Lapkas Radiologi Fix
Lapkas Radiologi Fix
1.1 Identitas
Nama : Nn. RN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 11 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Geudong
Masuk RS : 20 Juli 2017
Med.Recode : 25 Juli 2017
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 juli 2017
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam naik turun sejak 5 hari yang lalu, pasien
mengaku demam disertai menggigil namun tidak kejang. Pasien juga mengeluhkan
lemas sejak 5 hari yang lalu dan nyeri perut di bagian ulu hati sejak pasien mulai
merasakan demam. Pasien mengeluhkan juga adanya keluhan mual disertai muntah
sebanyak 2 kali sebelum masuk rumah sakit, muntah berisi cairan dan makanan.
Pasien juga mengeluhkan adanya pusing ketika duduk dan batuk, namun tidak
Pasien dikandung cukup bulan, ibu ANC ke bidan tetapi tidak rutin kontrol.
Ibunya tidak ada kelainan selama masa kehamilan
Pasien lahir dengan seksio sesarea, letak sungsang, langsung menangis, tidak
terdapat badan biru & kuning setelah lahir.
1
g. Riwayat Makanan
Disangkal
h. Riwayat Imunisasi
Usia Imunisasi
4 Bulan DPT
9 Bulan Campak
2
Batas kiri : ICS V linea midclavicula
Sinistra
Hemoglobin 14,5
Eritrosit 5,73
Hematokrit 43,7
Leukosit 1,85
Trombosit 108
MCV 76,0
MCH 25,1
MCHC 32,9
RDW 12,9
3
Tubex Skala +4
IgM Positive
IgG Negative
4
Tanggal S O A p
21 Juli 2017 Demam (+) Nyeri HR: 98x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 24x/i
Kepala (+) Mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
T: 37,8C +
Muntah (-) Nyeri Lab (20/7/2017) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
Hb: 14,5 DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
E: 5,73
Hati (+) Batuk (+) L: 1,85 IV. Ondancetron A/ 12j
Ht: 43,7
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Trom: 108
Lemas (+) Tubex +4
IgG (-) IgM (+)
22 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 76x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 21x/i
Kepala (+) Mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
T: 36,8C +
Muntah (-) Nyeri IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
Hati (-) Batuk (+) IV. Ondancetron A/ 12j
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Lemas (+)
23 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 86x/i THYPOID IVFD RL 20 gtt/i
RR: 21x/i
Kepala (+) Mual (+) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
T: 36,6C +
Muntah (-) Nyeri IV. Ranitidine A/ 12 j
DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ondancetron A/ 12j
Hati (-) Batuk (+) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Nyeri sendi (-)
Lemas (-)
24 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 76x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 22x/i
Kepala (-) Mual (-) IVFD RL 20 gtt/i
T: 36,5C +
Muntah (-) Nyeri Lab(23/7/2017) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
Hb: 14,1 DHF
Perut (-) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
L: 2,62
Hati (-) Batuk (+) Ht: 42,8 IV. Ondancetron A/ 12j
MCV: 76,0
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
MCH: 25,1
Lemas (-) MCHC: 32,9
Trom: 59
25 Juli 2017
P B J
BAB I
5
PENDAHULUAN
Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DHF, sebab baik
virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas. Laporan yang ada sampai
saat ini penyakit DHF sudah menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605
daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan
rata-rata DHF di Indonesia terus meningkat dari 0,05% (1968) menjadi 14,9% (1997), dengan
angka kematian menurun dari 41,3% (1968) menjadi 2,3% (Maret 1998). Namun demikian
angka kematian DHF berat/Dengue Shock Syndrome (DSS) masih tetap tinggi.
Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak
terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada umumnya di bawah 15
tahun.
Penyakit DHF pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1953, yaitu pada waktu
terdapatnya epidemi demam yang menyerang anak disertai manifestasi dan renjatan (syok).
Pada tahun 1958, meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958, penyakit
ini dilaporkan berjangkit kembali di Filipina dan tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Di
Indonesia, DHF pertama kali dicurigai terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi
Di tahun 1970 terdapat 9 negara epidemik DHF, dan sekarang jumlah itu meningkat 4
kali lipat di sejumlah negara-negara. Saat ini DHF telah menjadi epidemik dibeberapa negara
di Afrika, Amerika dan Asia, dimana merupakan penyebab utama kematian anak-anak.
Sampai saat ini, dari sekian faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah
kesukaran menduga penderita DHF mana yang akan mengalami renjatan, renjatan berulang
6
Dalam perjalanan penyakit DHF syok merupakan kejadian yang terpenting, karena
menimbulkan akibat yang luas dan fatal. Mekanisme yang mendasari terjadinya syok tersebut
curah jantung yang turun. Terjadinya syok merupakan manifestasi mekanisme kompensasi
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
7
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus genus Flvivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat
serotype dengue terdapat di indonesia, DEN-3, merupakan serotype dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2. Spektrum klinis infeksi dengue
dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), (2)
demam dengue (DD), (3) Demam berdarah dengue (DBD), dan (4) DBD disertai syok
2.2 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematin berkisar
4000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh provinsi di indonesia, dan 200
kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dri 0,05 per
100.000 penduduk (1985-1995). Mortalitas DBD cendrung menurun hingga 2% tahun 1999.
Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun
8
ga
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban yang tinggi nyamuk aedes aegypti akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di indonesia,karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadiya agak berbeda disetiap
tempat. Di jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan april-mei setiap tahun.
9
Gambar 2.2 infeksi dengue di indonesia
2.3 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus
yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini
kurang dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat
saat musim huan, tetapi nyamuk aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada
tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigtan nyamuk yang telah terinfeksi sudah
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yag terinfeksi dengue, virus akan mengalami
masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala
demam akut disertai berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang
dapat berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika
nyamuk A. Aegypti lain menggigit pasien pada fase viremia ini, nyamuk tersebut akan
10
terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik
2.4 Patogenesis
Patogenesis DHF dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
yang mengalami infeksi berulang dengan serotype virus dengue yang heterolog mempunyai
resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/ lebih berat. Antibodi heterolog yang
telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk
kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag ( respon antibodi
anamnestik).
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-
antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a
11
Gambar 2.4 Imunopatogenesis infeksi virus dengue
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan
didalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan
genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun
12
pada tubuh nyamuk.
13
Kompleks antigen antibodi selain mengaktivas sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi mealui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
darah pada aat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme
14
( fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan factor pembekuan.
15
Agregasi trombosit ini akan mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktifasi faktor haegeman sehingga terjadi aktifasi sistem kinin
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan akibat (KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Pada penderita yang simtomatis, gejala klinis infeksi virus dengue timbul pada 4-7
hari (dapat berkisar antara 3-14 hari) setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Perjalanan
penyakit dengue meliputi 3 fase, yaitu: fase demam (febrile phase), fase kritis (critical phase),
16
dan fase perbaikan (recovery phase). Gambar berikut menunjukan perjalanan penyakit dan
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa fase kritis dimulai pada hari ketiga sejak
timbulnya gejala awal, atau sering disebut day of defervescence. Oleh karena itu, pengenalan
tanda klinis awal infeksi dengue pada hari ke-1 sampai ke-3 berperan penting untuk
A. Fase Demam
Fase demam ditandai oleh gejala yang mendadak berupa demam tinggi antara 39C
dan 40C selama 2-7 hari (pada DBD terjadi 3 hari sebelum memasuki fase kritis). Sebanyak
5-6% penderita menunjukan tipe demam yang khas yaitu pola bifasik (saddleback fever) yang
ditandai oleh demam selama beberapa hari pada awal sakit, diikuti dengan hilangnya demam
selama beberapa hari, dan diakhiri dengan berulangnya demam selama 12-24 jam. Gejala
17
demam sering kali disertai dengan gejala lain berupa: nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia,
artralgia sehingga timbul istilah break bone fever. Namun, gejala ini tidak seluruhnya
didapatkan pada penderita anak dibawah 15 tahun, dengan frekuensi gejala: demam sebanyak
90% dan nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia sebanyak 63-78%.7
B. Fase Kritis
Fase kritis biasanya terjadi pada hari ke-3 sakit dan berlangsung selama 24-48 jam.
1. Penurunan suhu tubuh menjadi 37,5C-38C atau lebih rendah yang biasanya
3. Nyeri abdomen ditemukan pada 60% kasus, yang merupakan petanda awal terjadinya
kebocoran plasma.
terjadinya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG)
thorak dan abdomen dapat mendeteksi adanya kebocoran plasma lebih cepat, sekitar 2 hari
sebelum fase kritis (day of defervescence) atau 3 hari setelah onset demam.
Pada penderita dengan kebocoran plasma, harus diawasi adanya nyeri abdomen hebat
disertai vomiting persisten, perubahan mendadak dari demam ke hipotermi, letargi atau
gelisah karena menunjukan tanda-tanda awal terjadinya DSS. Manifestasi DSS pada anak
terdiri atas:
1. Peningkatan frekuensi dan penurunan amplitudo nadi. Nadi menjadi cepat dan lembut
sampai tidak teraba. Tanda ini sering kali merupakan tanda paling awal terjadinya
syok
18
2. Kulit (akral) menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat insufisiensi sirkulasi perifer
3. Perubahan kesadaran penderita, dimulai dari rewel, cengeng, kemudian gelisah , dan
pada tahap lanjut dapat terjadi sopor dan koma akibat insufisiensi perfusi serebral.
4. Tekanan nadi menurun di bawah 20 mmHg, diikuti dengan penurunan tekanan sistolik
di bawah 80 mmHg. Perubahan tekanan darah timbul pada tahap lanjut, sehingga
Keadaan syok ini akan berlangsung selama 24-48 jam sehingga pada keadaan ini
C. Fase Perbaikan
Jika pasien mampu bertahan dari fase kritis, terjadi reabsorbsi gradual dari cairan
ekstraseluler ke dalam intravaskuler pada 48-72 jam setelah fase kritis. Secara klinis,
gambaran ruam kemerahan menyeluruh di tubuh, terutama dorsum manus dan pedis, dengan
gambaran kulit normal di sekitarnya. Ruam ini sering kali disertai dengan pruritus. Selain itu,
penyembukan ini berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, kadang disertai
Secara laboratoris, didapatkan kadar hematokrit kembali normal atau menurun akibat
efek dilusi dari reabsobsi cairan ekstravaskular. Jumlah leukosit dan trombosit kembali
Pada fade ini perlu diperhatikan kemungkinan kelemahan cairan (fluid overload) dengan
19
gejala distress napas akibat efusi pleura dan asites masif, serta akibat edema paru. Keadaan
ini sering kali terjadi pada penderita yang mendapatkan cairan intravena dengan jumlah
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu
ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan. Perbedaan gejala dan tanda
positif
Gejala diatas (+)
DBD I
Disertai uji bendung positif Trombositoenia
Gejala diatas (+)
DBD II (<100.000/ml)
Disertai perdarahan spontan
Gejala diatas (+) Kebocoran
DBD
III Disertai tanda kegagalan plasma (+) :
DSS
sirkulasi peningkatan Ht
Syok berat nadi tidak dapat
DBD > 20%
IV diraba, dan tekanan darah tidak
DSS
terukur
2.6 Diagnosis
20
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO 1997 yang terdiri
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, anoreksia, muntah, lemah, nyeri kepala, nyeri otot dan persendian.
melena
3) Hepatomegali
4) syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak terabba, penyempitan
tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik), dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria Laboratorium :
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium ( atau hanya peningkatan
b. Ruam
e. Leukopenia
Revisi WHO tahun 2009 dengan memberikan pedoman adanya tanda bahaya (worning
signs) berupa:
1. Nyeri perut
2. Vomiting persisten
4. Perdarahan mukosa
5. Hepatomegali > 2 cm
cepat.
Bila didapatkan adanya tanda-tanda bahaya pada penderita, perlu dilakukan rujukan untuk
22
Gambar 2.6 Criteria for Dengue and warning sign (WHO, 2009)
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah perifer untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis. Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat
dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan
dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah.
Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau
sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiolgis pada perembesan plasma 20-40%. Dapat juga untuk pemantauan klinis
23
sebagai pedoman pemberian cairan. dan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama
pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan
pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.10
2.8 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Pemberian cairan
intravena, sebatas cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma
leakage. Disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik, Berikut algoritma
24
Gambar 2.8 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat III, IV, atau DSS
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid (plasma) dapat diberikan. WHO
menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan
dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh,
25
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20
ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.13,14
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan 7 dengan
penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1
jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. 8 Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses
publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma
yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
26
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan
pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada
DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus
atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara
bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada
gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
- Hematokrit stabil
BAB III
KESIMPULAN
27
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus
yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini
kurang dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat
saat musim huan, tetapi nyamuk aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada
tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigtan nyamuk yang telah terinfeksi sudah
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yag terinfeksi dengue, virus akan mengalami
masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala
demam akut disertai berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang
dapat berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika
nyamuk A. Aegypti lain menggigit pasien pada fase viremia ini, nyamuk tersebut akan
terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik
DAFTAR PUSTAKA
28
Departemen Kesehatan RI.Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. 2005.
Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam
berdarah dengue pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI: 2002.
IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Edisi ke-1. Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
IDAI. 2010. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. Kediri.
Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Edisi ke-1. Jakarta :
Universitas indonesia.
Suvatte, V. Dengue emorrhagic fever Hematological abnormalities and pathogenesis. New
development in pediatric research; vol 1. New Delhi: 1977.
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, pengobatan, pencegahan dan
29