena umumnya
rambut akan tumbuh kembali. 8

BAB III

PENUTUP

Skrining adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu
penyakit individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tes Pap smear merupakan
pilihan utama metode skrining kanker cerviks. Namun dalam penerapan di pelayanan primer
yang lebih luas, metode IVA direkomendasikan menjadi metode alternatif pada kondisi yang
tidak memungkinkan dilakukan untuk pemeriksaan sitologi. Skrining yang sering dilakukan
di Puskesmas adalah skrining Ca cerviks dengan tes IVA karena skrining ini mudah, praktis.
Skrining kanker serviks telah memberikan dampak yang baik terhadap masalah kanker
serviks yang. Skrining memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang berguna untuk
menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji negatif.

Daftar pustaka

1. Kampono N. Kanker serviks. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu kandungan.


Edisi 3. Jakarta: Bina pustaka sarwono prawirohardjo; 2005.h. 263-9

2. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto ;2011 .h.
228-30.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pencegahan, deteksi dini


kanker leher rahim dan kanker payudara. Jakarta: DEPKES RI; 2007. h. 1-32.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrinning kanker rahim dengan metode


inpeksi visual asam asetat (IVA). Jakarta: DEPKES RI; 2008. h. 3-6.

5. Melianti M. Skining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat
(IVA) test. Departmen Kesehatan Republik Indonesia; Jakarta; 2008

6. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R, Effective Screening programmes for


cervical cancer in low- and middle-income developing countries. Bulletin of the World
Health Organization, 2001; 79:954-962.

7. Rasjidi I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based.


Jakarta: EGC;2007.h.6-19

8. Pohan I. Jaminan mutu layanan kesehatan. Dasar-dasar pengertian dan penerapan. Jakarta:
EGC; 2007.h.148-50.

Anda mungkin juga menyukai