A-Leadership-02c-Lead-Oth-Isi - OKB
A-Leadership-02c-Lead-Oth-Isi - OKB
Pengertian
Konflik merupakan proses yang terjadi apabila perilaku seseorang
atau sekelompok orang terhambat oleh perilaku orang atau kolompok lain
atau terhambat oleh kejadian-kejadian yang berada diluar kendali individu
atau kelompok tersebut.
Peristiwa konflik bisa terjadi antara dua pihak yang saling berinter-
aksi, bisa juga terjadi dalam diri seseorang ketika terdapat beberapa kepen-
tingan yang harus dipenuhi dalam waktu bersamaan, atau ada beberapa
keputusan yang sama pentingnya, harus diambil.
Konflik antar individu sering terjadi dalam hubungan yang sangat erat
(Petterson, 1983). Semakin lengkap variabel hubungan antar individu, sema-
kin besar peluang terjadinya konflik. Itulah sebabnya dalam hubungan suami-
isteri, dimana interaksi melibatkan seluruh segi kehidupan dengan berbagai
bentuk kegiatan, peluang untuk terjadinya konflik menjadi semakin besar,
peristiwa kecil dan sepele sekalipun, dapat ditafsirkan bermacam-macam dan
mengundang terjadinya konflik (Kelly, 1979).
Dalam proses dinamika kelompok, konflik baru mulai muncul dalam
fase storming, ketika hubungan satu sama lain diantara anggota kelompok
sudah mulai dekat, dan berbagai bentuk ketidaksamaan antar individu mulai
muncul.
37
organisasi, kita merasakan ada pandangan yang tidak sama diantara kita.
Padahal kita sama-sama berhadapan dengan objek yang sama yang
masing-masing kita saksikan sebagai sebuah fakta.
Sesungguhnya, fakta adalah hasil interpretasi kita terhadap objek,
bukanlah objeknya sendiri. Interpretasi kita terhadap sesuatu objek dipenga-
ruhi oleh pengetahuan masa lalu kita tentang objek yang serupa, yang mung-
kin berbeda-beda. Oleh karena itu kita cenderung berbeda tentang sesuatu.
Inilah alasan mengapa terjadi konflik.
1. Konflik perilaku spesifik: konflik bersumber dari perilaku spesifik dari salah
satu pihak. Konflik semacam ini sangat terkait dengan kepentingan pribadi,
kenyamanan dan keamanan pribadi (salah satu pihak tidak dapat memberi-
kan ganjaran yang diharapkan oleh pihak lain), misalnya:
37
2. Konflik norma dan peran: konflik yang bersumber pada perilaku yang melang-
gar hak dan kewajiban, serta nilai dan norma pihak-pihak yang terkait, misal-
nya seseorang:
a. melanggar janji yang telah disepakati bersama;
b. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan norma yang
dianut dan diyakini oleh pihak lain;
c. kehilangan status/kewenangan, saperti dipecat dari jabatan penting.
3. Konflik disposisi pribadi: konflik yang disebabkan oleh perilaku spesifik sese-
orang dalam menanggapi sikap dan maksud rekannya, misalnya mencela
sikap dan maksud rekannya. Seseorang mungkin mengeluh bahwa teman-
nya malas, masa bodoh atau kurang disiplin diri.
Dari ketiga bentuk konflik ini terlihat adanya tiga tingkat ketergantungan
dalam konflik.
1. Pada tingkat perilaku, mereka menghadapi masalah yang berhubungan
dengan usaha pengkoordinasian perilaku spesifik. Konflik semacam ini bisa
dihindari apabila diawal kerjasama, kedua pihak terlebih dahulu bersepakat
untuk menegakkan secara konsekwen dan konsisten aturan-aturan yang
telah ada atau menyusun aturan-aturan kerja-sama apabila belum tersedia.
2. Pada tingkat normatif, mereka menghadapi masalah tawar menawar aturan
dan peran. Konflik semacam ini bisa di-atasi apabila pihak-pihak yang me-
ngalami konflik saling mendalami nilai-nilai, norma, adat-istiadat dan pengala-
man hidup yang melatar-belakangi perilaku masing-masing.
3. Pada tingkat disposisi pribadi, mereka saling mencela kepribadian dan tujuan
pasangannya. Bentuk keterkaitan ini muncul karena pasangannya dianggap
sebagai cermin untuk membenarkan gambaran tentang dirinya sendiri. Oleh
karena itu berbagai konflik akan muncul bila seseorang memandang dirinya
yang terbaik dan paling bijak, namun pasangannya menilai sebagai orang
yang kasar dan egois, atau bila masing-masing menilai karakter pasangan-
nya hanya melalui bentuk perilaku spesifik saja. Konflik semacam ini bisa
dihindari dengan menanamkan sikap empati terhadap perilaku orang lain.
37
b. Orang-orang di dalam organisasi itu memiliki kepentingan pribadi yang
berbeda, dan tidak sejalan dengan kepentingan organisasi;
c. Mungkin ada beberapa tujuan organisasi yang saling ber-tentangan, tidak
realistis dan berbenturan dengan kepentingan organisasi.
2. Konflik prosedural : biasanya disebabkan oleh tidak adanya standar prosedur
baku (SOP), sehingga setiap orang melaksanakan pekerjaan seperti apa
yang pernah mereka ketahui saja, terkesan ceroboh dan kerja asal-asalan,
tak pernah berpikir tentang perlu adanya prosedur kerja baku.
3. Konflik struktural, biasanya disebabkan oleh:
a. Adanya fanatisme buta;
b. Tujuan dan sasaran yang tidak jelas;
c. Jarak fisik dan jarak psikologis antar kelompok;
d. Lemahnya komunikasi antar kelompok.
e. Setiap orang merasa benar sendiri tentang apa yang diketahui dan dipikir-
kannya, belum adanya kedekatan secara psikologis dan lemahnya komu-
nikasi pihak-pihak yang berkonflik.
37
c. Berusaha memeroleh kekuasaan, meskipun melalui konfrontasi langsung,
dengan cara memenangkan perselisihan, tanpa mengindahkan kepenti-
ngan orang lain.
Sifat kompetitif ini, meskipun secara sosial terlihat kurang baik, na-
mun tidak selalu jelek, terkadang cukup bermanfaat untuk menegakkan kesa-
tuan kelompok, dalam situasi tertentu.
2. Accomodation (akomodasi), merupakan gaya reaksi individu terhadap kon-
flik yang kooperatif tinggi/asertif rendah. Gaya ini cenderung mengutamakan
pemenuhan terhadap kepentingan orang lain, rela mengorbankan kepenting-
an dirinya sendiri. Sifat ini mirip dengan apa yang disebut altruism (lebih
mengutamakan kepentingan orang lain).
3. Collaboration (kolaborasi), merupakan gaya reaksi individu terhadap konflik
yang asertif tinggi/kooperatif tinggi. Gaya ini lebih mengutamakan pencapaian
tujuan bersama secara bersama-sama dan seimbang, sehingga tercapai ke-
puasan bersama. Dalam pemecahan masalah bersama lebih mengutamakan
konsensus, tak ada istilah kalah-menang. Penerapan gaya kolaborasi ini
menghabiskan banyak waktu dan energi.
4. Avoidence (avoid), merupakan gaya reaksi individu terhadap konflik yang
asertif rendah/kooperatif rendah. Gaya ini selalu menghindari situasi konflik,
dengan cara menunda pembahasan persoalan sampai waktu yang tak jelas
atau mengalihkan persoalan tanpa ada penyelesaian yang tuntas, ia tidak
berbuat apapun terhadap persoalan yang ada.
5. Compromise (kompromi), merupakan gaya reaksi individu terhadap konflik
yang berada dalam keseimbangan antara strategi asertif dan kooperatif
(assertif sedang/kooperatif sedang). Baginya tak ada istilah kalah atau me-
nang, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik secara sadar mengurangi upaya
pencapaian sebagian dari tujuannya demi kepentingan bersama yang lebih
besar dan mendesak.
a. Tujuan yang masih belum tercapai akan ditunda sampai waktu yang me-
mungkinkan.
b. Gaya kompromi ini lebih terpusat pada penyelesaian bersifat sementara.
c. Gaya ini akan efektif apabila pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mem-
punyai kekuatan yang seimbang dan sangat terikat dengan tujuan-tujuan
yang menjadi sumber konflik.
37
SKEMA GAYA REAKSI TERHADAP KONFLIK *)
Kompetisi Kolaborasi
tinggi Assertif tinggi/
kooperatif rendah Assertif tinggi/
kooperatif tinggi
Assertif
Assertif rendah/ rendah /
kooperatif rendah kooperatif tinggi
Menghindar Akomodasi
Kompromi
Kooperatif
Kepentingan bersama
Gaya reaksi mana yang terbaik, tergantung kepada situasi konflik yang
dihadapi.
1. Ada situasi konflik yang lebih efektif bila dihadapi dengan gaya kompetisi;
2. Ada situasi konflik yang lebih efektif bila dihadapi dengan gaya kolaborasi;
3. Ada situasi konflik yang lebih efektif bila dihadapi dengan gaya kompromi;
4. Ada situasi konflik yang lebih efektif bila dihadapi dengan gaya avoide
(menghindar);
5. Ada situasi konflik yang lebih efektif bila dihadapi dengan gaya akomodasi,
Situasi seperti apa yang dianggap sesuai untuk penerapan masing-
masing gaya dalam penanganan konflik agar menjadi efektif, dapat dilihat
dibawah ini:
37
Gaya Avoided, sesuai untuk situasi:
1. Masalahnya tak begitu penting;
2. Tak terlihat kemungkinan untuk terpenuhinya kepentingan/tujuan kedua pihak
3. Hasil yang mungkin dicapai dari penyelesaian konflik tak seimbang dengan
akibat yang ditimbulkannya;
4. Kurang tersedianya informasi yang diperlukan untuk penyelesaian konflik,
sehingga dibutuhkan informasi tambahan;
5. Dirasakan perlu mendinginkan suasana konflik
Gaya Akomodasi, sesuai untuk situasi:
1. Masalahnya penting bagi orang lain dan kurang penting bagi diri sendiri;
2. Diri sendiri menyadari adanya kekeliruan;
3. Untuk memperoleh dukungan dimasa datang;
4. Stabilitas dan harmoni kelompok dianggap lebih penting.
Gaya Kolaborasi, sesuai untuk situasi :
1. Masalahnya sangat penting bagi kedua pihak, dan kom-promi diyakini tak
mungkin terjadi;
2. Ingin mencapai komitmen melalui konsensus;
3. Ingin mendapatkan masukan dari berbagai aspek yg berbeda;
4. Dirasakan perlu mempertimbangkan aspek perasaan yg memengaruhi
hubungan baik.
Gaya Kompromi, sesuai untuk situasi:
1. Ingin memeroleh stabilitas sementara dalam menghadapi kasus yang komp-
leks;
2. Kedua pihak mempunyai posisi yang sama kuat untuk memertahankan tujuan
masing-masing;
3. Gaya kompetisi dan kolaborasi tidak mungkin bisa di-terapkan, karena tak
menguntungkan kedua pihak.
Analisis Konflik
Sesuai dengan bentuk-bentuk konflik, maka penyelesaian berbagai
konflik yang berbeda tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama. Untuk itu
terhadap setiap konflik yang ingin diselesaikan harus dilakukan analisis terlebih
dahulu, agar kita dapat mengenal medan konflik yang sesungguhnya, yaitu:
1. Memahami latar belakang dan sejarah situasi dan kejadian saat ini;
37
2. Mengidentifikasi semua individu atau kelompok yang terlibat dalam situasi
konflik, termasuk figur yang tidak tampak di permukaan;
3. Memahami pandangan semua individu atau kelompok yang terlibat dan lebih
mengetahui bagaimana hubungannya satu sama lain;
4. Mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik;
5. Belajar dari kegagalan dan kesuksesan sebuah proses kerjasama (Fisher et
al, 2000).
6. Dengan demikian diharapkan kita bisa menghasilkan cara penyelesaian yang
lebih efektif.
Penahapan Konflik
Peristiwa konflik tidak muncul begitu saja. Konflik terjadi melalui suatu
proses bertahap.
Fisher et al membagi tahapan konflik menjadi lima tahap:
1. Masa prakonflik;
2. Masa konfrontasi;
3. Masa krisis;
4. Dampak krisis;
5. Masa pasca konflik.
Skema tahapan konflik dari Fisher et al seperti dibawah ini
krisis
Konfrontasi
dampak krisis
37
tahap I tahap II tahap III tahap IV tahap V
Forsyth menggambarkan tahapan konflik seperti dalam gambar dibawah ini:
Escala-
tion
3
Confron De-esca-
lation
-tation
2
4
1 5
Disagree
-ment Resolu-
tion
Routine Group
Interaction
37
caya. Ini merupakan priode perang dan akhirnya memakan korban (secara
fisik ataupun status sosial). Komunikasi normal antara kedua pihak putus
total. Lontaran pernyataan dari kedua pihak cenderung saling menuduh dan
menentang pihak-pihak lain.
4. De-escalation (masa akibat/dampak krisis): tahap dimana salah satu pihak
mungkin menaklukkan pihak lain, atau melakukan gencatan, atau salah satu
pihak menyerah/mengalah atas desakan pihak lain. Meskipun masing-masing
pihak masih dengan kuat memegang teguh prinsip mereka, namun mereka
mulai merasakan lebih banyak waktu dan tenaga yang terbuang apabila
konflik tetap berlangsung. Situasi konflik mulai mereda, kedua pihak mungkin
setuju bernegosiasi dengan atau tanpa bantuan perantara, atau ada satu
kekuatan yang lebih besar/lebih berwibawa/lebih berkuasa memaksa kedua
pihak untuk menghentikan pertikaian. Apapun keadaanya, tingkat ketegang-
an pada fase ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian
atas konflik yang terjadi.
5. Resolution (pasca konflik): tahap dimana situasi konflik diselesaikan dengan
cara mengakhiri berbagai konfrontasi. Ketegangan semakin berkurang dan
hubungan mengarah ke keadaan yang lebih normal. Meskipun begitu, apa-
bila isuisu yang membuat terjadinya konflik tidak diselesaikan dengan baik
dan tuntas, termasuk pembinaan terhadap lingkungan fisik dan sosialnya,
tahap ini mungkin bisa kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
Pemetaan Konflik *)
Guna mempermudah pemetaan konflik, diperlukan alat bantu, yaitu
dengan menyusun urut-urutan kejadian yang berujung pada peristiwa konflik
tersebut.
Menyusun Urutan Kejadian
Dalam sebuah konflik, pihak-pihak yang terlibat sering memiliki penga-
laman dan pandangan berbeda mengenai sumber konflik. Mereka melihat dan
memahami konflik dengan cara yang sangat berbeda.
Tujuan membuat urutan kejadian adalah untuk me-mahami pandangan
orang-orang yang terlibat, agar mereka lebih memahami dimana letak sumber
perbedaan diantara mereka.
Selain aspek objektif, isu-isu yang berkembang diantara pihak-pihak ter-
libat konflik perlu juga diidentifikasi dan dicatat. Dengan menyusun urutan keja-
*) Sumber: Simon Fisher et al, Working with Conflict: Skill & Strategies for Action, 2000, Alih Bahasa SN
Kartikasari, Mieske D.Tapilatu, Rita Maharani, Dwiati Novitarini, The British Council, Indone-
sia, 2001.
37
dian, akan lebih mudah menemukan pada titik mana dan kapan konflik mulai
muncul, sehingga dapat diupayakan pemecahannya.
Keadaan Menurut Pihak I Urutan Waktu Keadaan Menurut Pihak II
1. Menghadiri rapat atas undangan Minggu I 1. Apa yg dikemukakan-nya dalam
pimpi-nan, menyampaikan rapat terasa mendeskreditkan
pandapat. Jan-2004 pribadi saya.
2. Ketika itu dia menyerang saya dg 2. Saya peringatkan dia jangan
cacian yg tajam, menyangkut hal- mengungkit-ungkit hal-hal yg
hal yg sangat pribadi. telah lewat
3. Menurut satpam, dia yg 3. Dia menuduh saya menyuruh
Minggu II
menyuruh seseorang ngempesi orang ngempesi ban mobilnya.
ban mobil saya. Padahal saya tdk berbuat spt itu.
Jan-2004
4. Saya dengar dia kasih duit sama 4. Saya tanya satpam apa betul dia
satpam utk tidak mengaku bilang begitu.Kata satpam dia tdk
ngomong begitu. Saya geng- pernah bilang begitu. Lantas saya
gamkan jari tangan saya karena Minggu III klarifikasi sama dia ttg tuduhan-
kesemutan, lantas dia memukul nya itu. Saya diacungi kepalan
saya dari samping. Saya balas Jan-2004 tinjunya. Saya jawab
dia. tantangannya.
-dan seterusnya
---- dan seterusnya ---- ---- dan seterusnya ----
37
3. Tentukan apa yang akan anda petakan, kapan dan dari sudut pandang apa
anda akan memetakannya, seperti: soliditas tim kerja, efektivitas dan efisiensi
organisasi atau hubungan antar manusia di organisasi ?
4. Pemetaan bersifat dinamis: hasil pemetaan awal bukan sesuatu yang kaku
tentang situasi konflik, bisa berubah.
5. Hasil pemetaan hendaklah dapat menstimulir atau menuntun ke arah tinda-
kan tertentu dalam menyelesaikan situasi konflik.
Hubungan yg aliansi
agak dekat
D
A Perselisihan/konflik
Mempengaruhi
Putus hubungan
B C
Efektivitas Kelompok
Untuk mencapai efektivitas dan produktivitas kelompok atau tim kerja
diperlukan suasana yang solid dan kondusif, guna memungkinkan terjadinya
proses kerjasama diantara anggotanya dalam mencapai tujuan kelompok. So-
liditas, efektivitas dan produktivitas kelompok dipengaruhi oleh adanya rasa
percaya, keterbukaan, perwujudan diri dan saling ketergantungan diantara
individu-individu anggota kelompok, namun keempat faktor tersebut merupakan
sesuatu yang abstrak dan sukar diobservasi.
Pada uraian dibawah ini efektivitas kelompok akan dilihat secara
nyata dalam bentuk perilaku anggota selama proses interaksi terjadi dalam
kelompok.
Kelompok yang efektif
Dalam sebuah kelompok yang efektif dapat kita saksikan adanya dua
kategori perilaku anggota kelompok, yaitu: 1) perilaku yang berorientasi pada
tugas; 2) perilaku yang berorientasi pada pemeliharaan hubungan anggota ke-
lompok.
Perilaku yang berorientasi pada tugas, selalu berupaya mengingatkan
dan mengajak anggota untuk mewujudkan pencapaian tujuan organisasi.
37
Kenyataan ini dapat dilihat dari aktivitas anggota kelompok dalam melakukan
kerja kelompok, antara lain:
37
4. Mengikuti kesepakatan, menyatakan menerima pendapat si A, sependapat
dengan keputusan kelompok, dan menjadi seorang pendengar yang baik
selama proses diskusi berlangsung.
5. Mengekspresikan pendapat kelompok, berusaha menyimpulkan perasaan
kelompok dan menguraikan reaksi kelompok terhadap suatu pendapat atau
keputusan.
Kelompok yang kurang efektif
Dalam sebuah kelompok yang kurang efektif dapat kita saksikan
adanya perilaku anggota yang dimensi assertifnya jauh lebih besar daripada
dimensi kooperatifnya, artinya dia terlalu berorientasi pada dirinya sendiri,
antara lain:
1. Menentang: mengeritik, menyalahkan orang lain, menunjukkan sikap menen-
tang kelompok atau perorangan, dan merendahkan orang lain.
2. Menghalangi, antara lain menghalangi kemajuan kelompok dalam mencapai
sasarannya dengan membelok-belokkan pembicaraan ke arah lain, meng-
utarakan pendapat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan topik yang
sedang dibicarakan, bicara terlalu banyak, menimbulkan kesan ingin men-
dapatkan pujian.
3. Mendominasi, antara lain memborong pembicaraan dalam kelompok dengan
menekankan pendapatnya sendiri, tidak menghargai pendapat orang lain dan
kelompok, tidak memperhatikan perasaan orang lain, sehingga terkesan ingin
menonjolkan diri serta menjadikan kelompok sebagai alat untuk menguji
pendapatnya saja.
4. Menyaingi, antara lain selalu berusaha mengajukan pendapat lebih dulu dari
orang lain, bersaing untuk mengemukakan ide atau pendapat yang paling
bagus, mencari muka pada pimpinan.
5. Mencari simpati, antara lain mencoba mempengaruhi anggota lain agar
menjadi tertarik pada suatu persoalan tertentu atau tertarik pada kegagalan
kelompok, menciptakan situasi utk mendapatkan dukungan dari anggota lain.
6. Menyokong pendapat tertentu, antara lain mengajukan atau mendukung pen-
dapat tertentu yang berkaitan dengan kepentingan atau filsafat hidupnya.
7. Mengganggu proses, antara lain sering melucu, menampilkan mimik tertentu
serta menginterupsi pembicaraan dan pekerjaan kelompok dengan pemikiran
yang kurang relevan.
8. Mencari nama, mencoba untuk mengarahkan semua perhatian anggota
kelompok kepadanya, antara lain dengan bicara keras, mengemukakan pen-
dapat yang ekstrem dan berperilaku aneh-aneh.
37