Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai


respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi poliformik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung
residif dan menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2010).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA); keduanya
dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan
kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2010).
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit,
karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimir yang dipakai oleh
masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di
masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran
belum didapat (Sularsito, dkk, 2011)
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
DKA ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan
dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih
sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011).

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1.Identitas Pasien
Nama : Tn. Raden
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Bangsa/Suku : Indonesia/Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai swasta
Hobi : membaca
Alamat : Jalan Gelas No.8, Medan, Sumut.

2.2.Anamnesis
Keluhan Utama : Timbul gelembung-gelembung kecil berisi
cairan disertai rasa panas pada kedua telapak
tangan sejak 1 hari yang lalu.
Keluhan Tambahan : Disertai rasa gatal pada kedua telapak
tangan
Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke poliklinik kulit dan kelamin
RSU. Royal Prima pertama kali pada tanggal
19 Mei 2017 dengan keluhan timbul
gelembung-gelembung kecil berisi cairan
jernih yang terasa panas dan agak gatal pada
kedua telapak tangan sejak 1 hari yang lalu.
Keluhan ini diawali dengan Os melakukan
pengecatan rambut sendiri pada 12 hari yang
lalu. Merk cat rambut yang digunakan
adalah BSY. Setelah melakukan cat rambut,
Os mengalami pembengkakan pada seluruh
wajah dan bibir, pembengkakan di dahi

2
berisi cairan yang dapat berpindah sesuai
posisi tubuh, merah disekitar bibir, juga
timbul bintik-bintik kecil pada kedua
punggung telapak tangan yang terasa sangat
gatal. Os mengatakan sudah berobat ke
puskesmas dan diberi obat oral juga salep,
lalu keluhan Os sembuh.
Beberapa hari setelah sembuh, timbul
gelembung-gelembung kecil yang berisi
cairan pada kedua telapak tangan yang terasa
panas. Os mengaku sering menggosokan
kedua telapak tangan ketika gatal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Os mengaku sudah pernah mengalami sakit
yang sama sebelumnya setelah melakukan
pengecatan rambut namun dengan gejala
yang lebih ringan.
Os juga mengaku memiliki riwayat Hepatitis
B
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang
mempunyai keluhan serupa dengan pasien.
Riwayat Penggunaan Obat : CTM tablet, Cetirizine tablet, dan Elomox
cream

2.3.Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Nadi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Suhu : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Gizi : Baik

3
Status Dermatologis
Lokasi : Regio palma (vola) dekstra dan sinistra
Keadaan Spesifik
- Kepala : Tidak ada kelainan
- Leher : Tidak ada kelainan
- Thorax Anterior : Tidak ada kelainan
- Thorax Posterior : Tidak ada kelainan
- Abdomen : Tidak ada kelainan
- Ekstremitas Superior : Regio palma (vola) dekstra dan sinistra
- Ekstremitas Inferior : Tidak ada kelainan
- Genitalis : Tidak ada kelainan
- Ruam Kulit : vesikel eritematosa multipel, bilateral,
sirkumskrip, dengan ukuran miliar, yang menyebar diskret dan
konfluens.
LOKASI RUAM
1. Kepala/Daerah Tidak ada kelainan
Wajah
2. Axila Tidak ada kelainan
Dextra
Sinistra
3. Leher Tidak ada kelainan
4. Thorax Tidak ada kelainan
Anterior
Posterior
5. Abdomen Tidak ada kelainan

6. Inguinal Tidak ada kelainan

7. Ekstremitas
Superior Palma dekstra dan sinistra: vesikel eritematosa
multiple, sirkumskrip, dengan ukuran miliar,
yang menyebar diskret dan konfluens

Inferior Tidak ada kelainan

4
8. Genitalia Tidak ada kelainan

2.4.Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
2.5.Ringkasan
Os seorang laki-laki, 49 tahun, datang ke poliklinik kulit dan kelamin
RSU. Royal Prima pertama kali pada tanggal 19 Mei 2017 dengan keluhan
timbul gelembung-gelembung kecil berisi cairan jernih yang terasa panas dan
agak gatal pada kedua telapak tangan sejak 1 hari yang lalu. Keluhan ini
diawali dengan Os melakukan pengecatan rambut sendiri pada 12 hari yang
lalu. Merk cat rambut yang digunakan adalah BSY. Setelah melakukan cat
rambut, Os mengalami pembengkakan pada seluruh wajah dan bibir,
pembengkakan di dahi berisi cairan yang dapat berpindah sesuai posisi tubuh,
merah disekitar bibir, juga timbul bintik-bintik kecil pada kedua punggung
telapak tangan yang terasa sangat gatal. Os mengatakan sudah berobat ke
puskesmas dan diberi obat oral juga salep, lalu keluhan Os sembuh. Beberapa
hari setelah sembuh, timbul gelembung-gelembung kecil yang berisi cairan
pada kedua telapak tangan yang terasa panas. Os mengaku sering
menggosokan kedua telapak tangan ketika gatal.
Dari hasil pemeriksaan dermatologis dari regio palma (Vola) dekstra dan
sinistra, didapatkan vesikel eritema multiple, sikumskrip, dengan ukuran
miliar, yang menyebar secara diskret dan konfluens.

2.6.Diagnosa Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatitis Kontak Iritan
3. Dermatitis Herpetiformis
4. Dermatitis Dishidrosis / Pompholyx
5. Dermatitis Autosensitisasi

2.7.Diagnosa Sementara
Dermatitis Kontak Alergi

5
2.8.Penatalaksanaan
Non-farmakologi:
1. Hindari kontak ulang dengan alergen penyebab
2. Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan jika pajanan
bahan iritan tidak dapat dihindari
3. Mengajurkan kepada pasien untuk tidak menggaruk apabila gatal
karena kemungkinan dapat menyebabkan infeksi sekunder
4. Disarankan untuk membawa obat anti-alergi guna mengurangi reaksi
alergi ketika terpajan iritan
Farmakologi:
1. Cetirizin 10 mg tablet (2x1 tab/hari)
2. Metilprednisolon 4mg tablet (1x1 tab/hari) selama 5 hari
3. Desoximetasone 0,25% 15gr cream (2x1/hari)
4. Kompres NaCl 0,9% dengan kasa steril, sebelum menggunakan cream
(2x1/hari) selama 2-3 hari

2.9.Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungsionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia et bonam

2.10. Follow Up
Ruam pertama kali datang ke Poliklinik (19 Mei 2017)
Ruam di regio palma (vola) dekstra dan sinistra.

6
Ruam: Vesikel eritematosa multiple, bilateral, sirkumskrip, dengan ukuran
miliar, yang menyebar diskret dan konfluens.

Follow Up ke-2 (29 Mei 2017)

Ruam: Makula dan papula hiperpigmentasi, bilateral, yang sirkumskrip


dengan ukuran miliar disertai skuama dan krusta, menyebar secara diskret
dan konfluens.

Terapi:
1. Desoximetasone 0,25% 15gr cream + As. Salisilat 3% cream
(2x1/hari)
2. Cetirizine 10mg tablet (kalau perlu)

7
Prognosis:
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungsionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia et bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah peradangan kulit yang
terjadi setelah kulit terpajan dengan bahan alergen melalui proses
hipersensitivitas tipe lambat. Terjadinya DKA sangat tergantung dari
kemampuan suatu bahan untuk mensensitisasi, tingkat paparan dan
kemampuan masuknya bahan tersebut dalam kulit, oleh karena itu
seseorang dapat terkena DKA apabila terjadi sensitisasi terlebih dahulu
oleh bahan alergenik.

3.2.Etiologi dan Predisposisi

3.2.1.Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000
Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl
cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin
(cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
3.2.2.Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi. Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):

9
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain


yang masing masing dapat memperberat penyakit atau memperingan.
Sebagai contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun
apabila satus higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka
potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya.
Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan
perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi
individu yang rendah. Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan
integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

10
3.3.Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF,
leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang
mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti
dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan
beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang
mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel
lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang
berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

11
3.4.Diagnosis
3.4.1.Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.

Tabel 3.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi


keluarga

Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-


sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan


spesifik

12
3.4.2.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).

Tabel 3.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.

13
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum


dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan


karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir.

14
c.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada
emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.

15
Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang
terkenaalergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,


pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema

f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat


disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat
topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi
yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada
pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

5.1.1. Pemeriksaan Penunjang


a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis

16
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien

17
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau
excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

18
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu


setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,

19
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema

20
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,


spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).

21
6. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).

3.5.Diagnosa Banding
Kelainan kulit DKA sering tidak memberikan gambaran morfologik
yang khas, menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis
seboroik, atau neurodermatitis sirkumskripta. Diagnosis banding yang
terutama ialah dengan dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini
pemeriksan uji tempel perlu timbangkan untuk menentukan apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi.
Dermatitis Numularis. Lesi eksematous khas berbentuk koin,
berbatas tegas, ujud kelainan kulit terdiri dari papul dan vesikel.
Dermatitis Atopik. Erupsi cenderung bilateral dan simetris. Lesi
kering terdiri dari papul atau likenifikasi, dan hiperpigmentasi. Tempat
predileksi pada muka dan ekstensor untuk bayi dan anak-anak, bagian
fleksor, di lipat siku, lipat lutut, samping leher pada dewasa. Adanya
riwayat atopi pada pasien atau keluarganya.
Dermatitis Seboroik. Adanya erupsi kronik pada daerah scalp,
belakang telinga, sternal, axilla, dan lipat paha, disertai dengan skuama
basah berwarna kuning hingga kering.

22
Neurodermatitis Sirkumskripta. Erupsi berupa likenifikasi yang
merupakan akibat dari siklus garuk-garuk. Berhubungan dengan status
psikologik penderita. Tersering di daerah tengkuk, pertengahan lengan
bawah bagian ekstensor, tungkai bawah lateral, dan pergelangan kaki.

Tabel 3.3 Perbedaan DKA dan DKI

23
3.6.Penatalaksanaan
3.6.1.Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
3.6.2.Medikamentosa
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab,
dan menekan kelainan kulit yang timbul.
1.Terapi Topikal
Untuk dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,
edema, bula atau vesikel, serta eksudatif (madidans), kelainan kulit
dikompres beberapa kali sehari selama 15-20 menit. Dapat menggunakan
larutan garam faal atau larutan salisil 1:1000, larutan potassium
permanganate 1:10.000, larutan Burowi (aluminium asetat) 1:20-1:40.
Kompres dihentikan apabila edema telah hilang. Pada beberapa kasus
yang lebih berat, diperlukan kortikosteroid topical dari potensi sedang
hingga potensi tinggi. Dapat juga menggunakan formulasi triamsinolone
acetonide 0,1% dalam lotio Sarna (kampor 0,5 %, mentol 0,5%, fenol
0,5%).
Pada keadaan subakut, penggunaan krim kortikosteroid potensi sedang
hingga potensi tinggi merupakan pilihan utama. Sedang kompres terbuka
tidak diindikasikan.
Sedangkan untuk lesi kronik, diberikan salap kortikosteroid potensi
tinggi atau sangat tinggi sebagai terapi initialnya. Untuk terapi rumatan

24
dapat digunakan kortikosteroid potensi rendah. Diberikan juga emolien,
seperti gliserin, urea 10%, atau preparat ter untuk lesi yang likenifikasi
dan kering. Pada kondisi likenifikasi yang berat, pemberian
kortikosteroid intralesi dapat memberikan manfaat.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang
telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik),
cukup diberikan kortikosteroid topikal atau makrolaktam (pimecrolimus
atau tacrolimus).Golongan makrolaktam yang tidak mengakibatkan atrofi
kulit sehingga aman untuk digunakan di wajah dan mata.
2.Terapi sistemik
Untuk mengurangi rasa gatal dan peradangan yang moderate dapat
diberikan antihistamin. Sedangkan kortikosteoroid oral diberikan dalam
jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada keadaan akut yang
berat, misalnya prednison 30 mg/hari (dibagi 3dosis). Umumnya kelainan
kulit akan mereda setelah beberapa hari. Pada kondisi yang lebih parah,
dimana pekerjaan sehari-hari pasien terganggu dan tidak bisa tidur, dapat
diberikan prednison oral 70mg sebagai dosis initial, yang diturunkan 5-10
mg/hari selama 1-2 minggu. Apabila terdapat infeksi sekunder, terdapat
fisura, erosi, dan secret purulen dapat ditambahkan antibiotic misalnya
eritromisin 4250-500 mg selama 7-10 hari.

3.7.Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen

25
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen.

3.8.Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

3.9.Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

26
BAB 4
KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang


timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta
nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk
mengurangi reaktivitas sistem imun dengan terapi kortikosteroid,
mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk
mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

27
DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an
update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/cont
act%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses
pada tanggal 17 Mei 2017
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta
: Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
diakses pada tanggal 17 Mei 2017

28

Anda mungkin juga menyukai