Anda di halaman 1dari 61

REFERAT

OSTEOMYELITIS & SPONDILITIS TB

Pembimbing :
dr. H. Unang, Sp.BO

Oleh :
Michelle (2015-061-045)
Sardono Widinugroho (2015-061-046)
Bonifasius (2015-061-052)
Natassha Priscillia (2015-061-053)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah


Periode 3 Juli 5 Agustus 2017
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
RSUD Syamsudin SH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi adalah keadaan dimana organisme patogen berkembang biak dan
menyebar ke dalam jaringan tubuh. Tanda-tanda peradangan yang klasik adalah
kemerahan, bengkak, panas, nyeri dan kehilangan fungsi. Suatu mikroorganisme dapat
mencapai jaringan muskuloskeletal dengan beberapa cara yaitu pengenalan langsung
melalui kulit (jarum suntik, suntikan, luka tusukan, laserasi, fraktur terbuka atau
operasi), penyebaran langsung dari fokus infeksi yang bersebelahan, dan penyebaran
tidak langsung melalui aliran darah dari tempat yang jauh seperti hidung atau mulut,
saluran pernafasan, usus atau saluran urogenital. Infeksi tulang berbeda dengan infeksi
jaringan lunak karena tulang terdiri dari sekumpulan kompartemen yang kaku, sehingga
lebih rentan daripada jaringan lunak untuk terjadi kerusakan vaskular dan kematian sel
akibat penekanan pada peradangan akut.
Kerentanan host terhadap infeksi meningkat oleh faktor lokal seperti trauma,
jaringan parut, sirkulasi yang buruk, sensibilitas yang berkurang, penyakit tulang atau
sendi kronis dan adanya benda asing, serta faktor sistemik seperti malnutrisi,
kelemahan umum, diabetes, penyakit rheumatoid, pemberian kortikosteroid dan segala
bentuk imunosupresi. Kolonisasi bakteri dan resistensi terhadap antibiotik meningkat
juga dengan adanya kemampuan mikroba tertentu (termasuk Staphylococcus) untuk
menempel pada permukaan tulang yang avaskular dan implan dengan suatu protein-
polisakarida (glikokaliks) sehingga terlindungi dari system pertahanan host dan
antibiotik.
Infeksi piogenik akut ditandai dengan pembentukan pus yaitu konsentrat
leukosit yang sudah tidak berfungsi, bakteri yang mati dan debris jaringan yang
membentuk suatu abses. Tekanan terbentuk di dalam abses dan infeksi kemudian dapat
berlanjut ke persendian yang berdekatan atau melalui korteks di sepanjang jaringan
yang berdekatan. Infeksi juga dapat menyebar lebih jauh melalui limfatik
(menyebabkan limfadenitis dan limfadenopati) atau melalui aliran darah (bakteremia
dan septikemia). Reaksi sistemik yang menyertai bervariasi dari pireksia ringan hingga
demam, toksemia dan syok. Efek umum ini terjadi oleh karena pelepasan enzim bakteri
dan endotoksin serta produk pemecahan sel dari jaringan.
Infeksi piogenik kronis dapat terjadi pada infeksi akut yang belum selesai dan
ditandai dengan keberadaan organisme yang menginfeksi di jaringan nekrotik. Pus
yang terakumulasi dapat dikeluarkan melalui sinus pada kulit atau luka yang tidak
sembuh dengan baik. Faktor-faktor yang mendukung gambaran ini adalah adanya
kerusakan otot, kematian tulang atau implan, berkurangnya suplai darah lokal dan
respons host yang lemah.
Infeksi non-piogenik kronis dapat terjadi akibat invasi oleh organisme yang
menghasilkan reaksi seluler yang menyebabkan pembentukan granuloma yang
sebagian besar terdiri dari limfosit, makrofag dan sel polimorfonuklear. Infeksi
granulomatosa jenis ini paling sering terlihat pada tuberkulosis. Efek sistemiknya
kurang akut namun pada akhirnya bisa sangat mematikan, disertai dengan
limfadenopati, splenomegali dan kematian jaringan.
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan medulla tulang karena infeksi
piogenik atau non-piogenik. Osteomyelitis masih merupakan permasalahan di negara
kita karena tingkat higienis yang masih rendah dan pengertian mengenai pengobatan
yang belum baik, diagnosis yang sering terlambat sehingga biasanya berakhir dengan
osteomyelitis kronis, fasilitas diagnostik yang belum memadai di puskesmas-
puskesmas, angka kejadian tuberculosis di Indonesia pada saat ini masih tinggi
sehingga kasus-kasus tuberculosis tulang dan sendi juga masih tinggi, pengobatan
osteomyelitis memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tinggi, dan banyak
penderita dengan fraktur terbuka yang datang terlambat dan biasanya datang dengan
komplikasi osteomyelitis.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal juga dengan nama
Pott's disesase of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan
penyakit yang banyak dijumpai sebagai salah satu bentuk tuberkulosis ekstrapulmoner.
Penyakit ini diperkirakan terjadi sebanyak 50% dari bentuk tuberkulosis
muskuloskeletal. Spinal tuberkulosis umum dijumpai pada anak-anak dan dewasa
muda. Insidensi penyakit ini meningkat pada negara-negara berkembang dan pada
negara maju biasanya dijumpai pada imigran yang berasal dari negara berkembang.
Tuberkulosis spinal merupakan salah satu penyakit yang paling tua diketahui
oleh manusia dan diketemukan sampai dengan tahun 3400 SM pada mumi di Mesir.
Penyakit ini kemudian populer dikenal sebagai Pott's disease, yang dideskripsikian
oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara
kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, namun hal tersebut
tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh
Koch tahun 1882 sehingga etiologi penyakit ini menjadi jelas. Saat ini istilah Pott's
disesase mengacu pada infeksi tuberkulosa pada spinal dan Pott's paraplegia mengacu
pada paraplegia yang disebabkan oleh tuberkulosa spinal.
Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting pada penyakit ini
untuk mencegah disabilitas permanen dan meminimalkan deformitas spinal. Dengan
perkembangan akhir-akhir ini mengenai adanya multidrug resistant TB, meningkatnya
infeksi pada pasien imundefisiensi, modalitas pencitraan yang lebih akurat dan teknik
rekonstruksi spinal yang lebih maju membuat diagnosis dan penatalaksanaan penyakit
ini penting untuk diketahui.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pembentukan dan Penyembuhan Tulang


Berat tulang mencapai 18% berat tubuh manusia. Tulang memiliki
fungsi sebagai penyangga, proteksi, pembantu pergerakan, homeostasis tulang,
dan produksi sel darah, penyimpanan trigliserida. Struktur tulang terdiri dari
diafisis, epifisis, kartilago, periosteum, kavitas medular, dan endosteum. Sel-sel
yang terdapat pada tulang adalah sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan
osteoklas

Gambar Anatomi Tulang


Gambar Sel-sel pada Tulang

Gambar anatomi tulang kompak dan tulang spon


Gambar Vaskularisasi Tulang

Pertumbuhan tulang dapat terjadi secara 2 arah, yaitu memanjang dan


menebal. Pertumbuhan tulang dipengaruhi oleh vitamin, mineral, dan hormon.

Gambar Pertumbuhan Memanjang Tulang


Gambar Pertumbuhan Melebar Tulang
Bila tulang mengalami kerusakan / patah, maka akan terjadi mekanisme
penyembuhan tulang yang meliputi pembentukan hematoma, pembentukan
kalus fibrokartilago, pembentukan kalus tulang keras, dan remodeling tulang.
Gambar Penyembuhan tulang
2.2. Klasifikasi Osteomyelitis
Osteomielitis dapat diklasifikasikan menurut usia onset (neonatal, masa
kanak-kanak, dan dewasa); Organisme penyebab (infeksi pyogenic dan
granulomatous); Onset (akut, subakut, dan kronis); dan rute infeksi (hematogen
dan direct inoculation). Meskipun bentuk akut masih merupakan osteomielitis
subakut yang paling umum, atau abses Brodie, dan osteomielitis multifokal
berulang sering terlihat lebih sering.

2.3. Osteomyelitis Hematogen Akut


Osteomyelitis hematogen akut merupakan infeksi tulang dan sumsum
tulang akut yang disebabkan bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal
dari fokus di tempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. Kelainan ini sering
ditemukan pada anak-anak dan sangat jarang pada orang dewasa. Bila orang
dewasa terkena, biasanya karena adanya penurunan resistensi tubuh. Kejadian
osteomielitis hematogen akut pada anak-anak di Eropa diperkirakan telah
menurun dalam beberapa tahun terakhir, dikarenakan adanya perbaikan kondisi
sosial. Sehingga, pada populasi dengan kondisi sosial yang kurang angkanya
jauh lebih tinggi. Diagnosis yang dini sangat penting oleh karena prognosis
tergantung dari pengobatan yang tepat dan segera.
Etiologi
Organisme penyebab pada orang dewasa dan anak-anak biasanya
Staphylococcus Aureus (ditemukan di lebih dari 70% kasus), dan jarang sekali
disebabkan dari Gram positif lainnya, seperti streptococcus beta-hemolitik Grup
A (Streptococcus pyogenes) yang ditemukan pada infeksi kulit kronis, serta
streptokokus group B (terutama pada bayi yang baru lahir) atau S. pneumoniae.
Pada anak umur dibawah 4 tahun Hemofilus influenza berkisar 5-50% namun
pengenalan vaksinasi H. influenza sejak 20 tahun yang lalu membuat angka
kejadiannya jauh berkurang. Organisme Gram-negatif lainnya (misalnya
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis dan Bacteroides
fragilis anaerobik) kadang-kadang menyebabkan infeksi tulang akut.
Tabel Mikroorganisme penyebab osteomyelitis bedasarkan usia

Pasien dengan penyakit sel sabit rentan terhadap infeksi oleh Salmonella
typhi. Organisme yang tidak biasa lebih mungkin ditemukan pada pecandu
heroin dan sebagai patogen oportunistik pada pasien dengan mekanisme
pertahanan kekebalan yang terganggu. Aliran darah diserang, mungkin dari
abrasi kulit kecil, menginjak benda tajam, titik suntik, bisul, gigi septik atau -
pada bayi yang baru lahir - dari tali pusar yang terinfeksi. Pada orang dewasa
sumber infeksi bisa berupa kateter uretra, garis arteri yang berdiam atau jarum
suntik kotor.
Pada anak-anak, infeksi biasanya dimulai pada metafisis vaskular tulang
yang panjang, paling sering terjadi pada tibia proksimal atau pada ujung femur
distal atau proksimal. Pada bayi, di antaranya masih ada anastomosis antara
pembuluh darah metafisis dan epifisis, infeksi juga dapat mencapai epifisis.
Pada orang dewasa, infeksi hematogen menyebabkan sekitar 20% kasus
osteomielitis, yang sebagian besar menyerang vertebra. Staphylococcus aureus
adalah organisme yang paling umum namun Pseudomonas aeruginosa sering
muncul pada pasien yang menggunakan obat intravena. Orang dewasa dengan
diabetes, yang rentan terhadap infeksi jaringan lunak pada kaki, dapat
menyebabkan infeksi tulang bersebelahan yang melibatkan berbagai organisme.
Faktor predisposisi osteomyelitis hematogen akut adalah umur terutama
mengenai bayi dan anak-anak, jenis kelamin lebih sering pada laki-laki daripada
wanita dengan perbandingan 4:1, hematoma akibat trauma pada daerah
metafisis merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya osteomyelitis
hematogen akut. Lokasi osteomyelitis hematogen akut sering terjadi di daerah
metafisis karena daerah ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya
pertumbuhan tulang. Nutrisi, lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya
fokus infeksi sebelumnya (seperti bisul, tonsillitis) merupakan faktor
predisposisi osteomyelitis hematogen akut.
Patologi dan pathogenesis
Ostomyelitis hematogen akut menunjukkan perkembangan karakteristik
yang ditandai dengan pembengkakan, supurasi, nekrosis tulang, pembentukan
tulang baru reaktif dan, pada akhirnya, resolusi dan penyembuhan atau
kronisitas yang sulit diobati. Namun, gambaran patologis sangat bervariasi,
tergantung pada usia pasien, lokasi infeksi, virulensi organisme dan respons
host.

Penyebaran osteomyelitis terjadi melalui dua acara yaitu:

Penyebaran umum:
Melalui sirkulasi darah berupa bacteremia dan septicemia
Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifocal pada daerah-
daerah lain

Penyebaran local:
Sub-periosteal abses akibat penerobosan abses melalui periost
Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit
Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artiritis septik
Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam
tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan
terbentuknya tulang mati yang disebut sekuestrum

Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu:


Teori vaskuler (Trueta): pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok
dan membentuk sinus-sinus sehingga menyebabkan aliran darah menjadi lebih
lambat. Aliran darah yang lambat pada daerah ini memudahkan baktei
berkembang biak.
Teori fagositosis (Rang): daerah metafisis merupakan daerah pembentukan
system retikuloendotelial. Bila terjadi infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-
sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian di daerah ini terdapat juga
sel-sel fagosit imatur yang tidak dapat memfagosit bakteri sehingga beberapa
bakteri tidak difagositer dan berkembang biak di daerah ini.
Teori trauma: bila trauma artifisial dilakukan pada binatang percobaan maka
akan terjadi hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntikan
bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut.

Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut tergantung pada


umur, daya tahan penderita, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi
melalui aliran darah dari fokus tempat lain dalam tubuh pada fase bacteremia dan
dapat menimbulkan septicemia. Embolus injeksi kemudian masuk kedalam juksta
epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi
dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam
tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan
dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan
terganggunya sirkulasi dan timbul thrombosis pada pembuluh darah tulang yang
akhirnya menyebabkan nekrosis tulang.
Disamping proses yang disebutkan diatas, pembentukan tulang baru yang
ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum sepanjang diafisis (terutama pada
anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang
disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum didalamnya. Proses ini terlihat
jelas pada akhir minggu kedua. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi
pengaliran pus (discharge) dari involucrum keluar melalui lobang yang disebut
kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. Pada tahap selanjutnya
penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang
kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang
membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodie.
Berdasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis,
Trueta membagi proses patologis pada osteomielitis akut atas tiga jenis:
a. Bayi: adanya pola vaskularisasi foetal yang menyebabkan penyebaran infeksi
dari metafisis dan epifisis dapat masuk ke dalam sendi, sehingga seluruh tulang
temasuk persendian dapat terkena. Lempeng epifisis biasanya lebih resisten
terhadap infeksi.
b. Anak: Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna,
risiko infeksi pada epifisis berkurang oleh karena lempeng epifisis merupakan
barier terhadap infeksi. Selain itu tidak ada hubungan vaskularisasi yang berarti
antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada sendi hanya dapat terjadi bila ada
infeksi intraartikuler
c. Dewasa: Osteomielitis akut pada orang dewasa sangat jarang terjadi oleh karena
lempeng epifisis telah hilang. Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis
namun infeksi intraartikuler sangat jarang terjadi. Abses subperiosteal juga sulit
terjadi karena periost melekat erat dengan korteks
Osteomielitis akut pada anak-anak
Gambaran 'klasik' terlihat pada anak-anak antara 2 dan 6 tahun. Perubahan
paling awal dalam metafisis adalah reaksi inflamasi akut dengan gangguan
vaskular, eksudasi cairan dan infiltrasi oleh leukosit polimorfonuklear. Tekanan
intraosseous meningkat dengan cepat, menyebabkan rasa sakit yang hebat,
penyumbatan aliran darah dan trombosis intravaskular. Bahkan pada tahap awal
jaringan tulang terancam oleh iskemia dan resorpsi karena kombinasi aktivitas
fagositik dan akumulasi sitokin lokal, faktor pertumbuhan, prostaglandin dan enzim
bakteri.
Pada hari kedua atau ketiga, pus terbentuk di dalam tulang dan memaksa
melintasi kanal Volkmann ke permukaan di mana ia menghasilkan abses
subperiosteal. Gambaran ini jauh lebih jelas pada anak-anak, karena keterikatan
periosteum yang relatif longgar, dibandingkan pada orang dewasa. Dari pus abses
subperiosteal dapat menyebar masuk kembali ke tulang pada tingkat yang lain atau
masuk ke jaringan lunak sekitarnya. Physis berkembang bertindak sebagai
penghalang untuk menyebarkan langsung ke epifisis, namun di mana metafisis
sebagian intracapsular (misalnya di pinggul, bahu atau siku) pus mungkin keluar
melalui periosteum ke dalam sendi.
Pada akhir minggu biasanya ada bukti mikroskopik tentang kematian
tulang. Racun bakteri dan enzim leukositik juga dapat berperan dalam
penghancuran jaringan yang sedang berlangsung. Dengan bertahap jaringan
granulasi, batas antara tulang yang hidup dan yang mati terlihat. Makrofag dan
limfosit dalam jumlah banyak meningkat dan debris difagositosis dan resorpsi
osteoklastik. Fokus kecil pada tulang cancellous dapat diserap dengan sempurna,
meninggalkan rongga kecil, tapi bagian besar kortikal atau cortico-cancellous akan
tetap tertinggal, tidak dapat dihancurkan atau perbaikan akhir.
Gambaran lain untuk osteomielitis akut adalah pembentukan tulang baru.
Awalnya area di sekitar zona yang terinfeksi bersifat porotik (mungkin karena
hiperemia dan aktivitas osteoklastik) tetapi jika pus tidak dilepaskan, baik secara
spontan atau dengan dekompresi bedah, tulang baru mulai terbentuk pada
permukaan dari lapisan dalam periosteum. Ini khas infeksi piogenik dan goresan
halus pada tulang baru subperiosteal biasanya tampak jelas pada x-ray pada akhir
minggu kedua. Seiring waktu tulang baru ini membentuk involucrum, melingkupi
sequestrum dan jaringan yang terinfeksi. Jika infeksi berlanjut, pus dan tulang
spikulus sekecil mungkin dilepaskan melalui perforasi (kloaka) di involus dan
dilacak oleh sinus ke permukaan kulit.
Jika infeksi terkontrol dan tekanan intraoseus dilepaskan pada tahap
awal, kemajuan mengerikan ini bisa dihentikan. Tulang di sekitar zona infeksi
menjadi semakin padat, bersamaan dengan reaksi periosteal, menyebabkan
penebalan tulang. Dalam beberapa kasus anatomi normal pada akhirnya dapat
dibentuk kembali. Pada orang lain, meski penyembuhannya sehat, tulangnya
tertinggal cacat permanen. Jika penyembuhan tidak terjadi, infeksi mungkin
tetap terkunci di dalam tulang, menyebabkan nanah dan terkadang puing-puing
tulang harus dibuang melalui sinus yang terus-menerus (atau beberapa sinus).
Infeksi sekarang telah berakhir menjadi osteomielitis kronis, yang mungkin
berlangsung bertahun-tahun.
Osteomielitis akut pada bayi
Gambaran awal osteomielitis akut pada bayi sama dengan pada anak
yang lebih tua. Namun, perbedaan yang signifikan, selama tahun pertama
kehidupan, adalah frekuensi infeksi metafisis yang menyebar ke epifisis dan
dari situ ke sendi yang berdekatan. Dalam prosesnya, kerusakan physeal
mungkin tidak dapat diperbaiki lagi, pertumbuhan lebih lanjut di tempat
tersebut sangat terbelakang dan sendi akan mengalami cacat permanen.
Bagaimana ini terjadi masih diperdebatkan. Setelah Trueta (1957) telah lama
dipegang bahwa, selama 6-9 bulan pertama kehidupan, pembuluh metafisis
kecil menembus tulang rawan physeal dan ini memungkinkan infeksi menyebar
ke dalam epifisis kartilaginous. Yang lain tidak setuju dengan hipotesis ini
(Chung, 1976), tapi yang tak terbantahkan adalah bahwa selama masa bayi
osteomielitis dan septic arthritis sering kali bersamaan. Ciri lain pada bayi
adalah reaksi periosteal yang luar biasa riang sehingga menghasilkan
pembentukan tulang baru yang aneh selama diaphysis; Untungnya, dengan
pertumbuhan longitudinal dan remodeling anatomi diaphyseal dipulihkan
secara bertahap.

Osteomielitis akut pada orang dewasa


Infeksi tulang pada orang dewasa biasanya mengikuti luka terbuka,
operasi atau menyebar dari fokus infeksi yang bersebelahan (misalnya ulkus
neuropati atau kaki diabetes yang terinfeksi). Ostomyelitis hematogen jarang
terjadi dan bila terjadi biasanya biasanya menyerang salah satu vertebra
(misalnya mengikuti infeksi pelvis) atau tulang kecil. Infeksi vertebralis dapat
menyebar melalui ujung plate dan diskus intervertebralis ke dalam vertebra
yang berdekatan.
Jika tulang panjang terinfeksi, abses cenderung menyebar ke dalam
rongga meduler, mengikis korteks dan meluas ke jaringan lunak sekitarnya.
Formasi tulang baru periosteal kurang jelas dibanding pada masa kanak-kanak
dan korteks yang melemah bisa patah. Jika ujung tulang terlibat, ada risiko
infeksi menyebar ke sendi yang berdekatan. Hasilnya seringkali merupakan
pergeseran bertahap terhadap osteomielitis subakut dan kronis.
Gambaran klinis
Anak-anak
Anak di atas 4 tahun biasanya merasakan rasa sakit yang berat, mual dan
demam. Orang tua akan memperhatikan bahwa dia menolak untuk
menggunakan satu anggota badan atau membiarkannya ditangani atau bahkan
disentuh. Rasa sakit, demam, penolakan untuk menahan berat badan,
peningkatan jumlah sel darah putih, peningkatan ESR, peningkatan CRP
menjadi tanda cardinal seorang anak menderita osteomyelitis.
Mungkin ada riwayat infeksi baru-baru ini seperti bisul, sakit
tenggorokan atau keluar cairan dari telinga. Biasanya anak itu terlihat sakit dan
demam, denyut nadi cenderung lebih dari 100 dan suhu naik. Anggota badan
ditahan dan ada nyeri tekan akut di dekat salah satu sendi yang besar (misalnya
di atas atau di bawah lutut, di fosa poplitea atau di selangkangan). Bahkan
manipulasi yang paling lembut pun menyakitkan dan gerakan sendi dibatasi
(pseudoparalysis). Kemerahan lokal, pembengkakan, kehangatan dan edema
kemudian menjadi tanda dan menandakan bahwa pus telah keluar dari bagian
dalam tulang. Limfadenopati biasa terjadi tapi tidak spesifik.
Bayi
Pada anak-anak di bawah satu tahun, terutama pada bayi baru lahir,
gangguan konstitusional dapat menyesatkan; Bayi gagal untuk berkembang dan
mengantuk tapi irritable. Kecurigaan harus dimulai dari riwayat melahirkan,
kateterisasi arteri umbilikalis atau lokasi rawan infeksi (betapapun ringannya)
seperti titik infus intravena yang meradang. Nyeri tekan metaphysis dan
resistensi terhadap gerakan sendi dapat menandakan osteomielitis atau septic
arthritis. Keduanya dapat hadir bersama sehingga perbedaannya tidak penting.
Carilah daerah sumber infeksi lain karena beberapa infeksi tidak jarang terjadi,
terutama pada bayi yang terkena infeksi di rumah sakit.

Orang dewasa
Daerah yang paling umum untuk infeksi hematogen adalah tulang
belakang thoracolumbar. Mungkin ada riwayat beberapa prosedur urologis
diikuti demam ringan dan sakit punggung. Nyeri tekan lokal tidak begitu
tampak dan mungkin perlu waktu berminggu-minggu sebelum gambaran x-ray
muncul. Ketika muncul diagnosis mungkin masih perlu dikonfirmasi dengan
aspirasi biopsy dan kultur bakteriologis. Tulang lain kadang-kadang terlibat,
terutama jika ada latar belakang diabetes, kekurangan gizi, kecanduan obat,
leukemia, terapi imunosupresif atau kelemahan. Pada orang yang sangat tua,
dan pada orang dengan defisiensi imun, gambaran sistemik ringan diagnosis
mudah terlewatkan.
Pemeriksaan laboratorium
Cara yang paling pasti untuk memastikan diagnosis klinis adalah
aspirasi nanah atau cairan dari abses subperiosteal metaphysis, jaringan lunak
ekstraoseus atau persendian yang berdekatan. Ini dilakukan dengan
menggunakan jarum trocar 16 atau 18-gauge. Bahkan jika tidak ada nanah yang
ditemukan, sisa aspirasi segera diperiksa untuk sel dan organisme. Pewarnaan
Gram yang sederhana dapat membantu mengidentifikasi jenis infeksi dan
membantu pilihan awal antibiotik. Sampel juga dikirim untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan tes untuk sensitivitas terhadap anti-biotik. Aspirasi jaringan
akan memberikan hasil positif pada lebih dari 60% kasus. Kultur darah positif
dalam kurang dari setengah kasus infeksi yang terbukti.
Nilai C-reactive protein (CRP) biasanya meningkat dalam 12-24 jam
dan tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dalam waktu 24-48 jam setelah
timbulnya gejala. Jumlah sel darah putih (WBC) meningkat dan konsentrasi
hemoglobin bisa berkurang.
Titer antibodi antistaphylococcal dapat dilakukan. Tes ini berguna pada
kasus atipikal dimana diagnosisnya diragukan. Osteomielitis di tempat yang
tidak biasa atau dengan organisme yang tidak biasa harus mengingatkan
seseorang untuk kemungkinan kecanduan heroin, penyakit sel sabit (Salmonella
dapat dibudidayakan dari fese) atau mekanisme pertahanan inang yang kurang
baik termasuk infeksi HIV.
Pemeriksaan Radiologi
Plain X-Ray
Selama minggu pertama setelah timbulnya gejala, x-ray polos tidak
menunjukkan kelainan pada tulang. Pembengkakan jaringan lunak juga bisa
disebabkan oleh hematoma atau infeksi jaringan lunak. Pada minggu kedua
mungkin ada garis besar ekstra kortikal karena pembentukan tulang baru
periosteal. Ini adalah tanda x-ray klasik osteomielitis pyogenic awal, namun
pengobatan tidak boleh ditunda sambil menunggu sampai gambaran muncul.
Kemudian penebalan periosteal menjadi lebih jelas dan ada sedikit fragmentasi
metafisis. Tanda akhir yang penting adalah kombinasi osteoporosis regional
dengan segmen lokal yang meningkatkan kepadatannya. Osteoporosis adalah
ciri aktif metabolisme dengan demikian tulang dapat dikatakan hidup. Segmen
yang gagal menjadi osteoporotik secara metabolik tidak aktif dan mungkin mati.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mendeteksi kumpulan cairan subperiosteal pada
tahap awal osteomielitis, namun tidak dapat membedakan antara hematoma dan
nanah.
Radionuclide Scanning
Radioscintigraphy dengan 99mTc-HDP menunjukkan peningkatan
aktivitas baik pada fase perfusi maupun fase tulang. Hal ini sangat sensitif,
bahkan pada tahap awal, namun memiliki spesifisitas yang relatif rendah dan
lesi inflamasi lainnya dapat menunjukkan perubahan yang serupa. Dalam kasus
yang meragukan, pemindaian dengan 67Ga-citrate atau 111In-labeled
leucocytes mungkin lebih banyak menjelaskan.
Magnetic Resonance Imaging
Pencitraan resonansi magnetik dapat membantu dalam kasus diagnosis
yang meragukan, dan terutama pada dugaan infeksi pada kerangka aksial. Ini
juga merupakan metode terbaik untuk menunjukkan peradangan sumsum
tulang. Ini sangat sensitif, bahkan pada fase awal infeksi tulang, dan karena itu
dapat membantu membedakan antara infeksi jaringan lunak dan osteomielitis.
Namun, spesifisitas terlalu rendah untuk menyingkirkan lesi inflamasi lokal
lainnya.
Differential Diagnosis
1. Selulitis
Hal ini sering keliru dengan osteomielitis. Ada kemerahan dan lymphangitis
superfisial yang meluas. Sumber infeksi kulit mungkin tidak jelas dan harus
dicari (misalnya di telapak tangan atau di antara jari-jari kaki). Jika ragu tetap
mengenai diagnosis, MRI akan membantu membedakan antara infeksi tulang
dan infeksi jaringan lunak. Organisme biasanya staphylococcus atau
streptococcus. Kasus ringan akan merespon antibiotik oral dosis tinggi, kasus
yang parah memerlukan perawatan antibiotik intravena.
2. Artritis supuratif akut
Nyeri tekan difus dan gerakan sendi hilang oleh karena terjadinya kejang otot.
Pada bayi, perbedaan antara osteomielitis metafisis dan artritis septik pada sendi
yang berdekatan agak sulit, karena keduanya sering terjadi bersamaan.
Kenaikan protein C-reaktif yang progresif selama 24-48 jam dikatakan sugestif
terhadap septic arthritis konkuren.
3. Demam reumatik
Rasa sakitnya tidak begitu hebat dan cenderung berpindah dari satu sendi ke
sendi lainnya. Mungkin juga ada tanda-tanda karditis, nodul rematik atau
eritema marginatum.
4. Krisis sel sabit
Pasien mungkin tidak dapat dibedakan dari osteomielitis akut. Namun, pada
daerah endemic Salmonella sebaiknya tetap memberikan antibiotik yang sesuai
sampai infeksi Salmonella dapat dieksklusikan.
5. Penyakit gaucher
'Pseudo-osteitis' dapat terjadi dengan ciri-ciri yang mirip dengan osteomielitis.
Diagnosisnya dibuat dengan menemukan stigmata penyakit lainnya, terutama
pembesaran limpa dan hati.
6. Tumor Ewing
7. Streptococcal necrotizing myositis
Streptokokus beta haemolitik group A kadang-kadang menyerang otot dan
menyebabkan miositis akut yang pada tahap awal mungkin salah diagnosis
dengan selulitis atau osteomielitis. Meski kondisinya jarang, harus didiagnosis
banding karena dapat dengan cepat menyebabkan nekrosis otot, septikemia dan
kematian. Nyeri hebat dan pembengkakan anggota badan dan demam adalah
tanda-tanda darurat medis. MRI akan mengungkapkan pembengkakan otot dan
tanda-tanda kerusakan jaringan. Pengobatan segera dengan antibiotik intravena
sangat penting. Debridemen bedah jaringan nekrotik hingga amputasi mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan.
Pengobatan
Jika osteomielitis dicurigai berdasarkan alasan klinis, sampel darah dan
cairan harus diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan kemudian
pengobatan dimulai segera tanpa menunggu konfirmasi akhir diagnosis.
Ada empat aspek penting dalam pengelolaan pasien:
Pengobatan suportif untuk nyeri dan dehidrasi.
Splintage bagian yang sakit.
Terapi antimikroba yang tepat.
Bedah drainase.
Perawatan Supportive Umum
Anak yang tertekan perlu dihibur dan dirawat karena rasa sakit.
Analgesik harus diberikan pada interval berulang tanpa menunggu pasien untuk
memintanya. Septikemia dan demam dapat menyebabkan dehidrasi berat dan
mungkin diperlukan untuk memberi cairan secara intravena.
Splintage
Beberapa jenis splintage sangat diperlukan, sebagian untuk kenyamanan
tapi juga untuk mencegah kontraktur sendi. Traksi kulit sederhana dan jika
pinggul terlibat juga membantu mencegah dislokasi.
Antibiotik
Awalnya, pilihan antibiotik didasarkan pada temuan dari pemeriksaan
langsung apusan darah dan pengalaman klinisi mengenai kondisi lokal.
Staphylococcus aureus adalah yang paling umum di semua usia, namun
pengobatan harus memberi perlindungan juga untuk bakteri lain yang mungkin
ditemui pada setiap kelompok usia. Obat yang lebih tepat yang juga mampu
penetrasi tulang dengan baik. Faktor-faktor seperti usia pasien, keadaan umum
resistensi, fungsi ginjal, tingkat toksemia dan riwayat alergi sebelumnya harus
diperhitungkan.
Neonatus Dan Bayi Sampai Usia 6 Bulan
Pengobatan antibiotik awal harus efektif melawan Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap penisilin, streptokokus Grup B dan organisme
Gram negatif. Obat pilihan adalah flucloxacillin ditambah sefalosporin generasi
ketiga seperti sefotaksim. Sebagai alternatif, pengobatan empiris yang efektif
dapat diberikan dengan kombinasi flucloxacillin (untuk staphylococci yang
resisten terhadap penisilin), benzilpenisilin (untuk streptokokus Grup B) dan
gentamisin (untuk organisme Gram negatif).
Anak 6 bulan sampai 6 tahun
Pengobatan empiris pada kelompok usia ini harus mencakup
perlindungan terhadap Haemophilus influenzae, kecuali diketahui secara pasti
bahwa anak tersebut telah melakukan vaksinasi anti-h.influenzae. Paling baik
diberikan kombinasi flucloxacillin intravena dan sefotaksim atau sefuroksim.
Anak yang lebih tua dan orang dewasa
Sebagian besar di kelompok ini akan memiliki infeksi stafilokokus dan
dapat dimulai pada flucloxacillin dan asam fusidat intravena. Asam fusidat lebih
disukai untuk benzilpenisilin sebagian karena tingginya prevalensi
staphylococci yang resisten terhadap penisilin dan karena sangat terkonsentrasi
dengan baik pada tulang. Namun, untuk infeksi benzilpenisilin streptokokus
yang diketahui lebih baik. Pasien yang alergi terhadap penisilin harus diobati
dengan sefalosporin sekunder atau ketiga.
Lansia
Pada kelompok ini ada risiko infeksi Gram negatif yang lebih besar dari
biasanya, karena gangguan pernapasan, gastro-intestinal, atau saluran kemih
dan kemungkinan pasien memerlukan prosedur invasif. Antibiotik pilihan
kombinasi flucloxacillin dan sefalosporin generasi kedua atau ketiga.
Penderita penyakit anemia sel sabit
Pasien-pasien ini rentan terhadap osteomielitis, yang mungkin
disebabkan oleh infeksi stafilokokus namun dalam banyak kasus disebabkan
oleh salmonella dan / atau organisme gram negatif lainnya. Kloramfenikol, yang
efektif melawan organisme Gram positif, Gram-negatif dan anaerobik, biasa
menjadi antibiotik pilihan, meskipun selalu ada kekhawatiran tentang
komplikasi langka anemia aplastik. Saat ini antibiotik pilihan adalah
sefalosporin generasi ketiga atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin.
Pecandu Heroin dan pasien immunocompromised
Infeksi yang tidak biasa (misalnya dengan Pseudomonas aeruginosa,
Proteus mirabilis atau spesies Bacteroides anaerobik) kemungkinan terjadi pada
pasien ini. Bayi dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) mungkin
juga medapat penularan selama persalinan. Semua pasien dengan latar belakang
jenis ini sebaiknya diobati secara empiris dengan antibiotik spektrum luas
seperti salah satu sefalosporin generasi ketiga atau persiapan fluoroquinolone,
tergantung pada hasil tes sensitivitas.
Pasien dianggap berisiko terinfeksi Staphylococcus aureus (MRSA) yang
resisten terhadap metisilin
Pasien dengan osteomielitis hematogen akut dan yang memiliki riwayat
infeksi MRSA sebelumnya, atau pasien dengan infeksi tulang dirawat di rumah
sakit atau bangsal di mana MRSA endemik, harus diobati dengan vankomisin
intravena (atau antibiotik serupa) bersamaan dengan generasi sefalosporin yang
ketiga. Program yang biasa dilakukan adalah mengelola obat secara intravena
(jika perlu menyesuaikan pilihan antibiotik begitu sensitivitas antimikroba
tersedia) sampai kondisi pasien mulai membaik dan nilai CRP kembali ke
tingkat normal biasanya memakan waktu 2-4 minggu tergantung. Kemudian
dapat diberikan secara oral selama 3-6 minggu lagi, sementara pasien memakai
antibiotik oral, penting untuk melacak kadar antibiotik serum untuk memastikan
bahwa konsentrasi hambat minimal (MIC) dipertahankan atau terlampaui. Nilai
CRP, ESR dan WBC juga diperiksa secara berkala dan pengobatan dapat
dihentikan bila hal ini terlihat normal.
Drainase
Jika antibiotik diberikan lebih awal (dalam 48 jam pertama setelah onset
gejala) drainase seringkali tidak perlu dilakukan. Namun, jika klinis tidak
membaik dalam 36 jam setelah memulai pengobatan, atau bahkan lebih awal
lagi jika ada tanda-tanda pus (pembengkakan/edema, fluktuasi). Jika pus
disedot, maka abses harus dikeringkan dengan operasi terbuka. Tidak ada bukti
bahwa pengeboran yang meluas memiliki keuntungan dan mungkin lebih
berbahaya. Jika ada abses intramedulla yang ekstensif, drainase lebih baik
dicapai dengan memotong bagian kecil di korteks. Luka ditutup tanpa saluran
pembuangan dan traksi diaplikasikan kembali. Begitu tanda-tanda infeksi
mereda, anak diperbolehkan berjalan dengan bantuan kruk. Berat badan penuh
biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Saat ini sekitar sepertiga pasien dengan
osteomielitis yang dikonfirmasi cenderung memerlukan operasi dan orang
dewasa dengan infeksi vertebra jarang melakukannya. Drainase dilakukan
selama beberapa hari dengan menggunakan cairan NaCl dan dengan antibiotic.
Komplikasi
Hasil yang mematikan dari septikemia saat ini sangat jarang terjadi
dengan adanya antibiotik yang adekuat anak hampir selalu sembuh dan
tulangnya bisa kembali normal. Tapi morbiditas sering terjadi, terutama jika
perawatan tertunda atau organisme tidak sensitif terhadap antibiotik yang
dipilih.
Infeksi yang bersifat metastatis
Infeksi dapat bermetastasis ke tulang/sendi lainnya, otak dan paru-paru,
dapat bersifat multifocal dan biasanya terjadi pada penderita dengan status gizi
yang jelek. Hal ini umumnya pada bayi sehingga penting untuk waspada
terhadap komplikasi ini dan memeriksa anak berulang-ulang.
Artritis supuratif
Artritis supuratif dapat terjadi pada bayi muda karena lempeng epifisis
bayi (yang bertindak sebagai barrier) belum berfungsi dengan baik. Komplikasi
terutama terjadi pada osteomyelitis hematogen akut di daerah metafisis yang
bersifat intra-kapsuler (misalnya pada sendi panggul atau femur bagian atas)
atau melalui infeksi yang metastatis. Ultrasound dapat membantu menunjukkan
efusi, namun diagnosis definitif melalui aspirasi.
Gangguan pertumbuhan
Pada neonatus dan bayi, pembuluh darah metaphysis menembus physis
dan dapat membawa infeksi ke epifisis. Osteomyelitis hematogen akut pada
bayi karena epiphysisnya masih seluruhnya cartilago sehingga dapat
menyebabkan kerusakan lempeng epifisis yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan, sehingga tulang yang terkena akan menjadi lebih pendek. Pada
anak yang lebih besar akan terjadi hiperemi pada daerah metafisis yang
merupakan stimulasi bagi tulang untuk bertumbuh. Pada keadaan ini tulang
bertumbuh lebih cepat dan menyebabkan terjadinya pemanjangan tulang. Pada
sendi panggul, ujung femur proksimal mungkin sangat rusak sehingga
menghasilkan pseudarthrosis.
Fraktur patologis
Patah tulang jarang terjadi, tapi bisa terjadi jika perawatan tertunda dan
tulangnya melemah akibat erosi di tempat infeksi atau debridement terlalu
berlebihan.
Osteomyelitis kronis
Meskipun metode diagnosis dan perawatan ditingkatkan, osteomielitis
akut terkadang gagal diatasi. Minggu atau bulan setelah onset infeksi akut,
sekuel muncul dalam tindak lanjut dan pasien dibiarkan dengan infeksi kronis.
Hal ini mungkin karena pengobatan terlambat atau tidak memadai tetapi juga
terlihat pada pasien yang lemah dan mereka yang memiliki mekanisme
pertahanan yang terganggu.

