Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diare
Diare adalah perubahan pada konsistensi dan atau frekuensi defekasi dengan
maupun tanpa lendir atau darah. Perubahan yang dimaksud adalah konsistensi
cair atau setengah cair dan peningkatan kandungan air dalam feses yang lebih
banyak dari normal, yaitu lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam pada orang
dewasa atau lebih dari 10 g/kgBB/24 jam pada anak. Sedangkan yang dimaksud
dengan perubahan frekuensi adalah keluarnya tinja lunak atau cair lebih atau
sama dengan 3x/hari (Sudoyo dkk., 2010).

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan lama waktu diare, mekanisme


patofisiologi, berat ringannya diare, dan penyebabnya. Berdasarkan lama
waktu, diare dibedakan sebagai diare akut, persisten dan kronis. Menurut WHO
diare akut dibedakan dari diare persisten dan diare kronis berdasarkan lama
berlangsungnya gejala (Sudoyo dkk., 2010).

Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. Diare persisten
adalah diare akut karena infeksi usus yang karena suatu sebab berlangsung
lebih atau sama dengan 14 hari yang biasa dihubungkan dengan penyakit dasar
atau keadaan lain, sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari, hilang timbul, yang biasa di hubungkan dengan infeksi (Sudoyo
dkk., 2010).

B. Epidemiologi
Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara
berkembang. Pada tahun 2003 diperkirakan 1,87 juta balita meninggal karena
7
diare. Hal ini menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab
kematian.Delapan dari sepuluh kematian akibat diare terjadi pada dua tahun
pertama kehidupan (Depkes RI, 2005).

Di negara berkembang anak berusia di bawah 3 tahun umumnya mengalami 3


episodik diare setiap tahunnya.Angka kejadian diare di Indonesia hingga saat
ini masih tinggi yaitu 423 per 1000 penduduk untuk semua umur, yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
pada tahun 2004 menunjukkan angka kematian akibat diare adalah 23 per 100
ribu penduduk dan balita sebesar 75 per 100 ribu balita (Depkes RI, 2005).

C. Etiopatogenesis
Penyebab diare dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Infeksi
- Enteral
Diare dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, maupun
jamur.Patogen penyebab diare dapat dirinci seperti pada Tabel 2.1.
(Sudoyo dkk., 2010).

Tabel 2.1.Patogen yang paling sering ditemukan pada anak diare di negara berkembang
(Edi S, 1999; Depkes RI, 1999; Sudoyo dkk., 2010).
Jenis pathogen Spesies pathogen Persentase kasus
Virus Rotavirus 15-25
Bakteri Eschericia coli enterotoksigenik 10-20
Shigella 5-15
Campylobacter jedesember 10-15
Vibrio cholera 5-10
Salmonella (non-typi) 1-5
Escherichia coli enteropatogenik 1-5
Protozoa Cryptosporidium 5-15
Tidak terdapat 20-30
pathogen

- Parenteral

8
Diare dapat disebabkan oleh kuman penyebab otitis media akut,
pneumonia, travelers diarrhea, maupun intoksikasi kuman.Makanan
intoksikasi yang dimaksud dapat berupa makanan yang mengandung
toksin Clostridium perfringens, Bacillus cereu, ataupun beberapa logam
berat. Diare dapat juga disebabkan oleh intoleransi laktosa, malabsobsi
(Sudoyo dkk., 2010).

b. Imunodefisiensi
kondisi imunodefisiensi berupa hipogammaglobulinemia dan defisiensi Ig A
dapat menyebabkan diare (Sudoyo dkk., 2010).

c. Terapi obat & Tindakan tertentu


Terdapat beberapa obat yang terbukti dapat menyebabkan diare di antaranya
antibiotik, kemoterapi, antasida. Gastrektomi dan radiasi terapi tinggi dapat
menimbulkan efek samping berupa diare (Sudoyo dkk., 2010).

d. Lain-lain
Kondisi lain dapat juga menyebabkan diare, seperti neuropati anatomik serta
faktor psikologis (Sudoyo dkk., 2010).

D. Cara Pengumpulan Data Penyakit Diare


Ada tiga cara pengumpulan penyakit diare, yaitu melalui laporan rutin, laporan
KLB, dan pengumpulan data melalui studi kasus (Kemenkes, 2014).
a) Laporan Rutin
Dilakukan oleh puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS
(RL), STP, dan rekapitulasi penyakit diare. Oleh karena penyakit diare,
termasuk penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat
laporan mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin perlu
pencatatan setiap hari (register) penderita penyakit diare yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan, posyandu, atau kader. Data register harian
dapat mendeteksi adanya peningkatan jumlah kasus dan tanda-tanda akan
terjadinya KLB sehingga dapat dilaporkan dan dilakukan tindakan
penanggulangan secepatnya. Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas
pencatatan dan pelaporan penyakit diare di puskesmas kemudian

9
dilaporkan ke kabupaten atau kota melalui laporan bulanan dan STP tiap
bulan (Kemenkes, 2014).

Petugas/pengelola penyakit diare kabupaten/kota membuat rekapitulasi


dari masing-masing puskesmas secara rutin dikirim ke propinsi dengan
menggunakan formulir rekapitulasi diare. Dari provinsi direkapitulasi
berdasarkan kabupaten/kota secara rutin bulanan dan dikirim ke pusat
(Direktorat Jenderal PP dan PL cq. Sub Direktorat Pengendalian Diare dan
Infeksi Saluran Pencernaan) dengan menggunakan formulir (Kemenkes,
2014).

b) Laporan KLB/Wabah
Setiap terjadi KLB/Wabah harus dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus meliputi
(Kemenkes, 2014):
- Kronologi terjadinya KLB
- Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
- Keadaan umum penderita
- Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
- Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut

c) Pengumpulan data melalui studi kasus


Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali, misalnya pada
pertengahan atau akhir tahun. Tujuannya adalah untuk mengetahui data
dasar sebelum atau setelah program dilaksanakan dan hasil penilaian
tersebut dapat digunakan untuk perencanaan di tahun yang akan datang
(Kemenker, 2014).

E. Cara penularan diare


Diare dapat ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh tinja
atau cairan muntahan pasien. Kuman yang terdapat pada feses dapat langsung
ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian
dimasukan ke mulut atau dipakai untuk memegang makanan tanpa dicuci
terlebih dahulu. Diare pada bayi disebabkan oleh puting susu ibu yang kotor.
Vektor lalat dapat juga menularkan penyakit diare (Notoatmojo, 2003; Sudoyo
dkk., 2010).

F. Tanda Dan Gejala Klinis Diare

10
Gejala dan tanda klinis diare dapat ditentukan melalui karakteristik diare
meliputi konsistensi, warna, volume, dan frekuensi buang air besar.Hal ini
menjadi petunjuk berharga dalam menentukan sumber terjadinya
diare.Hubungan antara karakteristik tinja dengan asal gangguan sumber diare
tercantum pada Tabel 2.2. (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Tabel 2.2 Hubungan karakteristik tinja dengan sumber diare


(Candra dkk., 2005; Sudoyo dkk., 2010)
Karakter feses Usus halus Usus besar
Keadaan umum Cair Berdarah/ mukoid
Volume Besar Kecil
Darah Biasanya positif tapi tak kasat Biasanya terlihat secara kasat
mata mata
Keasaman < 5,5 > 5,5
Test reduksi Dapat positif Negatif
Sel darah putih < 5 /lapang pandang besar >10/ lapang pandang besar
Normal Dapat leukositosis
Organisme Virus : Bakteri invasif :
Rotavirus E colli
Adenovirus Shigella sp
Calicivirus Salmonella sp
Astrovirus Campylobacter sp
Yersinia sp
Bakteri entero toksik Aeromonas sp
E colli Plesiominas sp
Clostridium perfringens
Cholera sp Bakteri toksik :
Vibrio sp Clostridium difficile

Parasit : Parasit :
Giardia sp Entamoeba organisme
Cryptosporidium sp

G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk diare yang berlangsung lebih dari beberapa hari atau diare dengan
dehidrasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti di bawah ini:

11
a. Pemeriksaan darah tepi: kadar hemoglobin, hematokrit, hitung leukosit,
hitung differensial leukosit. Penting untuk mengetahui berat ringannya
hemokosentrasi darah, dan respons leukosit, contohnya pada diare karena
Salmonella dapat terjadi neutropenia. Pada diare karena kuman yang
bersifat invasif dapat terjadi shift to left.
b. Elektrolit darah, pemeriksaan ini diperlukan untuk mengobservasi dampak
diare terhadap kadar elektrolit darah.
c. Ureum dan kreatinin, diperlukan untuk memonitor adanya gagal ginjal akut.
d. Pemeriksaan tinja untuk mencari etiologi diare. Pada infeksi bakteri,
ditemukan leukosit pada tinja dapat pula dilakukan pengukuran toksin
Clostridium difficile pada pasien yang telah mendapatkan terapi antibiotik
dalam jangka waktu tiga bulan terakhir. Pada infeksi parasit dapat
ditemukan telur cacing maupun parasit dewasa. Tinja dengan pH kurang
dari sama dengan 5,5 menunjukan adanya intoleransi karbohidrat yang
umumnya terjadi sekunder akibat infeksi virus. Pada infeksi oleh organisme
enteroinvasif, leukosit feses yang ditemukan umumnya berupa neutrofil.
Tidak ditemukannya neutrofil tidak mengeliminasi kemungkinan infeksi
organisme enterotoksin dan virus.
e. Apabila ditemukan leukosit pada feses, lakukan kultur feses untuk
menentukan apakah penyebab diare adalah Salmonella, Shigella,
Campilobakter, atau Yersenia.
f. Pemeriksaan serologi untuk mencari amuba.
g. Foto rontgen abdomen untuk melihat morfologi usus yang dapat membantu
diagnosis.
h. Rectoscopi, sigmoideoscopi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
diare berdarah atau diare akut persisten. Pada pasien AIDS, kolonoskopi
dipertimbangkan karena ada kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi
atau limfoma diarea kolon kanan. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan bila
dalam pemeriksaan tampak inflamasi berat pada mukosa.
i. Biopsi usus.dilakukan pada diare kronis, atau untuk mencari etiologi diare
pada AIDS (Sudoyo dkk., 2010)

H. Tatalaksana
12
a. Tatalaksana Diare Secara Umum
Pada umumnya diare merupakan penyakit swasirna sehingga dibutuhkan
terapi suportif yang dibagi menjadi: tatalaksana penderita diare di rumah,
tatalaksana di sarana pelayanan kesehatan dan tatalaksana lanjut (Sudoyo
dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Tatalaksana penderita diare di rumah antara lain:


a. Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, tajin,
larutan garam, dan bila ada berikan oralit
b. Melanjutkan pemberian makanan lunak yang tidak merangsang selama
diare serta makanan ekstra sesudah diare.
c. Segera membawa pasien ke puskesmas atau sarana kesehatan lain, bila
diare tidak membaik dalam tiga hari atau terdapat salah satu dari tanda
berikut:
- Buang air besar encer semakin sering dalam jumlah banyak.
- Ada muntah yang berulang
- Rasa haus yang nyata
- Tidak makan atau minum
- Demam yang tinggi
- Ada darah dalam tinja(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Sedangkan tatalaksana di sarana pelayanan kesehatan meliputi :


a. Rehidrasi oral dengan oralit
b. Memberikan cairan intravena dengan cairan RL untuk pasien dengan
dehidrasi berat atau tidak dapat minum
c. Penggunaan obat secara rasional
d. Nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan, dan
pencegahan(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Pemberian rehidrasi dilakukan secara oral dengan pemberian oralit dan


parenteral dengan cairan laktat.Pemberian obat yang rasional pada penderita
diare meliputi pengobatan simptomatik dan kausal. Pengobatan simptomatik
yang biasa di berikan adalah antidiare, antiemetik, dan antipiretik

13
penggunaannya harus mempertimbangkan risk and benefit secara matang,
karena seringkali mempengaruhi lama dan perjalanan penyakit (Setia, 2006;
Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Obat simptomatik antidiare yang masih dianjurkan pada orang dewasa


adalah derivate opioid berupa loperamid, divenoksilat-antropin, dan tingtur
atropine.Loperamid dipilih karena tidak menyebabkan adiksi dan efek
samping minimal.Dimudsubsalisilat juga dapat digunakan, namun pada
pasien AIDS dapat menyebabkan enselopati dismud. Pemberian obat
antidiare pada pasien demam harus berhati-hati, karena bila tidak diikuti
pemberian antimikroba, maka akan memperlama penyembuhan penyakit
(Sudoyo dkk., 2010).

Selain derivat opioid, obat yang mengeraskan konsistensi tinja, seperti


atapulgit, dapat diberikan empat kali per hari, masing-masing dua
tablet.Smectite diberikan tiga kali sehari, masing-masing satu sachet setiap
pasien diare sampai diare berhenti. Golongan obat lain yang dapat dipilih
adalah antisekretorik berupa hidrasec tiga kali sehari, masing-masing
(Sudoyo dkk., 2010).

Pengobatan kausal dapat diberikan dengan pertimbangan 50-70% diare di


Indonesia diakibatkan oleh infeksi.Pemeriksaan leukosit tinja secara praktis
dapat digunakan untuk melihat kemungkinan infeksi enteral sebagai
penyebab diare. Jika pemeriksaan leukosit tinja menunjukan jumlah leukosit
> 10/LPB, dapat dianggap penyebab diare adalah infeksi enteral dan dapat
diberikan terapi antibiotika (Sudoyo dkk., 2010; Depkes Ri, 2011).

Antibiotik yang dipilih adalah siproploksasin karena sangat efektif


mengatasi infeksi campilobakter, shigella, salmonella, yersinia, dan
aeromonas.Siproploksasin 500 mg diberikan 2 x sehari selama 5 sampai 7
hari.Sebagai aternatif dapat diberikan kontrimoksazol (trimetoprim 160 mg
dan sulfametoksazol 800 mg) 2 x sehari. Dapat pula diberikan eritromisin
250-500 mg 4 x sehari sedangkan bila curiga infeksi giardia maka diberikan

14
metronidazol 250 mg 3 x sehari selama 7 hari (Setia, 2006; Sudoyo dkk.,
2010; Depkes RI, 2011).

Patogen spesifik yang harus diterapi dengan antibiotik adalah vibrio colera
dan klostridium dificile.Untuk mengobati klostridium dificilediberikan
metronidazol per oral 250-500 mg 4 x sehari selama 7 sampai 10 hari.
Sebagai alternatif dapat diberikan vancomicin, tetapi lebih mahal (Sudoyo
dkk., 2010; Depkes RI, 2011)

b. Tatalaksana Rehidrasi pada Diare


Langkah-langkah terapi rehidrasi adalah sebagai berikut:
1. Tetapkan derajat dehidrasi penderita (lihat Tabel 2.3)
2. Tetapkan rencana pengobatan sesuai derajat dehidrasi penderita:
i. Rencana terapi A untuk pasien tanpa dehidrasi
ii. Rencana terapi B untuk pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang
iii. Rencana terari C untuk pasien dengan dehidrasi berat (Sudoyo dkk.,
2010; Depkes RI, 2011).

Tabel 2.3. Penentuan derajat dehidrasi berdasarkan gejala dan tanda klinis
(Sudoyo dkk., 2010)
Klasifikasi Gejala atau tanda
Dehidrasi berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
Letargi / tidak sadar

Sunken eyes

Tidak dapat minum atau sulit minum

Skin pinch sangat lambat kembali (> 2detik)


Dehidrasi sedang Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
Rewel

Sunken eyes

Terlihat kehausan

Skin pinch lambat kembali


Dehidrasi ringan Tidak cukup tanda-tanda untuk mengklasifikasikannya sebagai
dehidrasi sedang atau berat

15
Pada rencana terapi A, pemberian oralit hanya setiap setelah pasien
buang air besar saja. Banyaknya pemberian cairan setiap buang air besar
dapat di lihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4. Rencana terapi A untuk diare tanpa dehidrasi(Sudoyo dkk., 2010).
Usia Jumlah cairan yang diberikan setiap buang air besar
< 1 tahun 50-100 ml
1-5 tahun 100-200 ml
>5 tahun 200-300 ml
Dewasa 300-400 ml

Pada rencana terapi B, jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama
disesuaikan dengan berat badan. Oralit yang diberikan dihitung dengan
mengalikan berat badan pasien (kg) dengan 75 ml. Bila berat badan tidak
diketahui dan atau memudahkan penggunaan di lapangan, volume
pemberian oralit dapat dilihat pada Tabel 2.5. (Sudoyo dkk., 2010; Depkes
RI, 2011).

Tabel 2.5. Rencana terapi B untuk penderita diare ringan dan diare sedang
(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011)
Usia Jumlah oralit
< 1 tahun 300 ml
1-5 tahun 600 ml
>5 tahun 1200 ml
Dewasa 2400 ml

Pada rencana terapi C, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan bagaimana cairan akan diberikan, yaitu melalui jalur oral atau
dengan intravena jalur pilihan pada pasien dengan dehidrasi berat
sebenarnya adalah jalur intravena, karena membutuhkan waktu rehidrasi
yang cepat. Cairan yang paling baik adalah RL, jika tidak ada, maka dapat
digantikan dengan NaCl 0,9% (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).
16
Bila pasien tidak bisa diberikan cairan intravena, segera berikan peroral
dengan pipa nasogastrik sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Jumlah
dan lama cairan yang diberikan pada pasien dengan dehidrasi berat dapat
dilihat pada tabel 2.6.(Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI, 2011).

Tabel 2.6. Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat
(Depkes RI, 2011)
Umur Pemberian 30 ml/kgBB Pemberian 70 ml/kg BB
dalam dalam
Bayi < 12 bulan 1 jam 5 jam
Anak >12 tahun 1 jam 3 jam

Jika pasien dapat minum, berikan cairan rehidrasi oral sebanyak 5


ml/kgBB/jam sambil tetap diberikan cairan intravena selama 3-4 jam.
Setelah 6 jam pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan sebanyak 20
ml/kgBB/jam selama 6 jam, setelah itu lakukan penilaian ulang derajat
dehidrasi (Depkes RI, 2011).

Cairan rehidrasi oral yang tersedia di pasaran dalam bentuk oralit yang
dikemas dalam bentuk serbuk. Terdapat 2 jenis kemasan serbuk oralit, satu
larutan yang diencerkan dengan larutan 200 cc, dan satu lagi dengan 1 liter.
Jika tidak tersedia oralit dapat diberikan cairan rumah tangga berupa air
tajin, sup, dan larutan gula dan garam (Sudoyo dkk., 2010; Depkes RI,
2011).

WHO (2006) mengeluarkan cairan rehidrasi oral terbaru yang komposisinya


berbeda dengan oralit, cairan rehidrasi oral ini memiliki kandungan glukosa
dan garam yang lebih rendah dari oralit biasa. Gabungan antara cairan
rehidrasi oral baru ini dan suplemantasi zinc yang adekuat terbukti
menurunkan mortalitas bayi akibat diare (Depkes RI, 2011).

Tabel 2.7. Komposisi cairan rehidrasi oral WHO 2006 (Depkes RI, 2011)
Kandungan Gram/liter % Kandungan Liter
Sodium klorida 2,6 12,683 sodium 75

17
Glukosa 13,5 65,854 Klorida 65
Potasium klorida 1,5 7,317 Glukosa 75
Trisodium sitrat dihidrat 2,9 14,146 Potassium 20
Sitrat 10
Total 20,5 100,00 Osmolaritas total 245

I. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare di Puskesmas


Program pencegahan dan pemberantasan penyakit diare (P2Diare) adalah salah
satu usaha pokok di puskesmas.Secara umum program P2D meliputi penemuan
kasus dini, diagnosis, pengobatan, surveilans, penyediaan air bersih, distribusi
logistik, komunikasi informasi dan edukasi dan laboratorium (Depkes RI, 1999;
Depkes RI, 2011).

Program P2D ini dilaksanakan untuk menurunkan angka kesakitan dan


kematian serta penanggulangan KLB yang dilaksanakan dengan
mengintensifkan peningkatan mutu pelayanan, meningkatkan kerja sama lintas
program dan lintas sektoral terkait serta meningkatkan partisipasi masyarakat
secara luas anatara lain melalui organisasi profesi dan LSM di pusat maupun
daerah (Depkes RI, 1999).

Kegiatan-kegiatan dalam program P2D adalah sebagai berikut:


1. Pendekatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan keterampilan
masyarakat mengenai penganggulangan penyakit diare sehingga angka
kemartian dan kesakitan karena diare dapat dicegah. Sasaran utama KIE
adalah masyarakat
a. Tatalaksana pasien diare di rumah
i. Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, air
tajin, larutan gula garam atau oralit terutama untuk dehidrasi.
ii. Melanjutkan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang
serta makanan ekstra sesudah diare
iii. Membawa pasien diare ke sarana kesehatan, bila dalam tiga hari tidak
membaik, atau terdapat tanda berikut: BAB cair berkali-kali, muntah
berulang-ulang, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit,
demam, tinja berdarah.

18
b. Pencegahan penyakit
i. Meningkatkan pemberian ASI
ii. Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI
iii. Menggunakan air bersih yang cukup
iv. Mencuci tangan dengan sabun
v. Menggunakan jamban dan membuang tinja bayi dengan benar
vi. Imunisasi campak

2. Tatalaksana diare di sarana kesehatan


a. Rehidrasi oral dengan oralit
b. Pemberian cairan intravena dengan RL untuk pasien dengan dehidrasi
berat dan tidak dapat minum
c. Penggunaan antibiotika secara rasional
d. Nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan dan
pencegahan
3. Penanggulangan KLB
a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan sistem kewaspadaan dini (SKD)
b. Penemuan kasus secara aktif
c. Pembentukan pusat rehidrasi dan Tim Gerak Cepat (TGC)
d. Penyediaan logistik saat KLB
e. Penyelidikan terjadinya KLB
f. Pemutusan rantai penularan penyebab KLB

4. Pancatatan dan pelaporan


Pencatatan dan pelaporan dilakukan berdasarkan golongan umur dan
dilakukan berjenjang dalam kurun waktu harian, bulanan, triwulan,
semesteran dan tahunan.Tujuannya adalah untuk mencatat, menilai, dan
melaporkan hasil kegiatan penangulangan diare yang telah dilakukan serta
sebagai acuan dalam penyusunan rencana kegiatan tahun berikutnya.

5. Peran serta masyarakat


Peran serta masyarakat dilakukan antara lain melalui pelatihan kader tentang
pemberantasan diare, hingga kader mampu melakukan penyuluhan kepada

19
masyarakat tentang kesehatan perorangan, lingkungan dan air, mendeteksi
dini kasus diare, melarutkan oralit dan memberikannya, mengobati
penderita diare dan melakukan rujukan.

Pada program P2D, terdapat kebijakan mutu bertujuan untuk memberikan arah
dalam penanggulangan diare di wilayah kerja puskesmas. Terdapat beberapa
target yang harus dicapai atau sasaran mutu seperti di bawah ini:(Depkes RI,
1999)
1. 100% Puskesmas melaporkan kasus diare tepat waktu
2. Angka kematian 0%
3. KLB diare 0%
4. 100% masyarakat terlayani air bersih
5. 100% Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan mampu melakukan rehidrasi
intravena
6. Angka kesakitan <1% (50/1000 penduduk tahun 2005)
7. 100% kader terlatih tentang penanganan penderita diare
8. 100% penderita diare tertangani
9. 100% oralit tersedia di kader miminal 10 sachet/200ml
10. 100% medis dan paramedis melakukan tatalaksana diare (MTBS)
11. 100% ketepatan diagnosis
12. 100% cakupan imunisasi campak
13. 100% puskesmas memiliki protab tatalaksana diare
14. 100% penderita diare diobati dan menerima oralit
15. 100% PDAM bebas kuman
16. 100% Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan memiliki pojok oralit
17. 100% Puskesmas Kecamatan memiliki klinik sanitas
18. 100% masyarakat menggunakan jamban pada daerah kumuh

Pelaksanaan P2D di Puskesmas kecamatan maupun kelurahan membutuhkan


sumber daya manusia, yaitu dokter umum sebagai pemeriksa dan perawat
sebagai wasor program dan petugas perawatan kesehatan masyarakat, dan
analis sebagai pemeriksa laboratorium. Pembiayaan P2D bersumber dari

20
anggaran APBN, APBD tingkat I dan II, BLN, LSM, dan swadana masyarakat
(Depkes RI, 1999).

J. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi


Data yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditampilkan dalam bentuk tabel atau
grafik, kemudian dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan
berjenjang dari puskesmas hingga pusat sehingga apabila terdapat
permasalahan segera dapat diketahui dan diambil pemecahannya (Kemenkes,
2014).

K. Penyebarluasan Hasil Interpretasi


Hasil analisis dan interpretasi data yang telah dikumpulkan, diumpanbalikkan
kepada pihak yang berkepentingan, yaitu pada pimpinan di daerah untuk
mendapatkan tanggapan dan dukungan (Kemenkes, 2014).

21

Anda mungkin juga menyukai