Anda di halaman 1dari 8

PENEGAKKAN DIAGNOSIS, UJI WIDAL DAN TUBEX, DAN PENATALAKSANAAN

PADA TIFOID

DIAGNOSIS TIFOID

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal,


dan mungkin disertai dengan perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka
dapat dibuat diagnosis tersangka demam tifoid. Gambaran darah tepi pada demam tifoid
anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat dari perdarahan usus atau supresi
pada sumsum tulang. Jumlah lekosit rendah, namun jarang dibawah 3000/l3.
Trombositopenia sering di jumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
Diagnosis pasti dilakukan dengan kultur darah. Pada dua minggu pertama sakit,
kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu
berikutnya. Biakan specimen dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi,
hasil positif didapat pada 90% kasus.

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Uji Widal pertama kali diperkenalkan oleh Georges Fermand Isidore Widal (1862-1929),
ia merupakan seorang dokter dan bacteriologist di Prancis.Tes ini merupakan alat dignostik
demam tifoid yang paing sering digunakan di negara berkembang. Salmonella typhi
memiliki tiga jenis antigen yaitu: antigen O (somatic); antigen H (flagellar); dan antigen Vi
(surface), lihat gambar 4, maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan tubuh
berupa antibody sepesifik terhadap antigen tersebut. Perinsip dasar dari uji Widal yaitu
mendeteksi munculnya agglutinin (antibody) O dan H pada serum milik pasien dengan
menggunakan suspensi O dan H. Prinsipnya adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum.

1
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Slide Widal test lah yang paling popular digunakan karena memberikan hasil yang
lebih cepat.

Gambar 4. Struktur antigen


S.typhi (Bingnan, Yin. 2006)

Uji Widal memberikan hasil tes yang bersifat qualitative, untuk menghitung hasil
titer untuk setiap antigen pada uji Widal menggunakan slide, serum milik pasien harus
diencerkan terlebih dahulu. Sempel serum diencerkan dalam beberapa tingkatan yaitu 80l,
40l, 2l, 10l, 5l, pada setiap seri sempel serum diberikan satu tetes antigen sepesifik
dan dilihat apakah terjadi agglutinasi atau tidak. Setiap seri serum spesimen memiliki nilai
yang berbeda yaitu; 80l berkorespondensi dengan 1 dalam 20 titer (1/20), 40l dengan
1/40, 20l dengan 1/80, 10l dengan 1/160, dan 5l dengan 1/320. Untuk membuat
diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200
atau lebih atau menunjukan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosa.
Nilai-nilai tersebut menunjukan hasil positive yang menunjukan terjadi proses aglutinasi,
dengan semakin tinggi titer semakin tinggi pula kemungkinan pasien tersebut menderita
demam tifoid. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari

2
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.
Cara kerja :

A. Slide Aglutinasi
1. Dengan menggunakan pipet khusus untuk tiap pengenceran, sejumlah serum
berikut ditambahkan di atas lingkaran slide berdiameter 27mm :
0,08ml 0,04ml 0,02ml 0,01ml 0,005ml
1. Antigen yang telah tersuspensi sepenuhnya ditambahkan sebanyak 1 tetes tepat
pada lingkaran slide
2. Campur dan ratakan hingga ke seluruh permukaan dalam lingkaran
3. Dengan perlahan dan sering, guncang dan putar tes slide selama 1 menit hingga
terlihat adanya aglutinasi
4. Hasil yang diperoleh dicocokkan dengan titer tabung aglutinasi berturut-turut
1:20 1:40 1:80 1:160 1:320
Dianjurkan untuk mencocokkan hasil titrasi slide dengan teknik tabung.

B. Tube aglutination
1. Siapkan sebuah rak dengan 10 tabung
2. Tambahkan 1,9ml saline pada tabung 1 dan 1,0 ml saline pada tiap tabung lainnya
3. Tambahkan 0,1 ml serum pasien pada tabung 1, campur dengan baik.
4. Ambil 1,0 ml dari tabung 1 dan pindahkan pada tabung 2, lanjutkan pengenceran
secara serial sampai tabung 9 , lalu buang 1 ml dari tabung 9.
5. Tambahkan 1 tetes suspensi antigen yang telah dicampur homogen pada masing-
masing tabung. Jangan mencampur suspensi sebelum dipakai.
6. Tabung 1 sampai 9 sekarang mengandung serum yang diencerkan dari 1/20
sampai 1/5120. Tabung 10 hanya mengandung saline dan antigen sebagai antigen
kontrol
7. Campur sampai homogendan inkubasi pada suhu berikut, kemudian periksa adanya
aglutinasi
Titrasi antigen O pada suhu 50C selama 4 jam
Titrasi antigen H pada suhu 50C selama 2 jam
Antigen kontrol tidak menunjukkan adanya aglutinasi
Hasil : Aglutinasi pada antigen menandai adanya antibodi. Titer lebih dari
1/80 menunjukkan adanya aglutinasi.
Interpretasi hasil : Hasil positif apabila terjadi aglutinasi

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
3
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan

TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (5-10 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Pada orang yang sehat normalnya
tidak memiliki Ig M anti-O9 LPS.

Metode dari tes TUBEX ini adalah mendeteksi antibody melalui kemampuannya
untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal anti-O9 s.typhi (antibody-coated
indicator particle) dengan reagent antigen O9 s.typhi (antigen-coated magnetic particle)
sehingga terjadi pengendapan dan pada akhirnya tidak terjadi perubahan warna.
Protokol kerja dari tes TUBEX adalah sebagai berikut (gambar 2):
1. Masukkan 45l antigen-coated magnetic particle (Brown reagent) pada reaction
container yang disediakan (satu set yang terdiri dari enam tabung berbentuk V)
2. Masukan 45l serum sampel (serum harus jernih), lalu campurkan keduanya
dengan menggunakan pipette tip
3. Inkubasi dalam 2 menit
4. Tambahkan 90l antibody-coated indicator particle (Blue reagent)
5. Tutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu ubah posisi tabung
dari vertikal menjadi horisontal dengan sudut 90. Setelah itu goyang-goyangkan
tabung kedepan dan kebelakang seperti pada gambar 2 selama 2 menit. Perlakuan
ini bertujuan utuk memperluas bidang reaksi.
6. Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan diatas magnet stand,
lalu diamkan selama 5 menit untuk membiarkan terjadi proses pemisahan
(pengendapan). Pembacaan skor hasil dari reaksi ini dilakukan dengan cara

4
mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir reaksi dengan skor yang tertera
pada color scale.
Prinsip kerja dari tes TUBEX adalah yaitu ketika partikel magnet yang diselimuti
oleh antigen (s.typhi LPS) dicampurkan dengan blue latex antibody-coated indicator
particle yang diselimuti oleh anti-s typhi LPS (O9) antibody, maka kedua jenis partikel ini
akan berikatan satu dengan yang lain. Ketika pada akhir eksperimen tabung berbentuk V
tempat terjadinya proses reaksi diatas diletakan diatas magnet stand, maka antigen-coated
magnetic particle akan tersedimentasi dibawa tabung. Begitu juga blue latek particle yang
telah berikatan dengan antigen-coated magnetic particle akan ikut tersedimentasi pada
bagian bawah tabung. Sehingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Hal ini
menunjukan tidak adanya anti-s typhi O9 antibody pada serum milik pasien dan hasil
reaksi dikatakan negative (pasien tidak terindikasi menderita demam tifoid), lihat gambar 3
sebelah kiri.

Gambar 2. Sekema dari


protokol kerja tes TUBEX
(IDL Biotech 2005)

5
Gambar 3. Prinsip dari tes
TUBEX. Sebelah kiri, negative
result; sebelah kanan, positive
result ( Lim, et al, 1998)

Hasil tes TUBEX akan bernilai positive (pasien terindikasi menderita penyakit
demam tifoid) apabila tidak terjadi perubahan warna (tetap berwarna biru). Hal ini
menunjukan terdapatnya anti-s typhi O9 antibody yang mampu menghambat ikatan antara
antigen-coated magnetic particle dengan blue latex antibody-coated indicator particle
(lihat gambar 3, sebelah kanan). Sehingga pada akhir reaksi blue latex particle tidak ikut
tersedimentasi pada dasar tabung, sehingga warna tabung tetap berwarna biru.
Tes TUBEX merupakan tes yang subjektif dan semiquantitative dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan TUBEX color scale yang
tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10
(warna paling biru) lihat gambar 2. Adapun cara membaca tes TUBEX adalah sebagai
berikut menurut IDL Biotech 2008:
1. Nilai <2 menunjukan nilai negative (tidak ada indikasi demam tifoid)
2. Nilai 3 inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4 menunjukan positif lemah
4. Nilai >5 menunjukan nilai positif (indikasi kuat terjadi demam tifoid)
Nilai TUBEX yang menunjukan nilai positive ditambah dengan symptom dan
sign yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi yang sangat kuat
terjadinya demam tifoid.

Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Pada
6
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit, serta nutrisi,
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan secara seksama.
Antibiotik, Kloramfenikol masih jadi pilihan pertama, dosis yang diberikan
100mg/KgBB/Hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah
demam turun.
Amoksisilin dengan dosis 100mg/KgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara oral
memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih
lama. Di beberapa Negara dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.
Seftriakson 100mg/KgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis (maks 4 gram/hari) selama 5-7 hari,
atau sefotaksim 150-200mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Cefixime oral 10-15
mg/KgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama pada jumlah
leukosit <2000/l atau dijumpai resistensi terhadap S. typhi.
Pada kasus berat seperti delirium, obtudansi, stupor, koma dan shock, pemberian
deksametason IV (3mg/ Kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan
1 mg/KgBB tiap 6 jam sampai 48 jam. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi
pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.

7
REFERENSI

Prasetyo, R. V., & Ismoedijanto. (2010). Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
Surabaya: Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi SMF Ilmu kesehatan Anak FK UNAIR.

Soedarmo, S. S., Garna, H., S. Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2010). Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Chrismayana, N. M. (2012). Perbandingan Tes Tubex dengan Uji Widal dan Elisa sebagai Alat
Diagnostik Demam Tifoid pada Minggu Pertama Onset Gejala Dimulai pada Daerah
Endemik. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai