A. Optimasi Polifosfat
1. Pengaruh Terhadap Rendemen
Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman
dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang dipengaruhi oleh
masuknya zat (baik pelarut maupun zat terlarut) ke dalam sel udang . Proses keluar
masuknya zat ke dalam sel udang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi zat
terlarut yang pada penelitian ini adalah polifosfat dan garam. Unal et al. (2004)
menjelaskan selama proses perendaman terjadi dua mekanisme difusi yang terjadi
secara bersamaan : pada sampel daging secara alami mengandung jumlah
orthophosfat yang sangat tinggi sehingga menyebabkan orthophosfat berdifusi ke
dalam larutan polifosfat, sementara berlangsung juga difusi polifosfat ke dalam
sampel daging. Sebagai tambahan, polifosfat berdifusi ke dalam sampel daging
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan difusi orthophosfat keluar dari
sampel daging dampai pembentukan kompleks air-protein-polifosfat (Tenhet et al.
1981a,b) pada permukaan daging sempurna. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 3
kali pengulangan menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan konsentrasi polifosfat
memberikan hasil rendemen yang berbeda pula. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 2a
(ANOVA) dan 2b (Uji Lanjut Duncan). Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of
Variance) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai
rendemen yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) <
0,05 (nilai pada selang kepercayaan 95%). Perbedan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.
22
hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan lebih lama yaitu 3 jam. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polifosfat semakin tinggi pula
nilai rendemen yang diperoleh.
Phosfat akan memiliki sifat sinergis dengan garam dalam meningkatkan
WHC. Garam dapat meningkatkan kekuatan ionik yang menyebabkan gaya tolak
menolak pada protein otot yang kemudian akan memperbanyak masuknya larutan ke
dalam daging sehingga WHC meningkat. Sementara phosfat dapat meningkatkan
WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin
dan myosin sehingga myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih
baik daripada aktomiosin hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air
(WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman.
Pada Tabel 3 dapat dilihat perlakuan 0% memiliki kadar phosfat paling rendah
(0,18%) sedangkan perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (0,29% dan 0,33%)
dan perlakuan 4% memiliki kadar phosfat paling tinggi (0,49%). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, telah terjadi peningkatan kadar phosfat dari udang raw
material (0,25%) terhadap perlakuan 2%, 3% dan 4%. Pada perlakuan 0% terjadi
penurunan kadar phosfat, hal ini disebabkan kandungan garam NaCl yang tinggi
pada larutan perendaman udang tanpa adanya polifosfat yang memengaruhi proses
difusi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Unal et al. (2004) secara alami terdapat
orthophosfat di dalam daging yang berdifusi ke dalam larutan perendaman,
sementara itu terjadi juga difusi larutan perendaman (dalam hal ini hanya NaCl saja)
ke dalam sampel daging, sehingga konsentrasi phosfat pada sampel udang dengan
perlakuan 0% polifosfat mengalami penurunan.
23
WHC adalah dengan meningkatkan pH, sehingga akan meningkatkan muatan negatif
yang akan menimbulkan gaya tolak menolak pada protein udang. Gaya tolak-
menolak inilah yang menyebabkan air/larutan bisa masuk banyak kedalam protein
daging sehingga meningkatkan WHC. Selain itu, mekanisme yang lainnya adalah
dengan memecah kompleks aktomiosin, sehingga dapat memperlebar ruang antar
filamen dan air/larutan dapat masuk kedalam daging udang. Offer dan Knight (1988)
mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam
daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama,
phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi
dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg 2+,
pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai
analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa mendorong terjadinya
disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong
disosiasi dari filamen myosin.
Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 4b dan
4c), hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan
dengan nilai WHC yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant
level) < 0,05 (nilai pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 4.
Pada Tabel 4 dapat dilihat perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (77,07% dan
78,01%), begitu pula dengan perlakuan 3% dan 4% (78,01% dan 78,75%). Namun
jika dilihat secara nilai matematis, perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling
tinggi. Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang digunakan maka semakin tinggi
pula muatan negative yang menyebabkan semakin besar pula gaya tolak menolak
pada protein otot udang sehingga nilai WHC yang diperoleh pun semakin tinggi.
Berikut dapat dilihat pH daging udang setelah proses perendaman pada Gambar 8.
24
Perendaman udang tanpa menggunakan sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC
sebesar 29,31 mg H2O, sementara perendaman udang menggunakan 4% sodium
tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 61,34 mg H2O. Hal ini membuktikan bahwa
polifosfat memiliki kemampuan dalam meningkatkan nilai WHC. Hasil WHC pada
penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abduh, hal ini
dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan pada penelitian lebih lama yaitu 3
jam. Peningkatan nilai WHC juga dimungkinkan dipengaruhi oleh pH. Fenomena ini
dapat dijelaskan bahwa polifosfat memiliki nilai pH tinggi dan bersifat basa sehingga
udang yang direndam menggunakan larutan polifosfat gugus karboksil asam
aminonya akan terdisosiasi. Hal tersebut dapat meningkatkan muatan dan
mengembangkan molekul protein yang disebabkan oleh melonggarnya jaringan
protein sehingga terjadi peningkatan kapasitas menahan air karena terikatnya
molekul H2O pada gugus karboksil dan amino bebas protein (Winarno, 1984).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme polifosfat dalam
meningkatkan WHC adalah dengan meningkatkan pH. Pada perlakuan 4% dapat
dilihat pada grafik tersebut memiliki nilai pH yang paling besar yaitu 7,45 (Lampiran
5). Hal ini juga yang memberikan alasan bahwa perlakuan 4% memiliki nilai WHC
yang paling tinggi. WHC menurun sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein
daging antara 5,4 5,5. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan
(jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya
minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah
muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan
penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air.
Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging,
terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan
member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Bouton et al., 1971). Jadi
pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging ,
WHC meningkat. Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang
mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun
sampai 5,4 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Oleh karena itu pH daging
udang harus dipertahankan diatas pH isoelektrik protein daging untuk
mempertahankan nilai WHC.
Nilai WHC dipengaruhi oleh kadar phosfat yang ada pada daging udang. Hal
ini karena pengaruh phosfat terhadap peningkatan pH dan peningkatan kekuatan
ionik pada protein otot udang. Berdasarkan analisis statistic menggunakan
Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara WHC dengan
kadar phosfat (Nilai Sig. < 0,05). Dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai
positif sebesar 0,553 ( Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
WHC dan kadar phosfat berbanding lurus. Semakin tinggi phosfat maka semakin
tinggi nilai WHC yang diperoleh. Phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara
memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin
sehingga, myosin akan lebih mudah larut. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik
dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses
perendaman (Stone, 1981). Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC dapat dilihat
25
pada Gambar 9. Pada Gambar 9 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y
= 18,79x + 70,54 dengan nilai R = 75,7% yang menandakan bahwa korelasi kadar
phosfat dengan WHC tidak terlalu berbanding lurus.
Selain dipengaruhi oleh kadar phosfat, nilai WHC juga dipengaruhi oleh pH.
Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat
hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan pH (Nilai Sig < 0,05). Nilai pearson
correlation juga menunjukkan nilai positif sebesar 0,956 (Lampiran 7) yang berarti
hubungan antara nilai WHC dengan pH berbanding lurus. Semakin tinggi pH daging
udang maka semakin tinggi pula nilai WHC yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan
teori menurut Bouton et al (1971), nilai pH diatas pH isoelektrik daging 5,4-5,5 dapat
meningkatkan nilai WHC. Korelasi antara pH WHC dapat dilihat pada Gambar 10.
Pada Gambar 10 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 7,275x +
24,67 dengan nilai R = 99,7% yang menandakan korelasi antara pH udang dengan
WHC berbanding lurus.
26
5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak
Proses pemasakan udang dilakukan pada suhu 97-99OC selama 2 menit 15 detik.
Selama proses pemasakan, menurut Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan
bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu
dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu
kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada
protein-protein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 53oC
tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada
saat temperature meningkat menjadi 60oC; pada saat itu kolagen dari membrane basal
mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen
endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 90oC semakin banyak
pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan.
Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari
epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan.
Keempat fase inilah yang menyebabkan terjadinya susut masak pada produk udang.
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (
Lampiran 8a, 8b), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara
perlakuan denga nilai susut masak yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig.
