Anda di halaman 1dari 45

PENAPISAN FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS

ANTHELMINTIK EKSTRAK DAUN JARAK


(Jatropha curcas L.) TERHADAP CACING
Ascaridia galli SECARA in vitro

SKRIPSI
SISKA FITRIANA

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

SISKA FITRIANA. D24104018. 2008. Penapisan Fitokimia dan Uji Aktivitas


Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak (Jatropha curcas L.) terhadap Cacing
Ascaridia galli secara in vitro. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Komang G. Wiryawan


Pembimbing Angota : drh. Risa Tiuria MS. Ph.D

Ascaridia galli merupakan cacing yang menyerang usus halus unggas.


Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit kecacingan cukup besar. Pengendalian
infeksi cacing yang digunakan selama ini adalah dengan pemberian anthelmintik.
Anthelmintik yang banyak beredar di pasaran adalah anthelmintik sintetis yang
dapat menimbulkan peningkatan populasi cacing yang resisten terhadap
anthelmintik dan adanya residu pada ternak. Sebagai antisipasi masalah di atas
perlu dikembangkan anthelmintik dari bahan herbal. Akhir-akhir ini sedang
digalakkan penanaman pohon jarak secara besar-besaran sebagai biodisel. Daun
jarak sebagai limbah diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penapisan kandungan fitokimia daun
jarak dan menentukan konsentrasi ekstrak daun jarak yang paling efektif sebagai
anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Helminthology, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan
Maret sampai September 2007. Daun jarak (Jatropha curcas L.) dikeringkan dan
diekstrak menggunakan teknik maserasi dengan pelarut air dan metanol. Setiap
ekstrak diuji kandungan fitokimianya untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder. Uji aktivitas anthelmintik dilakukan dengan menghitung jumlah cacing
yang mati selama 18 jam dalam cawan petri yang berisi ekstrak daun jarak dengan
level yang berbeda (1%, 2%, 3%, 4% b/v). Kontrol positif digunakan piperazin
0,5% b/v dan kontrol negatif adalah NaCl fisiologis. Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 10
perlakuan, tiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan Sidik Ragam (ANOVA), dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan
uji Ortogonal Kontras, untuk mendapat tipe kurva pendugaan terbaik digunakan uji
Ortogonal Polinomial (Steel dan Torrie, 1993).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen ekstrak daun jarak dengan
pelarut air (2,51%) lebih tinggi dibanding pelarut metanol (0,49%). Hasil analisis
ragam (ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan persentase kematian cacing yang
sangat nyata (P<0,01) dalam berbagai konsentrasi ekstrak daun jarak. Ekstrak daun
jarak dengan pelarut air menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
terhadap tingkat kematian cacing, sedangkan metanol menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05). Berdasarkan hasil uji ortogonal polinomial bahwa ekstrak air
2
membentuk grafik linier dengan persamaan Y=16,669x + 26,66 dan R = 0,8065.
Nilai Y adalah persentase kematian cacing dan nilai x adalah level ekstrak daun
jarak dalam pelarut air yang dinyatakan dalam persen.
Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun jarak dengan
pelarut air mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, triterpenoid dan
glikosida. Sedangkan ekstrak daun jarak dengan pelarut metanol mengandung
senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, steroid, dan glikosida. Kandungan kimia
yang diduga mempercepat anthelmintik dalam ekstrak daun jarak dengan pelarut air
adalah triterpenoid.

Kata Kunci: ekstrak daun jarak (Jatropha curcas .L), anthelmintik, fitokimia,
Ascaridia galli

iii
ABSTRACT

Phytochemical and Anthelmintic Activity Test of Jatropha curcas Leave


Extract On Ascaridia galli Worms in vitro
S. Fitriana, K. G. Wiryawan, R. Tiuria
This exsperiment was aimed at analyzing the phytochemical compounds of
Jatropha curcas leaves and determine the most effective concentration of Jatropha
curcas leave extract as anthelmintic for Ascaridia galli in vitro. Jatropha curcas
leave was dried and extracted with water and methanol. Each extract was tested its
phytochemical to investigated its secondary metabolite compounds. The
anthelmintic activity test was conducted by counting the number of dead Ascaridia
galli during 18 hours in petry dishes containing different levels of Jatropha curcas
leave extract (0%, 1%, 2%, 3%, 4% w/v). Control positive was piperazin 0.5% w/v.
The results showed that water extract and methanol extract had similar composition
of secondary metabolite compounds except in water extract contained high
triterpenoid content and methanol extract had high steroid. Ascaridia galli treated
with water extract significantly (P<0.01) increased the dead percentage of the
worms compared to control. Meanwhile, the dead percentage of Ascaridia galli
treated with methanol extract was significantly (P<0.05) higher than that of control.
Polynomial orthogonal test for water extract showed linear relation between the
concentration of leave extract and the dead percentage of Ascaridia galli with the
equation Y= 16.669x + 26.66. However, both water and methanol extract were not
as effective as piperazine in killing Ascaridia galli. It is concluded that Jatropha
curcas leave extract can be used as anthelmintic, but further study is required to
obtain optimum concentration similar to 0.5% w/v piperazine.
PENAPISAN FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS
ANTHELMINTIK EKSTRAK DAUN JARAK
(Jatropha curcas L.) TERHADAP CACING
Ascaridia galli SECARA in vitro

SISKA FITRIANA
D24104018

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PENAPISAN FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS
ANTHELMINTIK EKSTRAK DAUN JARAK
(Jatropha curcas L.) TERHADAP CACING Ascaridia
galli SECARA in vitro

Oleh
SISKA FITRIANA
D24104018

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan


Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 31 Januari 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Komang G. Wiryawan drh. Risa Tiuria, MS. Ph.D


NIP. 131 671 601 NIP. 131 624 188

Dekan Fakultas Peternakan


Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M. Sc. Agr.


NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 2 Februari 1987. Penulis


adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Rafnis dan Ibu
Farida.
Pada tahun 1992, penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) 35 Tigo Alua
IV Angkat Candung dan lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 IV Angkat Candung dan lulus
pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis masuk Sekolah Menengah Umum
(SMU) Negeri 1 IV Angkat Candung dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai
salah satu mahasiswi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif
mengikuti berbagai organisasi diantaranya Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan
Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai staf IT, Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang
(IPMM). Penulis pernah menjadi panitia dalam acara International Education Expo
(IEE) dan Feed Formulation Program tahun 2007. Penulis juga pernah mengikuti
kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2007.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul Penapisan Fitokimia dan Uji Aktivitas
Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak (Jatropha curcas L.) terhadap Cacing
Ascaridia galli secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penapisan
kandungan fitokimia daun jarak dan menentukan konsentrasi ekstrak daun jarak yang
paling efektif sebagai anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai September 2007
bertempat di Laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor; Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Balai Penelitian Ternak
(Balitnak), Ciawi, Bogor.
Penelitian ini dimulai dari suatu rangkaian kegiatan Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) yang akhirnya dilanjutkan sebagai bahan penelitian tugas akhir.
Penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang membangun oleh
berbagai pihak demi kesempurnan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
baik untuk kalangan mahasiswa, peneliti, maupun masyarakat pada umumnya.

Bogor, Januari 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN...................................................................................................................ii
ABSTRACT.....................................................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP.........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR..................................................................................................viii
DAFTAR ISI....................................................................................................................ix
DAFTAR TABEL.............................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................xii
PENDAHULUAN............................................................................................................1
Latar Belakang..................................................................................................1
Tujuan.................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................4
Cacing Ascaridia galli.....................................................................................4
Klasifikasi dan Morfologi Ascaridia galli....................................4
Siklus Hidup Ascaridia galli...........................................................4
Patogenesis..........................................................................................5
Pengobatan..........................................................................................5
Daun Jarak.........................................................................................................7
Ekstraksi.............................................................................................................8
Bahan Bioaktif..................................................................................................9
Alkaloid.................................................................................................10
Flavonoid..............................................................................................11
Saponin..................................................................................................11
Steroid/Triterpenoid............................................................................12
Faktor yang Mempengaruhi Kandungan Komponen Bioaktif .............13
Faktor Intrinsik....................................................................................13
Faktor Ekstrinsik.................................................................................13
METODE.........................................................................................................................15
Lokasi dan Waktu...........................................................................................15
Materi................................................................................................................15
Prosedur............................................................................................................15
Pengadaan Cacing Ascaridia galli..................................................15
Pengolahan dan Ekstraksi Daun Jarak............................................15
Penapisan Fitokimia...........................................................................16
Uji Alkaloid.............................................................................16
Uji Fenol/Flavonoid..............................................................16
Triterpenoid atau Steroid.....................................................17
Uji Saponin dan Tanin..........................................................17
Uji Aktivitas Anthelmintik secara in vitro 17
Rancangan Percobaan 17
Analisis Data 18
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................19
Ekstraksi, Rendemen, dan Penapisan Fitokimia 19
Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak 20
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................................25
Kesimpulan 25
Saran 25
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................27
LAMPIRAN....................................................................................................................30
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rendemen dan Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun Jarak ..... 20


2. Hasil Uji Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak dengan
Pelarut Air dan Metanol secara in vitro terhadap Cacing Dewasa
Ascaridia galli yang Paralisis selama 18 jam................................................21
3. Hasil Transformasi Data Efek Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak
dengan Pelarut Air dan Metanol........................................................................22
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Cacing Ascaridia galli Dewasa...........................................................................4


2. Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).............................................................8
3. Grafik Rataan Persentase Kematian Cacing Ascaridia galli
dalam Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jarak dengan
Pelarut Air..............................................................................................................23
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji Ortogonal Kontras dan Polinomial Aktivitas Anthelmintik


Ekstrak Daun Jarak..............................................................................................31
2. Uji Ortogonal Kontras Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut Air ..................31
3. Anova Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut Metanol......................................32
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan dan jumlah penduduk. Peningkatan kebutuhan protein hewani harus
diimbangi dengan peningkatan populasi ternak. Ayam kampung merupakan salah
satu sumber protein hewani, namun masih banyak kendala yang dihadapi dalam
pengembangan ayam kampung di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah
terserang penyakit kecacingan. Cacing yang menyerang usus halus unggas salah
satunya adalah Ascaridia galli. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaridia
galli disebut Ascariosis.
Meskipun penyakit ini tidak banyak menimbulkan kematian tetapi secara
ekonomis sangat merugikan. Beberapa kerugian ekonomi yang ditimbulkan adalah
nilai jual turun, waktu bertelur terhambat, produksi telur berkurang dan kondisi
ternak secara umum menurun sehingga mempermudah terinfeksi oleh penyakit
lainnya. Kerugian lain yang dapat ditimbulkan adalah diare, gangguan pencernaan
dan absorbsi zat makanan, kerusakan mukosa usus, pendarahan dan anemia
(Adiwinata dan Sukarsih, 1992).
Berkembangnya cacing Ascaridia galli dalam saluran pencernaan ayam
kampung juga dapat menurunkan performa pada ternak. Konversi pakan menjadi
lebih besar sehingga menurunkan efisiensi pakan. Pertumbuhan ayam kampung
yang terinfeksi cacing Ascaridia galli menjadi terhambat hingga 38% sehingga di
akhir pemeliharaan didapat bobot badan yang rendah (Tabbu, 2002). Menurut
perhitungan Dirjen Peternakan tahun 1985 kerugian ekonomi akibat infeksi cacing,
diduga sebesar 250 milyar rupiah per tahun (Kusumamihardja, 1992), sedangkan
He et al. (1991) menganalisis bahwa kerugian karkas akibat infeksi alamiah cacing
saluran pencernaan pada ayam kampung sebesar 2.240 3.148 juta kg atau 4,48
6,29 milyar rupiah setahun untuk wilayah Jawa Barat saja.
Pengendalian infeksi cacing yang efektif adalah dengan memadukan
manajemen peternakan yang baik dengan pemberian anthelmintik untuk
mengeluarkan cacing. Anthelmintik yang banyak beredar di pasaran adalah
anthelmintik sintetis yang harganya relatif mahal. Penggunaan dalam waktu lama
dapat menimbulkan peningkatan populasi cacing yang resisten terhadap
anthelmintik. Selain itu, obat cacing sintetis memiliki efek samping yang kurang
baik yaitu adanya residu pada ternak. Sebagai antisipasi masalah di atas, perlu
dikembangkan anthelmintik yang berasal dari tanaman obat (herbal) dengan harga
yang relatif murah dan mudah didapat, sehingga dapat menambah keragaman obat
cacing dan menghindari efek samping dari obat cacing sintetis.
Selama ini telah banyak digunakan tanaman obat yang dapat membunuh
cacing Ascaridia galli baik secara in vitro maupun in vivo, diantaranya adalah
bawang putih, daun pare, batang kayu kuning. Menurut Budiman (2007),
penggunaan bubuk bawang putih dengan dosis 2,5 % mempunyai potensi sebagai
anthelmintik alami yang mampu menjaga status fisiologis ayam kampung dari
serangan cacing. Damayanti (2007) menyatakan bahwa daun pare dapat digunakan
sebagai anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli. Tanaman tanaman tersebut
telah diuji komposisi senyawa yang terkandung di dalamnya yang dapat membunuh
cacing Ascaridia galli. Batang kayu kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr. ) dengan
kandungan kimia berupa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, dapat digunakan
sebagai obat cacing (Melizsa, 2007). Selain tanaman- tanaman tersebut, daun miana
juga berkhasiat sebagai obat cacing (Anominous dalam Ridwan, 2005).

Daun jarak mengandung senyawa kimia seperti -amyrin, -sitosterol,


stigmasterol, campesterol, dan 7-keto- -sitosterol. Daun jarak juga mengandung
isovitoksin dan viteksin (Duke, 1983). Menurut De Padua (1999) dalam Ridwan
(2005), daun miana memiliki kandungan senyawa steroid yang tinggi berupa sterol
terdiri dari 4 sterol dengan sitosterol dan stigmasterol sebagai komponen utama.
Dengan adanya kemiripan kandungan senyawa kimia tersebut, diharapkan daun
jarak dapat dimanfaatkan sebagai anthelmintik. Selain itu, daun jarak dilaporkan
menghambat pertumbuhan cacing Ascaris lumbricoides (Fregbenro-Beyioku et al.,
1998). Dengan adanya kesamaan jenis antara kedua cacing tersebut yaitu sama-
sama dari jenis Ascaris, diharapkan daun jarak juga dapat berkhasiat sebagai
anthelmintik. Disamping itu daun jarak merupakan limbah biodiesel yang belum
termanfaatkan sehingga harganya relatif murah dan mudah didapatkan.

2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penapisan kandungan fitokimia
daun jarak dan menentukan konsentrasi ekstrak daun jarak yang paling efektif
sebagai anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Ascaridia galli

Klasifikasi dan Morfologi Ascaridia galli


Menurut Soulsby (1982), cacing Ascaridia galli termasuk dalam genus
Asciridia, famili Heterakidae, ordo Ascaridia, kelas Nematoda, filum
Nemathelminthes. Cacing ini memiliki panjang 50-76 mm untuk cacing jantan dan
72-116 mm untuk cacing betina. Cacing ini memiliki tiga buah bibir yaitu satu bibir
dorsal dan dua bibir lateroventral. Selain itu, terdapat ale (selaput tipis semacam
sayap) lateral pada kedua sisi sepanjang badan dan oesofagusnya tidak mempunyai
gelembung posterior. Pada cacing jantan, ekornya terdapat ale kecil yang
dilengkapi dengan 10 pasang papil yang pendek dan tebal, mempunyai batil hisap
prekloakal dengan sisi kutikular yang tebal. Panjang spikulanya yaitu 1 sampai 2,4
mm. Cacing betina memiliki vulva yang terletak di bagian tengah badan dengan
ekor berbentuk kerucut. Telur cacing ini berbentuk kerucut, berdinding licin dan
berukuran 7392 x 4557mikron (Soulsby, 1982).

Gambar 1. Cacing Ascaridia galli dewasa (Thepoultrysite, 1995)

Siklus Hidup Ascaridia galli


Telur cacing Ascaridia galli yang keluar bersama tinja inang definitif mencapai
tahap infektif dalam waktu 10 hari atau lebih. Telur yang mengandung larva infektif
(larva tahap dua) tahan selama dua bulan di tempat terlindung tetapi cepat mati bila
kekeringan atau terkena sinar matahari secara langsung. Telur infektif yang tertelan
oleh inang yang rentan menetas dalam usus dan larva hidup dalam lumen usus selama 8
hari setelah infeksi. Larva ekdisis menjadi larva tiga pada hari
keenam sampai kedelapan setelah infeksi. Larva empat tumbuh menjadi cacing
muda pada hari kedelapanbelas sampai keduapuluh (Kusumamihardja, 1992).
Selama periode pertumbuhan, cacing muda membenamkan diri dalam mukosa
usus selama beberapa hari, tetapi kadang-kadang pembenaman tersebut tidak terjadi.
Proses pembenaman inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan usus dan
pendarahan. Kadang-kadang cacing muda mengembara ke berbagai jaringan di dalam
tubuh induk semang, bahkan dapat menembus oviduct sehingga terselubung di dalam
telur ayam (Noble and Noble, 1989). Seluruh masa perkembangan cacing, sejak telur
infektif ditelan hingga menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu sekitar 50 hari

(Soulsby, 1986).
Patogenesis
Kulkarni et al. (1993) menyatakan bahwa infeksi Ascaridia galli adalah
penyebab masalah yang kompeks dalam kesehatan ayam. Infeksi Ascaridia galli pada
ayam muda lebih rentan daripada ayam dewasa. Lesio-lesio pada mukosa duodenum
dapat terjadi pada ayam muda, selain itu juga dapat mengakibatkan penurunan
penyerapan vitamin A, enteritis, anemia serta diare. Ayam menjadi kurus, lemah dan
produksi telurnya menurun. Infeksi yang berat dapat menyebabkan penyumbatan usus
oleh cacing dewasa. Peradangan mukosa diikuti gangguan dalam pencernaan,
penyerapan dan sekresi zat-zat yang berperan dalam proses pencernaan makanan.
Perubahan patologi anatomi yang terlihat adalah kekurusan yang sangat menyolok pada
daerah dada dan paha. Kepucatan pada daerah paruh dan jengger yang
mengindikasikan anemia. Kerusakan pada mukosa duodenum terjadi pada saat cacing
muda menancapkan diri pada mukosa (Soulsby, 1986).

Pengobatan
Ascariosis pada ayam dapat diobati dengan piperazin yang harganya relatif
lebih murah dibanding obat cacing lain (Kusumamihardja, 1992). Menurut Goodman
dan Alfred (1975), piperazin ditemukan sebagai heksahidrat, yang mengandung kira-
kira 44% basa, beraneka macam garam seperti sitrat, adipat, fosfat, kalium asetat dan
tartrat. Garam-garam tersebut sifatnya stabil, berupa kristal putih, dapat larut secara
bebas dalam air. Larutannya encer bersifat sedikit asam. Efek piperazin terhadap
Ascarid adalah kelumpuhan otot akibat respon otot terhadap asetilkolin yang

5
mengakibatkan pengeluaran cacing secara paksa dengan peristaltik usus inang.
Preparat piperazin selalu diberikan secara oral. Tidak diperlukan adanya perlakuan
tambahan dengan obat pencahar serta tidak perlu berpuasa terlebih dahulu. Dosis
efektif piperazin pada unggas adalah 300-440 mg setiap kilogram berat badan yang
dicampur pada makanan atau 440 mg setiap liter air selama 24 jam (Gibson, 1975).
Selain penggunaan obat cacing sintetis, tanaman tradisional seperti bawang
putih, daun sidaguri, daun pare, batang kayu kuning, dapat membunuh cacing
Ascaridia galli. Damayanti (1994), yang menggunakan simplisia (jus bawang
putih) sebagai obat cacing, yaitu dengan melakukan uji in vitro pada cacing
Ascaridia galli dengan dosis 64% yang dapat membunuh cacing Ascaridia galli
dengan kondisi tubuh cacing menjadi transparan. Kandungan saponin dalam bubuk
bawang putih diduga dapat menyebabkan sel-sel cacing menjadi terhidrolisis
sehingga cacing mati dan tubuh cacing terlihat transparan. Menurut Budiman
(2007), bahwa penggunaan bubuk bawang putih dengan dosis 2,5 % mempunyai
potensi sebagai anthelmintik alami yang mampu menjaga status fisiologis ayam
kampung dari serangan cacing Ascaridia galli.
Batang kayu kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr. ) dengan kandungan kimia
berupa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, dapat digunakan sebagai obat cacing.
Pemberian ekstrak etanol 70 % batang kayu kuning dengan dosis 26 mg, 52 mg, 104
mg per 400 g bobot badan pada ayam ras tipe pedaging mempunyai aktivitas
anthelmintik setelah diinfeksi dengan cacing Ascaridia galli (Melizsa, 2007).
Daun pare (Momordica charantia L) juga digunakan oleh masyarakat sebagai
obat cacing. Daun pare ini telah diteliti sebelumnya sebagai anthelmintik terhadap
cacing Ascaridia galli dalam bentuk sediaan infusa. Penelitian lebih lanjut menjelaskan
bahwa ekstrak etanol daun pare (LC50 4,47%) lebih poten dari pada infusa daun pare
(LC50 26,08%). Hasil identifikasi dengan metode kromatografi lapis tipis
menunjukkan bahwa dalam ekstrak etanol daun pare mengandung senyawa golongan
flavonoid, saponin, terpenoid dan senyawa fenolik (Damayanti, 2007).
Temu hitam (Curcumae aeruginosae) dilaporkan juga berkhasiat sebagai
anthelmintik alami. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh
perasan rimpang temu hitam pada cacing askaris (sejenis cacing parasit di
pencernaan) babi dan menyebabkan kontraksi usus halus (jejunum) pada marmut.

6
Perasan rimpang dapat membunuh cacing askaris pada babi seperti piperasin sitrat.
Cairan rimpang juga dapat menekan amplitudo kontraksi spontan usus kelinci
(Dirdjosujeno et al., 2006).
Daun miana (Coleus blumei. benth) dapat juga digunakan sebagai obat
cacing. Hasil dari berbagai penelitian diketahui tanaman miana kaya berbagai
kandungan kimia seperti minyak atsiri, tanin, lemak, fitosterol, kalsium oksalat dan
pektin. Menurut De Padua (1999) dalam Ridwan (2005), daun miana memiliki
kandungan senyawa steroid yang tinggi berupa sterol terdiri dari 4 sterol dengan
sitosterol dan stigmasterol sebagai komponen utama. Dari kandungan kimia
tersebut daun miana dilaporkan memiliki khasiat salah satunya dapat membunuh
cacing (Anominous, 2005 dalam Ridwan, 2005). Di dunia pengobatan tradisional,
daun miana biasa digunakan untuk mengatasi cacingan termasuk cacing gelang
(Anominous, 2004 dalam Ridwan, 2005). He et al, (1991) telah membuktikan daun
miana memiliki aktivitas anthelmintik hanya terhadap cacing pita pada hewan
model mencit.

Komposisi kimia daun jarak mirip dengan daun miana. Daun jarak
(Jatropha curcas L.) mengandung senyawa kimia seperti -amyrin, -sitosterol,
stigmasterol, campesterol, dan 7-keto- -sitosterol. Selain itu daun jarak juga
mengandung isovitoksin dan viteksin (Duke, 1983). Dengan adanya kemiripan
komposisi kimia daun miana dengan daun jarak, diharapkan daun jarak juga
mempunyai aktivitas anthelmintik seperti daun miana.

Daun Jarak
Tanaman jarak (Jathropa curcas L.) merupakan tanaman tahunan yang dapat
hidup sampai umur 50 tahun. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah kering, sedikit
kandungan air. Panen perdana tanaman ini sekitar 7-10 bulan dengan ketinggian
biasanya mencapai 1-7 meter. Tiap hektar tanaman ini menghasilkan 0,5-1 ton biji
jarak. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae dengan tipe daun agak
besar dan agak pucat. Daun menjari berbentuk bundar dengan diameter 10-75 cm.
Bunganya tersusun dalam suatu malai yang muncul dari ujung batang atau cabang.
Panjang malai bunga antara 10-40 cm (Staubmann et al.,1997).
Menurut Ochse dalam Duke (1983), daun jarak yang masih muda aman
dimakan mentah atau rebusan. Daun jarak juga sering digunakan sebagai penghilang

7
bau badan pada pengolahan daging kambing. Getah daun jarak berguna sebagai
penasak, obat kumur, obat gusi darah, obat borok. Tanaman ini juga dapat digunakan
sebagai obat luar atau tumor. Fregbenro-Beyioku et al.,(1998) menambahkan bahwa air
getah daun jarak yang digiling dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphilococcus,
Bacillus dan Micrococcus. Selain itu juga dapat menghambat pertumbuhan cacing
Ascaris lumbricoides dan Necator americanus. Staubmann et al., (1997) menyatakan
bahwa daun jarak yang diekstrak dengan petroleum eter mempunyai aktifitas anti
inflamasi pada tikus yang terinfeksi.

Gambar 2. Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Daun jarak mengandung senyawa kimia seperti -amyrin, -sitosterol,


stigmasterol, campesterol, dan 7-keto- -sitosterol. Selain itu daun jarak juga
mengandung isovitoksin dan viteksin (Duke, 1983). Komponen bioaktif pada daun
jarak juga dapat berfungsi sebagai anti plasmodial pada larva nyamuk malaria
Plasmodium falciparum (Kohler et al., 2002). Selain itu, daun jarak juga potensial
sebagai pakan ulat sutra dan dapat menghasilkan berat kulit yang lebih rendah
(Grimm et al.,1997).
Daun jarak yang direbus sering digunakan sebagai obat tradisional untuk
mengobati sakit perut pada anak-anak dan mengobati radang tenggorokan pada
orang dewasa. Teh dari daun jarak dapat mengatasi konstipasi, sakit punggung dan
inflamasi ovari (www. Tropilab.com, 2006).

Ekstraksi
Ekstraksi merupakan istilah yang digunakan untuk setiap proses dimana
komponen-komponen pembentuk suatu bahan berpindah dari bahan ke dalam cairan

8
lain (pelarut). Menurut Bombardelli (1991), ekstraksi senyawa aktif dari tanaman
obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau
padatan dari bahan padatan.
Perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi menjadi penting artinya untuk
mempermudah proses ekstraksi. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan tergantung
dari sifat senyawa dalam bahan yang akan diekstraksi (Robinson, 1995). Perlakuan
pendahuluan untuk bahan yang mengandung minyak pada umumnya dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya pengeringan dan pengecilan ukuran bahan.
Persiapan bahan baku mencakup pengeringan bahan baku sampai kadar air tertentu,
dan penggilingan untuk mempermudah proses ekstraksi, serta mempermudah
kontak antara bahan dengan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik
(Harbone, 1987).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemampuan untuk diuapkan dan
harga pelarut. Beberapa metode ekstraksi yang dapat dipakai dan paling sering
digunakan adalah maserasi, penggodogan, refluks, dan sokletasi.
Maserasi merupakan suatu proses penyarian yang sangat sederhana,
dilakukan dengan jalan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama
waktu tertentu yang dilakukan pada suhu kamar. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga, sehingga zat aktif akan larut. Adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka
larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dengan di dalam
sel (Dirjen POM, 1999). Menurut List dan Schmidt (1989) maserasi yaitu metode
ekstraksi dengan cara merendam sample menggunakan pelarut dengan atau tanpa
pengadukan Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sering digunakan
dibanding metode ekstraksi yang lain.

Bahan Bioaktif
Menurut Manitto (1992), bahan bioaktif adalah senyawa aktif biologis yang
dihasilkan oleh tanaman melalui proses metabolisme sekunder. Bahan bioktif

9
merupakan bahan alam terpenting yang dibentuk dalam organisme hidup melalui
proses metabolisme sekunder.
Metabolit sekunder adalah reaksi yang spesifik, menggunakan katalisator
enzimatis, dengan bahan dasar yang berasal dari metabolisme primer, untuk
menghasilkan senyawa-senyawa kompleks (Geissman dan Crout, 1969). Hasil-hasil
metabolisme sekunder dipisahkan bukan hanya karena tingkat keunikannya yang
kadang-kadang hanya ditemukan pada spesies tanaman tertentu dan banyak yang
merupakan karakteristik kelompok (genus atau famili) tumbuhan. Senyawa-senyawa
tersebut merupakan produk akhir metabolisme dan hanya sedikit yang mempunyai
fungsi yang jelas dalam aktivitas metabolisme organisme tempat mereka ditemukan.
Tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk
melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen
lainnya (Lakitan, 1993). Beberapa dari golongan senyawa hasil metabolisme
sekunder yang dihasilkan oleh tanaman adalah sebagai berikut :

Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa kimia yang terdapat didalam
tumbuhan dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme
sekunder, dimana pada saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid. Pada
umumnya alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa (adanya gugus amino)
yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dalam bentuk gabungan sebagai
bagian dari sistem siklik. Alkaloid sebagian besar beracun bagi manusia dan banyak
yang mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987).
Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut
alkohol yang bersifat asam lemah, kemudian diendapkan dengan amoniak pekat
(Harborne, 1987). Secara organoleptis, alkaloid dapat diketahui dari rasanya yang
pahit, meskipun tidak semua yang pahit itu alkaloid. Oleh sebab itu untuk
mengidentifikasi apakah tumbuhan tersebut mengandung alkaloid perlu dilakukan
reaksi-reaksi identifikasi dari senyawa-senyawa ini.
Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering bersifat optik aktif (memutar
cahaya terpolarisasi datar). Kebanyakan berbentuk kristal dan sedikit yang berupa
cairan (nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987). Pada tumbuhan, alkaloid

10
berfungsi untuk melindungi diri dari predator karena bersifat racun bagi satwa
misalnya serangga, sebagai zat perangsang dan pengatur tumbuh, dan membantu
aktivitas metabolisme dan reproduksi tumbuhan (Vickery dan Vickery, 1981).

Flavonoid
Flavonoid sangat luas tersebar pada tumbuh-tumbuhan, terdapat dalam
semua tumbuhan berpembuluh, merupakan zat warna dalam bunga-bunga, batang
maupun daun-daunan. Pada tumbuhan tinggi, 2% dari seluruh senyawa karbon
yang dihasilkan pada proses fotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid
atau senyawa sejenisnya (Harborne, 1987; Markhan, 1988).
Menurut Gottlich (1980), secara biosintesis flavonoid berasal dari
karbohidrat. Di dalam tumbuhan sintesa flavonoid berkaitan erat dengan proses
fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat.
Flavonoid terdapat pada tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan (Harborne, 1987). Flavonoid
biasanya terdapat sebagai O-glikosida (satu atau lebih gugus hidroksil flavonoid
terikat pada gula), pengaruh glikolisasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang
efektif sehingga mudah larut dalam air, kondisi seperti ini memungkinkan flavonoid
tersimpan dan berada dalam vokuola sel (Markhan, 1988).
Menurut Vickery dan Vickery (1981), pada tumbuhan, flavonoid dapat
meningkatkan dormansi, meningkatkan pembentukan sel-sel kalus, sebagai enzim
penghambat pembentukan protein, menghasilkan zat warna pada bunga untuk
merangsang serangga, burung dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan
tersebut sebagai agen dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Dalam dunia
pengobatan beberapa jenis senyawa flavonoid berfungsi sebagai zat antibiotik,
misalnya anti virus dan jamur, peradangan pembuluh darah, dan dapat digunakan
sebagai racun ikan.

Saponin
Menurut Harborne (1987), saponin termasuk ke dalam golongan senyawa

terpenoid dan bagian dari triterpenoid (diturunkan dari hidrokarbon C 30), merupakan
glikosida terpena dan sterol, merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat

11
sabun, dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang
stabil dan dapat menghemolisis sel darah.
Saponin pada tumbuhan memiliki fungsi yang sama dengan triterpenoid,
karena merupakan turunan dari senyawa ini, diantaranya dapat meningkatkan daya
kecambah benih dan menghambat pertumbuhan akar, dapat menghambat
pertumbuhan sel-sel tumor pada tumbuhan dan satwa (Vickery dan Vickery, 1981).
Dalam dunia pengobatan, saponin dapat digunakan sebagai bahan pencuci
karena memiliki sifat emulsi, dapat digunakan untuk menurunkan kolesterol serum,
sebagai zat antibiotik terhadap jamur, anti influenza dan peradangan tenggorokan,
sebagai bahan dasar untuk mendapatkan sapogenin yang berguna untuk
menghasilkan hormon pertumbuhan pada satwa. (Vickery dan Vickery, 1981;
Harborne, 1987).

Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari

enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30


asiklik, yaitu skualena; senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit; kebanyakan
berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat; merupakan senyawa tidak
berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif, yang
umumnya sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya (Harborne, 1987).
Menurut Harborne (1987), triterpenoid dapat digolongkan menjadi empat
golongan senyawa, yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida
jantung. Triterpena dan steroid terdapat dalam bentuk glikosida, triterpena tertentu
terkenal dengan rasa pahitnya, contohnya limonin (larut dalam lemak dan terdapat
pada biji jeruk).
Triterpenoid dan turunannya (termasuk saponin dan steroid) pada tumbuhan
berfungsi sebagai racun bagi serangga, bakteri dan jamur. Steroid dapat
meningkatkan permeabilitas membran sel dan merangsang pembungaan. Dalam
pengobatan senyawa ini berguna sebagai zat antibiotik diantaranya anti jamur,
bakteri dan virus; steroid dapat merangsang aktivitas hormon estrogen dan
progesteron pada satwa dan manusia; steroid menjadi sumber bagi mikroorganisme
pengurai (Vickery dan Vickery, 1981).

12
Faktor yang Mempengaruhi Kandungan Komponen Bioaktif
Menurut Fluck (1963), kandungan komponen bioaktif yang dihasilkan dari
proses metabolisme sekunder pada tumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari proses fisiologis
yang berlangsung di dalam tubuh tumbuhan (sifat genetik, variasi harian, ontogenik
dari variasi musiman yang mempengaruhi pembungaan dan pembuahan pada
tumbuhan), dan faktor ekstrinsik yang berasal dari lingkungan (faktor tanah :
kandungan kimia, ukuran partikel tanah dan kandungan air), (faktor iklim : radiasi
cahaya, temperatur, curah hujan, dan perbedaan tinggi tempat tumbuh).
Perincian lebih lanjut mengenai faktor-faktor ekstrinsik dan intrinsik ini
dapat diterangkan sebagai berikut :

Faktor Intrinsik
Menurut Soerianegara (1970), jenis-jenis pohon memperlihatkan
keragaman, ada perbedaan-perbedaan sifat. Dalam suatu jenis pohon dapat terjadi
keragaman geografis (antar prevonance), keragaman lokal (antar tempat tumbuh),
keragaman antar pohon pada suatu tempat tumbuh dan keragaman didalam pohon.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa adanya keragaman itu dapat disebabkan
oleh perbedaan keadaan lingkungan dan oleh perbedaan genetis, disebut sebagai
variasi genetik. Beberapa macam keragaman akibat adanya perbedaan genetis
menurut Zobel (1969) dalam Soerianegara (1970) dapat berupa :
1. Tingkat keragaman geografis, antara lain : dapat berupa perbedaan daya
tahan kekeringan .
2. Tingkat keragaman lokal, antara lain : dapat berupa adanya perbedaan
ecotype, cline dan eco-line.
3. Tingkat keragaman antar pohon, antara lain : dapat berupa adanya
perbedaan dalam berat jenis, bentuk batang, kecepatan tumbuh, daya tahan
terhadap hama dan penyakit dan kualitas kayu.

Faktor Ekstrinsik
Menurut Syamsuhidayat (1986), perbedaan dalam jenis tanah, iklim,
lingkungan dan lain sebagainya dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam

13
komposisi kandungan kimia pada suatu jenis tumbuhan. Hal ini menyebabkan
kondisi yang disebut ragam fitokimia.
Sedangkan Harborne (1988), mengemukakan bahwa faktor-faktor
lingkungan terhadap tanaman dikelompokkan ke dalam lima tipe, yaitu faktor iklim
(suhu, intensitas cahaya, panjang hari, pengaruh-pengaruh kelembaban dan musim);
faktor tanah; bahan-bahan polusi yang tidak wajar, yaitu melalui atmosfir lapisan
atas (ozon, gas-gas industri, asap-asap dari kendaraan) atau melalui lingkungan
(pestisida-pestisida organik) yang secara potensial beracun untuk banyak tanaman;
binatang; dan kompetisi dengan tanaman-tanaman lain.

14
METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Helminthologi Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Biologi Hewan, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Balai
Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi, Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret sampai September 2007.

Materi

Bahan dan alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 20 kg daun jarak
(Jatropha curcas L.), aquades steril, alkohol 70%, kapas, kain kasa streril,
aluminium foil, cacing Ascaridia galli, kloroform, kloroform-amoniak, H2SO4,
reagen Dragendorf, reagen Mayer, reagen Wagner, metanol, NaOH 10%, FeCl 3 1%,
etanol, eter, Lieberman Buchard.
Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas (gelas piala, gelas ukur, labu
Erlenmeyer), shaker, oven, kertas saring, rotary evaporator, timbangan, jarum ose,
mikroskop, kompor, spote plate, cawan petri, pengaduk.

Prosedur

1. Pengadaan cacing Ascaridia galli


Cacing Ascaridia galli dewasa dikumpulkan dari usus ayam kampung dari
tempat pemotongan ayam di Bogor. Usus halus dibuka dengan gunting secara hati-
hati, cacing diambil dari dalam lumen dengan menggunakan lidi atau pinset dan
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan NaCl fisiologis. Cacing yang
diperoleh dicuci dan dibilas berulang-ulang hingga bersih dengan larutan NaCl
fisiologis.

2. Pengolahan dan Ekstraksi Daun Jarak


Komponen bioaktif yang terkandung dalam daun jarak didapatkan melalui
proses ekstraksi. Sebelum diolah, daun jarak terlebih dahulu dibuat dalam bentuk
tepung. Tahapan pengolahannya adalah sebagai berikut : daun jarak dibersihkan, lalu
dikeringanginkan selama 30-36 jam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 6
jam pada suhu 45C. Daun yang telah dioven, digiling sehingga menghasilkan
serbuk yang berukuran 60 mesh. Sample yang telah berbentuk serbuk itu
diekstraksi dengan teknik maserasi. Pelarut yang digunakan adalah metanol dan air.
Perbandingan tepung daun jarak yang digunakan dengan metanol adalah 1:3,
sedangkan perbandingan tepung daun jarak dengan air adalah 1:7. Campuran yang
dihasilkan diaduk-aduk selama 2 jam kemudian didiamkan selama 12 jam.
Selanjutnya hasil ekstraksi dipisahkan dengan penyaringan. Hasil saringan
diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai metanol 96% dan air
yang terdapat di dalam campuran hilang, kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 60C sampai didapatkan bentuk ekstrak yang kering (Harborne, 1987).

3. Penapisan Fitokimia
Daun jarak yang telah diekstraksi dengan berbagai pelarut diuji kandungan
kimianya untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung di
dalamnya. Berdasarkan perbedaan sifat kepolaran pelarut yang digunakan maka uji
golongan senyawa dilakukan menurut kepolaran zat terlarut dengan pelarut. Setiap
ekstrak daun jarak diuji terhadap adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid,
steroid/triterpenoid, saponin dan tanin. Prosedur pengujiannya adalah sebagai
berikut (Harborne, 1987).

a. Uji alkaloid
Sebanyak 2 gram sampel ekstrak daun jarak yang akan dianalisis diekstrak
dengan sedikit kloroform, kemudian ditambahkan 10 ml kloroform-amoniak,

disaring. Filtrat yang diperoleh ditetesi dengan H 2SO4 2M, kemudian dikocok
sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (tidak berwarna) dipipet ke dalam
tabung reaksi lain, kemudian larutan dibagi tiga. Masing-masing larutan
ditambahkan beberapa tetes reagen Dragendorf, Mayer dan Wagner. Uji akan
positif alkaloid apabila menghasilkan endapan yang berwarna orange setelah
ditambahkan reagen Dragendorf, endapan putih kekuningan setelah ditambahkan
reagen Mayer dan endapan coklat setelah ditambah reagen Wagner.

b. Uji Senyawa Fenol/Flavonoid


Sebanyak 2 gram sampel daun jarak diekstrak dengan beberapa ml (terendam)
metanol kemudian dipanaskan sampai mendidih lalu disaring. Kemudian

16
filtrat dibagi 2 pada bagian pertama ditambahkan NaOH 10% dan pada bagian
kedua ditambahkan H2SO4 pekat. Bila dengan penambahan NaOH 10%
menghasilkan warna merah berarti positif adanya senyawa fenol hidrokuinon.

c. Uji triterpenoid atau steroid


Sebanyak 2 gram contoh ditambahkan 25 ml etanol lalu dipanaskan dan
disaring. Filtrat diuapkan lalu ditambahkan eter. Lapisan eter dipipet dan diuji pada
spote plate. Jika ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard sebanyak 3 tetes dan
terbentuk warna merah/ungu, positif mengandung triterpenoid. Jika terbentuk
warna hijau, maka positif mengandung steroid.

d. Uji Saponin dan tanin


Sebanyak 2-4 gram sampel daun jarak diekstrak dengan aquades panas
kemudian dipanaskan sampai mendidih, dan disaring. Filtrat dibagi dua kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Bagian pertama untuk uji saponin, larutan
dibiarkan dulu agak dingin, kemudian dikocok secara vertikal. Bila timbul busa
yang stabil setinggi lebih kurang 1 cm selama 10 menit menandakan positif adanya

saponin. Pada tabung reaksi kedua filtrat ditambahkan FeCl 3 1% bila menghasilkan
warna biru atau hitam kehijauan, menandakan positif adanya tanin.

4. Uji Aktivitas Anthelmintik secara in vitro


Cawan petri yang telah berisi 20 ml NaCl fisilogis ditambahkan dengan
ekstrak daun jarak sehingga konsentrasi akhirnya menjadi 0%, 1%, 2%, 3%, 4%
b/v, dan larutan piperazin 0,5% b/v. Ke dalam setiap cawan petri dimasukkan lima
ekor cacing dengan tidak membedakan jenis kelamin, berat dan panjangnya
diasumsikan sama. Waktu paralisis dan jumlah cacing yang lisis diamati setiap satu
jam selama 18 jam. Paralisis yang terjadi pada cacing dewasa Ascaridia galli dapat
dikatakan ada bila tidak adanya gerakan oleh ransangan sentuhan.

Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri atas 10 perlakuan, tiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan
(Steel dan Torrie, 1993). Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = + i+ ij
Yij = Respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

17
= Nilai rataan umum dari pengamatan
i = Pengaruh perlakuan ke-i
ij = Galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Analisis ragam (ANOVA)
(Steel and Torrie, 1993) untuk mengetahui ada atau tidak adanya efek anthelmintik
berdasarkan perbedaan persentase kematian cacing antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan persentase kematian
cacing antar konsentrasi dilakukan uji ortogonal kontras dan ortogonal polinomial.
Sebelum dilakukan Analisis Ragam (ANOVA), data ditransformasi menggunakan
transformasi akar kuadrat supaya data menyebar secara normal. Regresi linier
digunakan untuk mengetahui hubungan konsentrasi dengan persentase kematian
cacing ( Steel and Torrie, 1993).

18
HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi, Rendemen dan Penapisan Fitokimia


Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut menggunakan prinsip kelarutan.
Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan
senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar.
Pemisahan zat akan lebih mudah dilakukan jika zat tersebut larut dalam pelarut
yang digunakan sedangkan zat lain tidak ikut larut. Dengan demikian hasil
ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada
sampel dan jenis pelarut yang digunakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pemilihan pelarut adalah selektifitas, sifat racun, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga pelarut (Harborne, 1987).
Proses ekstraksi daun jarak dilakukan secara bertingkat mulai dari pelarut
metanol diikuti oleh pelarut air, dengan tujuan untuk memisahkan fraksi yang
memiliki pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Metanol akan melarutkan
senyawa semi polar dan air akan melarutkan senyawa polar. Rendemen yang
didapatkan dari hasil ekstraksi daun jarak disajikan pada Tabel 1. Rendemen
terbesar dihasilkan dari ekstraksi menggunakan pelarut air diikuti dengan pelarut
metanol, masing-masing 2,51% dan 0,49%. Khopkar (2002) menyatakan bahwa
kelarutan zat pada air atau alkohol lebih ditentukan oleh kemampuan zat tersebut
membentuk ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen lebih mudah terbentuk di dalam air,
sehingga zat aktif yang terdapat pada daun jarak lebih mudah larut dalam air
dibanding di dalam metanol.
Penapisan fitokimia terhadap ekstrak daun jarak digunakan untuk
mengetahui jenis-jenis senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam setiap
bahan yang diuji. Golongan-golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat
pada ekstrak daun jarak dalam pelarut air dan metanol dapat dilihat pada Tabel 1.
Ekstrak daun jarak dalam pelarut air memiliki senyawa metabolit sekunder
alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, sedangkan ekstrak dalam
pelarut metanol memiliki senyawa metabolit sekunder alkaloid, saponin, tanin,
fenolik, flavonoid, dan steroid. Ekstrak air mengandung senyawa triterpenoid
dalam jumlah besar dan tidak mengandung steroid, sedangkan ekstrak metanol kaya
akan steroid dan tidak mengandung triterpenoid.
Tabel 1. Rendemen dan Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun Jarak
Uraian Ekstrak
Air Metanol
Rendemen (%) * 2,51 0,49
Golongan senyawa :
Alkaloid ++++ ++++
Saponin ++++ +++
Tanin ++ ++++
Fenolik + +
Flavonoid ++++ ++
Triterpenoid ++++ -
Steroid - ++++
Glikosida ++++ ++++

Keterangan : - : negatif
+ : positif
lemah ++ : positif
+ : positif kuat
++++ : positif kuat sekali
* : b/b

Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak


Hasil uji aktivitas anthelmintik secara in vitro dapat dilihat pada Tabel 1.
Aktivitas anthelmintik terkuat terdapat pada ekstrak daun jarak dalam pelarut air diikuti
dengan pelarut metanol. Hal ini disebabkan oleh kelarutan metabolit sekunder ekstrak
daun jarak dalam pelarut air lebih tinggi dibanding dalam pelarut metanol. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Khopkar (2002), bahwa kelarutan zat pada air atau alkohol
lebih ditentukan oleh kemampuan zat tersebut membentuk ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen lebih mudah terbentuk di dalam air, sehingga zat aktif yang terdapat pada
daun jarak lebih mudah larut dalam air dibanding di dalam metanol.

20
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut
Air dan Metanol secara in vitro terhadap Cacing Dewasa Ascaridia
galli yang Paralisis Selama 18 jam
Perlakuan Jumlah Cacing yang Paralisis
Ekor (%)
Tanpa EDJ (NaCl fisiologis) 0 (15) 0
Piperazin (obat cacing) 15 (15) 100
EDJ dalam pelarut Air 1% 5 (15) 33,33
EDJ dalam Pelarut Air 2% 11 (15) 73,33
EDJ dalam Pelarut Air 3% 12 (15) 80
EDJ dalam Pelarut Air 4% 13 (15) 86,67
EDJ dalam Pelarut Metanol 1% 6 (15) 40
EDJ dalam Pelarut Metanol 2% 6 (15) 40
EDJ dalam Pelarut Metanol 3% 5 (15) 33,33
EDJ dalam Pelarut Metanol 4% 10 (15) 66,67

Keterangan : EDJ = Ekstrak Daun Jarak


Nilai di dalam kurung menunjukkan jumlah cacing yang
digunakan untuk tiga ulangan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan persentase kematian cacing Ascaridia


galli yang direndam dengan ekstrak daun jarak dalam pelarut air pada konsentrasi
1%, 2%, 3%, 4% berturut-turut adalah 5 ekor (33,33%), 11 ekor (73,33%), 12 ekor
(80%), 13 ekor (86,67%). Pada kelompok kontrol positif (piperazin 0,5%) cacing
Ascaridia galli 100% mati, sedangkan pada NaCl fisiologis tidak ada cacing yang
mati. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak dalam pelarut
air yang digunakan maka persentase kematian cacing juga semakin meningkat.
Persentase kematian cacing Ascaridia galli yang direndam dengan ekstrak daun
jarak dalam pelarut metanol dapat juga dilihat pada Tabel 2. Ekstrak metanol juga
memberikan pengaruh terhadap kematian cacing Ascaridia galli. Semakin tinggi level
yang diberikan, tingkat kematian cacing juga meningkat. Akan tetapi pada level 3%
terjadi penurunan tingkat kematian cacing, hal ini diduga adanya sebagian zat pada
ekstrak metanol daun jarak yang tidak larut dengan sempurna, sehingga efek zat aktif
tersebut berkurang dan menurunkan tingkat kematian cacing.

21
Tabel 3. Hasil Transformasi Data Efek Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak
dalam Pelarut Air dan Metanol
Pelarut Konsentrasi Ekstrak Daun Jarak
1% 2% 3% 4%
Air 0,91B 1,11A 1,14A 1,17A
Metanol 0,94 0,94 0,91 1,08
Tanpa Ekstrak vs Pengobatan (piperazin + EDJ) 0,71 vs 3,14 **
Piperazin vs EDJ (air + metanol) 1,22 vs 3,08 **
Air vs Metanol 1,08 vs 0,97 **

Keterangan: Superskrip dengan huruf kapital menunjukkan perbedaan yang sangat


nyata (P<0,01).
** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan persentase kematian


cacing yang sangat nyata (P<0,01) dalam berbagai konsentrasi ekstrak daun jarak.
Berdasarkan uji kontras ortogonal diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat
nyata antara kontrol positif (piperazin) dengan ekstrak daun jarak yang digunakan
(pelarut air dan metanol), dimana piperazin memiliki sifat anthelmintik syang paling
kuat. Adanya perbedaan yang sangat nyata antara piperazin dengan ekstrak daun jarak
diduga konsentrasi yang digunakan masih rendah, bila konsentrasi ditingkatkan
kemungkinan efek anthelmintik ekstrak daun jarak mendekati piperazin.
Hasil uji kontras menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) antara perlakuan tanpa penambahan ekstrak daun jarak (menggunakan
NaCl fisiologis) dengan pengobatan yang diberikan (menggunakan piperazin dan
ekstrak daun jarak). Hal ini disebabkan NaCl fisiologis merupakan suatu larutan
yang diibaratkan sama dengan kondisi tubuh ternak, sehingga cacing masih bisa
bertahan hidup. Penambahan ekstrak daun jarak dengan berbagai konsentrasi
menimbulkan pengaruh terhadap kematian cacing.
Hasil uji kontras menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antara
pelarut yang digunakan (air dan metanol) pada ekstrak daun jarak (P<0,01). Hal ini
diduga karena pengaruh senyawa metabolit sekunder dalam masing-masing ekstrak.
Berdasarkan hasil uji fitokimia bahwa ekstrak air daun jarak mengandung alkaloid,
saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, dan glikosida, sedangkan ekstrak
metanol mengandung alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, steroid.

22
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ekstrak daun jarak dalam pelarut
air menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kematian
cacing, sedangkan metanol tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap kematian
cacing. Ekstak daun jarak dalam pelarut air pada level 1% berbeda sangat nyata
dengan level 2%, 3%, dan 4% sedangkan antara 2%, 3%, dan 4% sama. Hal ini
dapat diartikan bahwa pemberian ekstrak daun jarak dalam pelarut air antara level
2% sama dengan level 3% dan 4%. Grafik rataan persentase kematian cacing
Ascaridia galli dalam pelarut air ekstrak daun jarak dapat dilihat pada gambar 3.

100
90
80
Kematian Cacing
(%) 70
60
50
40 y = 16,669x + 26,66
30 R2 = 0,8065
20
10
0
0 1 2 3 4
Level Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut Air (%)

Gambar 3. Grafik Rataan Persentase Kematian Cacing Ascaridia galli dalam


Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jarak dengan Pelarut Air.

Berdasarkan hasil uji polinomial ortogonal bahwa ekstrak air membentuk


2
grafik linier dengan persamaan Y=16,669x + 26,66 dan R = 0,8065. Nilai Y adalah
persentase kematian cacing dan nilai x adalah level ekstrak daun jarak dalam
pelarut air yang dinyatakan dalam persen. Terdapat korelasi positif sangat nyata
(P<0,01) antara konsentrasi ekstrak daun jarak dalam pelarut air dengan persentase
kematian cacing. Hal ini berarti adanya peningkatan persentase tingkat kematian
cacing dengan konsentrasi ekstrak daun jarak. Grafik linier yang terbentuk pada
ekstrak daun jarak dalam pelarut air menunjukkan bahwa belum ada batas untuk
pemberian ekstrak, bila konsentrasi ditingkatkan lagi diduga tingkat kematian akan
semakin meningkat.
Senyawa metabolit sekunder yang diduga memiliki aktivitas anthelmintik dari
fraksi air adalah saponin, triterpenoid,dan alkaloid. Saponin menyebabkan iritasi

23
pada selaput lendir saluran pencernaan, menekan sistem syaraf, sistem pernapasan
dan sistem gerak (Gardner, 1957 ; Nicholson, 1947). Diduga apabila zat ini tertelan
oleh cacing akan menyebabkan iritasi pada selaput lendir sehingga mengganggu
proses penyerapan zat makanan dalam usus cacing. Tertekannya sistem syaraf dan
sistem gerak menyebabkan kelemahan umum pada cacing, sedangkan tertekannya
sistem pernapasan menyebabkan kekurangan oksigen sehingga cacing mati.
Flavonoid mempunyai efek farmakologi pada pembuluh darah dengan
terjadinya vasokonstriksi kapiler dan menurunkan permeabilitas pembuluh darah
(Sulistia, 1987). Ini menyebabkan adanya gangguan pembuluh darah sehingga zat-
zat makanan dan oksigen yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup cacing
terganggu, sehingga mempercepat kematian cacing.
Menurut Harborne (1987), triterpenoid dapat digolongkan menjadi empat
golongan senyawa antara lain : triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung.
Vickery dan Vickery (1981) menyatakan bahwa triterpenoid saponin dalam jumlah
besar dapat menyebabkan diare. Triterpenoid saponin berkhasiat menurunkan kadar
kolesterol dalam darah, beberapa ada juga yang beracun, sebagai antibiotik dan
fungisidal. Dalam pengobatan digunakan secara khusus sebagai obat untuk radang
tenggorokan dan pencernaan. Diduga apabila zat ini tertelan oleh cacing, cacing
akan mati karena racun yang ada pada triterpenoid.
Berdasarkan pengaruh zat-zat tersebut diduga bahwa senyawa metabolit
sekunder yang mempercepat aktivitas anthelmintik dari fraksi air adalah
triterpenoid, sedangkan zat-zat yang lain memberi pengaruh kematian yang lebih
lama. Hal ini didukung dari data hasil fitokimia dimana ekstrak daun jarak dalam
pelarut air memiliki aktivitas anthelmintik paling kuat kaya dengan triterpenoid,
sedangkan fraksi metanol yang memiliki aktivitas anthelmintik lemah mengandung
banyak steroid dan tidak memiliki triterpenoid. Hasil penelitian Damayanti (2007),
menunjukkan bahwa triterpenoid yang dihasilkan dari ekstrak etanol daun pare
dapat digunakan sebagai anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli.

24
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun jarak mengandung
senyawa metabolit sekunder diantaranya: alkaloid, saponin, tanin, fenolik,
flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Ekstrak daun jarak dengan pelarut air
memiliki aktivitas anthelmintik lebih kuat dibanding pelarut metanol terhadap
cacing Ascaridia galli. Konsentrasi terbaik yang dapat digunakan untuk
meningkatkan tingkat kematian cacing adalah level 4%. Kandungan kimia yang
diduga mempercepat aktivitas anthelmintik dalam ekstrak daun jarak dengan
pelarut air adalah triterpenoid.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai metode pemisahan komponen
bioaktif yang lebih spesifik untuk mengetahui senyawa metabolisme sekunder dan
dosis yang optimal yang dapat digunakan sebagai anthelmintik.
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirabilalamin. Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Komang G. Wiryawan, drh. Risa Tiuria MS. Ph.D
sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, dorongan, semangat,
bimbingan, arahan, kritik dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
Terimakasih pula penulis sampaikan kepada Ir. Sri Harini MS. selaku pembimbing
akademik yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberi saran yang
membangun kepada penulis guna mencapai keberhasilan akademis yang optimal.
Ucapan terimakasih juga penulis berikan kepada Ir. Anita S. Tjakradijaja MRur. Sc,
Ir. Suhut Simamora, MS selaku dosen penguji sidang atas saran dan kritik dalam
perbaikan skripsi ini, kepada Sri Suharti S. Pt. sebagai pembimbing PKM.
Rasa hormat, terimakasih dan sayang penulis ucapkan kepada Ibunda Farida
dan Ayahanda Rafnis yang telah membesarkan, mendidik, memberikan doa,
semangat dan kasih sayang serta dukungan moril dan meteril dengan tulus ikhlas.
Terimakasih untuk Uni, Uda, Ayu, Om, Tante, dan keluarga di Jakarta atas
dukungan, dan semangat yang tak ternilai. Terima kasih untuk abangku tersayang
atas perhatian, dukungan, dan kasih sayangmu yang senantiasa menemani penulis.
Terimakasih penulis sampaikan kepada teman sepenelitian Yuli dan Noneng
atas kerjasama, kekeluargaan dan kesabarannya selama penelitian. Terimakasih
kepada teman-teman penghuni kosan (POCHAN) yang selalu memberi semangat
(Mba Maida, Lili, Vj, Reni, Mba Mili, Teh Mira, Mba Milka, Teh Ika, Mba Reni,
Mba Isna, Putri, dan teman kosan lainnya), kepada Yong dan Rizki, seluruh teman-
teman INMT khususnya INMT41, Ithonk, Wayan, Tika, Eka, Devi, Aan, Eca,
Meri, Dede, anak-anak feedlot, ika and friends, teman-teman lainnya yang tidak
bisa disebutkan satu per satu atas bantuan, persahabatan dan semangatnya. Semoga
skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2008

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, G. dan Sukarsih. 1992. Gambaran Darah Domba yang Terinfeksi


Cacing Nematoda Saluran Pencernaan Secara Alami di Kab. Bogor Kec.
Jeruk, Jasinga dan Rumpin. Majalah Penyakit Hewan 24(43) 13-17.
Bombardelli E. 1991. Technologies for the Processing of Medical Plants. Florida.
CRC Press.
Budiman, R. 2007. Pengaruh penambahan bubuk bawang putih pada ransum
terhadap gambaran darah ayam kampung yang diinfeksi cacing nematoda
(Ascaridia galli). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Damayanti, M. M. 1994. Efek anthelmintika simplisia bawang putih (Allium
sativum) dan simplisia labu merah (Cucurbita muschata) terhadap cacing
Ascaridia galli secara in vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Damayanti, D. 2007. Uji daya anthelmintik ekstrak etanol daun pare (Momordica
charantia L) terhadap cacing Ascaridia galli Schrank betina secara in vitro dan
profil kromatografi lapis tipisnya. http://digilib.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-
s1-2006-dewidamaya-2092. [29 september 2007].
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1999. Buku Panduan Teknologi
Ekstrak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Dirdjosujeno, F. S. X, Taroeno, Sudjiman. 2006. Temu hitam pendongkrak nafsu
makan. http://portal.cbn.net.id. [29 September 2007].
Duke, J. A. 1983. Handbook of Energy Crops. Unpublished.
Fluck, H. 1963. Intrinsic and exstrinsic factors affecting the production of
secondary plant product dalam chemical plant taxonomy. Academy Press.
London, New York.
Fragbenro-Beyioku A. F., W. A. Ovibo and B. C. Anuforom. 1998. Desinfectant /
Antiparasitic Activities of Jatropha curcas . J. East Afr Med. 75(9):508-511.
Gardner, R. J. 1957. Veterinary Toxycology. Bailiere Tindall and Cox. London. 415
page.
rd
Gibson, T. E. 1975. Veterinary Anthelmintic Medication. 3 Edition.
Commonwealth Agricultural Bureaux. England.
Geissman, T. A. and D. H. G. Crout. 1969. Organic Chemistery of Secondary Plant
Metabolism. Freeman, Cooper and Co. San Fransico, California.
Gottlicb, O. R. 1980. Evolution of natural products. Dalam: J. L. Beal and E.
Reinhard (Editor). Natural Products as Medical Agents. J. Natural Products.
Lloydia.
Goodman, L. S. and G. Alfred. 1975. The Pharmacological Basis of Therapeutics.
Macmillan Publising, Inc. New York.
Grimm, C., A. Somaribba, and N. Foidl. 1997. Development of eri silkworn Samia
Cyinthia ricini (Boisd.) (Lepidoptera :saturnidae) on different provenances of
Jatropha curcas leaves. Proc. Symposium Jatropha 97, Nicaragua.
Harborne, J. B. 1988. Introduction to Ecologycal Biochemistry. Academic Press.
London, Sandiego, New York, Boston, Sydney, Tokyo. Toronto.
Harborne. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan: K. Padmawinata, I. Sudiro. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
He, S., V. E. H. S. Susilawati, E. Purwanti dan R. Tiuria. 1991. Taksiran kerugian
produksi daging akibat infeksi alamiah cacing saluran pencernaan pada ayam
kampung di Bogor dan sekitarnya. Hemera Zoa. PDHP 74 (3).
Kohler I., K. Jennet-Siems., M. A. Hernandez., R. A. Ibarra., W. G. Berendsohn, U.
Bienzle and E. Eich. 2002. in vitro. Antiplasmodial investigation of medicinal
plant from Elsavador. J. Naturforsch. 57c, 227-281.
Kopkhar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan: A. Saptorahardjo.
UI Press. Jakarta.
Kulkarni, D., Y. V. G. Rao, P. Padmavath, and A. J. Ramesh. 1993. Controlled
laboratory trials on the efficacy of morantel citrate (Banmint II) againts
Ascaridia galli in experimentally infected chicken. J. Indian Vet. 70 : 705-707.
Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis Pada Ternak dan Hewan Piaraan
di Indonesia. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
List, P. H., and P. C. Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press
Inc. Boston.
Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan: Koensoemardiyah. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan: K.
Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung
Melizsa. 2007. Uji aktivitas anthelmintik ekstrak etanol 70 % batang kayu kuning
(Arcangelisia flava (L.) Merr.) terhadap larva-3 Ascaridia galli pada ayam
ras. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Muhammadyah Prof. DR. Hamka. Jakarta.
Nicholson, J. A. 1947. Landers Veterynery Toxycology. Bailliere Tindall. London.
Noble, E. R. and G. A. Noble. 1989. Parasitologi, Biologi Parasit Hewan.
Terjemahan: Wardiarto Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ridwan, Y. 2005. Studi tentang kandungan kimia berbagai ekstrak daun miana
(Coleus blumei. benth). Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda IPB. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

28
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Soerianegara, I. 1970. Pemulian hutan laporan mengenai F.A.O. forest tree
improvement training centre, Raleigh, North Carolina, 1969. With Summary
in English. Laporan No. 104 Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.
Syamsuhidayat, S. S. 1986. Pola pengembangan tanaman obat. Makalah Seminar,
Lokakarya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obat Tradisional.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jendral Sudirman.
Purwokerto.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminthes, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. Bailliere Tindall. London.
Soulsby, E. J. L. 1986. Texbook of Clinical Parasitology Volume I: Helminth,
Blackwell Scientific Publication. Oxford, London.
Sulistia. 1987. Farmakology dan Terapi. Edisi III. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Staubmann R., M. Schubert-Zsilavecz., A. Hiermann., and T. Kartning. 1997. The
anti-inflammantory effect of Jatropha curcas Leaves. Proc. Symposium
Jatropha 97, Nicaragua.
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan:
M. Syah. PT. Gramedia. Jakarta.
Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penyebabnya. Penyakit Asal Parasit, Non
Infeksius dan Enthiologi Kompleks. Vol. 2. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Thepoultrysite.1995. http://www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/128/roundworm-
large-ascaridia. [8 Januari 2008].
Tropilab. 2006. Jatropha curcas-phisic nut. www.tropilab.com. [24 September
2006].
Vickery, M. L, and B. Vickery . 1981. Secondary Plant Methabolism. The
Macmillan Press. London and Basingtoke.

29
LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji Ortogonal Kontras dan Polinomial Aktivitas Anthelmintik
Ekstrak Daun Jarak
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
Perlakuan 9 0,666 0,074 11,33 2,39 3,46
Tanpa Ekstrak vs Pengobatan
(Piperazin+EDJ) 1 0,312 0,312 47,75 4,35 8,10 **
Piperazin vs EDJ (Pelarut Air
dan Metanol) 1 0,157 0,157 24,02 4,35 8,10 **
Air vs Metanol 1 0,076 0,076 11,57 4,35 8,10 **
Air. - Linier 1 0,094 0,094 14,42 4,35 8,10 **
Air - Kuadratik 1 0,022 0,022 3,32 4,35 8,10
Air - Kubik 1 0,004 0,004 0,66 4,35 8,10
metanol - Linier 1 0,020 0,020 3,08 4,35 8,10
metanol - Kuadratik 1 0,022 0,022 3,39 4,35 8,10
metanol - Kubik 1 0,009 0,009 1,40 4,35 8,10
Galat 20 0,131 0,007
Total 29 0,797

Lampiran 2. Uji Ortogonal Kontras Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut Air
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
*
Perlakuan 3 0,120 0,040 6,400 4,066 7,591
Air 1vs Air 2, 3, 4 1 0,117 0,117 18,678 4,066 7,591 **
Air 4 vs Air 2, 3 1 0,004 0,004 0,601 3,438 6,029
Air 2 vs Air 3 1 0,001 0,001 0,171 3,313 5,734
Galat 8 0,050 0,006
Total 11 0,170 0,015

31
Lampiran 3. Anova Ekstrak Daun Jarak dalam Pelarut Metanol
Sk db JK KT Fhit F0,05 F0,01
tn
Perlakuan 3 0,05 0,017 1,667 4,066 7,591
Galat 8 0,08 0,010
Total 11 0,13 0,012

Keterangan : EDJ = Ekstrak Daun Jarak


Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
tn = tidak nyata

32

Anda mungkin juga menyukai