Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KRITIS THD PANDANGAN PAUL KNNITER MENGENAI AGAMA YANG UNITIF

( Nicholas kurniawan)
A.PENDAHULUAN.

John Stott pernah menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab utama munculnya
pluralisme. Pertama, proses sekularisasi yang melanda gereja sehingga gereja kehilangan
pengaruhnya terhadap manusia-manusia maupun lembaga-lembaga. Kedua, sejajar dengan
kemunduran gereja ini telah terjadi kenaikan dalam alternatif-alternatif non Kristiani. Dua
alasan ini sebenarnya sudah cukup untuk memunculkan gelombang gerakan pluralisme
agama. Dan dari dua alasan ini gelombang pluralisme itu sendiri menjadi makin bertumbuh
subur khususnya di suatu wilayah atau negara yang sangat heterogen, baik dalam hal suku
bangsa maupun dalam hal agama. Dan dalam dunia yang heterogen seperti itulah tidak
mengherankan bila topik mengenai kesatuan terus diagung-agungkan dan makin
dipropagandakan secara meluas.
Berbicara mengenai kesatuan di dalam dunia agama yang pluralis pada zaman ini memang
tidak mudah, karena masing-masing agama mempunyai latar belakang dan sejarah masing-
masing yang beraneka ragam. Sehingga bukan tidak mungkin kalau kesatuan dan persatuan
itu tinggal hanya menjadi mimpi dan slogan kosong yang hanya terdengar gemanya, tetapi
tidak terlaksana dalam realitas kehidupan. Namun bukan berarti bahwa semangat
kesatuan itu sama sekali tidak diperlukan, karena justru memang hal itulah yang amat
dibutuhkan dalam konteks pluralitas. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semangat
atau visi tentang kesatuan itu benar adanya? Apakah motivasi yang sebenarnya
melatarbelakanginya?
Dan bukan saja bicara soal motivasi, tetapi juga perlu dipertanyakan, bagaimana kesatuan
itu diperjuangkan? Apakah tetap dengan memelihara perbedaan yang ada atau malah
mengkompromikan karakteristik khas yang dimiliki oleh masing-masing anggota yang ada?
Hal-hal seputar inilah yang perlu dipikirkan dan yang akan dibahas di dalam kajian singkat
ini.
Tokoh yang dipilih untuk dipelajari dalam kajian ini adalah Paul Knitter yang terkenal
sebagai seorang tokoh pluralis yang pernah mempunyai visi tentang pluralisme yang unitif
(kemajemukan yang bersatu). Inilah yang akan dibahas dan dikaji secara kritis dan akan
dituangkan dalam tulisan ini. Kajian ini bukan sekedar ingin menghasilkan suatu studi kritis
terhadap gagasan pemikiran Paul Knitter tentang pluralisme yang unitif. Namun lebih jauh
lagi diharapkan kajian ini akan berguna bagi setiap orang Kristen yang berani menghadapi
tantangan pluralistis pada zaman sekarang ini, khususnya di Indonesia. Maksudnya
berguna, yaitu agar kajian ini dapat dijadikan suatu bahan perenungan dan pembentuk
sikap Kristen seharusnya dalam berhadapan dengan gelombang pluralisme yang makin
merajalela belakangan ini.
Kajian ini akan mempelajari pemikiran seseorang yang memang tidak mudah. Perlu adanya
kejelian dan ketelitian di dalam melakukannya. Oleh karena itu untuk menjadikan kajian
ini mencapai hasil yang diinginkan seperti tersebut di atas, akan dilakukan langkah-
langkah pembahasan. Pertama, melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang
memuat tentang pandangan Paul Knitter, khususnya mengenai gagasan pluralisme unitif
yang ia tuliskan dalam bagian pembukaan bukunya yang terkenal, yaitu No Other
Name.1628 Gagasan tersebut akan diteliti dasar pemikirannya dan isi pandangan itu sendiri
serta dampak yang dihasilkan dari gagasan itu, yaitu ajaran-ajaran penting dari Paul
Knitter. Kedua, melakukan analisis kritis terhadap pandangan tersebut, baik terhadap
latar belakang dan dasar pemikiran di baliknya, metode pendekatan yang digunakannya
dan dampak yang dihasilkannya. Tentu saja analisis yang dilakukan tidak jauh dari
pengamatan kacamata Injili, sesuai dengan posisi yang penulis miliki sejauh ini. Analisis ini
juga bukan sekedar melihat kelemahan dari gagasan ini, tetapi juga berusaha
memandangnya secara objektif. Ketiga, kajian ini akan ditutup dengan suatu kesimpulan
dan sedikit bahan refleksi bagi Kristen dalam menghadapi tantangan dari pluralisme
semacam ini.
B.PLURALISME AGAMA YG UNITIF.

A. Sekilas Mengenai Paul Knitter


Paul Knitter adalah seorang profesor teologi di Universitas Xavier, Cincinnati. Beliau
menerima Licentiate dalam teologi dari Universitas Pontifical Gregorian di Roma (1966)
dan gelar Doktor dari Universitas Marburg di Jerman (1972). Karya-karyanya berdasarkan
penelitian yang ia terbitkan berkisar di seputar masalah pluralisme agama dan dialog antar
agama. Karyanya yang terkenal adalah No Other Name? (1985), yang menantang Kristen
untuk berkomitmen dalam dialog yang lebih efektif dengan orang-orang dari agama lain.
Baru-baru ini, ia membahas mengenai bagaimana komunita-komunita agama di dunia ini
dapat bekerja sama dalam mendukung keberadaan manusia dan ekologi yang baik. Karya-
karyanya yang terbaru, setelah No Other Name? adalah One Earth Many Religions:
Multifaith Dialogue and Global Responsibility (1995) dan Jesus and The Other Names:
Christian Mission and Global Responsibility (1996). Knitter juga menjabat sebagai editor
utama dari buku-buku terbitan Orbis, yang bertajuk seri "Faith Meets Faith."1629
B. Dasar Pemikiran dan Titik Berangkat Gagasan Pluralisme Agama yang Unitif
Dalam bagian awal dari tulisannya, Paul Knitter memulainya dengan mengajukan beberapa
pertanyaan yang umum diajukan dalam konteks agama-agama di dunia ini,
"Masalah banyak agama ini begitu menyakitkan, karena kuantitas dan kualitas pengetahuan
tentang banyak agama dan agama-agama lain sekarang telah mematikan serangkaian
pertanyaan-pertanyaan yang para agamawan tanyakan sejak dulu kala, dan mereka hanya
ambil langkah aman dalam kamp-kamp agamawi mereka sendiri yang terisolasi, dan tidak
pernah menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa ada begitu banyak agama-
agama yang berbeda? Jika Allah satu, bukankah seharusnya hanya ada satu agama? Apakah
agama-agama itu sama-sama benar dan sama-sama salah? Apakah mereka itu mau
membagikan sesuatu yang sama? Bagaimana mereka berelasi satu dengan lainnya? Apakah
banyak agama itu sesungguhnya hanya satu adanya? Dan lebih spesifik lagi, bagaimana
sebaiknya agama saya berelasi dengan yang lainnya? Dapatkah saya belajar dari agama
yang lain? Dapatkah saya belajar dari mereka lebih dalam dari apa yang saya pelajari dari
agama saya sendiri? Mengapa saya beragama ini dan orang lain beragama yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, khususnya
bagi mereka yang memandang agama mereka dengan serius."1630
Dalam upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka Knitter memberikan tiga
pertimbangan yang mendasari pembahasannya: pertama, realitas pluralisme agamawi di
dunia masa kini. Kedua, visi baru dari kesatuan agama sehingga realita ini menjadi saran
bagi banyak pemikir. Ketiga, masalah-masalah bahwa semua ini dimunculkan bagi Kristen-
Kristen yang berintelijen dan prihatin.1631
Dari pertimbangannya inilah, Knitter mulai mengekspos perihal pluralisme agama dengan
memandangnya dari sudut pandang yang baru, sehingga ia menamakan pluralisme agama
itu sebagai suatu realita yang dialami dengan cara yang baru (a newly experienced
reality). Maksudnya adalah bukan sekedar suatu pengetahuan tentang sistem-sistem atau
gagasan-gagasan agama yang lain, tetapi juga pengetahuan tentang pribadi-pribadi yang
beragama lain itu yang kompleks, sehingga kita bisa saling belajar dari bahasa mereka,
pengalaman mereka, dan kehidupan mereka sehari-hari.1632 Selain itu perlu adanya
perspektif baru dalam memandang pluralisme agama itu, yaitu mengarahkan kesadaran
kultural kita kepada pemahaman yang sederhana tetapi penting, yaitu bahwa 'tidak ada
yang satu dan satu-satunya' (there is no one and only way) dan kesadaran ini bukan saja
diterapkan pada agama-agama, tetapi juga pada budaya, filsafat, dan sistem
ekonomi.1633 Prinsip ini sebenarnya berkaitan dengan pandangan dari Nicholas Lash yang
mengatakan bahwa "hari ini, jagad raya pengertian tidak memiliki pusat."1634 Knitter juga
mengutip pandangan Panikkar bahwa:
"Kita sedang menghadapi suatu fakta bahwa saya (pemikiran saya, kesadaran saya,
keberadaan saya, bangsa saya, agama saya) tidak dapat menyempurnakan hal-hal yang riil,
juga bukan sayalah yang menjadi pusatnya - tetapi saya hanyalah salah satu kutubnya,
kalaupun bukan sesuatu sama sekali. Ada banyak yang lain."1635
Setelah memaparkan tantangan yang mengajak para pembacanya untuk memiliki
kesadaran yang kuat tentang tantangan pluralisme sebagai suatu masalah eksistensial
manusia, Knitter menawarkan jalan keluar untuk menghadapi tantangan ini yaitu dengan
memperkenalkan satu jenis kesatuan di antara banyak agama-agama yang ada di dunia ini,
yaitu pluralisme yang unitif. Titik awal yang menjadi dasar gagasan ini adalah berangkat
dari pemikiran bidang ilmu filsafat, sosiologi psikologi, dan politik ekonomi."
C. Ajaran tentang Pluralisme Agama yang Unitif
Berangkat dari tiga kelompok disiplin ilmu yang dipakai oleh Knitter sebagai acuannya,
maka ia memaparkan argumen-argumennya tentang kepentingan pluralisme agama yang
unitif. Pertama, Knitter mengamati bidang filsafat, mengenai pandangan yang prosesif dan
relasional tentang realita (The Processive Relational View of Reality). Knitter mengatakan
bahwa dunia ini dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bersifat evolusioner atau sedang
berada di dalam proses, sehingga kita tidak ada di dalam suatu kondisi keberadaan
(being), tetapi dalam kondisi menjadi (becoming)." Ia memberikan begitu banyak contoh
tentang gagasan mengenai hal-hal yang prosesif dalam realita kehidupan manusia sejak
zaman dulu, misalnya Heraclitus yang pada 2.500 tahun yang lalu menyelidiki bahwa
'segala sesuatu mengalir' dan kita semua tidak dapat melangkah pada sungai yang sama
untuk kedua kalinya. Lalu pandangan ini didukung oleh Alfred North Whitehead dan
Charles Hartshorne tentang visi dari sebuah dunia yang berada di dalam sebuah
petualangan kreatifitas melalui proses, Teilhard de Chardin yang memandang alam
semesta ini yang sedang berevolusi dengan penuh kesakitan tetapi stabil dari biosphere
(dunia yang berisi kehidupan) kepada noosphere (dunia kesadaran manusia dan aktivitas
mental yang berpengaruh kepada biosphere itu dan berkaitan dengan evolusi) dan menuju
kepada kesatuan titik omega.1636
Dari banyak contoh lainnya, khususnya dari dunia filsafat Knitter lalu merumuskan tentang
pluralisme unitif ini semacam suatu pergerakan yang bukan menuju pada kesatuan yang
monistik atau absolut, tetapi menuju suatu pluralitas yang mengukuhkan unitas
(kesatuan).1637 Setelah itu, ia memaparkan definisi yang lengkap mengenai pluralisme yang
unitif, yaitu:
"...sebuah pengertian baru tentang kesatuan agamawi dan sama sekali berbeda dengan
yang gagasan yang lama dan rasionalistik tentang 'satu agama dunia'.... Visi baru ini bukan
sinkretisme yang menggabungkan semua perbedaan historis di antara agama-agama dalam
rangka melembagakan inti mereka yang sama, juga bukan imperialisme yang percaya
bahwa ada satu agama yang memiliki kuasa untuk memurnikan dan dengan demikian
merendahkan semua yang lain. Juga bukan satu bentuk toleransi yang malas yang
membawa semua agama pada tahap saling menyadari validitas yang lain dan kemudian
saling meremehkan dan masing-masing pergi menuju jalan yang memuaskan diri masing-
masing.... Pluralisme yang unitif adalah suatu kesatuan di mana tiap-tiap agama,
meskipun kehilangan individualismenya (ego pemisahnya), akan mengintensifkan
personalitasnya (kesadaran diri sendiri melalui relasi). Setiap agama akan memelihara
keunikannya sendiri, tetapi keunikan ini akan berkembang dan akan terus mengambil
kedalaman-kedalaman yang baru dengan cara berelasi dengan agama-agama lain dalam
kebergantungan yang mutual.1638
Kedua, Knitter membahas bidang sosiologi dan psikologi sosial dengan menjelaskan bahwa
setiap Kristen perlu memiliki jati diri pribadi melalui kewarganegaraan dunia (personal
identity through world citizenship). Knitter menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh
Lawrence Kohlberg tentang pentingnya pergerakan dari pemahaman yang konvensional
kepada pasca konvensional tentang identitas dan moralitas.1639 Dari pendekatan inilah,
Knitter menjelaskan mengenai jati diri personal yang universalistik atau yang menyadari
diri sebagai warganegara dunia ini.
Pendekatan ini diterapkan oleh Knitter dalam kehidupan beragama, sehingga dihasilkan
suatu jati diri agama yang universalistik, yaitu sekalipun ia adalah milik sebuah tradisi
agama, ia tidak terikat pada bentuknya yang kaku, tetapi ia bebas menjadi pribadi yang
otonomi dalam suatu proses komunikasi yang tidak ketat dan kaku dengan orang lain dari
tradisi yang sama maupun tradisi lain dengan tujuan untuk adanya persetujuan, dan bukan
kompromi.1640 Hal inilah yang mendukung terwujudnya pluralisme unitif, yaitu sebuah
bentuk baru dari kesatuan agamawi di mana di dalamnya setiap agama memelihara dan
menemukan hal yang memperbarui jati diri mereka sendiri di dalam dan bersama agama-
agama yang lain.
Ketiga, Knitter berbicara tentang bidang politik dan ekonomi dengan mengatakan bahwa
adanya kebutuhan akan sebuah tatanan internasional yang baru (the need for a new
international order). Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi politik dan ekonomi,
Knitter menyadari bahwa perlu adanya tatanan internasional yang baru untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada dalam kedua bidang tersebut. Maksudnya tatanan dunia yang
baru adalah sebuah dunia yang mana di dalamnya bumi adalah milik semua, yaitu sebuah
dunia di mana bangsa-bangsanya akan menetapkan nilai-nilai dan struktur-struktur yang
dapat mengubah ekonomi kerakusan menjadi ekonomi komunitas. Sebuah dunia di mana
tiap-tiap bangsanya akan menyadari bahwa ekonomi komunitas itu dapat terjadi hanya
bila ada respek dan dukungan kemakmuran bagi bangsa lain. Ini akan menjadi sebuah
dunia yang mana komunitas bangsa-bangsa individualnya sungguh-sungguh membentuk
sebuah komunitas dari komunitas-komunitas (the community of communities), di mana di
dalamnya kata 'kami' mempunyai arti baru dalam relasi dan rasa sebagai keseluruhan umat
manusia di dunia ini.1641
Untuk mencapai tatanan dunia yang baru ini, maka kontribusi agama dalam hal ini
sangatlah penting. Hal ini dikarenakan semua agama-agama utama di dunia ini
meninggikan nilai kasih yang rela berkorban bagi orang lain dan mengandung simbol-simbol
kesatuan universal dari umat manusia.1642 Oleh karena itu, untuk menuju sebuah
kolaborasi yang baru antara agama-agama harus diawali dengan pengakuan yang rendah
hati bahwa memang agama-agama dunia telah mengakibatkan perpecahan umat manusia.
Selanjutnya mereka harus menghargai satu dengan yang lainnya, belajar dari yang lain dan
saling berdialog.1643
Sampai di sini dapat sedikit disimpulkan bahwa Knitter memberikan visinya yang menjadi
tantangan bagi Kristen. Dalam penguraiannya, Knitter beberapa kali menyebutkan, apakah
pluralisme yang unitif ini hanya sebuah mimpi saja dan ia menjawab bahwa mimpi ini
perlu diwujudkan menjadi kenyataan.1644
D. Dampak dan Perkembangan Visi Pluralisme Agama yang Unifif terhadap Ajaran
Pluralisme Knitter
Setelah mengamati proposal Knitter tentang visi pluralisme unitif ini, maka inilah
sebenarnya yang menjadi motor penggerak yang lalu melahirkan pandangan-pandangan
dalam ajaran pluralisme dan teologi Knitter selanjutnya. Dalam konteks terdekat atau
dalam penguraian selanjutnya setelah visi dipaparkan dalam buku yang sama, pengaruh
dari visinya ini kuat sekali dalam penguraiannya tentang sikap orang Kristen terhadap
agama-agama lain yang ada di dunia ini, yaitu bukan model evangelikal (dengan
penekanan pada hanya ada satu agama yang benar) atau model katolik (dengan penekanan
pada banyak agama tetapi satu norma) yang keduanya dirasakan Knitter kurang selaras
untuk kondisi dunia yang pluralis. Namun, orang Kristen harus menerapkan model
Teosentris yang ia setujui bersama dari rekan-rekan pluralis lainnya, seperti John Hick
(The Myth of The Incarnation), Raimundo Panikkar (The Universal Christ and The Particular
Jesus), dan Stanley Samartha (The Relativity of All Revelations) yang didukung lagi dari
dialog Yahudi Kristen yang menyatakan bahwa Yesus bukan Mesias. Model Teosentris ini
menekankan pada banyak jalan (dalam agama masing-masing) yang menuju pada pusat,
yaitu Allah. Dalam pandangannya ini, tampak jelas semangat mewujudkan kesatuan itu
dengan memusatkan diri pada Allah daripada kepada Kristus, yang notabene hanya ada di
dalam kekristenan dan tidak di dalam agama lain.
Selain itu, pandangan Knitter tentang Kristologi yang Teosentris dan relasional yang di
dalamnya dijelaskan tentang Kristus yang dipahaminya.1645 Knitter mengajukan lima tesis
tentang Keunikan Yesus: pertama, karena natur dan sejarah Kristologi, maka pengertian
terdahulu tentang keunikan Yesus dapat direinterpretasikan. Kedua, karena keharusan
dialog pengertian terdahulu tentang keunikan Yesus harus direinterpretasikan. Ketiga,
keunikan peranan Yesus yang menyelamatkan dapat direinterpretasikan dalam arti
'sesungguhnya', tetapi bukan 'satu-satunya'. Keempat, isi keunikan Yesus harus diperjelas
dalam kehidupan dan kesaksian Kristen, dan ini dimengerti dan diberitakan dengan cara
yang berbeda dalam konteks dan periode sejarah yang berbeda. Hari ini keunikan Yesus
dapat ditemukan dalam kandungannya bahwa keselamatan atau pemerintahan Allah harus
disadari di dalam dunia ini melalui tindakan-tindakan kasih dan keadilan manusia. Kelima,
reinterpretasi tentang keunikan Yesus ini harus berdasar terutama pada kemampuan
reinterpretasi itu untuk menumbuhkan spiritualitas Kristen yang holistik, yaitu ibadah dan
pengikutan Yesus. Pemahaman tentang Yesus sebagai firman Allah yang menyelamatkan
harus dimengerti sebagai yang sesungguhnya, tetapi bukan satu-satunya (truly but not the
only). Pengaruh dari visi pluralisme yang unitif ini begitu kental dalam konsep Knitter
tentang keunikan Yesus itu.
Di samping itu, pengaruh visi pluralisme unitif ini berpengaruh pada pandangannya tentang
teologi pembebasan agama-agama yang memakai pendekatan teologi pembebasan untuk
menuju pada pembebasan agama-agama yang ada di dunia ini.1646 Dalam penguraiannya
mengenai hal ini, Knitter seolah memandang orang-orang beragama itu seperti orang yang
terkungkung dalam sistem agama dan kepercayaannya masing-masing yang kaku, sehingga
mereka perlu dibebaskan dari kungkungan itu dan menuju pada suatu pembebasan diri dari
kekakuan agama-agama tersebut.
Bukan saja terhadap pandangan-pandangannya, tetapi visi pluralisme unitif ini juga
menjadi penggerak dari tindakan-tindakan Knitter dalam membangun semangat dialogis
yang kuat antar agama. Misalnya, tulisannya tentang dialog dan tanggung jawab
global1647 dan misi Kristen serta tanggung jawab global.1648 Di mana dalam kedua karyanya
ini, Knitter menjelaskan mengenai keharusan berdialog yang korelasional (correlational
dialogue)1649 bertanggung jawab dan secara global (globally responsible) dan ia
memberikan masukan tentang saran-saran dalam berdialog dengan orang yang berbeda
iman. Sehingga tidaklah mengherankan bila istilah relasional dan korelasional menjadi dua
kata kunci yang digunakan baik dalam ajarannya maupun dalam tindakan dialognya.
C.ANALISIS KRITIS THD PLURALISME AGAMA YG UNITIF.

A. Analisis Terhadap Latar Belakang Munculnya Gagasan


Bila memperhatikan munculnya gagasan pluralisme agama yang unitif oleh Paul Knitter,
maka dari pernyataan-pernyataan yang dikemukakannya tampak jelas bahwa Paul Knitter
memiliki suatu kerinduan dan kepedulian yang luar biasa. Pertama, kepedulian terhadap
orang-orang beragama di dunia ini yang lahir dari sikap positif terhadap orang percaya
dalam tradisi agama lain. Hal ini begitu nyata dalam ia memberikan argumentasi-
argumentasi tentang pluralisme yang unitif itu dan juga dan karyanya yang berbicara
mengenai dialog Dengan kata lain Knitter tampak memiliki suatu keprihatinan yang
mendalam dalam melihat dunia ini dengan berbagai masalah yang ada di dalamnya,
khususnya berkaitan dengan agama-agama di dunia ini. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa pengaruh Karl Rahner selama Knitter studi di Universitas Munster, telah
mengembangkan sebuah wawasan yang lebih positif terhadap orang percaya dalam tradisi
agama-agama lain.1650
Kedua, kepedulian Knitter bukan saja terhadap orang-orang beragama itu, tetapi juga
terhadap relasi antar orang-orang beragama itu yang ia pandang telah terjadi perpecahan
oleh karena agama. Dengan demikian, ia begitu menekankan mengenai relasi antar agama
maupun antar orang-orang beragama itu sendiri, walaupun selanjutnya relasi yang
dibangun Knitter menjadi relasi yang lebih mengkompromikan kebenaran firman Tuhan.
Knitter memang patut dipuji untuk hasratnya yang dalam untuk membangun dan
memelihara relasi antar agama di antara orang-orang di bumi ini. Kejujurannya,
ketulusannya dan keinginan yang murni untuk mendengarkan dan belajar dari semua orang
memperlihatkan adanya keterbukaan dan kerendahan hati yang jarang ditemukan dalam
diri manusia - dan khususnya di dalam kalangan para teolog.1651
Ketiga, Knitter juga peduli pada penderitaan yang terjadi di dunia ini, khususnya dalam
pengalamannya melayani orang-orang El Savador pada tahun 1986, sehingga ia merasa
bahwa perlu adanya suatu pembebasan orang-orang dari penderitaan itu.1652 Dalam
wawancara dengan Paul Eddy, seorang mahasiswa pasca sarjana di Universitas Marquette,
Knitter mengungkapkan perasaannya dengan pernyataan sebagai berikut: "Saya merasa
tidak dapat meneruskan tugas dialog agama saya tanpa memperhatikan apa yang dimaksud
dengan penderitaan itu menurut Injil".1653
Keempat, selain kepedulian yang ada dalam diri Knitter, tampak adanya suatu kerinduan
yang dalam untuk terwujudnya persatuan dan kesatuan di antara umat beragama.
Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan, sebelum menawarkan alternatif pluralisme yang
unitif ini, adalah pertanyaan-pertanyaan kritis yang seharusnya diajukan oleh setiap orang
Kristen yang begitu perhatian kepada masalah pluralitas agama yang ada di dunia ini. Bila
membandingkan dengan kerinduan Yesus dalam Alkitab untuk terjadinya kesatuan di
antara para pengikut-Nya1654, maka kerinduan Knitter untuk adanya kesatuan ini patut
diacungi jempol. Walaupun memang konteks kesatuan yang dipikirkan oleh Yesus berbeda
dengan kesatuan yang dipikirkan oleh Knitter, dan juga cara yang Knitter lakukan untuk
mewujudkan kesatuan itu tidak dapat sepenuhnya dibenarkan, tetapi setidaknya kerinduan
untuk terjadinya kesatuan antar manusia itu dalam diri Knitter adalah kerinduan yang
baik, yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen. Hanya saja dalam mewujudkan
kerinduan dan visi pluralisme yang unitif itu, Knitter menggunakan cara-cara dan
pengajaran yang lebih mengkompromikan dan mereduksi iman Kristen.
B. Analisis terhadap Metode Pendekatan dan Ajarannya
Bila latar belakang dan dasar pemikiran Knitter tampak begitu baik dan patut dipuji,
namun tidak demikian dengan cara atau metode pendekatan yang ia gunakan. Knitter
berhasil dalam memotivasi seseorang untuk menyadari akan pentingnya memahami
realitas agama yang jamak itu di dunia ini, namun bila memperhatikan metode
pendekatan dan visi pluralisme yang unitif itu, maka tampak adanya beberapa kelemahan.
Pertama, di satu pihak Knitter tampak begitu luas dan mengagumkan dalam memberikan
pendekatan-pendekatan untuk gagasan pluralisme agama yang unitif itu. Ia memakai
pendekatan berupa isu-isu yang memang aktual seperti tiga argumen dari tiga bidang ilmu,
yaitu filsafat, sosiologi dan psikologi sosial, serta politik ekonomi dan semua pembahasan
disertai dengan contoh-contoh dari dunia keilmuan yang menjadi bukti dan dukungan yang
konkret terhadap visinya itu. Namun di pihak lain, Knitter kurang hati-hati dalam
menerapkan pendekatannya itu dalam konteks pluralitas agama, sehingga tampak adanya
kesan memukul rata atau menggeneralisasikan segala input yang ia terima dan
mengaplikasikannya dalam konteks beragama. Misalnya, pemaparan tentang pandangan
yang prosesif dan relasional tentang realitas yang dicarikan dukungan dari contoh-contoh
filsuf yang tentu saja presuposisi dan world view yang mereka miliki itu belum tentu sama
dan bahkan cenderung mengarah kepada relativisme.
Kedua, Knitter mendasarkan pemikirannya seperti kebanyakan yang dilakukan oleh para
pluralis lainnya, yaitu: pertama pergerakan 'filsafat kultural', di mana para pluralis
mengklaim dukungan dari observasi filsafat kontemporer dengan penekanan pada budaya
manusia yang relatif. Kedua, pergerakan 'teologikal mistikal,' di mana para pluralis
memakai pendekatan yang modern tentang Allah sebagai Misteri Infinitif yang Tidak Dapat
Dikenal. Tiga, pergerakan 'etikal praktikal', di mana para pluralis sangat menekankan pada
hal-hal yang bersifat etis dan praktis. misalnya dalam dialog sebagai suatu imperatif.
Keempat, pergerakan 'pastoral' di mana para pluralis menekankan peran penggembalaan
yang praktis yang sangat dibutuhkan dalam berelasi dengan agama-agama lain di dunia ini,
dan kelima, pergerakan 'skriptural', yang mana para pluralis tidak memberlakukan Alkitab
sebagai otoritas utama, sehingga dalam menafsirkannya pun tidak perlu berangkat dari
teks, tetapi dari konteks pergumulan penerimanya.1655 Dari sini, tampak jelas bahwa
gagasan-gagasan tentang hal-hal yang evolusioner dan relasional itu banyak mewarnai
pemikiran Knitter, sehingga tidak heran bila kebenaran yang dipahami oleh Knitter bukan
kebenaran yang normatif (berpedoman pada satu aturan), tetapi kebenaran yang relatif
dan relasional yang sangat bergantung pada relasinya dengan konteks penerimanya.
Ketiga, sepertinya memang Knitter sedang berusaha menggunakan metode yang berangkat
dari konteks pergumulan manusia modern pada zamannya. Knitter memang berupaya
untuk mendaratkan pemikirannya untuk konteks dunia ini, tetapi akhirnya menjadikan
konteks sebagai titik berangkat pemikirannya dan bukan melihatnya dari sudut pandang
teks kitab suci dalam agama tersebut. Dengan kata lain, Knitter lebih mengutamakan
ortopraksi daripada ortodoksi, dan tidak heran pula bila lalu ia merangkul teologi
pembebasan dalam pendekatannya terhadap pluralisme agama.
Keempat, Knitter berusaha dengan proposal pluralisme agama yang unitif ini untuk tidak
terjebak pada ekstrim tertentu. Ia berusaha untuk menghindar dari pluralisme yang radikal
di satu pihak, tetapi juga tidak mau terjebak pada kesatuan monistik yang absolut. Namun
demikian, tidak semudah itu mengajukan jalan tengah ini, karena tetap akhirnya Knitter
berada di kubu pluralis yang mereduksi keunikan agama masing-masing sedemikian rupa
demi terjadinya relasi yang baik antar agama tersebut.
Kelima, perlu adanya dua pertanyaan yang terus menerus diajukan terhadap visi
pluralisme agama yang unitif dan semua pengajaran dari Knitter, yaitu dua pertanyaan
yang sebenarnya berasal dari Knitter juga,1656 yaitu 'apakah itu bisa terjadi?' (does it
work?), dalam arti apakah hal ini memberikan suatu titik yang mutual dan sesuai dengan
persetujuan semua pihak dan 'apakah itu Kristen?' (is it Christian?), dalam arti apakah hal
ini menunjukkan kesetiaan pada kesaksian Alkitab dan sejarah kekristenan. Sampai di sini
dapat dikatakan bahwa memang visi ini seperti sedang menuju pada utopia yang tidak
mudah untuk diraih.
Kesimpulan - Pluralisme Unitif: Suatu Tantangan bagi Kristen Masa Kini
Dari analisis di atas, jelaslah bahwa sekalipun maksud, motivasi, dan semangat persatuan
Knitter adalah maksud yang mulia, tetapi untuk mencapai tujuan itu Knitter seolah
menghalalkan segala cara, termasuk mereduksi imannya. Hal ini sesungguhnya tidak harus
terjadi.
Mencermati gagasan Paul Knitter mengenai visi pluralisme agama yang unitif, seharusnya
memang Kristen terhenyak dan bangun dari tidur panjangnya. Karena visi ini sebenarnya
lahir dari suatu keprihatinan, kepedulian dan kerinduan untuk terwujudnya persatuan
antar umat manusia di dunia ini. Memang tampak banyak kelemahan dalam penguraian
dan perkembangannya, namun bukan berarti tidak ada yang dapat kita pelajari dari
proposal Knitter itu.
Setidaknya ada satu hal yang perlu kita pikirkan lebih lanjut dari kiprah Knitter itu yaitu
bahwa semangat kesatuan umat manusia itu perlu diwujudkan, tentu saja dengan cara
Kristen. Namun untuk mewujudkannya, biarlah tulisan dari Leslie Newbigin yang
mengomentari buku Paul Knitter tentang visi pluralisme agama yang unitif, boleh dijadikan
bahan pemikiran: ..... ada suatu kebutuhan untuk kesatuan - namun gagasan kesatuan
menurut siapa? Semua peperangan dilakukan demi adanya perdamaian (Augustine).
Kekristenan kadang-kadang menjadi imperialistik, namun pada jantung kekristenan ada
salib dan penyangkalan terhadap segala bentuk imperialisme. Semua program untuk
kesatuan memiliki prinsip organisasional dan 'komitmen iman'. Pluralisme agama yang
menyajikan 'the myth of Chrsitian Uniqueness' adalah suatu bukti adanya kolaps kultural.
Langdon Gilkey menyatakan bahwa ada 'sisi bayang-bayang' (shadow side) bagi semua
agama. Karena itu gereja Kristen tidak perlu mengklaim memiliki kebenaran mutlak,
tetapi perlu mengklaim ke mana tuntunan itu ditunjukkan.1657
Pandangan dari Newbigin ini seharusnya menjadi pandangan bagi orang Kristen dewasa
pada masa pasca modern ini, secara khusus bagi Kristen yang hidup di dalam konteks
masyarakat yang pluralis seperti di Indonesia. Kini sudah bukan saatnya lagi bagi Kristen
untuk terus membungkus dirinya dengan isolasi-isolasi partikularis yang membangun
tembok-tembok arogansi serta merasa benar sendiri. Tetapi justru dalam era keterbukaan
ini. Kristen perlu terus membangun jembatan dan keterbukaan, tanpa mengkompromikan
dan mereduksi kebenaran firman Tuhan yang berotoritas itu. Sehingga dengan demikian,
ayat firman Tuhan yang sederhana yang mengatakan bahwa 'Allah menghendaki semua
orang diselamatkan dan beroleh kemurahan Tuhan' (1 Tim 2:3-4 dan Rm 11:32) dapat
diwujudkan dan dijiwai sebagai isi hati Tuhan yang sederhana dan perlu langsung
dipraktikkan oleh semua Kristen di dunia ini bagi semua manusia di dunia ini. Maka
tergenapilah panggilan Tuhan bagi setiap Kristen untuk menjadi 'terang bagi bangsa-
bangsa, supaya keselamatan yang dari pada-Nya sampai ke ujung bumi' (Yes.49:6b).

Anda mungkin juga menyukai