Anda di halaman 1dari 10

Kajian Pengurangan Risiko Banjir

Melalui Simulasi Bentuk Penggunaan Lahan Dari Aspek Hidrologi


di DAS Samin, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

Study of Flood Risk Reduction by Simulation of Land use Change from Hydrological
Aspect in Samin Watershed, Karanganyar Regency, Central Java.

Kurniawan Sigit Wicaksono*), Sudibyakto**), Projo Danoedoro**)

*) Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang 65415
Telp: 0341-553623, 564355. E-mail: kurniawan.fp@ub.ac.id dan kurniawan.fp@gmail.com

**) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Jl. Sekip Utara Yogyakarta

Abstrak

Tujuan penelitian di DAS Samin, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah adalah


untuk mengetahui pengaruh bentuk penggunaan lahan hutan terhadap debit puncak air larian
permukaan (Q) dan menentukan komposisi bentuk penggunaan lahan yang optimum bagi
upaya pengurangan risiko banjir. Penghitungan nilai Q pada berbagai skenario bentuk
penggunaan lahan menggunakan Metoda Rasional. Penghitungan ini dilakukan pada setiap
piksel dengan memanfaatkan sistem informasi geografi yaitu Ilwis 3.4. Jumlah perlakuan
meliputi 5 skenario yaitu S0 (luas hutan 0%), S15 (luas hutan 15%), S30 (luas hutan 30%), S
45 (luas hutan 45%), dan S100 (luas hutan 100%). Hasil simulasi bentuk penggunaan lahan
pada berbagai skenario menunjukkan bahwa penambahan luas hutan berdampak pada
pengurangan debit puncak aliran permukaan ialah sebagai berikut: S0 (24,72 m3/s), S15
(24,07 m3/s), S30 (23,33 m3/s), S 45 (22,92 m3/s), dan S100 (21,91 m3/s). Komposisi
penggunaan lahan yang optimum bagi upaya pengurangan risiko banjir ialah S45 berupa 45%
hutan, 5% hortikultura, , 19 % kebun campur, 21% permukiman, dan 9% sawah.

Kata kunci: debit puncak aliran permukaan, risiko banjir, simulasi bentuk penggunan lahan

Abstract
The objectives of research in Samin Watershed Central Java was to detect the effect
of increasing forest toward peak runoff (Q) and to determine the optimum land use
composition by means of flood risk reduction. Rational Methods was used to calculate peak
run off and Cooks Method estimated C value or run off coefficient. Distributed model is
approximation method that used to simulate land use change in various scenarios by Ilwis 3.4.
The number of treatment that used to simulation of land use change was five scenarios i.e. S0
(area of forest is 0%), S15 (area of forest 15%), S30 (area of forest 30%), S 45 (area of forest
45%), dan S100 (area of forest 100%). The result of land use simulation in various scenarios
indicates that increasing forest area related to peak runoff decrement i.e. S0 (24,72 m3s-1),
S15 (24,07 m3s-1), S30 (23,33 m3s-1), S 45 (22,92 m3s-1), dan S100 (21,91 m3s-1) and the
optimum land use composition in Samin Watershed was 5% horticulture, 45% forest, 19 %
mix garden, 21% settlement, and 9% rice field.

Key word: flood risk, land use change simulation, peak runoff,.
1 Pendahuluan
Thomas Robert Malthus menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk seperti
deret ukur sedangkan pertambahan jumlah produksi makanan bagaikan deret hitung.
Peningkatan kebutuhan sandang, pangan dan papan memicu manusia untuk melakukan alih
guna lahan, misal alih fungsi hutan menjadi kawasan pertanian intensif dan areal pertanian
yang berubah fungsi menjadi permukiman.
Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah air larian permukaan
meningkat apabila (Bosch dan Hewlett, 1982; Hibbert, 1993 dalam Asdak, 2007): 1) terjadi
pengurangan hutan dalam jumlah yang cukup besar, 2) terjadi pengubahan jenis vegetasi dari
tanaman berakar dalam menjadi berakar dangkal, 3) terjadi pengubahan jenis vegetasi dari
tanaman dengan kapasitas intersepsi tinggi menjadi lebih rendah.
Peningkatan jumlah air larian permukaan akan memperbesar debit puncak air larian
permukaan. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya jumlah volume air sungai sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya bahaya banjir. Kondisi ini akan berdampak pada
peningkatan risiko banjir di bagian hilir DAS. Upaya mitigasi di bagian hilir menjadi tidak
berarti apabila tanpa diikuti dengan upaya pengurangan terjadinya bahaya banjir . Salah satu
cara upayanya adalah pengaturan bentuk penggunaan lahan di bagian hulu DAS. Berbagai
hasil penelitian menunjukaan bahwa keberadaan hutan di DAS mampu mengurangi terjadinya
bahaya banjir sehingga semakin luas hutan maka bahaya banjir akan semakin berkurang.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pengaturan bentuk penggunaan lahan
yang optimum sehingga mampu mengurangi bahaya banjir namun tetap memberi manfaat
secara ekonomi bagi masyarakat setempat. Hal ini penting mengingat tidak mungkin seluruh
DAS dijadikan hutan karena terdapat petani yang beraktivitas guna memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, dan papan. Oleh sebab itu, penelitian ini penting untuk dilakukan agar dapat
menjawab permasalahan tersebut.
Metode yang digunakan adalah simulasi bentuk penggunaan lahan pada berbagai
skenario luasan hutan dengan indikator debit puncak air larian permukaan. Ssemakin besar
nilai debit puncak air larian permukaan maka potensi bahaya banjir semakin meningkat
sehingga risikonya juga bertambah. Jadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh bentuk penggunaan lahan hutan terhadap pengurangan debit puncak air larian
permukaan dan menentukan komposisi bentuk penggunaan lahan yang optimum bagi upaya
pengurangan risiko banjir.
2 Bahan dan Metode
Pelaksanaan penelitian ini mulai bulan Agustus Nopember 2009 di DAS Samin yang
berjarak sekitar 15 km arah timur kota Surakarta yaitu Kabupaten Karanganyar , Jawa
Tengah. Secara geografis, berada pada 1100943 1110189 Bujur Timur dan 70620
70631. Wilayah ini membentang dari hulu di Gunung Lawu sampai dengan hilir (titik outlet)
di Bendung Trani dengan sungai utama yaitu Sungai Samin sepanjang 30 km dan luas
wilayah 117 km2 serta berada pada ketinggian antara 134 - 3178 mdpl (Gambar 1) .

Gambar 1. Lokasi penelitian di DAS Samin, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah.

Landsat ETM Data infiltrasi Peta kontur RBI Data curah hujan
30 m tanah

geometri & radiometri kriging interpolasi interpolasi

Landsat ETM
terkoreksi Peta DTM DEM hydro

Peta infiltrasi Peta lereng Peta simpanan air


Interpretasi & klasifikasi permukaan

Peta DAS (A) Peta isohyet (I)


Peta penggunaan overlay
lahan

Peta Koef.aliran Q= CIA


Validasi (confussionmarix ) (C )

Peta penggunaan Peta debit aliran


lahan tervalidasi permukaan (Q)

Analisa hubungan
penggunaan lahan vs
debit air larian
Keterangan :
: Data masukan
Skenario bentuk Mengurangi atau : Proses
penggunaan lahan menambah risiko banjir
: Hasil

Gambar 2. Bagan alir jalan penelitian di DAS Samin, Karanganyar, Jawa Tengah
Penghitungan debit puncak aliran permukaan (Q ) pada berbagai skenario penggunaan
lahan menggunakan Metoda Rasional (USSCS,1973; dalam Asdak, 2007; Raghunanth, 2006)
ialah Q = k.C.I.A , dimana besarnya Q dipengarui oleh nilai koefisien limpasan permukaan
(C) , intensitas hujan (I), dan luas DAS (A) serta suatu konstanta (k) yang berfungsi sebagai
faktor konversi satuan. Penentuan nilai C menggunakan Metoda Cooks yaitu penjumlahan
skoring atas 4 parameter meliputi kemiringan lereng, infiltrasi tanah, penggunaan lahan, dan
simpanan air permukaan (Meijerink, 1970 dalam Gunawan 1993). Jumlah perlakuan yang
disimulasikan adalah 5 skenario yaitu S0 (luas hutan 0%), S15 (luas hutan 15%), S30 (luas
hutan 30%), S45 (luas hutan 45%), dan S100 (luas hutan 100%). Pengubahan skenario bentuk
penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap nilai C sehingga nilai Q juga berubah (Gambar
2).
3 Hasil dan pembahasan
Penghitungan nilai Q pada berbagai skenario bentuk penggunaan lahan ini dilakukan
pada setiap piksel dengan memanfaatkan sistem informasi geografi yaitu Ilwis 3.4. Jadi semua
data parameter yang digunakan dalam penelitian ini dikonversi menjadi peta raster.
3.1.Penentuan nilai konstanta ( k )
Nilai konstanta k pada rumus rasional ialah 0,278 dengan catatan dapat digunakan bila
satuan I dalam mm/jam dan A dalam km2. Namun data hujan yang tersedia dalam penelitian
ini berasal dari Alat Ukur Hujan Biasa (AUHB) sehingga satuan I adalah mm/hari. Sedangkan
satuan I dalam mm/ jam hanya dapat diperoleh dari Alat Ukur Hujan Otomatis (AUHO)
(Soewarno, 2000). Jadi penggunaan nilai k harus menyesuaikan dengan data hujan yang ada
sehingga nilai k menjadi sebesar 0,012, rumus ini dapat digunakan bila I dalam mm/hari dan A
dalam km2.
3.2.Koefisien aliran permukaan ( C )
Koefisien aliran permukaan ialah perbandingan antara besarnya air larian dan curah
hujan atau perbandingan antara laju debit puncak dan intensitas hujan (Asdak, 2007). Nilai C
merupakan bilangan tanpa satuan yang besarnya antara 0 sampai dengan 1. Angka 0 berarti
semua air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah, sedangkan angka 1 berarti bahwa semua air hujan
menjadi air larian permukaan tanah.
3.2.1 Kemiringan lereng
Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dengan tingkat kemiringan lereng curam
akan menghasilkan air larian yang lebih besar daripada lereng datar (Raghunanth, 2006).
Klasifikasi kelas kemiringan lereng dan nilai skor berdasarkan Meijerink (1970) digolongkan
menjadi 4 kelas yaitu Datar: < 5% (10), Berombak: 5-10% (20), Berbukit: 10 30% (30),
dan Curam: >30% (40). Luas masing-masing kelas kemiringan lereng di DAS Samin
menunjukkan bahwa potensi aliran permukaan tinggi karena karakteristik lereng sebagian
besar berupa lereng curam dan berbukit seluas 38 km2 dan 33 km2 . Sisanya berupa lereng
datar dan berombak, masing-masing seluas 27 km2 dan 19 km2 (Gambar 3).

Gambar 3. Kondisi kemiringan lereng di DAS Samin.


3.2.2 Simpanan air permukaan
Linsey (1959) menyatakan bahwa kerapatan drainase (Dd) merupakan panjang total
sungai (satuan km) dibagi luas DAS (satuan km2). Klasifikasi yang menggambarkan
hubungan antara simpanan air permukaan dengan kerapatan drainase oleh Linsey (1959) dan
Meijerink (1970) dalam Gunawan (2000) dikelompokan menjadi empat kelas ialah sebagai
berikut: Sangat rendah: > 5 km/km2 (20), Rendah: 2-5 km/km2 (15), Sedang: 1-2 km/km2
(10), dan Tinggi: <1 km/km2 (5). Karakteristik simpanan air permukaan di DAS Samin
berdasarkan klasifikasi tersebut ialah sebagai berikut tergolong dalam kelas rendah seluas
108 km2, dan hanya sebagian kecil saja yang kondisinya sedang yaitu seluas 9 km 2 (Gambar
4). Simpanan permukaan air rendah berarti tanah tersebut cepat mengalami pengeringan saat
terjadi hujan karena air hujan yang menjadi limpasan permukaan lebih banyak.

Gambar 4. Peta kerapatan drainase di DAS Samin


3.2.3 Infiltrasi tanah
Morgan (2005) menyatakan bahwa semakin lambat laju infiltrasi tanah berdampak
pada peningkatan terjadinya aliran permukaan. Meijerink (1970) dan USCS (1972)
mengkelaskan dan memberi skor nilai infiltrasi menjadi 4 yaitu Sangat lambat: 0-1 mm/jam
(20), Lambat: 1-4 mm/jam (15), Sedang: 4-8 (10), dan Cepat: 8-12 (5) .
Pengamatan infiltrasi lapangan menggunakan metode ring infiltrometer berdasarkan
titik sampel. Penentuan sebaran titik sampel berdasarkan bentuk lahan yang mengacu pada
Zuidam (1978) yaitu aspek relief, batuan/sedimen, dan genesa/proses yang terjadi.

Gambar 5. Nilai infiltrasi tanah di setiap titik sampel berdasarkan bentuk lahan dan hasil
interpolasi kriging di DAS Samin
Hasil interpolasi spherical kriging menunjukkan bahwa infiltrasi di DAS Samin
berkisar antara 1,3010,37 mm/jam (Gambar 5). Kisaran nilai infiltrasi yang masuk dalam
kelas lambat 62 km2 , sedang 35 km2, dan cepat 20 km2.
3.2.4 Penggunaan lahan
Dalam penghitungan nilai C, SCDT (2003) mengklasifikasikan bentuk penggunaan
lahan menjadi empat kelas dengan dasar skoring mengacu pada Meijerink (1970) ialah
sebagai berikut tanah terbuka dan sawah (20), permukiman , hortikultura, dan tegalan (15),
kebun campur (10), dan hutan (5). Berikut ini komposisi penggunaan lahan pada berbagai
skenario (Gambar 6):

Gambar 6. Penggunan lahan pada berbagai skenario di DAS Samin.


Nilai C diperoleh dari penjumlahan nilai skor atas setiap parameter meliputi
kemiringan lereng, infiltrasi, simpanan air permukaan dan penggunaan lahan. Semakin besar
nilai C maka potensi terjadinya limpasan permukaan juga semakin tinggi. Hasil penghitungan
nilai C pada berbagai skenario penggunaan lahan berkisar antara 0,35 0,8 seperti tersaji
pada gambar 7 dibawah ini:
Keterangan:
semua nilai C dibagi 100

Gambar 7. Koefisien aliran permukaan pada berbagai skenario di DAS Samin.


3.3.Penghitungan nilai intensitas hujan ( I )
Data hujan merupakan input utama dalam penghitungan debit puncak air larian
karena air hujan inilah yang nantinya berubah menjadi air larian permukaan. Data curah
hujan yang digunakan berasal dari 12 titik alat ukur hujan biasa (AUHB) yang tersebar merata
di DAS Samin mulai tahun 1986 2008 (Gambar 8). Ketelitian data AUHB ditentukan oleh
pengamat yang mencatat data hujan setiap hari. Umumnya pengukuran dilakukan pukul 07.00
waktu setempat sehingga hanya dapat diketahui tebal hujan total per hari (Soewarno,2000).

Gambar 8. Sebaran titik lokasi AUHB dan peta isohyets di DAS Samin.
Peta isohyet disusun berdasarkan besarnya nilai intensitas hujan yang paling tinggi
yaitu bulan Pebruari. Penggunaan metode isohyet karena mempertimbangkan faktor topografi
sehingga tingkat ketelitiannya lebih tinggi dibanding metode polygon thiessen dan rerata
aritmatik (Asdak, 2007 dan Soewarno, 2000). Hasil interpolasi menunjukkan bahwa besarnya
intensitas hujan meningkat ke arah hulu DAS Samin karena pengaruh topografi (Gambar 8).
3.4.Penentuan luas DAS ( A )
Pengertian nilai A dari metode rasional ialah luas DAS berdasarkan batas topografi
sehingga nilai Q yang dihasilkan hanya muncul satu nilai di outlet saja. Kelemahan metode ini
ialah sebaran Q secara spasial tidak dapat terlihat. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini
penghitungan Q berbasis raster yaitu penghitungan dilakukan pada setiap piksel.
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landsat ETM dengan
resolusi 30 m sehingga luas DAS yang dimaksud adalah ialah sebagai berikut: Resolusi citra
sebesar 30 meter berarti ukuran piksel 30m x 30m, Luas DAS = luas piksel , sehingga nilai A
menjadi 30 m x 30 m = 900 m2 = 0,0009 km2 .
3.5. Debit puncak aliran permukaan ( Q ) pada berbagai skenario penggunaan lahan
Informasi sebaran spasial debit puncak air larian ini penting untuk menentukan
sebaran wilayah dalam suatu DAS yang berkontribusi menjadi penyebab terjadinya bahaya
banjir (flood hazard assessment). Semakin besar nilai debit puncak air larian maka area
tersebut berkontribusi besar terhadap terjadinya bahaya banjir.
Berdasarkan penghitungan berbagai parameter diatas maka rumus rasional menjadi
Q = 1,08.10-7.C.I . Rumus ini merupakan alogaritma yang dimasukan kedalam command line
di jendela utama program Ilwis 3.4. Berikut ini hasil simulasi berbagai skenario bentuk
penggunaan lahan di DAS Samin (Gambar 9).

Gambar 9. Hasil simulasi debit puncak air larian permukaan pada berbagai skenario bentuk
penggunaan lahan di DAS Samin.
Debit puncak aliran permukaan hasil simulasi pada perlakuan S15 adalah 24,07 m3/dt,
nilai ini digunakan sebagai kontrol karena merupakan kondisi eksisting. Pembukaan lahan
hutan menjadi hortikultura pada skenario S0 terbukti meningkatkan debit puncak air larian
yaitu 24.72 m3/dt, artinya pengurangan luasan hutan dapat meningkatkan nilai Q.
Penambahan luasan hutan berdampak pada penurunan debit puncak air larian permukan
yaitu pada perlakuan S30 dan S45 dengan nilai masing-masing sebesar 23,33 m3/dt dan 22,92
m3/dt.
Debit puncak aliran permukaan paling rendah terjadi pada perlakuan S100 yaitu 21,91
m3/dt. Namun hal ini sulit penerapnnya di lapangan karena terdapat masyarakat yang sumber
penghasilanya dari bercocok tanam sehingga tidak dapat semua lahan dijadikan hutan. Jadi
perlakuan paling optimum adalah S45 karena didalamnya mengakomodasi kebutuhan petani
denagn komposisi 45% hutan, 5% hortikultura, , 19 % kebun campur, 21% permukiman, dan
9% sawah.
3.6 Hubungan simulasi bentuk penggunaan lahan dengan risiko banjir
Peningkatan debit air larian permukaan di DAS bagian hulu akan berdampak pada
peningkatan debit air sungai di titik outlet. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan jumlah
volume air yang mengalir melalui sungai. Peningkatan jumlah volume air sungai bila sampai
melebihi daya tampungnya akan berakibat pada meluapnya air sungai ke tempat sekitar yang
lebih rendah atau kemungkinan terjadinya bahaya banjir (hazard) meningkat Apabila hal ini
terjadi maka risiko banjir di bagian hilir DAS akan meningkat (Gambar 10).
Risiko banjir
Debit puncak
outlet

hujan

24.72
Risiko banjir 25.00
24.07
di hilir 24.00
23.33
22.91 22.92
m3 /dt 23.00
21.91
22.00

21.00
Skenario bentuk penggunaan
20.00
S0 S15 S30 S60 S100 SOp
lahan di DAS Samin

Gambar 10. Hubungan pengaturan bentuk penggunaan lahan dengan pengurangan risko banjir
di DAS Samin.
Dilley et al (2005) dalam De Leon (2006) menyatakan bahwa risiko merupakan
fungsi atas 3 komponen yaitu hazard, exposure, dan vulnerability yang membentuk suatu
hubungan matetamtik sebagai berikut: Risk = hazard + vulnerability + exposure.
Pengurangan nilai pada salah satu fungsi komponen akan mampu mengurangi risiko yang
ditimbulkan. Jadi peran pengaturan bentuk penggunaan lahan adalah mengurangi nilai pada
komponen hazard, artinya mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya banjir.
4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil simulasi bentuk lahan pada berbagai skenario maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Penambahan luasan bentuk penggunaan lahan hutan berdampak pada pengurangan debit
puncak air larian permukaan di DAS Samin ialah sebagai berikut: S0 (24,72 m3/s), S15
(24,07 m3/s), S30 (23,33 m3/s), S 45 (22,92 m3/s), dan S100 (21,91 m3/s).
2. Komposisi bentuk penggunaan lahan yang optimum bagi upaya pengurangan risiko banjir
di DAS Samin namun tetap memberi manfaat kepada masyarakat didalamnya perlakuan
S45 yaitu hortikultura 5%, hutan 45%, kebun campur 19 %, permukiman 21% dan sawah
9 %.
5 Daftar pustaka

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Derah Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta. Indonesia.
Gunawan, T. 1993. Interpretasi Foto Udara Untuk Pendugaan Limpasan Permukaan
Menggunakan Pendekatan bentang Lahan. Fakultas Geografi UGM.Yogyakarta.
Kerle, N., Lucas L.F.Jansen., Gerrit C. Huurneman, 2004. Principle of Remote Sensing. An
Introductory textbook. ITC. Enschede. The Netherland.
Leon De Juan,C.V. 2006. Vulnerability. A Conceptual and Methodological Review. Source.
UNU. Germany.
Ryszkowski, L, 2002. Landscape Ecology in Agroecosystems Management. CRC Press. Boca
Raton. USA.
SCDT,2003. Storm Water Quality Handbook. Caltrans, State of California Department of
Transportation
Soerwono, 2000. Hidrologi Operasional Jilid Kesatu. Penerbit Citra Aditya Bakti Bandung.
Malingreau , J.P. and Christiani. R, 1981. A Land Cover/Land Use Classification For
Indonesia. The Indonesian Journal of Geography.Facultyn of Geography. Gadjah
Mada University , Yogyakarta.
Meijerink, A.M.J. 1970. Photo Interpretation in Hidrology. A Geomorphologycal Approach.
UTC. Delfs.
Hamilton L,S. and Peter N King, 1983. Tropical Forested watersheds, Hydrological and Soils
response to Major Uses or conversion. WESTVIEW PRESS Inc.Boulder, Colorado
80301, USA.
Hillel, D. 2004. Terrain Introduction to Environmental Soil Physics. Elsevier Academic
Press.. United States.
Suyono dan Sudarmadji, 2004. Pengelolaan Daerah Sungai Terpadu dalam Rangka
Pengendalian Tata Air Berwawasan Lingkungan. BIGRAF Publishing bekerjasama
dengan STTL. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai