Anda di halaman 1dari 2

KETIKA WAKTU TELAH BERLALU

Aku memandangi kamar ini untuk kesekian kalinya. Yang tergambar dalam benakku sangatlah jelas
dan tidak berubah. Aku teringat kenangan-kenangan bersamanya, kenangan yang tak akan aku
lupakan begitu saja. Aku teringat bagaimana ia selalu ada di sampingku saat senang maupun
susah, karena ia selalu mengerti bagaimana membuatku tersenyum.

Aku seperti dihantam sesuatu. Aku tahu, ini menyakitkan, tetapi aku harus kuat sebagaimana ia
berpesan. Ya! Aku tidak akan lagi bertemu dengannya, dihibur olehnya. Bayangan singkat
kehidupanku dengannya kembali tergambar jelas, seperti di depanku terdapat sebuah proyektor
yang menampilkannya.
Bayangan itu membawaku ke saat-saat dimana aku dan dia pertama kali berkenalan saat aku keliru
menaruh barang-barangku di dalam lokernya. Dia tertawa, aku tertawa. Aku menanyakan namanya
dan dia menanyakan namaku. Pada saat kenaikan kelas, kami memasuki kelas yang sama.

Kami semakin akrab dengan tempat duduk kami yang diatur berdekatan. Baru aku tahu saat itu
bahwa rumahku dan rumahnya hanya berbeda beberapa gang. Ia pun tidak jarang datang ke
rumahku untuk mengerjakan tugas. Aku ingat sekali bagaimana saat itu, kami tidak mengerjakan
tugas melainkan ke taman dan mengukir nama kami berdua pada sebatang pohon. Kami
menambahkan Best Friend Forever di bawah nama kami.

Saat lelaki yang sedang kusuka berpacaran dengan perempuan lain, ia menghiburku, merangkulku
dan melontarkan candaan-candaan yang membuatku tertawa. Ia tahu apa yang kurasakan
walaupun aku tidak mengatakannya. Ia bahkan tahu lelaki yang kusuka walaupun aku tidak pernah
menceritakan apapun kepadanya. Ialah yang menjadi alasan mengapa aku dapat kuat hingga detik
ini.

Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan
tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat
menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan membantuku
membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami menyelesaikannya tepat
pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas, ia juga sabar
mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun untuk berbicara.

Aku kembali menyapukan pandanganku dan melihat satu lembar tiket konser Miley Cyrus, penyanyi
luar Indonesia yang paling kami kagumi. Aku mengambilnya dan lagi-lagi pikiranku dipenuhi oleh
bayang-bayang. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMA dan sedang menjalani ulangan akhir semester
I, lalu kami mendapat kabar bahwa Miley Cyrus akan mengadakan konser di Jakarta. Kami sangat
senang sekaligus bingung bagaimana caranya untuk menonton konser tersebut, karena pastinya
kami tidak diizinkan.

Aku ingat sekali bagaimana kami menyusun rencana hingga akhirnya kami mendapatkan
kesepakatan. Kami pun membeli tiket konser tersebut dengan uang hasil tabungan kami. Tetapi
saat hari konser, entah dorongan darimana, aku mengubah rencana dan bersikeras untuk tetap
menjalankan rencana yang kubuat. Ia pun dengan sabar menyetujuinya dan kami menjalankan
rencana yang kubuat.
Kau mau ke mana? tanya papaku saat itu.
Aku mau ke rumah Iva, Pa.
Jangan bohong, Ta, tadi waktu papa ke luar, papa lihat Iva dengan tasnya, kelihatannya dia mau
pergi. Papa tahu kau merencanakan sesuatu.

Begitulah pada akhirnya, karena aku, kami tidak jadi menonton konser Miley. Aku tahu, Iva sangat
marah kepadaku. Aku tahu, ia akan benci sekali padaku dan tidak akan percaya pada kata-kataku
lagi. Atau mungkin, itu hanyalah perkiraanku.

Nyatanya, setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku karena
ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin menonton konser tersebut.
Ta, sabar ya! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari konser Miley lagi, sampe ke luar kota
pasti dibolehin kok! Sekalian liburan, sekalian nonton konser.

Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku sangat
bahagia telah mengenalnya.

Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah ditepatinya.
Bukan, bukan karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
Ta, aku harus pergi ke Singapore, aku harus berobat ke sana. Aku sakit, kanker otak.
Kamu pasti bercanda
Aku serius. Tetapi, aku akan berusaha untuk kembali ke sini, kok. Aku janji kita bisa ketemu lagi.

Sejak kepergiannya, kami rutin bertukar e-mail, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita yang
macam-macam. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu sangat
berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena aku tahu, itu
semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan matahari yang
masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua akan indah pada
waktunya.
Ta

Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Mario, kakak
laki-laki Iva yang belakangan menjadi sahabatku, lebih dari sahabatku lebih tepatnya. Ia sudah
kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia pun sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri setelah ia
kehilangan Iva.

Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Iva, kakak laki-lakinya-lah yang paling kehilangan,
karena ia dan Iva telah bersama sejak kecil. Mario, kakak yang tegar dan selalu menemani Iva saat
ia berobat. Mario, kakak yang setia sampai-sampai ia pindah kuliah ke Singapore untuk
mendampingi Iva dalam menjalani masa kritisnya.

Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Mario harus menjalani cobaan yang begitu berat. Apakah
ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan
menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar akan
diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.
Ta, kangen sama Iva? kata Mario mencegah pikiranku untuk berkelana terlalu jauh.

Aku hanya tersenyum, mewakili perasaanku sebenarnya.


Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang
menyiapkan sesuatu yang terbaik di atas sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang
disayanginya. Ia telah sampai di ujung dunia, Ta. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana
dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau
akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya abadi,
selamanya.

Aku kembali tersenyum dan membiarkan diriku dirangkul oleh Mario.


Kak, aku boleh minta sesuatu?
Tentu.
Jangan pernah tinggalkan aku, ya

Mario tersenyum dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi orang-
orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang baru,
lembaran pertama dalam sekuel buku yang berjudul kehidupan. Lembaran pada buku pertama telah
terisi sampai lembaran terakhir, dipenuhi tentang kenanganku dengan Iva. Saat ini, aku siap
memulai lembaran baru pada buku yang baru, dan aku sudah tidak sabar, apa yang akan kuhadapi
setelah ini. Aku akan menjalani lembar demi lembar dengan sikap yang baru, Tata yang telah
berubah.

Anda mungkin juga menyukai