TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Diare
Diare adalah perubahan pada konsistensi dan atau frekuensi defekasi dengan
maupun tanpa lendir atau darah. Perubahan yang dimaksud adalah konsistensi
cair atau setengah cair dan peningkatan kandungan air dalam feses yang lebih
banyak dari normal, yaitu lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam pada orang
dewasa atau lebih dari 10 g/kgBB/24 jam pada anak. Sedangkan yang dimaksud
dengan perubahan frekuensi adalah keluarnya tinja lunak atau cair lebih atau
sama dengan 3x/hari (Sudoyo dkk., 2010).
Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. Diare persisten
adalah diare akut karena infeksi usus yang karena suatu sebab berlangsung
lebih atau sama dengan 14 hari yang biasa dihubungkan dengan penyakit dasar
atau keadaan lain, sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari, hilang timbul, yang biasa di hubungkan dengan infeksi (Sudoyo
dkk., 2010).
B. Epidemiologi
Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara
berkembang. Pada tahun 2003 diperkirakan 1,87 juta balita meninggal karena
7
diare. Hal ini menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab
kematian.Delapan dari sepuluh kematian akibat diare terjadi pada dua tahun
pertama kehidupan (Depkes RI, 2005).
C. Etiopatogenesis
Penyebab diare dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Infeksi
- Enteral
Diare dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, maupun
jamur.Patogen penyebab diare dapat dirinci seperti pada Tabel 2.1.
(Sudoyo dkk., 2010).
Tabel 2.1.Patogen yang paling sering ditemukan pada anak diare di negara berkembang
(Edi S, 1999; Depkes RI, 1999; Sudoyo dkk., 2010).
Jenis pathogen Spesies pathogen Persentase kasus
Virus Rotavirus 15-25
Bakteri Eschericia coli enterotoksigenik 10-20
Shigella 5-15
Campylobacter jedesember 10-15
Vibrio cholera 5-10
Salmonella (non-typi) 1-5
Escherichia coli enteropatogenik 1-5
Protozoa Cryptosporidium 5-15
Tidak terdapat 20-30
pathogen
- Parenteral
8
Diare dapat disebabkan oleh kuman penyebab otitis media akut,
pneumonia, travelers diarrhea, maupun intoksikasi kuman.Makanan
intoksikasi yang dimaksud dapat berupa makanan yang mengandung
toksin Clostridium perfringens, Bacillus cereu, ataupun beberapa logam
berat. Diare dapat juga disebabkan oleh intoleransi laktosa, malabsobsi
(Sudoyo dkk., 2010).
b. Imunodefisiensi
kondisi imunodefisiensi berupa hipogammaglobulinemia dan defisiensi Ig A
dapat menyebabkan diare (Sudoyo dkk., 2010).
d. Lain-lain
Kondisi lain dapat juga menyebabkan diare, seperti neuropati anatomik serta
faktor psikologis (Sudoyo dkk., 2010).
9
dilaporkan ke kabupaten atau kota melalui laporan bulanan dan STP tiap
bulan (Kemenkes, 2014).
b) Laporan KLB/Wabah
Setiap terjadi KLB/Wabah harus dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus meliputi
(Kemenkes, 2014):
- Kronologi terjadinya KLB
- Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
- Keadaan umum penderita
- Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
- Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut
10
Gejala dan tanda klinis diare dapat ditentukan melalui karakteristik diare
meliputi konsistensi, warna, volume, dan frekuensi buang air besar.Hal ini
menjadi petunjuk berharga dalam menentukan sumber terjadinya
diare.Hubungan antara karakteristik tinja dengan asal gangguan sumber diare
tercantum pada Tabel 2.2. (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
Parasit : Parasit :
Giardia sp Entamoeba organisme
Cryptosporidium sp
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk diare yang berlangsung lebih dari beberapa hari atau diare dengan
dehidrasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti di bawah ini:
11
a. Pemeriksaan darah tepi: kadar hemoglobin, hematokrit, hitung leukosit,
hitung differensial leukosit. Penting untuk mengetahui berat ringannya
hemokosentrasi darah, dan respons leukosit, contohnya pada diare karena
Salmonella dapat terjadi neutropenia. Pada diare karena kuman yang
bersifat invasif dapat terjadi shift to left.
b. Elektrolit darah, pemeriksaan ini diperlukan untuk mengobservasi dampak
diare terhadap kadar elektrolit darah.
c. Ureum dan kreatinin, diperlukan untuk memonitor adanya gagal ginjal akut.
d. Pemeriksaan tinja untuk mencari etiologi diare. Pada infeksi bakteri,
ditemukan leukosit pada tinja dapat pula dilakukan pengukuran toksin
Clostridium difficile pada pasien yang telah mendapatkan terapi antibiotik
dalam jangka waktu tiga bulan terakhir. Pada infeksi parasit dapat
ditemukan telur cacing maupun parasit dewasa. Tinja dengan pH kurang
dari sama dengan 5,5 menunjukan adanya intoleransi karbohidrat yang
umumnya terjadi sekunder akibat infeksi virus. Pada infeksi oleh organisme
enteroinvasif, leukosit feses yang ditemukan umumnya berupa neutrofil.
Tidak ditemukannya neutrofil tidak mengeliminasi kemungkinan infeksi
organisme enterotoksin dan virus.
e. Apabila ditemukan leukosit pada feses, lakukan kultur feses untuk
menentukan apakah penyebab diare adalah Salmonella, Shigella,
Campilobakter, atau Yersenia.
f. Pemeriksaan serologi untuk mencari amuba.
g. Foto rontgen abdomen untuk melihat morfologi usus yang dapat membantu
diagnosis.
h. Rectoscopi, sigmoideoscopi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
diare berdarah atau diare akut persisten. Pada pasien AIDS, kolonoskopi
dipertimbangkan karena ada kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi
atau limfoma diarea kolon kanan. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan bila
dalam pemeriksaan tampak inflamasi berat pada mukosa.
i. Biopsi usus.dilakukan pada diare kronis, atau untuk mencari etiologi diare
pada AIDS (Sudoyo dkk., 2010)
H. Tatalaksana
12
a. Tatalaksana Diare Secara Umum
Pada umumnya diare merupakan penyakit swasirna sehingga dibutuhkan
terapi suportif yang dibagi menjadi: tatalaksana penderita diare di rumah,
tatalaksana di sarana pelayanan kesehatan dan tatalaksana lanjut (Sudoyo
dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
13
penggunaannya harus mempertimbangkan risk and benefit secara matang,
karena seringkali mempengaruhi lama dan perjalanan penyakit (Setia, 2006;
Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
14
metronidazol 250 mg 3 x sehari selama 7 hari (Setia, 2006; Sudoyo dkk.,
2010; Depkes RI, 2011).
Patogen spesifik yang harus diterapi dengan antibiotik adalah vibrio colera
dan klostridium dificile.Untuk mengobati klostridium dificilediberikan
metronidazol per oral 250-500 mg 4 x sehari selama 7 sampai 10 hari.
Sebagai alternatif dapat diberikan vancomicin, tetapi lebih mahal (Sudoyo
dkk., 2010; Depkes RI, 2011)
Tabel 2.3. Penentuan derajat dehidrasi berdasarkan gejala dan tanda klinis
(Sudoyo dkk., 2010)
Klasifikasi Gejala atau tanda
Dehidrasi berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
Letargi / tidak sadar
Sunken eyes
Sunken eyes
Terlihat kehausan
15
Pada rencana terapi A, pemberian oralit hanya setiap setelah pasien
buang air besar saja. Banyaknya pemberian cairan setiap buang air besar
dapat di lihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4. Rencana terapi A untuk diare tanpa dehidrasi(Sudoyo dkk., 2010).
Usia Jumlah cairan yang diberikan setiap buang air besar
< 1 tahun 50-100 ml
1-5 tahun 100-200 ml
>5 tahun 200-300 ml
Dewasa 300-400 ml
Pada rencana terapi B, jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama
disesuaikan dengan berat badan. Oralit yang diberikan dihitung dengan
mengalikan berat badan pasien (kg) dengan 75 ml. Bila berat badan tidak
diketahui dan atau memudahkan penggunaan di lapangan, volume
pemberian oralit dapat dilihat pada Tabel 2.5. (Sudoyo dkk., 2010; Depkes
RI, 2011).
