Anda di halaman 1dari 9

Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit Kualitas 71

Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit


Kualitas

Rudol Chrysoekamto
Dosen di PPS Al Khoziny Buduran Sidoarjo

Abstract
School based-management (MBS) is a managerial principle that is
considered can improve the quality spirit. School management that is well
established will certainly lead to a quality achievement. As a result, MBS is
reasonable to be developed to foster the spirit of decent quality.

Keywords: School-based management, Quality

PENDAHULUAN
Saat ini bangsa Indonesia sedang berada pada era transisi menuju
demokratisasi. Implementasi demkrasi diharapkan membawa angin segar
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu produk kehidupan
demokrasi adalah bergulirnya wacana otonomi daerah. Semangat otonomi
daerah diyakini mampu menciptakan kesejahteraan, kebebasan berpikir-
berekspresi, dan kebaikan bersama.
Menurut UU No. 22 tahun 1999, daerah otonom ditunjukkan tidak adanya
atasan dan tidak ada bawahan langsung, serta mempunyai wewenang; 1)
inisiatif sendiri, 2) kebijakan sendiri, 3) perencanaan sendiri, 4)
pengaturan sendiri, 5) keuangan sendiri, 6) pelaksanaan sendiri.
Kewenangan tersebut tidak berhenti dalam tataran konsep tapi telah
sampai pada pelaksanaan program pembangunan daerah kabupaten/kota.
Khusus dalam bidang pendidikan, implikasi penting dari otonomi daerah
adalah adanya kewenangan bagi setiap daerah untuk mengembangkan
pendidikan pada sekolah-sekolah yang ada di daerah. Daerah harus
memberi kewenangan pada sekolah untuk melakukan pengelolaan
pendidikan melalui konsep dan penerapan manajemen berbasis sekolah.
Gema otonomi yang merembes pada institusi pendidikan, telah direspon
para pakar dan praktisi pendidikan dengan bergerak secara cepat dalam
upaya mengimplementasikan otonomi pendidikan di sekolah. Secara cepat
Departemen Pendidikan Nasional, melalui mesin penggeraknya
Mendiknas melakukan upaya menata sistem pendidikan yang relevan
dengan tuntutan zaman, adaptif dan memiliki prospek bagi peserta didik.
Idealnya pendidikan sekolah memang harus dapat memenuhi tuntutan
yang berkembang di masyarakat, sehingga keluaran lembaga pendidikan
dapat menjawab tantangan kehidupan era global. Masyarakat
mengharapkan lulusan pendidikan sekolah memiliki keterampilan yang
memadai dalam bidangnya. Keterampilan ini akan menunjang profesinya
dan menjadikan mereka berproduktivitas tinggi dalam pekerjaannya.

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


72 Rudol Chrysoekamto

Keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya


menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem
pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi
lulusannya untuk menghadapi kehidupan (Fadjar, 2001). Namun
kenyataannya, sampai saat ini diakui bahwa lembaga pendidikan belum
dapat berbuat banyak terhadap berbagai tuntutan tersebut. Beragam alasan
atau argumentasi yang dikemukakan, dari kurangnya sarana dan prasarana,
sistem pembelajaran yang kurang variatif, manajemen sekolah yang
sentralistik, sampai dengan gaji guru yang dianggap terlalu rendah. Alasan
klasik tersebut memang dapat diterima, namun yang menjadi pertanyaan
adalah apakah ya, jika tuntutan tersebut dipenuhi secara otomatis kualitas
pendidikan akan meningkat? Penulis menjadi ragu untuk menjawabnya.
Tulisan sederhana ini tidak dimaksudkan untuk berpolemik, tapi akan
lebih terfokuskan pada upaya meningkatkan kualitas sekolah melalui
MBS. Strategi implementasi MBS masih dianggap penting untuk
disosialisasikan ke sekolah-sekolah. Penyamaan persepsi dan sosialisasi
tentang model MBS harus terus dilakukan melalui forum lokakarya,
seminar, pelatihan atau media yang lainnya. Model MBS yang dianggap
relevan dengan semangat otonomi daerah hendaknya terus dikembangkan
sehingga pengelolaan sekolah lebih demokratis dan berorientasi masa
depan. Pembahasan ini dianggap penting, dengan pertimbangan bahwa
hadirnya otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota harus dibarengi oleh
adanya pendidikan yang berkualitas. Melalui penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas diharapkan dapat melahirkan SDM yang kompetitif
sehingga mampu mengelola sumber daya lokal secara optimal.

KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah strategi untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional yang masih rendah. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh
perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik.
MBS merupakan paradigma dan bentuk baru pengelolaan yang menjamin
lembaga pendidikan memiliki otonomi yang luas dalam mengelola sumber
dayanya dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, tetapi tidak
mengabaikan kebijakan nasional. Ini searah dengan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan merupakan bidang yang
didesentralisasikan. Sehingga kewenangan bidang pendidikan dan
kebudayaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, kabupaten atau
kota.1 Maka pengambilan keputusan tentang pendidikan akan banyak
dilakukan di tingkat ini.
MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang
lebih baik dan memadai bagi mahasiswa. Adanya otonomi dalam
pengelolaan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja
1
Kompas 27 juli 2001, h. 9

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit Kualitas 73

para stafnya. Konsep ini menawarkan partisipasi langsung kelompok-


kelompok terkait, dan pada akhirnya meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap pendidikan. Ini mengandung tujuan untuk meningkatkan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui
keleluasaan dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) maupun sumber
daya alam (SDA), partisipasi masyarakat, serta penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu bisa dicapai dengan melibatkan partisipasi orang tua
terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan
profesionalisme guru dan kepal sekolah. Peningkatan pemerataan dapat
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat, sehingga
memungkinkan pemerintah untuk lebih berkonsentrasi pada kelompok yang
tidak mampu ditangani sekolah saja.
Dari berbagai literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa implementasi
MBS akan berhasil dengan strategi-strategi berikut; Pertama, sekolah harus
memiliki otonomi terhadap empat hal; 1. Kekuasaan dan kewenangan, 2.
Pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan, 3. Akses oinformasi
ke segala bagian, dan 4. Pemberian penghargaan kepada setiap orang yang
berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam
pembiayaan dan proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum. Ketiga,
diperlukan kepemimpinan sekolah yang mampu menggerakkan dan
mendayagunakan sumber daya sekolah secara efektif. Keempat, adanya
proses pengambilan keputusan yang demokratis di dewan sekolah. Kelima,
semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara
sungguh-sungguh. Keenam, adanya guidelines yang tidak terlalu mengikat
dari pihak-pihak (dan departemen) terkait sehingga mampu mendorong
proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Ketujuh,
transparansi dan akuntabilitas yang harus diwujudkan sekolah dalam
laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya. Kedelapan, MBS hraus
diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, dan lebih khusus lagi
peningkatan pencapaian belajar mahasiswa. Kesembilan implementasinya
diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-
masing, serta mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya.
Melihat kompleksitas permasalahan dalam pendidikan, lebih-lebih untuk
negara sebesar Indonesia yang heterogen, pelaksanaan MBS memerlukan
pentahapan dan perencanaan yang matang. Kita tentu menyadari, bahwa
MBS bukan satu-satunya jawaban atas permasalahan pendidikan yang
dihadapi, namun hanya merupakan jawaban dari kebekuan dan kekakuan
manajemen yang selama ini dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya pasti akan
menemui benturan-benturan, karena merubah mental masyarakat yang
sudah selama ini terpola tidak mudah. Langkah awal yang barangkali dapat
diambil adalah dengan mempublikasikan model MBS melalui media massa
untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan masyarakat luas.
Pada beberapa dekade akhir menjelang abad ke 21 telah terjadi perubahan-
perubahan, yang berpengaruh terhadap dunia pendidikan, baik secara

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


74 Rudol Chrysoekamto

langsung maupun tidak langsung. Perubahan ini meliputi 1. Lingkungan


ekonomi, sosial, dan Iptek, 2. Lingkungan dunia kerja, 3. Harapan
konsumen dan pelanggan, 4. Harapan pekerja. Dalam memasuki abad ke 21
setiap organisasi yang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan dan
tantangan global akan menjadi Dinosaurus. Maksudnya bahwa organisasi
yang tidak dapat menjaga eksistensinya dalam persaingan global, akan
hilang tinggal nama. Sebaliknya organisasi akan lestari dalam era tuntutan
global adalah organisasi yang mampu beradaptasi dan mewujudkan dirinya
sebagai species yang disebut the Learning organization atau organisasi
pembelajar yaitu organisasi yang senantiasa belajar dan terus belajar.
Suatu Learning Organization akan memiliki kecakapan untuk; 1. Antisipasi
dan adaptasi yang lebih siap terhadap dampak lingkungan, 2. percepatan
mengembangkan hasil, proses, dan layanan baru, 3. Menjadi lebih cakap
belajar dari pesaing dan mitra kerja, 4. Melancarkan transfer pengetahuan
dari satu bagian organisasi ke bagian lainnya, 5. Belajar secara efektif dari
kesalahan-kesalahan sendiri, 6. Memberdayakan sumber daya manusia pada
setiap jenjang organisasi, 7. Mempersingkat waktu yang diperlukan untuk
menerapkan perubahan strategis, dan 8. Merangsang perbaikan yang terus
menerus pada setiap bidang dan jenjang organisasi.
Dengan ciri-ciri tersebut bahwa Learning Organization merupakan
organisasi yang secara berkesinambungan melakukan transformasi dirinya
untuk mengelola lebih baik pengetahuan, penggunaan teknologi, sumber
daya manusia, perluasan pembelajaran, untuk adaptasi dalam perubahan
lingkungan. Konsep ini memang dimaksudkan sebagai organisasi dalam
bisnis dan industri. Namun sangat relevan apabila diterapkan dalam
organisasi sekolah/madrasah agar tidak menjadi dinaosaurus yang punah
akibat tak mampu beradaptasi dengan perkembangan. Dengan rujukan ini,
maka sekolah/madrasah harus mereformasi diri secara holistic dalam
berbagai aspek dan dimensi seperti ketentuan hukum, manajemen,
kepemimpinan, sarana dan prasarana, proses pembelajaran, materi
pendidikan, sumber dana, dan sumber daya manusianya.
Dalam dokumen Unesco 1998 World Declaration On Higher Education for
the Twenty First Century; Vision and Action, yang terdiri atas 17 pasal
berkenaan dengan misi dan fungsi pendidikan tinggi, visi baru pendidikan
tinggi, dan tindakan pendidikan tinggi di abad 21. Dalam deklarasi itu, misi
pendidikan adalah melakukan pendidikan, pelatihan, dan penelitian,
sedangkan fungsinya adalah peran, tanggung jawab, otonomi, dan
antisipatori etika. Selanjutnya pendidikan diharapkan mampu membentuk
visi baru yang mencakup; 1. Keadilan akses, memperluas partisipasi dan
meningkatkan peran wanita, memperluas pengetahuan melalui penelitian
dalam sains, seni, dan kemanusiaan serta mendesiminasi hasil-hasilnya, 2.
Orientasi jangka panjang berdasarkan relevansi, 3. Memperkuat hubungan
dengan dunia kerja, menganalisa dan mengantisipasi kebutuhan masyarakat,
4. Keaneka ragaman untuk meningkatkan keadilan dan kesempatan, 5.

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit Kualitas 75

Tenaga kependidikan dan mahasiswa sebagai pelaku utama, dan 6.


Pendekatan inovasi pendidikan, berpikir kritis, dan kreativitas.
Ditekankan dalam deklarasi tersebut; Dari Visi Ke Tindakan dalam hal-
hal; 1. Evaluasi kualitatif, 2. Potensial dan tantangan teknologi, 3.
Memperkuat manajemen dan pembiayaan pendidikan tinggi, 4. Pembiayaan
pendidikan tinggi sebagai pelayanan publik, 5. Berbagai pengalaman dalam
lintas batas dan lintas kontinen, 6. Dari brain dain ke brain gain, atau dari
kehilangan tenaga ahli ke mendapatkan tenaga ahli, dan 7. Kemitraan dan
aliansi.
Selanjutnya, manajemen boleh diartikan sebagai proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atau pengendalian pelbagai
aktifitas anggota atau karyawan dalam kaitannya dengan sumber-sumber
organisasi yang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi
(The proses of planning, organizing, directing, and controlling the activities
of employees in combination with other organization resources to
accomplish stated organizational objectivies). Jika sekolah/madrasah
memahami dan menyadari sepenuhnya dampak era globalisasi dan
liberalisasi pendidikan akhir-akhir ini yang menuntut persaingan
sekolah/madrasah semakin tajam, sekolah/madrasah seharusnya mampu
mengubah paradigmanya, dari traditional learning ke knowledge creator
dan moral force, dari random planning ke strategic planning, dan dari
comparative ke competitive. Dengan paradigma itu, sekolah/madrasah
seharusnya meninggalkan era pengelolaan tradisional berubah ke cara
pengelolaan yang baik (good governance) sebagaimana tercantum dalam
Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010: in setting
up its governance individual institution should seriously adopt the
principles of good governance. Sistem pengelolaan semacam itu diharapkan
bisa memuaskan dan lebih meyakinkan stakeholders, sehingga
sekolah/madrasah dapat dikelola dengan menerapkan good corporate
governance (GCG).
Sesuai paradigma tersebut, sistem pengelolaan sekolah/madrasah sekarang
ini sedang berada pada masa transisi. Namun kesadaran akan masa transisi
oleh pimpinan sekolah/madrasah ini sepenuhnya belum diikuti oleh lapisan
di bawahnya. Bahkan masih ada sebagian pimpinan yang malah belum
menyadari peralihan ini. Oleh karena itu, penerapan GCG yang prinsip-
prinsipnya adalah fairness, tranparancy, responsibility, dan accountability,
menjadi sebuah pekerjaan besar bagi manajemen sekolah/madrasah. Itulah
sebabnya wacana-wacana pengelolaan yang mengacu pada empat pilar
GCG di atas menjadi sangat sulit ketika sampai pada dataran pengambilan
keputusan, dan lebih-lebih tahap implementasinya. Seringkali akibatnya
terjadi berbagai dilema, dan menjadi komplek ketika institusi tsb dikelola
oleh yayasan yang bercirikan Islam Sebab dalam yayasan semacam ini
pada umumnya selalu ada ambivalensi antara paradigma sosial-keagamaan
dengan paradigma manajemen profesional. Muqodim menjelaskan

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


76 Rudol Chrysoekamto

ambivalensi yang berbentuk benturan dan pergolakan antara paradigma baru


berupa pemikiran progresif untuk mengelola sekolah/madrasah atas dasar
manajemen profesional dengan paradigma lama untuk tetap mengelola
sekolah/madrasah atas dasar manajemen konvensional. Dari sisi
manajemen, masalah dari wacana ke wacana tanpa ada keputusan, apalagi
implementasi, yang secara pelan tapi pasti akan menghambat kemajuan
sekolah/madrasah yang bercirikan Islam. Sering terjadi banyak hal baik
tentang Islam tidak bisa diwujudkan secara aktual di sekolah/madrasah
Islam. Karena itu sudah waktunya umat lebih jujur melakukan koreksi dan
kritik internal, karena jika hal ini tidak segera disadari maka akibatnya
sekolah/madrasah Islam yang sudah mapan sekalipun akan kalah bersaing
atau semakin ketinggalan jauh dari sekolah/madrasah lain.
Inti dari perubahan manajemen yang dimaksud ada dua hal: (1) change atau
perubahan itu sendiri, artinya manajemen harus mampu untuk merubah atau
menghilangkan sisi kelemahan menuju sisi kekuatan, perubahan dari model
manajemen konvensial dan apa adanya ke pengelolaan profesional, dan (2)
continuity atau going concern yang berarti kesinambungan atas sisi
kekuatan tsb dengan paradigma continous improvement.
Manajemen harus dikendalikan oleh seperangkat peraturan, sistem
manajemen, pengendalian, serta etika organisasi. Dalam pengelolaan
perusahaan (profit) atau organisasi nirlaba diperlukan prinsip seperti
fairness, tranparancy, responsibility, dan accountability, dan praktek yang
menghendaki adanya suatu upaya untuk melindungi dan menyeimbangkan
kepentingan antara berbagai kepentingan stakeholders. Dengan penerapan
prinsip-prinsip di atas maka akan terbangun mekanisme check and balance
yang bermuara pada pengendalian internal dan sistem audit yang efektif
serta sistem pelaporan yang reliable dari berbagai unit organisasi kepada
pihak yang berkepentingan.
Bukti empirik menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional
masih dilakukan secara sentralistik. Model sentralistik menempatkan
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang sangat tergantung pada
keputusan birokrasi, yang memiliki mata rantai amat panjang dan sering
kehilangan relevansi dengan kondisi sekolah. Dalam keadaan demikian,
sekolah menjadi kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya wacana otonomi daerah, maka konsekuensi
logis bagi manajemen pendidikan adalah melakukan pergeseran paradigma.
Paradigma baru manajemen pendidikan harus lebih otonom dan demokratis.
Model MBS pada dasarnya merupakan perwujudan dari pola baru
manajemen pendidikan di sekolah. Paradigma baru manajemen pendidikan
memberikan wewenang yang lebih besar (otonomi) pada sekolah dalam
pengelolaan institusinya, pengambilan keputusan akan dilakukan secara
partisipatif, dengan melibatkan masyarakat sebagai stakeholder, pendekatan
profesionalisme lebih diutamakan dibanding dengan pendekatan birokratik,

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit Kualitas 77

pengelolaan sekolah bersifat desentralistik, perubahan sekolah lebih


didorong oleh motivasi diri (self motivation) sekolah bukan diatur oleh
kekuatan luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat
bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan
menjadi memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko,
dari kompetisi menjadi kolaborasi, informasi yang terbagi ke semua
kelompok kepentingan sekolah, mengutamakan pemberdayaan, dan struktur
organisasi yang horisontal sehingga lebih sederhana dan efisien.
Esensi MBS adalah adanya otonomi sekolah dan pengambilan keputusan
partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi berarti
kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Otonomi sekolah bermakna hadirnya kewenangan
sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah. Kemandirian tersebut
harus didukung oleh kemampuan mengambil keputusan yang terbaik,
kamampuan mengembangkan demokrasi dengan menghargai perbedaan
pendapat atau ide, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan
melaksanakan program kerja, kemampuan membangun komunikasi (baik
internal maupun eksternal), kemampuan memecahkan persoalan,
kemampuan bersinergi dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri
(Nolan, 1989).
Pengambilan keputusan partisipatif merupakan strategi mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik.
Situasi tersebut mendorong komunitas sekolah (guru, siswa, karyawan,
orang tua siswa, tokoh masyarakat) untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan demi pencapaian tujuan sekolah. Model partisipatori akan
berdampak pada rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa bertanggung
jawab (sense of responsibility) terhadap sekolah (Sukidin, 2002).
Model MBS memiliki relevansi dengan pendidikan humanis, yang sekarang
dikemas dalam bentuk pendidikan HAM (Hak Asasi Manusia). Pendekatan
kultural menjadi karakteristik pendidikan humanis. Pendidikan humanis
bertujuan memanusiakan manusia agar lebih manusiawi. Manusia masa
depan harus memiliki watak berbudaya, toleran, mengapresiasi perbedaan,
dan berorientasi multikultural. Semangat MBS adalah kebersamaan dan
kolaborasi, bukan kompetisi.
Dalam upaya mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional
diperlukan berbagai strategi. Salah satu strategi pembangunan pendidikan
yang digagas adalah penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah
(school-based management). Model MBS dipilih karena diyakini dapat
mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan. Ciri-ciri MBS adalah
adanya otonomi yang kuat pada level sekolah, peran aktif masyarakat dalam
pendidikan, proses pengambilan keputusan yang demokratis dan
berkeadilan dan menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi dalam
setiap kegiatan pendidikan (Nurkolis, 2001).

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


78 Rudol Chrysoekamto

Perlu dicermati kembali bahwa tujuan utama MBS adalah meningkatkan


kinerja sekolah, khususnya meningkatkan performance dan hasil belajar
siswa. Terdapat berbagai tips dalam penerapan MBS, seperti kajian Oswald
(1995), Kubick (1988), Wohlstetter (1996) dan Peterson (1991), yang dapat
disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi
berikut. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu
(1) memiliki kekuasaan dan kewenangan, (2) pengembangan pengetahuan
yang berkesinambungan, (3) akses informasi ke segala bagian, (4)
pemberian penghargaan kepada setiap orang yang berprestasi. Kedua,
hadirnya peran aktif masyarakat dalam hal pembiayaan, proses pengambilan
keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non-instruksional.
Ketiga, adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan
dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Keempat,
adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan
dewan sekolah yang aktif. Kelima, adanya guidelines dari departemen
terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara
efektif dan efisien. Bentuk guidelines jangan sampai mengekang dan
membelenggu sekolah. Keenam, sekolah harus memiliki transparansi dan
akuntabilitas. Terakhir, implementasi MBS diawali dari sosialisasi konsep
MBS, identifikasi peran masing-masing, mengadakan pelatihan terhadap
peran baru yang akan dilakukan, implementasi proses pembelajaran,
evaluasi atas pelaksanaan dan upaya kearah perbaikan.
Pelaksanaan MBS diyakini dapat memberi kontribusi pada empat aspek
kinerja pendidikan, yaitu meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya,
meningkatkan profesionalisme guru, implementasi reformasi kurikulum dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Dengan demikian,
dapat diambil kesimpulan bahwa manfaat strategis MBS adalah: 1) sekolah
dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia, karena lebih mengetahui
peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. 2) sekolah
lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input dan output
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta
didik. 3) pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat
memenuhi kebutuhan sekolah, karena sekolah lebih mengetahui yang
terbaik bagi sekolahnya. 4) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan
keputusan, dapat menciptakan transparansi dan iklim demokrasi. 5) sekolah
bertanggung jawab tentang mutu pendidikan pada pemerintah, orang tua,
peserta didik dan masyarakat. 6) sekolah dapat merespon aspirasi
masyarakat yang terus mengalami perubahan dengan pendekatan yang tepat.
Sebagai catatan akhir perlu disampaikan bahwa indikator keberhasilan
implementasi MBS meliputi: (1) efektivitas proses pembelajaran, (2)
kepemimpinan sekolah yang kuat, (3) pengelolaan tenaga kependidikan
yang efektif, (4) sekolah memiliki budaya mutu, (5) sekolah memiliki
teamwork yang solid, cerdas, dan dinamis, (6) sekolah memiliki

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79


Manajemen Berbasis Sekolah dan Penumbuhan Spirit Kualitas 79

kemandirian, (7) partisipasi warga sekolah dan masyarakat, (8) sekolah


memiliki transparansi, akuntabilitas, dan sustainabilitas, (9) sekolah
memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik), (10) sekolah
responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, (11) sekolah memiliki sistem
evaluasi yang mantap dan perbaikan yang berkelanjutan.

KESIMPULAN
Membincangkan fenomena pendidikan memang akan selalu menarik dan
aktual. Terlebih pada era global ini, dunia pendidikan sedang dihadapkan
pada kondisi dan masalah yang rumit dan kompleks. Hadirnya budaya asing
yang membahayakan memudarnya budaya bangsa Indonesia, perkembangan
teknologi dan komunikasi yang berat untuk sekedar diikuti, rendahnya
kualitas pendidikan, sampai persoalan UU Sistem Pendidikan Nasional yang
masih dianggap bermasalah. Persoalan tersebut hadir bersamaan dengan
munculnya wacana otonomi daerah.
Dalam upaya melaksanakan amanat otonomi daerah, pemikiran tentang
penerapan konsep MBS diharapkan dapat menyumbang kearah perbaikan
kualitas pendidikan sekolah (khususnya di kabupaten Banyuwangi). Konsep
MBS bukan satu-satunya resep mujarab yang dapat memecahkan seluruh
problem pendidikan, tetapi setidaknya merupakan gagasan alternatif yang
layak direnungkan dan selanjutnya dilaksanakan secara baik di dunia
pendidikan. Mudah-mudahan agenda pemikiran sederhana ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam mengemban tugas di bidang
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik Fadjar, 2001, Pendidikan Membekali Lulusan Menghadapi
Kehidupan, dalam Kompas, 15 September 2001.
Diknas, 2001, Program Latihan MBS, Proyek Perluasan dan Peningkatan
Mutu SLTP.
Nalon, B.C, 1989, Management of Change, Armidale: A.C.A.E Publication.
Nurkolis, 2001, Strategi Sukses Implementasi MBS, dalam Kompas 27 Juli
2001.
Sukidin, 2002, Manajemen Penelitian Tindakan Kelas, Surabaya: Insan
Cendekia.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Jurnal Progress Vol. 1 No. 1, 2012:71-79

Anda mungkin juga menyukai