Anda di halaman 1dari 23

Makalah

KERACUNAN BAYGON
(ORGANOFOSFAT)

Oleh :
M. Ikhsan Fadillah (120100035)

Pembimbing :
dr. Asan Petrus, M.Ked(For), Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Keracunan
Baygon (Organofosfat) .
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan MedikolegalFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, dr.
Asan Petrus, M.Ked(For), Sp.F, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak
masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 21 Juni 2017

Penulis

i
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Adapun tujuan instruksional umum dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca:
1. Memahami tentang keracunan baygon.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Sedangkan, tujuan instruksional khusus dari penulisan makalah ini adalah agar
pembaca dapat:
1. Menjelaskan tentang sumber bahan racun baygon.
2. Menjelaskan tentang lethal dosis dan cara masuk racun baygon.
3. Menjelaskan tentang gejala klinis keracunan baygon.
4. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang keracunan baygon.
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan khusus keracunan baygon.
6. Menjelaskan tentang komplikasi keracunan baygon.
7. Menjelaskan tentang penatalaksanaan keracunan baygon.
8. Menjelaskan tentang prognosis keracunan baygon.
9. Menjelaskan tentang gejala post mortem keracunan baygon dari mulai pemeriksaan
luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan tambahan, dan kesimpulan pemeriksaan
forensik.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


TUJUAN INSTRUKSIONAL ................................................................................... ii
Tujuan Instruksional Umum (TIU) .................................................................... ii
Tujuan Instruksional Khusus (TIK).................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
TINJAUAN PUSTAKA SECARA KLINIS ........................................................... 1
Pendahuluan ...................................................................................................... 1
Sumber Bahan Racun ......................................................................................... 2
Lethal Dosis ........................................................................................................ 3
Cara Masuk ........................................................................................................ 4
Gejala Klinis ...................................................................................................... 5
Pemeriksaan Lanjutan ........................................................................................ 7
Pemeriksaan Khusus ........................................................................................... 9
Komplikasi ......................................................................................................... 10
Penatalaksanaan ................................................................................................ 10
Penatalaksanaan ................................................................................................. 11
TINJAUAN PUSTAKA ILMU FORENSIK .......................................................... 14
Gejala Post Mortem ........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Umum Organofosfat 2


Gambar 2. Cara Edson 9
Gambar 3. Interpretasi Pemeriksaan Edson 9

iv
TINJAUAN PUSTAKA
SECARA KLINIS

PENDAHULUAN
Baygon termasuk kedalam salah satu jenis racun, yaitu racun serangga
(insektisida). Baygon adalah jenis insektisida yang mempunyai komposisi
senayawa organofosfat. Kejadian Intoksikasi terhadap senyawa organofosfat
masih tinggi angka kejadiannya di dunia terutama di Indonesia.
Intoksikasi (keracunan) dapat diartikan masuknya zat atau senyawa kimia
dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada seseorang yang
menggunakannya.
Senyaawa Organofosfat awalnya ditemukan di jerman selama perang
dunia ke II. Pada perang dunia tersebut jerman menggunakannya sebagai gas saraf
dalam perang kimia terhadap lawannya. Senyawa Organofosfat adalah jenis
insektisida yang paling toksik pada manusia dan paling banyak frekuensinya
ditemukan sebagai penyebab keracunan insektisida. Tertelan sedikit seperti 2 mg
pada anak-anak dapat menimbulkan kematian. Pajanan terhadap manusia bisa
terjadi melalui hidung, kulit atau mulut. Pajanan terbanyak melalui kulit, karena
sifat lipofilik dari senyawa organofosfat. Paparan yang serius mempengaruhi
reseptor rangsangan muscarinic dan nicotinic.
Menurut WHO tahun 2004 dilaporkan 200.000 kematian yang terjadi
akibat keracunan senyawa Organofosfat. Distribusi kejadian keracunan
Organofosfat beragam di tiap wilayah di dunia. Sampai saat ini menurut WHO,
sekitar 1 juta kejadian keracunan akibat ketidaksengajaan dan 2 juta keracunan
akibat percobaan bunuh diri menggunakan bahan ini. Jumlah tersebut mungkin
hanya sebagian dari kasus yang terjadi karena sebagian besar keracunan tidak
dilaporkan.
Dimasa kini makin seringnya terjadi masalah keracunan, mulai dari
kecelakaan wisata, kecelekaan kerja, atau kecelakaan rumah tangga sampai usaha
bunuh diri, pembunuhan perorangan bahkan pembunuhan massal yang dikaitkan
dengan bio terrorism. Insektisida yang digunakan saat ini umumnya bersifat

1
neurotoksik dan target racunnya pada sistem saraf organism terutama insektisida
jenis Organofosfat.
Penanggulangan masalah ini cukup rumit karena beberapa faktor yaitu
kurangnya informasi tentang zat penyebab keracunan karena korban tidak sadar
atau enggan bicara dan faktor ketersediaan antidot racun yang belum semuanya
tersedia, serta kadang antidotnya sendiri merupakan bahan toksik. Oleh karena itu,
penatalaksanaan keracunan organofosfat seringkali bersifat simptomatis dan
supportif.
.
SUMBER BAHAN RACUN
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat
adalah kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik dalam
menghambat cholinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin pada
reseptor muskarinik, nikotinik, SSP sehingga dapat menyebabkan kematian.
Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain,
fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari
organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion,
dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat
bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, per oral,
inhalasi dan juga injeksi.

Gambar 1. Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif
terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi,
misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa

2
golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya
Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida golongan organofosfat
merupakan golongan insektisida yang cukup besar, menggantikan kelompok
chlorinated hydrocarbon yang mempunyai sifat:
a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap
b. chorinatet hydrocarbon.
c. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka
waktu yang lama
d. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme
e. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang, jika
dibandingkan dengan organoklorine.
f. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.
Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disynthesis dan diuji
untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500
jenis saja dewasa ini. Semua produk organofosfat tersebut berefek toksik bila
tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh
serangga.

LETHAL DOSIS
Semua jenis pestisida adalah racun, terutama organofosfat. Dosis yang
semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan. Lethal dosis/
Takaran fatal untuk golongan organofosfat, Malathion 1-5 gram; Parathion 10
mg/kgBB; Systox 100 mg; dan tetraetilpirofosfat 0,4 mg/kgBB.
Dosis letal sulit ditentukan oleh karena berbagai faktor yang
mempengaruhi kerja racun. Oleh karena itu, dosis racun yang digunakan ialah
Approximately Fatal Dose (AFD) yang membantu dokter untuk menilai prognosis
suatu kasus. AFD bisa disebut juga dengan Usual Fatal Dose (UFD). Biasanya
UFD berdasarkan pada Minimum Lethal Dose (MLD) yang umumnya merupakan
indikasi dosis letal pada 50% dari hewan (LD50). UFD pada organofosfat adalah
0.1 mg untuk orang dewasa.

3
Toksisitas didefinisikan sebagai LD50 yang dinyatakan dalam mg
senyawa insektisida per kilogram berat badan, dalam perkataan lain dosis yang
dapat membunuh 50% persen dari jumlah hewan percobaan yang digunakan pada
kondisi laboratorium. LD50 dapat dinyatakan dengan oral (melalui mulut atau
diletakan dalam perut tikus), melalui kulit (digunakan terhadap kulit tikus atau
kelinci), dan melalui pernapasan. Besarnya konsentrasi (dosis) merupakan faktor
yang sangat penting di dalam menentukan bahaya atau tidaknya suatu jenis
insektisida. Di samping toksisitas, variabel lainnya yang cukup penting ialah
dosis, lamanya terkena insektisida, dan caranya masuk ke dalam badan.

CARA MASUK
Keracunan merupakan masuknya suatu zat ke dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan serta kematian. Keracunan akibat insektisida
sudah menjadi masalah seluruh dunia.Estimasi jumlah kasus per tahun sebesar 1-3
juta. Angka kematian beragam mulai dari 1% sampai 9% kasus yang datang
berobat, dan bergantung pada ketersediaan antidote serta mutu layanan medis
yang diberikan. Keracunan yang disengaja (terutama untuk upaya percobaan
bunuh diri atau berhasil bunuh diri) proporsinya dalam kasus keracunan
insektisida cukup besar di Negara tertentu Racun masuk ke dalam tubuh melalui
berbagai cara yaitu:
a. Ditelan (per oral; ingesti):
Portal entri ini sering dan mudah terjadi namun bahan asing yang
masuk tidak akan mudah mencapai peredaran darah karena beberapa
hal penting yang terkait pada fungsi saluran gastro intestinal. Di mulut
xenobiotik bercampur dengan ludah yang mengandung enzim, di
dalam lambung xenobiotik yang tidak tahan asam akan dihancurkan
oleh asam lambung, di usus halus akan bertemu dengan enzim usus
halus yang bersifat basa sehingga xenobiotik asam akan ternetralisir,
dan seterusnya hingga terbuang melalui usus besar. Proses absorpsi
terjadi melalui mukosa usus, yang selanjutnya mengalir melalui system
sirkulasi darah. Konsentrasi tertinggi organofosfat organic pada

4
manusia dideteksi 6 jam setelah zat ini tertelan. Meskipun waktu
paruhnya beberapa menit hingga beberapa jam, absorbs yang lebih
lama atau redistribusi dari cadangan lemak menyebabkan kadar zat ini
masih dapat terdeteksi hingga 48 hari.
b. Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi):
Bukti mengenai efek yang serius akibat pajanan melalui udara
terhadap kesehatan manusia masih sangat sedikit.
c. Melalui penyuntikan (parenteral; injeksi)
d. Penyerapan melalui kulit (absorpsi):
Pajanan xenobiotik melalui kulit terjadi ketika xenobiotik
mengenai kulit atau terbawa angin hingga menempel di kulit. Semakin
luas area kulit yang terkena dan semakin lama durasi kontak maka
semakin serius dampak yang akan terjadi.11 Toksisitas melalui kulit
(acute dermal toxicity) dapat terjadi jika xenobiotik diabsorpsi kulit,
menembus epidermis, kemudian memasuki kapiler darah dalam kulit,
sehingga terbawa sampai paru-paru dan organ vital lainnya seperti otak
dan otot.
Xenobiotik akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau
mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung selama pestisida masih ada
pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian tubuh.
Perpindahan residu pestisida akan menambah potensi keracunan.
e. Melalui anus atau vagina (perektal; pervaginam).

GEJALA KLINIS
a. Gejala toksisitas akut
Gejala yang muncul tergantung jenis racun. Rute, dan lamanya
paparan. Pasien akan mengalami gejala dalam 5 menit setelah menelan
zat ini dalam jumlah yang banyak dan bisa menyebabkan kematian
dalam 15 menit. Besar korban keracunan akut gejala muncul pada 8 jam
setelah terpapar dan pada 24 jam berikutnya semua gejala sudah
muncul.

5
Keterlambatan munculnya gejala dapat terjadi pada racun yang
membutuhkan aktivasi metabolit seperti malathion. Aktivitas
muskarinik yang berlebihan menimbulkan gejala SLUD (salivation,
lacrimation, urination dan defecation ). Dan DUMBBELS(
Defecation, urination, miosis, bronchospam atau bronchochorrea,
emesis, lacrimation, salivation).
Dari aktivitas muskarinik ini miosis merupakan tanda yang
terpenting. Bronchochorrea merupakan gambaran efek toksik
muskarinik yang dapat memberikan gambaran edema paru. Stimulasi
berlebihan dari neuron ganglion adrenergic menyebabkan terjadinya
takikardia, midriasis, hiperglekemia, ketosis, dan leukositosis.
Pemanjangan gelombang QT dan VT polimorfus (torsades de pointes)
dapat pula terjadi. Stimulasi kelenjar keringat yang berlebihan
menyebabkan diaphoresis. Pada neuromuscular junction, stimulasi
berlebihan akan menyebabkan blockade depolarisasi neuromuscular
(efek yang sama oleh suksinilkolin) sehingga terjadi otot kaku, lemas
hingga paralisis.

b. Gejala toksisitas kronik


Paparan kronik sering terjadi pada pekerja yang kontak dengan
sedikit toksin dalam waktu lama sehingga pada akhirnya toksin
tersebut sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya gejala. Dengan
mekanisme seperti pada keracunan akut. Paparan kronik pada
umumnya tidak menimbulkan gejala keracunan yang signifikan.

c. Delayed toxic syndromes ( Organic Phosphorous Compound Only )


intermediate syndrome
Kekakuan otot yang terjadi tanpa kedutan otot atau
gambaran kolinergik yang dapat terjadi pada pasien dalam 24-96
jam setelah keracunan akut organofosfat. Sebagian besar kasus
intermediate syndrome terjadi pada pasien dengan diawali tanda

6
dan gejala klasik kolinergik dan membaik dalam 1-2 hari setelah
terapi. Kekakuan berulang secara tiba-tiba pada limbus proksimal,
fleksor leher, dan kelumpuhan saraf cranial dan otot respirasi
membedakan sindrom ini dari keracunan klasik. Meskipun etiologi
pastinya belum diketahui, teori yang popular menjelaskan bahwa
terapi yang tidak adekuat dan redistribusi dari organofosfat lipofilik
pada jaringan adipose berperan untuk terjadinya keracunan.
Dengan terapi sesuai standar/ adekuat maka kekakuan dan
kelumpuan umumnya membaik 5-18 hari.

Neuropati perifer
Neuropati perifer dapat terjadi dalam beberapa hari atau
beberapa minggu setelah paparan akut atau paparan kronik dari
organofosfat. Kelainan ini karena adanya hambatan dari enzim
neurotoxic esterase atau neuropathy target esterase (NTE).
Temuan patologik dari efek primer keracunan ini adalah
pembesaran neuron distal dengan degenerasi aksonal hingga
demielinasi. Kekakuan otot distal dan nyeri sering menyertai gejala
keracunan tetapi kekakuan yang terjadi dapat lebih progresif untuk
terjadinya kelumpuhan. Belum jelas diketahui apakah onset dan
penyebab klinis dapat diperbaiki dengan atropine atau pralidoksim.
Kenyataan, toksisitas kolinergik jarang ditemukan dan
pemulihan pada pasien ini membutuhkan waktu beberapa bulan
hingga beberapa tahun. Gejala klinis yang muncul bervariasi sesuai
jenis insektisida dan rute intoksikasi.

PEMERIKSAAN LANJUTAN
Analisis toksikologi harus sedini mungkin. Hal ini selain dapat
membantuk penegakkan diagnosis, juga berguna untuk kepentingan penyidikan
polisi pada kasus kejahatan. Sampel yang dikirim ke laboratorium adalah 50 ml
urin, 10 ml serum, bahan muntahan dan feses.

7
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga
adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi
lambung.

b. Laboratorium Klinik
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas darah.
Beberapa ganggguan gas darah dapat membantu penegakan diagnosis
penyebab keracunan. Pemeriksaan fungsi hati, ginjal dan sedimen urin
harus pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui dampak
keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis penyebab
keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang
mengandung asam jengkol. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan
darah perifer lengkap juga harus dilakukan.

c. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan karena
sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang beruba sinus
takikadia, sinus bradikardia, takikardia supraventikular, torsade de
pointes, fibrilasi ventrikular, asistol, dan disosiasi elektromekanik.

PEMERIKSAAN KHUSUS
Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan,
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di
tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk mengindentifikasi
adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik. Biomarker dari suatu paparan
zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang
mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan

8
udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk
investigasi kasus keracunan organofosfat.
Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan
hati, limpa, paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan
plasma dapat dilakukan dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip
(Acholest).
1. Cara Edson
Cara ini dilakukan berdasarkan perubahan pH darah;
AChE
ACh kolin + asam asetat
Gambar 2. Cara Edson
Ambil darah korban dan tambahkan indicator brom-timol-biru, diamkan
beberapa saat maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang
timbul dengan warna standar pada comparator disc (cakram pembanding),
maka dapat ditentukan kadar AChE dalam darah.
% aktifitas AChE darah Interpretasi
75% - 100% dari normal tidak ada keracunan
50% - 75% dari normal keracunan ringan
25% - 50% dari normal Keracunan
0 % - 25 % dari normal keracunan berat
Gambar 3. Interpretasi Edson
2. Cara Acholest
Ambil serum darah korban dan teteskan pasa kertas Acholest bersamaan
dengan control serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach
dan indikator. Waktu perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan
warna harus sama dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu
warna kuning telur.
Interpretasi:
kurang dari 18 menit tidak ada keracunan, 20-35
menit keracunan ringan, 35-150 menit keracunan berat

9
seseorang dapat dimasukkan rumah sakit untuk perawatan dan
observasi.

KOMPLIKASI
Ada berbagai komplikasi yang bisa disebabkan oleh keracunan
organofosfat diantaranya :
a. Hati
Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik.
Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan
oleh karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak
sel-sel hati. Efek bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat
menyebabkan inflamasi sel-sel(hepatitis kimia), nekrosis (kematian
sel), dan penyakit kuning. Sedangkan efek jangka panjang berupa
sirosis hati dari kanker hati.
b. Ginjal dan saluran kencing
Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek
bahan kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal akut, gagal ginjal
kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih.
c. Sistem syaraf
Bahan kimia yang dapat menyerang syaraf disebut neurotoksin.
Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat
fungsi otak. Gejala-gejala yang diperoleh adalah mengantuk dari
hilangnya kewaspadaan yang akhirnya diikuti oleh hilangnya
kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan sistem syaraf pusat.
Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang menuju ke
syaraf salah satunya organofosfat. Akibat dari efek toksik
organosfofat ini dapat menimbulkan kejang otot dan paralisis
(lurnpuh).

10
PENATALAKSANAAN
a. Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan
resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa :
Pembebasan jalan napas
Perbaikan fungsi pernapasan (ventilasi dan oksigenasi)
Perbaikan sistem sirkulasi darah

B. Dekontaminasi
Merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan
pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan.
Petugas, sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung
berupa sarung tangan, masken dan apron. Ada beberapa dekontaminasi
yang perlu dilakukan yaitu:
Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering,
sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif),
pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi
muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi
jumlah paparan bahan toksik.
Namun tindakan ini dikontraindikasikan pada keracunan
bahan korosif, bahan berminyak, dan pada gangguan mental.
Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek muntah di
tenggorokan), atau pemberian air garam.
Kontraindikasi: cara ini tidak boleh dilakukan pada
keracunan zat korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin),
kesadaran menurun dan penderita kejang
Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari
pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas
dan berikan oksigen 100% dan jika perlu beri ventilator.

11
Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata
dari racun yaitu dengan memposisikan kepala pasien
ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang terburuk
kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan
aquades atau NaCL 0,9% perlahan sampai zat racunnya
diperkirakan sudah hilang. selanjutnya tutup mata dengan kassa
steril segera konsul ke dokter mata
Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian,
arloji, sepatu dan aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah
plastik yang kedap air kemudian tutup rapat, cuci bagian kulit yang
terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit
selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.

C. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun
yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah
lebih dari 4 jam. Langkah-langkahnya meliputi :
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang
sadar atau dengan pemberian sirup ipecac 15 30 ml. Dapat
diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil.
Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga
racun telah sampai diusus halus dan besar.
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif.
Hasilnya paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4
jam setelah keracunan.

Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila


keracunan terjadi kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga berat
tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan

12
pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.

D. Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat
sedikit jumlahnya. Salah satu antidotum yang bisa digunakan adalah Atropin
sulfat (SA) yang bekerja menghambat efek akumulasi Ach pada tempat
penumpukannya.
Atropin
Merupakan penatalaksanaan prioritas kedua untuk mengontrol
aktivitas muskarinik yang berlebihan. Atropin sulfat berkompetisi
dengan antagonis Ach pada reseptor muskarinik untuk menimbulkan
sekresi yang berlebihan, miosis, bronkospasme, muntah, diare,
diaforesis dan inkontinensia urin. Pada pedoman ACLS dan PALS,
keracunan serius ini kadang membutuhkan 1000 mg atropin dalam 24
jam dan total dosis yang dibutuhkan sampai 11.000 mg. Sebagian
besar klinisi menggunakan strategi ganda (1,2,4,8,16 mg,...dst) tiap 3-
5 menit sampai terjadi atropinisasi.Beberapa pusat pengobatan lebih
menyukai menggunakan infus atropi.
Pada pemberian atropin diharapkan sekresi lendir pulmoner
berkurang, dan perubahan pupil atau denyut jantung. Karena dosis
Atropin yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan delirium yang
berkepanjangan dan suplai berlebihan sehingga diperlukan obat
pengganti yaitu glycopyrrolate (dosis awal 1-2 mg) jika diharapkan
minimal penetrasi ke ssp.
Pralidoksim (2-PAM)
Bekerja untuk memperbaiki AchE karena atropin tidak dapat
melawan efek nikotinik. Pemberian pralidoksim dilakukan ketika efek
toksik nikotinik muncul atau dosis atropin sesuai standar pedoman
ACLS atau PALS sudah berlebihan. Ikatan Organosfosfat dengan
AchE akan permanen seiring lamanya terpapar makan mulai

13
pemberian terapi 2-PAM harus sesegera mungkin ketika ada indikasi.
Dosis awal 2-PAM pada orang dewasa 2g intravena tiap 10-15 menit
(dosis maksimum untuk anak-anak 25-50 mg/kg IV). Infus yang cepat
dari 2-PAM sebaiknya dihindari karena dapat mencetuskan terjadinya
toksisitas melalui blok sementara AchE. Jika pemberian dosis awal
berespons, maka 2-PAM dilanjutkan tiap 6 jam sampai pasien bebas
gejala dalam 24 jam. Pada sebagian besar kasus infuse dilanjutkan
pada dosis 250-500 mg/ jam ( 10-20 mg/kg/ jam pada anak-anak) dan
dititrasi sampai timbul efek klinis. Dilanjutkan terapi sampai 24 jam
setelah gejala klinis membaik. Jika terjadi sindrom intermediate dan
aktivitas kolisesterase menurun maka terapi 2-PAM sebaiknya
ditunda.
Benzodiazepin
Terapi ini berdasarkan pada model hewan, ditemukan diazepam
dapat mempernbaiki kesintasan dari korban keracunan pestisida
organofosfat berat. Efek yang timbul lebih berupa terminasi sederhana
dari kejang. Dosis standar yang digunakan sama pada pasien intubasi
dan kejang.

PROGNOSIS
Apabila pasien keracunan organofosfat diberikan pengobatan secara cepat
dan tepat dapat menghasilkan hasil yang baik. Penanganan terutama dibawa 4 jam
pasien dapat tertolong dari keracunan organofosfat.

14
ILMU FORENSIK

GEJALA POST MORTEM


Gejala post mortem yang sering dijumpai pada keracunan organofosfat
adalah livor mortis. Livor mortis yaitu warna ungu kemerahan (livide) pada
bagian tubuh terendah akibat akumulasi darah di pembuluh darah kecil di bagian
tubuh yang paling rendah akibat gravitasi. Livor Mortis yang berwarna kebiruan
kadang-kadang disalah artikan sebagai memar.
Pada keracunan organofosfat Livor mortis sering berwarna merah padam,
tetapi bervariasi, tergantung oksigenasi sewaktu korban meninggal. Bila terjadi
bendungan/hipoksia, livor mortis yang lebih gelap karena adanya hemoglobin
tereduksi dalam pembuluh darah kulit.
Livor mortis merupakan indikator yang kurang akurat dalam menentukan
mekanisme kematian. Kematian dengan sebab wajar oleh karena gangguan
coroner atau penyakit lain memiliki livor mortis yang lebih gelap
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan
kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja
enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam
bentuk komponen yang stabil. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis
asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan
jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer.
Organofosfat bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun
pernafasan. Intoksikasi insektisida golongan organofosfat menyebabkan
terjadinya kegagalan pernafasan, salah satu efek dari organofosfat ialah
bronkospasme/bronkokonstriksi, sehingga oksigen tidak dapat masuk ke dalam
paru-paru. Hal ini menyebabkan asfiksia karena kadar CO2 lebih tinggi daripada
kadar O2 dalam darah.

15
PEMERIKSAAN LUAR
1. Bau
Membaui korban dengan kasus keracunan dapat memberikan petunjuk
mengenai racun apa yang telah ditelan oleh korban. Pada kasus keracunan
organofosfat mungkin akan tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak
tanah. Sumber bau yang menjadi petunjuk penyebab keracunan dapat berasal
dari pakaian, lubang hidung, dan mulut serta rongga badan.
2. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak zat racun yang disebabkan
tercecernya racun yang ditelan atau oleh karena muntahan.Penyebaran bercak
perlu diperhatikan, karena dari penyebaran itu kadang-kadang dapat diperoleh
petunjuk tentang intensi atau kemauan korban, yaitu apakah racun itu ditelan
atas kemauannya sendiri atau dipaksa. Dalam hal korban dipegangi dan
dicekoki racun secara paksa, maka bercak-bercak akan tersebar pada daerah
yang luas. Selain itu pada pakaian mungkin melekat bau racun (Waluyadi,
2007).
3. Lebam mayat dan perubahan warna kulit
Warna lebam mayat yang tampak pada pemeriksaan luar merupakan cerminan
manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.Warna lebam mayat yang
tidak biasa dapat menjadi petunjuk dari zat racun yang tertelan atau ditelan.
Pada kasus keracunan organofosfat tidak ditemukan lebam mayat yang khas.
Begitu juga dengan perubahan warna kulit. Pada keracunan organofosfat tidak
ditemukan tanda-tanda perubahan warna kulit yang khas (Waluyadi, 2007).
4. Pada kasus keracunan akut hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia

PEMERIKSAAN DALAM

1. Pada kasus keracunan organofosfat yang akut, pada pemeriksaan dalam dapat
ditemukan edema paru-paru, dan perbendungan organ-organ tubuh, mukosa
lambung mengalami inflamasi disertai perdarahan petekie .

16
2. Pada kasus keracunan organofosfat yang dicobakan pada binatang dengan
keracunan kronik dapat ditemukan nekrosis sentral dan degenerasi bengkak
keruh pada hati ; vakuolisasi, girolisis dan retikulasi basofilik yang jelas pada
otak dan medula spinalis ; perlemakan pada miokardium ; degenerasi sel
tubuli ginjal.
3. Pada kasus keracunan organofosfat dapat ditemukan penurunan aktifitas
enzim asetilkolinesterase dalam jaringan otak pada pemeriksaan laboratorium
lanjutan.

PEMERIKSAAN KHUSUS (TOKSIKOLOGI)


Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya
tidak akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan
untuk menegakan diagnosa atau menentukan sebab kematian karena racun suatu
zat. Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan
adanya racun pada setiap kasus keracunan atau yang diduga mati akibat racun.
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh
merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa
ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan
ginjal. Pada keracunan organofosfat bahan pemeriksaan toksikologi dapat diambil
dari : Darah, Jaringan hati, Jaringan otak, Limpa, Paru-paru, Lemak badan .

KESIMPULAN PEMERIKSAAN FORENSIK


Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et
Repertum Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan.
Prosedur penerbitan Visum et Repertum peracunan sesuai dengan prosedur
medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat berdasarkan Surat Permintaan
Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP).
Dalam Visum et Repertum peracunan ditentukan kualifikasi luka akibat
peracunan, dimana penentuannya berdasarkan penilaian efek racun terhadap
metabolisme dan gangguan fungsi organ yang diakibatkan oleh racun.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoko W, Widayat D. Keracunan Insektisida. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. 2014: 289-301.
2. Thanos A, Tomuka D, Mailo T. Livor Mortis Pada Keracunan Insektisida
Golongan Organosfosfat Di Kelinci. J Clinic: 4; 2016. 2016: p.10-20.

18

Anda mungkin juga menyukai