Anda di halaman 1dari 20

A.

Model Pembelajaran Inquiry


Belajar adalah suatu proses yang pasti akan terjadi dan dialami secara langsung oleh
individu untuk memperoleh hal yang baru. Belajar juga merupakan suatu usaha untuk
mengembangkan pengetahuan kognitif melibatkan mental dan pikiran yang memiliki rasa
ingin tahu sehingga dari tidak tahu menjadi tahu.
Menurut Teori belajar kognitif disebutkan bahwa belajar itu tak hanya sekadar
menghafal serta menumpuk ilmu pengetahuan, tapi secara lebih jauh belajar adalah proses
memperoleh pengetahuan melalui keterampilan berpikir. Belajar bagi teori kognitif adalah
proses yang melibatkan mental dan pikiran dengan memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki. Ada proses pengolahan kognisi yang ditempa dengan keterampilan berpikir.
Menurut Piaget teori ini akan mempunyai makna jika dicari dan diselidiki secara
mandiri oleh siswa. Sejak kecil manusia sudah berusaha untuk mengembangkan pengetahuan
melalui skema yang terdapat dalam struktur kognitif. Skema itu akan selalu mengalami
proses pembaruan demi pembaruan sesuai dengan intensitas berpikir (Hartono, 2014: 63).
Pembelajaran sains termasuk fisika, lebih menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa, sehingga ilmu yang didapatkannaya
akan lebih mudah diingat. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santoso (2007:
160), sebagaimana dikutip oleh Yulianti, D. & Wiyanto (2009: 2), pembelajaran dengan
pengembangan pengalaman langsung dan kondisi nyata (real world) akan menghasilkan
pengetahuan yang mudah diingat dan bertahan lama. Ketika pembelajaran, siswa diarahkan
untuk mencari tahu dari suatu permasalahan yang diberikan guru sehingga siswa terlibat
secara aktif dalam mengamati, mengoperasikan alat, atau berlatih menggunakan objek
konkret sebagai bagian dari pelajaran. Materi pembelajaran yang diberikan secara nyata
melalui pengalaman langsung akan mudah diterima dan diingat oleh siswa.
Fisika berfungsi sebagai alat mengembangkan pola pikir dan ilmu pengetahuan,
menyatakan bahwa inti pembelajaran fisika meliputi keterampilan proses sains yaitu
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan percobaan,
interpretasi data, mengkomunikasikan perolehan (Yulianti dan Wiyanto, 2009: 2). Belajar
fisika tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam
bentuk pengetahuan tetapi belajar tentang fenomena alam yang satu dengan fenomena alam
yang lain sehingga keseluruhannya membentuk suatu sudut pandang baru tentang objek yang
diamati. Salah satu kunci pembelajaran fisika adalah pembelajaran harus melibatkan siswa
secara aktif untuk berinteraksi dengan objek yang konkret.
Berdasarkan uraian di atas maka definisi pembelajaran fisika yang digunakan dalam
penelitian ini adalah upaya terencana mewujudkan proses belajar fisika secara optimal untuk
memudahkan siswa memahami materi dan akan lebih mudah diingat dalam memori siswa.
1. Model Pembelajaran Inquiry
Pembelajaran inkuiri adalah tentang menyelidiki, menemukan, dan akhirnya
mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Pembelajaran ini memiliki sejumlah
langkah mencakup aktif mengidentifikasi topik atau masalah, membangkitkan jawaban
sebuah percobaan, menyelidiki masalah dengan melakukan percobaan yang relevan,
berpikir kritis tentang masalah, menjawab pertanyaan dari dugaan sementara, menarik
kesimpulan dan melakukan pembelajaran inkuiri (Vajoczki, 2011:4-5).
Beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri yang
diungkapkan oleh Sanjaya (2006: 196) adalah menekankan kepada aktivitas siswa secara
maksimal untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang
dipertanyakan, mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis.
Sundand Trowbridge sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2013:109)
mengemukakan tiga macam model pembelajaran inkuiri yaitu inkuiri terbimbing, inkuiri
bebas, dan inkuiri bebas yang dimodifikasi:
1) Inkuiri terbimbing(guided inquiry)
Pada inkuiri terbimbing pelaksanaan penyelidikan dilakukan oleh siswa
berdasarkan pedoman yang diberikan oleh guru.Pedoman yang diberikan umumnya
berupa pertanyaan-pertanyaan yang membimbing. Selanjutnya siswa melakukan
percobaan percobaan untuk mencari penyelesaian permasalahan yang
dikemukakan guru. Hal ini guru memberikan bimbingan dan pengarahan yang
cukup luas. Pada tahap awal bimbingan lebih banyak diberikan, dan sedikit demi
sedikit dikurangi sesuai dengan perkembangan pengalaman peserta didik. Peserta
didik tidak merumuskan permasalahan sendiri.Petunjuk yang cukup luas tentang
bagaimana menyusun dan mencatat data diberikan oleh guru.
Inkuiri jenis ini cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran mengenai
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasar dalam bidang ilmu tertentu.
Orlich, et al. (1998) menyatakan ada beberapa karakteristik dari inkuiri terbimbing
yang perlu diperhatikan yaitu:
a) Siswa mengembangkan kemampuan berpikir melalui observasi spesifik hingga
membuat inferensi atau generalisasi;
b) Sasarannya adalah mempelajari proses mengamati kejadian atau objek kemudian
menyusun generalisasi yang sesuai;
c) Guru mengontrol bagian tertentu dari pembelajaran misalnya kejadian, data,
materi dan berperan sebagai pemimpin kelas;
d) Tiap-tiap siswa berusaha untuk membangun pola yang bermakna berdasarkan
hasil observasi di dalam kelas;
e) Kelas diharapkan berfungsi sebagai laboratorium pembelajaran;
f) Biasanya sejumlah generalisasi tertentu akan diperoleh dari siswa;
g) Guru memotivasi semua siswa untuk mengomunikasikan hasil generalisasinya
sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh siswa dalam kelas (Anam, 2015: 18).
2) Inkuiri bebas yang dimodifikasi (modified free inquiry)
Pada inkuiri ini guru memberikan permasalahan atau problem dan kemudian
peserta didik diminta untuk melakukan penyelidikan untuk membuktikan
kebenarannya dengan konsep atau teori yang sudah dipahami sebelumnya.
3) Inkuiri bebas (free inquiry),
Pada inkuiri bebas peserta didik melakukan penelitian sendiri bagaikan
seorang ilmuan. Pada pengajaran ini masalah dirumuskan sendiri, eksperiman
penyelidikan dilakukan sendiri, dan kesimpulan konsep diperoleh sendiri. Beberapa
karakteristik yang menandai kegiatan inkuiri bebas adalah:
(a) siswa mengembangkan kemampuannya dalam melakukan observasi khusus
untuk membuat inferensi;
(b) sasaran belajar adalah proses pengamatan kejadian, obyek dan data yang
kemudian mengarahkan pada perangkat generalisasi yang sesuai;
(c) guru hanya mengontrol ketersediaan materi dan menyarankan materi inisiasi;
(d) dari materi yang tersedia, siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa
bimbingan guru;
(e) ketersediaan materi di dalam kelas menjadi penting agar kelas dapat berfungsi
sebagai laboratorium;
(f) kebermaknaan didapat oleh siswa melalui observasi dan inferensi seta melalui
interaksi dengan siswa lain;
(g) guru tidak membatasi generalisasi yang dibuat oleh siswa, dan
(h) guru mendorong siswa untuk mengkomunikasikan generalisasi yang dibuat
sehinggga dapat bermanfaat bagi semua siswa dalam kelas. (Anam, 2015: 20)
2. Guided Inquiry
Model pembelajaran guided inquiry merupakan model pembelajaran dimana
siswa memperoleh pengetahuan sendiri dibawah bimbingan intensif dari guru.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Anam (2015:17) Model inkuiri terbimbing (guided
inquiry) adalah suatu rangkaian atau tahapan belajar dimana siswa belajar (bukan hanya
duduk, mendengarkan lalu menulis) untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang
dikemukakan oleh guru di bawah bimbingan yang intensif dari guru. Tugas guru lebih
seperti memancing siswa untuk melakukan sesuatu. Artinya guru pada saat datang
proses belajar mengajar membawa masalah untuk dipecahkan oleh siswa,kemudian guru
juga membimbing siswa untuk menemukan cara yang terbaik dalam memecahkan
masalah tersebut.
Kegiatan laboratorium inkuiri ini berbeda dengan kegiatan laboratorium regular.
Perbedaan kegiatan laboratorium regular dan inkuiri sebagaimana disampaikan oleh
Wenning (2006) diperlihatkan pada tabel 1.1
Tabel 1 Perbedaan Eksperimen Structured Inquiry (Reguler) dan Kegiatan
Eksperimen Guided Inquiry
No Praktikum Reguler: Laboratorium Inkuiri:
1 Langkah instruksi disusun tahap Kegiatan disusun dalam
demi tahap pertanyaan yang membimbing
2 Kegiatan siswa fokus untuk Kegiatan siswa fokus dalam
memverifikasi informasi mengumpulkan data untuk
menemukan konsep.
3 Memberikan pengalaman implisit Memberikan pengalaman
dalam melaksanakan prosedur eksplisit secara mandiri dalam
ilmiah melaksanakan prosedur ilmiah
4 Tidak memberi kesempatan siswa Memberi kesempatan siswa
untuk menghadapi kesalahan untuk belajar dari kesalahannya
dalam pelaksanaan kegiatan
(Wenning, 2006)
Pada kegiatan laboratorium guided inquiry, guru tidak menjelaskan terlebih
dahulu konsep yang akan dipelajari sehingga siswa belum tahu hasil dari kegiatan yang
akan mereka lakukan. Kegiatan laboratorium inkuiri ini melatih siswa untuk berpikir
induktif yang sangat membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan umum
tentang konsep yang akan dipelajari dari suatu gejala fisis.
Menurut Wenning (2007: 3) kegiatan inkuiri bukan sekedar melaksanakan
kegiatan eksperimen tetapi lebih menekankan pada imajinasi dan kemampuan siswa
untuk menemukan bukti empiris. Untuk siswa yang belum memiliki pengalaman inkuiri,
yang tepat untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan inkuiri
terbimbing. Pada inkuiri terbimbing siswa memperoleh petunjuk-petunjuk yang tidak
berupa resep atau pertanyaan yang bersifat membimbing.
Guided Inquiry merupakan kegiatan memecahkan masalah yang ada (problem
solving) dengan kemampuannya sendiri peran guru sebagai fasilitator dengan memancing
siswa untuk melakukan sesuatu. Tugas siswa melakukan proses inkuiri dengan bimbingan
guru. Pembelajaran guided inquiry membimbing siswa untuk memiliki tanggung jawab
individu dan tanggung jawab dalam kelompok atau pasangannya. Sehingga peserta didik
memegang peranan yang sangat dominan dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran guided inquiry memiliki langkah-langkah sebagai berikut
(Ambarsari, 2013):
1) merumuskan masalah, guru memberikan suatu permasalahan yang terkait dengan
materi pelajaran, kemudian siswa mencoba menggali pengetahuannya,
2) mengajukan hipotesis, guru membimbing siswa menemukan jawaban sementara atas
permasalahan yang telah dikemukakan,
3) mengumpulkan data, guru mengarahkan siswa untuk melakukan eksperimen
sederhana,
4) menguji data berdasarkan data yang ditemukan, guru membimbing siswa dalam
menganalisis hasil eksperimen berdasarkan fakta-fakta dan teori yang terkait, dan
5) membuat kesimpulan, siswa membuat kesimpulan berdasarkan eksperimen yang
telah dilakukan.
3. Pemahaman Konsep
Pemahaman adalah salahsatuaspek pada ranah kognitif yang menunjukkan
kemampuan untuk menjelaskan hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau
konsep (Arikunto, 2009: 118). Pemahaman memerlukan kemampuan untuk menangkap
atau mengerti maksud dari suatu konsep.
Konsep merupakan batu pembangun berpikir dan merupakan dasar bagi proses
mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan generalisasi.Seorang siswa harus
mengetahui aturan-aturan yang relevan dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-
konsep yang diperolehnya untuk memecahkan masalah. (Dahar, 2006: 62)
Berdasarkan pengertian pemahaman dan pengertian konsep diatas, maka dapat
disimpulkan pemahaman konsep adalah kemampuan mengungkapkan makna suatu
konsep yang meliputi kemampuan membedakan, menjelaskan, menguraikan lebih lanjut,
dan mengubah konsep yang berisi gagasan atau ide mengenai suatu materi, pengalaman,
peristiwa atau ciri-ciri khas suatu objek yang diabstraksikan secara tetap sehingga
memudahkan manusia untuk mengadakan komunikasi dan berfikir.

B. Model Pembelajaran Discovery Learning


1. Definisi
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Bruner memakai metode yang
disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah
memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai
kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan
prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu
sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind.
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada
ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep
atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah
bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang
direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga
siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan
temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan
masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah
materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final
akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin
diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau
membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu
bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang
dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan
metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan
kreatif. Men gubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah
modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke
modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.
2. Konsep
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan
pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan
terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak
dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih
sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem
coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi ( similaritas & difference) yang
terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian ( events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur,
dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari
konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah
(Budiningsih, 2005:43).
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh
kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh
(obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar
kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa,
dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses
belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi.
Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana
siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau
pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan
agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk
memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi
bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan
pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir
(merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
Tahap enaktive , seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk
memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak
menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan,
dan sebagainya.
Tahap iconic , seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
Tahap symbolic , seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa,
logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang
seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara
sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak
menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan
mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive.
Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan
akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase
symbolic (Syaodih, 2001: 85).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar
siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah
kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru
harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang
scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka
sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa
yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode
Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam
belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut
Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui
kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar
ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru
hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti
bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema
disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi
direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
3. Fakta Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery
Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan.
Takdir (2012:70) mengemukakan beberapa kelebihan belajar mengajar dengan
discovery, yaitu: 1) Dalam penyampaian bahan discovery, digunakan kegiatan dan
pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut akan lebih menarik perhatian
anak didik dan memungkinkan pembentukan konsep-konsep abstrak yang mempunyai
makna 2) Discovery strategy lebih realistis dan mempunyai makna. Sebab, para anak
didik dapat bekerja langsung dengan contoh-contoh nyata 3) Discovery strategy
merupakan suatu model pemecahan masalah. Para anak didik langsung menerapkan
prinsip dan langkah awal dalam pemecahan masalah. Melalui strategi ini mereka
mempunyai peluang untuk belajar lebih intens dalam memecahkan masalah sehingga
dapat berguna dalam menghadapi kehidupan dikemudian hari 4) Dengan sejumlah
transfer secara langsung, maka kegiatan discovery strategy akan lebih mudah diserap oleh
anak didik dalam memahami kondisi tertentu yang berkenaan dengan aktivitas
pembelajaran 5) Discovery strategy banyak memberikan kesempatan bagi para peserta
didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar.
Kelebihan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179)
sebagai berikut:
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan
untuk menemukan hasil akhir
2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat
3) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat
4) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu
mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
Kelemahan model discovery yang dikemukakan Takdir (2012:70), yaitu:
a) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara guru
dengan siswa.
b) Menyita pekerjaan guru.
c) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
d) Tidak berlaku untuk semua topik.
a. Berkenaan dengan waktu, strategi discovery learning membutuhkan waktu
yang lebih lama daripada ekspositori.
b. Kemampuan berfikir rasional siswa ada yang masih terbatas.
c. Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas, terlalu cepat pada suatu
kesimpulan.
d. Faktor kebudayaan atau kebiasaan yang masih menggunakan pola
pembelajaran lama.
e. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajara dengan cara ini. Di lapangan
beberapasiswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah
f. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-
topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan model
penemuan.
4. Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
1) Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
a) Menentukan tujuan pembelajaran.
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar,
dan sebagainya).
c) Memilih materi pelajaran.
d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-
contoh generalisasi).
e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas
dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
2) Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery
Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru
dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca
buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan
teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan
demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus
kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat
tercapai.
b. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-
agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang
dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis,
yakni pernyataan ( statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang
diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis
permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam
membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis.
Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (
collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian
secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang
telah dimiliki.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah
data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara,
observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan,
wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah dkk, 2002:22).
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi
yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada,
pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek,
apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah,
2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang
mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan
proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas
makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman
seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-
pengalaman itu.
5. Sistem Penilaian
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan
dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat
berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk
penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery
learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan
penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian
dapat menggunakan contoh-contoh format penilaian seperti tersebut di bawah ini.
6. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada
peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu
merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti
memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya. Ada dua bentuk soal tes
tertulis, yaitu berikut ini.
1) Soal dengan memilih jawaban.
a. pilihan ganda
b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
c. menjodohkan
2) Soal dengan mensuplai-jawaban.
a. isian atau melengkapi
b. jawaban singkat
c. soal uraian
Dari berbagai alat penilaian tertulis, tes memilih jawaban benar-salah, isian
singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir
rendah, yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda dapat digunakan
untuk menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai
kelemahan, yaitu peserta didik tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi
cenderung hanya memilih jawaban yang benar dan jika peserta didik tidak mengetahui
jawaban yang benar, maka peserta didik akan menerka.
Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami
pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang dianjurkan
pemakaiannya dalam penilaian kelas karena tidak menggambarkan kemampuan peserta
didik yang sesungguhnya.
Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk
mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah
dipelajari, dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam
bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini dapat menilai
berbagai jenis kemampuan, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan
menyimpulkan. Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan terbatas.
Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a) materi, misalnya kesesuian soal dengan indikator pada kurikulum;
b) konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas.
c) bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang menimbulkan
penafsiran ganda.
7. Penilaian Diri
Penilaian diri ( self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin
dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat
pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang
berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses
pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik
dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai
hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan.
Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk
membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap tertentu.
Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan kriteria atau
acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik, peserta didik
dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya sebagai
hasil belajar berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan
kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan teknik ini dalam penilaian di kelas
sebagai berikut:
a dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi
kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;
b peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka
melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya;
c dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur,
karena mereka dituntut untuk jujur dan obyektif dalam melakukan penilaian.
C. Model Pembelajaran Kurikulum 2013
Discovery dan inkuiri merupakan istilah dasar dan penting dalam konteks model
pembelajaran kurikulum 2013. Discovery dapat dipandang sebagai metode ataupun model
pembelajaran. Namun demikian, discovery lebih sering disebut sebagai metode daripada
sebagai model pembelajaran. Oleh karenanya, istilah yang sering muncul adalah metode
discovery. Metode discovery (dalam bahasa Indonesia sering disebut metode penyingkapan)
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila siswa disajikan materi
pembelajaran yang masih bersifat belum tuntas atau belum lengkap sehingga menuntut siswa
menyingkapkan beberapa informasi yang diperlukan untuk melengkapi materi ajar tersebut
(Abidin, 2014: 175).
Inquiry sebenarnya juga dapat dipandang sebagai metode dan sekaligus sebagai
model pembelajaran. Hanya karena inkuiri lebih bersifat real life (sesuai dengan konteks
kehidupan), istilah ini lebih kental disebut sebagai model pembelajaran. Perkembangan
terakhirnya, inkuirilah yang menjadi acuan utama dalam mengembangkan model
pembelajaran saintifik proses. Salah satu alasannya adalah bahwa masalah yang disajikan
dalam inkuiri benar-benar merupakan masalah yang diambil dari kehidupan nyata sehingga
diyakini akan mampu membekali siswa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang benar-
benar dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Bentuk masalah inkuiri inilah yang
berbeda dengan masalah dalam discovery yakni bahwa masalah dalam discovery lebih
merupakan masalah yang dikreasi oleh guru.
Berikut adalah perbedaan antara Discovery dan Inquiry :
1. Sifat Pembelajaran
a) Discovery merupakan metode bersikap penyingkapan, dimana siswa sudah diberi
contoh permasalahan dan arahan penyelesaiannya oleh guru (masalah dalam discovery
merupakan masalah yang dikreasikan oleh guru)
b) Inquiry lebih bersifat real life (sesuai dengan konteks kehidupan).Guru mengundang
siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang
akan diajarkan.
2. Tingkat kerumitan
a) Discovery lebih banyak ditentukan oleh tuntutan guru yang digariskan dalam tujuan
pembelajaran. Guru hanya menuntut pola siklus belajar deskriptif, siswa hanya
menemukan dan memeriksa suatu pola empiris dalam satu konteks khusus. Siswa tidak
perlu berhipotesis karena hanya dituntut untuk menjelaskan masalah apa tidak sampai
menjelaskan sampai mengapa. Dengan demikian, tingkat kerumitannya rendah.
b) Inquiry memiliki tingkat lebih tinggi, guru harus pandai-pandai memotivasi siswa untuk
bertanya dan menggunakan kemampuan intelektualnya. Karena itu, tugas guru pada tiap
fase adalah mengarahkan siswa menuju pada proses penyelidikan. (Prasetyo dkk, 2006:
3.19)
3. Langkah-langkah
a) Langkah-langkah utama dalam kegiatan discovery, antara lain:
(1) Guru memberikan masalah yang harus dipecahkan dalam bentuk pertanyaan atau
pernyataan.
(2) Guru menentukan proses kegiatan mental yang akan dikembangkan.
(3) Konsep atau prinsip yang akan diajarkan harus tertulis dengan jelas.
(4) Alat-alat atau bahan yang diperlukan harus tersedia.
(5) Pengarahan diberikan melalui tanya jawab.
(6) Siswa melakukan penyelidikan atau percobaan sampai menemukan konsep atau
prinsip yang telah diterapkan oleh guru.
(7) Menyusun pertanyaan bersifat open ended sebagai cara untuk mengarahkan
kegiatan. Guru membuat catatan sebagai bahan evaluasi program dan upaya
memperoleh masukan.
b) Langkah Utama Metode Inquiry
Langkah-langkah utama metode inquiry terdiri dari enam tahapan, meliputi
menyajikan masalah, membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan
percobaan, mengumpulkan data, dan membuat laporan. Untuk lebih jelasnya maka
akan ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Tabel 3 Langkah-langkah metode Inquiry
Fase Perilaku Guru
1. Menyajikan a. Membimbing siswa mengidentifikasi masalah
pertanyaan atau dan masalah dituliskan di papan tulis.
masalah b. Membagi siswa dalam kelompok.
2. Membuat hipotesis a. Memberikan kesempatan pada siswa untuk
curah pendapat dalam membentuk hipotesis.
b. Membimbing siswa dalam menentukan hipotesis
yang relevan dengan permasalahan
c. Memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi
prioritas penyelidikan.
3. Merancang a. Memberikan kesempatan pada siswa untuk
percobaan menentukan langkah-langkah yang sesuai
dengan hipotesis yang akan dilakukan.
b. Membimbing siswa mengurutkan langkah-
langkah percobaan.
4. Melakukan a. Siswa mendapatkan informasi melalui
percobaan percobaan
5. Mengumpulkan dan a. Memberi kesempatan pada tiap kelompok untuk
menganalisis data menyampaikan hasil pengolahan data yang
terkumpul.
6. Membuat a. Guru membimbing siswa dalam membuat
kesimpulan kesimpulan.
(Trianto, 2007: 141-142)

Referensi
A.M, Sardiman. (2005). Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Dalyono. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rieneka Cipta.

Djamarah, Saiful Bahri. dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Erman Suherman. dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica
Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Takdir. 2012. Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental Vocational Skill. Jogjakarta : Diva
Press.

Anda mungkin juga menyukai