Tabel 2.5. Rencana terapi B untuk penderita diare ringan dan diare sedang
(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011)
Usia Jumlah oralit
< 1 tahun 300 ml
1-5 tahun 600 ml
>5 tahun 1200 ml
Dewasa 2400 ml
Pada rencana terapi C, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan bagaimana cairan akan diberikan, yaitu melalui jalur oral atau
dengan intravena jalur pilihan pada pasien dengan dehidrasi berat
sebenarnya adalah jalur intravena, karena membutuhkan waktu rehidrasi
yang cepat. Cairan yang paling baik adalah RL, jika tidak ada, maka dapat
digantikan dengan NaCl 0,9% (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
16
Bila pasien tidak bisa diberikan cairan intravena, segera berikan peroral
dengan pipa nasogastrik sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Jumlah
dan lama cairan yang diberikan pada pasien dengan dehidrasi berat dapat
dilihat pada tabel 2.6.(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
Tabel 2.6. Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat
(Depkes RI, 2011)
Umur Pemberian 30 ml/kgBB Pemberian 70 ml/kg BB
dalam dalam
Bayi < 12 bulan 1 jam 5 jam
Anak >12 tahun 1 jam 3 jam
Cairan rehidrasi oral yang tersedia di pasaran dalam bentuk oralit yang
dikemas dalam bentuk serbuk. Terdapat 2 jenis kemasan serbuk oralit, satu
larutan yang diencerkan dengan larutan 200 cc, dan satu lagi dengan 1 liter.
Jika tidak tersedia oralit dapat diberikan cairan rumah tangga berupa air
tajin, sup, dan larutan gula dan garam (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI,
2011).
Tabel 2.7. Komposisi cairan rehidrasi oral WHO 2006 (Depkes RI, 2011)
Kandungan Gram/liter % Kandungan Liter
Sodium klorida 2,6 12,683 sodium 75
17
Glukosa 13,5 65,854 Klorida 65
Potasium klorida 1,5 7,317 Glukosa 75
Trisodium sitrat dihidrat 2,9 14,146 Potassium 20
Sitrat 10
Total 20,5 100,00 Osmolaritas total 245
18
b. Pencegahan penyakit
i. Meningkatkan pemberian ASI
ii. Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI
iii. Menggunakan air bersih yang cukup
iv. Mencuci tangan dengan sabun
v. Menggunakan jamban dan membuang tinja bayi dengan benar
vi. Imunisasi campak
19
masyarakat tentang kesehatan perorangan, lingkungan dan air, mendeteksi
dini kasus diare, melarutkan oralit dan memberikannya, mengobati
penderita diare dan melakukan rujukan.
Pada program P2D, terdapat kebijakan mutu bertujuan untuk memberikan arah
dalam penanggulangan diare di wilayah kerja puskesmas. Terdapat beberapa
target yang harus dicapai atau sasaran mutu seperti di bawah ini:(Depkes RI,
1999)
1. 100% Puskesmas melaporkan kasus diare tepat waktu
2. Angka kematian 0%
3. KLB diare 0%
4. 100% masyarakat terlayani air bersih
5. 100% Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan mampu melakukan rehidrasi
intravena
6. Angka kesakitan <1% (50/1000 penduduk tahun 2005)
7. 100% kader terlatih tentang penanganan penderita diare
8. 100% penderita diare tertangani
9. 100% oralit tersedia di kader miminal 10 sachet/200ml
10. 100% medis dan paramedis melakukan tatalaksana diare (MTBS)
11. 100% ketepatan diagnosis
12. 100% cakupan imunisasi campak
13. 100% puskesmas memiliki protab tatalaksana diare
14. 100% penderita diare diobati dan menerima oralit
15. 100% PDAM bebas kuman
16. 100% Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan memiliki pojok oralit
17. 100% Puskesmas Kecamatan memiliki klinik sanitas
18. 100% masyarakat menggunakan jamban pada daerah kumuh
20
anggaran APBN, APBD tingkat I dan II, BLN, LSM, dan swadana masyarakat
(Depkes RI, 1999).
21