(significant level) < 0,05 (nilai pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3%, dan 4% tidak
berbeda nyata, sementara perlakuan A memiliki nilai susut masak terbesar yaitu
15,94%. Semakin besar nilai susut masak, semakin tidak bagus untuk perusahaan,
karena dapat menurunkan berat produk dari target yang ingin dicapai. Sementara jika
dilihat secara matematis perlakuan 3% memiliki nilai susut masak terendah (11,92%)
diikuti oleh perlakuan 4% dan 3% (12,51% dan 13,54%). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Faithong et al. (2006) pengaruh penggunaan 3% SHMP (Sodium
hexametaphosphate) pada udang putih (Penaeus vannamei) dengan garam NaCl 3%
mampu menghasilkan nilai susut masak sebesar 10,77 0,73 %. Susut masak pada
penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang
dilakukan oleh Faithong et al. Hal ini disebabkan udang yang digunakan oleh
Faithong hanya 1 kg untuk perendaman dengan larutan polifosfat sehingga lebih
mudah untuk mengontrol hasil susut masak. Sedangkan menurut Erdogu (2007),
pada daging merah yang dimasak tanpa perlakuan phosfat memiliki nilai susut masak
sebesar 45,9%, tetapi ada penurunan 10% susut masak (35%) pada daging merah
yang dimasak setelah dilakukan perendaman menggunakan 6% STP (Sodium
trypolyphosphat). Jadi peningkatan konsentrasi polifosfat saat perendaman
mempengaruhi nilai susut masak yang dihasilkan.
27
6. Korelasi Antara WHC dengan Susut Masak
Pengaruh nilai WHC terhadap nilai susut masak dapat dilihat berdasarkan
analisis statistic menggunakan Correlation. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh
bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan susut masak yang
diperoleh (Nilai Sig. < 0,05). Jika dilihat dari nilai pearson correlation menunjukkan
nilai negative sebesar 0,827 (Lampiran 9). Hal ini menandakan bahwa hubungan
antara WHC dengan susut masak berbanding tebalik. Semakin besar nilai WHC
maka semakin kecil nilai sust masak yang diperoleh. Semakin besar kemampuan
protein otot pada daging udang dalam mengikat air maka semakin kecil kemungkinan
air yang sudah terserap keluar pada saat proses pemasakan. Korelasi antara WHC
dengan susut masak dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dapat diketahui
pula persamaan korelasinya yaitu y = -0,614x + 60,52 dengan nilai R = 92,3% yang
menandakan hubungan antara nilai WHC dan susut masak berbanding lurus.
28
Berdasarkan Tabel 6. Dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak
berbeda nyata. Sementara perlakuan 0% memiliki nilai rendemen total paling rendah
sebesar 77,93%. Walaupun perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata, namun
pada perusahaan perbedaan 1-2% memiliki perbedaan yang cukup besar. Oleh karena
itu jika dilihat secara matematis perlakuan 4% memberikan nilai rendemen total yang
paling besar yaitu 88,21%.
C. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji rating kategori
yang meliputi uji rasa, tekstur dan kenampakan. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut
standar PT. CPB adalah 5. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 12a. Uji
organoleptik ini diikuti oleh 8 panelis terlatih. Secara rinci, hasil uji organoleptik dapat
dilihat pada Tabel 8.
29
Dari tabel, dapat dilihat bahwa dari ke-4 perlakuan tidak berbeda nyata baik dari
rasa, tekstur maupun kenampakan pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan
berdasarkan uji statistic nilai F tabel > F hitung (Lampiran 4b, 4c, 4d). Dari ke-4
perlakuan berdasarkan Tabel 8. memiliki rasa asin, tekstur yang elastis, kompak, padat,
kenyal dan memiliki kenampakan warna kulit terang.
30
Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan 4% membutuhkan biaya Rp
57.838,6/Kg produk akhir, perlakuan 2% membutuhkan biaya Rp 58.114,6/Kg
produk akhir dan perlakuan 3% membutuhkan biaya Rp 58.651,1. Perlakuan 4%
memerlukan jumlah biaya produksi yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 2% dan
3%. Hal ini dikarenakan perlakuan 4% memiliki nilai rendemen total yang paling
besar sehingga membutuhkan bahan udang mentah HO lebih sedikit dibandingkan
perlakuan 2% dan 3%. Penggunaan 4% polifosfat dapat menghemat uang sebesar Rp
812.50/kg udang dan Rp 1,624,996.44/2000kg udang. Jika diasumsikan harga jual
udang Rp 80,000/kg maka keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan
menggunakan 4% polifosfat akan mendapatkan keuntungan terbesar yaitu Rp
22,161.41/kg udang dan Rp 44,322,811.47/2000kg udang. Dengan demikian
penggunaan 4% polifosfat akan menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 3,81%.
Sementara perlakuan 0% sudah jelas membutuhkan biaya yang paling besar dan
memberikan kerugian yang besar pula (-29%).
31