Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Nn. RN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 11 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Geudong
Masuk RS : 20 Juli 2017
Med.Recode : 25 Juli 2017
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 juli 2017
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam naik turun sejak 5 hari yang lalu, pasien

mengaku demam disertai menggigil namun tidak kejang. Pasien juga mengeluhkan

lemas sejak 5 hari yang lalu dan nyeri perut di bagian ulu hati sejak pasien mulai

merasakan demam. Pasien mengeluhkan juga adanya keluhan mual disertai muntah

sebanyak 2 kali sebelum masuk rumah sakit, muntah berisi cairan dan makanan.

Pasien juga mengeluhkan adanya pusing ketika duduk dan batuk, namun tidak

berdahak dalam beberapa hari ini.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
e. Riwayat Penggunaan Obat
Disangkal
f. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Pasien dikandung cukup bulan, ibu ANC ke bidan tetapi tidak rutin kontrol.
Ibunya tidak ada kelainan selama masa kehamilan

Pasien lahir dengan seksio sesarea, letak sungsang, langsung menangis, tidak
terdapat badan biru & kuning setelah lahir.

BBL 2400 gr, PBL

1
g. Riwayat Makanan
Disangkal
h. Riwayat Imunisasi

Usia Imunisasi

2 bulan BCG, Polio

4 Bulan DPT

9 Bulan Campak

i. Riwayat Tumbuh Kembang


Dalam Batas Normal
j. Riwayat Pubertas
-
1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah :-
Nadi : 98x/menit, teratur, isi cukup
Respirasi : 22x/menit
Temperatur : 37,1C
b. Status Generalis
Kepala-Leher :
Kepala : Normochepali, Wajah Simetris, Rambut Hitam tidak rontok
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), Sklera
ikterik (-/-), Reflek cahaya (+/+)
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), rhinorea (-), sekret (-)
Mulut : Stomatitis (-)
Telinga : Dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
Paru :
o Inspeksi : Pergerakan napas simetris saat statis dan dinamis
o Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
o Perkusi : sonor/sonor
o Auskultasi : Vesikuler
Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : Batas atas : ICS III linea midclavicula
Sinistra

2
Batas kiri : ICS V linea midclavicula

Sinistra

Batas kanan: ICS V linea parasternal dextra

o Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler (+), bising jantung (-)


Abdomen :
Inspeksi : Simetris (+), distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar, lien, dan renal
Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Extremitas :
Ekstremitas Superior : Akral Hangat, Oedem (-/-), pucat (-/-)
Ekstremitas Inferior : Akral Hangat, Oedem (-/-), pucat (-/-)
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
Dengue ICT
Tubex

1.5 Diagnosis awal


Thypoid + DHF
1.6 Hasil Lab
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Juli 2017

Hemoglobin 14,5

Eritrosit 5,73

Hematokrit 43,7

Leukosit 1,85

Trombosit 108

MCV 76,0

MCH 25,1

MCHC 32,9

RDW 12,9

3
Tubex Skala +4

IgM Positive

IgG Negative

1.7 Diagnosis utama


Thypoid + DHF
1.8 Penatalaksanaan
IVFD RL 20 gtt/i
Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Ranitidine A/12 jam
Ondancetron A/12 jam
Paracetamole tablet 3 x 500mg
1.9 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

4
Tanggal S O A p
21 Juli 2017 Demam (+) Nyeri HR: 98x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 24x/i
Kepala (+) Mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
T: 37,8C +
Muntah (-) Nyeri Lab (20/7/2017) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
Hb: 14,5 DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
E: 5,73
Hati (+) Batuk (+) L: 1,85 IV. Ondancetron A/ 12j
Ht: 43,7
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Trom: 108
Lemas (+) Tubex +4
IgG (-) IgM (+)
22 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 76x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 21x/i
Kepala (+) Mual (+) IVFD RL 20 gtt/i
T: 36,8C +
Muntah (-) Nyeri IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
Hati (-) Batuk (+) IV. Ondancetron A/ 12j
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Lemas (+)
23 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 86x/i THYPOID IVFD RL 20 gtt/i
RR: 21x/i
Kepala (+) Mual (+) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
T: 36,6C +
Muntah (-) Nyeri IV. Ranitidine A/ 12 j
DHF
Perut (+) Nyeri Ulu IV. Ondancetron A/ 12j
Hati (-) Batuk (+) Oral. PCT 3 x 500 Tab
Nyeri sendi (-)
Lemas (-)
24 Juli 2017 Demam (-) Nyeri HR: 76x/i THYPOID Cek Ulang DR !!
RR: 22x/i
Kepala (-) Mual (-) IVFD RL 20 gtt/i
T: 36,5C +
Muntah (-) Nyeri Lab(23/7/2017) IV. Cefotaxime 1 gr/ 12j
Hb: 14,1 DHF
Perut (-) Nyeri Ulu IV. Ranitidine A/ 12 j
L: 2,62
Hati (-) Batuk (+) Ht: 42,8 IV. Ondancetron A/ 12j
MCV: 76,0
Nyeri sendi (-) Oral. PCT 3 x 500 Tab
MCH: 25,1
Lemas (-) MCHC: 32,9
Trom: 59
25 Juli 2017
P B J
BAB I
5
PENDAHULUAN

Dengue Hemorrhagic fever (DHF) merupakan masalah kesehatan di Indonesia.

Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DHF, sebab baik

virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas. Laporan yang ada sampai

saat ini penyakit DHF sudah menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605

daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan

rata-rata DHF di Indonesia terus meningkat dari 0,05% (1968) menjadi 14,9% (1997), dengan

angka kematian menurun dari 41,3% (1968) menjadi 2,3% (Maret 1998). Namun demikian

angka kematian DHF berat/Dengue Shock Syndrome (DSS) masih tetap tinggi.

Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak

terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada umumnya di bawah 15

tahun.

Penyakit DHF pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1953, yaitu pada waktu

terdapatnya epidemi demam yang menyerang anak disertai manifestasi dan renjatan (syok).

Pada tahun 1958, meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958, penyakit

ini dilaporkan berjangkit kembali di Filipina dan tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Di

Indonesia, DHF pertama kali dicurigai terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi

virologis baru diperoleh pada tahun 1970.

Di tahun 1970 terdapat 9 negara epidemik DHF, dan sekarang jumlah itu meningkat 4

kali lipat di sejumlah negara-negara. Saat ini DHF telah menjadi epidemik dibeberapa negara

di Afrika, Amerika dan Asia, dimana merupakan penyebab utama kematian anak-anak.

Sampai saat ini, dari sekian faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah

kesukaran menduga penderita DHF mana yang akan mengalami renjatan, renjatan berulang

dan berakhir dengan kematian.

6
Dalam perjalanan penyakit DHF syok merupakan kejadian yang terpenting, karena

menimbulkan akibat yang luas dan fatal. Mekanisme yang mendasari terjadinya syok tersebut

adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga terjadi hipovolemik dengan

curah jantung yang turun. Terjadinya syok merupakan manifestasi mekanisme kompensasi

tubuh terhadap kemungkinan terjadinya gagal sirkulasi.

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Infeksi Virus Dengue

7
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh

virus genus Flvivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2,

DEN-3, DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat

serotype dengue terdapat di indonesia, DEN-3, merupakan serotype dominan dan banyak

berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2. Spektrum klinis infeksi dengue

dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), (2)

demam dengue (DD), (3) Demam berdarah dengue (DBD), dan (4) DBD disertai syok

(sindrom syok dengue/DSS).

2.2 Epidemiologi

Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling

banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,

dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematin berkisar

4000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh provinsi di indonesia, dan 200

kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dri 0,05 per

100.000 penduduk (1985-1995). Mortalitas DBD cendrung menurun hingga 2% tahun 1999.

Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun

makin banyak kelompok umur lebih tua.

8
ga

mbar 2.2 world distribution of dengue 2000

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.

Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban yang tinggi nyamuk aedes aegypti akan

tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di indonesia,karena suhu udara dan

kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadiya agak berbeda disetiap

tempat. Di jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal januari, meningkat

terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan april-mei setiap tahun.

9
Gambar 2.2 infeksi dengue di indonesia

2.3 Penularan

Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus

yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir diseluruh pelosok indonesia, terutama ditempat-tempat dengan ketinggian

kurang dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat

saat musim huan, tetapi nyamuk aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada

tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigtan nyamuk yang telah terinfeksi sudah

mampu untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang sehat.

Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yag terinfeksi dengue, virus akan mengalami

masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala

demam akut disertai berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang

dapat berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika

nyamuk A. Aegypti lain menggigit pasien pada fase viremia ini, nyamuk tersebut akan

10
terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik

selama 8-12 hari.

2.4 Patogenesis

Patogenesis DHF dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori

yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)

dan hipotesis immune enhancement.

Halstead menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien

yang mengalami infeksi berulang dengan serotype virus dengue yang heterolog mempunyai

resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/ lebih berat. Antibodi heterolog yang

telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk

kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit

terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag ( respon antibodi

anamnestik).

Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan

menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-

antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a

menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes

ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan

hipovolemia hingga syok.

11
Gambar 2.4 Imunopatogenesis infeksi virus dengue

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan

meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai

tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan

perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan

didalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan

genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun

12
pada tubuh nyamuk.

13
Kompleks antigen antibodi selain mengaktivas sistem komplemen, juga menyebabkan

agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi mealui kerusakan sel endotel

pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi

trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran

trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphospate), sehingga trombosit

melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES

(retikuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam

darah pada aat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme

kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini

akan menyebabkan pengeluaran platelet factor III mengakibatkan terjadinya koagulopati

konsumtif (KID= koagulasi intravaskular disseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

14
( fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan factor pembekuan.

15
Agregasi trombosit ini akan mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi

koagulasi akan menyebabkan aktifasi faktor haegeman sehingga terjadi aktifasi sistem kinin

sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya

syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor

pembekuan akibat (KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

2.5 Gejala Klinis DHF

Pada penderita yang simtomatis, gejala klinis infeksi virus dengue timbul pada 4-7

hari (dapat berkisar antara 3-14 hari) setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Perjalanan

penyakit dengue meliputi 3 fase, yaitu: fase demam (febrile phase), fase kritis (critical phase),
16
dan fase perbaikan (recovery phase). Gambar berikut menunjukan perjalanan penyakit dan

karakteristik klinis dan laboratoris pada masing-masing fase:

Gambar2.5 Perjalanan Penyakit Dengue (WHO 2009)

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa fase kritis dimulai pada hari ketiga sejak

timbulnya gejala awal, atau sering disebut day of defervescence. Oleh karena itu, pengenalan

tanda klinis awal infeksi dengue pada hari ke-1 sampai ke-3 berperan penting untuk

meningkatkan kewaspadaan dalam pemantauan dan evaluasi penderita.

A. Fase Demam

Fase demam ditandai oleh gejala yang mendadak berupa demam tinggi antara 39C

dan 40C selama 2-7 hari (pada DBD terjadi 3 hari sebelum memasuki fase kritis). Sebanyak

5-6% penderita menunjukan tipe demam yang khas yaitu pola bifasik (saddleback fever) yang

ditandai oleh demam selama beberapa hari pada awal sakit, diikuti dengan hilangnya demam

selama beberapa hari, dan diakhiri dengan berulangnya demam selama 12-24 jam. Gejala
17
demam sering kali disertai dengan gejala lain berupa: nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia,

artralgia sehingga timbul istilah break bone fever. Namun, gejala ini tidak seluruhnya

didapatkan pada penderita anak dibawah 15 tahun, dengan frekuensi gejala: demam sebanyak

90% dan nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia sebanyak 63-78%.7

B. Fase Kritis

Fase kritis biasanya terjadi pada hari ke-3 sakit dan berlangsung selama 24-48 jam.

Fase ini ditandai oleh:

1. Penurunan suhu tubuh menjadi 37,5C-38C atau lebih rendah yang biasanya

berlangsung pada hari ke-3 sampai 7

2. Peningkatan permeabilitas kapiler atau kebocoran plasma diikuti oleh peningkatan

hematokrit, penurunan trombosit, dan peningkatan enzim aminotransferase.

3. Nyeri abdomen ditemukan pada 60% kasus, yang merupakan petanda awal terjadinya

kebocoran plasma.

Peningkatan permeabilitas kapiler yang mendahului kebocoran plasma menyebabkan

terjadinya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG)

thorak dan abdomen dapat mendeteksi adanya kebocoran plasma lebih cepat, sekitar 2 hari

sebelum fase kritis (day of defervescence) atau 3 hari setelah onset demam.

Pada penderita dengan kebocoran plasma, harus diawasi adanya nyeri abdomen hebat

disertai vomiting persisten, perubahan mendadak dari demam ke hipotermi, letargi atau

gelisah karena menunjukan tanda-tanda awal terjadinya DSS. Manifestasi DSS pada anak

terdiri atas:

1. Peningkatan frekuensi dan penurunan amplitudo nadi. Nadi menjadi cepat dan lembut

sampai tidak teraba. Tanda ini sering kali merupakan tanda paling awal terjadinya

syok
18
2. Kulit (akral) menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat insufisiensi sirkulasi perifer

sehingga terjadi aktivasi saraf simpatis

3. Perubahan kesadaran penderita, dimulai dari rewel, cengeng, kemudian gelisah , dan

pada tahap lanjut dapat terjadi sopor dan koma akibat insufisiensi perfusi serebral.

4. Tekanan nadi menurun di bawah 20 mmHg, diikuti dengan penurunan tekanan sistolik

di bawah 80 mmHg. Perubahan tekanan darah timbul pada tahap lanjut, sehingga

bukan merupakan tanda awal terjadinya syok

5. Oliguria atau anuria karena insufisiensi perfusi ginjal

Keadaan syok ini akan berlangsung selama 24-48 jam sehingga pada keadaan ini

diperlukan resusitasi cepat dan adekuat untuk mencegah syok berulang.7

C. Fase Perbaikan

Jika pasien mampu bertahan dari fase kritis, terjadi reabsorbsi gradual dari cairan

ekstraseluler ke dalam intravaskuler pada 48-72 jam setelah fase kritis. Secara klinis,

didapatkan perbaikan keadaan umum, nafsu makan, gejala gastrointestinal, keadaan

hemodinamik, dan diuresis. Beberapa penderita menunjukan ruam penyembuhan dengan

gambaran ruam kemerahan menyeluruh di tubuh, terutama dorsum manus dan pedis, dengan

gambaran kulit normal di sekitarnya. Ruam ini sering kali disertai dengan pruritus. Selain itu,

pada umumnya didapatkan bradikardi dan perubahan elektrokardiografi (EKG). Fase

penyembukan ini berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, kadang disertai

dengan gejala kelemahan atau mudah lelah.

Secara laboratoris, didapatkan kadar hematokrit kembali normal atau menurun akibat

efek dilusi dari reabsobsi cairan ekstravaskular. Jumlah leukosit dan trombosit kembali

meningkat, namun peningkatan trombosit seringkali terjadi setelah peningkatan leukosit.

Pada fade ini perlu diperhatikan kemungkinan kelemahan cairan (fluid overload) dengan

19
gejala distress napas akibat efusi pleura dan asites masif, serta akibat edema paru. Keadaan

ini sering kali terjadi pada penderita yang mendapatkan cairan intravena dengan jumlah

berlebihan atau pemakaian berkepanjangan.

Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu

ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan. Perbedaan gejala dan tanda

klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :

Derajat Gejala & tanda Laboratorium


Demam 2-7 hari Leukopenia

Disertai > 2 tanda: sakit Trombositopenia

kepala,nyeri retro orbita, Kebocoran

mialgia,atralgia plasma (-)


DD
Hari ke 3-5 fase pemulihan

(saat suhu turun), klinis

membaik Serologi dengue

positif
Gejala diatas (+)
DBD I
Disertai uji bendung positif Trombositoenia
Gejala diatas (+)
DBD II (<100.000/ml)
Disertai perdarahan spontan
Gejala diatas (+) Kebocoran
DBD
III Disertai tanda kegagalan plasma (+) :
DSS
sirkulasi peningkatan Ht
Syok berat nadi tidak dapat
DBD > 20%
IV diraba, dan tekanan darah tidak
DSS
terukur

2.6 Diagnosis

20
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO 1997 yang terdiri

dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

Kriteria klinis :

1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus

selama 2-7 hari, anoreksia, muntah, lemah, nyeri kepala, nyeri otot dan persendian.

2) Terdapat manfestasi perdarahan ditandai dengan uji bendung positif, ptekie,

ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,

melena

3) Hepatomegali

4) syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak terabba, penyempitan

tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin,

kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik), dan pasien tampak

gelisah.

Kriteria Laboratorium :

1) Trombositopenia (100.000/ml atau kurang)

2) Hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari nilai standar)

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium ( atau hanya peningkatan

hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kera DBD.

Kriteria infeksi virus dengue berdasarkan WHO 2009, yaitu:

1. Hidup atau bepergian pada daerah endemik dengue

2. Demam dengan 2 kriteria tambahan:

a. Anoreksia dan nausea

b. Ruam

c. Nyeri (mialgia, artralgia)


21
d. Uji torniket positif

e. Leukopenia

f. Terdapat tanda-tanda bahaya (warning sign)

Revisi WHO tahun 2009 dengan memberikan pedoman adanya tanda bahaya (worning

signs) berupa:

1. Nyeri perut

2. Vomiting persisten

3. Akumulasi cairan secara klinis

4. Perdarahan mukosa

5. Hepatomegali > 2 cm

6. Laboratorium: peningkatan hematokrit disertai dengan penurunan trombosit yang

cepat.

Bila didapatkan adanya tanda-tanda bahaya pada penderita, perlu dilakukan rujukan untuk

perawatan rumah sakit.

22
Gambar 2.6 Criteria for Dengue and warning sign (WHO, 2009)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah perifer, meliputi kadar hemoglobin, kadar

hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah perifer untuk melihat adanya limfositosis

relatif disertai gambaran limfosit plasma biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan

koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis. Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan

adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat

dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi

molekular. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu

dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan

antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1

diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan

dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah.

Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam

kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau

sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode

ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).

Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen

NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.13

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat

dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat

kelainan radiolgis pada perembesan plasma 20-40%. Dapat juga untuk pemantauan klinis
23
sebagai pedoman pemberian cairan. dan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama

pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan

pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.10

2.8 Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Pemberian cairan

intravena, sebatas cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma

leakage. Disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik, Berikut algoritma

pemberian cairan pada penderita DBD:5

Gambar 2.8 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat I/II

24
Gambar 2.8 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat III, IV, atau DSS

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada

penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah

jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk

mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer

laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid (plasma) dapat diberikan. WHO

menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan

dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang

sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di

intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh,

dan memiliki efek alergi yang minimal.12

25
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.

Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,

asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.10,11 Kristaloid memiliki waktu

bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20

ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan

perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang

tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun

demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain

mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,

mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.13,14

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu:

pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)

yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan

kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan

hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan 7 dengan

penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun

beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah

(contoh: hetastarch).13,14 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom

renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1

jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. 8 Sebuah

penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita

dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses

publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma

yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
26
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk

mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien

dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan

pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000

ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang

stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit

perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah

jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain

yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada

DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus

atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara

bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada

gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun

kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu

dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.12


Kriteria memulangkan pasien

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

- Nafsu makan membaik

- Secara klinis tampak perbaikan

- Hematokrit stabil

- Tiga hari setelah syok teratasi

- Jumlah trombosit > 50.000/ml

- Tidak dijumpai distres pernapasan.

BAB III

KESIMPULAN
27
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus

yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir diseluruh pelosok indonesia, terutama ditempat-tempat dengan ketinggian

kurang dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat

saat musim huan, tetapi nyamuk aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada

tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigtan nyamuk yang telah terinfeksi sudah

mampu untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang sehat.

Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yag terinfeksi dengue, virus akan mengalami

masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala

demam akut disertai berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang

dapat berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika

nyamuk A. Aegypti lain menggigit pasien pada fase viremia ini, nyamuk tersebut akan

terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik

selama 8-12 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Darmowandowo W, Setiono P,Soegijanto. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan


Anak. Edisi Ke-3. RSU dr Soetomo Surabaya. 2008.

28
Departemen Kesehatan RI.Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. 2005.
Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam
berdarah dengue pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI: 2002.
IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Edisi ke-1. Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
IDAI. 2010. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. Kediri.

Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Edisi ke-1. Jakarta :
Universitas indonesia.
Suvatte, V. Dengue emorrhagic fever Hematological abnormalities and pathogenesis. New
development in pediatric research; vol 1. New Delhi: 1977.
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, pengobatan, pencegahan dan

pengendalian. Edisi ke-2. WHO.

29

Anda mungkin juga menyukai