Pembimbing :
dr. H. Unang, Sp.BO
Oleh :
Michelle (2015-061-045)
Sardono Widinugroho (2015-061-046)
Bonifasius (2015-061-052)
Natassha Priscillia (2015-061-053)
Pasien dengan penyakit sel sabit rentan terhadap infeksi oleh Salmonella
typhi. Organisme yang tidak biasa lebih mungkin ditemukan pada pecandu
heroin dan sebagai patogen oportunistik pada pasien dengan mekanisme
pertahanan kekebalan yang terganggu. Aliran darah diserang, mungkin dari
abrasi kulit kecil, menginjak benda tajam, titik suntik, bisul, gigi septik atau -
pada bayi yang baru lahir - dari tali pusar yang terinfeksi. Pada orang dewasa
sumber infeksi bisa berupa kateter uretra, garis arteri yang berdiam atau jarum
suntik kotor.
Pada anak-anak, infeksi biasanya dimulai pada metafisis vaskular tulang
yang panjang, paling sering terjadi pada tibia proksimal atau pada ujung femur
distal atau proksimal. Pada bayi, di antaranya masih ada anastomosis antara
pembuluh darah metafisis dan epifisis, infeksi juga dapat mencapai epifisis.
Pada orang dewasa, infeksi hematogen menyebabkan sekitar 20% kasus
osteomielitis, yang sebagian besar menyerang vertebra. Staphylococcus aureus
adalah organisme yang paling umum namun Pseudomonas aeruginosa sering
muncul pada pasien yang menggunakan obat intravena. Orang dewasa dengan
diabetes, yang rentan terhadap infeksi jaringan lunak pada kaki, dapat
menyebabkan infeksi tulang bersebelahan yang melibatkan berbagai organisme.
Faktor predisposisi osteomyelitis hematogen akut adalah umur terutama
mengenai bayi dan anak-anak, jenis kelamin lebih sering pada laki-laki daripada
wanita dengan perbandingan 4:1, hematoma akibat trauma pada daerah
metafisis merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya osteomyelitis
hematogen akut. Lokasi osteomyelitis hematogen akut sering terjadi di daerah
metafisis karena daerah ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya
pertumbuhan tulang. Nutrisi, lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya
fokus infeksi sebelumnya (seperti bisul, tonsillitis) merupakan faktor
predisposisi osteomyelitis hematogen akut.
Patologi dan pathogenesis
Ostomyelitis hematogen akut menunjukkan perkembangan karakteristik
yang ditandai dengan pembengkakan, supurasi, nekrosis tulang, pembentukan
tulang baru reaktif dan, pada akhirnya, resolusi dan penyembuhan atau
kronisitas yang sulit diobati. Namun, gambaran patologis sangat bervariasi,
tergantung pada usia pasien, lokasi infeksi, virulensi organisme dan respons
host.
Penyebaran umum:
Melalui sirkulasi darah berupa bacteremia dan septicemia
Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifocal pada daerah-
daerah lain
Penyebaran local:
Sub-periosteal abses akibat penerobosan abses melalui periost
Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit
Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artiritis septik
Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam
tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan
terbentuknya tulang mati yang disebut sekuestrum
Orang dewasa
Daerah yang paling umum untuk infeksi hematogen adalah tulang
belakang thoracolumbar. Mungkin ada riwayat beberapa prosedur urologis
diikuti demam ringan dan sakit punggung. Nyeri tekan lokal tidak begitu
tampak dan mungkin perlu waktu berminggu-minggu sebelum gambaran x-ray
muncul. Ketika muncul diagnosis mungkin masih perlu dikonfirmasi dengan
aspirasi biopsy dan kultur bakteriologis. Tulang lain kadang-kadang terlibat,
terutama jika ada latar belakang diabetes, kekurangan gizi, kecanduan obat,
leukemia, terapi imunosupresif atau kelemahan. Pada orang yang sangat tua,
dan pada orang dengan defisiensi imun, gambaran sistemik ringan diagnosis
mudah terlewatkan.
Pemeriksaan laboratorium
Cara yang paling pasti untuk memastikan diagnosis klinis adalah
aspirasi nanah atau cairan dari abses subperiosteal metaphysis, jaringan lunak
ekstraoseus atau persendian yang berdekatan. Ini dilakukan dengan
menggunakan jarum trocar 16 atau 18-gauge. Bahkan jika tidak ada nanah yang
ditemukan, sisa aspirasi segera diperiksa untuk sel dan organisme. Pewarnaan
Gram yang sederhana dapat membantu mengidentifikasi jenis infeksi dan
membantu pilihan awal antibiotik. Sampel juga dikirim untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan tes untuk sensitivitas terhadap anti-biotik. Aspirasi jaringan
akan memberikan hasil positif pada lebih dari 60% kasus. Kultur darah positif
dalam kurang dari setengah kasus infeksi yang terbukti.
Nilai C-reactive protein (CRP) biasanya meningkat dalam 12-24 jam
dan tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dalam waktu 24-48 jam setelah
timbulnya gejala. Jumlah sel darah putih (WBC) meningkat dan konsentrasi
hemoglobin bisa berkurang.
Titer antibodi antistaphylococcal dapat dilakukan. Tes ini berguna pada
kasus atipikal dimana diagnosisnya diragukan. Osteomielitis di tempat yang
tidak biasa atau dengan organisme yang tidak biasa harus mengingatkan
seseorang untuk kemungkinan kecanduan heroin, penyakit sel sabit (Salmonella
dapat dibudidayakan dari fese) atau mekanisme pertahanan inang yang kurang
baik termasuk infeksi HIV.
Pemeriksaan Radiologi
Plain X-Ray
Selama minggu pertama setelah timbulnya gejala, x-ray polos tidak
menunjukkan kelainan pada tulang. Pembengkakan jaringan lunak juga bisa
disebabkan oleh hematoma atau infeksi jaringan lunak. Pada minggu kedua
mungkin ada garis besar ekstra kortikal karena pembentukan tulang baru
periosteal. Ini adalah tanda x-ray klasik osteomielitis pyogenic awal, namun
pengobatan tidak boleh ditunda sambil menunggu sampai gambaran muncul.
Kemudian penebalan periosteal menjadi lebih jelas dan ada sedikit fragmentasi
metafisis. Tanda akhir yang penting adalah kombinasi osteoporosis regional
dengan segmen lokal yang meningkatkan kepadatannya. Osteoporosis adalah
ciri aktif metabolisme dengan demikian tulang dapat dikatakan hidup. Segmen
yang gagal menjadi osteoporotik secara metabolik tidak aktif dan mungkin mati.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mendeteksi kumpulan cairan subperiosteal pada
tahap awal osteomielitis, namun tidak dapat membedakan antara hematoma dan
nanah.
Radionuclide Scanning
Radioscintigraphy dengan 99mTc-HDP menunjukkan peningkatan
aktivitas baik pada fase perfusi maupun fase tulang. Hal ini sangat sensitif,
bahkan pada tahap awal, namun memiliki spesifisitas yang relatif rendah dan
lesi inflamasi lainnya dapat menunjukkan perubahan yang serupa. Dalam kasus
yang meragukan, pemindaian dengan 67Ga-citrate atau 111In-labeled
leucocytes mungkin lebih banyak menjelaskan.
Magnetic Resonance Imaging
Pencitraan resonansi magnetik dapat membantu dalam kasus diagnosis
yang meragukan, dan terutama pada dugaan infeksi pada kerangka aksial. Ini
juga merupakan metode terbaik untuk menunjukkan peradangan sumsum
tulang. Ini sangat sensitif, bahkan pada fase awal infeksi tulang, dan karena itu
dapat membantu membedakan antara infeksi jaringan lunak dan osteomielitis.
Namun, spesifisitas terlalu rendah untuk menyingkirkan lesi inflamasi lokal
lainnya.
Differential Diagnosis
1. Selulitis
Hal ini sering keliru dengan osteomielitis. Ada kemerahan dan lymphangitis
superfisial yang meluas. Sumber infeksi kulit mungkin tidak jelas dan harus
dicari (misalnya di telapak tangan atau di antara jari-jari kaki). Jika ragu tetap
mengenai diagnosis, MRI akan membantu membedakan antara infeksi tulang
dan infeksi jaringan lunak. Organisme biasanya staphylococcus atau
streptococcus. Kasus ringan akan merespon antibiotik oral dosis tinggi, kasus
yang parah memerlukan perawatan antibiotik intravena.
2. Artritis supuratif akut
Nyeri tekan difus dan gerakan sendi hilang oleh karena terjadinya kejang otot.
Pada bayi, perbedaan antara osteomielitis metafisis dan artritis septik pada sendi
yang berdekatan agak sulit, karena keduanya sering terjadi bersamaan.
Kenaikan protein C-reaktif yang progresif selama 24-48 jam dikatakan sugestif
terhadap septic arthritis konkuren.
3. Demam reumatik
Rasa sakitnya tidak begitu hebat dan cenderung berpindah dari satu sendi ke
sendi lainnya. Mungkin juga ada tanda-tanda karditis, nodul rematik atau
eritema marginatum.
4. Krisis sel sabit
Pasien mungkin tidak dapat dibedakan dari osteomielitis akut. Namun, pada
daerah endemic Salmonella sebaiknya tetap memberikan antibiotik yang sesuai
sampai infeksi Salmonella dapat dieksklusikan.
5. Penyakit gaucher
'Pseudo-osteitis' dapat terjadi dengan ciri-ciri yang mirip dengan osteomielitis.
Diagnosisnya dibuat dengan menemukan stigmata penyakit lainnya, terutama
pembesaran limpa dan hati.
6. Tumor Ewing
7. Streptococcal necrotizing myositis
Streptokokus beta haemolitik group A kadang-kadang menyerang otot dan
menyebabkan miositis akut yang pada tahap awal mungkin salah diagnosis
dengan selulitis atau osteomielitis. Meski kondisinya jarang, harus didiagnosis
banding karena dapat dengan cepat menyebabkan nekrosis otot, septikemia dan
kematian. Nyeri hebat dan pembengkakan anggota badan dan demam adalah
tanda-tanda darurat medis. MRI akan mengungkapkan pembengkakan otot dan
tanda-tanda kerusakan jaringan. Pengobatan segera dengan antibiotik intravena
sangat penting. Debridemen bedah jaringan nekrotik hingga amputasi mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan.
Pengobatan
Jika osteomielitis dicurigai berdasarkan alasan klinis, sampel darah dan
cairan harus diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan kemudian
pengobatan dimulai segera tanpa menunggu konfirmasi akhir diagnosis.
Ada empat aspek penting dalam pengelolaan pasien:
Pengobatan suportif untuk nyeri dan dehidrasi.
Splintage bagian yang sakit.
Terapi antimikroba yang tepat.
Bedah drainase.
Perawatan Supportive Umum
Anak yang tertekan perlu dihibur dan dirawat karena rasa sakit.
Analgesik harus diberikan pada interval berulang tanpa menunggu pasien untuk
memintanya. Septikemia dan demam dapat menyebabkan dehidrasi berat dan
mungkin diperlukan untuk memberi cairan secara intravena.
Splintage
Beberapa jenis splintage sangat diperlukan, sebagian untuk kenyamanan
tapi juga untuk mencegah kontraktur sendi. Traksi kulit sederhana dan jika
pinggul terlibat juga membantu mencegah dislokasi.
Antibiotik
Awalnya, pilihan antibiotik didasarkan pada temuan dari pemeriksaan
langsung apusan darah dan pengalaman klinisi mengenai kondisi lokal.
Staphylococcus aureus adalah yang paling umum di semua usia, namun
pengobatan harus memberi perlindungan juga untuk bakteri lain yang mungkin
ditemui pada setiap kelompok usia. Obat yang lebih tepat yang juga mampu
penetrasi tulang dengan baik. Faktor-faktor seperti usia pasien, keadaan umum
resistensi, fungsi ginjal, tingkat toksemia dan riwayat alergi sebelumnya harus
diperhitungkan.
Neonatus Dan Bayi Sampai Usia 6 Bulan
Pengobatan antibiotik awal harus efektif melawan Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap penisilin, streptokokus Grup B dan organisme
Gram negatif. Obat pilihan adalah flucloxacillin ditambah sefalosporin generasi
ketiga seperti sefotaksim. Sebagai alternatif, pengobatan empiris yang efektif
dapat diberikan dengan kombinasi flucloxacillin (untuk staphylococci yang
resisten terhadap penisilin), benzilpenisilin (untuk streptokokus Grup B) dan
gentamisin (untuk organisme Gram negatif).
Anak 6 bulan sampai 6 tahun
Pengobatan empiris pada kelompok usia ini harus mencakup
perlindungan terhadap Haemophilus influenzae, kecuali diketahui secara pasti
bahwa anak tersebut telah melakukan vaksinasi anti-h.influenzae. Paling baik
diberikan kombinasi flucloxacillin intravena dan sefotaksim atau sefuroksim.
Anak yang lebih tua dan orang dewasa
Sebagian besar di kelompok ini akan memiliki infeksi stafilokokus dan
dapat dimulai pada flucloxacillin dan asam fusidat intravena. Asam fusidat lebih
disukai untuk benzilpenisilin sebagian karena tingginya prevalensi
staphylococci yang resisten terhadap penisilin dan karena sangat terkonsentrasi
dengan baik pada tulang. Namun, untuk infeksi benzilpenisilin streptokokus
yang diketahui lebih baik. Pasien yang alergi terhadap penisilin harus diobati
dengan sefalosporin sekunder atau ketiga.
Lansia
Pada kelompok ini ada risiko infeksi Gram negatif yang lebih besar dari
biasanya, karena gangguan pernapasan, gastro-intestinal, atau saluran kemih
dan kemungkinan pasien memerlukan prosedur invasif. Antibiotik pilihan
kombinasi flucloxacillin dan sefalosporin generasi kedua atau ketiga.
Penderita penyakit anemia sel sabit
Pasien-pasien ini rentan terhadap osteomielitis, yang mungkin
disebabkan oleh infeksi stafilokokus namun dalam banyak kasus disebabkan
oleh salmonella dan / atau organisme gram negatif lainnya. Kloramfenikol, yang
efektif melawan organisme Gram positif, Gram-negatif dan anaerobik, biasa
menjadi antibiotik pilihan, meskipun selalu ada kekhawatiran tentang
komplikasi langka anemia aplastik. Saat ini antibiotik pilihan adalah
sefalosporin generasi ketiga atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin.
Pecandu Heroin dan pasien immunocompromised
Infeksi yang tidak biasa (misalnya dengan Pseudomonas aeruginosa,
Proteus mirabilis atau spesies Bacteroides anaerobik) kemungkinan terjadi pada
pasien ini. Bayi dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) mungkin
juga medapat penularan selama persalinan. Semua pasien dengan latar belakang
jenis ini sebaiknya diobati secara empiris dengan antibiotik spektrum luas
seperti salah satu sefalosporin generasi ketiga atau persiapan fluoroquinolone,
tergantung pada hasil tes sensitivitas.
Pasien dianggap berisiko terinfeksi Staphylococcus aureus (MRSA) yang
resisten terhadap metisilin
Pasien dengan osteomielitis hematogen akut dan yang memiliki riwayat
infeksi MRSA sebelumnya, atau pasien dengan infeksi tulang dirawat di rumah
sakit atau bangsal di mana MRSA endemik, harus diobati dengan vankomisin
intravena (atau antibiotik serupa) bersamaan dengan generasi sefalosporin yang
ketiga. Program yang biasa dilakukan adalah mengelola obat secara intravena
(jika perlu menyesuaikan pilihan antibiotik begitu sensitivitas antimikroba
tersedia) sampai kondisi pasien mulai membaik dan nilai CRP kembali ke
tingkat normal biasanya memakan waktu 2-4 minggu tergantung. Kemudian
dapat diberikan secara oral selama 3-6 minggu lagi, sementara pasien memakai
antibiotik oral, penting untuk melacak kadar antibiotik serum untuk memastikan
bahwa konsentrasi hambat minimal (MIC) dipertahankan atau terlampaui. Nilai
CRP, ESR dan WBC juga diperiksa secara berkala dan pengobatan dapat
dihentikan bila hal ini terlihat normal.
Drainase
Jika antibiotik diberikan lebih awal (dalam 48 jam pertama setelah onset
gejala) drainase seringkali tidak perlu dilakukan. Namun, jika klinis tidak
membaik dalam 36 jam setelah memulai pengobatan, atau bahkan lebih awal
lagi jika ada tanda-tanda pus (pembengkakan/edema, fluktuasi). Jika pus
disedot, maka abses harus dikeringkan dengan operasi terbuka. Tidak ada bukti
bahwa pengeboran yang meluas memiliki keuntungan dan mungkin lebih
berbahaya. Jika ada abses intramedulla yang ekstensif, drainase lebih baik
dicapai dengan memotong bagian kecil di korteks. Luka ditutup tanpa saluran
pembuangan dan traksi diaplikasikan kembali. Begitu tanda-tanda infeksi
mereda, anak diperbolehkan berjalan dengan bantuan kruk. Berat badan penuh
biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Saat ini sekitar sepertiga pasien dengan
osteomielitis yang dikonfirmasi cenderung memerlukan operasi dan orang
dewasa dengan infeksi vertebra jarang melakukannya. Drainase dilakukan
selama beberapa hari dengan menggunakan cairan NaCl dan dengan antibiotic.
Komplikasi
Hasil yang mematikan dari septikemia saat ini sangat jarang terjadi
dengan adanya antibiotik yang adekuat anak hampir selalu sembuh dan
tulangnya bisa kembali normal. Tapi morbiditas sering terjadi, terutama jika
perawatan tertunda atau organisme tidak sensitif terhadap antibiotik yang
dipilih.
Infeksi yang bersifat metastatis
Infeksi dapat bermetastasis ke tulang/sendi lainnya, otak dan paru-paru,
dapat bersifat multifocal dan biasanya terjadi pada penderita dengan status gizi
yang jelek. Hal ini umumnya pada bayi sehingga penting untuk waspada
terhadap komplikasi ini dan memeriksa anak berulang-ulang.
Artritis supuratif
Artritis supuratif dapat terjadi pada bayi muda karena lempeng epifisis
bayi (yang bertindak sebagai barrier) belum berfungsi dengan baik. Komplikasi
terutama terjadi pada osteomyelitis hematogen akut di daerah metafisis yang
bersifat intra-kapsuler (misalnya pada sendi panggul atau femur bagian atas)
atau melalui infeksi yang metastatis. Ultrasound dapat membantu menunjukkan
efusi, namun diagnosis definitif melalui aspirasi.
Gangguan pertumbuhan
Pada neonatus dan bayi, pembuluh darah metaphysis menembus physis
dan dapat membawa infeksi ke epifisis. Osteomyelitis hematogen akut pada
bayi karena epiphysisnya masih seluruhnya cartilago sehingga dapat
menyebabkan kerusakan lempeng epifisis yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan, sehingga tulang yang terkena akan menjadi lebih pendek. Pada
anak yang lebih besar akan terjadi hiperemi pada daerah metafisis yang
merupakan stimulasi bagi tulang untuk bertumbuh. Pada keadaan ini tulang
bertumbuh lebih cepat dan menyebabkan terjadinya pemanjangan tulang. Pada
sendi panggul, ujung femur proksimal mungkin sangat rusak sehingga
menghasilkan pseudarthrosis.
Fraktur patologis
Patah tulang jarang terjadi, tapi bisa terjadi jika perawatan tertunda dan
tulangnya melemah akibat erosi di tempat infeksi atau debridement terlalu
berlebihan.
Osteomyelitis kronis
Meskipun metode diagnosis dan perawatan ditingkatkan, osteomielitis
akut terkadang gagal diatasi. Minggu atau bulan setelah onset infeksi akut,
sekuel muncul dalam tindak lanjut dan pasien dibiarkan dengan infeksi kronis.
Hal ini mungkin karena pengobatan terlambat atau tidak memadai tetapi juga
terlihat pada pasien yang lemah dan mereka yang memiliki mekanisme
pertahanan yang terganggu.
Manifestasi Klinis
Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka /
sinus setelah operasi, yang bersifat menahun. Kelainan kadang-kadang disertai
demam dan nyeri lokal yang hilang timbul di daerah anggota gerak tertentu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas
operasi dengan nyeri tekan. Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang
menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau
osteomyelitis pada penderita
Tabel Kriteria Diagnostik pada Osteomyelitis Kronik
Gambar Osteomyelitis kronis
Osteomyelitis kronis memiliki staging berdasarkan tipe osteomyelitis
dan imunitas pejamunya. Staging ini dapat dilihat pada tabel
Tabel Staging osteomyelitis kronis pada orang dewasa
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan laju endap
darah, leukositosis serta peningkatan titer antibodi anti-stafilokokus.
Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas diperlukan untuk menentukan organisme
penyebabnya.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dpaat dilakukan adalah foto polos dimana
akan ditemukan adanya tanda-tanda porosis dan sklerosis tulang, penebalan
periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum. Pada pemeriksaan
radioisotop scanning dapat membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis
99m
kronis dengan Tc-HDP. Pemeriksaan radioisotop terdapat 3 jenis, yaitu
scanning pada sel darah merah, sel darah ptuih, dan sumsum tulang belakang
dengan interpretasi sebagai daerah panas dan daerah dingin. Pemeriksaan
CT dan MRI dapat bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan dan untuk
melihat sejauh mana kerusakan tulang yang terjadi.
Gambar hasil skintigrafi pada osteomyelitis
Tabel interpretasi hasil skintigrafi
Terapi
Pengobatan osteomyelitis kronis menggunakan antibiotik dan tindakan
operatif. Antibiotik ditujukan untuk mencegah penyebaran infeksi pada tulang
sehat lainnya dan mengontrol eksaserbasi akut. Antibiotik yang digunakan
harus dapat menembus tulang yang sklerotik dan bersifat non-toksis pada
penggunaan jangka panjang. Asam fusidik, klindamisin, dan teicoplanin efektif
pada kebanyakan kasus MRSA. Antibiotik diberikan selama 4-6 minggu (dari
awal pengobatan hingga debridemen terakhir) sebelum operasi.
Pengobatan osteomyelitis kronis tidak dapat diobati dengan antibiotik
semata-mata. Operasi dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda setelah
pemberian dan pemayungan antibiotik yang adekuat. Operasi yang dilakukan
bertujuan untuk mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik (debridemen), baik
jaringan lunak maupun jaringan tulang dan sebagai dekompresi pada tulang dan
memudahkan antibiotik mencapai sasaran dan mencegah osteomyelitis lebih
lanjut. Selanjutnya dilakukan drainase dan dilanjutkan irigasi secara kontinu
selama beberapa hari. Antibiotik dilanjutkan hingga 4 minggu setelah
debridemen terakhir. Pada ruangan kosong, adakalanya diperlukan penanaman
rantai antibiotik. Selain itu juga bisa dilakukan graft tulang. Teknik Papineu
mengisi seluruh kavitas dengan suatu chip yang bercampur dengan antibiotik
dan sealant fibrin. Setelah itu area tersebut ditutup dengan otot dan kulit dijahit
tanpa tensi. Alternatif yang lain adalah dengan melakukan muscle flap pada otot
yang besar, dengan suplai darah yang intak, dapat digerakkan, penutupan kulit
dapat menggunakan skin graft. Pendekatan operasi yang lain dilakukan oleh
Lautenbach di Afrika Selatan dengan melakukan irigrasi tertutup dengan tuba
dua lumen untuk suction dan pemberian antibitik dosis tinggi. Ruang kosong
lama-lama akan terisi dengan jaringan granulasi vaskular. Tuba dicabut setelah
hasil kultur negatif sebanyak 3 kali berturut-turut pada kultur cairan di ruang
kosong. Pada kasus yang refraktori, teknik Ilizarov dapat digunakan.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kontraktur sendi, penyakit amiloid,
fraktur patologis, perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis, kerusakan
epifisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.
2.9. Spondilitis TB
Tuberkulosis merupakan penyakit yang banyak diderita oleh kelompok
ekonomi bawah terutama pada dewasa muda pada usia produktif mereka. Risiko
terkena tuberkulosis juga meningkat 20-37 kali lebih besar pada pasien dengan ko-
infeksi HIV dibandingkan dengan pasien imunokompeten. Tahun 2009, diperkirakan
terdapat 1,2 juta kasus tuberkulosis baru pada pasien dengan HIV positif, di mana 90%
kasus ini terkonsentrasi di Afrika dan Asia Tenggara. Angka kematian tertinggi akibat
tuberkulosis didapatkan di Afrika.
Prevalensi dan insidensi persisnya dari tuberkulosa spinal pada sebagain besar
bagian di dunia umumnya tidak diketahui. Pada negara dengan beban tuberkulosis
pulmoner yang tinggi, insidensi tuberkulosa spinal juga diperkirakan tinggi.
Diperkirakan 10% pasien dengan tuberkulosis ekstrapulmoner memiliki keterlibatan
skeletal. Tulang belakang merupakan situs keterlibatan skeletal yang paling sering,
diikuti dengan pinggul dan lutut. Spinal tuberkulosis terjadi hampir pada 50% kasus
tuberkulosis dengan keterlibatan skeletal.
Spinal tuberkulosis jarang ditemukan di negara-negara maju. Kebanyakan
pasien dengan tuberkulosis spinal di negara maju adalah imigran dari negara-negara
berkembang di mana penyakit tuberkulosis merupakan penyakit endemik. Sebuah studi
di Inggris tahun 1999-2004, didapatkan 729 pasien dengan tuberkulosis, dengan 8%
(61) memiliki keterlibatan muskuloskeletal, dengan hampir 50% di antaranya memiliki
keterlibatan spinal dan 74% pasien merupakan imigran dari India. Di negara-negara
endemik, spinal tuberkulosis banyak mengenai anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan penyakit ini banyak mengenai populasi dewasa di negara-negara Barat dan
Timur Tengah.
Etiologi
Tuberkulosis spinal disebabkan oleh bakteri basil tahan asam, dengan penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium
yang lain juga dapat menyebabkan penyakit ini seperti Mycobacterium afriacanum,
bovine tubercle baccilus dan non-tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan
pada penderita HIV.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang, tahan asam
dan perlu digunakan terknik pewarnaan Ziehl-Nielson untuk memvisualisasi dan
diagnosis bakteri ini. Kultur bakteri dapat menggunakan egg-enriched media dengan
masa inkubasi 6-8 minggu.
Klasifikasi
Oguz et al. mengklasifikasikan spinal tuberkulosis menjadi 3 tipe utama,
dengan tipe pertama memiliki 2 subtipe:
a. Tipe I: melibatkan satu segmen tulang belakang dan infiltrasi jaringan
lunak tanpa disertai abses, collapse, dan defisit neurologis
Tipe IA: lesi hanya terbatas pada tulang belakang, sehingga
dapat ditangani dengan fine needle biopsy dan medikamentosa
Tipe IB: melibatkan jaringan lunak di luar tulang belakang,
sehingga diperlukan debridement.
b. Tipe II: terdapat satu atau dua tingkatan degenerasi diskus, terbentuknya
abses dan kifosis ringan yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
Gejala neurologis dapat muncul. Diperlukan debridement.
c. Tipe III: terdapat satu atau dua level degenerasi diskus, terbentuknya
abses, instabilitas dan deformitas yang lebih sulit untuk dikoreksi.
Diagnosis
Penegakkan diagnosis spondilitis TB dilakukan berdasarkan manifestasi klinis
bersamaan dengan tanda-tanda riwayat TB paru melalui anamnesa dan pemeriksaan
fisik, serta modalitas neuroimaging yang khas. Uji tuberkulin dan pemeriksaan darah
seperti pemeriksaan darah lengkap, LED, ELISA, dan PCR juga dilakukan dalam
mendiagnosis spondilitis TB. Konfirmasi etiologis juga diperlukan dengan tes BTA
yang dilihat secara mikroskopis atau kultur dari jaringan tulang atau sampel abses yang
diperoleh pada biopsi, uji sensitivitas antibiotik, dan pemeriksaan histopatologi. Sangat
penting untuk melakukan skrining secara menyeluruh pada tulang belakang untuk
melihat adanya lesi vertebral noncontiguous/ skipped lesions.
Foto Polos
Pemeriksaan foto polos biasanya merupakan pemeriksaan awal yang dilakukan
pada pasien yang dicurigai spondilitis TB. Temuan radiografi yang khas adalah
fragmentasi pada vertebral end plate, pemendekan tinggi diskus, destruksi ossesus,
formasi tulang baru dan abses jaringan lunak. Sering juga ditemukan keterlibatan
vertebra yang multipel, serta fusi atau kolaps pada vertebra. Gambaran cold abscess
juga dapat terlihat pada foto polos sebagai bayangan jaringan lunak yang bersebelahan
dengan tulang belakang. Adanya kalsifikasi pada abses yang terbentuk karena
kuranganya enzim proteolitik pada M. tuberculosis juga merupakan pendukung
diagnosis spondilitis TB.
Pada lesi tipe paradiskal, ciri khas yang paling awal adalah penyempitan ruang
sendi dan batas paradiskal dan korpus vertebrae yang tidak jelas. Penyempitan pada
diskus dapat terjadi karena atrofi atau karena prolaps jaringan diskus ke korpus
vertebrae. Pada stadium lanjut, dapat terjadi anterior wedging atau collapse, yang dapat
menyebabkan kyphosis dengan derajat yang bervariasi. Pada lesi anterior, penumpukan
jaringan granulasi tuberkulosis dan jaringan nekrotik menyebabkan terbentuknya abses
paravertebral. Pada foto polos tulang belakang, dapat terlihat gambaran bayangan
radiodens fusiform atau globular yang disebut bird nest appearance. Lama-kelamaan
abses dapat menyebabkan erosis konkaf di sekitar batas anterior dari korpus vertebrae
yang dapat dilihat sebagai gambaran scalloped appearance yang disebut juga fenomena
aneurisma. Tipe anterior lebih sering terjadi pada vertebrae dorsal pada anak. Pada jenis
lesi sentral dapat ditemukan destruksi, pembengkanan dari korpus vertebrae, dan
collapse yang konsentrik. Pada lesi appendiceal, ada keterlibatan lengkung posterior
(prosesus spinosus, lamna, pedikel, dan prosesus transversus serta lateral atlas),
destruksi pedikel atau laminar, erosi pada costae yang berdekatan di regio torakal, dan
massa paraspinal yang besar.
Kelemahan dari foto polos adalah gambaran pada foto polos biasanya masih
normal pada tahap awal dari penyakit ini. Gambaran osteolisis baru dapat terlihat jika
terjadi kehilangan kalsium sekitar sepertiga pada daerah tertentu Sulit untuk menilai
adanya kompresi medulla spinalis, keterlibatan jaringan lunak, abses dan luas
penyebaran pada foto polos. Selain itu, ketika gambaran pada foto polos sudah terlihat
jelas, biasanya pasien telah mencapai stadium lanjut dengan adanya kolaps vertebra dan
defisit neurologis.
CT Scan
CT scan dapat menunjukkan abnormalitas lebih awal dibandingkan dengan foto
polos. CT scan juga dapat memperlihatkan detil tulang yang lebih baik daripada foto
polos, seperti lesi litik ireguler, sklerosis, destruksi tulang, dan disrupsi dari lingkar
tulang. Temuan lainnya meliputi keterlibatan jaringan lunak dan abses jaringan
paraspinal. CT sangat bermanfaat untuk melihat adanya kalsifikasi pada cold abscess
serta bentuknya. Namun, CT kurang akurat dalam menentukan penyebaran epidural
dan pengaruhnya terhadap struktur saraf. Pola destruksi tulang (fragmen, osteolitik,
sklerotik, dan subperiosteal) dapat terlihat dengan baik pada CT. Hal ini membuat CT
sangat ideal untuk memandu pemeriksaan biopsi dengan jarum secara perkutaneus (CT-
guided biopsy) di tempat yang berpotensi berbahaya atau relatif sulit diakses.
MRI
Berbeda dengan metode pencitraan lainnya, MRI memiliki kelebihan dalam
resolusi kontras yang lebih baik untuk tulang dan jaringan lunak. Dengan penggunaan
agen kontras resonansi magnetik secara intravena, MRI sangat akurat dalam
membedakan jaringan granulasi dengan cold abscess. MRI bersifat lebih sensitif
daripada foto polos dan lebih spesifik daripada CT scan dalam mendiagnosis spondilitis
TB. MRI dapat mendeteksi secara cepat mekanisme keterlibatan neurologis. MRI dapat
meunjukkan keterlibatan corpus vertebrae, destruksi diskus, cold abscess, kolaps
vertebra, dan deformitas spinal. Pembentukan abses serta penumpukan dan ekspansi
jaringan granulasi pada daerah sekitar corpus vertebra sangat sugestif terhadap
spondilitis TB. Namun, tidak ada gambaran khas pada MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dengan infeksi tulang belakang lainnya dan neoplasma.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan hasil yang
menjanjikan untuk diagnosis dini dan cepat dari spondilitis TB jika dibandingkan
dengan pemeriksaan bakteriologis konvensional seperti pewarnaan BTA dengan
Zhiehl-Neelsen atau kultur. PCR mampu mendeteksi minimal 10-50 bacilli tuberculum
di berbagai sampel klinis. Tes ini memberikan akurasi yang lebih baik daripada smear
dan kecepatan yang lebih tinggi daripada kultur yang dapat memakan waktu 6-8
minggu. Berbagai penelitian telah melaporkan sensitivitas PCR 61-90% dan spesifitas
80-90%.
Pemeriksaan LED pada umumnya meningkat berkali-kali lipat pada pasien
dengan spondilitis TB. LED menurun menjadi normal atau mendekati normal bila lesi
TB aktif dapat dikendalikan. Pada infeksi piogenik, leukosit bersamaan dengan LED
meningkat, sedangkan pada pasien dengan spondilitis TB, ada peningkatan LED yang
nyata dengan leukosit yang normal.
Diagnosis Banding
Diagnosis spondilitis TB harus dipertimbangkan untuk menjadi diagnosis
banding pada nyeri punggung kronis (dengan atau tanpa manifestasi konstitusional,
neurologis, atau muskuloskeletal) dan pada usia muda. Spondilitis TB juga harus
dipertimbangkan pada pasien imigran dari negara endemik dengan nyeri punggung
kronis. Beberapa penyakit tulang belakang berlu dibedakan dari spondilitis TB.
Diagnosis banding yang umum mencakup spondilitis piogenik, spondilitis brucellar,
sarkoidosis, metastasis, multiple myeloma, dan limfoma.
Komplikasi
Pada spondilitis TB, defisit neurologis dapat terjadi ketika ada keterlibatan
daerah cervical dan thoracal. Jika tidak diberikan tatalaksana, defisit neurologis ini
dapat berlanjut menjadi paraplegia, yang umumnya disebut Potts Paraplegia.
Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis. Jika pada
canalis spinalis ada proses tuberculosa pada corpus bagian belakang yang merupakan
dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan
granulasi yang dapat menekan medulla spinalis.
Tatalaksana
Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan
penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas
spinal. Penatalaksanaan spondilitis TB masih kontroversial. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan
pemberian obat-obatan disertai dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal
spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal
bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan
instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis. Dekompresi agresif, pemberian obat
antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan
terjaganya fungsi neurologis.
Pada pasien dengan spondilitis TB, pengobatan dengan OAT harus dimulai
sedini mungkin. Pengobatan dengan OAT seringkali perlu diberikan secara empiris,
sebelum diagnosis etiologi ditetapkan. Pada pasien dengan komplikasi spondilitis TB
seperti kyphosis biasanya memerlukan intervensi pembedahan.
Pengobatan Antituberkulosis
Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada
individu dengan tuberkulosis. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mayoritas
(82-95%) pasien spondilitis TB sangat responsif terhadap terapi medikamentosa.
Respon pengobatan terlihat dalam bentuk berkurangnya rasa sakit, penurunan defisit
neurologis, dan bahkan koreksi deformitas tulang belakang.
Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan
selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur
tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa
skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat karena hampir semua
OAT dapat penetrasi dengan baik ke lesi TB vertebral.
Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American
Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon pengobatan
dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit
neurologis jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan
harus diperpanjang hingga 9-12 bulan.
Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase
inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H)
(5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R) (10
mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30 mg/kgBB/hari) dan
etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan
isoniazid dan rifampicin. Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk
spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan
rifampicin selama 6-9 bulan. Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan
panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH.
Tatalaksana Pembedahan
Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif,
pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk
mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Ketika
diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit,
sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya, pembentukan jaringan parut
yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital,
menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis
terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit
aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas. Indikasi
untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit
neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas spinal dengan
instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau
instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, dan untuk biopsi
diagnsotik. Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia,
dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan),
faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif
yang sesuai, faktor imaging yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat
pada foto polos, destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural
(kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien
(spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf). Keterlibatan vertebra servikal
cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses
yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk
pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.
Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang
membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan
keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau
asfiksia, instabilitas vertebra servikalis. Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah
lebih unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas,
pemulihan dan mobilisasi segera.
Surgery Indications
Pencegahan
Pada pasien yang telah terdiagnosis TB paru, penyebaran kuman TB ke tulang
dapat dicegah dengan kontrol yang baik. Pasien dengan tes tuberkulin positif dengan
atau tanpa TB paru aktif dapat meminimalkan risiko penyebaran kuman TB dengan
mengkonsumsi OAT. Untuk mengobati TB secara efektif, penting bagi pasien untuk
mengkonsumsi obat sesuai dengan dosis dan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Prognosis
Prognosis dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologis. Prognosis umumnya baik pada pasien tanpa defisit
neurologis dan deformitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 82-95% kasus
memberikan respon baik terhadap pengobatan medikamentosa saja dalam bentuk
meredakan rasa nyeri, memperbaiki defisiensi neurologis, dan koreksi dari deformitas
tulang belakang. Dalam sebuah penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan pada
pasien dengan defisit neurologis, pemulihan signifikan terjadi pada 92%, dengan 74%
membaik dari status nonambulatory menjadi ambulatory. Penelitian ini melibatkan 82
pasien; 52% pasien dalam keadaan nonambulatory, 21% mengalami defisit neurologis
ringan, dan 27% memiloki fungsi neurologis yang utuh. Dalam sebuah penelitian dari
negara endemik, mayoritas (79 pasien, 61%) pasien memiliki motorik dan sensorik
yang buruk. Pada pencitraan ditunjukkan adanya keterlibatan vertebra multipel pada 90
pasien (80%). Semua pasien ditatalaksana dengan OAT, namun 33 pasien memerlukan
perawatan operatif juga. Peningkatan klinis yang bermakna terlihat pada 91 pasien
(70%) dalam waktu 6 bulan setelah pengobatan.
Di Korea, sebuah studi retrospektif memeriksa outcome pengobatan pada
pasien dengan spondilitis TB sebanyak 116 pasien. Empat puluh tujuh pasien (35%)
memiliki gejala yang parah. Pembedahan radikal dilakukan pada 84 pasien (62%). Dua
puluh pasien diobati dengan kemoterapi janga pendek, sementara 96% menjalani
pengobatan dengan OAT jangka panjang. Pada akhir kemoterapi, 94 pasien telah
mencapai status yang lebih baik dan 22 orang tidak. Usia dan pembedahan radikal
dikaitkan secara signifikan dengan hasil yang menguntungkan dengan analisis logistik.
BAB III
KESIMPULAN