DZULHIJJAH DAN MENELADANI SPIRIT BERKURBAN NABI IBRAHIM
Oleh: Mutawally*
Dzulqadah berlalu, kini dzulhijjah datang manyapa seluruh kaum muslimin di
seluruh saentero dunia. Dzulhijjah menyimpan pesan historis bahwa pada bulan tersebut terdapat peristiwa bersejarah dimana kaum muslimin disyariatkan untuk berhaji dan berkurban. Dzulhijjah dalam kalendar Islam termasuk kedalam Al Asyhurul Hurum atau bulan-bulan haram yang dimuliakan oleh Allah Swt. Dzulhijjah atau lebih dikenal dengan bulan haji mencatatkan bahwa kurang lebih tujuh juta kaum muslimin melaksanakan ibadah haji di setap tahunnya. Indonesia sendiri pada tahun 2017 ini berdasarkan data Kementrian Agama RI memberangkatkan kurang lebih 221.000 WNI. Jumlah tersebut akan terus mengalami kenaikan seiring besarnya animo umat muslim Indonesia untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima itu, bahkan saking besarnya jumlah pendaftar haji menyisakan daftar tunggu (waiting list) yang begitu lama mencapai 25 tahun. Besarnya jumlah pendaftar haji perlu diikuti dengan pengetahuan yang lurus tentang haji, bahwa haji bermakna menggerakkan, hal yang menggerakkan ke arah sesuatu bukan ke dalam sesuatu. Itulah sebabnya mengapa haji merupakan suatu gerakan mutlak bukan suatu perjalanan yang bermuara pada ujung dari tujuan. Oleh karenanya haji bukanlah tujuan yang akan kita capai melainkan suatu sasaran yang akan ita dekati. Itulah sebabnya ketika kembali dari arafah engkau ditinggal di mina di balik dinding kabah tidak di dalam kabah. Inilah makna mendekati bukan mencapai.
Dzulhijjah Dan Keteguhan Iman Nabi Ibrahim
Dalam dzulhijjah, kita juga kembali diingatkan tentang peristiwa dramatik yang terurai pada riwayat pengurbanan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, sebagai seorang ayah dan anak. peristiwa tersebut melukiskan, betapa iman yang dipilih secara sadar dan sengaja dapat mengalahkan segala-galanya, mengejawantahkan hawa nafsu semata-mata untuk perkara kecintaan dan ketaatan kepada Tuhannya. Dalam sejarah peristiwa kenabian, peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as merupakan peristiwa dilematis, tetapi keduanya sepakat menempuhnya karena pancaran iman dan kecintaan terhadap Tuhannya. Allah hendak menguji Ibrahim dan Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismailnya itu. Hamba Allah yang patuh, tokoh pemberani yang paling terkenal dalam sejarah, yang pernah menghancurkan berhala-berhala Raja Namrud dengan kapak di tangannya, kali ini ia gemetar dan goyah. Batinnya betul-betul terguncang, seakan ia tengah mengalami kehancurannya. Keesokan harinya di sebuah pelosok lembah Mina yang sepi, terjadilah dialog yang mangaharukan antara Ibrahim dan anak semata wayangnya, Ismal. Ibrahim dengan rambut dan janggut yang telah memutih berbicara dengan puteranya: Wahai putraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku diperintahkan untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu? Ismail yang baru saja menginjak usia remaja sangat memahamai kegundahan ayahnya dan berusaha menenangkannya. Ismail berkata: Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada Ayah, insya Allah ayah akan menyaksikan bahwa aku termasuk orang yang sabar. Ibrahim lalu membawa Ismail ke tempat pengorbanan, menyuruhnya berbaring di tanah, menginjak kaki dan tangannya. Dengan menjambakkan rambutnya, didongakkannya kepala Ismail agar urat nadi di lehernya terlihat dengan jelas. Dengan menyebut nama Allah, Ibraim menaruh pisau di leher putranya. Ia hendak menyelesaikan kewajibannya itu secepat mungkin, sehingga ia segera bebas dari beban yang amat berat itu. Namun sebelum pisau itu melukai Ismail, muncullah seekor domba disertai dengan seruan, Wahai Ibrahim, sesungghunya kamu telah membenarkan mimpi itu, dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untukmu, wahai Ibrahim pada generasi yang datang kemudian yaitu semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim. Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Shaffat: 104-108)
Meneladani Spirit Berkurban Nabi Ibrahim
Dari pengorbanan Nabi Ibrahim as, telah memberikan gambaran tentang adanya revolusi keyakinan yang amat besar untuk memantapkan keyakinan dan kepatuhan hanya kepada Allah SWT, dan tidak merendahkan diri dihadapan benda-benda atau materi yang bersifat duniawiyah, betapapun sepintas lalu tampak hebat dan mengagumkan. Bagi Ibrahim, Ismail adalah kecintaannya. Dan kecintaannya itu kebetulan adalah puterannya sendiri. Tetapi dalam kehidupan kita saat ini, siapakah atau apakah ismail kita masing-masing? Ismail kita mungkin adalah diri kita sendiri, harta, kekayaan, rumah, kebun, kedudukan, pangkat, jabatan, status sosial,popularitas, suku, golongan, partai, dan lainnya. Ismail kita juga bisa berupa sifat-sifat tertentu. Seperti malas, kikir, riya, sombong, rakus, pengecut, munafik, dan sebagainnya. Hanya diri kita dan Allah yang tahu, siapa dan apa ismail kita masing-masing. Sebagai anggota masyarakat, jika di dalam masyarakat kita berprilaku buruk, menjadi unsur negatif, merusak dan merugikan masyarakat, menjadi pendengki, penggunjing, gemar memfitnah, mencari-cari kesalahan orang lain, sombong dan sejenisnya itulah Ismail kita. Jika kita seorang pegawai begitu berambisi untuk cepat naik pangkat atau jabatan sehingga membuat kita tega menyikut ke sana-sini, mengorbankan teman sekerja, memfitnah kolega sendiri, atau mejilat ke mana-mana, pangkat dan jabatan itulah Ismail kita. Pendek kata, Ismail kita adalah setiap apapun atau siapapun yang dapat mendisorientasikan perjalanan menuju Allah. Kenalilah ismail kita. Dia adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, menghalangi perjalanan kita menuju Allah, menjadikan kita kehilangan rasa kemanusiaan, membuat kita mengutamakan kepentingan diri sendiri, membuat kita tidak mampu berdiri di atas kebenaran, membutakan mata dan menulikan telinga kita. Apa atau siapapun Ismail kita kita itu, tanggalkanlah ia dari hati kita masing- masing. Atau meminjam ungkapan metaforik Dr. Ali Syari;ati, Kurbankanlah ia. Itulah kisah teladan mengenai keberagamaan Ibrahim yang hanif, betapa ia rela mengorbankan apa saja yang menghalangi perjalanannya kepada Allah Swt. Rela mengorbankan sesuatu yang sangat dicintainya seperti yang diperlihatkan oleh Ibrahim. Dr. Ali Syariati pernah menulis, Penyembelihan domba sebagai isyarat pengorbanan ismailmu itulah pengorbananmu. Tetapi menyembelih dombamu semata-mata demi pengorbanan, hanya penjegalan. Kita berharap, semoga pada Idul Adha yang oleh umat Islam dirayakan setiap tahun itu, semangat untuk berhaji kian bergelora, dan semangat berkurbannya dapat mengilhami, menggugah dan mengaktualisasikan cara berfikir dan bertindak dalam mengatasi berbagai krisis dimensional, politik, ekonomi, budaya, agama, dan lain-lain. Terkhusus meraka yang sekarang sedang berkonflik, berselisih untuk suatu kepentingan dunia yang bersifat sesaat. semoga dengan idzin Allah SWT kita dapat segera mengangkat negara menuju Negara yang baldatun toyyibatun wa rabbum ghafur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
*Mahasiswa Program Studi Interdisiplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan