Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM KOMPLEKS


+ FARINGITIS AKUT + SUSPECT ANEMIA
DEFISIENSI BESI EC LOW INTAKE

Disusun oleh :
Putri Ayu Ratnasari, S.Ked. 04054821618117
Rahma Putri Utami, S.Ked. 04054821719105

Pembimbing:
dr. H. Hadi Asyik, Sp.A.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR MOH. HOESIN PALEMBANG -
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul


Kejang demam kompleks + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec Iow intake

Oleh :
Putri Ayu Ratnasari, S.Ked.
Rahma Putri Utami, S.Ked.

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Sriwijaya
dalam rumah sakit jejaring Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI, Fakultas
Kedokteran Universitas.

Palembang, Mei 2017

Pembimbing

dr.H. Hadi Asyik, Sp.A.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat
dan hidayah-Nya Penyusun bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul Kejang
demam kompleks + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec low intake
ini dengan baik.
Laporan kasus ini disusun sebagai bentuk dari pemenuhan tugas Kepaniteraan
Klinik yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran dalam Departemen Ilmu
Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Terima kasih tak lupa pula Kami ucapkan kepada dr. H. Hadi Asyik, Sp.A., yang
telah membimbing dalam proses penyusunan laporan kasus, beserta pihak-pihak lain
yang terlibat, baik dalam memberikan saran, arahan, dan dukungan materil maupun
inmateril dalam penyusunan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik yang membangun dan saran dari pembaca sangat Kami harapkan sebagai
bahan pembelajaran yang baru bagi Penyusun dan perbaikan di masa yang akan datang.

Palembang, Mei 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN..........................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13
BAB IV. ANALISIS KASUS...................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan
1,2
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya. Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka kejang
3,4
tersebut tidak disebut sebagai kejang demam.
5
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Lebih dari
90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan
6
22 bulan, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Anak
berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun prevalensinya
sangat sedikit. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam batasan kejang ini
7
melainkan termasuk dalam kejang neonatorum.
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana
8,9
(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari
15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam
5
waktu 24 jam. Sedangkan kejang demam kompleks merupakan kejang yang tidak
termasuk ke dalam batasan kejang demam sederhana yaitu kejang lama (>15 menit),
bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, serta
2
berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
2
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Meskipun demikian, kejang
merupakan peristiwa yang menakutkan dan sering menimbulkan kecemasan bagi setiap
orangtua. Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahas kasus mengenai kejang
demam kompleks karena peran dokter sangat penting dalam tatalaksana kejang, baik
dalam mengatasi kejang akut maupun dalam hal edukasi pada orang tua pasien.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : An. MAJ
Umur / Tanggal Lahir : 1 Tahun 2 Bulan (20 Maret 2016)
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. A (31 tahun)
Nama Ibu : Ny. WF (25 tahun)
Alamat : Jl. Abi Kusno CS Lorong Fatri Risi No.8 Palembang
Suku Bangsa : Sumatera
Dikirim oleh : IGD RSUD Palembang BARI
MRS : Hari Rabu tanggal 17 Mei 2017 Pukul 14.20 WIB

2.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien, pada tanggal 18 Mei 2017 pukul 07.00 WIB)
Keluhan Utama : Kejang
Keluhan Tambahan : Demam, batuk, dan pilek

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 2 jam SMRS, anak kejang 1x selama 5 menit, kejang terjadi pada kedua
lengan, mata mendelik ke atas (+), mulut berbusa (-), anak tidak sadar saat kejang,
kejang berhenti sendiri dan kemudian anak sadar setelah kejang dan mau makan tapi
o
masih lemas, demam (+) dengan suhu 44 C, kelemahan anggota gerak (-), batuk (+),
pilek (+), mual (-), muntah (-), sesak (-), keluar cairan dari telinga (-), BAB dan
BAK biasa. Anak dibawa berobat ke bidan terdekat dan kemudian dirujuk ke IGD
RSUD Palembang BARI.
Sejak 1 hari SMRS, anak batuk (+) berdahak warna putih kental, pilek (+),
demam (+) tinggi terus menerus, mual (-), muntah (-), sesak (-),keluar cairan dari
telinga (-), makan dan minum biasa, BAB dan BAK biasa. Anak tidak dibawa
berobat dan tidak diberi obat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar


Riwayat kejang dalam keluarga disangkal

Riwayat Lingkungan Perumahan


Penderita tinggal di rumah ukuran 8x5 meter yang berisi 4 orang dengan satu
kamar, satu ruang keluarga, dan kamar mandi berada di dalam. Dengan lingkungan
sekitar yang padat. Lantai rumah semen. Sumber air minum dari PDAM.
Kesan: Riwayat lingkungan kurang baik

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai buruh dengan gaji yang tidak tetap sekitar Rp 1
juta per bulan. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Ayah pasien menanggung
2 orang anak.
Kesan: Riwayat sosial ekonomi kurang

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan
Perawatan Antenatal : 1 kali pada bulan kedua dan 1 kali di bulan ke 8
Penyakit Kehamilan : Mual muntah (-), tidak nafsu makan (-), demam (-),
konsumsi obat atau jamu saat hamil (-), hipertensi (-),
Diabetes Melitus (-)
Kelahiran (lahir dari ibu G2P1A0)
Tempat kelahiran : Klinik Bidan
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan pervaginam
Masa gestasi : Cukup bulan
Kondisi bayi:
Berat Badan Lahir : 4000 gram
Panjang Badan Lahir : 58 cm
Lingkar Kepala : Ibu lupa
Langsung Menangis : Ya
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan Bawaan : Tidak ada
Inisiasi Menyusu Dini : Tidak ada
Kesan: Riwayat kehamilan dan kelahiran
baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 4000 gram. Panjang badan lahir 58 cm.
Berat badan sekarang 10 kg. Panjang badan 78 cm. Lingkar kepala 43 cm.
Perkembangan:
Pertumbuhan gigi pertama : usia 6 bulan
Psikomotor
Mengangkat kepala : usia 3 bulan
Tengkurap dan berbalik : usia 3 bulan
Duduk : usia 8 bulan
Merangkak : usia 9 bulan
Berdiri : usia 10 bulan
Berjalan : usia 11 bulan
Berbicara : usia 10 bulan
Membaca : belum bias
Bahasa : 1 kalimat
lengkap Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan
normal

Riwayat Makan
ASI Eksklusif : Tidak
ASI : 0-3 bulan (10x sehari, setiap menyusu 10 menit)
Susu Formula : 3 bulan sampai sekarang (4-6x100cc)
Bubur susu : 6 bulan-1 tahun (3x1 porsi)
Air tajin : 6 bulan- 1 tahun
Roti : 8 bulan sampai sekarang
Nasi : 10 bulan sampai sekarang (3x1 porsi)

4
Sayur : 10 bulan sampai sekarang (3x1 minggu)
Daging : 10 bulan sampai sekarang (2x1 minggu)

5
Food Recall dan Food Frequency:
Ibu penderita mengaku bahwa anaknya sejak lahir diberikan ASI eksklusif 3
bulan, kemudian ibu memberikan susu formula hingga sekarang. Minum susu
botol: 4-6 kali per hari, dengan pengenceran 3 sendok takar dalam 100 cc air. Susu
formula selalu habis diminum. Mual muntah setelah minum susu tidak ada. Anak
juga sudah bisa makan makanan tambahan lain, seperti bubur, roti, nasi, dan lain-
lain sampai usia sekarang.

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Umur Umur Umur Umur
HB0 Saat lahir
BCG Saat lahir Scar (+)
DPT 1 2 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan -
HB 1 2 bulan HB2 3 bulan HB 3 4 bulan -
Hib 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan -
POLIO 1 1 bulan POLIO 2 2 bulan POLIO 3 3 bulan -
CAMPAK 9 bulan POLIO 4 4 bulan -
Kesan : Imunisasi PPI dasar lengkap sesuai usia

Riwayat Keluarga
Pedigree

Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Pasien


Kesan: Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 18 Mei 2017
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Frekuensi Nadi : 146 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu : 38,3C
SpO2 : 96%

Data Antropometri
Berat Badan : 10 kg
Tinggi Badan : 78 cm
Lingkar Kepala : 43 cm

Interpretasi Lingkar Kepala: Normosefali


Interpretasi BB/U: Normoweight

Interpretasi TB/U: Normolength


Interpretasi BB/TB: Gizi Baik

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Simetris, ubun-ubun datar
Rambut : Tebal, warna hitam
Mata : Pupil bulat, isokor, reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret (+) putih kental, napas cuping hidung (-)
Telinga : Sekret (-), otore (-)
Mulut : Sianosis (-), edema (-), mulut dan lidah kering (-), cheilitis (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (+), Tonsil T1-T1, uvula di tengah
Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Thoraks
Paru-
paru
- Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-/-), iga gambang (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Cembung
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Lemas, hepar-lien tidak teraba, ballotement (-/-), turgor < 2 detik
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Lipat paha : Pembesaran KGB (-)
Genitalia : Edema skrotum (-), M1 P0
Ekstremitas : Akral pucat (+/+), CRT< 3 detik, koilinikia (-/-)

Status neurologikus
Keterangan Tungkai kanan Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - -
Refleks fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks patologis - - - -
GRM Kaku kuduk (-), Laseque (-), Kerniq (-), Brudzinski I dan II (-)
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (17 Mei 2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 9.7 14-16 g/dL Menurun
Leukosit 18.500 5.000-10.000/ul Meningkat
Hematokrit 30 40-48 % Menurun
Trombosit 512.000 150.000-400.000/ul Meningkat
Diff count
Basofil 0 0-1 % Normal
Eosinofil 1 1-3 % Normal
Netrofil batang 2 2-6% Normal
Netrofil segmen 80 50-70% Meningkat
Limfosit 15 20-40 % Menurun
Monosit 2 2-8% Normal
CRP Negatif Negatif Normal

2.5 DAFTAR MASALAH


1 Kejang
2 Demam
3 Anemia
4 Batuk dan pilek

2.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Kejang demam kompleks + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec
low intake
2. Meningitis + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec low intake
3. Ensefalitis + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec low intake

2.7 DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam kompleks + Faringitis akut + Suspect anemia defisiensi besi ec low
intake

2.8 PEMERIKSAAN ANJURAN


1. Pemeriksaan EEG
2. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
3. Pemeriksaan Fungsi Hati

10
2.9 TATALAKSANA
Non Farmakologis
Diet biasa
Edukasi
- Memberitahukan pada orang tua bahwa kejang demam umunya memiliki
prognosis yang baik
- Memberitahukan cara penanganan kejang
- Memberikan informasi bahwa ada kemungkinan kejang berulang
- Informasikan bahwa pasien harus meminum obat profilaksis dalam jangka
waktu 1 tahun untuk mencegah berulangnya kejang dan efek samping
obatnya

Farmakologis
IVFD D5% NaCl 0,2250 % gtt X/ menit (makro)
Diazepam 5 mg per rektal
o
Parasetamol sirup 1 cth setiap 6 jam bila T 38,5 C
Injeksi Ceftriaxon 1x500 mg

2.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

11
2.11 FOLLOW UP
Tanggal
18 Mei 17 S: A:
(Hari ke-2) Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek KDK + faringitis akut + suspect
(+), telapak tangan dan kaki pucat (+) anemia defisiensi besi ec low
intake

O: P:
KU : Sakit sedang, Sens: CM, N: 110x/m, - KIE
o
RR: 24x/m, T: 36,9 C - IVFD D5% NaCl 0,2250 %
- Kepala : UUB datar (-)
gtt X/ menit (makro)
- Mata : Konjungtiva anemis (-)
- Hidung : NCH (-) - Asam valproat 2x cth
- Mulut : bibir kering (-)
- Parasetamol sirup 1 cth setiap
- Thorax : simetris, retraksi (-).
o
- Cor : BJ I dan II N, bising jantung(-) 6 jam bila T 38,5 C
- Pulmo : Vesikuler normal, rhonki (-),
wheezing (-/-) - Injeksi Ceftriaxon 1x500 mg
- Abdomen : cembung, lemas, hepar (hari ke-2)
dan lien tidak teraba, ballotement (-),
turgor kulit < 2 detik, bising usus (+)
normal
- Ekstremitas : akral pucat (+/+), CRT
< 3 detik
19 Mei 17 S A:
(Hari ke-3) Kejang (-), demam (-), batuk (+) KDK + faringitis akut + suspect
berkurang, pilek (-), telapak kaki dan anemia defisiensi besi ec low intake
tangan pucat (+)
P:
O: - KIE
- KU : sakit ringan, Sens: CM, N:
o - Rencana pulang
104x/m, RR: 22x/m, T: 36,5 C
- Kepala : UUB datar (-) - Asam valproat 2x cth
- Mata : Konjungtiva anemis (-)
- Parasetamol sirup 1 cth setiap
- Hidung : NCH (-)
o
- Mulut : bibir kering (-) 6 jam bila T 38,5 C
- Thorax : simetris, retraksi (-).
- Cor : BJ I dan II N, bising jantung(-) - Cefixime sirup 2x cth
- Pulmo : Vesikuler normal, rhonki (-), R
- Ferriz drop (besi elemen) 1x
wheezing (-/-)
- Abdomen : cembung, lemas, hepar 0,6 mL
dan lien tidak teraba, ballotement (-),
turgor kulit < 2 detik, bising usus (+)
normal
- Ekstremitas : akral pucat (+/+), CRT
< 3 detik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan
1,2
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Kejang demam terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya. Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam sebelumnya
3,4
maka kejang tidak dikategorikan sebagai kejang demam.

Kejang demam mungkin dapat terjadi pada anak berumur antara 1-6 bulan.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan
Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1
bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
dapat pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bila anak
berumur lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam perlu dipikirkan
kemungkinan lain misalnya epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Bila
demam disebabkan oleh proses intrakranial, bukan disebut sebagai kejang demam.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk dalam kejang demam. Bila kejang demam didahului diare hebat, perlu
dipikirkan kemungkinan bahwa kejang bukan disebabkan demam melainkan karena
gangguan metabolik misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia, dan
hipoglikemia. Sedangkan kejang demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam batasan kejang demam ini melainkan termasuk dalam kejang
3,4,7
neonatorum.

3.2. Epidemiologi
2
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak laki-
laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1. Lebih dari 90%
kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan
kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan,
5,7,9,10
insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di
Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan
di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam
5
insiden kejang demam mencapai 14%.
Sekitar 70-75% merupakan kejang demam sederhana. 20-25% merupakan kejang
demam kompleks. Dan sekitar sepertiga dari pasien ini mengalami sedikitnya satu kali
kekambuhan. Lebih dari 90 % dari kejang demam adalah kejang umum, kurang dari 5
9,10
menit, dan terjadi awal pada penyakit yang menyebabkan demam.

Kejang demam jarang menjadi epilepsi atau kejang non febril pada umur dewasa
(sekitar 1-2,4%). Kemungkinan untuk menjadi epilepsi lebih besar jika kejang demam
mempunyai manifestasi yang kompleks antara lain durasi lebih dari 15 menit dan lebih
dari satu kali kejang dalam sehari. Faktor lain yang memperburuk yaitu onset awal dari
kejang (sebelum umur 1 tahun) dan riwayat keluarga epilepsi. Walaupun demikian,
risiko mengalami epilepsi setelah kejang demam itu masih sangat rendah yaitu sekitar
9
15-20%.

3.3. Etiologi
Penyebab kejang demam adalah peningkatan suhu pada saat demam. Demam
dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas
atas. Penyakit pernafasan akut merupakan hal terbesar yang dikaitkan dengan kejang
demam. Gastroenteritis khususnya yang disebabkan oleh Shigella atau Campylobacter
9,10
dan infeksi traktus urinarius merupakan penyebab yang lebih sedikit.
Demam sebagai etiologi kejang demam belum diketahui secara pasti. Hal ini
juga bervariasi untuk masing-masing anak, terkadang suhu tertentu pada satu anak tidak
menyebabkan terjadinya bangkitan kejang pada anak lain, sehingga diduga terdapat
peran dari faktor genetik dalam hal tersebut. Setiap anak juga memiliki suhu ambang
10
kejang yang berbeda antara satu dengan yang lain.

