Anda di halaman 1dari 14

KETAHANAN PANGAN

Makan dan cukup makan adalah hak dasar setiap orang. Kelaparan mengenaskan bagi yang
merasakannya, aib bagi masyarakat sekitarnya, dan jika massal serta terjadi di tengah
kemakmuran maka merupakan cacat peradaban. Namun ironisnya sampai saat ini masih
sangat banyak penduduk yang menderita kelaparan. September 2009 ini sekitar 14.98 persen
penduduk dunia kekurangan pangan (undernourishment). Dalam persen, angka kematian
akibat kelaparan memang hanya sekitar 0.7; namun itu berarti lebih dari 7.169.800 orang
karena jumlah penduduk dunia adalah sekitar 6.792 milyar. Jadi, per hari rata-rata lebih dari
13.350 orang mati akibat kelaparan.
Perubahan iklim dan krisis finansial global yang kini terjadi mengakibatkan masa depan
ketahanan pangan global menjadi lebih rawan. Terkait dengan itu setiap negara dituntut untuk
memantapkan ketahanan pangannya. Indonesia sebagai Negara agraris dan pernah mencapai
swasembada pangan, diharapkan dapat mencapi dan memantapkan ketahanan pangan bagi
penduduknya.

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa,
bahkan di beberapa negara berkembang krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintah yang
sedang berkuasa. Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya
dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanaan atau ketahanan
nasional. Dalam arti, jika dalam suatu negara terjadi kerawanan pangan maka kestabilan
ekonomi, politik, dan sosial akan terguncang.

Pengertian Ketahanan Pangan


Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai :
kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian
mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang
cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga
untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.

Pada tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk
menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman;
dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya
lokal.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan
pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas,
keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi
yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang
terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan
pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan
kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan
antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari
rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari
rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk
tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta
jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003)

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang
mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi
ketahanan pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;


2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke
tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. kualitas/keamanan pangan
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan
prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat
Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus
bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah.

Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia
meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya
dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa
kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah
diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah cirri sebuah Negara yang belum mandiri
dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008)
Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini
dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa
menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya. Di Indonesia, sektor pangan merupakan
sektor penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang bekerja on-
farm untuk yang berada di daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak
juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi. Memperhatikan hal
tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu
langkah strategis untuk untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya
mewujudkan kemandirian pangan. Secara konsepsional, kemandirian adalah suatu kondisi
tidak terdapat ketergantungan pada siapapun dan tidak ada satu pihakpun yang dapat
mendikte atau memerintah dalam hal yang berkaitan dengan pangan.
Kemandirian pangan tidak dapat diwujudkan tanpa adanya peranan dari pemerintah dan
masyarakat. Petani yang merupakan ujung tombak dalam penyediaan pangan secara lokal,
harus mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Jantung dari kemandirian pangan
terletak pada kualitas dan produktivitas pertanian jadi pemerintah harus berpihak dan
mendukung petani secara penuh. Selain itu, kebijakan harga juga dapat mendukung dalam
pemantapan dan terwujudnya kemandirian pangan.

Kebijakan yang lebih tepat dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah dengan
mengubah image masyarakat untuk tidak menjadikan beras sebagai makanan pokok dan
mulai beralih dari beras ke makanan lokal yang lain.

Pemberdayaan Petani dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi
juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya
ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan
strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga
sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya
beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk
memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam
melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat
menentukan prospek ketahanan pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh
berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :

a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali
tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini keterbatasan sumber
daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya)
menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses
petani terhadap pendidikan sangat minim.
b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya
petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi
produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari bagi petani.

c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu


mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling
mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk
atau benih.
d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik.
Petani di Indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya
sebagian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari hasil
produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.

e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Pertanian
di Indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan
sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan
telekomunikasi sangat terbatas.
f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani (bargaining
position) yang sangat lemah .
g. Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.

Tanpa penyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas
kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka
disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai
perhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat
terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah
tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka
ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud.

Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan
pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada
umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja
pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk
mengatasi hal itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian
masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :

Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya


saing. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi
yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam
kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta
memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti. Teknologi
tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan
teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian. Dengan cara tersebut
diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahteraan
petani.

Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana
produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti
informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan
kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para
petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang
menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul
kegairahan dalam mengembangkan usahatani.

Ketiga, Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa
dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal
dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera
masyarakat yang dinamis.
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen
dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan
kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu
diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung,
tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di
pedesaan.

Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan


petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur
terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan
masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.

Diversifikasi dan Ketahanan Pangan


Bagi Indonesia, sumber kerawanan ketahanan pangan terkait dengan faktor-faktor berikut.
Pertama, jumlah penduduk miskin masih cukup banyak dan karena itu aksesnya terhadap
pangan rendah. Kedua, produksi pangan belum cukup untuk membentuk cadangan pangan
yang memenuhi persyaratan status ketahahan pangan yang mantap. Ketiga, konsumsi pangan
pokok sangat terfokus pada beras, diversifikasi ke arah pangan lokal kurang berkembang, dan
perbaikan pola konsumsi ke arah pola pangan harapan berlangsung lambat. Pengembangan
diversifikasi pangan ke arah bahan pangan lokal merupakan salah satu cara yang dipandang
efektif untuk mengatasi sejumlah kerawanan tersebut sekaligus untuk mendukung
terwujudnya ketahanan pangan yang mantap.

Berkembangnya spektrum konsumsi pangan dapat mengurangi konsumsi beras per kapita dan
potensial pula untuk mendukung perkembangan ke arah pola pangan harapan. Pada sisi
produksi, pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal kondusif untuk
mendukung pengembangan sistem usahatani yang selaras dengan prinsip adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim. Melalui sub sistem usahatani dan agroindustri pangan,
pengembangan diversifikasi pangan ke arah bahan pangan lokal dapat berkontribusi besar
dalam peningkatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan kesempatan kerja karena
melibatkan sebagian besar industri rumah tangga, skala kecil, dan menengah. Dengan
diversifikasi pangan, stabilitas system ketahanan pangan menjadi lebih baik dan untuk kasus
seperti di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilar pemantapan ketahanan
pangan.

Strategi kebijakan dan program akselerasi pengembangan diversifikasi pangan bertumpu


pada prinsip bahwa produksi-agroindustri-konsumsi adalah satu sistem utuh yang antar
komponennya sinergis. Berpijak dari pengalaman empiris selama ini, kunci sukses
pengembangan diversifikasi pangan terletak pada komitmen politik serta konsistensi dan
ketuntasan dalam kebijakan dan program.

Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan


Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.22 tahun1999 dan PP No.25 tahun
2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah
diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002 tentang
ketahanan pangan dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-
masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah,
terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua DKP (Dinas Ketahanan Pangan) Provinsi yang
mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan
pangan yang komprehensif serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan
pangan nasional. Program dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan
daerah.
Berkaitan dengan penurunan proporsi rumah tangga rawan pangan dan penurunan prevelensi
gizi buruk yang sekaligus sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan dan kualitas sumber
daya manusia, peranan pemerintah daerah adalah penting. Mengingat proporsi rumah tangga
rawan pangan dan gizi buruk serta potensi di setiap daerah aadalah berbeda maka dalam era
desentralisasi ini upaya penanggulangan kerawanan pangan harus dimulai dari daerah, yang
berarti terwujudnya ketahanan pangan nasional harus dimulai dari daerah, yang berarti
terwujudnya ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan
daerah. Namun demikian, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah namun juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat dalam perwujudan ketahanan pangan dan penanggulangan kerawanan
pangan sangat diharapkan.
Pemantapan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan upaya-upaya, antara lain sebagai
berikut:

1. peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan mengembangkan


komoditas pangan lokal sesuai potensi sumberdaya dan pola konsumsi setempat
2. peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai
dengan kapasitas sumberdaya manusia setempat
3. pembinaan dan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan pada program-
program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
sumberdaya manusia
4. menguatkan jejaring kerja dan komitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan ketahanan pangan
rumah tangga.
5. Dalam jangka panjang, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganan rawan
pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui :
menjaga stabilitas harga pangan
perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan
pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan
peningkatan efektivitas program raskin
penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan
Pengamanan Ketahanan Pangan di Negara Lain
Cina yang berpenduduk lebih dari 1 miliar mengamankan ketahanan pangan negerinya
dengan berinvestasi di sepanjang Afrika Timur dengan pantai lebih dari 2000 km. Cina sangat
cerdas membaca situasi perubahan iklim dan kekurangan lahan dengan ekspansi ke luar
negeri. Negara-negara di kawasan Teluk dan Afrika Utara sudah mulai mengikuti jejak Cina
dalam mengamankan ketahanan pangan mereka. Libya sudah mulai melakukan investasi
ketahanan pangan di luar negeri, terutama gandum, kendati harga gandum dunia cenderung
turun. Staf Ahli Kementerian Pertanian Libya, Ahmed Urhumah menegaskan bahwa Libya
menginvestasikan ketahanan pangan negara tersebut, terutama di negara Arab dan Eropa
Timur. Untuk itu Libya telah melakukan investasi di sebagian negara Afrika, diantaranya
menyewa lahan pertanian seluas 100.000 ha di Mali dan juga menjajaki kesepakatan yang
sama di Sudan, dan tahun telah melakukan investasi di Ukrania dengan menyewa lahan
seluas 100.000 ha.
Arab Saudi dan UAE juga sudah melakukan pengamanan pangan dan mengurangi ekonomi
berbasis impor. Menteri Pertanian Arab Saudi, Fahd Abd.Rahman mengatakan bahwa
sebagian sektor swasta Arab Saudi yang bergerak di bidang pertanian telah menginvestasikan
di Sudan dan Aljazair. Selain itu juga sudah melakukan rencana strategis untuk
mengamankan ketahanan pangannya di negara-negara subur di luar Arab Saudi seperti
Ukrania, Ethiopia, Pakistan, dan Thailand. Arab juga membangun beberapa proyek raksasa
yang masing-masing luasnya lebih dari 100.000 faddan (ha) yang nantinya hasilnya akan
dipasok ke Arab Saudi.

Upaya yang dilakukan Pemerintah


Pemerintah menyiapkan benih jagung (breeder seed) untuk konsumsi sebanyak 1 ton sebagai
langkah konkret ketahanan pangan nasional. Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi
menjelaskan bahwa penyebaran bibit jagung bernama Srikandi Putih sudah mulai dilakukan
di Jawa Tengah sebanyak 250 kg dan 750 kg yang lain akan disebar di Jawa Timur dan
provinsi lain yang dimungkinkan mengkonsumsi makanan pokok selain beras. Penanaman
jagung ini dilakukan dalam rangka mengganti makanan pokok beras menjadi jagung sehingga
beras dapat dikurangi konsumsinya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan diperlukan sinergi dan integrasi sistem
terkait antara ketahanan pangan di Indonesia dan peningkatan jumlah penduduk setelah
dilakukan sensus penduduk 2010. Penduduk Indonesia saat ini 230 juta orang, dan
diperkirakan meningkat sekitar 235 juta hingga 240 juta.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat
melalui program Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan di Lahan Kering, Pengembangan Desa
Mandiri Pangan, Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP),
Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM), Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG), Penanganan Daerah Rawan Pangan
(PDRP), dan Pengembangan Lumbung Pangan. Untuk program Pengembangan Desa Mandiri
Pangan telah dimulai dari tahun 2006 dengan jumlah desa sebanyak 250, tahun 2007
sebanyak 354, tahun 2008 sejumlah 221 desa, dan 349 desa untuk tahun 2009 . jumlah total
sampai awal tahun 2010 adalah 1174 desa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Desa
Mandiri Pangan ini bertujuan untuk memberikan bantuan modal lunak kepada rumah tangga
miskin agar dapat mengembangkan usaha yang bisa menghasilkan uang sehingga kebutuhan
makanan dapat tercukupi. Dengan tercukupinya kebutuhan makanan, ketahanan pangan
daerah tersebut menjadi meningkat.

Masalah dan Tantangan Ketahanan Pangan ke Depan


Secara khusus tantangan pembangunan ketahanan pangan Indonesia ke depan antara lain:
mengembangkan budidaya komoditas di on-farm yang sesuai dengan persyaratan
agroindustri skala besar, memperbaiki infrastruktur transportasi hingga ke sentra produksi,
mengembangkan agroindustri skala kecil di pedesaan yang terintegrasi dalam pengembangan
berskala kawasan, kerja sama antar kawasan untuk menumbuhkan agregat permintaan pasar
dalam skala wilayah, dan mengembangkan agroindustri yang berlokasi di pusat-pusat
pertumbuhan baru.

Dalam cadangan pangan, sifat komoditas pangan bersifat musiman, sementara pendapatan
masyarakat masih sangat rendah, sehingga menuntut perlunya cadangan pangan. Di samping
itu, adanya kondisi iklim yang tidak menentu, menyebabkan sering terjadi pergeseran
penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, timbulnya bencana yang
tidak terduga seperti banjir, longsor, kekeringan, dan gempa, memerlukan sistem percadangan
pangan yang baik. Sampai saat ini, cadangan pemerintah dan masyarakat belum berkembang
dengan baik di daerah.

Potensi pengembangan cadangan pangan di daerah cukup tinggi, seperti: pengembangan


sistem pencadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3
bulan, pengembangan cadangan pangan hidup pada pekarangan, lahan desa, lahan tidur, dan
tanaman bawah tegakan perkebunan, pengembangan untuk menguatkan kelembagaan
lumbung pangan desa, dan pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan atau lembaga usaha lainnya.
Sub Sistem Ketahan Pangan
Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan,
akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan
pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus
dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan
pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Stabiltas (stability)
Stabilitas merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan
pangan kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food
insecurity).Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan
pangan setpa saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang
terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana,
maupun konflik sosial.(Maxwell and Frankenberger 1992).

Sub sistem ketersediaan (food availability)


Adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua
orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan
maupun bantuan pangan.Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang
didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Sub Sistem Akses pangan (food access)


Adalah kemampuan semua rumah tangga danindividu dengan sumberdaya yang
dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat
diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.Akses
rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.Akses ekonomi
tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga.Akses fisik menyangkut tingkat
isolasidaerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkuttentang
preferensi pangan.

Sub Sistem Penyerapan pangan (food utilization)


Adalah penggunaan pangan untukkebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan
energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung
pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan
kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita. (Riely et.al , 1999)

Sub Sistem Status gizi (Nutritional status )


adalah outcome ketahanan pangan yangmerupakan cerminan dari kualitas hidup
seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita
dan kematian bayi.Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi
empat sub-sistem, yaitu:
Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untukseluruh penduduk.
Distribusi pangan yang lancar dan merata.
Konsumsi pangansetiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak
pada. dan Status gizi masyarakat.
Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidakhanya menyangkut soal
produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi
juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta
status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun
dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan
pangan.Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah
ketahanan pangan dan gizi.Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan
pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan.Seperti banyak diketahui,
baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan
pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi
kurang.Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan
yaitu tingkat kesejahteraan manusia.Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan
kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.MDGs menggunakan
pendekatan dampak bukan masukan.

United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang


berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu
jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup
sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang.Ukuran tersebut menunjukkan
bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripada masukan.Oleh karena itu, analisis situasi
ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat
konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya.Status gizi masyarakat yang
baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi
kurang.Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan
sosial yang merata dan cukup baik.Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang
melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi
kurang.Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak
atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan
nasional.Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat tergantung pada dari adanya
kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik.Kebijakan pemerintah dalam aspek
ekonomi, sosial maupun politik sangat perpengaruh terhadap ketahanan pangan.Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai