Akan tetapi, kemajemukan itu bisa pula melahirkan konflik dan permusuhan, bahkan
kehancuran bangsa ini bila tidak mampu dijaga dan dirawat dengan baik.
Banyaknya problematika yang melilit bangsa ini tak lepas dari kurang membuminya
Pancasila dalam hati dan sanubari. Pancasila hanya dijadikan sebagai sebuah teks
yang hanya sekadar dihafal. Keberadaannya ibarat berada di atas menara gading.
Tidak membumi dalam tindakan nyata para aparat penyelenggara negara ini.
Nilai-nilai Pancasila telah terkikis, tererosi oleh tindakan petinggi negeri ini yang
lebih mengedepankan pragmatisme dalam mengejar harta dan kekuasaan.
Kita harus prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia yang jauh dari nilai-nilai
Pancasila dan memudarnya rasa nasionalisme, sehingga banyak terjadi pertikaian dan
kekerasan di beberapa daerah.
"Saat ini elit politik lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan,
sehingga kepentingan bangsa terabaikan dan nasib rakyat tidak semakin baik.
Pancasila harus dijadikan sebagai kontrak yang mengikat semua rakyat Indonesia
yang majemuk agar tetap bersatu meraih cita-cita bersama sebagai bangsa.
"Setiap orang tahu tentang nilai-nilai Pancasila, namun tidak semua orang mau
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupannya,". Peringatan Hari
Kesaktian Pancasila harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang
pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri.
"Khususnya generasi muda yang kini perilakunya sudah mulai jauh dari falsafah
Pancasila, bahkan tidak sedikit generasi muda tidak tahu tentang pentingnya nilai-
nilai Pancasila dalam kehidupan sehingga mereka sering tawuran.
Pengkhianat Bangsa
Sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang, dan sang pecundang dicap sebagai
pengkhianat, sehingga wajar jika kemudian Pemerintah Orde Baru melakukan hal
tersebut. Namun setelah Orde Baru tumbang, kewibawaan peringatan Hari Kesaktian
Pancasila cenderung memudar.
Hal ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa kesaktian Pancasila selama Orde Baru
adalah rekayasa rezim untuk memperkuat legitimasi pemerintah. Dengan
menempatkan Pancasila secara berlebihan, rezim militer Orde Baru mendapat alasan
kuat untuk menghabisi dan menyingkirkan siapa saja yang berani melawan
pemerintah.
Di Perguruan Tinggi juga terdapat mata kuliah Pancasila yang tidak lebih untuk
mengukuhkan keberadaan rezim pemenang.
Namun jatuhnya Orde Baru seakan menjadi titik awal dari keruntuhan Pancasila.
Pancasila sepertinya tidak dihargai lagi. Korupsi yang merajalela mencerminkan tidak
adanya penghayatan sebagai bangsa dan negara yang beragama. Mewabahnya virus
korupsi dari pusat hingga ke daerah menambah beban yang harus dipikul oleh negeri
ini.
Korupsi yang merajalela menjadikan negara ini tersandera ibarat terjerat jaring laba-
laba. Korupsi membuat rakyat mengalami kemiskinan struktural yang sengaja
diciptakan penguasa. Jutaan rakyat merasa hampa dan kelaparan, tak mengalami
kesejahteraan seperti yang diharapkan.
Ketuhanan Yang Maha Esa di benak koruptor berubah menjadi Keuangan Yang Maha
Kuasa. Uang menjadi sebab dari lunturnya keimanan yang ada di hati.
Sebab dengan iming-imingan uang, anggota dewan, hakim, jaksa bahkan siapa pun
bisa bertekuk lutut bersimpuh di hadapannya. Uang kini seakan menjadi Tuhan dan
berhala baru yang disembah para aparat-birokrat dan pejabat pemerintahan.
Mereka berpesta pora di tengah rintihan penderitaan rakyat. Para koruptor adalah
pengkhianat bangsa sesungguhnya yang lebih keji dari PKI. Koruptor adalah bentuk
penjajah baru yang mewujud dalam diri bangsa sendiri.
Kalau dulu pada masa kemerdekaan, penjajah yang hadir di bumi pertiwi nyata dalam
bentuk fisik. Namun kini, penjajah yang ada adalah saudara sendiri sebangsa dan
setanah air. Sudah selayaknya para koruptor diperlakukan seperti anggota PKI di
masa lalu, agar korupsi di negeri ini bisa dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Semakin Pudar
Sungguh merupakan suatu kebuntuan dalam suatu identitas yang kini mulai
menghinggapi, bila nantinya Pancasila hanya berada dalam kotak pandora.
Tak ada jalan lain yang harus dilakukan untuk mengembalikan kesaktian Pancasila,
selain menanamkan kembali sejarah awal berdirinya Republik ini.
Tentu dengan tanpa menghilangkan nalar kritis yang menyelimuti sejarah di masa
lampau itu. sejarah itu bukan hanya rekaman masa lalu saja, tapi sejarah perlu juga
pada penalaran kritis untuk menemukan kebenaran peristiwa di masa lalu.
Selain itu, perlu kiranya juga penanaman ideologi bangsa ini dimasifkan sejak sekolah
dasar. Agar nantinya, kebanggaan menjadi bangsa Indonesia tertancap kuat di dalam
dada.
Pancasila saat ini semakin pudar atau tenggelam di tengah hiruk pikuk reformasi dan
seolah hilang dari memori kolektif bangsa.
Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks
kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti terbujur di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan
bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan
berpolitik yang cenderung mementingkan diri sendiri, kelompok dan partai politiknya.