3.4. Faktor Resiko


Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang
dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah
menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama
adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat
dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal
resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar
60%-80%. Bila kedua orang tuanya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam, maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua
penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk
terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan
lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.5,11

3.5. Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
+
dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K ) dan sangat sulit dilalui oleh ion
+ -
Natrium (Na ) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl ). Akibatnya konsentrasi
+ +
K dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na rendah, sedangkan di luar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel neuron, maka terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
5
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat berubah oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
5
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang


kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion
dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat
Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan
oksigen. Demam tinggi dapat mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan
12
otak.
Pada keadaan metabolisme di siklus krebs normal, satu molekul glukosa akan
menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme
berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan
+
hipoksia akan terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na
serta reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan
+
masuknya Na ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.
Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
+ +
membran sel terhadap ion Na sehingga semakin meningkatkan ion Na masuk ke
+
dalam sel. Ion Na ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan
meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi
ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial
membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu
demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx
sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat
13,14
menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik.
Pada keadaan otak yang belum sempurna, reseptor untuk asam glutamat
merupakan reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai
13
inhibitor kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.
Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator
neuropeptid, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak yang belum sempurna kadar
CRH di hipokampus tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila
15
terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis pada otak yang belum sempurna masih
+ +
lemah sehingga Na /K ATPase pada otak yang belum sempurna masih kurang, namun
hal ini akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur. Pada
+ + ++
otak yang belum sempurna regulasi ion Na , K , dan Ca belum berjalan dengan baik,
sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan meningkatkan
eksitabilitas neuron. Eksitator lebih dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada
keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Oleh karena itu, eksitabilitas neural lebih
tinggi pada otak yang belum sempurna dibandingkan otak yang sudah sempurna pada
dewasa. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga rentan terhadap
5,14,15
bangkitan kejang.
Pada anak, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Bila terjadi kenaikan suhu akan terjadi perubahan keseimbangan
membran sel, akan terjadi difusi dari ion Kalium dan Natrium sehingga terjadi
pelepasan muatan listrik. Pelepasan muatan listrik sedemikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan kejang terjadi dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak

dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan
pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu
40C atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 interaksi faktor sebagai
penyebab kejang demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam,
7
dimana kebutuhan oksigen dan metabolisme meningkat, 3) predisposisi genetik.

3.6. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana
8,9
(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).

3.6.1. Kejang Demam Sederhana


Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang
2,6,15
dari 5 menit dan berhenti sendiri.

3.6.2. Kejang Demam Kompleks


Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang tidak memenuhi kriteria
kejang demam sederhana, dengan ciri-ciri kejang lama (>15 menit), kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, dan berulang atau lebih
2
dari 1 kali dalam waktu 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
3
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau
16
kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali
atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
17
terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam.

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut,
berupa serangan kejang umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda
neurologi post iktal. Bentuk kejang umum yang sering dijumpai adalah mata mendelik
atau terkadang berkedip-kedip, kedua tangan dan kaki kaku, terkadang diikuti kelojotan,
dan saat kejang anak tidak sadar tidak memberi respons apabila dipanggil atau
3
diperintah. Setelah kejang anak sadar kembali.

3.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding kejang demam antara lain kejang dengan demam yang
18
disebabkan proses intrakranial seperti meningitis, meningoensefalitis, dan ensefalitis.

3.7.1. Meningitis
Meningitis merupakan peradangan dari meningen (selaput otak). Radang dapat
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan
ini dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel.
Penyakit ini seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna
seperti demam, batuk, diare, pilek, dan muntah. Gejala umum dari meningitis adalah
sakit kepala yang hebat disertai demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan
kesadaran, iritabilitas, letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat
sugestif dari meningitis tetapi tidak ada satupun gejala yang khas. Banyak gejala
meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang
mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas
minum, dan high pitched cry. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ubun-ubun besar
yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang meningeal yang lain (Brudzinki
dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda rangsang meningeal mungkin
7,18
tidak ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.

3.7.2. Ensefalitis
Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal)
atau seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, dan protozoa).Namun penyebab tersering dan terpenting adalah
virus.Ensefalitis berbeda dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab
dan proses terjadinya penyakit. Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan
selaput otak sehingga disebut sebagai meningoensefalitis. Gejala ensefalitis akut
bervariasi. Gejalanya mulai demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia,
dapat terjadi penurunan kesadaran dengan cepat, kejang yang bersifat umum atau fokal,
dapat berupa status konvulsivius, dapat ditemukan gejala peningkatan tekanan
intrakranial (muntah proyektil, rewel, ubun ubun menonjol, menangis terus menerus
dan lebih buruk jika digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat dirasakan pada anak
yang lebih besar), perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku leher, nyeri
7,18
kepala, silau (fotofobia), penurunan kesadaran, dan kejang.

3.8. Pemeriksaan Penunjang

3.8.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,


tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,
2
elektrolit, dan gula darah.

3.8.2. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi
lumbal yaitu terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya
infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, dan dipertimbangkan pada
anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan
2
pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

3.8.3. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila


bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan
8
adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

3.8.4. Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis
2,8
atau paresis nervus kranialis.

3.9. Penegakkan Diagnosis Kejang Demam Kompleks dan Indikasi Rawat


3.9.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dari menanyakan identitas pasien, riwayat perjalanan
penyakit sampai terjadinya kejang (riwayat penyakit sekarang), riwayat penyakit
5,8
sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, ekonomi, psikososial, prenatal, dan perinatal.
Kejang demam terjadi pada anak kurang dari 5 tahun, kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam, bangkitan kejang
yang terjadi berlangsung akibat kenaikan suhu tubuh (suhu aksilar lebih dari 37,5C,
suhu rektal lebih dari 38C) pada suatu proses ekstrakranium. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
8
dalam kejang demam.
Selain itu pada anamnesis, frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk
diagnosis serta tata laksana kejang. Ditanyakan kapan kejang pertama kali terjadi,
apakah kejang itu baru pertama kali atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah,
berapa kali dan waktu anak berumur berapa. Sifat kejang juga perlu ditanyakan, apakah
kejang bersifat tonik, klonik, umum, atau fokal.Ditanyakan pula lama serangan, interval
antara dua serangan, kesadaran saat kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang
menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran,

20
kemunduran kepandaian, penyebab demam di luar sistem saraf pusat (gejala infeksi
8
saluran pernafasan akut, infeksi saluran kemih, otitis media akut, dan sebagainya).
Faktor-faktor lain yang berperan dalam risiko terjadinya kejang demam selain
faktor demam dan usia, adalah riwayat tumbuh kembang, riwayat apakah pernah terjadi
kejang demam dan epilepsi pada keluarga terdekat (first degree relative) yaitu kedua
orang tua ataupun saudara kandung, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), serta riwayat
8
perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah).
Anamnesis yang bermakna akan memenuhi salah satu kriteria diagnosis kejang
demam kompleks yaitu kejang yang didahului demam (suhu rektal > 38C) yang bukan
disebabkan infeksi intracranial, lama kejang > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu
8,18
sisi, atau kejang umum dengan frekuensi > 1 kali dalam 24 jam.

3.9.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dimulai dari keadaan umum dan tingkat kesadaran apakah
terdapat penurunan kesadaran.Kemudian dilanjutkan dengan tanda-tanda vital seperti
suhu tubuh, tekanan darah (bila dapat dilakukan), frekuensi nadi dan pernafasan dalam
satu menit. Lihat pula apakah ada tanda-tanda rangsang meningeal, pemeriksaan nervus
kranial, tanda peningkatan tekanan intra kranial (ubun-ubun besar menonjol, papil
edema), tanda-tanda infeksi di luar sistem saraf pusat (ISPA, ISK, OMA, dan
8
sebagainya), serta pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan fisik yang bermakna akan memenuhi salah satu kriteria diagnosis
0
kejang demam kompleks yaitu peningkatan suhu > 38 C, terdapat fokus infeksi
ekstrakranial, meliputi infeksi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih, dan
8,18
sebagainya, serta tidak ditemukannya defisit neurologis.

3.9.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
kejang demam. Pemeriksaan dapat meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, gula
darah, elektrolit, urinalisis, dan biakan darah, urin, atau feses. Pemeriksaan
serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan
meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.Pemeriksaan
electroenchepalography (EEG) tidak direkomendasikan, namun EEG masih dapat
21
dilakukan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada
anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. Pencitraan (CT Scan atau
MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya kelainan neurologi fokal yang
menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak
7
(mikroensefali).

3.9.4. Indikasi Rawat Inap


Indikasi rawat inap untuk pasien kejang demam adalah pasien dengan kejang
demam kompleks, hiperpireksia, usia dibawah 6 bulan, kejang demam untuk pertama
8
kalinya, dan teradapat kelainan neurologis.

3.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak yang mengalami kejang demam antara
lain kejang demam berulang, epilepsi, Todd paresis, gangguan intelegensia, dan
19,20
hemiparesis.
Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang demam berkisar antara
25 %-50%. Faktor terpenting untuk memperkirakan berulangnya kejang demam adalah
umur anak pada saat kejang terjadi pertama kali. Anak yang mendapatkan kejang
pertama kali pada umur 1 tahun atau kurang mempunyai kemungkinan sebesar 65%
mendapatkan kejang demam kembali. Hal ini berbeda dengan apabila onset kejang
antara umur 1 sampai 2 tahun kemungkinan berulangnya kejang sebesar 35% dan
19
menjadi 20% apabila onset kejangnya setelah 2 tahun.
Anak yang mendapatkan kejang demam risikonya meningkat untuk menjadi
epilepsi dibandingkan dengan anak tanpa riwayat kejang demam. Anak yang
mendapatkan kejang fokal, kejang lama dan episode berulang dari kejang demam
20
memiliki kemungkinan sebesar 25% menjadi epilepsi sampai umur 25 tahun.

Todd Paresis merupakan kelemahan yang terjadi setelah kejang dan timbul
setelah kejang demam 1 kali atau 2 kali. Kelemahan ini biasanya sembuh setelah 24 - 48
19,20
jam atau setelah 1 minggu.

Gangguan intelegensia dapat terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sudah


menderita gangguan neurologis dan gangguan perkembangan. Gangguan belajar dan
kebiasaan, retardasi mental, dan defisit motorik serta koordinasi dilaporkan pada anak
dengan skuele kejang demam. Angka insiden dari komplikasi ini sangat rendah pada
19
anak normal yang mendapatkan kejang demam sederhana.

Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya
sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi
setelah 2 minggu timbul spastisitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 1190
anak yang menderita kejang demam, hanya 0,2 % saja yang mengalami hemiparesis
20
sesudah kejang lama.

3.11. Penatalaksanaan Kejang Demam

3.11.1. Tata Laksana saat Kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
8
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang (Lihat Gambar 1).

Obat yang dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah


diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
21,22
lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme
21,23
tatalaksana status epileptikus.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
8
terapi antikonvulsan profilaksis.
8
Gambar 1. Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus

3.11.2. Pemberian obat pada saat demam

A. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko


terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4
24,25
kali sehari.

B. Antikonvulsan

Pemberian Obat Antikonvulsan Intermiten

Obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya


pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satu faktor risiko yaitu sebagai berikut; kelainan neurologis berat, misalnya palsi
serebral, berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia <6 bulan, bila kejang terjadi
pada suhu tubuh kurang dari 39C, dan apabila pada episode kejang demam
8
sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.1,

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal
0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas,
8,18
serta sedasi.

Pemberian Obat Antikonvulsan Rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan
rumat adalah kejang fokal, kejang lama >15 menit, dan terdapat kelainan neurologis
yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, atau
8,26
hemiparesis.

Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, bukan


merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum
menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik yang bersifat fokal. Pada anak
dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat
8
diberikan terapi antikonvulsan rumat.

Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari
2,18,27
dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak
8,18
sedang demam.

3.12. Prognosis

3.12.1. Kecacatan atau Kelainan Neurologis


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum
maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
2,28
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.

3.12.2. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam Berulang

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga,
usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang dari 39C saat kejang, interval waktu yang
singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang, dan apabila kejang demam
pertama merupakan kejang demam kompleks. Bila seluruh faktor tersebut di atas ada,
kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan
18,29,30
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

3.12.3. Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah terdapat kelainan


neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, kejang
demam kompleks, riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung, dan kejang
demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun. Masing-masing
faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi
dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
3,8
pada kejang demam.

3.12.4. Kematian

Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka


kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
4
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.

3.13. Komunikasi Informasi dan Edukasi

3.13.1. Edukasi pada Orangtua

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya yaitu meyakinkan
orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik, memberitahukan
cara penanganan kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
2
kembali, dan efek samping pemberian profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang.

3.13.2. Edukasi Tatalaksana Kejang untuk Orang Tua

Edukasi mengenai tatalaksana kejang untuk orang tua diberikan sebagai langkah
awal untuk menangani kejang demam pada anak saat berada di rumah. Edukasi yang
dapat diberikan yaitu bila anak mengalami kejang, tetap tenang dan tidak panik,
longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak sadar, posisikan
anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau
hidung. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. Ukur suhu, observasi, dan catat
bentuk dan lama kejang. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang. Berikan
diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan bila
kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh
lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang
1,8
fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.
3.13.3. Vaksinasi

Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang.
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin
(vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait
vaksin (non vaccine-associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11).
Angka kejadian kejang demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak
yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak.
Pada keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan parasetamol
31
profilaksis.

3.14. Standar Kompetensi Dokter Indonesia


Standar kompetensi dokter Indonesia untuk Kejang demam adalah 4A. Lulusan
dokter harus mampu membuat diagnosis klinik kejang demam dan melakukan
32
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
BAB IV ANALISIS
KASUS

Sejak 2 jam SMRS, anak kejang 1x selama 5 menit, kejang terjadi pada kedua
lengan, mata mendelik ke atas (+), mulut berbusa (-), anak tidak sadar saat kejang,
kejang berhenti sendiri dan kemudian anak sadar setelah kejang dan mau makan tapi
o
masih lemas, demam (+) dengan suhu 44 C, kelemahan anggota gerak (-), batuk (+),
pilek (+), mual (-), muntah (-), sesak (-), keluar cairan dari telinga (-), BAB dan BAK
biasa. Anak dibawa berobat ke bidan terdekat dan kemudian dirujuk ke IGD RSUD Bari
Palembang.
Sejak 1 hari SMRS, anak batuk (+) berdahak warna putih kental, pilek (+), demam
(+) tinggi terus menerus, mual (-), muntah (-), sesak (-),keluar cairan dari telinga (-),
makan dan minum biasa, BAB dan BAK biasa. Anak tidak dibawa berobat dan tidak
diberi obat.
Pasien datang dengan kejang disertai demam dapat disebabkan kejang demam,
infeksi sistem saraf pusat, atau epilepsi disertai demam karena infeksi ekstrakranial.
Pasien tidak memiliki riwayat kejang tanpa demam sebelumnya dan tidak memiliki
riwayat keluarga menderita kejang atau epilepsi sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding epilepsi yang disertai demam. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
pasien didapatkan tidak ada penurunan kesadaran sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding ensefalitis, tidak didapatkan gerak rangsang meningeal sehingga
dapat menyingkirkan diagnosis banding meningitis dan, maka dari itu pasien dapat
didiagnosis kejang demam.
Anamnesis dari ibu kandung pasien dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
kejang fokal, dengan frekuensi 5 menit, dengan demam tinggi 1 hari yang lalu, tanpa
penurunan kesadaran setelah kejang sehingga dapat didiagnosis sebagai kejang demam
kompleks. Kejang demam kompleks disebabkan karena penyebab ekstrakranial yang
o
menyebabkan demam tinggi >38 C, seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kemih,
infeksi telinga, dan lain-lain. Pada pasien demam kemungkinan disebabkan karena ada
infeksi saluran nafas atas, yaitu faringitis akut karena didapatkan batuk, pilek, dan
faring hiperemis dalam 1 hari sebelum kejang, walaupun infeksi saluran kemih belum
dapat disingkirkan karena belum dilakukan pemeriksaan urine rutin.
Anemia yang dialami pasien dengan kadar hemoglobin 9,7 g/dL belum dapat
ditentukan jenis anemianya karena belum dilakukan pemeriksaan retikulosit, status besi,
dan gambaran darah tepi. Dari anamnesis dan pemeriksaan tidak ada tanda-tanda
perdarahan, seperti BAB hitam, BAK teh tua, mimisan, muntah darah, batuk darah, gusi
berdarah, bintik-bintik merah pada kulit. Tidak ada juga tanda-tanda anemia hemolitik,
seperti hepatomegali, splenomegali, dan sklera ikterik. Tanda-tanda anemia defisiensi
besi juga tidak didapatkan, seperti chelitis, atropi lidah, dan koilinikia. Dari
pemeriksaan fisik hanya didapatkan adanya konjungtiva pucat dan akral pucat,
sedangkan pemeriksaan feses lengkap untuk melihat apakah ada darah samar pada feses
atau cacing tambang yang dapat menyebabkan anemia juga belum dapat disingkirkan
karena belum dilakukan pemeriksaan feses lengkap. Anemia penyakit kronis juga dapat
disingkirkan karena pasien tidak memiliki penyakit kronis dan tidak ada gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yang biasanya muncul pada anemia kronis.
Berdasarkan studi epidemiologi, anemia yang paling sering pada anak-anak adalah
anemia defisiensi besi sekitar 9% dan paling sering karena intake yang tidak adekuat
akibat tidak mendapat ASI eksklusif dan konsumsi susu formula dini karena susu
formula tidak memiliki kandungan besi yang mudah di absorbsi oleh bayi sehingga
tidak mencukupi kebutuhan bayi, pada pasien ini riwayat ASI eksklusif hanya sampai 3
bulan dan kesannya kualitas makan kurang walaupun kuantitasnya cukup, oleh akrena
33
itu diduga pasien mengalami anemia karena defisiensi besi.
Penatalaksanaan pada pasien yang datang dengan kejang akut dengan sebab apapun
sesuai dengan tatalaksana kejang menurut Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang
Demam IDAI 2016 diberikan diazepam rektal 5 mg pada berat badan <12 kg atau bila
memungkinkan diberikan diazepam secara intravena dengan dosis 0,2-0,5 mg/KgBB
perlahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dengan dosis maksimal
10 mg. Kemudian dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didiagnosis pasien dengan
kejang demam kompleks dan faringitis akut maka diberikan antibiotik karena
o
mempertimbangkan temperatur tubuh pasien yang tinggi 38,3 C, leukosit 18.500/uL,
shift to the left pada differential blood count dengan neutrofil segmen meningkat, yaitu
85%, oleh karena itu dipertimbangkan antibiotik ceftriaxone yang memiliki mekanisme
kerja sprektrum luas dengan dosis 1x500 mg intravena sesuai dengan dosis pada anak
usia 6 bulan -12 tahun dengan berat < 50 kg , yaitu 50mg/KgBB. Pasien juga diberikan
obat antikonvulsan rumatan, yaitu asam valproat sirup 2x cth (2 x 125 mg) dengan
sediaan sirup 250 mg/5 mL, karena sesuai Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang

30
Demam IDAI 2016 diberikan dosis asam valproat 15-40 mg/KgBB dibagi 2 dosis,
sehingga pada pasien ini dengan berat badan 10 kg dapat diberikan 150-400 mg.
Pasien diduga anemia defisiensi besi dapat diberikan terapi besi tanpa konfirmasi
laboratorium untuk therapeutic trial of iron, selain untuk terapi, therapeutic trial of iron
juga dapat digunakan untuk diagnosis defisiensi besi dengan melihat apakah terdapat
perbaikan pada keadaaan umum, status neurologis (24-48 jam), hemoglobin (4-30 hari),
hematokrit, retikulosit (48-72 jam), dan terutama status besi (1-3 bulan) setelah
diberikan terapi besi pada anak dengan dosis 4-6 mg/dL dapat meningkatkan
hemoglobin 0.25-0.4 %/hari atau dapat diberikan besi elemen 7 mg/hari sesuai
R
kebutuhan anak usia 1-3 tahun. Pada pasien diberikan 1x0.6 mL Ferriz drop yang
mengandung 15mg/mL.
Pemberian cairan sesuai kebutuhan pasien berdasarkan holiday segar 100
mL/KgBB, yaitu 1000 mL/24 jam dengan infus set makro yang memiliki faktor tetesan
15 tetes/mL, maka didapatkan 10 tetes/ menit (makro). Pasien ini juga diberikan
paracetamol sebagai antipiretik karena pada kejang demam, kejang dipicu oleh suhu
o
tubuh yang tinggi oleh karena itu bila suhu tubuh 38,3 C diberikan paracetamol
dengan dosis 10-15mg/KgBB/4-6 jam, dengan sediaan sirup 120mg/5mL pada pasien
o
ini diberikan 1 sendok teh (5mL) setiap 6 jam jika suhu tubuh 38,3 C.
Pasien ini dipulangkan setelah 3 hari dirawat karena keadaan umum sudah
membaik, bebas demam, dan tidak ada kejang berulang selama perawatan. Pasien
dipulangkan dengan diresepkan obat antikonvulsan rumatan asam valproat,
paracetamol, dan antibiotik oral, yaitu cefixime 2x cth (sediaan 100 mg/5mL).
Cefixime merupakan salah satu antibiotik golongan sepalosporin generasi ke-3 sama
seperti ceftriaxone dengan dosis pada anak < 50 mg, yaitu 8 mg/KgBB/hari.
Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitamnya bonam karena pada kejang demam
kompleks angka kematian tidak pernah dilaporkan dan pada pasien tidak ada kelainan
fungsional, seperti defisit neurologi dan durasi kejang juga singkat sehingga quo ad
fungsionamnya juga bonam, tapi quo ad sanationamnya dubia ad bonam karena ada
faktor risiko untuk berulangnya kejang demam, yaitu kejang demam pertama kali pada
pasien ini adalah kejang demam komplek walau pasien tidak memiliki riwayat kejang
demam sebelumnya, tidak ada epilesi dalam keluarga, usia lebih dari 12 bulan, kejang
o
tidak terjadi pada suhu < 39 C, interval waktu 1 hari antara awitan demam dengan
terjadinya kejang bisa dikatakan lumayan lama.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Capovilla G, Mastrangelo M, Romeo A, dan Vigevano F. Recommendations for


The Management of Febrile Seizures: Ad Hoc Task Force of LICE Guidelines.
PubMed Journal of Epilepsia. 2009; 50(1):2-6
2. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Febrile Seizures. Journal of
Pediatric. 2011;127(2):389-94.
3. Nelson KB, dan Ellenberg JH. Febrile Seizures. Journal of Pediatric. 1978; 61(5)
:720-727.
4. National Institute of Health. Febrile seizure: Consensus Development Conference
Statement Summary. Journal of Pediatric. 1980;66:1009-1012.
5. Fuadi, Bahtera T, dan Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam
pada Anak. Jurnal Sari Pediatri. 2010;12(3) 142-149.
6. ILAE Guidelines. Commision on Epidemiology and Prognosis, International
League Against Epilepsy. Guidelines for Epidemiologic Studies on Epilepsy.
PubMed Journal of Epilepsia. 1993:34:592-596.
7. Lewis DW. 2011. Neurologi: Kejang (Serangan Paroksisimal). Dalam Ilmu
Kesehatan Anak Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman
RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore: Elsivier. hal. 736-743.
8. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. hal.
1-14.
9. Moe P.G., Seay A.R. 2003. Neurologic and Muscular Disorder dalam Current
Pediatric Diagnosis & Treatment. Edisi ke-16. USA; McGrow-Hill. p 717-745.
10. Gascon G.G., Mikati M.A. 2001. Seizures and Epilepsy dalam Textbook of Clinical
Pediatrics. Philadephia; William & Wilkins. p 1414-1424.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Meningitis Bakterial dalam Pedoman
Pelayanan Medis. Jakarta; Balai Penerbit IDAI. hal: 189-192.
12. Murray, R.K., Granner D.K. 2003. Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya,
Dalam Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. Edisi ke-25. Terjemahan oleh:
Hartono, Andry. Jakarta; EGC. Hal: 501-504.
13. Chen Y, Beder RA, Baram TZ. Novel And Transient Populations Of
Corticotrophin Releasing Hormone Expressing Neurons In Developing
Hippocampus Suggest Unique Functional Roles: A Quantitative Spatiotemporal
Analysis. Journal of Neuroscience In Press. 2001;75(16).p1667-1682.
14. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. Edisi ke-6.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins JR. page. 987-91.
15. Chen Y, Beder RA, Baram TZ. 2001. Novel And Transient Populations Of
Corticotrophin Releasing Hormone Expressing Neurons In Developing
Hippocampus Suggest Unique Functional Roles: A Quantitative Spatiotemporal
Analysis. Journal of Neuroscience In Press. 2003;68(12).p887-899.
16. Hesdorffer DC, Benn EK, Bagiella E, Nordli D, Pellock J, Hinton V, dkk. Febrile
Seizure . Journal of Pediatric Neurology. 2011;70(1):93-100.
17. Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Febrile Seizure. National England
Journal of Medicine. 1987;316:493-8.
18. Darwin, Syarif., Rita Dewi., dan Indra. 2016. Kejang Demam dalam Panduan
Praktik Klinik Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Hal 1-4.
19. Reza M, Eftekhaari TE, Farah M. Febrile Seizures: Faktors Affecting Risk of
Recurrence. Journal of Pediatric Neurology. 2008;2(6).p: 341-344.
20. Berg AT. 2002. Recurrent Febril Seizures dalam Baram FZ, Sinnar., Febril Seizures.
San Diego: Academic Pres. hal.37-49
21. Knudsen FU. Practical Management Approaches to Simple and Complex Febrile
Seizures dalam Baram TZ, Shinnar S, penyunting. San Diego: Academic Press
2002.h.120
22. Bassan H, Barzilay M, Shinnar S, Shorer Z, Matoth I, Gross-Tsur V. Epilepsia.
Epub Journal of Medicine. 2013;54(6).p.1092-1098
23. Fukuyama Y, Seki T, Ohtsuka C, Miura H, Hara M. Brain Dev. Epilepsia. Pubmed
Journal of Medicine. 1996;2(18).p.479-84.
24. Rosenbloom E, Finkelstein Y, Adams-Webber T, dan Kozer E.Eur. Febrile Seizure.
Journal of Pediatric Neurology. 2013;9(17).p.585-588.
25. Offringa M, dan Newton R. Febrile Seizure in Pediatric. PubMed Journal of
Epilepsy. 2012;9(18).p.187-193
26. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-Term Treatment of
The Child with Simple Febrile Seizures. Journal of Pediatric. 1999;103(3).p.1307
27. American Academy of Pediatrics. Committee on Drugs. Journal of Pediatric.
1995;96(40).p.538
28. Martinos MM, Yoong M, Patil S, Chin RF, Neville BG, dan Scott RC, dkk. Epub
Journal of Brain Develompent. 2012;3(17).p.3153.
29. Berg AT, Shinnar S, Darefsky AS, Holford TR, Shapiro ED, Salomon ME, dkk.
Arch Pediatr Adolesc Med. 1997;8(151).p.371-378
30. Pavlidou E, Tzitiridou M, Kontopoulos E, dan Panteliadis CP. Epileptic Seizure.
Epub Journal of Brain Develompent. 2008;30(2).p.7-13
31. Taratof SY, Tseng HF, Liu AL, Qian L, Hechter RC, dan Marcy SM. Vaccine.
Epub Journal of Medicine. 2014 2(22).p.2574
32. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi
ke-2. Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta. Hal.32-33.
33. Scott JP. 2011. Hematologi: Anemia. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial
Nelson. Edisi Keenam. Editor: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman
RE. Singapore: Elsivier. hal. 694-709.

Anda mungkin juga menyukai