2.4. Osteomyelitis Hematogen Subakut


Kelainan ini cukup sering terjadi, di beberapa negara insidens
kejadiannya sama dengan osteomielitis akut. Gejala osteomyelitis hematogen
subakut lebih ringan oleh karena organisme penyebabnya kurang purulent dan
penderita lebih resisten. Osteomyelitis hematogen subakut biasanya disebabkan
oleh Stafilokokus Aureus dan umumnya berlokasi dibagian distal femur dan
proksimal tibia.
Patologi biasanya terdapat kavitas dengan batas tegas pada tulang
kanselosa di metafisis tibialis dan mengandung cairan seropurulen. Kavitas
dilapisi jaringan granulasi yang terdiri atas sel-sel inflamasi akut dan kronik dan
biasanya terdapat penebalan trabekula. Trabekula tulang di sekitarnya sering
menebal. Lesi kadang-kadang mengikis korteks tulang. Kadang-kadang muncul
di epifisis dan pada orang dewasa di salah satu korteks vertebra.
Gambaran klinis osteomyelitis hematogen subakut biasanya ditemukan
pada anak-anak dan remaja. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah
atrofi otot, nyeri local, sedikit pembengkakan dan dapat pula penderita menjadi
pincang. Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu
atau mungkin berbulan-bulan. Suhu tubuh penderita biasanya normal.
Pemeriksaan laboratorium leukosit umumnya normal, tetapi laju endap darah
meningkat.
Lesi radiografi yang khas adalah kavitas yang radiolusen, bulat atau oval
berdiameter 1-2 cm. Paling sering terlihat pada metafisis tibialis atau femoralis,
tapi mungkin terjadi pada epifisis atau di salah satu tulang cuboidal (misalnya
calcaneus). Kadang kavitas dikelilingi oleh halo sklerosis (abses Brodie)
ekstensi hingga ke dalam diaphysis. Lesi metaphysis menyebabkan sedikit atau
tidak adanya reaksi periosteal. Lesi diaphysis dapat dikaitkan dengan
pembentukan tulang baru periosteal dan penebalan kortikal. Jika korteks
tererosi lesi bisa dicurigai sebagai tumor ganas, hal tersebut dapat dideteksi
dengan pemindaian radioisotop yang menunjukkan peningkatan aktivitas yang
nyata.

Diagnosis dari gambaran klinis dan rontgen mirip dengan tuberkulosis


kistik, granuloma eosinofilik atau osteoid osteoma. Kadang dapat juga
menyerupai tumor tulang ganas sarkoma Ewing atau bila lesi pada epifisis
seperti chondroblastoma. Diagnosis seringkali tetap diragukan sampai biopsi
dilakukan. Jika cairan ditemukan, harus dilakukan kultur bakteriologis biasanya
positif pada sekitar setengah kasus dan organismenya hampir selalu
Staphylococcus aureus.
Pengobatan mungkin konservatif jika diagnosisnya tidak diragukan.
Imobilisasi dan antibiotik (flucloxacillin dan fusidic acid) secara intravena
selama 4 atau 5 hari dan kemudian secara oral selama 6 minggu biasanya
menghasilkan penyembuhan, walaupun mungkin memerlukan waktu hingga 12
bulan. Jika diagnosisnya diragukan, biopsi lesi dapat dilakukan bersamaan pada
waktu kuretase. Jika x-ray menunjukkan bahwa tidak ada penyembuhan setelah
perawatan konservatif dilakukan program antibiotik yang lebih jauh.

2.5. Osteomyelitis Sklerosing


Pada tahun 1893, ditemukan suatu bentuk langka osteomyelitis subakut
nonsuppuratif yang ditandai dengan kavitas yang dikelilingi oleh jaringan
sklerosis dan penebalan kortikal yang menyebar pada daerah diaphysis salah
satu tulang tubular atau mandibula. Pasien biasanya remaja atau dewasa muda
dengan riwayat sakit yang panjang dan sedikit pembengkakan di atas tulang.
Terkadang ada serangan nyeri berulang disertai malaise dan demam ringan.
Pemeriksaan radiologis pada foto rontgen terlihat adanya kavitas yang
difus dan dikelilingi oleh jaringan tulang yang sklerotik ditunjukkan dengan
peningkatan kepadatan tulang dan penebalan kortikal. Diagnosis sulit
ditegakkan karena jika segmen tulang kecil terlibat dapat merupakan osteoid
osteoma. Jika ada lapisan periosteal baru pada tulang, lesi menyerupai sarkoma
Ewing, sehingga perlu ditegakkan dengan biopsi. Mikroorganisme jarang
dikultur namun biasanya berasal dari infeksi Stafilokokus. Pengobatan
dilakukan dengan operasi yaitu area abnormal dieksisi dan permukaan yang
terbuka di kuretase. Cangkok tulang, transport tulang atau transfer tulang bebas
mungkin diperlukan.

2.6. Osteomyelitis Kronis


Etiologi
Osteomyelitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomyelitis
akut yang tidak terdiagnosis atau diobati dengan baik. Osteomyelitis kronis
dapat juga terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi pada
tulang
Bakteri penyebab osteomyelitis kronis terutama oleh Staphylococcus aureus
(75%) atau E.colli, Proteus, Pseudomonas. Staphylococcus epidermidis
merupakan penyebab utama osteomyelitis kronik pada operasi-operasi ortopedi
yang menggunakan implant.

Gambar Mikroorganisme penyebab osteomyelitis


Patologi dan Patogenesis
Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekustrum yang
mengambat terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada
tulang. Sekustrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah
terjadinya perubahan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada kulit). Sekustrum
diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar/dibersihkan dari medula
tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya terjadi destruksi dan
sklerosis tulang yang dapat terihat pada foto rontgen.

Manifestasi Klinis
Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka /
sinus setelah operasi, yang bersifat menahun. Kelainan kadang-kadang disertai
demam dan nyeri lokal yang hilang timbul di daerah anggota gerak tertentu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas
operasi dengan nyeri tekan. Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang
menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau
osteomyelitis pada penderita
Tabel Kriteria Diagnostik pada Osteomyelitis Kronik
Gambar Osteomyelitis kronis
Osteomyelitis kronis memiliki staging berdasarkan tipe osteomyelitis
dan imunitas pejamunya. Staging ini dapat dilihat pada tabel
Tabel Staging osteomyelitis kronis pada orang dewasa
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan laju endap
darah, leukositosis serta peningkatan titer antibodi anti-stafilokokus.
Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas diperlukan untuk menentukan organisme
penyebabnya.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dpaat dilakukan adalah foto polos dimana
akan ditemukan adanya tanda-tanda porosis dan sklerosis tulang, penebalan
periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum. Pada pemeriksaan
radioisotop scanning dapat membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis
99m
kronis dengan Tc-HDP. Pemeriksaan radioisotop terdapat 3 jenis, yaitu
scanning pada sel darah merah, sel darah ptuih, dan sumsum tulang belakang
dengan interpretasi sebagai daerah panas dan daerah dingin. Pemeriksaan
CT dan MRI dapat bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan dan untuk
melihat sejauh mana kerusakan tulang yang terjadi.
Gambar hasil skintigrafi pada osteomyelitis
Tabel interpretasi hasil skintigrafi

Terapi
Pengobatan osteomyelitis kronis menggunakan antibiotik dan tindakan
operatif. Antibiotik ditujukan untuk mencegah penyebaran infeksi pada tulang
sehat lainnya dan mengontrol eksaserbasi akut. Antibiotik yang digunakan
harus dapat menembus tulang yang sklerotik dan bersifat non-toksis pada
penggunaan jangka panjang. Asam fusidik, klindamisin, dan teicoplanin efektif
pada kebanyakan kasus MRSA. Antibiotik diberikan selama 4-6 minggu (dari
awal pengobatan hingga debridemen terakhir) sebelum operasi.
Pengobatan osteomyelitis kronis tidak dapat diobati dengan antibiotik
semata-mata. Operasi dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda setelah
pemberian dan pemayungan antibiotik yang adekuat. Operasi yang dilakukan
bertujuan untuk mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik (debridemen), baik
jaringan lunak maupun jaringan tulang dan sebagai dekompresi pada tulang dan
memudahkan antibiotik mencapai sasaran dan mencegah osteomyelitis lebih
lanjut. Selanjutnya dilakukan drainase dan dilanjutkan irigasi secara kontinu
selama beberapa hari. Antibiotik dilanjutkan hingga 4 minggu setelah
debridemen terakhir. Pada ruangan kosong, adakalanya diperlukan penanaman
rantai antibiotik. Selain itu juga bisa dilakukan graft tulang. Teknik Papineu
mengisi seluruh kavitas dengan suatu chip yang bercampur dengan antibiotik
dan sealant fibrin. Setelah itu area tersebut ditutup dengan otot dan kulit dijahit
tanpa tensi. Alternatif yang lain adalah dengan melakukan muscle flap pada otot
yang besar, dengan suplai darah yang intak, dapat digerakkan, penutupan kulit
dapat menggunakan skin graft. Pendekatan operasi yang lain dilakukan oleh
Lautenbach di Afrika Selatan dengan melakukan irigrasi tertutup dengan tuba
dua lumen untuk suction dan pemberian antibitik dosis tinggi. Ruang kosong
lama-lama akan terisi dengan jaringan granulasi vaskular. Tuba dicabut setelah
hasil kultur negatif sebanyak 3 kali berturut-turut pada kultur cairan di ruang
kosong. Pada kasus yang refraktori, teknik Ilizarov dapat digunakan.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kontraktur sendi, penyakit amiloid,
fraktur patologis, perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis, kerusakan
epifisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.

2.7. Osteomyelitis Akibat Fraktur Terbuka


Etiologi
Osteomyelitis akibat fraktur terbuka merupakan osteomyelitis yang
paling sering ditemukan pada orang dewasa. Pada suatu fraktur terbuka dapat
ditemukan kerusakan jaringan, kerusakan pembuluh darah, edema, hematoma
dan hubungan antara fraktur dengan dunia luar sehingga pada fraktur terbuka
umumnya terjadi infeksi.
Osteomyelitis akibat fraktur terutama disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, B. colli, Pseudomonas, dan kadang-kadang oleh bakteri anaerobik
seperti Clostridium, Streptococcus anaerobik atau Bacteroides.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada osteomyelitis akibat fraktur terbuka biasanay
berupa demam, nyeri, pembengkakan pada daerah fraktur, dan sekresi pus pada
luka. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis dan peningkatan laju
endap darah. Gambaran pada pemeriksaan rontgent akan lebih sukit diinterprasi
karena ada fragmentasi tulamg. MRI dapat membantu membedakan jaringan
tulang dan jaringan lunak.
Terapi
Prinsip penanganan pada kelainan ini sama dengan osteomyelitis
lainnya. Pada fraktur terbuka sebaiknya dilakukan pencegahan infeksi melalui
pembersihan dan debridemen luka. Luka dibiarkan terbuka dan diberikan
antibiotik yang adekuat. Pada kebanyakan kasus, kombinasi dari flucloxacillin
dan benzylpenicillin (diberikan setiap 6 jam selama 48 jam) cukup untuk
pengobatan. Bila luka terkontaminasi, dapat juga diberikan metronidazole
selama 4 hingga 5 hari.

2.8. Osteomyelitis Pasca Operasi


Osteomyelitis pasca operasi terjadi setelah suatu operasi tulang
(terutama pada operasi yang mengguunakan implant), yang disebabkan oleh
kontaminasi bakteri pada pembedahan. Gejala infeksi dapat timbul segera
setelah operasi atau beberapa bulan kemudian. Oleh karena itu pencegahan
osteomyelitis lebih penting daripada pengobatan.

2.9. Spondilitis TB
Tuberkulosis merupakan penyakit yang banyak diderita oleh kelompok
ekonomi bawah terutama pada dewasa muda pada usia produktif mereka. Risiko
terkena tuberkulosis juga meningkat 20-37 kali lebih besar pada pasien dengan ko-
infeksi HIV dibandingkan dengan pasien imunokompeten. Tahun 2009, diperkirakan
terdapat 1,2 juta kasus tuberkulosis baru pada pasien dengan HIV positif, di mana 90%
kasus ini terkonsentrasi di Afrika dan Asia Tenggara. Angka kematian tertinggi akibat
tuberkulosis didapatkan di Afrika.
Prevalensi dan insidensi persisnya dari tuberkulosa spinal pada sebagain besar
bagian di dunia umumnya tidak diketahui. Pada negara dengan beban tuberkulosis
pulmoner yang tinggi, insidensi tuberkulosa spinal juga diperkirakan tinggi.
Diperkirakan 10% pasien dengan tuberkulosis ekstrapulmoner memiliki keterlibatan
skeletal. Tulang belakang merupakan situs keterlibatan skeletal yang paling sering,
diikuti dengan pinggul dan lutut. Spinal tuberkulosis terjadi hampir pada 50% kasus
tuberkulosis dengan keterlibatan skeletal.
Spinal tuberkulosis jarang ditemukan di negara-negara maju. Kebanyakan
pasien dengan tuberkulosis spinal di negara maju adalah imigran dari negara-negara
berkembang di mana penyakit tuberkulosis merupakan penyakit endemik. Sebuah studi
di Inggris tahun 1999-2004, didapatkan 729 pasien dengan tuberkulosis, dengan 8%
(61) memiliki keterlibatan muskuloskeletal, dengan hampir 50% di antaranya memiliki
keterlibatan spinal dan 74% pasien merupakan imigran dari India. Di negara-negara
endemik, spinal tuberkulosis banyak mengenai anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan penyakit ini banyak mengenai populasi dewasa di negara-negara Barat dan
Timur Tengah.

Etiologi
Tuberkulosis spinal disebabkan oleh bakteri basil tahan asam, dengan penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium
yang lain juga dapat menyebabkan penyakit ini seperti Mycobacterium afriacanum,
bovine tubercle baccilus dan non-tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan
pada penderita HIV.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang, tahan asam
dan perlu digunakan terknik pewarnaan Ziehl-Nielson untuk memvisualisasi dan
diagnosis bakteri ini. Kultur bakteri dapat menggunakan egg-enriched media dengan
masa inkubasi 6-8 minggu.

Patogenesis Dan Patologi


Faktor risiko untuk terkena tuberkulosis adalah ekonomi rendah, tempat tinggal
padat penduduk, malnutrisi, konsumsi alkohol, diabetes mellitus, terapi imunosupresif,
dan infeksi HIV. Faktor-faktor ini juga merupakan faktor risiko terkena spondilitis
tuberkulosa. Beberapa negara, seperti Iran, menambahkan untuk faktor risiko lain
terkena spondilitis TB adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki dan infeksi tuberkulosis
sebelumnya. Kerentanan genetik untuk terkana spondilitis tuberkulosa akhir-akhir ini
juga disebut berperan dalam terjadinya penyakit ini. Sebuah studi menyebutkan
polimorfisme FokI pada gen vitamin-D reseptor pada sebuah grup pekerja di China
dikaitkan terhadap kerentanan sesorang terkena spinal tuberkulosis.
Spinal tuberkulosis terjadi karena adanya penyebaran hematogen dari M.
tuberculosis pada struktur kaya vaskularisasi dari tulang belakang. Infeksi primer
biasanya ditemukan di paru-paru atau sistem genitourinaria. Penyebaran dapat terjadi
melalui vena maupun arteri. Infeksi pada regio paradiskal terjadi melalui pleksus
pembuluh darah arteri di regio subkondral tulang belakang yang diperdarahi oleh arteri
spinalis anterior dan posterior. Penyebaran melalui sistem vena biasanya dipengaruhi
oleh peningkatan tekanan intratorakal dan intraabdominalis, yang dipengaruhi oleh
aktivitas seperti batuk. Penyebaran melalui vena intraossesus dapat menyebabkan lesi
sentral dari tulang belakang. Pada pasien dengan non-contiguous vertebral body lesions
juga disebabkan oleh penyebaran melalui sistem vena. Multi-level noncontiguous
spinal tuberculosis adalah bentuk atipikal dari spinal tuberkulosis yang mengenai dua
tulang belakang tidak berurutan tanpa disertai destruksi tulang belakang yang
berdekatan dan diskus intervertebralis.
Spinal tuberkulosis awalnya mengenai bagian anterior inferior dari tulang
belakang. Selanjutnya akan menyebar pada bagian sentral dari tulang belakang atau
diskus. Lesi paradiskal, anterior, dan sentral adalah bentuk paling sering dari spinal
tuberkulosis. Pada lesi sentral tanpa keterlibatan diskus, kolaps daripada tulang
belakang akan mengahasilkan vertebra plana. Vertebra plana mengindikasikan
kompresi komplit dari tulang belakang. Pada pasien usia muda, keterlibatan diskus
lebih sering ditemukan karena strukturnya yang memiliki lebih banyak vaskularisasi.
Pada pasien usia tua, diskus umumnya tidak terlibat dikarenakan strukturnya yang
avaskular seiring bertambahnya usia. Pada spinal tuberkulosis terdapat keterlibatan
lebih dari satu segmen tulang belakang dikarenakan arteri yang memperdarahi
bercabang dua memperdarahi dua segmen tulang belakang yang berdekatan.
Spinal tuberkulosis memiliki karakteristik destruksi dari diskus intervertebralis,
segmen tulang belakang yang berdekatan, destruksi unsur-unsur tulang belakang lain
dan anteriro wedging yang kemudian membentuk gibbus (deformitas tulang belakang
yang dapat teraba karena keterlibatan segmen tulang belakang yang multipel.) Regio
lumbal atas dan torakalis adalah yang paling sering terkena.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari spinal tuberkulosis adalah nyeri dengan atau tanpa
penekanan, kekakuan dan spasme dari otot, abses dingin, gibbus dan deformitas tulang
belakang yang prominen. Abses dingin terbentuk secara lambat ketika infeksi
tuberkulosis mengenai ligamen dan jaringan lunak yang berdekatan. Karakteristik dari
abses dingin adalah tidak ada nyeri dan tanda-tanda inflamasi lainnya.
Progesivitas spondilitis tuberkulosis terbilang lambat namun berbahaya. Total
durasi dari penyakit bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun, dengan rata-
rata penyakit antara 4-11 bulan. Pasien biasanya akan datang ketika sudah ada nyeri
hebat, deformitas atau gejala neurologis. Gejala peyerta lainnya biasanya merupakan
gejala klasik penyakit tuberkulosis seperti malaise, penurunan berat badan dan nafsu
makan, keringat malam hari, demam pada sore hari, sakit seluruh tubuh dan fatigue.
Nyeri punggung merupakan gejala yang paling sering dari spondilitis
tuberkulosis. Intensitas nyeri bervariasi dari nyeri tumpul yang konstan sampai nyeri
parah yang menghalangi aktivitas. Nyeri umumnya terlokalisir pada regio yang terkena
di mana yang paling sering adalah regio torakalis. Nyeri dapat diperparah dengan
pergerakan tulang belakang, batuk dan weight bearing dikarenakan gangguan diskus,
instabilitas tulang belakang, nerve root compression atau fraktur patologis.
Defisit neurologis umum ditemukan dengan keterlibatan regio torakalis dan
servikalis. Jika tidak ditangani, gejala neurologis awal dapat berkembang menjadi
paraplegia atau tetraplegia. Paraplegia dapat terjadi sewaktu-waktu dan pada stadium
apapun dari penyakit yang melibatkan tulang belakang. Defisit neurologis umumnya
ditemukan pada 23-76% kasus. Gejala yang muncul tergantung daripada segmen tulang
belakang yang terlibat. Pada keterlibatan segmen servikalis, gejala yang muncul
merupakan gejala dari dekompresi syaraf seperti nyeri, kelemahan, dan baal pada
ekstrimitas atas dan bawah yang dapat berkembang menjadi paraplegia atau tetraplegia.
Jika segmen torakalis atau lumbalis yang terkena maka ektrimitas atas akan normal,
namun ekstrimitas bawah mengalami gangguan dan dapat menjadi paraplegia.
Spondilitis tuberkulosis degan keterlibatan segmen tulang belakang lumbalis dan
sakralis akan memiliki gejala kelemahan ekstrimitas bawah, baal dan nyeri namun
refleks akan menurun atau menghilang sama sekali.
Terbentuknya abses dingin di sekitar lesi tulang belakang juga merupakan salah
satu manifestasi klinis khas dari spondilitis tuberkulosis. Lokasi dari abses dingin
tergantung dari regio segmen tulang belakang yang terlibat. Pada segmen servikalis,
pus terkakumulasi di belakang fasia prevertebralis dan membentuk abses retrofaringeal.
Abses dapat mencapai mediastinum dan masuk ke trakea, esofagus atau rongga pleura.
Gejala yang timbul antara lain disfagia, distress pernapasan atau perubahan pada suara.
Pada keterlibatan segmen torakalis, abses dingin terbentuk sebagai fusiform or bulbous
paravertebral swellings yang dapat membentuk benjolan di posterior mediastinum.
Abses dingin yang terbentuk pada segmen lumbalis akan timbul sebagai benjolan di
daerah paha. Abses dapat turun melalui ligamen inguinalis dan muncul di sisi medial
dari paha. Nanah juga dapat terakumulasi membentuk abses di daerah bokong dengan
mengikuti pembuluh darah femoralis atau gluteal.
Deformitas spinal merupakan ciri khas dari tuberkulosis spinal. Tipe dari
deformitas spinal tergantung dari lokasi lesi tuberkulosis yang melibatkan tulang
belakang. Kifosis, yang merupakan bentuk deformitas tulang belakang paling umum,
muncul jika lesi melibatkan segmen torakalis. Tingkat keparahan kifosis tergantung
dari jumlah tulang belakang yang terlibat.

Klasifikasi
Oguz et al. mengklasifikasikan spinal tuberkulosis menjadi 3 tipe utama,
dengan tipe pertama memiliki 2 subtipe:
a. Tipe I: melibatkan satu segmen tulang belakang dan infiltrasi jaringan
lunak tanpa disertai abses, collapse, dan defisit neurologis
Tipe IA: lesi hanya terbatas pada tulang belakang, sehingga
dapat ditangani dengan fine needle biopsy dan medikamentosa
Tipe IB: melibatkan jaringan lunak di luar tulang belakang,
sehingga diperlukan debridement.
b. Tipe II: terdapat satu atau dua tingkatan degenerasi diskus, terbentuknya
abses dan kifosis ringan yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
Gejala neurologis dapat muncul. Diperlukan debridement.
c. Tipe III: terdapat satu atau dua level degenerasi diskus, terbentuknya
abses, instabilitas dan deformitas yang lebih sulit untuk dikoreksi.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis spondilitis TB dilakukan berdasarkan manifestasi klinis
bersamaan dengan tanda-tanda riwayat TB paru melalui anamnesa dan pemeriksaan
fisik, serta modalitas neuroimaging yang khas. Uji tuberkulin dan pemeriksaan darah
seperti pemeriksaan darah lengkap, LED, ELISA, dan PCR juga dilakukan dalam
mendiagnosis spondilitis TB. Konfirmasi etiologis juga diperlukan dengan tes BTA
yang dilihat secara mikroskopis atau kultur dari jaringan tulang atau sampel abses yang
diperoleh pada biopsi, uji sensitivitas antibiotik, dan pemeriksaan histopatologi. Sangat
penting untuk melakukan skrining secara menyeluruh pada tulang belakang untuk
melihat adanya lesi vertebral noncontiguous/ skipped lesions.

Foto Polos
Pemeriksaan foto polos biasanya merupakan pemeriksaan awal yang dilakukan
pada pasien yang dicurigai spondilitis TB. Temuan radiografi yang khas adalah
fragmentasi pada vertebral end plate, pemendekan tinggi diskus, destruksi ossesus,
formasi tulang baru dan abses jaringan lunak. Sering juga ditemukan keterlibatan
vertebra yang multipel, serta fusi atau kolaps pada vertebra. Gambaran cold abscess
juga dapat terlihat pada foto polos sebagai bayangan jaringan lunak yang bersebelahan
dengan tulang belakang. Adanya kalsifikasi pada abses yang terbentuk karena
kuranganya enzim proteolitik pada M. tuberculosis juga merupakan pendukung
diagnosis spondilitis TB.
Pada lesi tipe paradiskal, ciri khas yang paling awal adalah penyempitan ruang
sendi dan batas paradiskal dan korpus vertebrae yang tidak jelas. Penyempitan pada
diskus dapat terjadi karena atrofi atau karena prolaps jaringan diskus ke korpus
vertebrae. Pada stadium lanjut, dapat terjadi anterior wedging atau collapse, yang dapat
menyebabkan kyphosis dengan derajat yang bervariasi. Pada lesi anterior, penumpukan
jaringan granulasi tuberkulosis dan jaringan nekrotik menyebabkan terbentuknya abses
paravertebral. Pada foto polos tulang belakang, dapat terlihat gambaran bayangan
radiodens fusiform atau globular yang disebut bird nest appearance. Lama-kelamaan
abses dapat menyebabkan erosis konkaf di sekitar batas anterior dari korpus vertebrae
yang dapat dilihat sebagai gambaran scalloped appearance yang disebut juga fenomena
aneurisma. Tipe anterior lebih sering terjadi pada vertebrae dorsal pada anak. Pada jenis
lesi sentral dapat ditemukan destruksi, pembengkanan dari korpus vertebrae, dan
collapse yang konsentrik. Pada lesi appendiceal, ada keterlibatan lengkung posterior
(prosesus spinosus, lamna, pedikel, dan prosesus transversus serta lateral atlas),
destruksi pedikel atau laminar, erosi pada costae yang berdekatan di regio torakal, dan
massa paraspinal yang besar.
Kelemahan dari foto polos adalah gambaran pada foto polos biasanya masih
normal pada tahap awal dari penyakit ini. Gambaran osteolisis baru dapat terlihat jika
terjadi kehilangan kalsium sekitar sepertiga pada daerah tertentu Sulit untuk menilai
adanya kompresi medulla spinalis, keterlibatan jaringan lunak, abses dan luas
penyebaran pada foto polos. Selain itu, ketika gambaran pada foto polos sudah terlihat
jelas, biasanya pasien telah mencapai stadium lanjut dengan adanya kolaps vertebra dan
defisit neurologis.

Gambar 2.1. Foto polos regio sacral menunjukkan pemendekan diskus


dan destruksi vertebra

CT Scan
CT scan dapat menunjukkan abnormalitas lebih awal dibandingkan dengan foto
polos. CT scan juga dapat memperlihatkan detil tulang yang lebih baik daripada foto
polos, seperti lesi litik ireguler, sklerosis, destruksi tulang, dan disrupsi dari lingkar
tulang. Temuan lainnya meliputi keterlibatan jaringan lunak dan abses jaringan
paraspinal. CT sangat bermanfaat untuk melihat adanya kalsifikasi pada cold abscess
serta bentuknya. Namun, CT kurang akurat dalam menentukan penyebaran epidural
dan pengaruhnya terhadap struktur saraf. Pola destruksi tulang (fragmen, osteolitik,
sklerotik, dan subperiosteal) dapat terlihat dengan baik pada CT. Hal ini membuat CT
sangat ideal untuk memandu pemeriksaan biopsi dengan jarum secara perkutaneus (CT-
guided biopsy) di tempat yang berpotensi berbahaya atau relatif sulit diakses.

Gambar 2.2. Gambaran CT scan yang menunjukkan adanya skipped


lesion

Gambar 2.3. Gambaran CT scan menunjukkan adanya


kalsifikasi pada cold abscess

MRI
Berbeda dengan metode pencitraan lainnya, MRI memiliki kelebihan dalam
resolusi kontras yang lebih baik untuk tulang dan jaringan lunak. Dengan penggunaan
agen kontras resonansi magnetik secara intravena, MRI sangat akurat dalam
membedakan jaringan granulasi dengan cold abscess. MRI bersifat lebih sensitif
daripada foto polos dan lebih spesifik daripada CT scan dalam mendiagnosis spondilitis
TB. MRI dapat mendeteksi secara cepat mekanisme keterlibatan neurologis. MRI dapat
meunjukkan keterlibatan corpus vertebrae, destruksi diskus, cold abscess, kolaps
vertebra, dan deformitas spinal. Pembentukan abses serta penumpukan dan ekspansi
jaringan granulasi pada daerah sekitar corpus vertebra sangat sugestif terhadap
spondilitis TB. Namun, tidak ada gambaran khas pada MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dengan infeksi tulang belakang lainnya dan neoplasma.

Gambar 2.4. Gambaran MRI T1-weighted menunjukkan destruksi vertebra


C6-C7

Gambar 2.5. MRI T2-weighted, rekonstruksi sagittal menunjukkan adanya


abses paravertebral dan destruksi tulang pada T3
Bone Scan
Tidak ada gambaran scintigraf patognomonik dari spondilitis TB. Infeksi
biasanya menunjukkan gambaran hot spot, namum fragmen tulang avaskular dapat
menghasilkan gambaran cold spot. Bone scan dapat membantu dalam membedakan lesi
metastatik, yang biasanya menunjukkan uptake dari substansi radioaktif di banyak titik.
Bone scan dengan tectnetium 99 m menunjukkan hasil negatif pada 35% dari pasien
dengan spondilitis TB. Pada penelitian lain, pola uptake yang serupa dengan metastase
terlihat di 63% pasien. Gallium scintigraphic scan juga negatid pada sebagian besar
pasien dengan TBC aktif.

Konfirmasi Sitologis dan Mikrobiologis


Konfirmasi etiologis dapat dilakukan dengan melakukan tes BTA pada
spesimen patologis atau dengan adanya bukti histologis tuberkulum, atau adanya sel
epitel pada material biopsi. Neuroimaging guided-needle biopsy merupakan gold
standard untuk mendiagnosis secara histopatologis pada tahap awal spondilitis TB. CT-
guided needle biopsy biasanya menghasilkan material yang cukup baik dari tulang
belakang maupun dari abses pada jaringan sekitarnya. Biopsi terbuka tulang belakang
(open biopsy) biasanya dilakukan bila teknik tertutup tidak sufisien, atau jika memang
direncanakan prosedur lain seperti arthrodesis. Pada sebuah penelitian di India CT-
guided biopsy berhasil mendiagnosis spondilitis TB pada 34 dari 38 pasien. Material
yang didapat dari biopsi sebaiknya diperiksa secara sitologis, histologis, dan
bakteriologis. BTA positif ditemukan pada 52% kasus dan kultur positif pada 83%
kasus. Namun, seperti pada TB paru, pemeriksaan kultur bukanlah standar emas untuk
mendiagnosis spondilitis TB karena mycobaterium tidak mudah terdeteksi dari situs
ekstrapulmoner, Studi histologis mengkonfirmasi diagnosis spondilitis TB pada sekitar
60% pasien. Temuan sitologis yang paling umum diamati adalah granuloma sel
epiteloid (90%), latar nekrotik granular (83%), dan infiltrasi limfositik (76%).
Langhans giant cells dapat dilihat pada 56% kasus. Hasil biopsi dengan false negative
sering terjadi, maka dari itu diagnosis spondilitis TB tetap harus ditegakkan
berdasarkan manifestasi klinis dan radiologis jika pemeriksaan bakteriologis negatif.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan hasil yang
menjanjikan untuk diagnosis dini dan cepat dari spondilitis TB jika dibandingkan
dengan pemeriksaan bakteriologis konvensional seperti pewarnaan BTA dengan
Zhiehl-Neelsen atau kultur. PCR mampu mendeteksi minimal 10-50 bacilli tuberculum
di berbagai sampel klinis. Tes ini memberikan akurasi yang lebih baik daripada smear
dan kecepatan yang lebih tinggi daripada kultur yang dapat memakan waktu 6-8
minggu. Berbagai penelitian telah melaporkan sensitivitas PCR 61-90% dan spesifitas
80-90%.
Pemeriksaan LED pada umumnya meningkat berkali-kali lipat pada pasien
dengan spondilitis TB. LED menurun menjadi normal atau mendekati normal bila lesi
TB aktif dapat dikendalikan. Pada infeksi piogenik, leukosit bersamaan dengan LED
meningkat, sedangkan pada pasien dengan spondilitis TB, ada peningkatan LED yang
nyata dengan leukosit yang normal.

Diagnosis Banding
Diagnosis spondilitis TB harus dipertimbangkan untuk menjadi diagnosis
banding pada nyeri punggung kronis (dengan atau tanpa manifestasi konstitusional,
neurologis, atau muskuloskeletal) dan pada usia muda. Spondilitis TB juga harus
dipertimbangkan pada pasien imigran dari negara endemik dengan nyeri punggung
kronis. Beberapa penyakit tulang belakang berlu dibedakan dari spondilitis TB.
Diagnosis banding yang umum mencakup spondilitis piogenik, spondilitis brucellar,
sarkoidosis, metastasis, multiple myeloma, dan limfoma.
Komplikasi
Pada spondilitis TB, defisit neurologis dapat terjadi ketika ada keterlibatan
daerah cervical dan thoracal. Jika tidak diberikan tatalaksana, defisit neurologis ini
dapat berlanjut menjadi paraplegia, yang umumnya disebut Potts Paraplegia.
Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis. Jika pada
canalis spinalis ada proses tuberculosa pada corpus bagian belakang yang merupakan
dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan
granulasi yang dapat menekan medulla spinalis.

Tabel 2.2. Klasifikasi Potts Paraplegia Menurut Seddon et al.

Tatalaksana
Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan
penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas
spinal. Penatalaksanaan spondilitis TB masih kontroversial. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan
pemberian obat-obatan disertai dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal
spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal
bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan
instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis. Dekompresi agresif, pemberian obat
antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan
terjaganya fungsi neurologis.
Pada pasien dengan spondilitis TB, pengobatan dengan OAT harus dimulai
sedini mungkin. Pengobatan dengan OAT seringkali perlu diberikan secara empiris,
sebelum diagnosis etiologi ditetapkan. Pada pasien dengan komplikasi spondilitis TB
seperti kyphosis biasanya memerlukan intervensi pembedahan.
Pengobatan Antituberkulosis
Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada
individu dengan tuberkulosis. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mayoritas
(82-95%) pasien spondilitis TB sangat responsif terhadap terapi medikamentosa.
Respon pengobatan terlihat dalam bentuk berkurangnya rasa sakit, penurunan defisit
neurologis, dan bahkan koreksi deformitas tulang belakang.
Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan
selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur
tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa
skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat karena hampir semua
OAT dapat penetrasi dengan baik ke lesi TB vertebral.
Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American
Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon pengobatan
dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit
neurologis jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan
harus diperpanjang hingga 9-12 bulan.
Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase
inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H)
(5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R) (10
mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30 mg/kgBB/hari) dan
etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan
isoniazid dan rifampicin. Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk
spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan
rifampicin selama 6-9 bulan. Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan
panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH.

Tatalaksana Pembedahan
Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif,
pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk
mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Ketika
diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit,
sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya, pembentukan jaringan parut
yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital,
menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis
terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit
aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas. Indikasi
untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit
neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas spinal dengan
instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau
instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, dan untuk biopsi
diagnsotik. Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia,
dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan),
faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif
yang sesuai, faktor imaging yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat
pada foto polos, destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural
(kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien
(spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf). Keterlibatan vertebra servikal
cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses
yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk
pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.
Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang
membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan
keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau
asfiksia, instabilitas vertebra servikalis. Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah
lebih unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas,
pemulihan dan mobilisasi segera.

Tabel 2.3. Jenis Pembedahan pada Spondilitis TB

Surgery Indications

1 Decompression(+/- fusion) Too advanced disease, Failure to respond to


conservative therapy

2 Debridement +/- Recurrence of disease or of neural complications


decompression +/- fusion
3 Anterior transposition of Sever Kyphosis (>60 degree) + / neural deficit
cord (Extrapleural
anterolateral approach)

4 Laminectomy Extradural granuloma/ Old


healed disease presenting as
secondary canal stenosis/
Posterior spinal disease

Tabel 2.4. Indikasi Operasi pada Pasien Spondilitis TB

Pencegahan
Pada pasien yang telah terdiagnosis TB paru, penyebaran kuman TB ke tulang
dapat dicegah dengan kontrol yang baik. Pasien dengan tes tuberkulin positif dengan
atau tanpa TB paru aktif dapat meminimalkan risiko penyebaran kuman TB dengan
mengkonsumsi OAT. Untuk mengobati TB secara efektif, penting bagi pasien untuk
mengkonsumsi obat sesuai dengan dosis dan dalam jangka waktu yang ditentukan.

Prognosis
Prognosis dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologis. Prognosis umumnya baik pada pasien tanpa defisit
neurologis dan deformitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 82-95% kasus
memberikan respon baik terhadap pengobatan medikamentosa saja dalam bentuk
meredakan rasa nyeri, memperbaiki defisiensi neurologis, dan koreksi dari deformitas
tulang belakang. Dalam sebuah penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan pada
pasien dengan defisit neurologis, pemulihan signifikan terjadi pada 92%, dengan 74%
membaik dari status nonambulatory menjadi ambulatory. Penelitian ini melibatkan 82
pasien; 52% pasien dalam keadaan nonambulatory, 21% mengalami defisit neurologis
ringan, dan 27% memiloki fungsi neurologis yang utuh. Dalam sebuah penelitian dari
negara endemik, mayoritas (79 pasien, 61%) pasien memiliki motorik dan sensorik
yang buruk. Pada pencitraan ditunjukkan adanya keterlibatan vertebra multipel pada 90
pasien (80%). Semua pasien ditatalaksana dengan OAT, namun 33 pasien memerlukan
perawatan operatif juga. Peningkatan klinis yang bermakna terlihat pada 91 pasien
(70%) dalam waktu 6 bulan setelah pengobatan.
Di Korea, sebuah studi retrospektif memeriksa outcome pengobatan pada
pasien dengan spondilitis TB sebanyak 116 pasien. Empat puluh tujuh pasien (35%)
memiliki gejala yang parah. Pembedahan radikal dilakukan pada 84 pasien (62%). Dua
puluh pasien diobati dengan kemoterapi janga pendek, sementara 96% menjalani
pengobatan dengan OAT jangka panjang. Pada akhir kemoterapi, 94 pasien telah
mencapai status yang lebih baik dan 22 orang tidak. Usia dan pembedahan radikal
dikaitkan secara signifikan dengan hasil yang menguntungkan dengan analisis logistik.
BAB III
KESIMPULAN

Osteomyelitis merupakan penyakit infeksi tulang. Osteomyelitis dapat dibagi menjadi


osteomyelitis akut, osteomyelitis subakut, osteomyelitis kronis, osteomyelitis sklerosing,
osteomyelitis pada fraktur terbuka, dan osteomyelitis pasca operasi. Secara umum, gejala
osteomyelitis dapat berupa nyeri, bengkak, dan demam. Pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium dan radiologi dapat membantu penegakan diagnosis. Terapi
osteomyelitis berupa pemberian antibiotik yang adekuat dan pembedahan. Secara umum,
mencegah osteomyelitis lebih baik daripada mengobatinya.
Prinsip pengobatannya adalah: (1) Memberikan analgesia dan tindakan supportif; (2)
Mengistirahatkan bagian yang sakit; (3) Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi dan
memberikan pengobatan antibiotik atau kemoterapi yang efektif; (4) Mengeluarkan pus apabila
terdeteksi; (5) Menstabilkan tulang jika sudah retak; (6) Memberantas jaringan yang avaskular
dan nekrotik; (7) Mengembalikan kontinuitas jika ada celah pada tulang; (8) Menjaga jaringan
lunak dan menutup kulit. Infeksi akut jika diobati dini dengan antibiotik yang efektif bisa
disembuhkan serta bila ada pus dan nekrosis pada tulang, drainase harus segera dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tortorra GJ, Derrickson B. Principle of Anatomy and Physiology. 13th edition. USA:
John Willey & Sons, Inc.;2012.
2. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys System pf Orthopaedics and Fractures.
9th edition. Bristol:Hodder Arnold;2010.
3. Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen MM, Ricci WM, Tornetta III P. Rockwood
and Greens Fracture in Adults. 8th edition.USA:wolters Kluwer;2015.
4. Hatzenbuehler J., et al. Daignosis and Management of Osteomyelitis. Am Fam
Physician. 2011;84(9):1027-1033
5. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. The lancet. 2004; 364:369-79
6. Gomes D, Pereira M, Bettencourt AF. Osteomyelitis : an overview of antimicrobial
therapy. Brazilian J of Pharm Sci. 2013.
7. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: A review. J Spinal Cord Med. 2011 Sep;
34(5):44054.
8. Rasouli MR, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Rahimi-Movaghar V. Spinal
Tuberculosis: Diagnosis and Management. Asian Spine J. 2012;6(4):294.
9. World Health Organization. HIV/TB Facts 2011 [assessed on 2011 Jun 11].
http://www.who.int/hiv/topics/tb/hiv_tb
10. World Health Organization. 2010/2011 tuberculosis global facts. Facts sheet no 104,
2010 Nov [accessed on 2011 Apr 16]. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/.
11. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, et al. A new classi cation and guide for surgical
treatment of spinal tuberculosis. Int Orthop 2008;32:127-33.
12. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the diagnosis
and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2013;82(963):4651
13. Azzam NI, Tammawy M. Tuberculous spondylitis in adults: diagnosis and
treatment. Br J Neurosurg 2008;2(1):8591
14. Griffith JF, Kumta SM, Leung PC, Cheng JC, Chow LT, Metreweli C. Imaging of
musculoskeletal tuberculosis: a new look at an old disease. Clin Orthop Relat
Res2008;398(May):329
15. Turunc T, Demiroglu YZ, Uncu H, Colakoglu S, Arslan H. A comparative analysis of
tuberculous, brucellar and pyogenic spontaneous spondylodiscitis patients. J
Infect2007;55(2):15863
16. Skaf GS, Kanafani ZA, Araj GF, Kanj SS. Non-pyogenic infections of the spine. Int J
Antimicrob Agents 2010;36(2):99105
17. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines. 4th ed.
(WHO/HTM/TB/2009.420) World Health Organization; 2013

Anda mungkin juga menyukai