Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-
44 tahun di seluruh dunia. Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi
bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam
penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).
Trauma adalah cedera atau luka yang mengenai organ tubuh dan
rongga tubuh manusia yang dapat menyebabkan kerusakan. Biasa disebabkan
benda tajam ataupun benda tumpul (Lubis, 2015). Tiga urutan terbanyak jenis
cedera yang dialami penduduk adalah luka lecet/memar (70,9%), terkilir
(27,5%) dan luka robek (23,2%). Adapun urutan proporsi terbanyak untuk
tempat terjadinya cedera, yaitu di jalan raya (42,8%), rumah (36,5%), area
pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%) (Riyadina, 2013).
Di Indonesia sendiri, cedera merupakan salah satu penyebab kematian
utama setelah stroke, tuberkulosis, dan hipertensi ( Depkes RI, 2009 ).
Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera akibat jatuh dan kecelakaan lalu
lintas salah satunya adalah kepala yaitu 6.036 (13,1%) dari 45.987 orang yang
mengalami cedera jatuh dan 4.089 (19,6%) dari 20.289 orang yang
mengalami kecelakaan lalu lintas (Riyadina, 20013).
Penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan
dengan kematian adalah trauma kepala (CDC, 2010). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran
bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak
78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh
trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009). Selain trauma
kepala, trauma juga dapat terjadi pada berbagai macam bagian tubuh lain
seperti trauma ekstremitas, trauma abdomen, trauma thorax, dan lain lain.

1
Mengingat banyaknya angka kejadian trauma, maka pada Tugas
Pengenalan Profesi (TPP) blok XX traumatologi dan kegawatdaruratan medis
sehingga penulis merasa perlu untuk membahas mengenai Observasi Pasien
Trauma/Pasca Trauma di IGD RS. Bhayangkara. Tugas pengenalan profesi
ini mengharuskan mahasiswa untuk turun langsung ke lapangan sehingga
akan menambah pengalaman mahasiswa dalam observasi lapangan serta
dapat menghubungkan teori dengan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.
.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi kali ini
adalah:
1. Apa jenis-jenis trauma pada pasien di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang?
2. Apa penyebab trauma yang dialami pasien trauma/ pasca trauma di IGD
Sakit Bhayangkara Palembang?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien trauma/ pasca trauma di IGD
Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
4. Apa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien trauma/ pasca
trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan kegiatan ini yaitu untuk melaksanakan
Tugas Pengenalan Profesi Blok XX mengenai Observasi Pasien
Trauma/Pasca Trauma di IGD RS. Bhayangkara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi kali ini
adalah:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis trauma pada pasien di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang?

2
2. Untuk mengetahui penyebab trauma yang dialami pasien trauma/ pasca
trauma di IGD Sakit Bhayangkara Palembang?
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien trauma/ pasca trauma
di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
trauma/ pasca trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi


kali ini adalah:
1. Menambah ilmu tentang trauma/pasca trauma dan kasus yang
berhubungan dengan penyakit di masyarakat.
2. Mahasiswa dapat mengetahui cara penatalaksaan pasien trauma/pasca
trauma di lapangan.
3. Menambah pengalaman dalam observasi lapangan terhadap pasien
trauma/pasca trauma secara langsung.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma


Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak
disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika
trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi
maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan
gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan
imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat
mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran
sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula
terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC /diseminated intravascular
coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami
cedera oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta
penduduk Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan
medis. 3,6 juta membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300
ribu di antaranya mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7
juta menderita kecacatan sementara ( 30% ) dan menyebabkan kematian
sebanyak 145 ribu orang per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat
kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12 ribu orang per tahun sehingga dapat
disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan :
1. Angka kematian yang tinggi.
2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang
besar.
3. Kecacatan sementara dan permanen.
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera
musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera
sistem musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan
mengancam kehidupan kita (Rasjad C,2003).

4
2.2. Jenis - Jenis Trauma
2.2.1. Trauma Kapitis
A. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Sastrodiningrat, 2009).

B. Jenis Trauma Kapitis


Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu
berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2008).
a. Mekanisme cidera kepala
Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan
b. Beratnya cidera kepala
GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cidera otak. Berdasarkan beratnya
cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Cidera kepala ringan
GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada muntah,
dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala dan
pemeriksaan lainnya normal.
2) Cidera kepala sedang
GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24
jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua atau
lebih episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat

5
(kurang dari 2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat
mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala dan
pemeriksaan lainnya normal
3) Cidera kepala berat
GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya
disertai kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan edema
serebral. terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga, tanda-
tanda neurologis lokal (pupil anisokoria), terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial berupa herniasi unkus yaitu
dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor,
herniasi sentral yaitu kompresi batang otak menyebabkan
bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang berpenetrasi dan
dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu kali segera setelah
trauma)
c. Morfologi cidera kepala
1) Fraktur Cranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-
tandanya antara lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle
sign), rhinorrhea, otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan
pendengaran
2) Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus, walaupun
kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi fokal
adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan perdarahan
intracerebral
a) Perdarahan Epidural (Epidural HemorrhageEDH)
Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah temporal yang
memutuskan arteri meningea. Darah dengan segera akan
terkumpul di rongga di antara duramater dan tulang tengkorak.

6
Darah ini akan menekan jaringan otak ke arah medial dan
menyebabkan penekanan terhadap nervus III sehingga pupil akan
melebar (midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata ini
tidak akan menggerakkan musculus ciliaris (rangsang cahaya
negatif). Epidural hematoma harus segera di operasi (craniotomy).
Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma ialah
adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma kapitis,
penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan masih mampu
menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam kemudian (biasanya
antara 6 8 jam) kesadaran mulai menurun, kedua pupil akhirnya
berdilatasi penuh dan rangsang cahaya pada kedua mata menjadi
negatif dan penderita meninggal. Tenggang waktu antara kejadian
trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran disebut
lucid interval. Kedua pupil yang berdilatasi penuh dengan
rangsang cahaya yang negatif menujukkan keadaan yang disebut
herniasi tentorial. Herniasi tentorial terjadi akibat peningkatan
tekanan intracranial dimana batang otak terdesak kearah caudal
dan akhirnya terperangkap oleh tentorium.
b) Perdarahan Subdural (Subdural HemorrhageSDH)
Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan otak dan di
bawah duramater biasanya di daerah parietal. Perdarahan ini dapat
terjadi karena mekanisme rotasi maupun mekanisma aselerasi
deselerasi kepala sehingga memutuskan bridging veins (vena-
vena yang menghubungkan permukaan jaringan otak dan
duramater) atau pecahnya pembuluh pembuluh cortical jaringan
otak baik arteri maupun vena yang berada pada permukaan otak.
c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral HemorrhageICH)
Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah di dalam
jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan kesadaran .
Tergantung dimana letak perdarahan, operasi dapat menolong
penderita tetapi biasanya dengan cacat yang menetap. Perdarahan
juga dapat terjadi di dalan sistem ventrikel disebut perdarahan

7
intraventrikular (Intraventricular HemorrhageIVH). Darah akan
menyumbat sistem ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak
dapat mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan
menyebabkan sistem ventrikel melebar dan mengandung banyak
cairan sehingga terjadi hydrocephalus. Bila perdarahan cukup
banyak maka seluruh fungsi jaringan otak akan terganggu.
Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :
a) Diffused Axonal Injury (DAI)
Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson
secara cepat. Lebih dari 48 jam kerusakan lebih lanjut terjadi
melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang
menyebabkan influs Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade
fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat berperanan
dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE tergantung dari tingkat
keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan
sampai kematian (Asrini, 2013). DAI terjadi pada 10-15% CKB.
60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan vegetative
state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses
biomekanis DAI terjadi karena adanya proses deselerasi.
b) Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan
disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang
terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah
tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya
autoregulasi, Penyebab iskemia serebral adalah lesi massa yang
menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh
darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion
basalis dan batang otak.
c) Komusio serebri
Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana
terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin

8
termasuk pusing. Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi dibedakan
atas koup kontusio dimana lesi terjadi pada sisi benturan dan
tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam biasanya terjadi
lesi koup, sedang bila kepala dalam keadaan bebas bergerak akan
terjadi kontra koup.

C. Penatalaksaan Trauma Kapitis


1) Cedera kranioserebral ringan (GCS=13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan
perintah, tanpa disertai defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan
fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi
(pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan
(CKR) tidak perlu dirawat jika:
a. Orientasi (waktu dan tempat) baik
b. Tidak ada gejala fokal neurologic
c. Tidak ada muntah atau sakit kepala
d. Tidak ada fraktur tulang kepala
e. Tempat tinggal dalam kota
f. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai
ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS

2) Cedera kranioserebral sedang (GCS=9-12)


Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner. Urutan tindakan sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation).
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau

9
tulang ekstremitas, lakukan fi ksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya.
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial.
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral
lainnya

3) Cedera kranioserebral berat (GCS=3-8)


Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila
didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada
luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk
pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di
samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien
cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.

TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT & RUANG RAWAT4-6


1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =
Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata

10
laksana yang dapat dilakukan yaitu pemberian oksigen dosis tinggi,
10-15 liter/menit, intermiten dan segera mengatasi faktor penyebab
(bila diperlukan pakai ventilator).
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja
sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan.
Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa
hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fi sik yang
meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil
(besar, bentuk dan reaksi cahaya), defi sit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan
ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada
fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial (Soertidewi, 2012).

11
2.2.2. Trauma Ekstremitas
A. Definisi
Trauma ekstremitas adalah trauma yang mengakibatkan cedera pada
ekstremitas.
Secara umum dikenal dalam bentuk :
1. Fraktur
2 Dislokasi
3 Amputasi (Apley, A. G. 2002)

B. Klasifikasi Trauma Ekstremitas


Trauma Otot dan Tulang yang Penting: yaitu:
a). Trauma Sendi
Dislokasi sendi dapatmenimbulkan gangguan neuromuscular dan
fraktur struktur lainnya.
b). Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi akibat major trauma seperti jatuh, tabrakan
kendaraan bermotor atau tembakan misil yang menyebabkan luka-luka
penetrasi.
c). Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka dianggapterkontaminasi karena benda-benda asing dari
luar/bakteri dapat masuk kedalam luka (Apley, A. G. 2002).

C. Pembagian Trauma Ekstremitas dan Penatalaksanaannya


a). Kerusakan Pelvis Berat Dengan Pendarahan
1. Definisi
Fraktur Pelvis yang disertai perdarahan sering kali disebabkan
Fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan posteriol oseus ligamenteus kompleks.
Kemudian arah gaya yang membuka pelvis ring, akan merobek pleksus
vena di pelvis dan kadang-kadang merobek sistem arteri iliaka interna
(Trauma kompresi anterior posterior). Mekanisme trauma pelvis ring
disebabkan tabrakan sepeda motor atau pejalan kaki yang ditabrak

12
kendaraan, benturan langsung pada pelvis atau jatuh dari ketinggian
lebih dari 3,5 meter (Apley, A. G. 2002).
Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering
adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung
menyebabkan hemi pelvis rotasi kedalam, mengecilkan rongga pelvis
dan melepas regangan sistem vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini
akan menyebabkan trauma uretra atau buli-buli. Trauma urogenital
bagian bawah ini jarang akan menimbulkan kematian baik perdarahan
yang terjadi maupun komplikasinya, sehingga tidak separah trauma
pelvis yang tidak stabil (Apley, A. G. 2002).

2. Pemeriksaan
Bila perdarahan pelvis banyak, maka akan tejadi dengan cepat, dan
diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan tindakan
resusitasi. Hipotensi yang sebabnya tidak diketahui merupakan salah
satu indikasi adanya distruksi pelvis berat dengan instabilitas posterior
ligamentous kompleks. Tanda kliniks yang paling penting adalah
adanya pembekakan atau hematom yang progeresif pada daerah
panggul, skrotum atau perianal. Pada keadaan ini akan ditemukan
kegagalan resusitasi cairan inisial. Tanda-tanda trauma pelvis yang
tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvis (terutama
daerah perineum, rectum atau bokong), hemi pelvis yang tidak stabil
akan tertarik keatas oleh tarikan otot dan rotasi eksternal karena
pengaruh sekunder dari gravitasi. Kemudian pelvis tidak stabil dapat
dibuktikan dengan merapatkan krista iliaka pada spina iliaka anterior
posterior. Gerakan dapat dirasakan waktu memegang krista iliaka dan
hemi pelvis yang tidak stabil ditekan ke dalam atau keluar (Apley, A.
G. 2002).

13
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal distruksi pelvis berat disertai perdarahan
memerlukan penghentian pendarahan dan resusitasi cairan. Traksi kulit
longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan
pertama. Fraktur pelvis terbuka dengan pendarahan yang jelas,
memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan
pendarahan (Apley, A. G. 2002).

b). Pendarahan Besar Arterial


1. Definisi
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri.
Sirkulasi darah ke ekstremitas diselenggarakan oleh pembuluh arteri
besar yang berdiameter sekitar 1 cm, yang melalui lipat paha dan aksila.
Arteri ini melanjutkan diri didekat tulang dan berpencar menjadi
cabang-cabang lebih halus sewaktu menuju ke ujung jari tangan dan
kaki. Pada tempat tertentu sepanjang perjalanannya cabang ini cukup
dekat dengan kulit, sehingga dapat diraba oleh tangan pemeriksa. Titik
berdenyut ini dapat bermanfaat dalam menentukan adanya aliran darah
arteri dan kadang-kadang berguna untuk mengenal pendarahan. Trauma
tumpul yang menyebabkan fraktur sendi atau dislokasi sendi dekat
arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan
besar pada luka terbuka atau perdarahan didalam jaringan lunak (Apley,
A. G. 2002).

2. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal,
hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan
kualitas nadi, ekstremitas yang dingin, pucat dan pulsasi tidak ada di
ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematom yang
membesar dengan cepat menunjukkan adanya trauma vaskuler. Cidera
ini menjadi berbahaya jika hema dinamik penderita tidak stabil (Apley,
A. G. 2002).

14
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan besar artari berupa tekanan langsung
dan resusitasi cairan yang agresif. Jika fraktur disertai luka terbuka
yang berdarah aktif harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta
balut tekan diatas luka. Dislokasi sendi harus langsung dibidai, karena
usaha untuk melakukan reposisi sangat sulit, karena itu perlu konsultasi
bedah (Apley, A. G. 2002).

c). Crush Syndrome (Rabdomiolisis taroumatika)


1. Definisi
Crush syndrome adalah keadaan kliniks yang disebabkan
pelepasan zat berbahaya, hasil kerusakan otot, yang jika tidak
ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Keadaan ini terdapat
pada keadaan crush injury dan kompresi lama pada sejumlah otot,
yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
perkusi otot, iskemia, pelepasan mioglobin dan zat toksik lainnya
(Apley, A. G. 2002).
2. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urin berwarna gelap yang akan
positif bila diperiksa untuk adanya hemoglobin. Pemeriksaan khusus
mioglobin perlu untuk menunjang diagnosis. Rabdomiolisis dapat
menyebabkan hipovolemia, metabolic asidosis, Hiperkalemia dan
hipokalsemia (Apley, A. G. 2002).

3. Penatalaksanaan
Pemberiaan cairan intra vena selama ekstritasi sangat penting
untuk melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang
disebabkan oleh hemoglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan
dan diuresis asmotik untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urin
(Apley, A. G. 2002).

15
2.2.3. Trauma Abdomen
A. Definisi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan
daerah antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011). Insiden
trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya
lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas
pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju)
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul
velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada
intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai
organlimpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%) (Cho et al,
2012). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera
adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan
ureter (Demetriades, 2000). Pada trauma tajam abdomen paling sering
mengenai hati (40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan usus besar
(15%) (ATLS, 2008).

B. Klasifikasi
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma
tumpul dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis
yang berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma
abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan
tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami
kerusakan. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma tajam/ penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang
mengakibatkan luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke
dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda
tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka
yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum) atau luka bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka

16
tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi
ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ
viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation,
dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai
pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang
berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan
menimbulkan iritasi pada peritoneum (ATLS, 2008).
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul
Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul diklasifikasikan ke
dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman),
tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or
concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal
yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan
sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ
berongga dan menyebabkan ruptur. Pengeluaran darah yang banyak
dapat berlangsung di dalam kavum abdomen tanpa atau dengan
adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-
akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal
adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu,
sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan
perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim
pasien ke ruang operasi (ATLS, 2008).

17
2.2.4. Trauma Thorax
A. Definisi
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks
dan atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh
karena trauma tajam. Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah
berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan
batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot
yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius,
m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan
m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra
torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks :
paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf
dan sistem limfatik (Sean O. 2006). Kurang lebih 20% kematian akibat
trauma terjadi karena trauma thorak. Banyak kematian bisa dicegah
seandainya kasus teridentifikasi dan tertangani lebih dini sewaktu proses
evaluasi trauma. Eksplorasi dan intervensi bedah perlu dilakukan pada
sekitar 10-15% pasien trauma thoraks. Sebab-sebab tersering kematian
langsung pasca-trauma umumnya berkaitan dengan cedera pembuluh
darah utama atau obstruksi jalan nafas utama (Sean O. 2006).

B. Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul
dan trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena
kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat
kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan,
samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap
orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh
karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya
yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang
dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan
trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer)

18
dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks
yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru
bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba)
(Sjamsuhidajat, de jong. 2010).

C. Gangguan Anatomi dan Fisiologi akibat Trauma Thoraks


Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika
yang dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan
stres. Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan,
peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan
tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan
jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat
trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya
penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas
pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi
yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi,
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat
menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung
pada jantung (ATLS, 2008).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya
dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem
kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat
ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal
pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi
dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian
pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah
(ATLS, 2008)

D. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian thorax baik dalam bentuk
kompresi maupun ruda-paksa (deselerasi/akselerasi), biasanya
menyebabkan memar/jejas trauma pada bagian yang terkena. Jika

19
mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio miocard
jantung atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan
perubahan tamponade pada jantung, atau tampak kesukaran bernapas
jika kontusio terjadi pada paru-paru (Sean O. 2006)
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding
thorax juga seringkali menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup
maupun terbuka. Kondisi fraktur tulang iga juga dapat
menyebabkan Flail Chest, yaitu suatu kondisi dimana segmen dada tidak
lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan
tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga
dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen fail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada.
Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan
kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang serius
(Sean O. 2006).
Sedangkan trauma thorax dengan benda tajam seringkali
berdampak lebih buruk daripada yang diakibatkan oleh trauma benda
tumpul. Benda tajam dapat langsung menusuk dan menembus dinding
dada dengan merobek pembuluh darah intercosta, dan menembus organ
yang berada pada posisi tusukannya. Kondisi ini menyebabkan
perdaharan pada rongga dada (Hemothorax), dan jika berlangsung lama
akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam rongga baik rongga
thorax maupun rongga pleura jika tertembus. Kemudian dampak negatif
akan terus meningkat secara progresif dalam waktu yang relatif singkat
seperti Pneumothorax, penurunan ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps
alveoli, hingga gagal nafas dan jantung.
Fraktur Iga
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat
trauma tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang
mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang
sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga
sering terjadi pada iga IV-X. Dan sering menyebabkan kerusakan

20
pada organ intra toraks dan intra abdomen. (Sjamsuhidajat, 2005;
Brunicardi, 2006). Fraktur pada iga VIII-XII sering
menyebabkan kerusakan pada hati dan limpa.Perlu di curigai adanya
cedera neurovaskular seperti pleksus brakhialis dan arteri atau vena
subklavia, apabila terdapat fraktur pada iga I-III maupun fraktur
klavikula (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan pada fraktur iga yaitu (Brunicardi, 2006):
a) Fraktur yang mengenai 1 atau 2 iga tanpa adanya
penyulit/kelainan lain: konservatif dengan anti nyeri.
b) Fraktur di atas 2 iga perlu di curigai adanya kelainan lain seperti:
edema paru, hematotoraks,dan pneumotoraks.
c) Pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
1. Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
2. Bronchial toilet
3. Cek laboratorium berkala: Hemoglobin, Hematokrit,
Leukosit,Trombosit, dan Analisa gas darah
4. Cek foto toraks berkala
5. Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain
seperti: pneumotoraks dan hematotoraks, diikuti oleh
penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat dengan
analgetik, bronchial toilet, cek laboratorium dan foto toraks
berkala, dapat menghindari morbiditas dan mortalitas.
(Sjamsuhidajat, 2005).
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah
atelektasis dan pneumonia, yang umumnya disebabkan manajemen
analgetik yang tidak adekuat (Brunicardi, 2006).
Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara yang abnormal
didalam rongga pleura, yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul
dan trauma tembus, bahkan bisa juga terjadi secara spontan.
Pneumothoraks dapat menyebabkan kolapsnya paru (dalam derajat

21
apapun) pada sisi thoraks yang sakit serta berpotensi mengurangi
oksigenasi dan ventilasi. Pneumothorak terbuka, dikanal juga
sebagai pneumothoraks komunikan, disebabkan oleh trauma tembus
ysng merusak integritas dinding dada dan pleura pasien,
mengakibatkan udara masuk ke rongga pleura sehingga
menimbulkan kolaps paru. Pneumaothorak sederhana, tertutup, atau
non-komunikan, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul, ditandai
dengan dinding dada yang intak. Pneumothoraks desak terjadi kalau
ada katup jaringan satu-arah yang dapat terbentuk akibat trauma
yang menembus dinding dada atau parenkim paru. Selama proses
pernafasan, udara terdorong masuk ke rongga pleura, tetapi tidak
bisa keluar lagi. Makin lama proses ini berlangsung, tekanan
intrapleura di sisi yang sakit makin meninggi sehingga
menimbulkan desakan pada paru. Struktur-struktur mediastinal
terdesak dan tergeser ke sisi thoraks kontralateral, desakan
mediastinum ini menurunkan aliran balik darah yang menuju jantung
sehingga curah jantung berkurang. Sebagian paru sisi kontralateral
juga terdesak sehingga makin mengurangi oksigenasi dan ventilasi.
Situasi ini bisa dengan cepat mengakibatkan henti jantung dan henti
nafas bila tidak segera terdeteksi dan tertangani (Sean O. 2006).
Evaluasi klinis gambaran klinis pada pasien dapat bevariasi,
dari asimptomatik hingga dispnea berat tergantung pada luas bagian
paru yang kolaps atau jaringan yang cedera. Di sisi dada yang sakit,
dapat ditemukan perlemahan suara nafas dan bunyi perkusi
hipersonor. Pneumothoraks desak ditandai dengan deviasi trakea,
distensi vena jugularis, gawat nafas, takikardia, hipotensi, hilangnya
suara nafas di sisi dada yang sakit, bunyi hipersonor pada perkusi,
dan sianosis. Oksigen sungkup, oksimeter denyut, dan monitor
jantung harus dipasang pada semua pasien yang dicurigai mengalami
pneumothoraks (tipe apapun), pemeriksaan foto thoraks juga mesti
dikerjakan sesegera mungkin ( Sean O. 2006)

22
Tatalaksana awal untuk pneumothoraks desak berupa
dekompresi cepat pada sisi dada yang sakit dengan menusukkan
jarum ukuran 14 di sela iga kedua pada linea midclavikularis.
Dekompresi dikatakan berhasil bila udara terdorong ke luar lewat
jarum diikuti perbaikan gejala pasien. Setelah itu, untuk tatalaksana
definitive, selang torakostomi mesti dipasang dan di sambungkan ke
sistem penyalur sekat air (WSD). Pada kasus pneumothorak terbuka
atau komunikans, penatalaksanaan awal harus berupa pemasangan
balut tekan steril yang menutupi defek jaringan pada dinding dada
pasien. Dari keempat sisi balut tekan ini, hanya tiga sisi yang
ditempelkan sehingga berfungsi seperti katup: memungkinkan
keluarnya udara sewaktu ekspirasi dan mencegah masuknya udara
saat inspirasi (Sean O. 2006).

E. Penatalaksanaan
1. Gawat Darurat / Pertolongan Pertama
Pasien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian
maupun di unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan
sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan
memperhatikan prinsip kegawatdaruratan. Penanganan yang diberikan
harus sistematis sesuai dengan keadaan masing-masing pasien secara
spesifik. Bantuan oksigenisasi penting dilakukan untuk
mempertahankan saturasi oksigen pasien. Jika ditemui dengan kondisi
kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka tindakan
tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan:
a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Pasien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan pada
jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan
oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk
yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross

23
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk
pada mulut korban. Setelah jalan napas dipastikan bebas dari
sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot
menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan
larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan
jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala
topang dagu (Head tild chin lift) dan manuver pendorongan
mandibula (Jaw Thrust Manuver).

b) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)


Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik
melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan
merasakan hembusan napas pasien (Look, Listen, and
Feel), biasanya tekhnik ini dilakukan secara bersamaan dalam satu
waktu. Bantuan napas diberikan sesuai dengan indikasi yang ditemui
dari hasil pemeriksaan dan dengan menggunakan metode serta
fasilitas yang sesuai dengan kondisi pasien.

c) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)


Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi jantung,
tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi perdarahan. Pasien
dengan trauma dada kadang mengalami kondisi perdarahan aktif,
baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat trauma benda tajam
maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur tulang terbuka dan
tertutup yang mengenai/ melukai pembuluh darah atau organ
(multiple). Tindakan menghentikan perdarahan diberikan dengan
metode yang sesuai mulai dari penekanan hingga penjahitan luka,
pembuluh darah, hingga prosedur operatif. Jika diperlukan
pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada penderita trauma
dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat hati-hati agar
tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari RJP seperti
fraktur tulang kosta dan sebagainya.

24
d) Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis dan
waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien yang
mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan
yaitu; pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan
elektrolit, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah vena
dan AGD, hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.

2. Konservatif
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan
kelanjutan dari pemberian sebelumnya. Rasa nyeri yang menetap
akibat cedera jaringan paska trauma harus tetap diberikan
penanganan manajemen nyeri dengan tujuan menghindari
terjadinya Syok seperti Syok Kardiogenik yang sangat berbahaya
pada penderita dengan trauma yang mengenai bagian organ
jantung.
b. Pemasangan Plak/Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan
perawatan luka dan tindakan penutupan untuk menghindari
masuknya mikroorganisme pathogen.
c. Jika perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan
kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan
keadaan penyakit gawat, maka penderita dapat diberi broad
spectrum antibiotic, misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x
sehari.
d. Fisiotherapy
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika
penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy
yang sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan
konservatif.

25
3. Invasif Operatif
a. WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
Indikasi: Pneumothoraks, Hemothoraks, Thorakotomy, Efusi pleura,
Emfiema.
Jenis-jenis WSD:
a. WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada
pasien simple pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai
2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk
ke dalam botol
Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang
terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam
tabung yang menyebabkan kolaps paru
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka
untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan
gravitasi.
Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan:

Inspirasi akan meningkat


Ekpirasi menurun.
b. WSD dengan sistem 2 botol
Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan
drainage dan botol ke-2 botol water seal
Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang
awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada
botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi
water seal.

26
Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan
udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2.
Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan
cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan
udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD.
Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks,
hemopneumothoraks, efusi peural.

c. WSD dengan sistem 3 botol


Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk
mengontrol jumlah hisapan yang digunakan.
Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air
pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada
kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol
WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang
ditambahkan.
Botol ke-3 mempunyai 3 selang :

Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube


pada botol ke dua.
Tube pendek lain dihubungkan dengan suction.
Tube di tengah yang panjang sampai di batas
permukaan air dan terbuka ke atmosfer.

b. Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan
negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen dalam waktu yang lama. Klasifikasi:

27
a) Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada
dada eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama
inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru
sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan
terutama pada gagal nafas kronik yang berhubungn dengan
kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis, distrofi muscular,
sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan
tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang
kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.
b) Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian
mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada
ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada klien
dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator
tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan
volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator
tekanan positif yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset
telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup
mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah
ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati.
Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka
waktu pendek di ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus
adalah ventilator mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah
waktu ditentukan. Volume udara yang diterima klien diatur oleh
kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara . Ventilator ini
digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator volume bersiklus
yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada setiap
inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume preset telah
dikirimkan pada klien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi

28
secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah
ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.
(Sean O. 2006).

29
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Nama Kegiatan


Observasi Pasien Trauma/Pasca Trauma di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara.

3.2 Lokasi Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara.

3.3 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada:
Tanggal : 17 Juli 2017
Pukul : 10.00 WIB selesai.

3.4 Subjek Tugas Kelompok


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan tugas pengenalan profesi ini
adalah pasien yang mengalami trauma/pasca trauma.

3.5 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu cek list, kamera dan alat tulis.

3.6 Langkah Kerja


Langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam melaksanakan Tugas
Pengenalan Profesi ini adalah :
1. Pembuatan
2. Konsultasi kepada Pembimbing
3. Meminta Surat Melaksanakan TPP
4. Pelaksanaan TPP
5. Pembuatan Laporan Pelaksanaan TPP.

30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Pada pelaksanaan TPP yang dilaksanakan pada hari Senin, 17 Juli 2017 di
RS. Bhayangkara Palembang pada pukul 10.00-24.00 WIB didapatkan pasien :
Nama : Ny.R
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sekip Lembah Jaya

Ny. R datang ke IGD RS. Bhayangkara dengan keadaan sadar sepenuhnya


dengan mata terbuka spontan (4), motorik menurut perintah (6) dan verbal dapat
menjawab pertanyaan dengan benar (5). Hasil pengukuran tekanan darah
didapatkan 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 19x/menit dan
temperatur 36,5oC. Pasien datang dengan trauma ekstremitas inferior sinistra di
regio pedis berupa vulnus laceratum (luka robek) akibat kecelakaan tunggal yaitu
jatuh dari motor. Dokter melakukan tatalaksana wound toilet dengan NaCl 0,9%,
hecting 15 jahitan, serta pemberiaan obat vastigo 3x1, flunarizin 1x1, cefadroxil
3x1, asam mefenamat 3x1 dan dexamethasone 2x1. Pada pasien airway,
breathing, circulation, disability dan exposure dalam keadaan baik. Hasil
anamnesis pasien tidak ada riwayat alergi, tidak ada konsumsi obat, memiliki
penyakit hipertensi dan vertigo, dengan makanan terakhir yang di konsumsi
adalah nasi, sayur dan ikan. Pasien mengatakan saat ia mengendarai sepeda motor
ia merasa pusing sehingga hilang kendali dan kakinya mengenai besi yang berada
di sekitar jalan tersebut. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
apapun.

31
4.2 Pembahasan
Ny. R dibawa ke RS Muhammadiyah Palembang karena mengalami
kecelakaan tunggal yaitu jatuh dari motor. Ny. R dibawa dalam keadaan sadar
sepenuhnya dengan GCS 15 yang dikategorikan sebagai compos mentis atau tidak
mengalami penurunan kesadaran.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda vital didapati hasil tekanan


darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 19x/menit dan temperature
36,5oC dari seluruh hasil pemeriksaan tanda vital didapati hasilnya normal.
Pada pasien ini, Ny. R, perempuan, 50 tahun dengan trauma ekstremitas
inferior sinistra di regio pedis berupa vulnus laceratum (luka robek) akibat
kecelakaan tunggal yaitu jatuh dari motor. Pada pasien airway, breathing,
circulation, disability dan exposure dalam keadaan baik. Berikutnya dokter IGD
melakukan tatalaksana wound toilet dengan NaCl 0,9% yang diberikan pada
daerah luka tersebut. Selanjutnya dokter memberikan anastesi lokal dan
melakukan penjahitan sebanyak 15 jahitan, kemudian luka ditutup dengan perban
dan diberikan betadine serta framycetin sulphate 1% untuk mempercepat
pengeringan luka. Setelah dilakukan tatalaksana pasien diberikan antibiotik dan
analgetik untuk meringankan rasa nyeri. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter
IGD sudah sesuai dengan teori ATLS (2004), yaitu pada pasien yang mengalami
vulnus laceratum diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan
diberikan juga analgetik untuk mengurangin rasa nyeri. serta diberikan obat
vertigo karena dari hasil anamnesis pasien mengatakan ia memiliki riwayat
penyakit vertigo dan pada saat ia mengendarai sepeda motor ia merasa pusing
sehingga hilang kendali dan terjadi kecelakaan tunggal yang menyebabkan ia
mengalami vulnus laceratum.
Dokter IGD memberikan tatalaksana berupa manejemen luka yaitu
pertama luka dibersihkan dahulu dengan menggunakan kasa yang diberi Nacl 0,9
%. Selanjutnya luka tersebut diberi betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin
sulfate 1% sesuai dengan ukuran luka. Setelah itu luka ditutup dengan
menggunakan kasa dan kemudian difiksasi dengan plester.

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada pelaksanaan TPP yang dilaksanakan pada hari Senin, 17 Juli 2017 di
RS. Bhayangkara Palembang pada pukul 10.00-24.00 WIB didapatkan pasien :

Nama : Ny.R

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sekip Lembah Jaya

Ny. R datang ke IGD RS. Bhayangkara dengan keadaan sadar sepenuhnya.


Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit, frekuensi nafas 19x/menit dan temperatur 36,5oC. Pada hasil primary
survey didapatkan airway, breathing dan circulation dalam keadaan baik. Pada
disability GCS 15 dengan mata terbuka spontan (4), motorik menurut perintah (6)
dan verbal dapat menjawab pertanyaan dengan benar (5) serta exposure
didapatkan trauma pada ekstremitas inferior sinistra di regio pedis berupa vulnus
laceratum (luka robek). Pada secondary survey didapatkan hasil anamnesis pasien
tidak ada riwayat alergi, tidak ada konsumsi obat, memiliki penyakit hipertensi
dan vertigo, dengan makanan terakhir yang di konsumsi adalah nasi, sayur dan
ikan. Pasien mengatakan saat ia mengendarai sepeda motor ia merasa pusing
sehingga hilang kendali dan kakinya mengenai besi yang berada di sekitar jalan
tersebut. Hasil pemeriksaan fisik pada secondary survey di mulai dari kepala
sampai kaki, didapatkan trauma ekstremitas inferior sinistra di regio pedis berupa
vulnus laceratum (luka robek) akibat kecelakaan tunggal yaitu jatuh dari motor.
Pada Ny. R tidak dilakukan pemeriksaan penunjang apapun. Dokter melakukan
tatalaksana wound toilet dengan NaCl 0,9%, hecting 15 jahitan, serta pemberiaan

33
obat vastigo 3x1, flunarizin 1x1, cefadroxil 3x1, asam mefenamat 3x1 dan
dexamethasone 2x1.

4.2 Pembahasan
Ny. R dibawa ke RS Muhammadiyah Palembang karena mengalami
kecelakaan tunggal yaitu jatuh dari motor. Ny. R dibawa dalam keadaan sadar
sepenuhnya dengan GCS 15 yang dikategorikan sebagai compos mentis atau tidak
mengalami penurunan kesadaran. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda vital
didapati hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas
19x/menit dan temperature 36,5oC dari seluruh hasil pemeriksaan tanda vital
didapati hasilnya normal.
Pada pasien ini, Ny. R, perempuan, 50 tahun dengan trauma ekstremitas
inferior sinistra di regio pedis berupa vulnus laceratum (luka robek) akibat
kecelakaan tunggal yaitu jatuh dari motor. Pada pasien airway, breathing,
circulation, disability dan exposure dalam keadaan baik. Berikutnya dokter IGD
melakukan tatalaksana wound toilet dengan NaCl 0,9% yang diberikan pada
daerah luka tersebut. Selanjutnya dokter memberikan anastesi lokal dan
melakukan penjahitan sebanyak 15 jahitan. Setelah itu dibersihkan kembali
dengan mengunakan kasa yang diberi NaCl 0,9% kemudian diberi betadine.
Setelah itu luka ditutup dengan perban yang diberikan betadine serta framycetin
sulphate 1% dan difiksasi dengan plester untuk mempercepat pengeringan luka.
Manejemen luka yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai dengan
ATLS (2004) yaitu:

A. Mencuci luka
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat
pada luka.
B. Menjahit luka
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic
(betadine) dari bagiantengah memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit.
3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai menjahit.

34
C. Membungkus luka
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan
plester.

Setelah dilakukan manejemen luka pasien diberikan antibiotik berupa


cefadroxil 3x1 dan analgetik untuk meringankan rasa nyeri berupa asam
mefenamat 3x1 dan dexamethasone 2x1. Kemudian untuk keluhan vertigo pasien
diberikan vastigo 3x1 dan flunarizin 1x1.

35
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Adapun simpulan yang didapat pada TPP ini yaitu:
1. Jenis trauma pada Pasien di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang yang didapatkan pada TPP ini yaitu trauma tajam pada
ekstremitas inferior sinistra di regio pedis berupa Vulnus laseratum.
2. Penyebab trauma yang dialami oleh Ny.R di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang adalah kecelakaan motor tunggal.
3. Penatalaksaan pada Ny.R di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang adalah pembersihan luka dengan NaCl 0,9%, hecting 15
jahitan serta pemberian obat Vastigo 3x1, Flunarizin 1x1, Cephadroxil
3x1, Asam Mefenamat 3x1 dan Dexametaxon 2x1.
4. Pemeriksaaan penunjang tidak dilakukan karena pada pasien tidak
ditemukan kelainan apapun seperti cedera kepala, trauma thoraks dan
fraktur.

5.2 Saran
Adapun saran yang didapat pada TPP ini yaitu:
1) Untuk Tugas Pengenalan Profesi berikutnya diharapkan mahasiswa
mampu memaksimalkan sarana dan alat dalam memperoleh
pengetahuan dan pengalaman khususnya segala hal yang berkaitan
dengan kasus pasien trauma/pascatrauma pada keadaan
kegawatdarurat.
2) Diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan kerjasama antar anggota
saat pelaksanaan TPP.

36
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Abdominal and


Pelvic Trauma. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors ATLS
Student Course Manual 8th Edition. USA: American College of Surgeons.

Apley, A. G. 2002. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley. (Alih bahasa
Edi,N). (Edisi 7). Jakarta: Widya Medika.

Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. ed.31. Jakarta: EGC.

Guilon, F., 2011. Epidemiology of Abdominal Trauma. In :CT of The Acute


Abdomen. (Diakses di http://clinicalguidelines.mh.org pada tanggal 3
Juli 2017).

Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC

Harjadi, W. 2008. Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC.

Karbakhsah, M., Zandi, N.S., Rouzrokh, M., Zarei, M.R., 2009. Injury
Epidiomology in Kermanshah:the National Trauma Project in Islamic
Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal

Lubis, M.Z. 2015. Thesis. Gambaran Penatalaksanaan Trauma Toraks Di RSUP


H. Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
(Diakses di http://repository.usu.ac.id/ pada tanggal 15 Juni 2017).

M, Mardjono.2008. Neurologi klinis dasar. Edisi 5. Jakarta: Dian Rakyat

37
Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th Edition. Makassar
: Bintang Lamupatue.

Riyadina, dkk. 2013. Cedera dalam Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.

Sastrodiningrat AG. 2006. Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Prognosa Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara Vol 39
No.3.

Soemarko, M. 2004. Hubungan Peningkatan tekanan Intravesika Urinaria


dengan Perdarahan Intraperitoneal akibat Trauma Tumpul Abdomen.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.20, No. 1
Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kraniocerebral.
Jakarta: Continuing Medical Education Jurnal. CDK-1.

Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku ajar ilmu bedah.ed.3. Jakarta: EGC.

Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.


Jakarta : EGC.

Peden M., R. Scurfield, D. Sleet, et al. 2004. The World Report on Road Traffic
Injury Prevention. World Health Organization. Geneva.

38
LAMPIRAN

Gambar 1. Penanganan Trauma Ekstremitas dengan Vulnus Laseratum

Gambar 2. Wawancara dengan Pasien

Gambar 3. Foto Bersama

39
DAFTAR WAWANCARA DAN OBSERVASI

Nama : Ny.R
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sekip Lembah Jaya

Penilaian kesadaran
Mata Score

Mata terbuka dengan spontan 4


Mata membuka setelah 3
diperintah
Mata membuka setelang diberi 2
rangsang nyeri
Tidak membuka mata dengan 1
rangsang apapun
Motorik Score

Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (decorticate) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan dengan 1
rangsang apapun
Verbal Score

Menjawab pertanyaan dengan 5


benar
Salah menjawab pertanyaan 4

40
Mengeluarkan kata-kata yg 3
tidak sesuai
Mengeluarkan suara yg tidak 2
ada artinya
Tidak ada jawaban 1

Keadaan umum Kesadaran (GCS): 15 ( Compos mentis)


Tekanan darah : 120/80 mmHg
HR : 80x/ menit
RR : 19x/ menit
Temperatur : 36,5oC
Jenis trauma Trauma yang ditemukan pada Ny.R yaitu trauma
Trauma kapitis ekstremitas inferior sinistra berupa vulnus laseratum.
Trauma thoraks
Trauma abdomen
Trauma ekstremitas
Etiologi trauma Trauma disebabkan oleh kecelakaan motor tunggal.

Manifestasi klinis Manifestasi yang dirasakan Ny.R yaitu nyeri pada


daerah luka.

Tatalaksana Penatalaksaan pada Ny.R di IGD Rumah Sakit


Bhayangkara Palembang adalah pembersihan luka
dengan NaCl 0,9%, hecting 15 jahitan serta
pemberian obat Vastigo 3x1, Flunarizin 1x1,
Cephadroxil 3x1, Asam Mefenamat 3x1 dan
Dexametaxon 2x1.

41
Primary Survey Keadaan Pasien Penangganan
Airway Jalan nafas Ny.R baik, Tidak ada
tidak terdapat gangguan.

Breathing Pernafasan Ny.R normal Tidak ada


RR : 19x/ menit

Circulation Tekanan darah : 120/80 Tidak ada


mmHg
HR : 80x/ menit

Sirkulasi Ny.R normal


Disability GCS 15 Tidak ada
Kesadaran penuh

Exposure Terdapat vulnus Pembersihan luka dengan


laseratum pada NaCl 0,9%, hecting 15
ekstremitas inferior jahitan serta pemberian
sinistra. obat Cephadroxil 3x1,
Asam Mefenamat 3x1 dan
Dexametaxon 2x1.

42
Secondary Survey Hasil penilaian
Anamnesis Didapatkan riwayat
Riwayat AMPLE : penyakit vertigo.
A= Alergi
M= Medikasi (obat-obatan yang diminum saat ini)
P= Penyakit penyerta/ kehamilan
L= Makanan Terakhir
E= Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian perlukaan
Mekanisme trauma : Trauma tajam
- Trauma tumpul
- Trauma tajam
- Cedera karna suhu panas atau dingin

Pemeriksaan fisik: Didapatkan pada


1. Kepala dan maksilofasial ekstremitas inferior
- Seluruh kepala sinistra berupa vulnus
- Mata laseratum.
- Telinga
- Hidung
- Mulut
2. Vertebrata servikalis dan leher
- Imobilisasi atau tidak
- Trakea
- Ada nyeri atau tidak
- Deformitas
3. Toraks
- Inspeksi seluruh bagian dinding dada
- Bising nafas dan bising jantung
- Nyeri tekan
- Krepitasi
- Sonor/hipersonor/pekak

43
4. Abdomen
- Bising usus
- Nyeri
5. Perineum/rektum/vagina
Perineum:
- Hematoma
- Laserasi
- Perdarahan uretra
Rektum:
- Perdarahan
- Tonus spincter ani
- Dinding rectum
- Fragmen tulang
- Posisi prostat
Vagina :
- Perdarahan
- laserasi
6. Muskuloskeletal
- Nyeri
- Krepitasi
- Sensorik
- Deformitas
- Pergerakan abnormal
- Pulsasi arteri perifer
- Menilai kondisi vertebrae torakalis dan lumbalis
7. Neurologis
- GCS
- ukuran dan reaksi pupil
- motorik dan sensorik
Pemeriksaan tambahan: Tidak ada
- Foto vertebrae tambahan
- CT scan kepala, vertebra, toraks, abdomen

44
- Urografi dengan kontras
- Angiografi
- Foto ekstremitas
- USG transesofagus
- Bronchoscopy
- Esophagoscopy

45

Anda mungkin juga menyukai