Anda di halaman 1dari 8

BANDUNG

Jika dibandingkan dengan Kota Solo, penataan PKL di Kota Bandung terlihat lebih jelas
secara spasial / keruangan walau tentunya pendekatan sosial dan ekonomi juga
mempunyai peranan yang sama pentingnya. Selain melakukan pembinaan, Kota
Bandung membagi ruangnya menjadi tiga zonasi, yaitu zona merah, kuning, dan hijau.

Sumber: Perda Kota Bandung No.4 Tahun 2011

Penataan yang dilakukan terbagi menjadi lima konsep, yaitu:

1. Relokasi; proses pemindahan tempat berdagang bagi PKL,


2. Revitalisasi pasar; peningkatan fungsi dan potensi pasar berdasarkan pemanfaatan
lahan pasar yang tidak terpakai oleh PKL,
3. Belanja tematik; penempatan PKL berdasarkan beragam jenis dagangan di satu
lokasi tertentu,
4. Konsep Festival; penempatan PKL berdasarkan pada pelaksanaan event-
event tertentu, dan
5. Konsep Pusat Jajan Serba Ada (Pujasera); penempatan PKL makanan berdasarkan
lokasi tertentu berdasarkan sistem bagi hasil dengan pemilik lokasi sebagai
pengganti uang sewa.
Pada tahun 2012, Satuan Gabungan Khusus Penataan dan Pembinaan PKL Kota
Bandung menetapkan 283 titik yang termasuk zona merah, 217 titik yang termasuk
zona kuning, dan 63 titik yang termasuk dalam zona hijau. Di antara 283 titik di zona
merah tersebut, 7 diantaranya adalah Alun-alun, Jl. Dalem Kaum, Jl. Kepatihan, Jl. Asia
Afrika, Jl. Dewi Sartika, Jl. Otto Iskandardinata, dan Jl. Merdeka.
Sumber : Tim PRAKSIS Bandung

Alun-alun dan Kepatihan menjadi prioritas utama karena merupakan simbol


pemerintah. Selain itu pemerintah juga menginginkan pengembalian fungsi trotoar dan
hak pejalan kaki, memfasilitasi PKL agar tetap tidak kehilangan lahan tempat berusaha,
dan menjaga estetika kawasan. Sebelumnya PKL telah menyatakan kesediaannya dalam
mendukung program penataan. Aktivitas dagang dihentikan selama dua minggu agar
bisa dilakukan pendataan. Relokasi direncanakan ke Pasar Gedebage. PKL juga
terpaksa berhenti berjualan untuk sementara sampai tempat relokasi sementara di
Jalan Cikapundung Timur siap. Namun berita terakhir tanggal 4 Maret 2013, tenda
yang dijanjikan pemerintah agar PKL lebih terlihat rapih belum direalisasikan dan surat
resmi pemindahan dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya juga belum sampai ke
tangan PKL sehingga mereka memutuskan untuk kembali berjualan di Jalan Kepatihan
dan Alun-alun karena Pemkot dianggap tidak serius. Sekarang PKL tersebut justru
pindah ke Jalan Dalem Kaum yang letaknya tidak jauh dari Alun alun dan Jalan
Kepatihan.

pendahuluan
Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya
lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka
pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja
atau berusaha pada sector informal seperti menjadi Pedagang Kaki Lima di kota-
kota besar di Indonesia. Pedagang Kaki Lima timbul sebagai akibat dari tidak
tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan
dalam berproduksi, bisa juga sebagai akibat dari kebijakan ekonomi liberal yang
mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro.
PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada
ekonomi lokal atau nasional melalui pajak.

Aktivitas PKL pada umumnya menempati badan-badan jalan dan trotoar,


sehingga tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi
perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang
di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang
menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti
hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah
dalam pengelolaan pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi,
karena menyediakan harga lebih murah. Bagi masyarakat yang berpendapatan
rendah, PKL menjadi pilihan. Hal ini membuat penertiban PKL di lokasi-lokasi
strategis menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Padahal setiap hari,
mereka adalah pekerja yang ulet, berjuang untuk menghidupi keluarga.

PENGERTIAN PKL

Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa
Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang
melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak
maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas
umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat
sementara/tidak menetap.

Tarik menarik kepentingan ini bisa disimak dari penolakan sekira 3.000 pedagang
yang tergabung dalam Koperasi Pedagang Kaki Lima Busana Bandung Mandiri
(KbbM) untuk pindah ke Gedebage sesuai waktu yang disepakati semula, yakni 24
Juli 2004. Menurut para pedagang, Pemkot Bandung dalam mengambil
keputusan tidak pernah mengajak bermusyawarah. Selain itu, keputusan pemkot
melalui nota dinas Sekretaris Daerah Kota Bandung, tidak sesuai kesepakatan
terdahulu yang menyatakan pedagang akan di tempatkan di Ciroyom (PR,
27/06/04).

1. kurang sosialisasi
2. tempat yang disediakan terlalu jauh dari tempat tinggal pedagang yang
mayoritas tinggal di sekitaran daerah kepatihan dan pasar
3. takut pendapatan bturun
4. transportasi
5. belum ada listrik, fasilitas kurang

Kalau dicermati lebih dalam, keruwetan penataan kota, khususnya yang


menyangkut PKL Tegallega ini bersumber dari 3 (tiga) macam perception gap atau
asymetriic information yang berhubungan dengan masalah waktu, lokasi, serta
biaya relokasi. Dalam hal waktu, para pedagang kokoh pada pendiriannya bahwa
mereka akan pindah setelah lebaran tahun ini, sementara Pemkot meminta
mereka untuk pindah pada tanggal 24 Juli 2004. Dari aspek lokasi, para
pedagang lebih memilih Ciroyom yang dinilai jauh lebih strategis dan prospektif
disbanding Gedebage. Sementara, argumen Pemkot untuk memindahkan PKL ke
Gedebage juga masuk akal, yakni agar terjadi efek penyebaran pembangunan dan
pemerataan pertumbuhan di berbagai kawasan. Adapun dalam hal biaya relokasi,
para pedagang masih menunggu uang subsidi yang telah dijanjikan Pemkot namun
belum juga diberikan. Dan ini juga menjadi salah satu alasan untuk menolak
kepindahan ke lokasi baru.

DALAM bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the
Poor (2001), Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal
merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat
ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program
pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil
dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi jelaslah
bahwa yang semestinya paling bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah,
sehingga mengejar-ngejar, menutup dengan paksa, dan kadang disertai dengan
penyitaan dan aksi kekerasan terhadap PKL, nyata-nyata bukan kebijakan yang
manusiawi.

Lebih lanjut Robinson mengatakan pula bahwa pola penanganan sektor informal
bersifat tidak konkrit (invisible) dalam pengertian tidak terintegrasi kedalam (atau
tidak tersentuh oleh) perencanaan dan penganggaran pemerintah, model para
ekonom, porto folio perbankan, maupun kebijakan makro nasional. Sebaliknya,
langkah represif-lah yang dipakai seperti memindahkan dari jalanan, mengirim
kembali para pedagang ke desa asalnya, atau memaksa mereka untuk berpindah
profesi. Akibatnya, akar permasalahan PKL semakin tidak tersentuh (more
invisible).

QUOTES JGN LUPA!!!!!!!!!!


http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/mencermati-penataan-pkl-
kota-bandung.html

Dalam perspektif kedepan, agenda yang perlu dikedepankan adalah bagaimana


meminimalisir dampak yang mungkin terjadi tanpa meniadakan sumber
penyebabnya. Dengan kata lain, bagaimana mengakui dan membina PKL tanpa
menimbulkan akibat negatif. Untuk ini, paling tidak tiga kebijakan perlu
dipertimbangkan.

Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan sektor informal kedalam


perencanaan makro ekonomi secara formal. Artinya, ketika bicara tentang
kebijakan ketenagakerjaan, pengentasan kemiskinan, pengembangan wilayah, dan
sebagainya, sektor informal khususnya PKL perlu dijadikan salah satu variabel yang
ikut menentukan arah kebijakan tersebut. Dengan demikian, legalitas dan
keamanan berusaha mereka akan lebih terjamin, sekaligus juga mendapat akses
yang lebih besar terhadap kredit atau jasa sektor publik lainnya. Kasus
pembangunan ITC di Bandung yang berdampak pada membludaknya jumlah PKL
dan runyamnya kemacetan, menunjukkan tidak adanya integrasi dalam
perencanaan pembangunan.
Kedua, pemerintah perlu memiliki kesamaan visi dalam penataan perkotaan.
Contoh buruk terjadi lagi di Bandung dimana Walikota melarang pendirian stan
atau kios dagangan baru, namun Badan Perparkiran telah memberikan ijin dan
bahkan telah menerima uang pungutan. Akibatnya, Walikota harus mengembalikan
uang yang telah diterima ditambah dengan ganti rugi kios-kios tersebut (Pikiran
Rakyat, 7-9/12/02). Akhirnya, penyediaan lahan khusus dengan disain yang
menarik layak dipikirkan pula untuk mewadahi PKL sekaligus sebagai daya tarik
wisata. Rencana Pemda Jateng menyediakan puluhan hektar untuk menampung
1.500 pedagang kecil di area wisata Borobudur (Kompas, 16/12/02), serta upaya
Pemkot Bandung untuk memindahkan PKL ke kawasan Gedebage bisa dipandang
sebagai contoh yang baik, terlepas adanya kekurangan disana-sini.

Dengan upaya-upaya yang positif, diharapkan PKL tidak dipandang lagi sebagai
musuh yang selalu menjadi duri bagi pemerintah, melainkan sebagai mitra yang
bersama-sama menciptakan solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi
bersama. Dengan kata lain, program penataan kota yang baik akan menjadi key
factor yang menentukan apakah PKL akan tetap menjadi masalah perkotaan, atau
justru menjadi solusi bagi keberlangsungan hidup rakyat miskin di perkotaan.

http://rujak.org/wp-content/uploads/2013/07/Clip_27.jpg
Salah satunya PKL yang berjualan
Casing Hand Phone
, Topi, dan Aksesoris yang sudah direlokasi kurang lebih 6 bulan yanglalu mengeluhkan terjadinya
penurunan omzet penjualan yang cukup drastic pasca relokasiyang diberlakukan oleh Pemkot Bandung
dengan Manajemen dari pihak BIP. Samahalnyadengan para PKL yang berjualan Hewan, mereka belum
dapat direlokasi karena belum adatempat yang dapat memberikan solusi bagi mereka untuk berjualan.
Para PKL ini padaumumnya mengeluhkan bahwa pemerintah masih memiliki banyak kekurangan
dalammengimplementasikan Perda Kota Bandung ini. Mereka berpendapat bahwa masih
minimnyasosialisasi dan publikasi keberadaan PKL di jalan Merdeka ini, sehingga pelanggan
yang biasa membeli barang dagangan dari PKL di jalan Merdeka atau sekitaran BIP ini tidakmengetahui
keberadaan PKL.Berdasarkan penuturan para responden , kami mendapkan informasi bahwa para PKL
di jalan Merdeka ini telah mengajukan beberapa saran dan kritik terhadap kebijakan pemerintahyang
digagas oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil. Mereka menyampaikan aspirasinyadibantu oleh beberapa
Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat

[SOSIOLOGI HUKUM]

Oktober 2, 2014
(LSM) yang ingin memberikan bantuan hukum dalam memperjuangkan hak

hak dari paraPKL di kawasan Zona Merah khususnya PKL di jalan Merdeka.Setelah selesai
berwawancara dengan beberapa Responden PKL, kelompok kamimendaptkan kesimpulan pada dasarnya
para PKL yang berada di Jalan Merdeka iniMendukung atau Pro terhadap kebijakan Pemerintah Kota
Bandung dalam upayamewujudkan Perda mengenai K3 (Kebersihan, Kenyamanan,Ketertiban) di Kota
Bandungini, namun mereka masih menuntut hak

hak mereka untuk dapat menjalankan kegiatanusaha mereka sebagai PKL dikarenakan banyaknya
kebutuhan hidup, dan semakinmeningkatnya kebutuhan hidup seiring dengan pertumbuhan kota dan
kompleksitasmasyarakat di Kota Bandu

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: tiap


-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2.

Pasal 11 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia: setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak

http://bandung.go.id/images/download/PERDA_No.04_Th.2011.pdf

Pasal 24

(1) Masyarakat dilarang membeli dari PKL yang berada di zona merah dan zona

kuning yang tidak sesuai dengan peruntukan waktu dan tempatnya.


(2) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya paksa

penegakkan hukum sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai