Anda di halaman 1dari 6

KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M.

MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

KRITIK DAN ASPIRASI TERHADAP


FILM GIE DAN THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY

FILM 1 (GIE)

Soe Hok Gie adalah seorang anak laki-laki keturunan Cina yang tinggal di Jakarta.
Sejak kecil, Soe Hok Gie mempunyai minat dalam politik. Ia dibesarkan di keluarga
yang sederhana, yang membentuknya menjadi seorang yang memiliki kepedulian dan
semangat juang tinggi. Dalam era demokrasi terpimpin, dimana terjadi ketidakadilan
dan kesenjangan sosial, Soe Hok Gie menjadi salah seorang pelopor gerakan
perlawanan terhadap sistem pemerintahan tersebut. Ia memiiki semangat berjuang untuk
keadilan yang tinggi, menurutnya ada harga yang harus dibayar ketika kita ingin
memperoleh kemerdekaan dan hal yang dimaksud adalah pemberontakan.

Ketika Soe Hok Gie memasuki masa kuliah, kebenciannya terhadap pemerintahan
Soekarno yang dianggapnya dictkator semakin menjadi. Menurutnya, banyak terjadi
ketidakadilan sosial terhadap rakyat-rakyat miskin. Dengan beraninya, Soe Hok Gie
menulis kritikan-kritikan terhadap Pemerinatahan Soekarno dan mempublikasikannya
ke masyarakat luas. Hal ini membuat Soe Hok Gie banyak dikenal dan mempunyai
beberapa musuh, tidak hanya itu terjadi juga perpecahan antara Soe Hok Gie dengan
sahabat kecilnya, Tan Tjin Han dikarenakan Tan Tjin Han terlibat dalam konflik PKI
yang saat itu sedang terjadi.

Film Gie yang bersifat dokumenter mengangkat keadaan Indonesia pada zaman
Orde Lama. Dengan dominan mengambil latar pada tahun 1959-1967, dimana saat itu
adalah masa demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin adalah masa dimana semua
kebijakan berpusat pada pemerintah dimana dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa
pemerintahan itu tidak bersifat demokratis. Film Gie menunjukan banyak masyarakat
yang sulit menyuarakan pendapat karena tidak memiliki hak dalam pemerintahan,
banyak terjadi ketidakadilan dalam rakyat miskin dan kesenjangan sosial yang tinggi.
Salah satunya dapat dilihat dari sosok Soe Hok Gie. pada film Gie sendiri yang pada
masa remajanya sulit untuk mengemukakan suara / pendapatnya di sekolah
KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M. MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

Di awal film, disebutkan terjadinya peristiwa Cikini / Bom Cikini. Peristiwa Cikini
adalah peristiwa dimana terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno
pada masa demokrasi liberal. Saat itu Soekarno sedang menghadiri pesta sekolah pada
tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini semakin membuat keadaan Negara memburuk
dan mengancam kesatuan bangsa. Peristiwa ini mendorong Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin.

Tokoh Soe Hok Gie juga mengangkat masalah tentang pers di masa pemerintahan
orde lama. Pers pada zaman orde lama terutama pada masa demokrasi liberal dan
terpimpin pers berperan penting dalam politik. Pers sendiri berfungsi sebagai penyebar
informasi dan alat propaganda yang efektif untuk kampanye partai politik. Salah satu
pers yang diangkat di film Gie adalah surat kabar Harian Rakyat. Surat Kabar Harian
Rakyat sudah ada semenjak tahun 1951, namun pada tahun 1953 tepatnya pada tanggal
31 Oktober surat kabar ini diresmikan sebagai surat kabar PKI. Setelah menjadi surat
kabar PKI, Harian Rakyat setiap hari menyebarkan propaganda gerakan mengenai
masalah kerakyatan, demokrasi dan persatuan. Selain masalah-masalah tersebut, surat
kabar Harian Rakyat juga secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintah sehingga
sempat dilarang terbit.

Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno menjadikan pers sebagai tempat dimana
ia mempublikasikan kekuasaannya, pidatonya dan untuk pers lainnya yang kontra
terhadap pemerintahannya diasingkan. Salah satunya Mochtar Lubis. Seorang Tokoh
wartawan dan pemimpin redaksi Indonesia Raya yang secara terbuka menyuarakan
pendapatnya untuk mengubah perilaku politik yang korupsi yang dari dulu ada pada
zaman orde lama (walaupun tidak sebesar pada zaman orde baru), dikarenakan
tindakannya itu ia mendekam dalam penjara selama 9 tahun dan 2 bulan. Hal ini juga
dikatakan oleh sosok Tokoh Soe Hok Gie dalam film pada adegan yang sama.
KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M. MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

FILM 2 THR YEAR OF LIVING DANGEROUSLY

Satu-satunya periode sejarah Indonesia yang paling banyak dibicarakan dan paling
sulit untuk dijelaskan oleh para sejarawan adalah situasi politik menjelang G30
September 1965. G30 September yang dikenal sebagai gerakan pengambilalihan
kekuasaan itu hingga sekarang masih menyisakan misteri.

Kendati telah banyak buku sejarah yang mencoba menjelaskan peristiwa ini,
jawaban final mengenai siapa dalang dibalik peristiwa tersebut tak pernah tuntas. Ada
banyak versi mengenai peristiwa ini. Namun, tak ada satu pun versi yang pernah
dianggap benar-benar mewakili kesahihan rekaman masa lalu kecuali versi sejarah yang
tulis pemerintahan Suharto selama lebih dari 30 tahun.

Kembali kebelakang ketika Suharto menuliskan versi sejarahnya. Rezim yang


dibangun dari reruntuhan pemerintahan Sukarno pada tahun 1966 ini, sejak awal telah
mencipta narasi sejarah mereka sendiri. Suharto yang kala itu mendapat dukungan
penuh dari militer, dengan segera mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI)
berada dibalik G30 September. Klaim tersebut segera menjadi propaganda militer, tidak
hanya untuk menyingkirkan PKI dari pusaran politik secara sistematis, tetapi juga
menjadi bekal dikemudian hari untuk membenarkan tindakan-tindakan tentara terhadap
mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI.

Selama 32 tahun versi sejarah ini pun dipertahankan di atas upaya pembungkaman
atas versi sejarah lainnya. Versi sejarah yang ditulis para sejarawan asing diberangus.
Sejarah peristiwa G30 S pun lebih identik dengan G30S/PKI dengan judul besar
Penghiatan PKI.

Proyek sejarah yang kemudian digarap rezim Suharto untuk mengenang peristiwa
ini adalah sebuah film yang disutadarai oleh Arifin C. Noor. Film yang digarap tahun
1970-an ini mendapat sponsor penuh dari negara. Isinya sudah bisa ditebak. Film
berdurasi lebih dari 3 jam tersebut seperti sebuah penguat atas narasi G30S dengan PKI
sebagai dalang utamanya. Selama Suharto berkuasa, film ini mendapatkan tempatnya
untuk selalu diputar setiap malam 30 September persis seperti malam ketika terjadi
penculikan terhadap 7 jendral di Jakarta. Rezim memutar film tersebut di televisi
nasional sebagai bentuk peringatan sekaligus imbauan bahaya komunisme.
KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M. MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

Di luar film tersebut, sebuah film berjudul The Yeras of Living Dangerously
mengambil latarbelakang peristiwa yang sama. Film yang dibintangi Mel Gibson ini
mengambil setting Kota Jakarta pada tahun 1965 menjelang peristiwa G 30S. Mel
Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang jurnalis Australia yang bekerja
untuk Australia Broadcast Service. Tugas sebagai jurnalis yang memburu berita --disaat
kebebasan pers di Indonesia sedang dibatasi oleh pemerintahan Sukarno-- membuat
Hamilton frustasi. Beruntung ia bertemu Billy Kwan, seorang fotografer Australia yang
telah lama tinggal di Indonesia. Billy membantu Hamilton berhubungan dengan tokoh-
tokoh penting Indonesia, diantaranya D.N Aidit.

Hamilton merupakan representasi jurnalis Barat yang menaruh perhatian besar


terhadap perkembangan situasi politik Indonesia. Sejak Sukarno mengendalikan
pemerintahan di bawah payung demokrasi terpimpin, negara-negara Barat seperti
Amerika dan Inggris tak pernah luput mengawasi perubahan konstelasi politik saat itu.
Perhatian di arahkan ke Indonesia karena haluan politik Sukarno secara tidak langsung
membawa Indonesia memasuki pusaran perang dinging antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Kendati secara teoritis Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif,
Amerika menganggap Sukarno cenderung condong mendukung blok Komunis Soviet.
Kampanye anti-kapitalis dan anti-imperialisme yang digaungkan Sukarno serta
kedekatan pemimpin besar revolusi tersebut dengan pemerintah Cina, mengundang
kecurigaan Amerika.

Hari-hari Hamilton disibukkan dengan perkembangan situasi politik Indonesia yang


terpecah menjadi tiga faksi utama saat itu, yakni Sukarno, militer, dan PKI. Jalan cerita
The Year of Living Dangerously berpuncak pada peristiwa G30S. Film tersebut
menggambarkan bom waktu konflik politik ketiga fraksi yang meletus dengan adanya
pengambilalihan kekuasaan oleh gerakan tersebut. G30S menurut versi film ini adalah
konspirasi antara PKI, Sukarno, dan pemerintah Cina.

Sebelum peristiwa G30S, film tersebut mengambarkan persetujuan Sukarno


mempersenjatai masyarakat sipil yang nantinya dimasukan ke dalam angkatan kelima.
Kelompok paramiliter sipil tersebut awalnya diusulkan ketua PKI, D.N. Aidit. Tak lama
setelah usulan itu, dikabarkan pemerintah Cina sukses menyelundupkan senjata ke
Indonesia.
KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M. MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

Narasi yang diciptakan film ini tak berbeda jauh dengan versi Penghianatan PKI.
PKI dan Cina diposisikan menjadi aktor utama di balik upaya mengambilalih
kekuasaan. Angkatan kelima dan kudeta ditempatkan sebagai bagian dari upaya PKI
merebut kekuasaan dan mengganti ideologi negara menjadi negara komunis. Film
tersebut juga menggambarkan kesiapan PKI membuat daftar nama orang-orang yang
akan dibunuh. Hamilton, si jurnalis Australia, juga masuk ke dalam salah satu nama
yang akan dibunuh. Setting Peristiwa 1965.

Film The Years of Living Dangerously memang sangat kental dengan nuansa
Amerika. Tak hanya artis yang memerankan beberapa tokoh dan kenyataan bahwa film
tersebut di buat di Filipina, narasi dalam film tersebut menggambarkan PKI sebagai
partai pengacau yang siap menggambil alin kekuasaan negara. Selain itu, PKI juga
digambarkan sebagai partai yang sangat anti-Barat. Klaim yang melekat pada PKI ini
nampak ketika massa partai berlambang palu arit menyerang kedutaan besar Amerika
Serikat.

Hal berbeda dalam film ini, yang mungkin sulit ditemukan dalam narasi sejarah
Indonesia periode 1965, adalah gambaran tentang kondisi rakyat Jakarta yang dilanda
kemiskinan, kelaparan, mahalnya biaya kesehata, dan banyaknya gelandangan yang
bersileweran di jalanan. Billy Kwan, sang fotografer yang doyan menyambangi
perkampungan kumuh di pinggiran kota mendapati kondisi rakyat yang menyedihkan.

Penceritaan kondisi rakyat ini sangat kontras dengan kehidupan glamor Presiden
Sukarno yang diagung-agungnya rakyatnya sebagai dewa penyelamat. Sementara
Sukarno bersikeras membangun monumen-monumen yang mewakili cita-citanya untuk
membangkitkan kebanggaan nasional, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskin.
Gambaran kondisi rakyat yang menyedihkan yang dikontraskan dengan gaya hidup
pejabat Indonesia yang glamor dan kerap ikut dalam pesta-pesta di kedutaan asing
hampir-hampir bisa dikatakan luput dalam narasi historiografis yang diliputi hingar
bingar politik periode demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lebih sering dilihat
sebagai periode pertempuran politik antara militer, Sukarno, dan PKI. Namun, film The
Years of Living Dangerously, lebih dari sekedar menampilkan setting politik untuk
melatarbelakangi peristiwa 1965. Peristiwa 1965 adalah puncak ketika Indonesia berada
pada kemerosotan ekonomi yang paling menyedihkan. Krisis ini ditambah dengan
KRITIK ARSITEKTUR [OLEH : M. MAKRUP 14660053 & ARRY HARDHIKA 14660071]

ketidakpedulian pemerintahan Sukarno terhadap rakyat yang setiap hari dicekoki jargon
revolusi tetapi hidup dalam kelaparan.

Narasi The Years og Living Dangerously memang belum bisa menjawab latar
belakang peristiwa G 30S. Namun, film ini bisa menjadi pengkayaan untuk melihat
dalam posisi seperti apa Barat melihat Indonesia di bawah pemerintahan Sukarno. Poin
yang bisa diambil bukan terletak pada narasi G30S itu sendiri, melainkan kondisi rakyat
yang sudah kadung sakit dilanda kemiskinan. Periode demokrasi terpimpin pun bisa
dilihat tidak lebih dari sebuah pemerintahan dengan janji-janji, jargon politik,
pembangunan monumen-monumen agung, korupsi, ketimbang pemerintahan yang
peduli pada kesejahteraan rakyat sebagai sebuah cita-cita.

Anda mungkin juga menyukai