PENDAHULUAN
Analisis daya saing ekspor beberapa komoditas pertanian dengan berbagai pendekatan
parameter komparatif, trade mapping, tren pertumbuhan, kontribusi devisa dan sebaran
geografis menunjukkan bahwa salah satu komoditas yang memiliki indeks komposit daya
saing tertinggi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan secara nasional adalah kakao
[Sufri, 2007; Faisal Assad., et-al., 2009]. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian telah
menetapkan kakao sebagai salah satu komoditas unggulan dari sub-sektor perkebunan.
Eksistensinya akan terus dipertahankan dan bahkan akan diperluas di masa datang, antara
lain melalui Program Gernas.
Pengguna terbesar biji kakao adalah industri makanan dan minuman yang makin tumbuh
akibat pertambahan penduduk dan kesejahteraan masyarakat. Kedua industri ini
menetapkan berbagai syarat yang ketat dari aspek citarasa, keamanan pangan, rendemen
hasil pengolahan dan kemudahan proses produksi [process ability]. Persyaratan-
persyaratan tersebut sebenarnya sudah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI
[Standar Nasional Indonesia] No : 2323-2008 [BSN, 2008]. Namun demikian, standar
tersebut belum diimplementasikan secara baik dan massal. Sehingga biji kakao Indonesia
masih mempunyai citra yang kurang baik dengan ciri-ciri : tidak difermentasi, kurang
kering, ukuran biji tidak seragam dan banyak mengandung kotoran. Secara global, citra
[brand image] yang demikian berakibat pada penurunan daya saing. Hal ini terbukti masih
diterapkannya diskon harga dan perlakuan penahanan atas biji kakao asal Indonesia di
beberapa negara konsumen. Sedangkan secara domestik, industri kakao nasional
kekurangan bahan baku dan terpaksa harus mengimpor biji kakao fermentasi dari negara
produsen lain [Afrika Barat].
Peningkatan mutu biji kakao, baik untuk keperluan industri kakao lokal dan global, harus
mengoptimalkan empat faktor utama penentu proses produksi, yaitu : mutu [quality],
jumlah [quantity], biaya [cost] dan penyediaan [delivery]. Keempat faktor tersebut hanya
dapat dicapai secara simultan, efektif dan efisien jika petani menghimpun dalam satu
kesatuan usaha bersama. Para petani kakao diarahkan untuk membentuk kelompok untuk
mengolah hasil kebun dalam skala usaha pengolahan berskala ekonomis. Tulisan ini
membahas hasil pengembangan teknologi UPH [Unit Pengolahan Hasil] Kakao berbasis
pada usaha kecil dan menengah [UKM] oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.
Keterkaitan ketiga kelompok industri berbasis kakao dari hulu sampai hilir disajikan pada
Gambar 1 berikut,
Kakao diperdagangkan dalam bentuk fisik sebagai biji kering dan digolongkan sebagai
produk primer. Produk ini dihasilkan oleh kelompok industri paling hulu yang berperan
mengolah buah kakao hasil panen menjadi biji kering. Pabrik pengolahan biji kakao
dibangun mendekati sumber bahan baku [kebun] dengan tahapan proses utama adalah
fermentasi, pengeringan dan sortasi. Konsumen utama biji kakao adalah industri kakao
antara, yang umumnya berlokasi di kota besar. Kelompok industri ini berfungsi mengubah
biji kakao menjadi produk antara [intermediate products] seperti pasta, lemak, bungkil dan
bubuk kakao. Ketiga produk ini kemudian dipasok ke industri hilir untuk kemudian diolah
lanjut menjadi produk-produk makanan dan minuman yang siap dikonsumsi oleh
masyarakat, seperti, permen cokelat batangan, pralin susu bubuk cokelat, roti kering, es
krim, biskuit dsb. Selain sebagai bahan baku makanan dan minuman, produk antara kakao
juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika antara lain untuk
membuat sabun, lipstik, pelembab kulit dsbnya.
Di dalam sistem rangkaian rantai pasok biji kakao [supply chain], petani kakao merupakan
pelaku usaha paling hulu dan mempunyai peran sentral sebagai penyedia bahan baku
industri olahan kakao domestik dan global [Gambar 2]. Kurang lebih 90 % produksi
kakao nasional, yang saat ini mencapai 650 ribu ton, dihasilkan oleh petani. Porsi biji
kakao eskpor ke pasar global adalah 70 % melalui jalur eksportir domestik dan agen-agen
pemasar global. Sedangkan sisanya digunakan untuk pasokan ke industri kakao domestik
melalui pedagang perantara lokal dan Unit-Unit Pengolahan Hasil yang dikelola oleh
kelompok tani [Simon., et-al., 2007; BKPM, 2010; Pusdatin, 2010].
Gambar 2. Rantai pasok kakao dari petani sampai industri kakao domestik dan global.
4
Petani kakao sebagian besar mengolah buah kakao menjadi biji kering dengan alat dan
cara seadanya. Sehingga kurang lebih 90 % biji kakao yang dihasilkan oleh petani
tergolong mutu rendah, dengan ciri-ciri utama tidak difermentasi, kurang kering, terserang
jamur dan banyak mengandung kotoran [kontaminan]. Selain keterbatasan sarana
pengolahan dan pengetahuan, petani tidak tertarik untuk mengikuti metoda pengolahan
yang baik [baku] karena dipicu oleh minimnya insentif harga. Perbedaan harga antara biji
kakao mutu baik yang diolah dengan baik dengan biji kakao yang tidak diolah sangat
minim. Tata niaga biji kakao antara petani dan pedagang hanya berbasis pada jumlah
[kuantum] dan tidak berorientasi pada mutu. Bahkan sering terjadi, tata niaga biji kakao di
tingkat desa menggunakan mekanisme ijon; Pedagang memberi uang muka pada petani
sebelum panen dan dibayar kembali oleh petani dalam bentuk biji saat panen. Dijumpai
juga transaksi dengan mekanisme barter; pedagang memasok barang-barang kebutuhan
harian petani dan kemudian ditukar dengan biji kakao pada musim berikutnya [KPPU,
2009; Bina UKM, 2010]. Kondisi ini menyebabkan menurunnya daya saing biji kakao
Indonesia di pasar global yang tercermin dari harga yang rendah akibat terkena diskon
[Dinie Suryani & Zulfebriansyah, 2007; Firman Mutakin & Tumpal Sihaloho, 2008;
BKPM, 2010].
Gambar 3 menunjukkan diagram daya saing biji kakao Indonesia dibandingkan dengan
biji kakao yang dihasilkan oleh negara produsen lain seperti Nigeria, Ghana [kelompok
Afrika Barat] dan Papua New Guinea [Kelompok Asia].
Gambar 3. Kurva daya saing biji kakao dari beberapa negara produsen.
Terlihat bahwa pada aspek mutu citarasa/aroma, biji kakao Indonesia mempunyai nilai
sangat rendah, yaitu 1,50. Indikasi bahwa biji kakao Indonesia tidak difermentasi.
Demikian juga aspek konsistensi mutu dan kadar lemak. Keduanya mempunyai nilai
5
maksimum 2,50. Suatu petunjuk bahwa secara umum biji kakao tidak diolah dengan
menggunakan metoda baku dan terkontrol. Bahkan, mutu biji kakao dari Papua New
Guinea lebih baik dari mutu biji kakao Indonesia. Nilai plus biji kakao Indonesia terletak
pada aspek ketersediaan dan infrastruktur logistik yang mendapat nilai sedang. Dengan
pertimbangan mutu, industri cokelat global lebih menyukai biji kakao dari Nigeria dan
Ghana, yang mempunyai nilai mutu lebih tinggi, meskipun nilai pada aspek lainnya lebih
rendah. Industri cokelat membeli biji kakao Indonesia hanya untuk keperluan bahan
pencampur karena harganya murah [nilai tinggi]. Oleh karena itu, perbaikan mutu biji
kakao rakyat merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh pemerintah dan
segenap pemangku kepentingan usaha kakao nasional.
Sesuai dengan kosa-katanya, agroindustri mengandung dua kata dengan arti yang kontras.
Agro berarti sesuatu yang terkait dengan tanaman yang produksinya bersifat intermiten
[terputus-putus], sedangkan industri mempunyai sifat operasional yang berkesinambungan
dengan luaran yang kontinu. Industri kakao cenderung mengharapkan bahan baku selalu
tersedia meskipun bukan musimnya. Oleh karena itu, UPH sebagai bagian integral dari
sistem agroindustri harus menggunakan teknologi proses yang mampu beradaptasi dengan
perubahan pasokan bahan baku [buah kakao]. Alat dan mesinnya harus mampu beroperasi
secara fleksibel [luwes] dan mempunyai fungsi multi-guna [Tabel 1]. Selain itu, UPH
harus menyiapkan gudang dengan kapasitas yang memadai untuk menjamin kontinuitas
pasokan biji kakao ke industri.
Urutan proses UPH harus bersifat fleksibel, responsif dan mampu beradaptasi terhadap
perubahan berbagai faktor produksi seperti,
Untuk menekan biaya pengolahan, operasional UPH menggunakan sumber energi yang
bersifat terbarukan [renewable]. UPH juga dilengkapi dengan sarana untuk memanfaatkan
seoptimal mungkin limbah kebun dan limbah pabrik menjadi bahan yang bernilai tambah
[A to Z, Added Value to Zero Waste], seperti kompos, pakan ternak dsb [Sri Mulato &
Edy Suharyanto, 2010]. Untuk mendapatkan mutu biji kakao yang memenuhi standar,
seragam dan konsisten, setiap tahapan pengolahan di UPH harus diawasi secara regular
dan berkelanjutan agar pada saat terjadi penyimpangan, suatu tindakan koreksi yang tepat
sasaran dapat segera dilakukan. Tolok ukur mutu biji kakao hasil UPH adalah SNI
[Standar Nasional Indonesia] : 2323 - 2008. Standar ini memuat karakteristik fisik biji
kakao dan tingkat kontaminasi seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan 3. Secara umum
syarat biji kakao yang tertera di dalam SNI ditentukan atas dasar tingkat fermentasi,
tingkat kekeringan, ukuran biji dan tingkat kontaminasi benda asing [kotoran].
6
Tabel 1. Urutan Proses UPH Kakao Berbasis UKM [Kapasitas 5 ton biji kering/minggu]
URUTAN PROSES KETERANGAN PROSES
PANEN TEPAT MATANG
Buah kakao tepat matang ditandai oleh perubahan warna kulit buah
kakao yang semula hijau menjadi kuning.
PEMBELAHAN BUAH
Buah dibelah dengan alat mekanis untuk memisahkan biji kakao
dengan kulit buah dan plasenta. Mesin pembelah mempunyai kapasitas
5.000 buah/jam. Biji kakao merupakan produk utama, sedangkan kulit
buah merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku
kompos, pakan ternak dan biogas.
Mutu bahan baku dalam industri sering diartikan sebagai kesesuaian antara sifat bahan
baku yang ditawarkan oleh pemasok [petani] dan yang dibutuhkan oleh pengguna
[industri]. Industri adalah suatu kegiatan produktif mengolah bahan baku [input] menjadi
produk [output] untuk memperoleh keuntungan [profit]. Mutu biji kakao sebagai bahan
baku utama industri cokelat akan sangat berpengaruh pada perolehan profit, daya saing
produknya dan kelangsungan usahanya. Oleh karena itu, industri cokelat sangat
memperhatikan kesusaian mutu biji kakao pada berbagai aspek dengan pertimbangan
untuk,
Keamanan pangan
Jamur [kapang] merupakan kontaminan [kotoran] mikrobiologis yang tidak disukai oleh
industri. Jamur selain merusak cita-rasa dan aroma khas cokelat, juga berpotensi
memproduksi senyawa racun [toksik] yang berbahaya bagi kesehatan konsumen. Serangan
jamur dianggap serius jika pertumbuhan jamur sudah masuk ke dalam keping biji. Biji
kakao yang demikian akan ditolak oleh industri. Deteksi kualitatif jamur yang menyerang
biji kakao dapat dilakukan secara visual dari munculnya warna putih di permukaan kulit
biji. Serangan dianggap ringan, jika jamur hanya tumbuh di permukaan biji dan bisa
dihilangkan dengan cara pencucian. Namun, serangan dianggap berat, jika warna putih
sudah masuk ke dalam keping biji [nib] disertai bau menyengat [busuk] atau kurang sedap.
Secara kuantitatif, serangan jamur yang demikian harus ditentukan secara laboratorium
dengan bantuan media pembiakan di dalam petridis. Jumlah dan jenis mikroba yang
8
menyerang biji kakao dapat diketahui secara teliti. Biji yang sudah terkena serangan jamur
berat tidak dapat digunakan sebagai bahan baku cokelat. Jamur bisa tumbuh pada saat
proses fermentasi yang kurang sempurna atau terlalu lama, proses pengeringan yang
lambat [penjemuran saat cuaca buruk/hujan] dan saat penyimpanan biji setengah kering
atau kodisi ruang gudang yang lembab.
Beberapa jenis kotaminan biji kakao yang juga mempunyai potensi mengganggu kesehatan
konsumen adalah asap, bahan kimia beracun [pestisida], serangga dan kotoran hewan.
Kontaminasi asap umumnya terjadi di dalam pengering mekanis yang tidak dilengkapi
dengan pemindah panas. Asap hasil pembakaran kayu atau BBM mengandung senyawa
kimia PAH [Poli Aromatik Hidrokarbon] yang berpotensi penyebab kanker. Kontaminasi
asap, bahan bakar dan minyak pelumas juga mungkin terjadi pada proses penjemuran di
pinggir jalan raya. Kontaminasi bahan kimia lain [pestisida] kemungkinan terjadi di kebun
[saat pengendalian hama/penyakit], karung yang tercemar dan di dalam gudang
penyimpanan yang berdekatan dengan gudang bahan kimia. Sedangkan, kontaminasi
serangga dan kotoran bisa terjadi saat penjemuran [tanpa penutup] dan di dalam gudang.
Rendemen Hasil
Rendemen [yield] merupakan perbandingan antara berat hasil olahan [pasta, lemak dan
bubuk kakao] dan berat bahan baku [biji kakao]. Industri cokelat sangat menginginkan
rendeman hasil yang tinggi. Nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air, ukuran biji,
cara pengolahan dan kandungan kontaminan [kotoran] yang tercampur ke dalam biji.
Kadar air, selain penyebab kerusakan biji karena serangan jamur, juga berpengaruh
terhadap rendemen hasil. Air dianggap sebagai bahan ikutan yang akan hilang pada saat
pemrosesan [penyangraian].
Ukuran biji kakao sangat menentukan rendemen hasil. Selain faktor bahan tanam, ukuran
biji dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tananam, agroklimat dan tingkat kematangan
buah saat dipanen. Biji ukuran besar diperoleh dari bahan tanam unggul yang dirawat
dengan baik dan dihasilkan dari buah kakao yang sudah masak [ripe]. Biji yang besar
menghasilkan rendemen lemak yang tinggi pula. Lemak merupakan komponen yang
paling mahal dari biji kakao. Panen buah yang kurang matang [under ripe] akan
menghasilkan biji pipih/gepeng [flat bean]. Biji yang demikian mengandung lemak yang
rendah. Kontaminan padat, seperti ranting, daun, tanah, plasenta, plastik dll, yang
tercampur dalam biji kakao akan menurunkan rendemen hasil. Biji berkecambah
merupakan jenis biji cacat yang diperoleh dari buah yang sangat matang [over ripe] dan
bisa juga disebabkan oleh biji yang tidak difermentasi. Proses fermentasi yang baik akan
mematikan daya kecambah biji. Tingkat fermentasi yang rendah juga akan menurunkan
rendemen lemak karena komponen non-lemak masih tertinggal di dalam biji.
Kalau dilihat pada Gambar 2, secara keseluruhan peran petani sebagai bagian dari entitas
agrobisnis kakao masih sangat kecil. Padahal petani punya andil besar dalam penyediaan
bahan baku untuk kelangsungan usaha industri kakao domestik dan global. Pendekatan
pengelolaan UPH berbasis UKM diharapkan mampu memberikan sumbangan yang positif
dan signifikan terhadap kondisi ekonomi dan sosial khususnya pada petani dan masyarakat
pedesaan pada umumnya. Konsep UPH seharusnya tidak hanya dipandang sebagai
pembangunan dan pendirian pabrik pengolahan semata, namun lebih ditekankan pada
upaya merubah [transformasi] secara holistik dan membangun sikap mental kelompok tani
yang semula berbudaya usaha tradisionil menuju budaya industrial.
10
UPH harus dipandang sebagai entitas [pelaku] bisnis dan dikelola secara terorganisir untuk
mendapatkan manfaat ekonomis, sosial dan lingkungan secara optimal. Lingkup kegiatan
agrobisnis meliputi penyediaan bahan baku [on-farm, kebun], pengolahan hasil [off-farm,
pabrik] dan pemasaran produk [Gambar 4]. Komponen utama UPH adalah teknologi,
pabrik lengkap dengan pra-sarana dan sarana produksi, SDM yang terampil, metoda proses
produksi serta pengawasan mutu secara melekat, modal usaha dan pemasaran produk-
produk secara luas. Keberlanjutan operasional UPH sangat tergantung pada kemampuan
manajemen pengelolanya.
UPH harus dikelola seperti layaknya usaha bisnis yang lain melalui penetapan rencana
usaha [business plan] yang solid dan realistik sebelum pembentukan UPH direalisasikan
[Gambar 5].
Rencana usaha merupakan cetak biru [blue print] yang mempunyai empat [4] fungsi
utama. Pertama sebagai pedoman yang akan digunakan oleh pengelola [yang diangkat oleh
pemilik] UPH untuk membawa arah usaha meraih manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan
secara maksimal. Kedua sebagai penarik minat investor [penanam modal] dan pemberi
pinjaman [perbankan] untuk ikut menanamkan modalnya. Ketiga sebagai pemikat pembeli
untuk melakukan kontrak pembelian jangka panjang karena adanya kepastian produksi.
Keempat sebagai acuan bagi pemilik usaha untuk mengawasi dan menilai konsistensi serta
kesehatan pelaksanaan usahanya.
MANAJEMEN UPH
Manajemen Produksi
Manajemen produksi bertujuan untuk mengelola sumber-sumber daya [manusia, mesin,
metoda, material dan uang] secara optimal untuk mengolah bahan baku [proses
transformasi dan konversi] menjadi produk [output] yang sesuai dengan kebutuhan industri
[market] baik dari segi kualitas, kuantitas, harga dan ketepatan waktu distribusinya dengan
biaya dan jumlah limbah [waste] minimal [Gambar 6].
12
Sasaran manajemen produksi adalah produk berdaya saing sehingga pasar bisa menyerap
sebanyak mungkin produk yang dihasilkan dengan mendatangkan profit yang maksimal.
Ada 4 komponen proses produksi yang merupakan faktor internal dan sangat berpangaruh
terhadap daya saing produk, yaitu produktivitas, kualitas, biaya produksi dan distribusi.
Dari segi produktivitas, indikator keberhasilan manajemen produksi adalah rasio antara
realisasi dan perencanaan produksi. Makin besar nilai rasio ini, manajemen produksi
berjalan baik dan kondisi usaha makin sehat. Sedangkan dari segi mutu, indikator
keberhasilan adalah dari rasio antara jumlah produk yang ditolak [rejected] dan produk
yang lolos uji kualitas [passed]. Dalam kontek ini, peran pengawas proses dan pengawas
mutu merupakan hal yang mutlak. Makin kecil nilai rasio ini, manajemen produksi
dianggap baik karena kerugian akibat kehilangan selama proses produksi [limbah] menjadi
kecil. Bagian kontrol biaya bisa medeteksi kegagalan proses dari peningkatan biaya
produksi yang tidak wajar. Klaim atau retur yang umum dihadapi oleh UPH adalah tingkat
kekeringan, kontaminasi jamur, bau dan kotoran. Karena mengandung nutrisi dan lemak
yang tinggi, penyimpanan dan pengangkutan biji kakao harus diawasi secara baik. Dalam
hal ini, peran pengawasan mutu dan pengawas pasar sangat penting baik selama proses, di
dalam gudang maupun saat produk dikirim ke industri.
Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan berfungsi mengelola dana hasil penjualan dan mengalokasikannya
secara efektif dan efisien untuk keperluan produksi, pembayaran utang, pembagian
keuntungan ke pemegang saham [petani dll] dan pengembangan usaha. Sasaran
manajemen keuangan adalah optimalisasi penggunaan dana melalui minimalisasi biaya
dan memaksimalkan "keuntungan". Alokasi biaya, pada dasarnya, bertujuan untuk
13
Manajemen Pemasaran
Manajemen pemasaran berfungsi untuk mengelola hubungan transaksional dengan pasar
[konsumen] melalui pemenuhan kebutuhan industri tentang suatu produk [jenis, kualitas
dan kuantitas], mengatur mekanisme penyerahannya [distribusi] dan menetapkan
kesekatan harga terhadap produk-produk yang telah dipilih oleh konsumen. Strategi
pemasaran adalah membuka peluang pasar seluas-luasnya melalui komunikasi dan
promosi intensif dengan tujuan untuk,
1. menyelaraskan pola permintaan pasar dan kemampuan produksi
2. merubah sikap pasar yang semula tidak berminat tentang suatu produk menjadi
tertarik untuk membeli.
3. menyadarkan pasar yang semula tidak tahu menjadi tahu
4. mengaktifkan pasar yang cenderung turun
5. memberi solusi produk baru untuk kebutuhan pasar yang belum ada atau belum
terpenuhi
6. mengamati perkembangan produk yang dihasilkan pesaing.
Konsumen UPH kakao adalah industri kakao/cokelat baik domestik mapun global. Mereka
mendapatkan bahan baku biji kakao dari pedagang besar [importir] bertaraf global. Mereka
menerapkan kaidah-kaidah pemasaran global yang meliputi aspek kualitas, kuantitas dan
waktu penyerahan secara ketat. Bahkan sekarang ini, beberapa importir juga memasukkan
aspek keberlanjutan pasokan jangka panjang sebagai tambahan syarat pembelian [Gambar
7]. Persyaratan demikian jelas tidak dapat dipenuhi oleh petani. Sehingga meskipun
dengan harga rendah, petani hanya punya pilihan menjual biji kakao hasil panen kepada
pedagang pengumpul tingkat desa. Suatu mekanisme transaksi yang sederhana dan cepat.
Tidak terlalu terikat dengan persyaratan yang ketat, bahkan pedagang desa memberikan
kemudahan dalam cara pembayaran melalui mekanisme bayar lunas [cash-carry] atau
pemberian uang muka [pre-finacing] atau ijon. Kondisi ini yang menyebabkan petani
tidak termotivasi untuk mengolah biji kakao secara baik karena tidak ada manfaat
ekonominya secara nyata.
14
Sejak berlakunya liberalisasi perdagangan, pelaku industri olahan kakao global lewat agen-
agen resminya bisa memperoleh biji kakao langsung dari petani. Infiltrasi pedagang global
[multi nasional], lewat agen-agennya di pasar domestik sampai ke pedesaan, sudah terlihat
sejak tahun 1996; setelah diterbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No. 11/MPP/SK/I/1996 tentang Kegiatan Perusahaan Penanaman Modal Asing di Bidang
Ekspor. Perusahaan multi nasional dapat melakukan pembelian bahan baku langsung dari
produsen [perusahaan, koperasi dan perorangan]. Liberalisasi perdagangan tersebut
menjadikan persaingan head to head antara pemain lokal dan pemain multi nasional makin
ketat. Ruang gerak industri olahan kakao maupun eksportir domestik untuk memperoleh
biji kakao dari petani makin sempit. Mereka harus bersaing dengan agen-agen, yang
disokong perusahaan multi nasional klas dunia yang secara ekonomis lebih kuat [KPPU,
2009].
UPH skala UKM yang tumbuh secara tradisional harus mampu bersaing dengan pedagang
global yang tumbuh di era modern berbasis persaingan bebas. Fakta menunjukkan bahwa
sebagian besar UKM di Indonesia, terutama yang berbasis UPH kakao, belum siap
menghadapi tantangan tersebut. Ciri UKM yang mampu mengatasi persaingan adalah yang
responsif terhadap perubahan. Oleh karena itu, UKM dituntut mampu memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumen yang senantiasa berubah secara cepat, baik dari aspek
harga, variasi produk, mekanisme transaksi dan pelayanan. Perubahan harus dimulai dari
dalam [internal] UKM sendiri melalui trasformasi budaya, yang semula tradisionanil
menjadi budaya industrial.
Transformasi budaya dan penguatan kemampuan berbisnis UKM tersebut tidak dapat
dibiarkan berlangsung secara alami tanpa melalui serangkaian proses pembinaan.
Meskipun sangat dilematis, pembinaan UKM harus dilakukan dengan konsekuensi,
1. pertumbuhan UKM sangat lambat, butuh waktu dan mungkin mati, jika mereka
harus menghadapi persaingan UKM global tanpa bantuan dari luar [eksternal]
yang bersifat sebagai katalis dan pemacu usaha.
2. risiko UKM menjadi tidak mandiri, jika bantuan eksternal terhadap UKM
diberikan secara berlebihan, tidak proporsional dan tidak edukatif.
Solusi jalan tengah adalah pembinaan yang bersifat diagnotis [kondisi kesahatan bisnis
UKM] dengan berbagai pertimbangan yang rasional dan realistis agar proses pembinaan
berdaya guna dan berhasil guna.
Ada beberapa model pembinaan, yang sifatnya diagnotis dan tidak menimbulkan dilema
seperti tersebut di atas, yaitu,
Model Mentoring
Model ini memanfaatkan UKM [pihak 1] yang sudah mandiri dan sukses untuk menjalin
dan membangun kerjasama bimbingan [supervisi] dan kemitraan dengan UKM pemula
16
atau UKM yang sudah berjalan tetapi belum sehat [pihak 2]. Topik kerjasama harus dipilih
pada titik-titik lemah yang dimiliki UKM [pihak 2] dan harus diperkuat oleh UKM [pihak
1].
Model Inkubasi
Model inkubasi menggunakan prinsip kondisioning, yaitu membuat lingkungan bisnis
UKM menjadi kondusif, baik aspek produksi, finansial dan SDM melalui supervisi oleh
ahli-ahli yang relevan dan kompeten selama waktu tertentu sampai UKM bisa berjalan
sendiri menghadapi persaingan dengan UKM sejenis lainnya. Pada model ini, UKM
dianggap sebagai bayi yang dimasukkan ke dalam inkubator dan ditunggui oleh
dokter. Setelah sehat dan kuat, bayi tersebut dikeluarkan dari inkubator untuk menjalani
lingkungan hidup yang normal.
Model Klaster
Model ini menggunakan basis kerja kemitraan antara beberapa UKM dan industri dengan
masuk ke dalam sistem rantai pasoknya [supply chains]. UKM bisa berperan pada rantai
pasok awal, penyediaan bahan baku atau bahan pembantu dan rantai pasok akhir, distribusi
produk industri.
Model Mediasi
Aplikasi model ini mirip model inkubasi, tetapi dengan lingkup kegiatan yang lebih
terbatas. Model ini tidak memberikan asistansi dalam hal keuangan, tetapi fokus membina
UKM dalam hal pengolahan, pengawasan mutu dan membuka akses pasar ke pembeli-
pembeli tertentu yang bersedia membeli produk UKM dengan harga berbasis kualitas dan
kuantitas. Sebagai penjamin adalah mediator yang memang sudah dikenal dan dipercaya
oleh pembeli dalam kepakarannya. Mediator biasanya adalah lembaga bisnis atau lembaga
riset yang berorientasi bisnis.
KESIMPULAN
1. Kakao adalah bahan baku utama makanan dan minuman cokelat. Peluang
pengembangan UPH komoditas ini masih sangat besar seiring meningkatnya konsumsi
cokelat dunia akibat pertambahan jumlah penduduk dunia dan kesejahteraan hidup.
2. Program peningkatan mutu harus dikaitkan dengan perbaikan pendapatan petani yang
ditempuh melalui pendekatan pengolahan secara kelompok di UPH. Pengembangan
UPH kakao merupakan perpaduan antara pemilihan teknologi, penyiapan infrastruktur
fisik, penyiapan SDM yang kompeten secara teknis dan manajerial serta transformasi
sikap mental seluruh pemangku kepentingan UPH yang semula berbudaya usaha
tradisionilmenuju budaya industrial.
3. Model UPH kakao pedesaan berskala UKM merupakan realisasi budaya industrial dan
perlu didukung oleh rencana usaha [business plan] yang solid dan realistis serta
berorientasi pada manfaat ekonomi dan sosial bagi seluruh pemangku kepentingan
bisnis kakao dan perbaikan lingkungan di pedesaan.
17
4. Transformasi budaya dan penguatan kemampuan berbisnis UPH perlu dikawal melalui
aplikasi model pembinaan bersifat diagnotis yang cocok dengan kondisi serta
kesehatan bisnis UKM yang bersangkutan.
BAHAN BACAAN
Badan Standarisasi Nasional [2008]. SNI 2323 : 2008. Biji Kakao. ICS.67.140.30.
BKPM [2010]. Cocoa Plantation and Cocoa Industry. Agribusiness Update. Badan
Koordinasi dan Penanaman Modal. Jakarta.
Dinie Suryani & Zulfebriansyah [2007]. Komoditas Kakao : Potret dan Peluang
Pembiayaan. Economic Review : 210. Desember 2007
Faisal Assaad, Djumilah Zain dan Sugiyanto [2009]. Keunggulan Komparatif Komoditi
Kakao Dan Kopi Di Sulawesi Selatan. Agritek Vol 17. No 3. Mei 2009.
Firman Mutakin dan Tumpal Sihaloho [2008]. Iklim Usaha Industri Pengolahan Biji
Kakao. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1107326.pdf. Diunduh 20
Agustus 2011.
Gill, J.O & M. Chatton [2006]. Memahami Laporan Keuangan Memanfaatkan Informasi
Keuangan untuk Mengendalikan Bisnis Anda. Seri Panduan Praktis No. 30 PPM,
Cetakan ke 4. Mei 2006.
KPPU [2009]. Backgroud Paper. Kajian Industri dan Perdagangan Kakao. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta. 2009.
Pusdatin [2010]. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Bab. IV. Kakao. Pusat Data
dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian 2010. Jakarta. ISSN 1907-1507.
Simon, B., B. Matlick and J.B. Baon [2007]. A Value Chain Assessment Of The Cocoa
Sector In Indonesia. U.S. Agency For International Development.RAISE Plus
IQC Task Order EDH-I-04-05-00004-00. January 2007.
18
Sri Mulato dan Edy Suharyanto [2010]. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao.
Kumpulan Hasil Riset. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Sufri, M [2007]. Analisis Daya Saing Komoditas Ekspor Non-migas Dan Perubahan
Struktur Ekonomi Implikasinya Terhadap Kebijaksanaan Pembangunan Di
Sulawesi Selatan. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s3-2007-
sufrimukhl-3551. Diunduh, 19 Agustus 2010.
Tambunan., T [2010]. Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM, Background studi RPJM
Nasional 2010 2014, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas.