Anda di halaman 1dari 211

STRATEGI KONSERVASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

BERBASIS VARIABILITAS IKLIM DI DAS CISANGKUY


CITARUM HULU

DADANG SUBARNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Konservasi


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Variabilitas Iklim di DAS Cisangkuy
Citarum Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Dadang Subarna
NIM P062100081
RINGKASAN

DADANG SUBARNA. Strategi Konservasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai


Berbasis Variabilitas Iklim di DAS Cisangkuy Citarum Hulu. Dibimbing oleh
M.YANUAR J. PURWANTO, KUKUH MURTILAKSONO dan CECEP
KUSMANA.

DAS Cisangkuy yang terletak di wilayah Citarum hulu adalah bagian dari
cekungan Bandung sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan mempunyai
peran penting dalam memasok kebutuhan air baku bagi Kota dan Kabupaten
Bandung. DAS tersebut mempunyai sifat yang menarik ditinjau dari aspek iklim
yaitu antara daerah hulu dan daerah hilir mempunyai indeks kelembapan iklim,
sifat temperatur, curah hujan, evapotranspirasi, pola limpasan permukaan dan
dampak perubahan iklim yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik
biofisik yang berbeda antara hulu dan hilir terutama topografi. Berlangsungnya
penggunaan lahan secara intensif dan tidak memperhatikan aspek lingkungan dan
variabilitas iklim yang tinggi telah menimbulkan masalah pada tata kelola air.
Karakteristik biofisik yang berbeda antara hulu dan hilir dan perlakuan yang tidak
tepat terhadap sumberdaya DAS terutama lahan, akan membawa konsekuensi
logis bagi pendekatan aspek pengelolaan jangka panjang. Oleh karena itu perlu
kajian komprehensif terhadap variabilitas iklim terkait dengan aspek pengelolaan
terutama curah hujan dan limpasan dengan beberapa metode pendekatan. Tujuan
penelitian adalah untuk mendapatkan model pengelolaan DAS berbasis
variabilitas iklim dengan sasaran (1) Menganalisis pengaruh iklim global dan
pengaruh kondisi lokal (topografi) terhadap variabilitas hidroklimat di DAS
Cisangkuy. (2) Mengembangkan suatu model prediksi hidroklimat di DAS
Cisangkuy.(3) Menganalisis model simulasi perubahan tata guna, tutupan dan
kemiringan lahan terhadap debit sungai Cisangkuy. (4) Mengkaji tingkat
kepentingan program-program yang diperlukan di DAS Cisangkuy terkait dengan
variabilitas iklim. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut beberapa metode
digunakan seperti analisis wavelet, analisis statistik antara curah hujan dan elevasi,
pengembangan model prediksi komponen iklim dan analisis model hidrograf
satuan terdistribusi dalam rangka berbagai kemungkinan skenario ke depan serta
program-program yang dibutuhkan pada aspek pengelolaan jangka panjang
berdasarkan model terstruktur interpretasi terkait variabilitas iklim di DAS
Cisangkuy. Hasil analisis data curah hujan menunjukkan variabilitas tinggi dari
hilir ke hulu secara berurutan dengan nilai CV (Coefficient Variability) yaitu
stasiun Ciherang, Cileunca, Kertamanah dan Cipanas masing-masing 70%, 78%,
82%, 84%. Curah hujan mempunyai osilasi dominan sekitar 12 bulan (osilasi
tahunan). Debit sungai Cisangkuy mempunyai variabilitas tinggi pula yaitu 86%,
serta osilasi dominan 12 bulan, osilasi 64 bulan di stasiun Kamasan dan 97%,
osilasi 12 bulan, 128 bulan di stasiun Pataruman. Peningkatan curah hujan
dengan elevasi mempunyai nilai rata-rata 11.62 mm per 100 m. Musim penghujan
(DJF) mempunyai kenaikan sebesar 17.7 mm dan musim kemarau (JJA)
mempunyai kenaikan sebesar 5.9 mm per 100 m. Skenario perubahan
penatagunaan lahan dibuat untuk kondisi eksisting 2010 dan kondisi RTRW 2030
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap limpasan di masa mendatang berdasar
kan model prediksi curah hujan yang dikembangkan. Dengan metode statistik
non-linear didapat parameter untuk prediksi curah hujan yaitu waktu tunda 2 dan
dimensi embedding 23 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.60. Validasi
model limpasan dengan data pengamatan dilakukan pada rentang 2001-2011
didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.65. Hasil skenario eksisting 2010 didapat
puncak limpasan sebesar 5.51 m3/dt sedangkan skenario RTRW sebesar 4.26
m3/dt, terjadi reduksi sebesar 1.25 m3/dt. Rasio limpasan rata-rata untuk skenario
2010 terhadap skenario RTRW selama rentang 2015-2050 sebesar 0.55 atau turun
sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa penatagunaan lahan sesuai dengan
peruntukannya yang disusun berdasarkan pola RTRW dapat menurunkan tingkat
limpasan ke level yang signifikan. Untuk mencapai program pengelolaan jangka
panjang pada level perencanaan strategis agar tercapai konservasi pengelolaan
DAS secara optimal terkait variabilitas dan perubahan iklim adalah peningkatan
kesadaran para pihak, konservasi daerah tangkapan hujan (Recharge Area),
teknologi pengelolaan DAS dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan
aparat.

Kata kunci: Strategi Konservasi, Pengelolaan DAS, Variabilitas Iklim, Citarum


Hulu, Curah Hujan, Aliran Sungai
SUMMARY

DADANG SUBARNA. Conservation Strategy of Watershed Management Based


on Climate Variability in Cisangkuy watershed of Upstream Citarum. Supervised
by M. JANUAR J. PURWANTO, KUKUH MURTILAKSONO and CECEP
KUSMANA.

Cisangkuy watershed which is located in Upstream Citarum and a part of


Bandung Basin as National Strategic Region (NSR) has an important role in the
raw water supply to the City and Bandung Regency. The watershed has an
interesting characteristics from climate perpective. This watersed has different
climate moisture index, temperature, rainfall, evapotranspiration, surface run off
and climate change impact between upstream and downstream. These differences
are due to variation in biophysical characteristics between upstream and
downstream especially topography. The lack of environmental awareness and
intensively continued the land use has generated problems in the raw water
management. The different biophysical characteritics and inappropriate treatment
to the watershed resources, especially the land, will bring about logical
consequences to long-term approach of the management aspect. Therefore, it
requires a comprehensive study to climate variability related to management
aspect especially rainfall and runoff, with several different methods. The goal of
this research is to obtain watershed management model based on climate
variability, with target as follow (1) To analysis global climate and local condition
(topography) effects to hydroclimate variability of Cisangkuy watershed, (2) To
deevelop a hydroclimate prediction model of Cisangkuy watershed, (3) To
analysis LULC simulation to Cisangkuy river flow, (4) Study the urgency of
programs required in Cisangkuy watershed related to climate variability. To reach
those targets, several methods are used, such as wavelet analysis, statistical
analysis between rainfall and elevation, development of prediction model of
climate component, and analysis of spatial distributed unit hydrograph model
from various possible scenarios of the future, and programs required in
management aspect based on interpretative structural model related to climate
variability in Cisangkuy watershed. The results of rainfall data analysis show high
variability from downstream to upstream sequentially of CV (Coefficient of
Variability ) values of 70%, 78%, 82%, 84% in Ciherang, Cileunca, Kertamanah
and Cipanas station respectively. Rainfall has a dominant oscillation around 12
months (annual oscillation). Cisangkuy river flow has high variablity of 86% and
major oscillation of 12 months, 64 months in Kamasan station and 97%, 12
months and 128 months in Pataruman station. Increase of rainfall with elevation
has average value of 11.62 mm per 100 m. Increase of 17.7 mm is observed in
rainy season ( DJF) and 5.9 mm in dry season ( JJA). Scenario of LULC with
2010 existing condition and with RTRW 2030 condition to study the impact to
river flow based on rainfall prediction model. Non-linear statistical methods is use
to get the parameters needed to predict the rainfall, i.e time delay of 2 and
embedding dimension of 23 with correlation coefficient of 0.60. Results of 2010
scenario existing condition show the river flow of 5.51 m3/dt and CV of 90%
while RTRW scenario has 4.26 m3/dt and CV of 81%, so there is a reduction of
1.25 m3/dt and CV of 9%. The river flow average ratio of 2010 scenario to the
RTRW scenario is 0.55 or equal to 44% in 2015-2050 period. The result show
that LULC according to district spatial planing can reduce level of river flow
significantly. In the long term management program at strategic planning to reach
the optimal watershed conservation management related to climate variability and
climate change are improving the stakeholder’s awareness, recharge area
conservation, watershed management technology and improving knowledge and
skill of apparatus.

Key words: Conservation Strategy, Watershed Management, Upstream Citarum,


Climate Variability, Rainfall, River Flow
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI KONSERVASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
BERBASIS VARIABILITAS IKLIM DI DAS CISANGKUY
CITARUM HULU

DADANG SUBARNA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Rahmat Hidayat, M.Si, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Rahmat Hidayat, M.Si, M.Sc

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, M.Sc


iv
vi
vii

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya
sehingga Penelitian dengan topik ”Strategi Konservasi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Berbasis Variabilitas Iklim di DAS Cisangkuy Citarum Hulu” di bawah
bimbingan dan arahan Komisi Pembimbing, telah dapat kami selesaikan dengan
baik dan pada waktunya nanti dapat disyahkan.
Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan konservasi pengelolaan
daerah aliran sungai semakin meningkat. Upaya meningkatkan konservasi
pengelolaan diberbagai aspek terus dilakukan termasuk dalam upaya
mengantisipasi variabilitas iklim. Upaya penggunaan sumberdaya di daerah aliran
sungai yang memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat, telah
menginspirasi keinginan saya untuk melakukan penelitian ini. Mengetahui
pengaruh variabilitas iklim terhadap daerah aliran sungai dengan menggunakan
pendekatan model merupakan kajian penting agar ditemukan pendekatan
pengelolaan yang lebih baik dan dapat disarankan sebagai bentuk sumbangan
pemikiran terhadap permasalahan pengelolaan daerah aliran sungai yang menjadi
isu strategis dan secara realitas terjadi berdasarkan pendekatan ilmiah.
Atas tersusunnya Disertasi ini, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS selaku Ketua Komisi
Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Prof. Dr. Ir. Cecep
Kusmana,MS selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan dan
perbaikan yang telah diberikan baik ketika proses belajar-mengajar maupun ketika
konsultasi. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep
Kusmana MS. selaku Ketua Program Studi PSL, dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA,
selaku Sekretaris Program Studi PSL yang senantiasa memberikan dorongan
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan Disertasi ini. Ucapan terima kasih
kami sampaikan Prof. Dr. Thomas Djamaluddin selaku Kepala LAPAN dan Prof.
Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc, Dr .Ir. Rahmat Hidayat, M.Sc selaku penguji serta
KEMENRISTEK DIKTI selalu sponsor dan pemberi beasiswa. Ucapan terima
kasih kepada Dr. Didi Satiadi sebagai motivator penulis dan Dr. Bambang D.
Dasanto, Dr. Syafruddin, Dr. Prima Dr. Rusli dan rekan-rekan PSL, Andi, Agung
dan rekan-rekan agromet, serta tentunya keluarga atas dorongan dan kerjasamanya.
Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi
dalam penyusunan Disertasi ini, kami ucapkan terima kasih.
Semoga penelitian yang kami laksanakan dapat berjalan dengan baik dan
lancar serta menghasilkan solusi masalah yang tepat dan bermanfaat bagi
pembangunan untuk mewujudkan daerah aliran sungai yang optimal menopang
kehidupan, Amin.
Bogor, Agustus 2015

Dadang Subarna
NRP: P062100081
viii
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 4
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8
Hipotesis 8
Kebaruan Penelitian (Novelty) 8
Sistematika Penulisan 8
2 METODE PENELITIAN 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Jenis, Sumber, Teknik Analisis dan Metode Pengumpulan Data 11
Metode Analisis 12
Ruang Lingkup Penelitian 17
3 PENGARUH IKLIM GLOBAL TERHADAP VARIABILITAS
HIDROKLIMAT DAERAH TANGKAPAN AIR CISANGKUY 18
Pendahuluan 18
Data dan Metode 19
Hasil dan Pembahasan 23
Simpulan 29
4 HUBUNGAN ANTARA CURAH HUJAN DAN ELEVASI DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI CISANGKUY 30
Pendahuluan 30
Data dan Metode 31
Hasil dan Pembahasan 33
Simpulan 39
5 PENGEMBANGAN MODEL PREDKSI HIDROKLIMAT (STUDI
KASUS PRAKIRAAN CURAH HUJAN DI WILAYAH SITU
CILEUNCA KABUPATEN BANDUNG) DENGAN METODE NON-
LINEAR 41
Pendahuluan 41
Data dan Metode 43
Hasil dan Pembahasan 47
Simpulan 55
x

6 PENGARUH TATA GUNA DAN KEMIRINGAN LAHAN


TERHADAP LIMPASAN DI DAS CISANGKUY 56
Pendahuluan 56
Data dan Metodologi 58
Hasil dan Pembahasan 65
Simpulan 82
7 IMPLIKASI TINGKAT KEPENTINGAN PROGRAM PADA
PENGELOLAAN DAS BERBASIS ISM 84
Pendahuluan 84
Data dan Metode 85
Hasil dan Pembahasan 88
Simpulan 92
8 PEMBAHASAN UMUM 94
9 SIMPULAN DAN SARAN 108
Simpulan 108
Saran 109
DAFTAR PUSTAKA 110
LAMPIRAN 116
RIWAYAT HIDUP 187
xi

DAFTAR TABEL

1 Penelitian yang terdahulu di sekitar DAS Cisangkuy 9


2 Data Hidroklimat yang dikaji di DAS Cisangkuy 11
3 Beberapa data dan cara-cara pengolahannya pada penelitian ini 11
4 Data Hidroklimat DAS Cisangkuy 20
5 Koefisien variasi data curah hujan di daerah aliran sungai Cisangkuy 23
6 Koefisien variasi debit aliran sungai Cisangkuy 26
7 Estimasi regresi linear beserta kemiringan (slope) dan koefisien korelasi
Pearson dengan 600 <x<1600 38
8 Ringkasan statistik deskriptif curah hujan bulanan di statiun hidrologi
Situ Cileunca Kabupaten Bandung 47
9 Area tutupan dan penggunaan lahan (ha) 67
10 Kinerja model berdasarkan empat kriteria statistik 69
11 Pengaruh kemiringan terhadap limpasan 74
12 Penggunaan Lahan Existing tahun 2010 78
13 Penatagunaan Lahan RTRW tahun 2030 Kabupaten Bandung 80
14 Perbandingan data hasil simulasi antara skenario 2010 dan RTRW 2030 82
15 Keterkaitan antara sub elemen pada Teknik ISM 86
16 Sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS Cisangkuy secara optimal 88
17 Structural Self Interaction Matrix (SSIM) awal elemen kebutuhan
pengelolaan DAS optimal secara Agregat 88
18 Reachability Matrix (RM) elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal 89
19 Reachability Matrix (RM) final elemen kebutuhan pengelolaan DAS
optimal 90
20 Penentuan jenjang variabel-variabel dalam sub elemen melalui iterasi 90
21 Menentukan hubungan antar variabel pada setiap level 91
22 Pengaruh variabilitas iklim di DAS Cisangkuy secara temporal dan
spasial 104
23 Rencana strategis untuk aksi menghadapi variabilitas dan perubahan
iklim 107
xii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka kompleksitas permasalahan di daerah aliran sungai


Cisangkuy. 4
2 Bagan alir kerangka pemikiran 6
3 Perumusan masalah pengelolaan DAS terkait dengan variabilitas iklim 7
4 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan lokasi penelitian di
Kabupaten Bandung 10
5 (a) Wavelet Morlet dengan lebar dan amplitude tertentu sepanjang
sumbu x. (b) Kontruksi gelombang wavelet (biru putus-putus) sebagai
gelombang Sinus (hijau) dimodulasi oleh fungsi Gauss (merah).
(Sumber: http://paos.colorado.edu) 13
6 Ilustrasi titik-titik data dan evolusinya pada ruang keadaan (state
space) 14
7 Model builder untuk simulasi daerah terpengaruh limpasan puncak
dan hidrograf satuan. 16
8 Tahapan teknik ISM 17
9 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan sub-DAS dari DAS
Citarum yang terletak di Kabupaten Bandung 20
10 (a) Wavelet Morlet dengan lebar dan amplitude tertentu sepanjang
sumbu x,. (b) Kontruksi gelombang wavelet (biru putus-putus) sebagai
gelombang Sinus (hijau) dimodulasi oleh fungsi Gauss (merah).
(Sumber: http://paos.colorado.edu) 22
11 (a) Data curah hujan bulanan st. Cileunca dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang menunjukkan
periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet secara
keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 24
12 (a) Data curah hujan bulanan st. Kertamanah dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang
menunjukkan periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 25
13 (a) Data curah hujan bulanan st. Cipanas dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang menunjukkan
periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet secara
keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 25
14 (a) Data curah hujan bulanan st. Ciherang dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang menunjukkan
periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet secara
keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 26
15 Pendekatan pola debit bulanan sungai Cisangkuy dengan
menggunakan teknik perata-rataan berjalan (moving average) stasiun
hidrologi Pataruman. 27
16 (a) Data debit bulanan sungai Cisangkuy St. Pataruman dan Wavelet
Morlet yang digunakan, (b) Spektrum daya wavelet debit yang
menunjukkan periode dominan antara 128 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 27
xiii

17 Pendekatan pola debit bulanan sungai Cisangkuy dengan


menggunakan teknik perata-rataan berjalan (moving average) stasiun
hidrologi Kamasan 28
18 (a) Data debit bulanan sungai Cisangkuy St. Kamasan dan Wavelet
Morlet yang digunakan, (b) Spektrum daya wavelet debit yang
menunjukkan periode dominan antara 64 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan 28
19 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan sub-DAS dari DAS
(CD: garis utara-selatan) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten
Bandung 32
20 Diagram alir pengolahan data curah hujan spasial dan DEM dengan
SIG untuk mendapatkan profilnya masing-masing. 33
21 Digital Elevation Model (DEM) daerah aliran sungai Cisangkuy
Kabupaten Bandung. 34
22 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim penghujan
diwakili oleh bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) di daerah
aliran sungai Cisangkuy. 35
23 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim transisi
penghujan-kemarau diwakili oleh bulan Maret, April, dan Mei
(MAM) di daerah aliran sungai Cisangkuy. 36
24 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim kemarau diwakili
oleh bulan Juni, Juli, Agustus (JJA) di daerah aliran sungai Cisangkuy. 37
25 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim kemarau-
penghujan diwakili oleh bulan September, Oktober, November (SON)
di daerah aliran sungai Cisangkuy 38
26 Pola kemiringan curah hujan terhadap perubahan elevasi sangat
dipengaruhi musim, 39
27 Lokasi penelitian yang merupakan bagian dari daerah Cekungan
Bandung bagian Selatan 44
28 Data deret waktu curah hujan bulanan di stasiun Hidrologi Cileunca
dari tahun 1993-2011 44
29 Ilustrasi titik-titik data dan evolusinya pada ruang keadaan (state
space) 46
30 Diagram alir pengolahan dan prakiraan data curah hujan di area Situ
Cileunca 47
31 Fungsi densitas probabilitas curah hujan dan perbandingan dengan
fungsi distribusi logaritma logaritma normal 48
32 Kecocokan fungsi densitas curah hujan terhadap distribusi logaritmik
normal 49
33 Fungsi Autokorelasi untuk data curah hujan bulanan untuk mencari
waktu tunda (lag time) saat jatuh mendekati 0 49
34 Informasi mutual untuk data curah hujan bulanan untuk mencari
waktu tunda (lag time) saat jatuh mendekati 0 49
35 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 21 dan korelasi 0.52 50
36 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 22 dan korelasi 0.56 (B) 50
xiv

37 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan


nilai dimensi embedding 23 dan korelasi 0.60 51
38 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 24 dan korelasi 0.52 51
39 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 25 dan korelasi 0.36 51
40 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 26 dan korelasi 0.42 52
41 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 27 dan korelasi 0.25 52
42 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
dan nilai dimensi embedding 28 dan korelasi 0.34 52
43 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 29 dan korelasi 0.025 (A) 53
44 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 30 dan korelasi 0.29 53
45 Grafik hubungan antara koefisien korelasi dengan dimensi embedding
pada data curah hujan area Situ Cileunca 54
46 Diagram blok pemodelan untuk simulasi aliran puncak dan hidrograf 59
47 Diagram blok pemodelan untuk simulasi aliran puncak dan hidrograf 61
48 Prosedur untuk mendapatkan peta SCN-CN terkoreksi kemiringan 64
49 Peta penggunaan lahan untuk tahun 2001 66
50 Peta penggunaan lahan untuk tahun 2010 66
51 Kelompok tanah hidrologi (HSG) dengan bilangan kurvanya 67
52 Perbandingan dan perubahan tata guna lahan dari tahun 2001 dan
2010 68
53 Simulasi zona yang sangat terpengaruh oleh limpasan puncak pada
tahun 2001 dan 2010. (Cat:Besar puncak limpasan tahun 2001 sebesar
5.07 m3/detik dan tahun 2010 sebesar 5.51 m3/detik) 69
54 Hidrograf prediksi dengan manggunakan peta penggunaan lahan 2001
dibandingkan hasil observasi sesungguhnya. 69
55 Perubahan dalam bentuk hidrograf disebabkan oleh perubahan tata
guna lahan 70
56 Kelas kelerengan lahan di DAS Cisangkuy 71
57 Koreksi untuk kelerengan (slope) yang diturunkan dari persamaan
(30) untuk mendapatkan CN yang disesuaikan dengan kelerengan 72
58 Peta SCS-CN standar yang belum terkoreksi dengan kelerengan. 73
59 Peta SCS-CN yang sudah dilakukan koreksi dengan kerengan
berdasarkan persamaan (30) 73
60 Perubahan dalam bentuk hidrograf disebabkan oleh perubahan tata
guna lahan dan pola ruang penatagunaan lahan. 76
61 Validasi hasil simulasi limpasan dengan data pengamatan pada
rentang pengamatan 2001-2011 yang diperoleh koefisien korelasi
sebesar 65% 76
62 Grafik sebaran antara data pengamatan dan model limpasan pada
rentang 2001-2011. 78
63 Variabilitas limpasan hasil simulasi dan prediksi di DAS Cisangkuy
berdasarkan skenario kondisi eksisting 2010 79
xv

64 (a) Limpasan skenario kondisi eksisting 2010 (b) Spktrum daya


wavelet. Level kontur dipilih sedemikan sehingga 75%, 50%, 25%
dan 5% dari daya masing-masing wavelet di atas setiap level. (c)
Spektrum daya wavelet global 79
65 Pola ruang penatagunaan lahan RTRW tahun 2030 Kabupaten
Bandung 80
66 Variabilitas limpasan di DAS Cisangkuy berdasarkan skenario kondisi
RTRW Kabupaten Bandung 2030 81
67 (a) Limpasan skenario RTRW Kab.Bandung (b) Spektrum daya
wavelet. Level kontur dipilih sedemikan sehingga 75%, 50%, 25%
dan 5% dari daya masing-masing wavelet di atas setiap level. (c)
Spektrum daya wavelet global 81
68 Tahapan teknik ISM 87
69 Diagram Klasifikasi sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal 91
70 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal 92
71 Diagram I-O untuk melukiskan kejadian interaksi curah hujan dan
sistem DAS 94
72 Variabilitas dan probabilitas musiman curah hujan di DAS Cisangkuy 95
73 Variabilitas dan probabilitas debit akibat pengaruh musiman di DAS
Cisangkuy 96
74 Kecenderungan temperatur di daerah aliran sungai Cisangkuy 98
75 Perubahan curah hujan pada musim basah (DJF) di DAS Cisangkuy 99
76 Anomali curah hujan rata-rata 2041-2060 terhadap rata-rata baseline
(1950-2000) pada musim basah dengan skenario RCP26 (A) dan
RCP85 (B). 100
77 Anomali curah hujan rata-rata 2061-2080 terhadap rata-rata baseline
(1950-2000) pada musim basah dengan skenario RCP26 (A) dan
RCP85 (B) 101
78 Pola temporal proyeksi anomali curah hujan bulanan minimum (A)
dan Maksimum (B) pada periode 2041-2060 dengan skenario RCP26
dan RCP85 102
79 Pola temporal proyeksi anomali curah hujan bulanan minimum (A)
dan Maksimum (B) pada periode 2061-2080 dengan skenario RCP26
dan RCP85 103
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1 Posisi strategis DAS Cisangkuy menurut regulasi di kawasan Cekungan


Bandung 116
2 Variabilitas dan Probabilitas Curah hujan dan Debit di DAS Cisangkuy
yang berubah kontras secara musiman 117
3 Profil elevasi dan curah hujan selama 50 tahun rata-rata di DAS
Cisangkuy 118
4 Indikasi perubahan iklim di DAS Cisangkuy 119
5 Pola distribusi curah hujan dan temperatur musim basah (DJF) rata-rata
selama 50 tahun di DAS Cisangkuy 120
6 Pola distribusi curah hujan dan temperatur musim kemarau (JJA) rata-
rata selama 50 tahun di DAS Cisangkuy 121
7 Skenario perubahan iklim di DAS Cisangkuy 122
8 Pola distribusi PET musim basah (DJF) rata-rata selama 50 tahun di
DAS Cisangkuy 123
9 Pola distribusi PET musim kemarau (JJA) rata-rata selama 50 tahun di
DAS Cisangkuy 124
10 Sebaran evapotranpirasi bulanan di DAS Cisangkuy secara spasial dan
temporal: (A) Januari, (B) Februari, (C) Maret, (D) April, (E) Mei, (F)
Juni, (G) Juli, (H) Agustus, (I) September, (J) Oktober, (K) November,
(L) Desember. 125
11 Indek kelembapan iklim di DAS Cisangkuy 126
12 Potensi surplus limpasan permukaan di DAS Cisangkuy musim
penghujan (DJF) 128
13 Potensi defisit limpasan permukaan di DAS Cisangkuy musim kemarau
(JJA) 129
14 Kurva Nr dan resistanse aliran (n manning) terkait dengan perbedaan
LULC 130
15 Model builder untuk simulasi pengaruh perubahan LULC dan
kemiringan terhadap limpasan 131
16 Elemen kebutuhan program pengelolaan DAS terkait variabilitas iklim 134
17 Kuesioner untuk elemen kebutuhan pengelolaan DAS yang optimal 135
18 Matrik kuesioner dari para pakar 136
19 Strategi Konservasi Pengelolaan LULC dan Pengaruhnya pada
Limpasan di DAS Cisangkuy 137
20 Data debit sungai Cisangkuy stasiun Kamasan tahun 2001-2012 148
21 Pola limpasan sungai Cisangkuy dibandingkan pola Indeks Monsun dan
Indeks SOI (South Oscilation Index) 186
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah hulu merupakan bagian daratan yang sangat penting ditinjau dari
penyediaan air bersih (fresh water) baik dari segi ekologis, ekonomis dan
sosiologis dalam menopang ekosistem kehidupan daerah aliran sungai (MEA
2005). Akibat variabilitas dan perubahan iklim yang terjadi pada abad 21, salah
satu kawasan yang sangat rentan terkena dampak adalah daerah hulu yang
merupakan daerah pegunungan dan simpul siklus hidrologi (Kohler et al. 2014).
Dampak variabilitas dan perubahan iklim pada sumberdaya air baku berpotensi
sangat besar (IPCC 2007a; Bates et al. 2008). Di daerah yang mempunyai dampak
iklim dengan kerentanan tinggi maka sumberdaya air dan pengelolaannya dapat
berubah sangat signifikan oleh perubahan curah hujan, level muka laut,
temperatur dan kejadian cuaca ekstrem (IPCC 2007a). Limpasan tahunan di
cekungan pegunungan Mediterania yang berada di Pyrenees Spanyol bagian
tengah telah diteliti dengan berbagai skenario perubahan iklim dan perubahan
tutupan lahan yang menunjukkan bahwa kombinasi kenaikan tutupan lahan dan
perubahan iklim dapat menurunkan limpasan tahunan sebesar 29.6% (López-
Moreno et al. 2014).
Pergeseran ketersediaan air, penurunan kualitas air, kontaminasi air tanah
dan perubahan pada persyaratan pengelolaan air dapat menjadi kejadian dan
akibat buruk di kawasan dengan kerentanan tinggi (Bolson 2010). Konsekuensi
tersebut perlu diperhatikan lebih lanjut terhadap tekanan yang telah lebih dulu ada
seperti pertumbuhan populasi, perubahan tata guna lahan dan pergeseran
permintaan air (Vörösmarty et al. 2000). Masing-masing tekanan yang bukan
berasal dari aspek iklim bersifat dinamis, bercirikan ketidakpastian dan
berlangsung pada berbagai skala waktu dan ruang yang kompleks sehingga
pengelolaan sumberdaya tersebut menimbulkan tantangan yang besar (Kates
2000). Keberadaan para pihak (stakeholders) yang sangat beragam kepentingan
dalam pembuatan keputusan tentang alokasi sumberdaya air menghadirkan faktor-
faktor yang berkontribusi pada tingkat kompleksitas yang tinggi pada pengelolaan
DAS.
Permasalahan yang selama ini terjadi di daerah hulu adalah dampak
perubahan lingkungan global, gunung meletus, perambahan hutan, pertanian dan
peternakan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan,
pengelolaan perkebunan yang konvensional, pertambangan sumberdaya energi
dan mineral, kemiskinan dan kebutuhan lahan produktif. Kerusakan lingkungan
dan sumberdaya alam di daerah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai akibat
kegiatan antropogenik telah mencapai tingkat yang membahayakan bagi
kelangsungan dan daya dukung lingkungan di daerah aliran sungai. Selain akibat
kegiatan antropogenik, beberapa daerah hulu di Indonesia juga rawan terhadap
bencana gunung meletus, longsor dan rentan akibat pemanasan global dan
perubahan iklim. Kelompok petani mungkin harus berhadapan dengan kekurangan
pasokan air dan pengguna air di pemukiman harus menurunkan konsumsinya jika
ketersediaan air menurun (Bolson 2010).
2

Fluktuasi debit maksimum dan minimum di DAS Cisangkuy dapat menjadi


indikator kualitas tutupan lahan di daerah tersebut. Dalam sudut pandang
hidrologis, kualitas tutupan lahan suatu DAS tergolong baik jika rasio antara debit
maksimum dan minimum kurang dari 50 m3/detik (KLH 2003). Makin besar nilai
rasio ini, semakin buruk kualitas tutupan lahan Sub DAS tersebut. Kejadian banjir
yang terjadi di daerah DAS Cisangkuy terjadi terutama di daerah Baleendah,
Dayeuhkolot, dan Bojongsoang. Kejadian banjir ini hampir terjadi setiap tahun,
terutama pada saat intensitas hujan yang menghasilkanlimpasan permukaan yang
tinggi. Berdasarkan hasil analisis wilayah potensi banjir didapatkan luas wilayah
yang berpotensi banjir sangat tinggi adalah 3 343.3 ha, berpotensi tinggi 4 871.3
ha dan berpotensi sedang 690.6 ha. Wilayah-wilayah yang berpotensi banjir
sangat tinggi, umumnya terletak di sekitar titik pertemuan sungai, seperti Sungai
Citarik, Cikeruh dan Cirasea di Kec. Bojongsoang dan Sungai Cikapundung-
Cisangkuy di daerah Bojongsoang dan Baleendah serta di sepanjang bantaran
sungai. Rohmat (2009) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa pada musim
hujan DAS Cisangkuy memiliki debit yang besar sehingga menyebabkan luapan
ke kiri kanan sungai, bahkan luapan arus balik (backwater) mencapai jarak hingga
lebih dari 2 km dari sungai ke arah hulu. Kondisi ini menyebabkan Desa Andir,
Kecamatan Baleendah, sering mengalami genangan air hingga mencapai 2-3 m.
Di DAS Cisangkuy, setiap tahun erosinya sangat tinggi, yaitu mencapai 182
ton/ha, sedangkan lahan kritis tercatat 1150 ha (BPWS 2008). Akibatnya, sungai
mengalami pelumpuran, pendangkalan, dan banjir. Faktor iklim yang besar
pengaruhnya terhadap debit aliran adalah hujan. DAS Cisangkuy memiliki curah
hujan tinggi yaitu 2500-3000 mm/tahun. Selama sepuluh tahun terakhir,
memperlihatkan kecenderungan fluktuasi curah hujan yang lebih besar pada
bagian hulu dibandingkan dengan bagian hilir. Perubahan penggunaan lahan hutan
menjadi lahan pertanian berimplikasi pada potensi produk pertanian yang
meningkat pada bagian hulu, karena ditanami sayuran komersial. Namun akhir-
akhir ini memiliki masalah yaitu turunnya tingkat kesuburan tanah, bahkan
permukaan tanah perkebunan milik warga cenderung menurun tiap tahun karena
sering terjadi longsoran kecil. Selain itu, banyak hutan dialihfungsikan menjadi
kebun sayur. Bagian hilir DAS Cisangkuy mengalami penurunan luas areal
pertanian, karena lahan pertanian berkurang 44%, akibat dari meningkatnya lahan
permukiman dan industri sekitar 149% (Suriadikusumah dan Herdiansyah 2014).
Alih fungsi lahan yang terjadi pada DAS Cisangkuy merupakan permasalahan
yang mendasar dalam terjadinya fluktuasi debit, erosi, longsor dan banjir pada
DAS Citarum yang merupakan muara dari DAS tersebut. Perubahan penggunaan
lahan merupakan dampak dari bertambahnya penduduk, sehingga menyebabkan
bertambahnya pula kebutuhan akan pangan, sandang dan papan. Selain itu belum
matangnya perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun regional. Alih
guna lahan ini sering kali sembarangan tanpa memperhatikan kelas kemampuan
lahan atau daya dukung lahannya. Dampak perubahan penggunaan lahan di DAS
Cisangkuy berdampak pada semua aspek, mulai dari aspek lingkungan, sosial,
ekonomi. Aspek lingkungan memiliki dampak yang paling besar akibat dari alih
fungsi lahan ini, mulai dari erosi, longsor dan banjir.
Hasil penelitian dari Sarminingsih (2007), DAS Cisangkuy dalam kondisi
kritis, yang ditunjukkan oleh tingkat erosi, sedimentasi dan fluktuasi debit yang
semakin tinggi. Besarnya erosi pada DAS Cisangkuy sudah mencapai 182
3

Ton/Ha/Thn. Demikian pula sedimentasi yang ditunjukkan dengan laju


sedimentasi di Waduk Saguling yang mencapai 3.02 - 4.32 juta m3/tahun. Kondisi
DAS yang kritis ditunjukkan dengan fluktuasi debit maksimum dan minimum
berkisar antara 49-394 m3/detik (Suriadikusumah dan Herdiansyah 2014).
Berdasarkan data Pusat Pengembangan Sumber Daya Air (2011), telah terjadi
penurunan debit pada DAS Cisangkuy dari tahun 2007 sampai 2009, yaitu dari
rata-rata 9 008 m3/detik menjadi 6 922 m3/detik telah terjadi penurunan debit
sebesar 2 086 m3/detik.
Di daerah aliran sungai Cisangkuy menunjukkan telah terjadi kenaikan
temperatur rata-rata pada skala daerah aliran sungai, berdasarkan data iklim yang
diolah dari CRU (Climate Research Unit) di grid lokasi tersebut. Kuantitas
kenaikan temperatur tersebut berbeda antara daerah hulu dan daerah hilir. Untuk
itu perlu dipikirkan dampak adanya perubahan temperatur ini terhadap kegiatan
pengelolaan DAS. Analisis data spasial rata-rata curah hujan bulanan selama 50
tahun (1950-2000) pada musim basah (Desember-Januari-Februari) dan musim
kering (Juni-Juli-Agustus) menunjukkan akumulasi curah hujan tinggi di
pegunungan relatif dibandingkan di dataran rendahnya (daerah hilir).
Berdasarakan hasil penelitian Anders et al. (2006) menunjukkan bahwa
pegunungan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap atmosfer yaitu dapat
merubah aliran udara dan mempunyai respon radiasi Matahari yang berbeda dari
atmosfer sekelilingnya. Data curah hujan di daerah aliran sungai Cisangkuy
menunjukkan adanya tren perubahan curah hujan yang berbeda antara hulu dan
hilir akibat perubahan iklim. Analisis data curah hujan jangka panjang di
Cekungan Bandung, fakta perubahan iklim ditunjukkan dengan telah terjadinya
perubahan pola, rata-rata serta variansinya.
Dengan adanya fakta lapangan bahwa perubahan iklim yang dicirikan
dengan gejala perubahan temperatur dan curah hujan berlangsung di daerah aliran
sungai Cisangkuy, maka perlu dipikirkan apakah pengelolaan daerah aliran sungai
yang ada saat ini masih relevan atau perlu disempurnakan agar pengelolaan daerah
aliran sungai yang optimal dapat dicapai. Dalam kegiatan pengelolaan daerah
aliran sungai, maka curah hujan akan memberikan kontribusi terhadap penyediaan
air baku, jika terjadi perubahan curah hujan maka kepastian penyediaan air yang
ada selama ini harus dikaji ulang. Hal yang sama akan terjadi pada fenomena
perubahan temperatur yang terkait dengan proses evapotranspirasi, sehingga
antisipasi yang tepat dalam pengelolaan daerah aliran sungai diperlukan untuk
menghasilkan upaya konservasi tanah dan air yang memadai berkaitan dengan
penyediaan air yang optimal.
Pengetahuan tentang variabilitas iklim dapat digunakan dalam pembuatan
keputusan dan bentuk informasi seperti apa atau dukungan keputusan berupa apa
yang diperlukan dari pengetahuan variabilitas iklim dalam pembuatan keputusan
mengenai pengelolaan sumber daya DAS (Bolson 2010). Analisis, evaluasi dan
penyatuan variabilitas iklim ke dalam pengelolaan DAS adalah bagian yang
penting terutama di dalam alokasi air pada skala waktu dan ruang (Carpenter dan
Georgakakos 2001). Metode-metode prediksi dikembangkan untuk membantu
penyatuan variabilitas iklim histori, ketidakpastian pemodelan dan prediksi
limpasan dalam sistem hidrologi DAS. Langkah selanjutnya adalah menggunakan
hasil prediksi tersebut ke dalam pengelolaan DAS operasional secara efektif
dalam sistem pengelolaan sumberdaya air (Carpenter dan Georgakakos 2001).
4

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan sumberdaya DAS secara parsial-sektoral yang terdapat di


dalam suatu daerah aliran sungai telah menciptakan berbagai permasalahan yang
tidak kunjung selesai, terutama permasalahan air yang disingkat 3T (Terlalu
banyak, Terlalu sedikit dan Terlalu kotor) dalam suatu area akan berakibat negatif
pada kehidupan (Loucks dan Beek 2005; Kodoatie dan Sjarief 2010).
Permasalahan ini berakar dari perbedaan persepsi di antara para pihak atas
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang terdapat di dalamnya sesuai
dengan kerangka tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Dalam tataran
perundangan dan peraturan turunannya telah berusaha diformulasikan sistem
pengelolaan secara terpadu dan terkoordinasi (Kodoatie dan Hadimuljono 2005).
Namun dalam tingkat pelaksanaan belum sepenuhnya dipahami, apalagi
dilaksanakan oleh para pihak di tingkat operasional. Kecenderungan fragmentasi
ini semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah. Masing-masing pihak
merasa berhak melakukan pemanfaatan sesuai dengan tujuannya masing-masing
(Hasan et al. 2011). Hal tersebut memunculkan pengaruh ketidakefektifan dan
ketidakefisienan dalam berbagai hal pada pengelolaan daerah aliran sungai.
Paradigma baru dalam pengelolaan daerah aliran sungai berusaha menggambar-
kan daerah tersebut sebagai sesuatu yang utuh. Daerah aliran sungai harus
dipandang sebagai suatu sistem ekologi yang terintegrasi dalam rangka menopang
pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi wilayahnya secara optimal. Bila daerah
aliran sungai dianggap sebagai suatu sistem maka di dalam daerah tersebut
terdapat sekian banyak komponen yang saling berinteraksi, seperti ditunjukkan
pada Gambar 1.
Terdapat tiga prinsip umum dalam pengelolaan daerah aliran sungai, yaitu
(1) Lingkungan alami daerah aliran sungai sebagai suatu sistem keseimbangan
dinamik, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan (run off), dan (3)
Distribusi yang tidak merata dari air di atmosfer dalam hubungannya dengan

Gambar 1 Kerangka kompleksitas permasalahan di daerah aliran sungai


Cisangkuy.
5

praktek pengelolaan daerah aliran sungai (Drake and Hogan, 2013). Menurut
Asdak (2007), secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam
pengelolaan daerah aliran sungai, yaitu: (1) Rehabilitasi lahan terlantar atau yang
masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-
prinsip konservasi tanah dan air, (2) Perlindungan terhadap lahan yang umumnya
sensitif terhadap terjadinya erosi dan atau tanah longsor atau lahan yang
diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi di kemudian hari, dan (3)
Peningkatan atau pengembangan sumberdaya air. Kerangka pemikiran
pengelolaan daerah aliran sungai menurut Hufschmidt et al. (1987), didasarkan
pada tiga dimensi pendekatan analisis, yaitu: (1) Pengelolaan daerah aliran sungai
sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan
yang terpisah tetapi berkaitan erat; (2) Pengelolaan daerah aliran sungai sebagai
sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program pengelolaan
daerah aliran sungai, melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan (3)
Pengelolaan daerah aliran sungai sebagai serial aktivitas yang masing-masing
berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan spesifik.
Dengan adanya bentuk hubungan antara masukan dan keluaran dari
ekosistem DAS maka terdapat hubungan antara parameter satu dengan parameter
yang lain sehingga akan menyebabkan kinerja suatu DAS berbeda-beda.
Operasionalisasi parameter tersebut dalam mengevaluasi kinerja DAS akan
tergantung dari perubahan temperatur dan curah hujan, untuk itu strategi
pengelolaan DAS yag ada harus dikaji ulang.

Perumusan Masalah

Dampak variabilitas dan perubahan iklim telah mendapat perhatian yang


intensif yang mendorong penelitian selama beberapa dekade terakhir. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dapat
mempengaruhi sifat-sifat dan pola hidroklimat di berbagai tempat. Hal ini akan
berdampak pula terhadap perubahan sistem tata air di suatu DAS. Komponen
hidroklimat terutama curah hujan dan limpasan memegang peranan penting dalam
struktur dan fungsi tata air di suatu DAS terutama dalam menentukan ketersediaan
air untuk berbagai kebutuhan. Adanya variabilitas besaran perubahan iklim yang
berbeda antara hulu dan hilir maka alokasi dan strategi yang sama antara di hulu
dan di hilir maka menyebabkan gagalnya target pengelolaan, seperti besarnya
aliran permukaan dan alokasi kebutuhan air.
Penurunanan tingkat frekuensi dan kejadian kekeringan yang merugikan,
banjir, polusi yang tak terkendali dan berlebihan adalah tujuan umum dari
beberapa perencanaan dan pengelolaan daerah aliran sungai. Tujuan lain meliputi
identifikasi dan evaluasi ukuran-ukuran alternatif yang mungkin akan
meningkatkan ketersediaan pasokan air atau pembangkit listrik, penurunan tingkat
erosi dan sedimentasi, peningkatan rekreasi dan atau navigasi. Kriteria kinerja
sistem kuantitatif dapat membantu dalam hal penilaian netto benefit relatif, yang
bagaimanapun harus terukur dari perencanaan alternatif dan kebijakan-kebijakan
pengelolaan. Terkait dengan PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang serta Perda No. 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa
Barat yang harus dijadikan acuan dalam RTRW Kabupaten Bandung, maka
6

penajaman strategi pengelolaan DAS yang diamanatkan dalam regulasi tersebut


perlu diperbaiki.
Tutupan lahan di DAS Cisangkuy saat ini banyak didominasi oleh kawasan
pemukiman dan lahan pertanian semusim. Berdasarkan kecenderungan
penggunaan lahan yang terjadi selama ini, kemungkinan tutupan lahan di DAS
Cisangkuy ke depan akan semakin didominisasi oleh tutupan non-hutan.
Perubahan ini diperkirakan akan mempengaruhi rezim aliran sungai di DAS
Cisangkuy dan akan meningkatkan risiko bencana yang terkait iklim khususnya
bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Perubahan
iklim diperkirakan akan semakin memperbesar tingkat potensi bencana iklim.
Ketersedian kajian yang dapat digunakan untuk memberikan arahan dalam
perencanaan penggunaan lahan masa depan dengan mempertimbangkan
variabilitas dan perubahan iklim menjadi sangat penting. Menurut Eriyatno (1999)
tentang diagran I-O dalam teori sistem dan menurut Seyhan (1990) tentang sistem
daerah aliran sungai maka untuk menyederhanakan persoalan, sistem DAS yang
dikaji dibagi menjadi tiga konsep blok diagram berupa konsep masukan, proses
dan keluaran. Oleh karena itu alur pikir dalam penelitian ini ditunjukkan pada
Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran


7

Gambar 3 Perumusan masalah strategi konservasi pengelolaan DAS


terkait dengan variabilitas iklim.
Dilihat dari aspek pengelolaan, maka hutan, tanah, air, masyarakat dan
komponen lain merupakan tujuan strategis atau obyek strategis yang harus
dikelola, maka perumusan masalah strategi konservasi pengelolaan DAS dan
penyelesaianya dapat dilihat pada Gambar 3.
Dari uraian yang tertuang di latar belakang, kerangka pemikiran dan
perumusan masalah maka formulasi permasalahan penelitian dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana pengaruh iklim global dan pengaruh kondisi lokal (topografi)
terhadap variabilitas hidroklimat di DAS Cisangkuy?
2. Bagaimana upaya pengembangan model prediksi hidroklimat di DAS
Cisangkuy?
3. Bagaimana pengaruh perubahan tata guna, tutupan dan kemiringan lahan
terhadap debit sungai Cisangkuy?
4. Bagaimana tingkat kepentingan program-program yang diperlukan di DAS
Cisangkuy terkait dengan variabilitas iklim?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk merancang strategi konservasi


pengelolaan daerah aliran sungai berbasis variabilitas iklim di DAS Cisangkuy.
Tujuan khusus penelitian adalah teridentifikasinya permasalahan dan isu-isu di
DAS Cisangkuy dan didapatkannya strategi konservasi pengelolaan DAS
Cisangkuy dari aspek variabilitas iklim. Secara terperinci tujuan khusus dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh iklim global dan pengaruh kondisi lokal (topografi)
terhadap variabilitas hidroklimat di DAS Cisangkuy.
2. Mengembangkan suatu model prediksi hidroklimat di DAS Cisangkuy.
3. Menganalisis model simulasi perubahan tata guna, tutupan dan kemiringan
lahan berbasis SIG terhadap debit sungai Cisangkuy.
8

4. Mengkaji tingkat kepentingan program-program yang diperlukan di DAS


Cisangkuy terkait dengan variabilitas iklim.

Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:


1. Landasan dan acuan bagi para perencana dan pembuat kebijakan pengelolaan
DAS dataran tinggi di kabupaten Bandung dalam merencanakan pengelolaan
DAS berbasis variabilitas iklim secara optimal untuk menjamin ketersediaan
pasokan air.
2. Acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang DAS hulu khususnya di
Kabupaten Bandung.

Hipotesis

DAS dataran tinggi sebagai menara air tawar (fresh water tower).
Ketersediaan dan pasokan air sangat dipengaruhi oleh variabilitas iklim,
karakteristik dan ekosistem daerah aliran sungai sehingga perlu dirancang suatu
strategi konservasi pengelolaan yang bercirikan DAS hulu berbasis variabilitas
iklim.

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaruan penelitian ini adalah: 1) Kerangka kerja (framework) yang unik


dan khas, 2) Lokasi penelitian sangat spesifik (Site Specific), 3) Pengembangan
model prediksi curah hujan yang lebih sederhana. Beberapa hasil penelitian
terdahulu sekitar di DAS Cisangkuy dan kebaruannnya masing-masing, dapat
diringkas pada Tabel 1.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berawal dari fakta lapangan dan hasil-hasil studi


literatur yang menunjukkan telah terjadi fluktuasi komponen iklim yang tinggi
sehingga menyebabkan permasalahan yang harus dicari hubugan sebab-akibat
(causality) dan kemungkinan solusinya diuraikan dalam Bab 1. Agar dapat
ditemukan solusi maka harus ada konsep penyelesaian masalah yang dituangkan
dalam rangkaian metode pada Bab 2. Mengacu pada kerangka pemikiran dan
perumusan masalah di Gambar 2 dan Gambar 3 bahwa curah hujan sebagai
imbuhan (masukan) utama ke sistem DAS mengalami gangguan variabilitas oleh
fenemena-fenomena global dan lokal sebagaimana diuraikan dalam Bab 3 dan 4.
Sebelum melakukan pemodelan dan simulasi dengan berbagai kemungkinan
skenario maka driving force utama sistem DAS (curah hujan) harus bisa
diprediksi ke masa depan yang diuraikan dalam Bab 5. Hasil prediksi dan hasil
dari Bab-Bab sebelumnya digunakan untuk melakukan simulasi dengan berbagai
skenario di Bab 6. Implementasi program untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan hasil skenario dari Bab 6 diuraikan pada Bab 7. Rangkaian hasil-
hasil pada Bab-Bab sebelumnya ditambah dengan beberapa lampiran dibahas
secara komprehensif pada Bab 8 untuk sampai pada kesimpulan.
9

Tabel 1 Penelitian yang terdahulu di sekitar DAS Cisangkuy


No. Peneliti Lokasi, Tahun Metode Hasil
1. Aqil Sungai Citarum, 2007 Pemodelan Neuro-fuzzy Model neuro-fuzzy Mampu meningkatkan root mean square error (RMSE) dan mean absolute
percentage error (MAPE) dari nilai prakiraan regresi linear ganda masing-masing sebesar 13.52%
dan 10.73%,
2. Suharyanto Upper Citarum River Pendekatan Normalized BOD, Total P, NO3-N, Fecal coli and Zn di daerah hilir teridentifikasi sebagai area prioritas yang
dan (UCR) Basin, 2011 rank means (NRM) sangat dipengaruhi oleh LULC yang cepat karena urbanisasi dan industri.
Matsushita
3. Safarina DAS Citarum, DAS Analisis hydrograf satuan Debit puncak merupakan fungsi linier dari luas DAS. Dengan analisis regressi dihasilkan
Ciliwung, DAS observasi hubungan matematik debit puncak dengan luas DAS adalah Qp= 0.025 A
Cimanuk, 2009
3
4. Safarina DAS Cisangkuy, 2007 Analisis Hydrograf Debit puncak observasi Q sungai Cisangkuy adalah 5.5 m /s, waktu puncak T sama dengan 5 jam
p p
dan waktu dasar T sama dengan 22 jam
b
5. Hidayat Citarum Hulu, 2013 Analisis Perubahan Fluktuasi debit aliran Sungai Citarum Hulu sangat tinggi. Pada puncak musim hujan debit aliran
penggunaan lahan dan dapat mencapai 578 m3/dt sehingga menimbulkan banjir di wilayah Majalaya, Banjaran, dan
pengelolaan lahan Dayeuhkolot. Sebalik nya pada musim kemarau debit aliran sangat rendah, sekitar 2,7 m3/detik
pertanian sehingga menyebabkan kekeringan dan kegagalan panen padi serta berkurangnya pasokan air ke
PLTA Saguling
6. Djebou South western United Analisis 370 St. Meteo Didasarkan pada analisis awal selama 1895–2011, jumlah rata-rata presipitasi bulan JJA naik
States, 2014 selama 5 dekade dengan sebesar 22–43% dari total tahunan dengan prosentasi terbesar di bagian daerah kering.
menggunakan
regionalisasi, komponen
utama dan kluster
7. German Eastern African Review Partisipasi dalam diagnosis masalah dan implementasi program harus bergerak jauh di level
highlands forum komunitas untuk proses pemisahan secara sosial dan pengelolaan pertentangan kelompok
yang beragam secara eksplisit. Integrasi tidak terjadi melalui implementasi banyak intervensi
paralel tetapi melalui analisis eksplisit intervensi terhadap potensi pertentangan dan sinergi untuk
komponen sistem yang beragam dan strategi untuk mendefinisikan dan mencapai level tujuan
sistem.
8. Luijten Cabuyal River Model neraca air berbasis Simulasi rata-rata aliran sungai di outlet DAS 874, 796 and 925 l/s masing untuk Skenario CF
watershed southwest spasial GIS- (corporate farming), EW (Ecological watershed) dan BU (Business as usual). Kontribusi base
Colombia, 2001 flow untuk aliran sungai (base flow index) adalah rata-rata masing-masing , 80.8, 85.6 and 77.9%,
untuk 3 skenario
10

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah aliran sungai Cisangkuy yang terletak antara


06o 59’24” – 07o 13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT di Kabupaten
Bandung (Gambar 4) yang berlangsung pada tahun 2013-2015 yang dilakukan
secara bertahap. DAS Cisangkuy adalah sub-DAS Citarum Hulu dengan topografi
bervariasi dari ketinggian 2 327 m dari permukaan laut di Gunung Malabar,
hingga 658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum. Di
DAS tersebut terdapat Situ Cileunca yang merupakan danau buatan untuk
pemenuhan kebutuhan listrik perkebunan pada masa kolonial. Situ Cileunca
dibangun pada tahun 1924 dengan kapasitas tampung sebesar 11.3 juta m3 (PLN
PLENGAN 2010). Di sebelah selatan Situ Cileunca terdapat Situ Cipanunjang
yang mendapat air dari kali Cilaki, Cibolang, Cihurangan, Cikuningan dan
Citambaga. Situ Cileunca mendapat air dari situ Cipanunjang, Sungai Cilaki Beet
dan Sungai Cibuniayu.

Gambar 4 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan lokasi penelitian di


Kabupaten Bandung
11

Jenis, Sumber, Teknik Analisis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan untuk penelitian ini dapat dikategorikan menjadi dua
jenis data yaitu data primer (Tabel 3, lihat No.6 dan No7) dan data sekunder,
seperti ditunjukkan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Data Hidroklimat yang dikaji di DAS Cisangkuy
Nama Stasiun Hidroklimat Lokasi( LS, BT) Periode data
Cileunca 07 11'35", 107032'41"
0
1993-2012
Kertamanah 06011'25", 107036'38" 2001-2012
Cipanas 06049'15", 107037'59" 2001-2012
Ciherang 0702'13", 107034'49" 2001-2012
Pataruman 7 06' 35'', 107 32' 48'' 2001-2012
Kamasan 7 02' 45'', 107 34' 39'' 2001-2012

Untuk dapat menghasilkan sebuah informasi yang bermanfaat maka data


harus diolah berdasarkan metode tertentu sehingga didapat hasil yang diinginkan.
Data yang telah diberi arti dengan cara hubungan relasional akan menjadi
informasi yang berguna. Kemudian kumpulan informasi tersebut diinterpretasikan
berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya yang bersumber dari rujukan,
diskusi, pemikiran, pengalaman di lapangan untuk menjadi pemahaman baru.
Pemahaman adalah proses interpolatif dan probabilistik yaitu proses dimana
seseorang mengambil pengetahuan dan mensintesis pengatahuan baru dari
pengetahuan yang dipunyai sebelumnya. Jenis data, sumber data dan teknik
analisis untuk menghasilkan tujuan pengolahan data dan hasil-hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Beberapa data dan cara-cara pengolahannya pada penelitian ini


Teknik Ketrangan
No Tujuan Data Hasil
Analisis
1 Untuk analisis Data Visualisasi Fungsi korelasi, Untuk mencapai
pengaruh ENSO dan dan Analisis korelasi silang Tujuan 1, ditulis
variabilitas Monsun statistik dan dalam Bab 3
iklim global (koefisien pengaruhnya
terhadap variasi, terhadap
skala lokal Korelasi, variabilitas
korelasi hidroklimat di
silang, DAS Cisangkuy
wavelet)
2 Untuk Curah Pengolahan Layer curah Untuk mencapai
mengetahui hujan dengan hujan rata-rata Tujuan 1 tetapi
distribusi spasial rata- software 50 tahun ditulis dalam
spasial rata- rata Arcgis 9.3 bulanan Bab 4
rata bulanan bulanan
1950-2000
3 Untuk Variabel Visualisasi Fungsi korelasi, Untuk mencapai
mengetahui hidroklimat dan Analisis koefisien Tujuan 2, ditulis
korelasi antar (curah statistik korelasi dan plot dalam Bab 5
variabel dan hujan dan (Korelasi, frekuensi-waktu,
12

periodisitas debit korelasi periodistas-


variabel sungai silang, waktu
Cisangkuy) wavelet)

4 Untuk Data Visualisasi Fungsi korelasi, Untuk mencapai


mengetahui Klimatologi dan Analisis koefisien Tujuan 2, ditulis
korelasi antar beberapa statistik korelasi dan plot dalam Bab 5
variabel dan stasiun di (Korelasi, frekuensi-waktu,
periodisitas lokasi korelasi periodisitas-
variabel penelitian silang, waktu
wavelet)
5 Untuk Data Satelit Analisis Peta tutupan dan Untuk mencapai
mengetahui Landsat Sistem tata guna lahan Tujuan 3, ditulis
penggunaan Informasi dalam Bab 6
lahan Geografi
(ERDAS dan
Arcgis 9.3)
Untuk Sifat-sifat Konseptual Prototipe model Untuk mencapai
Mengetahui Fisis DAS Model Hidroklimat Tujuan 3 ditulis
hubungan builder DAS dalam Bab 6
curah hujan,
LULC,sifat
tanah sebagai
elemen DAS
dengan aliran
sungainya
6 Menentukan Instansi dan Menghasilkan Untuk mencapai
atribut Kunci Pihak Program- Tujuan 4 ditulis
terkait program yang dalam Bab 7
diperlukan
dalam
pengelolaan
DAS
7 Untuk Hasil Prospektif Mekanisme Untuk mencapai
mengetahui wawancara, Interpretative Interrelasi Tujuan 4, ditulis
Mekanisme kuisioner, Structural Antar Elemen dalam Bab 7
Interrelasi Text Book, Modelling
Antar Elemen Studi, BPS, (ISM)
PP dan
Kepmen
PU dll

Metode Analisis

Metode Analisis Pengaruh Global dan Lokal terhadap Variabilitas


Hidroklimat DAS Cisangkuy
Variabilitas hidroklimat di DAS Cisangkuy dianalisis menggunakan metode
wavelet untuk memahami pengaruh iklim global (monsun dan ENSO). Suatu
paket gelombang dengan durasi terbatas dan frekuensi tertentu dapat digunakan
sebagai fungsi window untuk analisis ragam suatu sinyal. Paket gelombang ini
biasanya disebut Wavelet yang merupakan gelombang sinus dikalikan dengan
13

gelombang pembungkusnya biasanya bentuk fungsi Gauss (Torrence dan Compo


1998) seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 (a) Wavelet Morlet dengan lebar dan amplitude tertentu sepanjang
sumbu x. (b) Kontruksi gelombang wavelet (biru putus-putus)
sebagai gelombang Sinus (hijau) dimodula
dimodulasi
si oleh fungsi Gauss
(merah). (Sumber: http://paos.colorado.edu)

Wavelet Morlet pada Gambar 5.a didefinisikan sebagai perkalian dari


gelombang eksponensial kompleks dan pembungkus Gauss:

(1)

Ini adalah fungsi wavelet dasar, dimana ψ adalah nilai wavelet pada waktu
tak berdimensi η dan ωo adalah bilangan gelombang. Untuk merubah keseluruhan
ukuran agar dapat menggeser keseluruhan wavelet sepanjang sumbu waktu maka
dirumuskan wavelet berskala yaitu:

(2)

Dimana s adalah parameter dilatasi yang digunakan untuk merubah skala


dan n adalah parameter translasi yang digunakan untuk menggeser dalam sumbu
waktu. Faktor s-1/2 adalah normalisasi untuk mempertahankan energi total
konstanta wavelet yang terskala. Sehingga bila suatu deret waktu X dengan nilai
Xn pada indek waktu n. Setiap nilai dipisahkan dengan interval waktu kontan dt.
Transformasi wavelet Wn(s) adalah konvolusi (perkalian bintang) dari fungsi
wavelet dan detet waktu awalnya:

(3)

Dimana (*) menunjukkan konjugat kompleks. Integral pada persamaan (3)


dapat dievaluasi untuk berbagai nilai skala s (biasanya untuk pengali
kemungkinan frekuensi yang terendah, juga semua nilai n antara tanggal mulai
dan akhir. Gambaran 2-D dari variabilitas suatu deret waktu kemudian dapat
dikontruksi dengan menggambar grafik amplitudo dan fasa wavelet.
Melakukan analisis regresi linear antara data curah hujan dan topografi
dengan SIG selama 50 tahun di DAS Cisangkuy.
14

Pengembangan Model Prediksi Curah Hujan dan Debit di DAS Cisangkuy


Suatu deret waktu x(t) dapat di embedded dalam state space dengan
pendekatan dari Teori Taken dalam Huke (2006), seperti yang telah dilakukan
oleh Farmer and Sidorowich (1987) bahwa suatu deret waktu dapat diungkapkan
sebagai:

x(t ) = [ x(t),( xt − T ),...,x(t − ( N −1)τ ] (4)


T, N, dan τ masing-masing adalah lag interval, dimensi embedding dan waktu
tunda (delay/lag time), N ≥ D, dimana D adalah dimensi sistem. Hubungan
prediktif antara keadaan sekarang x(t ) dan keadaan yang akan datang dari deret
waktu diuraikan oleh Farmer and Sidorowich (1987) sebagai,

x(t + T ) = f (x(t)) T
o
(5)

Permasalahan dalam pemodelan prediktif adalah menemukan pemetaan

f : ℜ ⇒ℜ
T
o N 1
(6)
dimana ℜ adalah ruang keadaan sistem dinamik.
Suatu prediktor lokal dapat dibuat berdasarkan tetangga dekat dari x(t ) , yaitu
fitting suatu polynomial terhadap pasangan-pasangan:

(x(t ),(x(t +T ))
i i (7)

dimana x(ti ) tetangga terdekat dari x (t ) untuk ti < t .


Sinyal awal dapat juga dipandang sebagai evolusi dari keadaan x(t ) dari suatu
relasi dinamik dalam ℜ N

x(t + T ) = f ( x(t )) T (8)

f adalah pemetaan prediktif dari ℜ N ⇒ ℜ N .


T

Ilustrasi dari metoda prakiraan pada state space atau pada ruang keadaan
ditunjukkan pada Gambar 6.
x(t ) tetangga dekat dan evolusi masa depannya x(t + T ) , dimana ti<t.
i i

x(ti ) keadaan sekarang dan evolusinya x(ti + T)


Gambar 6 Ilustrasi titik-titik data dan evolusinya pada ruang keadaan (state
space)
15

Singer et al. (1992) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang pengolahan sinyal
dalam waktu diskrit untuk proses non-linear digambarkan dengan Orde ke-N
persamaan diferensial dengan bentuk
r
x ( k + 1) = f ( x ( k )) + u ( k ) (9)

k adalah indeks waktu diskrit, dimana xr ( k ) = [x ( k ), x ( k − 1),..., x ( k − N + 1) ]


T

f (x) menggambarkan pemetaan non-linear dari ℜ ⇒ ℜ dan u (k ) adalah derau.


N 1

Dinamika f (x) dapat diamati dari bentuk


r
x ( k + 1) = f ( x ( k )) + u ( k ) (10)

Pengembangan Model Terdistribusi Spasial untuk Mengkaji Pengaruh Tata


Guna dan Kemiringan Lahan terhadap Limpasan di DAS Cisangkuy
Daerah aliran sungai telah mengalami tekanan tinggi yang disebabkan oleh
pengaruh lingkungan yang sangat kumulatif pada gangguan penggunaan lahan dan
air yang disebabkan oleh antropogenik dan alam. Efek kumulatif pemanfaatan air
bersih dan perubahan daerah tangkapan air berkombinasi dengan tekanan
gangguan pada landskap akibat antropogenik menjadikan optimalisasi sistem air
bersih secara kuantitas dan kualitas menjadi berisiko. Untuk itu perlu diketahui
pengaruh tata guna dan kemiringan lahan terhadap limpasan melalui penggunaan
simulasi berbasis SIG yang dibuat oleh Deltares (2011). Model builder digunakan
untuk menggambarkan proses simulasi limpasan puncak dan hidrograf dapat
ditunjukkan seperti pada Gambar 7.
Model builder di SIG adalah suatu aplikasi untuk menciptakan, mengedit
dan mengelola model. Model dibangun berupa aliran kerja (workflows) yang
berupa deretan simbol yang saling sambung (ARC 2014). Model builder dapat
juga dipandang sebagai bahasa pemrograman visual untuk pembuatan aliran kerja.
Model builder dibangun untuk mensimulasikan daerah yang terpengaruh oleh
limpasan puncak secara spasial, puncak aliran, waktu untuk mencapai puncak
aliran dan waktu yang diperlukan dari awal sampai puncak lalu turun kembali.

Analisis Implikasi Tingkat Kepentingan Program di DAS Cisangkuy dengan


Teknik ISM
Teknik ISM menggunakan tahapan dan langkah-langkah yang secara umum
digunakan. Tahapan-tahapan tersebut (disajikan pada Gambar 8) adalah sebagai
berikut:
1) Menentukan tujuan dan output dari kajian.
2) Mental Process melalui Studi Pustaka, Diskusi, Brainstorming, dan Survey
Pakar.
3) Menentukan elemen dan sub elemen dari sistem dan jenis hubungan
konstektual.
4) Menentukan tingkat hubungan konstektual antar elemen dan sub elemen.
5) Structured Self Interaction Matrix (SSIM).
6) Transformasi SSIM ke Reachability Matrix.
7) Reachability Matrix (RM).
8) RM Transitive ----- Modifikasi SSIM ------ SSIM revised.
16

Gambar 7 Model builder untuk simulasi daerah terpengaruh limpasan puncak dan hidrograf satuan.
17

Gambar 8 Tahapan teknik ISM

Ruang Lingkup Penelitian

Interaksi antara atmosfer dan permukaan Bumi merupakan salah satu


fenomena kopel di alam yang sangat penting untuk dikaji. Penelitian ini dilakukan
di DAS Cisangkuy Kabupaten Bandung dengan menitikberatkan pada kajian
variabilitas iklim di daerah tersebut yang dipengaruhi oleh fenomena global
seperti osilasi musiman, antar musiman dan lokal seperti topografi daerah
setempat. Model prediksi berbasis deret waktu non-linear perlu dikembangkan di
daerah kajian untuk memahami variabilitas ke depan dalam rangka melakukan
simulasi dengan berbagai kemungkinan skenario
skenario.. Dampak perubahan tata guna
dan kemiringan lahan terhadap limpasan juga dikaji berd
berdasarkan
asarkan simulasi model
spasial sebagai asfek biofisik di DAS Cisangkuy dengan driving force model
prediksi curah hujan. Model ISM ((Interpretative
Interpretative Structural Modeling) digunakan
untuk memperoleh kebutuhan program yang tepat dalam rangka antisipasi
kemungkinan hasil skenario berdasarkan pemahaman variabilitas iklim untuk
mencapai pengelolaan DAS yang optimal.
18

3 PENGARUH IKLIM GLOBAL TERHADAP


VARIABILITAS HIDROKLIMAT DAERAH TANGKAPAN
AIR CISANGKUY

Pendahuluan

Sungai Cisangkuy sangat berperan penting dalam memasok kebutuhan air


baku untuk konsumsi penduduk kabupaten dan kota Bandung masing-masing
sebesar 500 l/dt dan 1800 l/dt (UPTD 2011). Kondisi pasokan tersebut sangat
dipengaruhi oleh variabilitas hidroklimat yang menjadi imbuhan utama dalam
suatu daerah aliran sungai. Fase ekstrem variabilitas iklim pada musim basah akan
menyebabkan kondisi hujan dan debit sungai yang berlebih di suatu DAS (Daerah
Aliran Sungai) dibandingkan kondisi normal atau sebaliknya kondisi kemarau
yang jauh lebih kering dari kondisi normalnya. Dampak variabilitas tersebut
dalam berbagai kondisi dan kerentanan tertentu akan menyebabkan beberapa
kasus bencana. Di dalam sistem iklim beberapa proses akan menghasilkan pemicu
kejadian-kejadian bencana. Sebagaimana dipaparkan dalam Torrence dan Compo
(1998) bahwa fenomena ENSO merupakan sebab dari mode osilasi skala waktu
sekitar 2-7 tahun siklus variabel iklim atau dikenal sebagai siklus ENSO yang
dapat mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir. Saat ini kebanyakan
pengkajian terhadap sinyal variabilitas iklim disebabkan oleh ENSO, oleh karena
itu beberapa penelitian yang terkait dengan dampak ENSO terhadap curah hujan
bulanan dilakukan di berbagai belahan dunia, seperti oleh Ropelewski dan Halpert
(1987); Pabón dan Delgado (2008); Peel et al. (2002); Poveda (2004). Dengan
demikian, skema prediksi iklim musiman didasarkan pada pemahaman tentang
fakta-fakta siklus ENSO pada daerah tertentu. Oleh karena tidak dimasukannya
mode variabilitas iklim yang lain maka prediksi akan sering gagal khususnya pada
rentang waktu dari bulan ke bulan atau kurang (Liebmann et al. 1994). Fenomena
ENSO di wilayah ekuatorial tepatnya di Lautan Pasifik mempunyai pengaruh
yang amat luas, bahkan sampai ke lintang menengah (Juaeni dan Siswanto 2006).
Sumber dari kegagalan prediksi pada rentang dari waktu bulan ke bulan
terkait dengan tidak dimasukannya variasi antar-musiman dalam skema-skema
prediksi. Fluktuasi fase antar musiman akan mengaktifkan dan tidak mengaktifkan
curah hujan selama periode tergandeng (coupling) dalam beberapa minggu
terakhir, maju ke awal atau ke akhir musim penghujan atau bahkan mengalami
periode jeda. Fase penghujan variabilitas antar musiman juga akan mengaktifkan
kejadian curah hujan tinggi dan akan mengakibatkan bencana banjir dan tanah
longsor. Oleh karena kebutuhan praktis untuk meningkatkan prediktibilitas sub-
musiman maka perhatian pada mode antar-musiman variabilitas iklim telah
meningkat dalam beberapa puluh tahun terakhir. Beberapa kajian telah dilakukan
untuk mempelajari variabilitas yang terkait dengan osilasi Madden-Julian yang
merupakan mode dominan dalam variabilitas iklim antar musiman (Madden dan
Julian 1994).
Dengan memahami kejadian tentang Intra Seasonal Variation (ISV) dan
pentingnya kondisi regional dalam meningkatkan prediksi iklim dalam rangka
mengidentifikasi kekuatan fenomena alam yang menyebabkan bencana, sistem
pencegahan dan peringatan dini, maka perlu dikaji keadaan tergandeng berbagai
19

osilasi yang menghasilkan kejadian curah hujan dan debit aliran sungai yang
ekstrem.
Beberapa peneliti telah mengkaji variabilitas antar-musiman (ISV) dalam
curah hujan di daerah-daerah dengan geografi yang berbeda di seluruh dunia.
Krishnamurti dan Shukla (2007), menemukan mode 45 dan 20 hari periode curah
hujan di India. Analisis juga dilakukan di benua Afrika (Sultan et al. 2003) yang
ditemukan sinyal periode 10-25 dan 25-60 hari pada fenomena konveksi dan
curah hujan di daerah Barat Afrika. Secara statistik puncak spektrum yang
signifikan di atas periode 15 dan 40 hari ditemukan pada curah hujan di daerah
Sahel (Sultan et al. 2003). Dengan menggunakan data outgoing long wave
radiation (OLR), Jones et al. (2004a) mengembangkan klimatologi untuk anomali
konvektif antar-musiman tropis. Ye dan Cho (2001) berhasil menganalisis data
curah hujan di Amerika dan menemukan sinyal 24 dan 37 hari. ISV konveksi dan
curah hujan untuk daerah-daerah yang berbeda di Amerika selatan telah dikaji
oleh Garreaud (2000), Petersen et al. (2002), Misra (2005). Dengan mengkaji
sebab-sebab ISV curah hujan maka beberapa peneliti telah mencurahkan
perhatiannya pada hubungan antara ISV dan osilasi Madden-Julian (MJO), karena
MJO merupakan mode yang dominan pada ISV tropis. Bantzer dan Wallace
(1996) telah menganalisis data temperatur dan curah hujan dari data satelit dan
menemukan komponen periode 40-45 hari yang sangat dekat ke periode MJO.
Liebman et al. (1994) telah menyelidiki hubungan antara siklon tropis di lautan
India dan Pasifik Barat dengan MJO. Mereka menemukan bahwa siklon
mendahului kemunculan selama osilasi fase konvektif, tetapi peningkatan
aktivitas siklon selama periode konveksi aktif tidak dibatasi oleh aktivitas MJO
dan akhirnya berkesimpulan bahwa tidak mempengaruhi siklon tropis dalam
kaadaan yang khusus (situasi ini mungkin disebabkan oleh keberadaan mode-
mode yang lain dari ISV). Jones et al. (2004b) dengan menggunakan presipitasi
pentad (lima harian) yang didasarkan pada data GPCP di atas laut India, Indonesia,
Pasifik Barat, Timur Tengah dan Cina sebelah Timur, memperlihatkan kejadian
presipitasi ekstrem meningkat dengan kehadiran fase aktif (konvektif) MJO.
Barlow et al. (2005) menganalisis curah hujan harian untuk Asia Barat Daya
menemukan bahwa kekuatan yang sebanding dengan variabilitas antar tahunan.
Bond dan Vecchi (2003) telah menemukan suatu hubungan antara MJO dan
presipitasi di negara bagian Oregon dan Washington serta ISV telah terdeteksi
dalam proses-proses konvektif di daerah Amazon (Petersen et al. 2002). Dengan
demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fenomena
iklim global dan regional terhadap pola hidroklimat lokal terutama di DAS
Cisangkuy yang menjadi daerah tangkapan dan resapan air untuk daerah Bandung
dan sekitarnya. Adanya perbedaan variabilitas iklim antara hulu dan hilir di DAS
Cisangkuy. Besarnya perbedaan tersebut pada kondisi normal dan terjadi
akumulasi siklus musiman, 5 tahunan dan 11 tahunan.

Data dan Metode

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah aliran sungai Cisangkuy yang terletak antara
06 59’24” – 07o 13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT di Kabupaten
o

Bandung seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Topografi DAS Cisangkuy


20

bervariasi dari ketinggian 2327 m dari permukaan laut di Gunung Malabar, hingga
658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum. Kondisi
hidrologi, sebaran curah hujan tahunan pada DAS Cisangkuy bervariasi dari 3500
mm/tahun hingga 2000 mm/tahun. Musim kemarau yang terjadi pada DAS
Citarum Hulu berlangsung pada bulan Juni sampai Agustus dengan September,
Oktober, November sebagai bulan-bulan transisi dari kemarau ke penghujan dan
musim penghujan pada periode Desember, sampai Februari dengan Maret, April,
Mei sebagai bulan-bulan transisi dari penghujan ke kemarau.

Data
Data hidroklimat berupa curah hujan dan debit aliran sungai Cisangkuy beserta
posisi stasiun pengamatan yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air
Provinsi Jawa Barat digunakan dalam penelitian ini seperti ditunjukkan dalam
Tabel 4.

Gambar 9 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan sub-DAS dari DAS
Citarum yang terletak di Kabupaten Bandung
Tabel 4 Data Hidroklimat DAS Cisangkuy
Lokasi
Nama Stasiun Hidroklimat Periode data
( LS, BT)
Cileunca 07011'35", 107032'41" 1993-2011
0 0
Kertamanah 06 11'25", 107 36'38" 2001-2011
0 0
Cipanas 06 49'15", 107 37'59" 2001-2011
0 0
Ciherang 07 2'13", 107 34'49" 2001-2011
Pataruman 7 06' 35'', 107 32' 48'' 2001-2011
Kamasan 7 02' 45'', 107 34' 39'' 2001-2011
21

Simpangan Baku
Simpangan baku atau deviasi standar adalah ukuran sebaran statistik yang
mengukur bagaimana nilai-nilai data tersebar. Bisa juga didefinisikan sebagai,
rata-rata jarak penyimpangan titik-titik data diukur dari nilai rata-rata data tersebut
dan dilambangkan dengan σ. Simpangan baku didefinisikan sebagai akar kuadrat
varians. Simpangan baku merupakan bilangan tak-negatif, dan memiliki satuan
yang sama dengan data. Misalnya jika suatu data diukur dalam satuan meter,
maka simpangan baku juga diukur dalam meter pula. Si Simpangan
mpangan baku untuk
populasi disimbolkan dengan σ (sigma) dan didefinisikan dengan rumus:

(11)

Simpangan baku untuk sampel disimbolkan dengan s dan didefinisikan dengan


rumus:

(12)

dimana adalah nilai data dari sampel dan adalah rata-rata dari
sampel. Rumus untuk menghitung rata-rata adalah

(13)

Coefficient of variation (CV) dihitung dengan rumus:

CV= (100%* simpangan baku/rata-rata) (14)

Secara statistik CV adalah gambaran dari ukuran distribusi titik-titik data dalam
suatu deret data disekitar nilai rata-ratanya yang dapat menunjukan perbandingan
derajat variasi dari satu data dengan yang lainnya.

Perata-Rataan Bergerak (Moving Average)


Moving average atau perata-rataan berjalan mempunyai tiga varian yang
berbeda yaitu Simple Moving Average, Weighted Moving Average atau adaptif dan
Exponential Moving Average. Masing-masing merupakan metode perata-rataan
bergerak, hanya saja cara merata-ratakannya yang berbeda satu sama lain. Moving
Average merupakan indikator yang akan memberikan nilai rata-rata dari
pergerakan nilai data dan digunakan untuk mengetahui trennya. Simple Moving
Average atau perata-rataan bergerak sederhana dihitung dengan rumus:


n

X
X d
= i =1
( d −i ) +1
,n ≤ d (15)
n

Rumus Weighted Moving Average atau Moving Average adaptif adalah


22

∑ wX
n

( d −i ) +1
= ,n ≤ d
i
i =1
X (16)
∑w
d n

i
i =1

Sedangkan untuk Exponential Moving Average atau perata-rataan bergerak


eksponensial adalah

∑SX
n
i −1

( d −i ) +1
X = i =1
,n ≤ d (17)
∑S
d n
i −1

i =1

dimana wi adalah bobot ke-i dan S faktor bobot berbentuk pangkat.

Transformasi Wavelet
Kata wavelet diberikan oleh Jean Morlet dan Alex Grossmann di awal tahun
1980-an, dan berasal dari bahasa Perancis, ondelette yang berarti gelombang kecil.
Kata onde yang berarti gelombang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris menjadi wave, lalu digabung dengan kata aslinya sehingga terbentuk kata
baru wavelet (Sediyono et al. 2009).
Suatu paket gelombang dengan durasi terbatas dan frekuensi tertentu dapat
digunakan sebagai fungsi window untuk analisis ragam suatu sinyal. Paket
gelombang ini biasanya disebut Wavelet yang merupakan gelombang sinus
dikalikan dengan gelombang pembungkusnya biasanya bentuk fungsi Gauss.
Wavelet Morlet pada Gambar 10.a didefinisikan sebagai perkalian dari
gelombang eksponensial kompleks dan pembungkus Gauss:

(18)

Persamaan (18) adalah fungsi wavelet dasar, dimana ψ adalah nilai wavelet
pada waktu tak berdimensi η dan ωo adalah bilangan gelombang. Untuk merubah
keseluruhan ukuran agar dapat menggeser keseluruhan wavelet sepanjang sumbu
waktu maka dirumuskan wavelet berskala yaitu:

Gambar 10 (a) Wavelet Morlet dengan lebar dan amplitude tertentu sepanjang
sumbu x,. (b) Kontruksi gelombang wavelet (biru putus-putus)
sebagai gelombang Sinus (hijau) dimodulasi oleh fungsi Gauss
(merah). (Sumber: http://paos.colorado.edu)
23

(19)

Dimana s adalah parameter dilatasi yang digunakan untuk merubah skala dan n
adalah parameter translasi yang digunakan untuk menggeser dalam sumbu waktu.
Faktor s-1/2 adalah normalisasi untuk mempertahankan energi total konstanta
wavelet yang terskala. Sehingga bila suatu deret waktu X dengan nilai Xn pada
indek waktu n. Setiap nilai dipisahkan dengan interval waktu kontan dt.
Transformasi wavelet Wn(s) adalah konvolusi (perkalian bintang) dari fungsi
wavelet dan detet waktu awalnya:

(20)

Dimana (*) menunjukkan konjugat kompleks. Integral pada persamaan (20) dapat
dievaluasi untuk berbagai nilai skala s (biasanya untuk pengali kemungkinan
frekuensi yang terendah, juga semua nilai n antara tanggal mulai dan akhir.
Gambaran 2-D dari variabilitas suatu deret waktu kemudian dapat dikontruksi
dengan menggambar grafik amplitudo dan fasa wavelet.

Hasil dan Pembahasan

Salah satu cara untuk menggambarkan variabilitas suatu variabel


klimatologi dalam suatu data deret waktu baik harian maupun bulanan bahkan
tahunan dari satu tempat dengan tempat lain adalah dengan mengamati koefisien
variasinya. Koefisien variasi (CV) adalah perbandingan antara simpangan baku
atau deviasi standar dengan harga rata-ratanya, yang biasanya dinyatakan dalam
persen. Bila CV tinggi berarti perbedaan nilai dari variasi bulanan besar,
sebaliknya bila CV kecil berarti perbedaan nilai dari variasi bulanan kecil. Untuk
data curah hujan bulanan dari empat stasiun yang diamati dapat dilihat pada Tabel
5. Variabilitas bulanan curah hujan di daerah aliran sungai Cisangkuy sangat
tinggi di atas 50% yang berarti bawah konsistensi curah hujan sangat rendah.
Hasil ini menunjukkan bahwa keadaan var iasi yang sangat tajam dan relatif sangat
variasi
jauh simpangan dari keadaan rata-ratanya yang memungkinkan pada kemunculan
kejadian ekstrem.

Tabel 5 Koefisien variasi data curah hujan di daerah aliran sungai Cisangkuy
Nama Stasiun Curah Lokasi Koefisien variasi
Hujan ( LS, BT) (CV)
Cipanas 06049'15", 107037'59" 84%
Kertamanah 06011'25", 107036'38" 82%
Cileunca 07011'35", 107032'41" 78%
Ciherang 0702'13", 107034'49" 70%
24

Gambar 11 (a) Data curah hujan bulanan st. Cileunca dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang
menunjukkan periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan
Beberapa data deret waktu dalam klimatologi secara statistik
memperlihatkan perilaku yang non-stasioner dan sinyal ini berubah baik
amplitudo maupun frekuensinya, serta ada juga kemungkinan mengandung sinyal
periodik yang dominan.
Sebagai contoh adalah ENSO yang mempunyai mode dominan
variabilitasnya pada siklus 2-7 tahun dengan ditunjukkan pada loncatan frekuensi
tinggi, namun karena sinyal ini bercampur dengan fluktuasi yang lebih lama dari
interdekadal maka fluktuasi interdekadal akan berpengaruh pada modulasi
amplitudo dan frekuensi pada kemunculan ENSO (Torrence dan Compo 1998).
Untuk memisahkan osilasi (ada fluktuasi perulangan baik teratur atau tidak)
periode yang lebih pendek dari yang panjang maka dikembangkan berbagai
metoda mulai dari statistik yang sederhana sampai yang rumit. Statistik sederhana
biasanya menggunakan rata-rata atau ragam dan transformasi Fourier dengan
menggunakan ukuran window tertentu lalu bergeser-geser sepanjang sumbu waktu
untuk menghitung FFT pada setiap waktu di dalam window tersebut. Masalah
utama dalam FFT berbasis window adalah ketidakonsistenan perlakuan yaitu pada
frekeunsi rendah hanya sedikit osilasi di dalam window sehingga lokalisasi
frekuensi hilang, namun pada frekuensi tinggi sangat banyak osilasi sehingga
lokalisasi waktu hilang. Oleh karena itu FFT menggunakan asumsi bahwa sinyal
dapat diuraikan ke dalam komponen-komponen sinus saja. Analisis wavelet
mencoba untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan menguraikannya ke
dalam domain waktu dan frekuensi sekaligus, sehingga didapat informasi
amplitudo pada suatu sinyal periodik di dalam deret waktu dan bagaimana
25

amplitudo ini berubah terhadap waktu. Pada Gambar 11(a) ditunjukkan data curah
hujan bulanan stasiun Cileunca yang berfluktuasi irregular dengan amplitudo dan
frekuensi yang berubah-rubah sepanjang evolusinya, ternyata dengan analisis
wavelet terdapat perioda kuat dominan (warna merah) sekitar 12 bulan atau osilasi
tahunan.

Gambar 12 (a) Data curah hujan bulanan st. Kertamanah dan Wavelet Morlet
yang digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang
menunjukkan periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan

Gambar 13 (a) Data curah hujan bulanan st. Cipanas dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang
menunjukkan periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan
26

Gambar 14 (a) Data curah hujan bulanan st. Ciherang dan Wavelet Morlet yang
digunakan, (b) Spektrum daya wavelet curah hujan yang
menunjukkan periode dominan antara 8-16 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan
Data curah hujan stasiun Kertamanah pada Gambar 12 dan data curah hujan
stasiun Cipanas pada Gambar 13 letaknya hanya berjarak sekitar 2 km, keduanya
masih menunjukkan perioda 12 bulan, namun tidak sekuat di stasiun Cileunca.
Terdapat pengaruh leeward pada sisi punggung gunung Malabar dan Puncak
Besar yang berperan sebagai penghalang pengaruh angin monsun dibandingkan
dengan stasiun Cileunca yang relatif terbuka dan jauh dari pengaruh pegunungan
Malabar.
Variabilitas berkurang sesuai dengan penurunan ketinggian pada stasiun
curah hujan Ciherang yang ditunjukan dengan CV sebesar 70% dibandingkan
pada CV pada stasiun lain yang lebih tinggi. Dengan demikian variabilitas curah
hujan di daerah aliran sungai Cisangkuy ditentukan juga oleh variasi topografi.
Perioda dominan pada stasiun Ciherang masih sama menunjukkan osilasi 12 bulan
atau osilasi tahunan (Gambar 14).
Debit sungai Cisangkuy dari dua stasiun hidrologi mempunyai variabilitas
tinggi yaitu stasiun Pataruman CV sebesar 97% dan stasiun Kamasan, CV sebesar
86% seperti ditunjukkan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Koefisien variasi debit aliran sungai Cisangkuy

Nama Stasiun
Lokasi (LS,BT) Koefisien Variasi (CV)
Hidrologi
Pataruman 7 06' 35'', 107 32' 48'' 97%

Kamasan 7 02' 45'', 107 34' 39'' 86%


27

Aliran ekstrem yang pernah terjadi selama rentang waktu data pengamatan
tercatat maksimum sebesar 372.20 m3/dt terjadi pada tanggal 30-09-2010 dan
minimum sebesar 0.065 m3/dt pada tanggal 01-01-2001.

Debit S.Cisangkuy St. Pataruman


35
Debit
30 MV_AD(12)
25 MV_EXP(12)
MV(12)
20
m3/dt

15
10
5
0
-51/1/01 1/1/02 1/1/03 1/1/04 1/1/05 1/1/06 1/1/07 1/1/08 1/1/09 1/1/10 1/1/11
waktu (Tahun)
Gambar 15 Pendekatan pola debit bulanan sungai Cisangkuy dengan
menggunakan teknik perata-rataan berjalan (moving average) stasiun
hidrologi Pataruman.

Gambar 16 (a) Data debit bulanan sungai Cisangkuy St. Pataruman dan Wavelet
Morlet yang digunakan, (b) Spektrum daya wavelet debit yang
menunjukkan periode dominan antara 128 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan
Variabilitas curah hujan dan osilasi-osilasi iklim global sangat berpengaruh
pada debit aliran sungai. Debit air sungai Cisangkuy sangat dipengaruhi oleh
curah hujan di daerah hulu, namun berbeda periodisitas dominannya. Curah hujan
mempunyai periode dominan 12 bulan sedangkan debit dianalisis untuk stasiun
Pataruman mempunyai periode 128 bulan (Gambar 16) dan stasiun Kamasan
mempunyai periode 64 bulan atau sekitar 5 tahunan (Gambar 18). Kombinasi
28

periode 12 bulan dengan periode 64 bulan dan 128 bulan akan menyebabkan debit
air di sungai Cisangkuy menjadi tinggi dan menimbulkan kejadian ekstrem dan
banjir di daerah kamasan Banjaran, seperti ditunjukkan pada Gambar 15 dan
Gambar 17.
Dari hasil analisis moving average dengan metode simple, exponential dan
adaptive menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan periode debit lima tahunan
yang signifikan selama interval waktu pengamatan yang menimbulkan peristiwa
banjir di daerah Kamasan Banjaran. Evaluasi risiko hidrologi yang terkait dengan
pelepasan (discharge) maksimum di DAS Cisangkuy telah dianalisis didasarkan
pada data debit harian antara tahun 2001-2011 dari dua stasiun hidrologi. Analisis
dengan data debit harian yang dirata-rata setiap bulan menunjukkan bahwa
terdapat periode dominan lima tahunan disamping periode tak dominan tahunan
(annual oscilation) yang berimplikasi beberapa kejadian ekstrem hidrologi.

60
Debit S.Cisangkuy St. Kamasan
Debit
50 MV_12
MV_Exp(12)
m3/dt

40
30
20
10
0
1/1/01 1/1/02 1/1/03 1/1/04 1/1/05 1/1/06 1/1/07 1/1/08 1/1/09 1/1/10 1/1/11
waktu (Tahun)
Gambar 17 Pendekatan pola debit bulanan sungai Cisangkuy dengan
menggunakan teknik perata-rataan berjalan (moving average) stasiun
hidrologi Kamasan

Gambar 18 (a) Data debit bulanan sungai Cisangkuy St. Kamasan dan Wavelet
Morlet yang digunakan, (b) Spektrum daya wavelet debit yang
menunjukkan periode dominan antara 64 bulan dan ragam wavelet
secara keseluruhan dan (c) pola wavelet keseluruhan
29

Konfigurasi geofisik dari sistem tergandeng lautan-atmosfer daerah Indo-


Pasifik dimana curah hujan disokong oleh kolam panas Lautan Pasifik Barat
merupakan salah satu pembentuk iklim di Indonesia (Giannini et al. 2007).
Variabilitas dan prediktibilitas musiman iklim monsun di Indonesia didominasi
oleh pengaruh fenomena ENSO dengan siklus 2-7 tahun yang berimplikasi pada
peningkatan debit sungai Cisangkuy.
Kemampuan untuk memprediksi kejadian-kejadian ekstrem dengan
akurasi yang beralasan dan logis akan sangat membantu dalam perencanaan untuk
mengambil langkah-langkah operasional yang diperlukan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian ekstrem tersebut. Prediksi hidrologi secara operasional dan
pengelolaan sumberdaya air memerlukan piranti-piranti yang efisien untuk
menyediakan estimasi yang akurat tentang ketersediaan sumberdaya air. Oleh
karena itu memahami periodisitas curah hujan dan debit sungai dapat membantu
upaya-upaya perencanaan yang lebih terarah.

Simpulan

Data curah hujan dan debit bulanan dari tahun 2001-2011 telah diolah
dengan menggunakan analisis Coefficient of Variation (CV), wavelets dan moving
average dengan metode simple, exponential dan adaptive. Hasil analisis
menunjukkan bahwa data curah hujan bulanan dari empat stasiun cuaca
mempunyai variabilitas tinggi yang ditunjukkan dengan nilai CV yaitu Cileunca,
Kertamanah Cipanas dan Ciherang masing-masing 78%, 82%, 84%, 70%. Curah
hujan mempunyai osilasi dominan sekitar 8-16 bulan (annual oscillation). Debit
sungai Cisangkuy dari dua stasiun hidrologi juga mempunyai variablitas tinggi
yaitu Pataruman dan Kamasan, masing-masing 97%, 86%. Debit sungai
Cisangkuy mempunyai osilasi masing-masing sekitar 128 bulan dan sekitar 64
bulan. Dari hasil analisis metoda moving average dengan metode-metode simple,
exponential, dan adaptive menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan periode
debit lima tahunan yang signifikan selama interval waktu pengamatan yang
menimbulkan peristiwa banjir di daerah Kamasan Banjaran. Osilasi 8-16 bulan
terkait erat dengan pergerakan semu Matahari Utara-Selatan yang menyebabkan
variasi regional untuk intensitas monsun yang disebut osilasi tahunan. Sedangkan
osilasi 128 bulan berkorelasi dengan osilasi temperatur troposfer tropis yang
berosilasi antara 10-12 tahun. Osilasi 64 bulan berhubungan erat dengan
fenomena El Niño (kondisi hangat) dan La Niña (kondisi dingin) di Pasifik Tropis
yang berosilasi 2-7 tahun dan dikenal dengan siklus ENSO.
Variabilitas curah hujan dan debit sungai yang tinggi dan terkombinasi
dengan fenomena iklim regional dan global maka kejadian ekstrem akan semakin
meningkat sehingga disarankan untuk lebih meningkatkan perangkat mitigasi dan
upaya peringatan dini di DAS Cisangkuy Kabupaten Bandung terutama bagian
selatan.
30

4 HUBUNGAN ANTARA CURAH HUJAN DAN ELEVASI DI


DAERAH ALIRAN SUNGAI CISANGKUY

Pendahuluan

Banyak area di daerah aliran sungai yang tidak mempunyai peralatan


penakar hujan sehingga kesulitan untuk memahami proses-proses
hidroklimatologi yang muncul pada area tersebut terlebih lagi pada zona dengan
elevasi tinggi seperti pegunungan dan dataran tinggi. Pegunungan mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap atmosfer yaitu dapat merubah aliran udara dan
mempunyai respon radiasi Matahari yang berbeda dari atmosfer sekelilingnya.
Dengan demikian, di sekitar lingkungan pegunungan, curah hujan meningkat di
beberapa tempat dan menurun di bagian tempat lainnya. Sebagai contoh yang
sangat dikenal adalah adanya daerah bayangan hujan yaitu daerah dengan curah
hujan sangat rendah pada daerah topografi bawah aliran angin (lee) atau curah
hujan maksimum pada sisi lereng gunung dimana angin bergerak ke puncak
(Smith 1979).
Interaksi antara topografi dan atmosfer dapat menghasilkan pola-pola curah
hujan. Skala spasial dari pola-pola ini dapat bervariasi dari ukuran pegunungan
sampai pada lembah dan punggungan bukit. Perbedaan-perbedaan spasial dalam
curah hujan ini dapat mempengaruhi geomorfologi secara langsung dengan
merubah laju proses-proses erosi atau secara tak langsung melalui pengaruhnya
pada ekosistem-ekosistem pegunungan (Anders et al. 2006). Penelitian dampak
pola curah hujan pada geomorfologi pegunungan merupakan kajian yang sedang
berlangsung sampai saat ini. Dengan demikian, pengetahuan proses-proses
atmosfer yang menghasilkan pola-pola curah hujan di daerah aliran sungai dataran
tinggi merupakan hal yang sangat penting dalam hidrologi dan pengelolaan
sumberdaya air.
Curah hujan menunjukkan perilaku spasial dan temporal yang kompleks.
Perilaku spasial yang kompleks sering terkait dengan topografi. Dengan
menentukan skala interaksi curah hujan hasil pengamatan dengan topografi maka
munculah analisis spasio-temporal curah hujan, sehingga dapat diperkirakan
proses-proses alam yang terlibat dalam pembentukan curah hujan. Secara khusus,
pengetahuan tentang skala dari kebergantungan curah hujan pada topografi dapat
digunakan untuk optimasi metode interpolasi yang terkait pada
kebergantungannya pada topografi untuk estimasi kuantitas distribusi spasial
curah hujan (Sharples et al. 2005). Metode interpolasi tersebut memainkan peran
yang penting dalam lingkup luas pada penerapan yang terkait dengan penilaian
dampak iklim pada pertanian, ekologi, hidrologi dan pariwisata. Bila model curah
hujan berbasis fisis menghasilkan prakiraan dalam bentuk permukaan grid yang
dibuat pada resolusi grid dari 10 sampai 100 km maka metode interpolasi curah
hujan hasil pengamatan pada lokasi diskrit menjadi bagian penting untuk kalibrasi
dan validasi model tersebut. Daly et al. (1994) menggunakan Precipitation–
Elevation Regressions on Independent Slopes Model (PRISM) untuk memodelkan
curah hujan bulanan dan tahunan di atas berbagai sub-daerah di negara Amerika.
PRISM menggunakan konsep elevasi orografi untuk interpolasi nilai curah hujan
stasiun cuaca.
31

Secara geografis Indonesia terletak di wilayah tropis yang mengalami dua


musim secara bergantian yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim
penghujan secara normal berlangsung pada bulan-bulan Desember, Januari dan
Februari sedangkan musim kamarau berlangsung pada bulan-bulan Juni, Juli dan
Agustus. Bulan-bulan lainnya merupakan bulan-bulan transisi dari musim
penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Pola hujan di wilayah Indonesia
dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk pola menurut deret waktunya yaitu
pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Haylock dan McBride 2001; Aldrian dan
Susanto 2003; Hendon 2003). Selain pola-pola temporal maka pola spasial juga
penting untuk dikaji berkenaan dengan disparitas topografi wilayah Indonesia
yang bervariasi dari permukaan laut sampai puncak es di Jaya Wijaya Papua.
Gunung-gunung menutupi 25% permukaan bumi dan dihuni oleh 26% dari
populasi global serta menghasilkan 32% limpasan (Meybeck et al. 2001).
Pegunungan dan dataran tinggi menempati 21% permukaan daratan, 20% populasi
dan 19% dari limpasan (Meyers et al. 2003). Tipe hujan orografik dianggap
sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan dan sungai karena berlangsung di
daerah hulu (Asdak 2007). Salah satu cara topografi mempengaruhi cuaca adalah
pada kekuatannya mengontrol distribusi curah hujan lokal. Sungai Cisangkuy
sangat berperan penting dalam memasok kebutuhan air baku untuk konsumsi
penduduk Kabupaten dan Kota Bandung masing-masing sebesar 500 l/dt dan
1800 l/dt (UPTD, 2011). Kondisi pasokan tersebut tentunya sangat dipengaruhi
oleh kondisi curah hujan yang terjadi di daerah hulu yang merupakan imbuhan
utama dalam suatu daerah aliran sungai. Hujan besar di atas terain pegunungan
sering menghasilkan banjir bandang (flash flood) di daerah hilir dan menjadi
tantangan dalam prediktibitas kejadiannya. Oleh karena itu maka penelitian
tentang hubungan antara curah hujan dan elevasi sangat penting dilakukan dalam
pengelolaan sumberdaya air. Tujuan penelitian adalah untuk menurunkan
hubungan antara fluktuasi curah hujan dan elevasi.

Data dan Metode

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di daerah aliran sungai Cisangkuy yang terletak
antara 06o 59’24” – 07o 13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT. Topografi
DAS Cisangkuy bervariasi dari ketinggian 2327 m dpl di Gunung Malabar,
hingga 658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum
(Gambar 19). Kondisi hidrologi dan sebaran curah hujan tahunan pada DAS
Cisangkuy bervariasi dari 3500 mm/tahun hingga 2000 mm/tahun. Musim
kemarau yang terjadi pada DAS Citarum Hulu berlangsung pada bulan Juni
sampai Agustus dengan September, Oktober, November sebagai bulan-bulan
transisi dari kemarau ke penghujan dan musim penghujan pada periode Desember,
sampai Februari dengan Maret, April, Mei sebagai bulan-bulan transisi dari
penghujan ke kemarau. Bagian hulu DAS Cisangkuy merupakan daerah
tangkapan air dataran tinggi yang berupa cekungan yang terbuka ke arah utara.
Kerusakan ekologi di daerah hulu sangat berdampak pada daerah hilir dengan
terganggunya debit dan pasokan air untuk keperluan daerah hilir.
32

Gambar 19 Daerah aliran sungai Cisangkuy yang merupakan sub-DAS dari DAS
(CD: garis utara-selatan) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten
Bandung
Curah Hujan dan Digital Elevation Model (DEM)
Data curah hujan spasial rata-rata bulanan dari WorldClim selama 50 tahun
dengan grid 1 km dapat di unduh dari http://www.worldclim.org/ sedangkan data
DEM diperoleh dari Consultative Group on International Agricultural Research-
Consortium for Spatial Information (CGIAR-CSI) yang dapat diunduh dari
http://www.cgiar-csi.org/. WorldClim adalah kumpulan data layer iklim global
dalam bentuk grid dengan resolusi spasial sekitar 1 km yang dibangun oleh
beberapa peneliti di University of California, Berkeley. CGIAR-CSI adalah suatu
mitra global yang ditujukan untuk menurunkan angka kemiskinan di pedesaan,
meningkatkan ketahanan pangan, kesehatan manusia dan nutrisi. Konsorsium ini
juga membentuk jaringan untuk menjamin pengelolaan sumberdaya alam secara
optimal yang berisi komunitas para peneliti geo-spasial yang mempromosikan dan
menerapkan sains spasial untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif.

Metode
Data curah hujan dan DEM diolah dengan menggunakan SIG (Sistem
Informasi Geografi). SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis
(Aronoff 1989). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai
data pada suatu titik tertentu di Bumi, menggabungkannya, menganalisis dan
akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data
spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang
memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Aplikasi SIG dapat
menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, tren, pola, profil,
hubungan dan pemodelan spasialnya. Diagram alir metodologi pengolahan data
curah hujan dan DEM serta hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 20.
33

Hasil dan Pembahasan

Digital Elevation Model (DEM) adalah model data raster yang bisa diolah
dengan SIG seperti dapat dilihat pada Gambar 21 DEM memuat informasi tinggi
permukaan tanah yang akan digunakan untuk menurunkan peta kelas ketinggian
dan lereng. DEM yang digunakan dalam makalah ini merupakan hasil dari misi
penginderaan jauh dengan sensor satelit aktif sekitar tahun 2000 dengan nama
SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Misi internasional ini menghasilkan
produk DEM dengan resolusi 90 m. Ketinggian dan kelerengan menggambarkan
karakteristik fisis suatu daerah. Ketinggian tersebut diukur tepat di atas
permukaan laut dengan satuan meter. Untuk ukuran suatu daerah aliran sungai
maka data DEM di-masking dengan data delineasi daerah aliran sungai dengan
menggunakan SIG, sehingga diperoleh lokasi kajian, seperti pada Gambar 21.
Dengan menggunakan analisis spasial pada SIG diperoleh profil ketinggian yang
diinginkan seperti pada garis CD (lihat Gambar 19).

Gambar 20 Diagram alir pengolahan data curah hujan spasial dan DEM dengan
SIG untuk mendapatkan profilnya masing-masing.
34

Gambar 21 Digital Elevation Model (DEM) daerah aliran sungai Cisangkuy


Kabupaten Bandung.
Skala efek orografi yang teramati merupakan hal yang sangat penting dalam
analisis pada makalah ini yang didasarkan pada penggunaan data elevasi DEM
dengan ukuran grid 90x90 m. Terdapat ketidaksesuain secara implisit dalam skala
ketika menggunakan hubungan elevasi dan curah hujan antara titik stasiun pada
sel-sel grid DEM. Elevasi di pusat sel grid DEM tidak menggambarkan elevasi
pada titik tersebut tetapi menggambarkan rata-rata atau elevasi diperhalus yang
menggambarkan sel grid keseluruhan. Dengan demikian elevasi sel DEM jarang
tepat dengan elevasi stasiun seandainya stasiun berada tepat di pusat sel grid.
Secara umum resolusi DEM yang semakin halus maka semakin tepat elevasi sel
grid akan cocok pada titik stasiun tersebut. Sharples et al. (2005) meneliti tentang
resolusi spasial minimum dimana pengaruh kebergantungan curah hujan pada
topografi nampak jelas di kontinen Australia berada pada kisaran 5-10 km.
Pada penampang profil garis CD (Gambar 19), dengan analisis spasial
menggunakan SIG maka diperoleh data curah hujan yang mempunyai 13 grid
sedangkan data DEM mempunyai 136 grid. Pendekatan hubungan nilai grid ke
grid adalah 1 grid curah hujan bersesesuaian dengan 10 grid DEM sehingga 90 x
10 m ukuran grid pada DEM mendekati 1 km yang merupakan ukuran grid pada
curah hujan. Dengan demikian 13 x 10 grid data curah hujan akan mendekati 136
grid pada data DEM. Data curah hujan dan elevasi diplot untuk mendapatkan
persamaan regresinya, sehingga didapat Gambar 22, Gambar 23, Gambar 24,
Gambar 25.
Hubungan linear curah hujan dan elevasi dihitung secara bulanan untuk rata-
rata curah hujan bulanan selama 50 tahun periode 1950-2000 dari data Worldclim
sehingga didapat kemiringan, koefisien korelasi Pearson (r) untuk setiap bulan.
Koefisien korelasi untuk hubungan curah hujan bulanan dan elevasi (r) didapat
bervariasi antara 67% sampai 97% dengan rata-rata 89%. Kemiringan juga
bervariasi dari jangkauan 1.9 sampai 21.8 setiap 100 m dengan rata-rata 11.62 mm,
kecuali pada bulan Agustus terjadi penurunan dari ketinggian 1156 m dengan
kemiringan -9.5 mm. Pola musiman menunjukkan beberapa perbedaan hubungan
35

antara curah hujan dan elevasi. Bila curah hujan bulanan dibagi berdasarkan
musim, meliputi musim penghujan yang diwakili oleh bulan-bulan Desember,
Januari dan Februari (DJF) serta musim kemarau diwakili bulan-bulan Juni, Juli
dan Agustus (JJA) dan bulan-bulan Maret, April, Mei (MAM) serta September,
Oktober, November (SON) mewakili bulan-bulan transisi dari musim penghujan
ke kemarau atau sebaliknya.

(a) (b)

(c)
Gambar 22 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim penghujan
diwakili oleh bulan: (a) Desember, (b) Januari, dan (c) Februari
(DJF) di daerah aliran sungai Cisangkuy
Analisis musiman menunjukkan bahwa pada musim penghujan yang
diwakili oleh bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF), seperti
ditunjukkan pada Gambar 22 mempunyai nilai rata-rata kemiringan (slope) 17.7
mm setiap kenaikan elevasi 100 m dengan koefisien korelasi sebesar 95%. Nilai
kemiringan terbesar teramati pada bulan Januari sebesar 21.8 mm dan terendah
bulan Desember sebesar 12.7 mm setiap kenaikan elevasi 100 m. Hal ini dipahami
karena kuatnya pengaruh angin monsun baratan yang persisten dan lembap pada
bulan-bulan tersebut. Apabila udara lembap dipaksa untuk naik pada sisi
kemiringan arah anginnya maka udara akan mengembang dan mendingin yang
akan menyebabkan tetes air berkondensasi ketika udara jenuh. Tetes-tetes ini akan
membentuk awan dan tumbuh menghasilkan hujan yang umunya jatuh berupa
hujan pada sisi kemiringan topografi arah kisaran angin. Setelah mencapai puncak
maka aliran udara menurun pada sisi di bawah aliran angin (lee side) berkontraksi
dan memanas yang menyebabkan tetes-tetes air berevaporasi dan menurunkan
curah hujan. Hubungan curah hujan dan topografi merupakan hal dominan di
daerah rangkain pegunungan dimana terdapat arah angin yang konsisten yang
menyediakan udara lembap.
36

(a) (b)

(c)
Gambar 23 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim transisi
penghujan-kemarau diwakili oleh bulan: (a) Maret, (b) April, dan (c)
Mei (MAM) di daerah aliran sungai Cisangkuy
Pada bulan transisi penghujan-kemarau yang diwakili oleh bulan Maret,
April, dan Mei (MAM) nilai kemiringan rata-rata sebesar 12.9 mm setiap
kenaikan elevasi 100 m dengan koefisien korelasi 93% (Gambar 23). Nilai
terbesar terjadi pada bulan Maret sebesar 17.6 mm dan terendah bulan Mei
sebesar 8.5 mm setiap kenaikan elevasi 100 m.
Pada musim kemarau yang diwakili oleh bulan Juni, Juli, Agustus (JJA)
nilai kemiringan rata-rata sebesar 5.9 mm setiap kenaikan elevasi 100 m dengan
koefisien korelasi 88% seperti ditunjukkan pada Gambar 24. Nilai terbesar terjadi
pada bulan Agustus sebesar 11.2 mm dan terendah bulan Juli sebesar 1.9 mm
setiap kenaikan elevasi 100 m. Namun pada bulan Agustus kenaikan terhadap
elevasi hanya berlangsung sampai ketinggian 1156 m dan setelah itu terjadi
penurunan dengan kemiringan -9.5 mm. Nilai tersebut dapat menunjukan bahwa
pada musim kemarau interaksi topografi dan atmosfer dapat memberikan
kontribusi curah hujan yang signifikan pada terain pegunungan sebagai imbuhan
utama daerah aliran sungai. Curah hujan pada musim kemarau ini merupakan
sumber air penting bagi danau, sungai dan air tanah.
37

(a) (b)

(c)
Gambar 24 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim kemarau diwakili
oleh bulan: (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus (JJA) di daerah aliran
sungai Cisangkuy.
Pada bulan transisi kemarau-penghujan yang diwakili oleh bulan September,
Oktober, November (SON) nilai kemiringan rata-rata sebesar 9.9 mm setiap
kenaikan elevasi 100 m dengan koefisien korelasi 86% (Gambar 25). Nilai
terbesar terjadi pada bulan September sebesar 12.7 mm dan terendah bulan
Oktober sebesar 6.7 mm setiap kenaikan elevasi 100 m.
Persamaan regresi setiap bulan, kemiringan dan koefisein korelasi dapat
diringkas seperti pada Tabel 7.
Pola kemiringan curah hujan terhadap perubahan elevasi sangat dipengaruhi
musim, seperti dapat dilihat pada Gambar 26. Pola tersebut mirip dengan pola
curah hujan musiman terutama di wilayah Indonesia selatan garis ekuator. Hal ini
menunjukkan bahwa pola curah hujan orografi termodulasi oleh pola musiman
sehingga akan menghasilkan curah hujan akumulasi di zona pegunungan.
38

(a) (b)

(c)

Gambar 25 Kenaikan curah hujan terhadap elevasi pada musim kemarau-


penghujan diwakili oleh bulan September, Oktober, November
(SON) di daerah aliran sungai Cisangkuy

Tabel 7 Estimasi regresi linear beserta kemiringan (slope) dan koefisien korelasi
Pearson dengan 600 <x<1600

Kemiringan Estimasi Regresi Linear Koefisien Korelasi


Bulan
(mm/100 m) (x=elevasi, y=curah hujan) (r)
1 21.8 y = 0.2181x + 90.649 97%
2 18.5 y = 0.1848x + 93.211 91%
3 17.6 y = 0.1757x + 142.36 97%
4 12.7 y = 0.1265x + 167.17 88%
5 8.5 y = 0.0847x + 112.35 95%
6 4.7 y = 0.0465x + 50.417 97%
7 1.9 y = 0.0186x + 65.166 74%
8* 11.2 y = 0.1126x – 7.4332 94%
-9.5 y = -0.0953x + 228.62 75%
9 12.7 y = 0.127x + 202.25 97%
10 6.7 y = 0.0668x + 145.27 67%
11 10.4 y = 0.1038x + 200.36 94%
12 12.7 y = 0.127x + 202.26 97%
39

Pola slope
25

20
slope curah hujan

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 26 Pola kemiringan curah hujan terhadap perubahan elevasi sangat


dipengaruhi musim,
Pengukuran dan model iklim juga menunjukkan bahwa curah hujan
meningkat pada punggung gunung relatif terhadap lembah merupakan gambaran
persistensi dari iklim. Efek geomorfik dari pola curah hujan tersebut sangat minim
sumber rujukan tetapi pemodelan evolusi bentang alam (landscape) menunjukkan
bahwa pola curah hujan itu berpotensi mempengaruhi hypsometri, kemiringan,
elevasi puncak dan kecekungan kanal (Anders et al. 2006). Pada skala spasial
beberapa kilometer maka pola curah hujan tetap sangat dibatasi dalam rangkaian
pegunugan. Teknologi baru seperti satelit radar presipitasi menyajikan
kemampuan untuk mendokumentasikan pola-pola tersebut. Dampak geomorfik
yang mungkin dari pola-pola ini tetap tak diketahui. Curah hujan merupakan
pengendali utama untuk proses-proses erosi dan kontrol yang kuat pada distribusi
ekosistem. Pola-pola curah hujan ini mungkin penting dalam memahami
geomorfologi pegunungan. Dengan diketahuinya persamaan regresi curah hujan
terhadap elevasi khususnya di daerah yang diteliti (site-spesific) maka proses-
proses hidroklimatologi yang penting dalam penelitian daerah aliran sungai akan
dapat dipahami tahap demi tahap.

Simpulan

Pendugaan hubungan antara curah hujan dan elevasi perlu dilakukan di


daerah aliran sungai yang tidak mempunyai peralatan penakar hujan untuk
memahami proses-proses hidroklimatologi yang muncul pada area tersebut.
Fluktuasi antara curah hujan rata-rata bulanan dari WorldClim dengan elevasi dari
data DEM di daerah aliran sungai Cisangkuy Kabupaten Bandung selama periode
1950-2000 telah dianalisis dan diteliti. Analisis regresi menunjukkan hubungan
yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-rata koefisien
korelasi sebesar 89%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi mempunyai nilai
rata-rata 11.62 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Musim penghujan yang
diwakili oleh bulan DJF mempunyai kenaikan sebesar 17.7 mm dan musim
kemarau yang diwakili bulan JJA mempunyai kenaikan sebesar 5.9 mm setiap 100
40

m kenaikan elevasi, kecuali pada bulan Agustus kenaikan terjadi sampai


ketinggian 1156 m lalu turun dengan laju 9.5 mm setiap penurunan 100 m.
Pada bulan transisi penghujan-kemarau yang diwakili oleh bulan Maret,
April, dan Mei (MAM) nilai kemiringan rata-rata sebesar 12.9 mm setiap
kenaikan elevasi 100 m dengan koefisien korelasi 93%. Nilai terbesar terjadi pada
bulan Maret sebesar 17.6 mm dan terendah bulan Mei sebesar 8.5 mm setiap
kenaikan elevasi 100 m. Pada bulan transisi kemarau-penghujan yang diwakili
oleh bulan September, Oktober, November (SON) nilai kemiringan rata-rata
sebesar 9.9 mm setiap kenaikan elevasi 100 m dengan koefisien korelasi 86%.
Nilai terbesar terjadi pada bulan September sebesar 12.7 mm dan terendah bulan
Oktober sebesar 6.7 mm setiap kenaikan elevasi 100 m. Pola kemiringan curah
hujan terhadap perubahan elevasi sangat dipengaruhi musim. Pola tersebut mirip
dengan pola curah hujan musiman terutama di wilayah Indonesia selatan garis
ekuator.
41

5 PENGEMBANGAN MODEL PREDKSI HIDROKLIMAT


(STUDI KASUS PRAKIRAAN CURAH HUJAN DI
WILAYAH SITU CILEUNCA KABUPATEN BANDUNG)
DENGAN METODE NON-LINEAR

Pendahuluan

Pengamatan dan penelitian curah hujan di cekungan Bandung (Bandung


Basin) terus berkembang seiring dengan kebutuhan dalam upaya mitigasi bencana
hidrometeorologi dan pengelolaan sumberdaya air. Tjasjono dan Gernowo (2008)
telah mengkaji tentang curah hujan ekstrem pada musim basah yang
menyebabkan banjir di kawasan tersebut dan mencoba melakukan prakiraaan
dengan metoda ANFIS (Adaptive Neuro Fuzzy Inference System). Korelasi
sebesar 0.7 antara pola distribusi curah hujan bulanan dengan fenomena iklim
global yang diwakili oleh nilai indeks ENSO menunjukkan signifikansi antara
fenomena iklim global dengan curah hujan lokal yang menjadi bagian penting
dalam kajian pengelolaan sumberdaya air di kawasan Cekungan Bandung
(Marganingrum et al. 2009). Variabilitas komponen hidrometeorologi di daerah
aliran sungai Citarum Hulu dipengaruhi oleh fenomena global sebagai
konsekuensi dari adanya korelasi signifikan antara komponen hidrometeorologi
dengan beberapa fenomena global (Ruminta 2006). Tjasjono et al. (2007) telah
meneliti bahwa awan konvektif jenis cumulonimbus dapat menyebabkan bencana
banjir lokal terutama saat zona konvergensi intertropis berada di atas wilayah
Indonesia diperkuat dengan efek orografik di daerah monsun yang dapat
meningkatkan jumlah curah hujan pada lereng dimana angin bergerak ke atas.
Efek kumulatif antara pengaruh global dan lokal terhadap peningkatan curah
hujan sangat signifikan yang jika diperparah dengan kondisi lingkungan yang
rusak, dapat menyebabkan bencana. Oleh karena itu, efek kumulatif ini penting
untuk dikaji kapan dan dimana terjadi melalui analisis spasial dan temporal.
Periode curah hujan merupakan salah satu karakter curah hujan yang penting
untuk diteliti dan keterkaitannya dengan topografi lokal dapat mempengaruhi
intensitas dan periodenya (Juaeni et al., 2006). Penelitian-penelitian tersebut
terkait erat dengan upaya memberikan masukan informasi bagi mitigasi bencana
dan peningkatan pengelolaan sumberdaya air secara efektif di cekungan Bandung.
Untuk mengetahui keadaan cuaca saat ini dapat dilakukan dengan
pengamatan parameter-parameter cuaca secara langsung (in situ) maupun dengan
alat-alat penginderaan jauh (remote sensing). Kesulitan muncul manakala
memprakirakan cuaca atau iklim untuk waktu yang akan datang, karena sangat
banyak elemen yang harus dilibatkan dalam suatu model dinamik. Curah hujan di
kawasan Cekungan Bandung tercatat hampir 550 mm/bulan pada musim basah
sebagai curah hujan tinggi yang dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor
di beberapa lokasi di kawasan itu. Penelitian tentang karakterisasi statistik dan
upaya-upaya prakiraannya sangat membantu dalam mitigasi bencana alam
terutama banjir dan longsor pada saat musim basah. Situ Cileunca yang terletak
pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut merupakan salah satu tandon
penting dalam usaha pengelolaan sumberdaya air di Cekungan Bandung. Situ
Cileunca dan aliran sungai Cisangkuy sangat berperan penting dalam memasok
42

kebutuhan air baku untuk konsumsi penduduk Kabupaten dan Kota Bandung
masing-masing sebesar 500 l/s dan 1800 l/s (UPTD 2011). Kondisi pasokan
tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh variabilitas curah hujan yang menjadi
imbuhan utama dalam suatu daerah aliran sungai. Fase ekstrem variabilitas curah
hujan pada musim basah akan menyebabkan kondisi hujan dan debit sungai yang
berlebih di Cekungan Bandung dibandingkan kondisi logaritmik normal atau
sebaliknya kondisi kemarau yang jauh lebih kering dari kondisi logaritmik
normalnya.
Untuk memprakirakan curah hujan pada masa yang akan datang di suatu
lokasi, terutama dengan metoda statistik, maka terlebih dahulu harus dipahami
keadaan dan sifat-sifat curah hujan itu pada masa lampau. Pada makalah ini akan
diteliti sifat-sifat dan pola-pola statistik data curah hujan bulanan di wilayah Situ
Cileunca selama 19 tahun pada periode 1993-2011 yang diperoleh dari stasiun
Hidrologi Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat. Untuk lebih
memahami sifat dan karakternya dalam usaha pemodelan dan prakiraan maka
penelitian ditekankan pada kajian statistik deskriptif, fungsi probabilitas dan
statistik non-linear. Kemudian untuk melakukan upaya prakiraan diteliti pula
dimensi korelasi atau embedding yang menunjukkan suatu ukuran korelasi ruang
antara titik-titik yang terletak pada atraktor curah hujan dan merupakan pola
deterministik tersembunyi dalam fungsi pengukuran deret waktu curah hujan
(Setiawan 1991).
Kebanyakan literatur membuat asumsi bahwa suatu sistem deret waktu
cukup dapat diaproksimasi pada suatu range of interest dengan model linear yang
mempunyai parameter tidak berubah dengan waktu. Sehingga deret yang teramati
dapat digambarkan sebagai suatu fungsi linear dari nilai saat ini dan nilai masa
lalu dari proses yang sesungguhnya murni acak, seperti model AR, MA, ARMA,
ARIMA, SARIMA dan lain sebagainya.
Bila y1(t), y2(t) adalah keluaran yang bersesuaian dengan masing-masing
masukan x1(t), x2(t), maka sistem dikatakan linear jika dan hanya jika suatu
kombinasi dari masukan, katakanlah λ1x1(t)+λ2x2(t) akan menghasilkan kombinasi
linear yang sama dalam keluaran yaitu λ1y1(t) +λ2y2(t) dimana λ1, λ2 adalah
konstanta. Sistem linear yang tak berubah terhadap waktu time-invariant adalah
bila masukan x(t) menghasilkan keluaran y(t) lalu sistem dikatakan time-invariant
jika pada waktu tunda τ dalam masukan, menghasilkan waktu tunda yang sama
dalam keluaran. Dengan kata lain masukan x(t-τ) menghasilkan keluaran y(t-τ),
sehingga hubungan masukan dan keluaran tidak berubah dengan waktu.
Akhir-akhir ini para peneliti mulai menerapkan model non-linear dengan
parameter yang berubah terhadap waktu pada sistem yang teramati. Sebagai
contoh tipe model non-linear yang diteliti oleh Granger dan Andersen (1978)
dalam Chatfield (1980) yaitu tipe model non-linear yang disebut sebagai kelas
bilinear yang dapat dipandang sebagai perluasan non-linear dari model ARMA.
Model tersebut dikenal dengan model bi-linear orde pertama yaitu xt=axt-
1+bzt+czt-1xt-1 dimana zt menunjukkan proses acak (random) murni dan a,b,c
adalah parameter. Suku terakhir pada sisi kanan persamaan itu adalah suku non-
linear. Dengan pendekatan metoda non-linear maka pola dan struktur tertentu
dalam data dapat diungkap.
Estimasi dimensi korelasi pada hasil pengukuran curah hujan sebagai fungsi
waktu akan memegang peranan penting dan bermanfaat dalam pengembangan
43

model dinamika dari fenomena cuaca dan iklim. Estimasi dimensi ini akan
melengkapi batasan untuk jumlah variabel-variabel bebas yang perlu untuk
pemodelan sistem serta membantu dalam penentuan kelayakan suatu model.
Perilaku kegalauan (chaos) dan estimasi dimensi korelasi atau embedding curah
hujan akan diteliti. Estimasi waktu tunda, dimensi korelasi dan dimensi
embedding merupakan langkah awal dalam penerapan analisis deret waktu non-
linear untuk memahami iregularitas dalam data curah hujan. Terdapat sejumlah
upaya untuk menentukan dimensi korelasi cuaca dan iklim seperti telah dilakukan
oleh Lorenz (1963), Nicolis dan Nicolis (1987), Grassberger dan Procaccia (1986),
Fraedrich (1990), Melvin (1993), namun untuk sistem cuaca dan iklim ekuatorial
dirasa masih sedikit yang melakukan analisis secara cermat.
Makalah ini bertujuan untuk meneliti dan memahami karakteristik statistik
dan perilaku chaotic curah hujan dengan menggunakan metoda analisis statistik
dan analisis deret waktu non-linear. Secara khusus membuat prakiraan curah
hujan bulanan dan musiman.

Data dan Metode

Lokasi Penelitian dan Data


Lokasi yang diteliti meliputi DAS (Daerah Aliran Sungai) Cisangkuy yang
merupakan Sub-DAS Citarum Hulu terletak antara 06o 59’24” – 07o 13’51” LS
dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT. Topografi DAS Cisangkuy bervariasi dari
ketinggian 2054 m dari permukaan laut di puncak Gunung Malabar, hingga 658 m
di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum. Kondisi sebaran
curah hujan tahunan pada DAS Cisangkuy bervariasi dari 3500 mm/tahun hingga
2000 mm/tahun. Di dalam DAS tersebut terdapat Situ Cileunca yang merupakan
danau buatan untuk pemenuhan kebutuhan listrik perkebunan pada masa kolonial.
Situ Cileunca dibangun pada tahun 1924 dengan kapasitas tampung sebesar 11,3
juta m3 (PLN PLENGAN 2010). Di sebelah selatan Situ Cileunca terdapat Situ
Cipanunjang yang mendapat air dari kali Cilaki, Cibolang, Cihurangan,
Cikuningan dan Citambaga. Situ Cileunca mendapat air dari situ Cipanunjang,
Sungai Cilaki Beet dan Sungai Cibuniayu, ditunjukkan pada Gambar 27.
Beberapa data deret waktu dalam klimatologi, khususnya curah hujan, secara
statistik memperlihatkan perilaku yang non-stasioner dan sinyal ini berubah baik
amplitudo maupun frekuensinya, serta ada juga kemungkinan mengandung sinyal
periodik tersisip yang dominan.
44

Gambar 27 Lokasi penelitian yang merupakan bagian dari daerah Cekungan


Bandung bagian Selatan
Data curah hujan bulanan diperoleh dari stasiun hidrologi Dinas
Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat antara tahun 1993 sampai
tahun 2011, ditunjukkan pada Gambar 28. Terdiri dari 230 data, yang mana
sebanyak 200 data digunakan untuk mencari parameter persamaan non-linear dan
30 data untuk mengetahui kinerja prakiraan dari model yang dibuat. Data tersebut
dicari nilai rata-ratanya, standar deviasi dan nilai statistik lainnya.

600

500
Curah hujan (mm)

400

300

200

100

0
1 24 47 70 93 116 139 162 185 208
Indek waktu (bulan) dari 1993-2011
Gambar 28 Data deret waktu curah hujan bulanan di stasiun Hidrologi Cileunca
dari tahun 1993-2011
45

Metode Penelitian
Prinsip dasar dalam memahami dinamika non-linear adalah karena adanya
interaksi non-linear dalam sistem, maka deret waktu x(t ) yang didapat dari
pengukuran perubahan variabel fisis, dalam hal ini curah hujan, mengandung
informasi variabel lain dimana informasi ini dapat diperoleh dari deret waktunya.
Untuk mendapatkan informasi itu diperlukan suatu metode yang dapat
menguraikan informasi yang terkandung dalam data deret waktu tersebut. Metoda
untuk maksud tersebut adalah analisis deret waktu non-linear. Landasan utama
untuk merumuskan algoritma deret waktu non-linear dari teori galau adalah ruang
keadaan atau fasa (state/phase space) multi-dimensi analisis tidak hanya
dilakukan dalam domain waktu atau frekuensi semata.
Kemudian dilakukan analisis pada phase space domain untuk mengetahui
non-linearitas, lalu dilakukan perhitungan untuk estimasi dan prakiraan dengan
metoda statistik non-linear. Proses non-linear dan estimasi atau prakiraan secara
lokal dari deret waktu dapat diterangkan sebagai berikut: suatu deret waktu x(t)
dapat di embedded dalam state space dengan pendekatan dari Teori Taken dalam
Huke (2006), seperti yang telah dilakukan oleh Farmer and Sidorowich (1987)
bahwa suatu deret waktu dapat diungkapkan sebagai:

x (t ) = [ x (t ), ( xt − T ),..., x (t − ( N − 1)τ ] (21)

T, N, dan τ masing-masing adalah lag interval, dimensi embedding dan waktu


tunda (delay/lag time), N ≥ D, dimana D adalah dimensi sistem. Hubungan
prediktif antara keadaan sekarang x(t ) dan keadaan yang akan datang dari deret
waktu diuraikan oleh Farmer and Sidorowich (1987) sebagai,

x(t +T ) = f (x(t)) T
o
(22)

Permasalahan dalam pemodelan prediktif adalah menemukan pemetaan

f : ℜ ⇒ℜ
T
o N 1
(23)

ℜ adalah ruang keadaan sistem dinamik.


Suatu prediktor lokal dapat dibuat berdasarkan tetangga dekat dari x(t ) , yaitu
fitting suatu polynomial terhadap pasangan-pasangan:

(x(t ),(x(t + T ))
i i (24)

dimana x(t ) tetangga terdekat dari x(t ) untuk t <t .


i i

Sinyal awal dapat juga dipandang sebagai evolusi dari keadaan x(t ) dari suatu
relasi dinamik dalam ℜ N

x ( t + T ) = f T ( x ( t )) (25)

fT adalah pemetaan prediktif dari ℜN ⇒ ℜN .


46

Ilustrasi dari metoda prakiraan pada state space atau pada ruang keadaan
ditunjukkan pada Gambar 29.

x(ti ) tetangga dekat dan evolusi masa depannya x(ti + T) , dimana ti<t.

x(ti ) keadaan sekarang dan evolusinya x(ti + T)


Gambar 29 Ilustrasi titik-titik data dan evolusinya pada ruang keadaan (state
space)
Singer et al. (1992) mengungkapkan bahwa dari sudut pandang pengolahan
sinyal dalam waktu diskrit untuk proses non-linear digambarkan dengan Orde ke-
N persamaan diferensial dengan bentuk
ρ
x ( k + 1) = f ( x ( k )) + u ( k ) (26)
k adalah indeks waktu diskrit, dimana x(k)=[x(k),x(k-1),...,x(k-N+1)] T
f(x) menggambarkan pemetaan non-linear dari ℜ N ⇒ ℜ 1 dan u (k ) adalah derau.
Dinamika f (x) dapat diamati dari bentuk Persamaan 26.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa curah hujan
memenuhi fungsi distribusi probabilitas logaritmik normal. Distribusi probabilitas
logaritmik normal merupakan distribusi yang menggambarkan distribusi variabel
acak yang sering muncul dalam kehidupan nyata yang berharga positif. Variabel
acak seperti curah hujan misalnya x, akan mengikuti disribusi logaritma normal
jika fungsi densitas probabilitasnya memenuhi persamaan
2
1  ln x − µ 
1  
2  2σ 2 
f ( x) = e ,x < 0 (27)
xσ 2π

dimana µ adalah rata-rata dan σ adalah standar deviasi. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak MINITAB 14, TISEAN (Hegger et al.
1999) dan EXCELL dengan diagram alir seperti dijelaskan pada Gambar 31.
47

Gambar 30 Diagram alir pengolahan dan prakiraan data curah hujan di area Situ
Cileunca

Hasil dan Pembahasan

Variabilitas curah hujan bulanan di daerah aliran sungai Cisangkuy sangat


tinggi di atas 50%, di area Cileunca terhitung sebesar 78% (lihat Tabel 5) yang
berarti bawah konsistensi curah hujan sangat rendah. Hasil ini menunjukkan
bahwa keadaan variasi yang sangat tajam dan relatif sangat jauh simpangan dari
keadaan rata-ratanya yang dimungkinkan pada munculnya kejadian ekstrem.
Data curah hujan dicari statistik deskriptifnya dan fungsi probabilitasnya.
Statistik deskriptif data curah hujan bulanan di area Situ Cileunca dapat diringkas
seperti ditunjukkan dalam Tabel 8. Terdapat beberapa nilai yang perlu mendapat
perhatian yaitu Keragaman (Variance), Skew dan Kurtosis. Keragaman dapat
dihitung dengan merata-ratakan kuadrat dari perbedaan terhadap nilai rata-rata.
Keragaman merupakan ukuran sebarapa jauh data curah hujan menyebar dari nilai
rata-ratanya.

Tabel 8 Ringkasan statistik deskriptif curah hujan bulanan di statiun hidrologi


Situ Cileunca Kabupaten Bandung

Statistik Keterangan Data Curah Hujan


Jumlah Data 230
Maksimum 553
Terdapat pada baris 109
Minimum 0
Terdapat pada baris awal 7
Rata-rata 175.97
Deviasi rata-rata 119.92
48

Standar Deviasi 138.40


Keragaman (Variance) 19 155.04
Skew 0.47
Kurtosis -0.83

Di dalam Tabel 8 terdapat satu nilai berharga negatif yaitu nilai kurtosis
sebesar -0.83. Kurtosis merupakan ukuran yang menunjukkan fungsi probabilitas
berbentuk lonjong atau datar relatif terhadap bentuk distribusi logaritmik normal.
Kurtosis berharga negatif berarti bahwa bentuk fungsi probabilitas curah hujan di
sekitar Situ Cileunca relatif lebih datar bila dibandingkan dengan bentuk distribusi
logaritma normal seperti ditunjukkan dalam Gambar 31 beserta grafik
perbandingan dan kecocokannya dengan fungsi distribusi logaritmik normal pada
Gambar 32. Nilai skew berkisar pada nilai 0.47 berarti bahwa bentuk distribusi
curah hujan tidak simetris yaitu probabilitas lebih banyak ke arah kiri dari nilai
rata-ratanya. Nampak dari fungsi distribusi probabilitasnya juga bahwa data curah
hujan mempunyai densitas probabilitas lebih menyebar ke arah kiri dari nilai rata-
rata 176 mm/bulan.

30 PDF of Rainfall

25
Probability Density

20 Log.Distribution
15

10

0
25 125 300 275 375 525 600
Rainfall Class (mm)

Gambar 31 Fungsi densitas probabilitas curah hujan dan perbandingan dengan


fungsi distribusi logaritma logaritma normal
Probability Plot of Rainfall
99,9

99

95
90
Goodness of Fit Test
80
Probability

70 A D = 4,098
60 P-Value = *
50
40 Log.normal - 95% CI
30
20

10
5

0,1
100 Log.Rainfall 1000
49

Gambar 32 Kecocokan fungsi densitas curah hujan terhadap distribusi logaritmik


normal
Distribusi ini merupakan salah satu yang paling penting dan banyak
digunakan. Distribusi probabilitas logaritmik normal sangat dipengaruhi oleh nilai
rata-rata hitung (µ) curah hujan yaitu 176 mm/bulan dan standar deviasinya (σ)
yaitu 138 mm/bulan. Makin besar nilai standar deviasinya maka kurva makin
landai dan makin kecil nilai standar deviasinya maka kurva makin runcing. Bila
dibandingkan antara nilai rata-rata dengan standar deviasinya yang relatif tidak
berbeda jauh maka kurva densitas probabilitas curah hujan dikarakterisasi sebagai
kurva dengan puncak yang agak landai mendatar atau disebut juga platikurtik.
Dengan menggunakan metoda autokorelasi dan informasi mutual secara
statistik maka didapat hasil autokorelasi dan rata-rata informasi mutual data curah
hujan seperti pada Gambar 33 dan Gambar 34.

Autocorelation Function
2
Coeficient Correlation

0
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109

-1
Time Lag (Month)

Gambar 33 Fungsi Autokorelasi untuk data curah hujan bulanan untuk mencari
waktu tunda (lag time) saat jatuh mendekati 0

3 Mutual Information
Average Mutual Information

2.5
2
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Time Lag ( Month )


Gambar 34 Informasi mutual untuk data curah hujan bulanan untuk mencari
waktu tunda (lag time) saat jatuh mendekati 0
Jika fungsi korelasi (Gambar 33) dan informasi mutual (Gambar 34) cepat
jatuh ke nol maka data deret waktu itu kemungkinan stokastik murni dan tidak ada
50

determinism dalam deret itu, yaitu tiap-tiap nilai dalam data curah hujan saling
bebas satu sama lain. Terdapat undulasi, namun dengan riak yang sangat kecil
menunjukkan hubungan causality yang sangat lemah seperti ditunjukkan pada
Gambar 34. Untuk mendapatkan parameter non-linear optimal dalam rangka
pemodelan maupun prakiraan, maka pertama kali dicari lag time/delay time yang
mempunyai nilai autokorelasi atau informasi mutual menuju nol dari keseluruhan
data. Dengan menggunakan metoda autokorelasi dan mutual informasi di atas
didapat nilai waktu tunda τ sebesar 2. Kemudian dicari nilai embedding secara
iterasi dan didapat nilai embedding sebesar 23 untuk nilai koefisien korelasi 0.6
yang merupakan nilai terbesar dari 30 nilai embedding yang dicoba. Hasil iterasi
dengan nilai embedding dari 21 sampai 30 diperlihatkan pada Gambar 35 sampai
Gambar 44.
Prakiraan adalah suatu proses pendugaan secara sistematik tentang apa yang
paling mungkin terjadi di masa yang akan datang berdasarkan informasi masa lalu
dan masa sekarang yang dimiliki agar kesalahannya (selisih antara apa yang
terjadi dengan hasil prakiraan) dapat diperkecil.

700 Model vs Data


600 Data Model
500
Rainfall (mm)

400
300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
Lead Time (month)

Gambar 35 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan


nilai dimensi embedding 21 dan korelasi 0.52

700 Model vs Data


Data
600 Model
500
Rainfall (mm)

400
300
200
100
0
-100 1 6 11 Lead Time16(month) 21 26

Gambar 36 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan


nilai dimensi embedding 22 dan korelasi 0.56 (B)
51

700 Model vs Data


Data
600 Model
500
Rainfall (mm) 400
300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
Lead Time (month)
Gambar 37 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 23 dan korelasi 0.60

700 Model vs Data


Data
600
Model
500
Rainfall (mm)

400
300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
-200 Lead Time (month)
Gambar 38 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 24 dan korelasi 0.52

700 Model vs Data Data


500 Model
300
Rainfall (mm)

100
-100
-300 1 6 11 16 21 26
-500
-700
-900
-1100
Lead Time (month)
Gambar 39 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 25 dan korelasi 0.36
52

700 Model vs Data Data


600 Model
500
400
Rainfall (mm)

300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
-200
-300 Lead Time (month)
Gambar 40 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 26 dan korelasi 0.42

700 Model vs Data Data


600
Model
500
400
Rainfall (mm)

300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
-200
-300
-400
Lead Time (month)
Gambar 41 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 27 dan korelasi 0.25

700 Model vs Data Data


600 Model
500
400
Rainfall (mm)

300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
-200
-300
-400
Lead Time (month)
Gambar 42 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
dan nilai dimensi embedding 28 dan korelasi 0.34
53

700
Model vs Data Data
600
Model
500
400
Rainfall (mm)
300
200
100
0
-100 1 6 11 16 21 26
-200
-300 Lead Time (month)

Gambar 43 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan


nilai dimensi embedding 29 dan korelasi 0.025 (A)

700 Model vs Data Data


600
500 Model
400
300
Rainfall (mm)

200
100
0
-100
-200 1 6 11 16 21 26
-300
-400
-500
-600
-700
-800
Lead Time (month)
Gambar 44 Perbandingan hasil prakiraan (model) dan pengamatan (data) dengan
nilai dimensi embedding 30 dan korelasi 0.29

Prakiraan dapat juga diartikan sebagai usaha pendugaan suatu perubahan.


Agar tidak disalahpahami bahwa prakiraan tidak memberi jawaban pasti baik
secara kuantitas maupun kualitas tentang berapa dan apa yang akan terjadi,
melainkan berusaha mencari yang sedekat mungkin dengan yang akan terjadi
sebenarnya. Meneliti kemampuan prakiraan secara statistik dalam data deret
waktu curah hujan sangat bermanfaat dalam usaha mendapatkan informasi
besaran curah hujan ke masa depan. Kemampuan mendapatkan unsur-unsur
penduga adalah salah satu cara untuk menjawab bagaimana korelasi antar data
curah hujan. Bila langkah ganda prakiraan digunakan untuk memprakirakan ke
masa depan maka ada dua pilihan yaitu secara langsung memprakirakan xt+n dari
data tersampel atau secara iterasi yaitu memprakirakan xt+1 dulu, lalu satu langkah
lagi xt+2 dan seterusnya. Sesuai dengan diagram alir pada Gambar 30, maka
pilihan pertama digunakan untuk data bulanan curah hujan pada makalah ini.
Cara yang paling signifikan dan kuantitatif dalam validasi model adalah
meng-iterasi model dan sekaligus membandingkan deret waktu sintetik (model)
dengan data pengamatan (data) seperti terlihat pada Gambar 35 sampai Gambar
44. Validasi model prediksi non-linear ini dilakukan dengan mengambil x(t) dari
hasil observasi dan x(t+n) dari hasil keluaran model beserta prakiraannya. Deret
54

waktu curah hujan x(t) yang dikaji mula-mula adalah rentang waktu dari t0 hingga
t1, sedangkan hasil keluaran model non-linear dalam rentang waktu dari t0 hingga
t1+n, termasuk hasil prakiraan dalam selang waktu selebar n, lihat Gambar 30.
Tingkat akurasi dalam bentuk koefisien korelasi dengan menggunakan dimensi
embedding 23 didapat koefisien korelasi sebesar 0.60. Hubungan antara koefisien
korelasi dengan dimensi embedding didapat Gambar 45.

0.7

0.6
Correlation Coefficient (r)

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
Embedding Dimension (m)

Gambar 45 Grafik hubungan antara koefisien korelasi dengan dimensi


embedding pada data curah hujan area Situ Cileunca

Dari Gambar 45 dapat dilihat bahwa terdapat nilai embedding optimal


dengan memberikan nilai koefisien korelasi paling besar di antara nilai embedding
yang dicoba. Dengan demikian maka dalam suatu deret waktu curah hujan pada
lokasi tertentu selain mempunyai nilai-nilai statistik deskriptif tertentu yang khas
juga mempunyai waktu tunda, nilai embedding dan atraktor yang unik. Dimensi
embedding tersebut akan melengkapi batasan untuk jumlah variabel-variabel
bebas yang perlu untuk pemodelan sistem serta membantu dalam penentuan
kelayakan suatu model. Dengan demikian, syarat cukup untuk memodelkan curah
hujan di kawasan Situ Cileunca agar memberikan nilai keakuratan perbandingan
model terhadap observasi sebesar 0.6 adalah 23 variabel bebas, baik global
maupun lokal. Formula matematika untuk menggambarkan persamaan curah
hujan cukup melibatkan 23 variabel bebas untuk mengakomodasi aspek yang
berpengaruh pada curah hujan seperti antara lain angin, temperatur, kelembapan,
radiasi, albedo, topografi, vegetasi dan lain-lain. Diperlukan kajian dengan metode
lain untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang 23 variabel tersebut.
Salah satu metode yang telah digunakan untuk mengidentifikasi variabel-variabel
tersebut, adalah analisis spektrum (Torrence dan Compo 1998). Dari metode ini
dapat ditentukan periode curah hujan dominan. Langkah selanjutnya, kemudian
mencocokkan periode curah hujan dominan tersebut dengan periode variabel yang
sudah diketahui.
55

Simpulan

Analisis deret waktu secara statistik linear dan non-linear telah digunakan
untuk pemodelan dan prakiraan pada data bulanan curah hujan wilayah Situ
Cileunca Kabupaten Bandung yang didasarkan pada data pengamatan dari tahun
1993 sampai 2011. Situ Cileunca dan aliran sungainya sangat berperan penting
dalam memasok kebutuhan air baku untuk konsumsi penduduk Kabupaten dan
Kota Bandung yang berada pada kesatuan Cekungan Bandung.
Metoda analisis statistik linear didasarkan pada statistik deskriptif
sedangkan analisis statistik non-linear didasarkan fungsi probabilitas dan atraktor
pada ruang keadaan dengan paradigma deterministic Chaos. Metoda ini sangat
bermanfaat untuk mempelajari dinamika yang rumit dari suatu data pengukuran
atau pengamatan. Adanya kenyataan bahwa sistem deterministic sederhana
memperlihatkan perilaku temporal yang rumit dalam keadaan non-linearitas yang
tinggi. Dasar ilmiah dalam memformulasikan algoritma analisis atraktor ruang
keadaan dari teori galau (Chaos Theory) adalah ruang keadaan multi dimensi,
dimana analisis tidak hanya dilakukan pada domain waktu, frekuensi atau
bilangan gelombang dalam statistik linear, tetapi melibatkan ruang keadaan atau
ruang fasa multi dimensi.
Data curah hujan bulanan terdiri dari 230 data dengan variabilitas 78%,
yang mana untuk pemodelan digunakan 200 data, sehingga didapat parameter
non-linear optimal untuk pemodelan maupun prakiraan. Langkah pertama adalah
mencari lag time/delay time dari keseluruhan data dengan menggunakan metoda
autokorelasi dan informasi mutual, yang menghasilkan nilai lag time 2, lalu dicari
nilai embedding secara iterasi yang menghasilkan nilai embedding 23 untuk nilai
koefisien korelasi sebesar 0.60 yang merupakan nilai terbesar dari 30 nilai
embedding yang dicoba. Diperlukan 23 variabel bebas untuk merumuskan
persamaan metematika curah hujan agar mengakomodasi aspek yang berpengaruh
pada curah hujan, baik global maupun lokal.
Tersedianya data dengan penyuplikan (sampling) tinggi melalui standar
kontrol kualitas, maka metode multi dimensi ini sangat disarankan digunakan
untuk pemodelan dan prakiraan karena deterministic chaos pada sistem dinamik
mudah ditentukan.
56

6 PENGARUH TATA GUNA DAN KEMIRINGAN LAHAN


TERHADAP LIMPASAN DI DAS CISANGKUY

Pendahuluan

Memahami bagaimana perubahan tata guna lahan berpengaruh terhadap


hidroklimat aliran sungai akan sangat membantu para perencana untuk
merumuskan kebijakan dalam meminimalisasi dampak yang tak diharapkan di
masa mendatang dari perubahan tata guna lahan tersebut. Perubahan tutupan lahan
akan meningkatkan kekedapan permukaan tanah, menurunkan laju infiltrasi dan
meningkatkan laju limpasan penyebab banjir, yang lebih lanjut akan
menyebabkan aliran dasar (base flow) menjadi rendah saat musim kemarau.
Piranti yang efisien seperti inderaja (Remote Sensing) dan Sistem Informasi
Geografi (SIG) saat ini banyak digunakan untuk manajemen sumberdaya air yang
keadaannya semakin terbatas. Kebutuhan dalam pendeteksian perubahan tata guna
lahan secara spasial dan temporal pada skala yang luas menjadikan penggunaan
teknik pencitraan satelit menjadi sumber data yang sangat efektif, efisien dan
terpercaya. Kemampuan SIG dalam mengolah data spasial menjadikannya piranti
yang penting dan efisien dalam pemodelan hidroklimat secara spasial.
Perubahan tata guna lahan merupakan karakteristik penting dalam proses
limpasan yang akan mempengaruhi infiltrasi, erosi dan evapotranspirasi.
Dikarenakan proses pembangunan yang begitu cepat maka tutupan lahan
mengalami perubahan sehingga menyebabkan beberapa tanah menjadi permukaan
yang kedap (impervious). Hal ini akan menjadi sebab penurunan laju infiltrasi
tanah dan akan meningkatkan jumlah dan laju limpasan. Penggundulan hutan,
urbanisasi dan aktivitas tata guna lahan lainnya dapat merubah distribusi arus
aliran musiman dan tahunan (Dunne dan Leopold 1978). Memahami bagaimana
aktivitas ini mempengaruhi arus aliran akan dapat meningkatkan kemampuan
perencana dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk meminimalisasi
dampak yang tak diharapkan pada perubahan tata guna lahan di masa depan
terhadap pola arus aliran. Hal ini merupakan kejadian yang kritis di daerah dengan
curah hujan tinggi seperti Indonesia. Terutama jika tidak ada tandon (reservoir)
untuk irigasi pasokan air selama musim kemarau seperti skema irigasi padi di
UPTD DAS Cisangkuy. Meskipun curah hujan cukup untuk memenuhi
permintaan air untuk pemanenan, tetapi distribusi ruang dan waktu menyebabkan
pertanian tadah hujan (rainfed farming) rentan terhadap risiko. Kelebihan air yang
tersedia saat musim tanam yang kemungkinan tak tersedia pada tahap
pertumbuhan kritis. Dengan demikian, sangat dibutuhkan untuk meneliti
hubungan antara perubahan tata guna lahan terhadap rezim arus aliran.
Dengan cepatnya pembangunan di berbagai sektor maka sumberdaya air
menjadi komoditas penting sehingga setiap sektor berkompetisi untuk
memperolehnya. Kehidupan nasional yang berbasis pertanian maka
pemerintahnya harus menaruh 60% kecukupan air dalam produksi padi. Kualitas
dan kuantitas air irigasi untuk menggandakan panen padi harus tersedia setiap
saat. Permasalahan turunnya aliran pada musim kamarau hanya dapat didekati
dengan cara pandang DAS secara keseluruhan dengan perkakas pengelolaan air
57

yang perlu ditingkatkan berbasis prinsip-prinsip pengetahuan logis dan teknologi


secara efisien.
Pemodelan hidroklimat merupakan teknik yang penting dalam penelitian
sistem hidroklimat bagi peneliti klimatologi, hidrologi maupun insinyur praktisi
sumberdaya air yang terlibat dalam perencanaan dan pembangunan dengan
pendekatan terpadu untuk pengelolaan sumberdaya air (Seth et al. 1999).
Kemampuan komputasi yang meningkat dan pertumbuhan ketersediaan data
spasial maka memungkinkan untuk menggambarkan dengan akurat karakteristik
DAS ketika respon limpasan terhadap masukan curah hujan (Arwa 2001). Dengan
perkembangan SIG dan inderaja maka model yang berbasis tangkapan air dan
terdistribusi secara fisis untuk menghitung berbagai proses hidrologi dapat
dilakukan secara interaktif dengan memperhatikan keheterogenan spasial (Mohan
dan Shrestha 2000).
Model hidroklimat, khususnya model yang terdistribusi spasial perlu data
tata guna lahan, jenis-jenis tanah dan lokasinya di dalam cekungan DAS. Metoda
konvensional untuk mendeteksi perubahan tata guna lahan sangat berbiaya tinggi
dan kurang akurat. Oleh karena kemampuannya memotret skala sinoptik dan
cakupan yang berulang maka teknik inderaja menyediakan informasi yang
bermanfaat untuk dinamika tutupan lahan. Teknik ini dapat menyediakan ukuran
untuk berbagai variabel hidroklimat yang digunakan dalam penerapan model
hidroklimat dan lingkungan dibandingkan dengan bentuk-bentuk tradisional
tentang koleksi data tata guna lahan. SIG sebagai perkakas berbasis komputer
yang menampilkan, menyimpan, menganalisis, mengambil ulang dan
menghasilkan data (atribut) spasial dan non-spasial melengkapi alternatif yang
cocok untuk pengelolaan basis data yang kompleks dan besar secara efisien. SIG
dapat digunakan dalam pemodelan hidroklimat untuk memfasilitasi pengolahan,
pengelolaan dan interpretasi data hidrologi.
Data inderaja dan SIG menjadi perkakas penting yang terus meningkat
dalam pembangunan sumberdaya air dan hidrologi. Hal ini disebabkan adanya
fakta bahwa kebanyakan data yang diperlukan untuk analisis hidrologi dapat
diperoleh dengan mudah dari citra berbasis inderaja. Keuntungan besar dari
pemanfaatan data berbasis inderaja untuk pemodelan hidroklimat adalah
kemampuannya untuk menghasilkan informasi dalam domain spasial dan
temporal yang sangat krusial dalam keberhasilan analisis model, prediksi dan
validasi. Perubahan dalam tata guna lahan yang disebabkan aktivitas alami dan
manusia dapat diamati dengan menggunakan data inderaja yang lalu dan pada
kondisi saat ini.
Model Builder dalam SIG digunakan untuk mensimulasikan respon
limpasan permukaan dari DAS terhadap curah hujan dengan menggambarkan
cekungan sungai sebagai sistem hidrologi yang saling berhubungan dan
komponen-komponen hidrologi lainnya. Masing-masing komponen memodelkan
aspek-aspek dari proses limpasan-curah hujan dalam bagian DAS yang disebut
sub-DAS. Suatu komponen yang menggambarkan kesatuan limpasan permukaan,
kanal arus atau tandon. Representasi komponen memerlukan suatu himpunan
parameter yang mencirikan karakteristik tertentu dari komponen tersebut dan
hubungan matematika yang menggambarkan proses-proses fisika. Hasil proses
pemodelan merupakan komputasi dari hidrograf aliran arus di lokasi yang
diinginkan dalam suatu DAS. DAS digambarkan sebagai kumpulan sub-DAS
58

yang saling berhubungan yang menggambarkan kondisi rata-rata di dalam sub-


area. Jika rata-rata tersebut tak cocok untuk sub-area maka perlu dipertimbangkan
sub-area yang lebih kecil pada parameter rata-rata yang diterapkan. Parameter-
parameter model menggambarkan rata-rata spasial dan temporal. Dengan
demikian, interval waktu yang digunakan harus cukup kecil sedemikan rupa
sehingga rata-rata interval komputasi dapat diterapkan.
Fungsi-fungsi komponen model didasarkan pada hubungan matematika
sederhana yang ditujukan untuk menggambarkan proses meteorologi, hidrologi
dan hidrolik secara tersendiri. Proses-proses ini dipisahkan ke dalam curah hujan,
intersepsi/infiltrasi, transformasi ekses curah hujan terhadap aliran keluar sub-
DAS serta bagian program aliran dasar dan hidrograf banjir. Intersepsi permukaan
lahan, penurunan simpanan (storage) dan infiltrasi ditunjukkan sebagai hilangnya
curah hujan di dalam model hidroklimat. Intersepsi dan penurunan simpanan
ditujukan untuk menggambarkan simpanan permukaan dari air oleh pepohonan
dan rumput, penurunan lokal dalam permukaan tanah, dalam rekahan dan celah-
celah dalam bidang tanah atau atap atau di dalam area permukaan dimana air tidak
bebas bergerak seperti di atas lahan. Infiltrasi menggambarkan pergerakan air ke
area di bawah permukaan lahan.
Meskipun metoda Soil Conservation Service- Curve Number (SCS-CN)
(USDA 1985) dikembangkan untuk maksud pertanian, metoda ini telah diperluas
untuk penggunaan area urban dan sub-urban. Metoda ini sangat menarik sebagai
parameter-parameter masukan utama didefinisikan dalam suku-suku tata guna
lahan dan tipe tanah. Keuntungan dari metoda ini adalah pengguna dapat
bereksperimen dengan perubahan dalam tata guna lahan dan menilai dampaknya.
Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan suatu metodologi dalam
mengevaluasi dampak perubahan tata guna lahan di DAS tropis terhadap puncak
limpasan dengan menggunakan inderaja dan SIG sebagai peranti untuk
menyajikan suatu penilaian lahan terhadap rezim aliran.

Data dan Metodologi

DEM digunakan untuk menghitung nilai-nilai geometri DAS seperti area,


kemiringan, panjang arus dan lain-lain. DEM yang dipakai berasal dari SRTM
(http://srtm.usgs.gov) dengan ukuran grid 30x30 m. Perangkat lunak sistem
analisis sumberdaya bumi (ERDAS IMAGINE 4.8) digunakan untuk memproses
citra satelit Landsat path/row 127/57 dengan resolusi 30 m untuk tahun 2001 dan
2010. Citra dipertajam, diregister dan diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe tata
guna lahan yang berbeda dengan menggunakan klasifikasi terbimbing. False
Color Composite digunakan untuk pengecekan visual dan interpretasi. Training
GISnatures untuk menyajikan klasifikasi ini dipilih dari peta-peta hard copy. Di
dalam area dimana, tidak terdapat GISnature spektral yang berbeda dalam tipe-
tipe tutupan lahan seperti hasil piksel-piksel tercampur maka data ground truth
digunakan dan pada teknik digitasi layar diterapkan demarkasi kelas-kelas dengan
jelas.
Metoda untuk mengevaluasi dampak hidrologi yang disebabkan oleh
modifikasi tata guna lahan dapat dicapai melalui integrasi inderaja, SIG dan
Model Builder. Studi ini dilakukan dalam DAS tropis seluas 31 023 ha yang
berlokasi di Kabupaten Bandung, 40 km arah selatan Bandung antara 06o 59’24”
59

– 07o 13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT. Area dicirikan dengan
elevasi antara 661 m msl sampai 2327 m msl dan temperatur serta kelembapan
tinggi dengan variasi musiman yang kecil. Kelembapan relatif rata-rata adalah
85%, sementara temperatur minimum dan maksimum masing-masing adalah 16o
dan 28oC. Curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 2 154 mm sampai 3 235
mm. Evaporasi tahunan rata-rata berkisar antara 1 266 mm sampai 1 568 mm dan
lama penyinaran matahari harian rata-rata 6.2 jam. Angin sangat tenang sepanjang
tahun, laju angin harian rata-rata adalah 1.03 m/s. Deretan empat jenis tanah
ditemukan dalam area studi. Tutupan vegetasi dominan di DAS terdiri-dari hutan
hujan tropis dataran tinggi, sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar,
kebun/perkebunan, tegalan/ladang, tanah kosong dan pemukiman. Tutupan lahan
lainnya yang dapat ditemukan adalan sejumlah kecil dan ukuran medium area
urbanisasi terbangun khususnya sisi sepanjang tepi sungai dan sisi jalan. Anak
sungai utama adalah Sungai Citarik dan Sungai Cibeurem.
Model Builder di SIG adalah suatu aplikasi untuk menciptakan, mengedit
dan mengelola model. Model dibangun berupa aliran kerja (workflows) yang
berupa deretan simbol yang saling sambung (ARC 2014). Model builder dapat
juga dipandang sebagai bahasa pemrograman visual untuk pembuatan aliran kerja.
Model Builder dibangun untuk mensimulasikan daerah yang terpengaruh oleh
limpasan puncak secara spasial, puncak aliran, waktu untuk mencapai puncak
aliran dan waktu yang diperlukan dari awal sampai puncak lalu turun kembali.
Diagram blok dapat ditunjukkan pada Gambar 46.

Gambar 46 Diagram blok pemodelan untuk simulasi aliran puncak dan hidrograf

Sedangkan Model Builder digunakan untuk menggambarkan proses simulasi


limpasan puncak dan hidrograf dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 47.

Penyesuaian Bilangan Kurva (SCS-CN/NRCS-CN) dan Limpasan akibat


Pengaruh Kemiringan Lahan
Metode SCS-CN atau dikenal juga NRCS-CN yang digunakan untuk
estimasi limpasan permukaan dari curah hujan maksimal telah dikembangkan di
bidang hidrologi teknik dan analisis dampak lingkungan (Ponce dan Hawkins
1996; Mishra dan Singh 1999; Mishra dan Singh 2002b). Metode ini telah
dikembangkan pada tahun 1954 oleh USDS Soil Conservation Service (SCS).
Metode ini adalah salah satu metode yang sangat populer untuk DAS kecil yang
berisi pemukiman, pertanian dan hutan. Metode ini sederhana, mudah dipahami
60

dan diterapkan, sangat stabil dan bermanfaat untuk DAS yang tidak punya
penakar. Alasan utama metode ini diterapkan begitu luas adalah bertumpu pada
kenyataan bahwa metode ini dapat menghitung limpasan yang dihasilkan dari
karakteristik DAS seperti jenis tanah, LULC kondisi permukaan dan kondisi
kelembapan sebelummnya (AMC). Hanya satu parameter dari metode ini yaitu
CN yang sangat penting dalam keakuratan prediksi limpasan.
Didasarkan pada penelitian lapangan yang mendalam yang dilakukan di
Amerika bahwa CN diturunkan dari penggunaan lahan, tanah, kondisi hidrologi
yang berbeda dan praktek-praktek manajemen (Chow et al. 1988; Pilgrim dan
Cordery 1993), oleh karena itu penggambaran karakteristik respon limpasan dari
suatu DAS (Mishra dan Singh 2002b). Meskipun sangat disederhanakan,
penerapan prosedur CN membawa pada suatu diversitas interpretasi dan
kebingungan yang diakibatkan oleh pengabaian dan keterbatasannya (Hawkins
1979b; Hjelmfelt 1991; Pilgrim dan Cordery 1993). Kesulitan dalam
penerapannya terutama terkait dengan klasifikasi tanah ke dalam empat kelompok
hidrologi A, B, C dan D dan penentuan AMC yang merupakan indeks kebasahan
DAS di luar Amerika. Oleh karena itu beberapa model yang menyertakan
kemiringan DAS dalam penentuan CN untuk meningkatkan estimasi ke dalaman
dan volume limpasan permukaan.
61

Gambar 47 Diagram blok pemodelan untuk simulasi aliran puncak dan hidrograf
62

Menurut Sharpley and Williams (1990), CN dapat disesuaikan dengan


kemiringan sebagai:

CN2α=1/3(CN3-CN2)(1-2e-13.86α)+CN2 (29)

Dimana CN2α adalah nilai CN2 untuk kemiringan tertentu CN2, CN3 adalah
masing-masing CN untuk kondisi kelembapan tanah II (rata-rata) dan III (basah)
α adalah (mm-1) adalah kemiringan DAS.
Menurut Huang et al. (2006),

CN2α=CN2 x K (30)

.
.  ∝
Dimana  = ∝.


Persamaan (29) dan (30) digunakan untuk menyesuaikan nilai CN2 untuk
DAS yang menpunyai kemiringan, dengan asumsi bahwa CN2 diperoleh dari
Tabel Text book yang bersesuian dengan kemiringan 5%. Model Soil and Water
Assessment Tool (SWAT) (Arnold et al. 1993; 1998) juga menyesuaikan CN
didasarkan pada kandungan kelembapan.
Untuk menekankan keperluan seketika maka metode SCS-CN juga
ditafsirkan sebagai model infiltrasi (Aron et al. 1977; Chen 1982; Ponce dan
Hawkins 1996). Hjelmfelt (1980) mengusulkan suatu SCS_CN yang didasarkan
pada persamaan infiltrasi yang dapat dibandingkan dengan persamaan infiltrasi
Holtan dan Overton untuk menghitung laju infiltrasi dari curah hujan dengan
intensitas seragam. Mishra (1998) dan Mishra dan Singh (2002b)
memperkenalkan istilah laju infiltrasi keadaan tunak (steady state infiltration rate)
dan mengusulkan SCS-CN berbasis persamaan infiltrasi yang dipakai untuk
menentukan laju limpasan juga (Mishra 1998; Mishra and Singh 2002b, 2004b).
Disamping aplikasi tersebut, metode SCS-CN juga digunakan dalam hubungannya
dengan model erosi untuk perhitungan hasil sedimen (sediment yield). Model erosi
populer yang menerapkan metode SCS-CN adalah meliputi Modified Universal
Soil Loss Equation, MUSLE (Williams 1975), Agricultural Non Point Source
Model, AGNPS (Young et al. 1987), SWAT (Arnold et al. 1993; 1998), Erosion-
Productivity Impact Calculator, EPIC (Williams et al. 1983). Sharda et al. (2002)
menggunakan metode SCS-CN kombinasi dengan model USLE untuk
membandingkan limpasan dan hilang tanah dari sistem conservation bench dan
sistem pertanian konvensional. Mishra et al. (2012) menggunakan metode ini
untuk menilai evapotranpirasi potensial rata-rata dari DAS.
Banyak peneliti (Pandey dan Sahu 2002; Nayak dan Jaiswal 2003; Zhan dan
Huang 2004; Gandini dan Usunoff 2004) telah menggunakan SIG untuk estimasi
nilai CN untuk limpasan di seluruh dunia. Pandey and Sahu (2002) di India
mengamati bahwa LULC adalah parameter masukan penting untuk model SCS-
CN. Nayak and Jaiswal (2003) menemukan korelasi yang bagus antara ke
dalaman limpasan terukur dan estimasi dengan menggunakan SIG dan CN dan
menyimpulkan bahwa untuk SIG menjadi perangkat yang efisien manakala
persiapan masukan data yang banyak diperhatikan dalam model SCS-CN.
Dari studi literatur, kebanyakan berkonsentrasi pada aplikasi keberadaan
model SCS-CN dengan menggunakan CN yang diturunkan awalnya untuk DAS
63

yang berbeda atau diturunkan dengan menggunakan SIG dengan karakteristik


DAS sebagai masukan. Tidak ada upaya yang sistematik yang muncul dibuat
untuk verifikasi percobaan efek kemiringan DAS pada CN, khususnya di
Indonesia. Dengan demikian tujuan pada sub bab makalah ini adalah untuk
meneliti pengaruh kemiringan terhadap CN dan limpasan untuk curah hujan, tanah
dan LULC tertentu.

Metode SCS-CN
Metode SCS-CN didasarkan pada persamaan kesetimbangan air dan dua
hipotesis yang mendasar yaitu:
Persamaan ketimbangan air

P=Ia+F+Q (31)

Kesamaan sebanding (hipotesis pertama)

 
= (32)
( ) 

Hubungan Ia-S (hipotesis kedua)


Ia=λ S
Dimana P= presipitasi total
Ia=abstraksi awal
F=inflitrasi kumulatif tidak termasuk Ia
Q=limpasan langsung
S= retensi maksimum potensial atau infiltrasi.

Versi metode SCS-CN saat ini mengasumsikan λ sama dengan 0.2 untuk
aplikasi praktis rutin. Seperti komponen abstraksi awal menghitung penyimpanan
permukaan, intersepsi dan infiltrasi sebelum limpasan dimulai, λ boleh sebarang
nilai antara 0 sampai ~. Dengan menggabungkan persamaan (31) dan (32) maka Q
dapat diungkapkan sebagai:

( )
= (33)
 

Persamaan (33) adalah bentuk umum dari meotde populer SCS-CN dan baik
untuk P ≥ Ia; Q=0, di luar ketentuan ini tidak. Untuk λ=0,2 maka gandengan
persamaan (6) dan (7) menghasilkan:

(,)
= (34)
,

Persamaan (34) adalah bentuk populer dari keadaan metode SCS-CN.


Keadaan metode SCS-CN dengan λ=0,2 adalah salah satu parameter model untuk
menghitung limpasan permukaan dari curah hujan maksimum harian. Sedangkan
parameter bervariasi dari 0 ≤ S ≤ ~ . Dipetakan ke dalam bilangan kurva CN
dengan variasi 0 ≤ CN ≤ 100, sebagai:
64

25400
= − 254 (35)
!"

Dimana S dalam mm. CN=100 menggambarkan kondisi retensi maksimum


potensial nol (S = 0) yaitu DAS yang impermeable (kedap). Sebaliknya CN=0
menggambarkan batas atas teoritis untuk retensi (penyimpanan) maksimum
potensial (S = ~) yaitu suatu DAS abstraksi tak hingga. Nilai rancangan praktis
tervalidasi dengan pengamatan yang berkisar 40 sampai 98 (Van and Mullem,
1989). Mishra and Singh (2003) menggambarkan CN sebagai suatu indeks
potensial limpasan dari suatu DAS yang bersesuaian dengan 10 inches (254 mm)
dari curah hujan. Terbalik dengan versi Hawkins' (1978) bahwa CN tidak
mempunyai arti yang intrisik kecuali untuk transformasi yang mudah dari S untuk
membangun skala 0 sampai 100. Mishra dan Singh (2003) menggambarkan suatu
indeks potensial limpasan dari suatu DAS untuk curah hujan tertentu 10 inches
(254 mm). Untuk sekumpulan curah hujan dan limpasan tertentu maka S dapat
ditentukan dari persamaan (8) sebagai

 = 5($ + 2 − &((4 + 5$)) (36)

Catatan: metode SCN-CN tidak menghitung efek kemiringan pada hasil limpasan
dan juga pada CN.

Penurunan CN yang disesuaikan kemiringan


Untuk mendapatkan CN yang disesuikan dengan kemiringan maka proses
penurunan peta CN dapat digambarkan pada Gambar 48.

Gambar 48 Prosedur untuk mendapatkan peta SCN-CN terkoreksi kemiringan


65

Data DEM (Digital Elevation Model) dengan ukuran gird 30 x 30 m


dicuplik untuk daerah DAS Cisangkuy, kemudian digunakan perangkat analisis
spasial SIG untuk mendapatkan kemiringan (slope) daerah DAS Cisangkuy.
Dengan menggunakan perangkat aritmetic overlay kedua peta yaitu peta slope dan
SCS-CN standar dimasukan ke dalam perumusan pada persamaan (30) untuk
mendapatkan peta SCS-CN yang terkoreksi kemiringan.

Hasil dan Pembahasan

Dalam studi ini kehilangan curah hujan dihitung dengan menggunakan


metoda satuan hidrograf yang diperhitungkan menjadi rata-rata sub-DAS
(terdistribusi serba sama pada keseluruhan sub-DAS). Terdapat beberapa metoda
untuk menghitung hilangnya curah hujan, diantaranya metoda SCS-CN (Soil
Conservation Services-Curve Number) yang dipilih dalam studi ini sebab metoda
ini menghubungkan hilangnya curah hujan dengan tata guna lahan dan tipe tanah.
Dengan demikian, dampak perubahan tata guna lahan tergambar dari jumlah dan
distribusi dari limpasan terprediksi yang dapat diobservasi dari bentuk hidrograf.

Tutupan lahan dan klasifikasi kelompok tanah hidrologi (HSG)


Penentuan CN memerlukan penggunaan lahan, tipe tanah dan informasi
AMC. Potensi penurunan peta penggunaan lahan dari citra satelit merupakan fitur
utama dalam studi ini. Penggunaan lahan dari area luas dapat dideteksi dengan
mudah dalam waktu singkat dengan biaya kecil dibandingkan dengan metoda
tradisional. Lima tipe penggunaan lahan diidentifikasi dalam area studi yaitu
hutan hujan tropis dataran tinggi, sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar,
kebun/perkebunan, tegalan/ladang, tanah kosong dan pemukiman dengan akurasi
klasifikasi 90%. Peta raster tematik yang terklasifikasi lalu divektorisasi dan
dirubah ke dalam peta shapefile tata guna lahan dengan menggunakan ARGIS 9.2
(Gambar 49 dan Gambar 50). Terlihat pada Gambar 49 dan Gambar 50
peningkatan pemukiman yang signifikan pada daerah-daerah sawah irigasi.
Pengamatan di lapangan menunjukkan telah terjadi alih fungsi besar-besaran dari
sawah irigasi ke pemukiman dan area terbangun lainnya. Sedangkan daerah hutan
relatif tidak ada perubahan yang signifikan. Gambar 51 menunjukkan klasifikasi
tanah ke dalam HSG yang berbeda ditemukan dalam area studi.
66

Gambar 49 Peta penggunaan lahan untuk tahun 2001

Gambar 50 Peta penggunaan lahan untuk tahun 2010


67

Gambar 51 Kelompok tanah hidrologi (HSG) dengan bilangan kurvanya


Penerapan Sistem Informasi Geografi (SIG)
Penyusunan informasi layer merupakan salah satu operasi dasar dan ampuh
dalam SIG untuk memanipulasi data spasial dan untuk pemodelan hidroklimat.
Penyusunan timpa (overlaying) menghasilkan parameter-parameter hidroklimat
khusus seperti bilangan kurva (curve number) CN yang diturunkan melalui
penyusunan timpa tata guna lahan dan cakupan tanah dengan cakupan drainase.
Dengan menggunakan proses penyusunan timpa maka penggunaan lahan ditimpa
dengan peta drainase. Prosentasi tipe penggunaan lahan yang menutupi DAS
diperoleh sehingga perubahan tata guna lahan untuk setiap DAS dideteksi Tabel 9
dan Gambar 52.

Tabel 9 Area tutupan dan penggunaan lahan (ha)

2001 2010 Perubahan


Penggunaan Lahan Prosentasi
[ha] [ha] [ha]
Tanah Berbatu 2.7 2.7 0.00 0.00
Tanah Kosong/Rumput 239.85 214.2 -25.65 -10.69
Pemukiman 1 672.83 3 464.55 1 791.72 107.11
Tegalan/Ladang 4 904.64 4 684.59 -220.05 -4.49
Kebun/Perkebunan 8 996.67 8 074.8 -921.87 -10.25
Semak Belukar 2 274.84 2 273.49 -1.35 -0.06
Sawah Tada Hujan 2 198.34 2 048.67 -149.67 -6.81
Sawah Irigasi 3 124.8 2 654.37 -470.43 -15.05
Hutan 7 608.96 7 606.26 -2.70 -0.04
68

9000
8000
7000
6000 2001
5000 2010
Ha

4000
3000
2000
1000
0

Gambar 52 Perbandingan dan perubahan tata guna lahan dari tahun 2001 dan
2010
Untuk menilai respon hidrologi dari sub-DAS sebagai hasil dari perubahan
tata guna lahan yang menggunakan teknik CN maka layer SIG tanah yang
memperlihatkan kelompok tanah hidrologi (HSG) dipersiapkan melalui
pemindaian (scanning), geo-referensi dan digitasi peta hard copy. Lima HSG
yang ditemukan dalam area studi meliputi masing-masing dengan bilangan kurva
(0.9-1), (0.8-0.9), (0.7-0.8), (0.6-0.7), dan (0.5-0.6) untuk kelima kelompok
(Gambar 51). Layer vektor dari HSG dipetakan untuk timpaan spasial dengan
informasi tutupan lahan. SIG digunakan untuk mengkombinasikan data dari
inderaja dengan bentuk-bentuk data spasial lain seperti topografi, peta tanah dan
variabel hidroklimat seperti distribusi curah hujan dan kelembapan tanah. Peta
penggunaan lahan dan peta HSG ditimpakan. CN gabungan (composite) untuk
setiap DAS dihitung dengan mengambil area terbobot rata-rata dari CN berbeda
untuk daerah berbeda (tipe tanah dan kombinasi penggunaan lahan) di dalam DAS.
Model dijalankan setelah persiapan dan pasokan masukan yang diperlukan
untuk model dengan kejadian hujan rata-rata dan tata guna lahan yang berbeda
untuk simulasi jumlah limpasan dan distribusi limpasan puncak dalam DAS yang
berbeda melalui pembentukan hidrograf limpasan. Hidrograf simulasi
dibandingkan dengan hidrograf observasi pada titik keluaran (outlet) DAS. Model
dikalibrasi dan divalidasi serta kinerja model diuji dengan empat kriteria evaluasi
rata-rata yaitu galat abslout rata-rata (MAE), galat akar kuadrat rata-rata (RMSE),
koefisien Theil (U) dan koefisien determinasi (R2) seperti persamaan (37) sampai
persamaan (39).

1 n
MAE = ∑ Pi − Ai
n i =1
(37)

1 n
RMSE = ∑ (.Pi . − Ai ) 2
n i =1
(38)
69

1 n

n i =1
( Pi − Ai ) 2 .
U = (39)
1 n 1 n
∑ i
n i =1
( P ) 2
+ ∑ ( Ai ) 2
n i =n
dimana Pi adalah data keluaran dari model, Ai adalah data observasi dan n adalah
jumlah rekaman (Naylor 1970; Hossein and Velu, 2004). Statistik MAE
menunjukkan ukuran seberapa dekat hasil model dan observasi sedangkan RMSE
menunjukkan nilar rata-rata galat, MAE dan RMSE mempunyai batas terendah,
nilai 0 yang merupakan nilai optimum sama juga untuk nilai U dan sampai nilai
tak-hingga. Gambar 53 menunjukkan zona yang terpengaruh limpasan puncak
dengan keadaan tata guna lahan dan tutupan lahan tahun 2001 dan 2010.
Hidrograf prediksi dengan manggunakan peta penggunaan lahan 2001 dan
kejadian hujan rata-rata dibandingkan hasil observasi sesungguhnya ditunjukkan
pada Gambar 54 dan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (37), (38)
dan (39) didapat hasil kinerja model ditunjukkan dalam Tabel 10.

Gambar 53 Simulasi zona yang sangat terpengaruh oleh limpasan puncak pada
tahun 2001 dan 2010. (Cat:Besar puncak limpasan tahun 2001
sebesar 5.07 m3/detik dan tahun 2010 sebesar 5.51 m3/detik)

6
Ouput Model
5
Debit [mm3/detik]

4 Obs 25-11-2001

0
0 5 10 15 20 25
waktu (jam)

Gambar 54 Hidrograf prediksi dengan manggunakan peta penggunaan


Tabel 10lahan 2001model
Kinerja dibandingkan hasilempat
berdasarkan observasi sesungguhnya.
kriteria statistik
70

Tabel 11 Kinerja model hidrograf satuan terdistribusi di DAS Cisangkuy

Kejadian Kriteria Kinerja


Hujan R2 MAE RMSE U
8.9 mm/hari 0.84 0.93 1.22 0.32

Hidrograf limpasan digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi


perubahan dalam hidrologi DAS dikarenakan perubahan spasial dalam
penggunaan lahan di dalam DAS. Untuk menyajikan evaluasi ini kejadian hujan
terpilih dipasok untuk model dengan menggunakan penggunaan lahan untuk tahun
2001 dan 2010 untuk mengamati perubahan dalam limpasan puncak dan waktu
menuju puncak yang disebabkan perubahan penggunaan lahan. Kejadian hujan
rata-rata 8.2 mm/hari digunakan untuk menjalankan model untuk tahun 2001 dan
2010. Hasil dibandingkan dengan plot hidrograf untuk tahun 2001 dan 2010
ditunjukkan pada Gambar 52, terlihat bahwa dampak perubahan dalam CN atau
jenis tanah bersama dengan perubahan LULC digambarkan lebih jelas dalam
lekukan naik dari lekukan yang turun.
Dari perbandingan hidrograf dapat diamati bahwa limpasan puncak naik
sekitar 0.44 m3/detik antara tahun 2001 dan 2010. Disamping itu, waktu menuju
puncak 5 jam dalam tahun 2001,namun meningkat menjadi 4 jam pada tahun 2010.
Konsekeunsinya resesi aliran akan mencul lebih awal sepanjang sisa volume
limpasan yang sama. Alhasil kemunculan aliran rendah diduga lebih awal. Hal ini
dapat dikatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai aliran puncak
sebagai respon dari semua DAS adalah 5 jam dalam tahun pertama simulasi. Dari
Tabel 10 terlihat jelas bahwa area hutan, sawah tada hujan, sawah irigasi dan
kebun/perkebunan menurun sekitar 0.04%, 6.81%, 15.04% dan 10.24% masing-
masing antara tahun 2001 dan 2010 sementara area terbangun atau pemukiman
naik sekitar 107.04%. Area terbangun naik sekitar hampir dua kali antara tahun
2001 dan 2010. Teramati disini bahwa perubahan spasial dalam tata guna lahan
telah merubah pola lairan sungai walaupun modifikasi lahan sedikit pada hutan
tetapi area terbangun atau pemukiman naik dua kali lipat.

5
2010
Debit (m3/detik)

4
2001
3

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Waktu (jam)
Gambar 55 Perubahan dalam bentuk hidrograf disebabkan oleh perubahan tata
guna lahan
71

Model dapat digunakan untuk skenario tata guna lahan masa depan untuk
memprediksi perubahan yang terduga/diharapkan dalam rezim aliran sungai. Hal
ini akan membantu dalam menghindarkan aliran pendek ke dalam air irigasi
untuk musim kemarau disebabkan penurunan aliran dasar atau dapat digunakan
sebagai bahan rencana mitigasi banjir yang mungkin disebabkan oleh aliran
puncak yang lebih tinggi. Untuk insinyur tandon serta perancang jaringan
pengairan harus menghitung perubahan jangka panjang yang mungkin terjadi pada
pola aliran sungai dikarenakan perubahan dalam permukaan tanah yang kedap air
di dalam DAS ketika penentuan kemampuan dan dimensi DAS. Hal ini dapat
dicapai melalui penerapan metodologi di atas untuk simulasi berbagai skenario-
skenario perubahan tutupan lahan.

Gambar 56 Kelas kelerengan lahan di DAS Cisangkuy

Berdasarkan prosedur yang ditunjukkan pada Gambar 48, maka untuk


mendapatkan peta CN yang terkoreksi, langkah awal yang harus dilakukan adalah
menurunkan peta kelerengan (slope) dari data DEM melalui bantuan toolbox
yang ada pada perangkat SIG sehingga dihasilkan Gambar 56. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa terdapat daerah dengan kelerengan yang berada di
atas 30%. Daerah-daerah tersebut mempunyai derajat kemiringann antara 20-56
derajat dan berada di sebelah Timur dan Barat batas DAS yang merupakan daerah
pegunungan Malabar dan Gunung Tilu. Berdasarkan perumusan yang ditemukan
Huang et al. (2006) maka untuk daerah-daerah dengan kemiringan di atas 5%,
perlu diterapkan koreksi CN karena pengaruh kemiringan. Daerah-daerah di DAS
Cisangkuy tersebut perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi nilai CN dan
72

juga besar serta kecepatan limpasan dibandingkan dengan daerah dengan


kemiringan yang kecil. Mengacu kepada persamaan (30) maka beberapa langkah
perhitungan diselesaikan untuk mendapatkan peta koreksi nilai K yang bisa
diselesaikan dengan menggunakan perangkat kalkulator raster di SIG sehingga
didapat peta koreksi kemiringan seperti ditunjukkan pada Gambar 57.

Gambar 57 Koreksi untuk kelerengan (slope) yang diturunkan dari persamaan


(30) untuk mendapatkan CN yang disesuaikan dengan kelerengan

Dengan mengikuti prosedur pada Gambar 48 maka peta koreksi untuk


kelerengan yang diperoleh sepeti Gambar 57 kemudian digunakan untuk
menyelaraskan dan mengoreksi peta CN standar yang awal penggunaannya hanya
diperuntukan untuk lahan dengan kemiringan 5%. Sehingga perbandingan hasil
kedua peta CN setelah dan sebelum dilakukan pengkoreksian dapat ditunjukkan
pada Gambar 58 dan Gambar 59. Nampak bahwa pada daerah-daerah dengan
kemiringan lebih dari 5% terjadi koreksi nilai CN, terlebih pada daerah-daerah
dengan kelerengan yang curam seperti daerah-daerah pegunungan Malabar dan
gunung Tilu. Pada Gambar 58 daerah pegunungan Malabar dan sekitarnya hanya
mempunyai satu nilai CN, namun setelah dilakukan koreksi maka nilai CN
menjadi bervariasi.
73

Gambar 58 Peta SCS-CN standar yang belum terkoreksi dengan kelerengan.

Gambar 59 Peta SCS-CN yang sudah dilakukan koreksi dengan kerengan


berdasarkan persamaan (30)
74

Tabel 11 Pengaruh kemiringan terhadap limpasan

Waktu Q Qadj
3
(jam) (m /detik) (m3/detik)
1 0.494146094 0.515794444
2 1.209516667 1.221122222
3 2.652683333 2.661733333
4 4.200572222 4.221994444
5 4.921011111 4.929733333
6 5.070077778 5.047872222
7 4.626700000 4.611894444
8 3.991611111 3.974683333
9 3.143750000 3.147938889
10 2.245666667 2.253955556
11 1.498355556 1.508722222
12 0.996722222 1.024883333
13 0.563977778 0.592394444
14 0.311288325 0.340215560
15 0.156775000 0.170292220
16 0.068154443 0.074976112
17 0.028242112 0.03164439
18 0.011076055 0.013892499
19 0.003339589 0.006205111
20 0.001110511 0.001245228
21 0.000138699 0.000553279
22 0.000277400 0.000415009

Skenario Tutupan Lahan di DAS Cisangkuy serta Pengaruhnya pada


Limpasan sungai Cisangkuy
Salah satu dampak dari laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan
produksi kebutuhan (pangan, sandang, papan) di dalam suatu DAS adalah
eksploitasi sumberdaya DAS secara intensif terutama hutan, lahan dan air.
Konversi lahan secara suksesif dan intensif menjadi pemicu terjadinya
ekstremitas debit dan hujan di lokasi studi. Perubahan tutupan lahan, dari
hutan berturut-turut menjadi budidaya, permukiman pedesaan dan perkotaan
berdampak semakin besarnya debit limpasan. Kawasan hulu sebagai daerah
tangkapan air di DAS Cisangkuy yang seharusnya merupakan kawasan konservasi
telah dirambah menjadi area aktivitas usaha tani dan eksplorasi pemanfaatan
sumberdaya alam lainnya terutama sumberdaya panas bumi. Ekosistem DAS,
terutama di bagian hulu merupakan bagian yang penting, karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Terdapat bentuk
keterkaitan daerah hulu dan hilir, praktek-praktek pengelolaan lahan dan atau
pembuatan bangunan konservasi di lahan maupun di sungai di bagian hulu, dapat
memberi dampak dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air pada bagian hilir.
Pengelolaan DAS dengan baik dan optimal memerlukan pendekatan yang
menyeluruh terhadap semua aspek dan komponen yang mempengaruhinya.
75

Pengelolaan penatagunaan lahan DAS Cisangkuy, terutama di lahan bagian atas


dan tengah, penting karena dari areal bagian ini aliran air permukaan dapat
mengalir dengan deras dan tanah lebih mudah terkikis (Asdak 2010; Permenhut
No. 32/Menhut-II/2009)
Perubahan karateristik suatu DAS yang diakibatkan oleh perubahan
penggunaan lahan telah banyak dilaporkan dalam penelitian, diantaranya Feri
(2007) dalam Rahman (2013) menyatakan perubahan penggunaan lahan di
DAS Atokan selama tahun 1992, 2001, dan 2003 mengakibatkan
peningkatan selisih debit maksimum minimum sungai berturut-turut sebesar
23.58 m3/detik, 39.26 m3/detik dan 89.28 m3/detik. Hasil penelitian Suryani
(2005) dalam Rahman (2013) di DAS Cijalupang yang merupakan sub DAS dari
DAS Citarum bagian hulu menunjukkan bahwa terjadinya perubahan
penggunaan lahan dari tahun 1990 sampai 2002 berupa penurunan luas
hutan, semak, kebun campuran dan sawah masing-masing 2.3%, 0.8%, 7.3% dan
0.9%, disisi lain terjadinya peningkatan perkebunan teh, tegalan dan
pemukiman masing-masing sebesar 0.5%, 5.7% dan 5.1% telah menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran permukaan sebesar 20.42%. Peningkatan deforestasi
dengan dampak negatifnya telah dikenali terjadi di sejumlah daerah aliran
sungai (DAS) di Jawa sejak abad 20 lalu, dan disadari sebagai awal
permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Pengaruh penggunaan lahan yang
menyebabkan meningkatnya peluang kejadian ekstrem akan semakin tinggi
dengan perubahan iklim dimasa depan. Banyak penelitian yang telah
mengkaji bagaimana perubahan iklim yang akan terjadi dimasa depan, salah
satunya adalah perubahan dari siklus hujan. Naylor (2007) meneliti bahwa
intensitas curah hujan di pulau Jawa akan meningkat dengan panjang
musim hujan yang semakin pendek. Sehingga ke depannya diprediksi bahwa
terjadi perubahan dari siklus hujan akan menyebabkan semakin banyaknya
kejadian hujan ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Pada saat ini telah banyak
dikembangkan model-model hidrologi untuk melihat pengaruh dari penggunaan
lahan terhadap karateristik suatu DAS. Model hidrologi dapat digunakan
untuk simulasi yang berhubungan dengan sistem DAS sehingga dapat membuat
perencanaan pengelolaan DAS yang baik dan dapat mengurangi atau
mencegah peluang terjadinya bencana yang terkait iklim dimasa depan.
Prediksi ke depan adalah suatu proses prakiraan secara sistematik tentang
apa yang paling mungkin terjadi di masa yang akan datang berdasarkan informasi
masa lalu dan masa sekarang yang dimiliki agar kesalahannya (selisih antara apa
yang terjadi dengan hasil prakiraan) dapat diperkecil. Prediksi dapat juga diartikan
sebagai usaha pendugaan perubahan. Agar tidak disalahpahami bahwa prediksi
tidak memberi jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi, melainkan berusaha
mencari yang sedekat mungkin dengan yang akan terjadi. Validasi model prediksi
ke depan dilakukan dengan mengambil x(t) dari hasil observasi dan x(t+n) dari
hasil keluaran model beserta prediksinya. Deret waktu limpasan x(t) yang dikaji
mula-mula adalah rentang waktu dari t0 hingga t1, sedangkan hasil keluaran model
limpasan dalam rentang waktu dari t0 hingga t1+n, termasuk hasil prediksi dalam
selang waktu selebar n pada interval.
Skenario merupakan salah satu cara untuk mengetahui keadaan masa depan
dengan mempertimbangkan berbagai hal yang mempengaruhi kondisi saat ini.
76

Hasil perbandingan plot hidrograf untuk tahun 2001, 2010 dan RTRW 2030
ditunjukkan pada Gambar 60.

6
2010
5
2001
m 3/dt

4 RTRW
3

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Waktu (Jam)
Gambar 60 Perubahan dalam bentuk hidrograf disebabkan oleh perubahan tata
guna lahan dan pola ruang penatagunaan lahan.
Hasil skenario eksisting 2001, 2010 didapat puncak limpasan sebesar
masing 5.07, 5.51 m3/dt sedangkan skenario RTRW sebesar 4.26 m3/dt, terjadi
reduksi sebesar 1.25 m3/dt dari tahun 2010.
Skenario dengan kondisi eksisting 2010 dan RTRW di DAS Cisangkuy
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Kondisi Eksisting 2001 dengan pola distribusi penggunaan lahan yang
ditunjukkan pada Tabel 10 digunakan untuk melakukan simulasi limpasan.
Kemudian dibandingkan hasil simulasi tersebut dengan data pengamatan
beserta data curah hujannya didapat grafik seperti ditunjukkan pada Gambar
61.

Curah hujan Data limpasan Model limpasan


600 0
500 100
400 200
mm

mm

300 300
200 400
100 500
0 600

Waktu (Bulan-Tahun)
Gambar 61 Validasi hasil simulasi limpasan dengan data pengamatan pada
rentang pengamatan 2001-2011 yang diperoleh koefisien korelasi
sebesar 65%
77

Metode korelasi silang merupakan metode standar untuk mengestimasi


derajat korelasi dari dua data deret waktu. Bila dua data deret waktu yaitu
limpasan pengamatan dan limpasan hasil model diungkapkan dalam x(i) dan y(i)
masing-masing, dimana i=0,1,2,3...N-1, maka korelasi silang r (koefisien korelasi)
pada lag time d didefinisikan sebagai

(40)

dimana mx dan my merupakan deret yang bersesuaian. Jika persamaan di atas


dihitung untuk semua time lag d=0,1,2,3,..N-1 maka hasilnya dalam deret korelasi
silang kedua panjang sebagai deret asal adalah

(41)

Terdapat dua permasalahan ketika indek pada deret waktu kurang dari 0
atau lebih besar dari atau sama dengan titik-titik bilangan (i-d<0 atau i-d>=N).
Pendekatan yang umum adalah mengabaikan titik-titk tersebut atau dengan
asumsi deret x dan y nol untuk i<0 dan i>=N. Dalam beberapa penerapan
pengolahan sinyal maka deret diasumsikan sirkular dimana indek-indek yang
diluar jangkauan di kemas ulang ke dalam jangkauan yaitu x(-1)=x(N-1),
x(N+5)=x(5) dan seterusnya.
Jangkauan lag time d dan panjang deret korelasi silang dapat menjadi
kurang dari N untuk mgnuji korelasi pada lag time yang cukup pendek. Pembagi
pada persamaan (2.2) dapat berfungsi sebagai normalisasi koefisien korelasi
sehingga -1< = r(d) <=1 yang membatasi korelasi maksimum dan nilai 0 yang
menunjukkan tidak berkorelasi. Korelasi negatif tinggi menunjukkan bahwa kedua
data deret waktu berkorelasi tetapi salah satu kebalikannya dari yang lain. Dengan
menggunakan persamaan 40 dan 41 didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.65
atau 65%. Grafik sebaran antara data pengamatan dan model limpasan dapat
ditunjukkan pada Gambar 62.
78

600

500
pengamatan (mm)

400

300

200

100

0
0 100 200 300 400 500 600
Model (mm)

Gambar 62 Grafik sebaran antara data pengamatan dan model limpasan pada
rentang 2001-2011.
Pola sebaran data pada ploting sebaran antara data pengamatan dan hasil
simulasi model di Gambar 62 berada pada proporsi antara garis kesamaan antara
sumbu x dan sumbu y artinya hasil simulasi sebagian berada pada kondisi
understimate dan sebagian lagi berada pada overestimate, namun ada titik-titik
yang tepat berada pada garis kesamaan.

2. Skenario kondisi eksisting 2010 dengan pola distribusi penggunaan lahan


yang ditunjukkan pada Tabel 12 digunakan untuk melakukan simulasi dan
prediksi limpasan ke depan.

Tabel 12 Penggunaan Lahan Existing tahun 2010


Penggunaan Prosentasi CNbobot= ∑CNixAi
Ha CN CNixAi
Lahan lahan % ∑Ai
Tanah Berbatu 2.70 75 202.50 0.01
Rumput/Kosong 133.47 75 10 010.25 0.63
Pemukiman 748.44 90 6 7359.60 3.55
Tegalan/ Ladang 3 830.40 75 287 280.00 18.16
Perkebunan 6 658.83 75 499 412.30 31.56
Semak/Belukar 1 378.17 60 82 690.20 6.53
Sawah tadah
hujan 1 190.52 50 59 526.00 5.64
Sawah Irigasi 618.57 60 37 114.20 2.93
Hutan 6 536.25 60 392 175.00 30.98
Jumlah 21 097.35 1 435 770.00 100.00 68.0
79

500 Skenario Kondisi Eksisting 2010


450
400
350
300
mm

250
200
150
100
50
0
Jan-15 Jan-20 Jan-25 Jan-30 Jan-35 Jan-40 Jan-45 Jan-50
Waktu (Bulan-Tahun)
Gambar 63 Variabilitas limpasan hasil simulasi dan prediksi di DAS Cisangkuy
berdasarkan skenario kondisi eksisting 2010
Hasil simulasi dan prediksi dengan skenario kondisi eksisting 2010 dapat
ditunjukkan pada Gambar 63. Pola musiman mendominasi variabilitas limpasan di
DAS Cisangkuy dengan osilasi tahunan. Setiap musim penghujan (DJF) limpasan
selalu berpotensi tinggi berada di atas rata-rata musim penghujan sebesar 200 mm
atau sekitar 20.5 m3/detik.
Berdasarkan analisis metode wavelet yang dibahas dalam Bab 2 dan metode
tersebut diterapkan pada hasil simulasi dengan skenario eksisiting 2010 maka,
variabilitas musiman yaitu osilasi tahunan dengan periode 12 bulan dan osilasi
antara 4-5 tahun merupakan osilasi dominan pada variabilitas limpasan DAS
Cisangkuy. Namun muncul osilasi sekitar 16-32 bulan yang diduga periode
minimum perubahan penatagunaan lahan secara permanen.

Gambar 64 (a) Limpasan skenario kondisi eksisting 2010 (b) Spktrum daya
wavelet. Level kontur dipilih sedemikan sehingga 75%, 50%,
25%dan 5% dari daya masing-masing wavelet di atas setiap level. (c)
Spektrum daya wavelet global
80

3. Skenario kondisi eksisting RTRW 2030 dengan pola distribusi penggunaan


lahan yang ditunjukkan pada Gambar 65 dan Tabel 13 digunakan untuk
melakukan simulasi dan prediksi limpasan ke depan.

Gambar 65 Pola ruang penatagunaan lahan RTRW tahun 2030 Kabupaten


Bandung
Tabel 13 Penatagunaan Lahan RTRW tahun 2030 Kabupaten Bandung

Prosen- CNbobot=∑CNixAi
Penatagunaan Lahan Luas [ha] CN CNi*Ai
tasi ∑Ai
Hutan 5 720.04 55 314 602.2 26.98
Hutan rakyat 36.36 60 2 181.6 0.17
Kawasan Pemukiman 2 443.59 90 219 923.1 11.52
Kawasan Pertanian
4 189.23 60 251 353.8 19.76
Lahan Basah
Kawasan Pertanian
1 588.59 50 79 429.5 7.49
Lahan Kering
Kawasan Tanaman
5 294.25 66 349 420.5 24.97
Tahunan
Perdagangan/Jasa 61.83 89 5 502.9 0.29
Peternakan 68.4 61 4 172.4 0.32
Hankam 51.75 72 3 726.0 0.24
Pemerinthan/Fasum 14.40 61 878.4 0.07
Perairan 232.74 100 23 274.0 1.10
Sempadan 16.29 59 961.1 0.08
Hutan Konservasi 1 485.81 25 37 145.2 7.01
Jumlah 21 203.28 1 292 571.0 100 60.9
81

Gambar 65 dan peta SCS_CN koreksi pada Gambar 59 di-overlayv sehingga


didapat Tabel 13.

450 Skenario Kondisi RTRW 2030


400
350
300
250
mm

200
150
100
50
0
Jan-15 Jan-20 Jan-25 Jan-30 Jan-35 Jan-40 Jan-45 Jan-50
Waktu (Bulan-Tahun)

Gambar 66 Variabilitas limpasan di DAS Cisangkuy berdasarkan skenario


kondisi RTRW Kabupaten Bandung 2030

Gambar 67 (a) Limpasan skenario RTRW Kab.Bandung (b) Spektrum daya


wavelet. Level kontur dipilih sedemikan sehingga 75%, 50%, 25%
dan 5% dari daya masing-masing wavelet di atas setiap level. (c)
Spektrum daya wavelet global
82

Tabel 14 Perbandingan data hasil simulasi antara skenario 2010 dan RTRW 2030

Data 2010 RTRW 2030


Rata-rata 158.06 88.1
min 0.00 0.00
simpangan rata-rata 78.80 68.94
simpangan baku 94.29 85.24
keragaman 8 890.65 7 266.52
skew 0.98 1.11
Kurtosis 0.47 0.83
Maksimum 470.11 434.42
CV 0.90 0.81

Skenario perubahan penatagunaan lahan dibuat untuk kondisi eksisting 2010


dan kondisi RTRW 2030 untuk mengetahui pengaruhnya terhadap limpasan di
masa mendatang berdasar kan model prediksi curah hujan yang dikembangkan.
Dengan metode statistik non-linear didapat parameter untuk prediksi curah hujan
yaitu waktu tunda 2 dan nilai embedding 23 dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0.60. Validasi model limpasan dengan data pengamatan dilakukan pada
rentang 2001-2011 didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.65. Hasil skenario
eksisting 2010 didapat puncak limpasan sebesar 5.51 m3/dt sedangkan skenario
RTRW sebesar 4.26 m3/dt, terjadi reduksi sebesar 1.25 m3/dt. Rasio limpasan rata-
rata untuk skenario 2010 terhadap skenario RTRW selama rentang proyeksi 2015-
2050 sebesar 0.55 atau turun sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa
penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukannya yang disusun berdasarkan pola
RTRW dapat menurunkan tingkat limpasan ke level yang signifikan. Dari hasil
skenario untuk kedua kondisi eksiting 2010 dan RTRW 2030 maka dapat
disimpulkan bahwa penggunaan dan peruntukan lahan semestinya harus sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah
Kabupaten Bandung. Penggunaan lahan di DAS harus sesuai dengan peruntukan
dan kemampuan lahan. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk konservasi di
DAS Cisangkuy, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya
cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan
yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 % bahkan 45 % masih dijadikan
pertanian yang intensif atau jadi permukiman. Perlakuan terhadap lahan di dalam
DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak
memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air
yang diterapkan tidak memadai akibat pengetahuan yang rendah dari para pihak di
DAS Cisangkuy.

Simpulan

Dalam area studi di dataran tinggi Pangalengan, maka aliran puncak naik
sekitar 44% antara tahun 2001-2010 yang disebabkan oleh perubahan tata guna
lahan. Disamping itu, waktu menuju puncak sekitar 5 jam dalam tahun 2001 dan 4
jam tahun 2010. Perubahan dalam aliran puncak disebabkan oleh perubahan
dalam area hutan, sawah tada hujan, sawah irigasi dan kebun/perkebunan
menurun sekitar 0.04%, 6.81%, 15.04% dan 10.24% masing-masing antara tahun
83

2001 dan 2010 sementara area terbangun atau pemukiman naik sekitar 107.04%.
Metoda evaluasi dampak pembangunan lahan ini pada ketersediaan air dapat
digunakan ketika perencanaan untuk musim-musim tanam pertanian khsusunya
selama waktu permintaan tinggi dari pasokan air irigasi. Juga metoda ini dapat
diterapkan untuk skenario-skenario tata guna lahan masa depan untuk prediksi
perubahan yang terjadi terhadap rezim aliran sungai. Integrasi inderaja, SIG dan
Model Builder melengkapi perkakas yang ampuh untuk menilai dampak
pembangunan lahan pada pola aliran sungai dan ketersediaan air irigasi.
Kemampuan inderaja dalam cakupan secara spasial dan pengulangan secara
temporal melengkapi informasi yang bermanfaat pada dinamika perubahan lahan.
SIG merupakan perkakas yang efisien untuk presentasi data masukan yang
diperlukan oleh model hidroklimat dengan menggunakan data inderaja dan SIG
untuk simulasi proses limpasan lebih menguntungkan ketika area studi luas.
Model Builder dalam SIG dikalibrasi dan divalidasi dengan menggunakan data
aliran sesungguhnya sungai Cisangkuy di stasiun hidrologi Kamasan. Kinerja
model diuji dengan bantuan empat kriteria seperti galat mutlak rerata (mean
absolute error/MAE), galat akar kuadrat rerata (root mean square error/RMSE),
koefisien Theil (U) dan koefisien determinasi (R2), diperoleh nilai masing-masing
0.83, 1.08, 0.14 dan 0.93. Dari hidrograf ditemukan bahwa perubahan pada aliran
puncak (peak flow) dalam tahun 2001 dan 2010 sebesar 0.44 m3/detik. Hasil
menunjukkan perubahan potensi banjir di sungai Cisangkuy dikarenakan
perubahan tutupan dan tata guna lahan. Model dapat dijalankan untuk rencana
pembangunan dan pengembangan masa depan untuk menyelidiki dampak
hidrologi agar terhindar dari irigasi air jalur pendek dan mitigasi risiko munculnya
banjir. Terdapat peningkatan bilangan kurva CN dan peningkatan limpasan
apabila kemiringan meningkat. Hasil skenario eksisting 2010 didapat puncak
limpasan sebesar 5.51 m3/dt sedangkan skenario RTRW sebesar 4.26 m3/dt,
terjadi reduksi sebesar 1.25 m3/dt. Rasio limpasan rata-rata untuk skenario 2010
terhadap skenario RTRW selama rentang proyeksi 2015-2050 sebesar 0.55 atau
turun sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa penatagunaan lahan sesuai
dengan peruntukannya yang disusun berdasarkan pola RTRW dapat menurunkan
tingkat limpasan ke level yang signifikan
84

7 IMPLIKASI TINGKAT KEPENTINGAN PROGRAM PADA


PENGELOLAAN DAS BERBASIS ISM

Pendahuluan

Pengelolaan DAS yang optimal selama beberapa dekade telah disyaratkan


dan dicoba di beberapa negara di dunia, sebagai suatu cara yang efektif untuk
mengidentifikasi tantangan dalam permasalahan sumber daya lahan dan sumber
daya air yang sangat kompleks. Bagaimanapun, implementasinya telah berhasil di
beberapa keadaan dan permasalahan, namun masih menemui kesulitan pada
keadaan yang lain, dikarenakan terdapat beberapa hambatan-hambatan yang unik
dan berbeda-beda. Penerapan pendekatan tersebut di Indonesia tentunya
membutuhkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan hambatan dalam praktek
pengelolaan DAS secara optimal.
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu upaya manusia untuk
mengatur sumber daya alam utama, yaitu hutan (vegetasi), tanah dan air.
Pengelolaan DAS diperlukan untuk meminimumkan kerusakan-kerusakan lahan
yang terdapat di dalam suatu DAS. Upaya manusia dalam mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia
secara optimal. Pengelolaan DAS melibatkan multi-sektor, multi-disiplin ilmu,
lintas wilayah administrasi, terjadi interaksi hulu hilir, sehingga harus terpadu.
Menurut Sinukaban (2007) pengembangan/pengelolaan DAS adalah rangkaian
upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS
secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup,
seraya membina hubungan yang harmonis antara sumberdaya alam dan manusia
serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka setiap kegiatan dalam
DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang optimal (sustainable
development). Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan optimal apabila
pembangunan itu dapat mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara
simultan yaitu pendataan yang cukup tinggi, teknologi yang digunakan tidak
mengakibatkan degradasi lingkungan dan teknologi tersebut dapat diterima
(acceptable) dan dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan
sumberdaya lokal yang dimiliki. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Pengelolaan DAS
diperlukan untuk meminimumkan kerusakan-kerusakan lahan yang terdapat di
dalam suatu DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah: 1) penggunaan sumber daya
lahan secara rasional untuk mencapai produksi optimum yang lestari; 2) menekan
kerusakan menjadi seminimal mungkin; 3) distribusi air yang merata sepanjang
tahun dan tersedianya air pada musim kemarau; serta 4) mampu mempertahankan
DAS yang bersifat lentur (resilient) serta adanya peningkatan pendapatan
masyarakat di dalam DAS.
Berdasarkan hal di atas maka tujuan penelitian adalah mengetahi program
kunci yang paling dibutuhkan dan berperan dalam pengelolaan DAS dan struktur
kebutuhan pengelolaan DAS yang optimal. Pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis struktur kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan DAS yang
optimal dapat menggunakan teknik Interpretive Structural Modeling (ISM).
85

Data dan Metode

Menentukan variabel kunci dalam pengelolaan suatu DAS untuk


meningkatkan kinerja menyeluruh adalah suatu tantangan. Oleh karena itu dalam
makalah ini dipaparkan MODM (multi-objective decision model) dengan
menggunakan pendekatan yang berbasis ISM untuk memperkaya dan meng-
inisialisasi suatu aktivitas organisasi. Identifikasi variabel-variabel yang berada di
akar dari banyak variabel lain (yang disebut pengendali barriers) dan variabel
yang sangat dipengaruhi oleh yang lainnya (disebut barriers yang dikendalikan)
akan bermanfaat untuk pengelolaan puncak (top management) dalam tata kelola
DAS. Hal ini dapat menjadi panduan dalam mengambil tindakan yang tepat untuk
menangani barriers dalam pengelolaan DAS. ISM digunakan untuk
mengidentifikasi dan meringkaskan hubungan antara variabel tertentu yang
mendefinisikan suatu persoalan atau masalah (Ravi dan Shankar 2005). Oleh
karena itu, berbagai varaibel dikategorikan yang memungkinkan dan mendapatkan
hasil dari suatu pengelolaan DAS dianalisis dengan menggunakan metodologi
ISM yang menunjukkan interelasi barriers dan level-levelnya. Variabel-variabel
ini juga dikategorikan bergantung pada kekuatan pengendali dan
kebergantungannya. Setelah mereview literatur, bersama-sama dengan
pengumpulan pendapat pakar digunakan untuk mengembangkan matriks
hubungan yang kemudian digunakan dalam pembuatan model ISM.
ISM adalah proses pembelajaran interaktif yang terdiri dari kumpulan
elemen-elemen yang berbeda namun terkait secara langsung distrukturisasi ke
dalam suatu model sistemik yang komprehensif. Warfield (1974) dan Sage (1977).
ISM dapat digunakan secara luas dalam mengidentifiasi dan menganalisis
interaksi diantara barriers (elemen) dari sistem. Malone (1975) pertama kali
mendemontrasikan penggunaan ISM dalam menganalisis barriers untuk investasi
di pemukiman kota. Mandal dan Deshmukh (1994) menggunakan model ISM
untuk mengidentifikasi kriteria pemilihan vendor Ravi dan Shankar (2005)
menerapakan ISM untuk menganalisis barriers dalam rantai pasok logistik
kebalikan. Kannan dan Haq (2007) mempresentasikan pemilihan pemasok
terintegrasi dan model dan inventori distribusi multi-echelon dalam lingkungan
rantai pasok terbangun untuk order dengan menggunakan fuzzy AHP dan genetic
algorithm.
ISM membantu dalam mengidentifikasi untuk mengidentifikasi inter-relasi
diantara variabel. ISM menyediakan pendekatan sistemik untuk meningkatkan
rantai pasok. ISM ditujukan terutama sebagai proses pembelajaran kelompok.
Metode ini merupakan interpretatif sebagai penilaian kelompok memutuskan apa
dan bagaimana variabel terhubung. ISM diterapkan untuk mengembangkan suatu
kerangka untuk permasalahan pengelolaan DAS untuk mencapai tujuan-tujuan
berikut:
1. untuk menurunkan inter-relasi diantara variabel-variabel yang mempengaruhi
pengelolaan DAS
2. Untuk mengklasifikasikan variabel-variabel tersebut menurut kekuatan
pengendali dan kebergantungan. Dengan basis hubungan, maka struktur
keseluruhan diekstraksi dari kumpulan variabel yang kompleks. ISM adalah
teknik pemodelan yang mengungkapkan hubungan khusus dan struktur
keseluruhan untuk digambarkan dalam suatu model grafik. ISM mulai dengan
86

identifikasi variabel yang relevan terhadap permasalahan atau persoalan dan


kemudian memperluas dengan suatu metodologi ISM teknik penyelesaian
masalah kelompok untuk membantu menentukan level dan arah pada
kompleksitas hubungan antar elemen dalam sistem.
Teknik Interpretive Structural Modeling atau Permodelan Interpretasi
Struktural (ISM) termasuk dalam Soft System Methodology. Teknik ISM
merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-model struktural
dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola
yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat
(Eriyatno 1998).
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur di dalam suatu sistem akan
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna merancang sistem secara efektif dan
pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM, program yang
ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap
elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Studi dalam
perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap
berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik
dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisis dimana informasi
yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan
strategis.
Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2004), program dapat dibagi
menjadi sembilan elemen, yaitu:
1) sektor masyarakat yang terpengaruh,
2) kebutuhan dari program,
3) kendala utama,
4) perubahan yang dimungkinkan,
5) tujuan dari program,
6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan,
7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan,
8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas,
9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Marimin (2009) mengemukakan bahwa teknik ISM menggambarkan
pengaturan dari elemen-elemen dalam membentuk suatu sistem berkenaan dengan
interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas
hubungan konstektual tertentu (disajikan pada Tabel 15). Berdasarkan hubungan
kontekstual tersebut maka disusunlah Structural Self-Interaction Matrix (SSIM)
dengan menggunakan simbol V, A, X dan 0, di mana:
V adalah eij = 1 dan eji = 0;
A adalah eij = 0 dan eji = 1;
X adalah eij = 1 dan eji = 1;
O adalah eij = 0 dan eji = 0

Tabel 15 Keterkaitan antara sub elemen pada Teknik ISM

No Jenis Interpretasi
1. Perbandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah
daripada B
2. Pernyataan (definitive) A atribut B
87

A termasuk di dalam B
A mengartikan B
3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B
A sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A meningkatkan B
4. Keruangan (space) A adalah Selatan atau Utara B
A di atas B
A sebelah kiri B
5. Kewaktuan (temporal time scale) A mendahului B
A mengikuti B
A prioritas lebih dari B
Sumber: Marimin (2008)
Penggunaan Teknik ISM ini menggunakan tahapan dan langkah-langkah
yang secara umum telah digunakan. Tahapan-tahapan tersebut (disajikan pada
Gambar 68) adalah sebagai berikut:
9) Menentukan tujuan dan output dari kajian.
10) Mental Process melalui Studi Pustaka, Diskusi, Brainstorming, dan
Survey Pakar.
11) Menentukan elemen dan sub elemen dari sistem dan jenis hubungan
konstektual.
12) Menentukan tingkat hubungan konstektual antar elemen dan sub elemen.
13) Structured Self Interaction Matrix (SSIM).
14) Transformasi SSIM ke Reachability Matrix.
15) Reachability Matrix (RM).
16) RM Transitive ----- Modifikasi SSIM ------ SSIM revised.

Gambar 68 Tahapan teknik ISM


88

Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara,
pengisian kuesioner, diskusi kelompok terarah dan pengamatan langsung di lokasi
penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara mencari referensi dari berbagai
sumber, seperti: hasil penelitian terdahulu, studi pustaka, peta dan laporan serta
dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.

Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan data dilakukan melalui proses FGD (focus group
discussion). Secara purposive responden ditetapkan yang terdiri atas pakar di
bidang sumberdaya air dan pakar di bidang DAS, pejabat yang berwenang dalam
pengelolaan sumberdaya air, dan juga tokoh masyarakat. FGD dilakukan dalam
rangka menetapkan atribut-atribut yang mewakili permasalahan pengelolaan DAS
Cisangkuy.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kesisteman dalam rangka


merumuskan model pengelolaan serta mekanisme pemilihan program yang
dibutuhkan dalam pengelolaan DAS Cisangkuy Kabupaten Bandung, agar
keberlanjutan DAS Cisangkuy sebagai daerah tangkapan air terjaga (lestari).
Elemen hasil interview dan FGD dari beberapa stakeholder terkait dengan
kebutuhan program di DAS Cisangkuy ditunjukkan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS Cisangkuy secara optimal

Kode Sub Elemen kebutuhan


B1. Penegakan hukum
B2. Peningkatan luas kawasan lindung
B3. Peningkatan pendapatan masyarakat
B4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat
B5. Restrukturisasi kelembagaan
B6. Tata Ruang yang tepat
B7. Pemberian insentif dan disinsentif
B8. Peningkatan kesadaran stake holder
B9. Penetapan Pedoman pengelolaan DAS
B10. Pengembangan kearifan lokal
B11. Peningkatan lapangan pekerjaan
B12. Teknologi pengelolaan DAS

Jawaban pakar secara agregat ditunjukkan pada Tabel 15.


Tabel 17 Structural Self Interaction Matrix (SSIM) awal elemen kebutuhan
pengelolaan DAS optimal secara Agregat
89

B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 B11 B12

B1 A V A X A X A V V V O
B2 V O V O V A V X O X
B3 A X O O O V X A A
B4 X V O V O V V A
B5 X V A O V V V
B6 V O X V X X
B7 A O A X X
B8 V V V V
B9 V V V
B10 V A
B11 X
B12

Tabel 18 Reachability Matrix (RM) elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal


No. B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 B11 B12
B1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0
B2 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 1
B3 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0
B4 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0
B5 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1
B6 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1
B7 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1
B8 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1
B9 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1
B10 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0
B11 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1
B12 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1

Untuk mendapatkan matriks yang tertutup maka dilakukan analisis


transitivity rule terhadap RM. Hasil analisis menunjukkan tingkat konsistensi
pendapat dari pakar sebesar 88.8%, aitu terdapat sejumlah 16 sel yang direvisi,
sedangkan jumlah sel keseluruhannya ada 144 sel. Perhitungannya adalah ([(144-
16)/144)] x 100% = 88.8%.
Berdasarkan 2 (dua) cara (berdasarkan DP dan iterasi setiap variabel untuk
menentukan intersection) tersebut maka dalam sub elemen kebutuhan pengelolaan
ini diperoleh diperoleh 7 (tujuh) tingkat hirarki. Pada cara (1) dan (2), maka yang
menempati tingkat pertama adalah B3 (peningkatan pendapatan masyarakat)
dengan elemen kunci (key element) adalah B8 (peningkatan kesadaran
stakeholder). Namun terdapat perbedaan pada tingkat hirarki antara ke II – VI.
90

Tabel 19 Reachability Matrix (RM) final elemen kebutuhan pengelolaan DAS


optimal

Tabel 20 Penentuan jenjang variabel-variabel dalam sub elemen melalui iterasi


Iterasi Variabel Reachability Antecendent Intersection Level
i B1 1,2,3,4,5,7,9,10,11 1,2,4,5,7,8,9, 1,2,4,5,7,9
B2 1,2,3,4,7,9,10,12 1,2,4,5,6,8,9,10,12 1,2,4,9,10,12
B3 3,5,9,10 1,2,3,4,5,6,8,9,10,11,12 3,5,9,10 I
B4 1,2,3,4,5,6,8,10,11 1,2,4,5,6,7,12 1,2,4,5,6
B5 1,2,3,4,5,6,7,10,11,12 1,3,4,5,6,8 1,3,4,5,6
B6 2,3,4,5,6,7,9,10,11,12 4,5,6,8,9,12 4,5,6,9,12
B7 1,4,7,11,12 1,2,5,6,7,8,9,10,11,12 1,7,11,12
B8 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12 4,8,9,11 8,9,11
B9 1,2,3,6,7,8,9,10,11,12 1,2,3,6,8,9 1,2,3,6,8,9
B10 2,3,7,10,11 1,2,3,4,5,6,8,9,10,12 2,3,10,
B11 3,7,8,11,12 1,4,5,6,7,8,9,10,11,12 7,8,11,12
B12 2,3,4,6,7,10,11,12 2,5,6,7,8,9,11,12 2,6,7,11,12
Iterasi Variabel Reachability Antecendent Intersection Level
ii B11 7,8,11,12 1,4,5,6,7,8,9,10,11,12 7,8,11,12 II
iii B7 1,4,7,12 1,2,4,5,6,7,8,9,10,12 1,7,12 III
iii B10 2,7,10, 1,2,4,5,6,7,8,9,10,11 2,7,10 III
iv B1 1,2,4,5,9, 1,2,4,5,8,9, 1,2,4,5,9 IV
iv B2 1,2,4,9,12 1,2,4,5,6,8,9,12 1,2,4,9,12 IV
v B6 4,5,6,9,12 4,5,6,8,9,12 4,5,6,9,12 V
vi B4 4,5, 4,5,12 4,5, VI
vi B5 4,5,8 4,5,8 4,5, VI
vi B9 8,9 8,9 8,9 VI
vi B12 12 5,8,9,12 12 VI
vii B8 8 8 8 VII
Penentuan model struktual dari elemen pelaku pengelolaan secara detail, maka
dilakukan dengan menyusun dalam suatu tabel, seperti yang disajikan pada Tabel 19
91

Tabel 21 Menentukan hubungan antar variabel pada setiap level

B3 B11 B7 B10 B1 B2 B6 B4 B5 B9 B12 B8


B3 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0
B11 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1
B7 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0
B10 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0
B1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0
B2 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0
B6 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0
B4 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1
B5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
B9 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0
B12 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1
B8 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1

Penentuan klasifikasi variabel dalam sub elemen kebutuhan program dilakukan


dengan pengeplotan nilai Driver Power dan Dependence sesuai dengan koordinatnya
masing-masing, seperti yang disajikan pada Gambar 69.

Diagram Klasifikasi sub elemen kebutuhan kebijakan


12

11 Independent Linkage
B8
B6
10
B5 B4
9
B1
8 B12 B2
DRIVER POWER

5 B11 B7
B10
4 B3

1 Autonomous Dependent
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DEPENDENCE

Gambar 69 Diagram Klasifikasi sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal

Hasil penentuan hubungan tersebut kemudian digambarkan dalam penentuan


struktur hirarki yang terkait dengan sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS dapat
dilihat pada Gambar 70.
92

Gambar 70 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan pengelolaan DAS optimal

Simpulan

Pelaku atau aktor yang berperan dalam pengelolaan DAS yang optimal sebagian
besar berada pada Sektor III atau Linkages (pengait) dari sistem ini. Variabel pelaku
dari A1 sampai A7 berada pada posisi ini, yang berarti tindak-tindakan dari para pelaku
ini akan mendukung keberhasilan dari pengelolaan DAS yang optimal, sedangkan jika
tidak dilakukan tindakan dari para pelaku ini, maka pengelolaan DAS yang optimal
tidak dapat berjalan dengan baik (atau gagal). Variabel A8 (masyarakat/LSM) berada
pada Sektor IV atau Independent, yang berarti variabel ini mempunyai kekuatan
penggerak (driver power) yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan
terhadap program ini. Pada sektor yang lain (I / Autonomous dan II / Dependent) tidak
terdapat variabel pelaku, yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen pelaku ini
yang tidak terkait dengan sistem serta tidak ada variabel yang sangat tergantung dari
input dan tindakan yang diberikan pada sistem.
93

Berdasarkan diagram klasifikasi, diketahui bahwa kebutuhan untuk menyukseskan


program pengelolaan DAS yang optimal sebagian besar berada pada Sektor III atau
Linkages (pengait) dari sistem ini. Variabel pelaku dari B1 (Penegakan hukum), B2
(Peningkatan luas kawasan lindung), B4 (Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
aparat), B5 (Restrukturisasi kelembagaan), B6 (Tata Ruang yang tepat), dan B12
(Teknologi pengelolaan DAS) berada pada posisi ini, yang berarti pemenuhan
kebutuhan ini akan mendukung keberhasilan dari program pengelolaan DAS yang
optimal, sedangkan jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka pengelolaan DAS yang
optimal dapat tidak berjalan dengan baik (atau gagal). Variabel-variabel pada sektor III
ini harus dikaji secara seksama karena sifat hubungannya yang tidak stabil tapi sangat
berkaitan sekaligus berdampak pada variabel lainnya terutama yang berada di Sektor II
(Dependent). Pada sektor II ini terdapat beberapa variabel seperti B3 (Peningkatan
pendapatan masyarakat), B7 (Pemberian insentif dan disinsentif), B10 (Pengembangan
kearifan lokal), dan B11 (Peningkatan lapangan pekerjaan). Variabel-varibael ini sangat
tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada sistem. Untuk variabel B8
(peningkatan stakeholder) berada pada Sektor IV atau Independent, yang berarti
variabel ini mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar, namun
mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program ini. Pada Sektor I / Autonomous
tidak terdapat variabel kebutuhan, yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen
kebutuhan ini yang tidak terkait.
94

8 PEMBAHASAN UMUM

Daerah aliran sungai Cisangkuy terletak antara 06o 59’24” – 07o 13’51” LS dan
107o 28’55” – 107o 39’84” BT yang berada di Kabupaten Bandung. DAS Cisangkuy
mempunyai fungsi hidrologis, ekologis yang penting karena merupakan bagian dari
Cekungan Bandung yang ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional (PP No.
26/2008). Topografi DAS Cisangkuy bervariasi dari ketinggian 2327 m dpl di Gunung
Malabar, hingga 661 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu Sungai Citarum.
Sungai Cisangkuy sangat berperan penting dalam memasok kebutuhan air baku untuk
konsumsi penduduk kabupaten dan kota Bandung masing-masing sebesar 500 l/dt dan
1800 l/dt. DAS Cisangkuy mempunyai sifat yang menarik ditinjau dari aspek iklim
yaitu antara daerah hulu dan daerah hilir mempunyai indeks kelembapan iklim yang
berbeda, sifat temperatur, curah hujan, evapotranspirasi yang berbeda dan dampak
perubahan iklim yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh karakteristik biofisik yang
berbeda antara hulu dan hilir terutama elevasi dan kelerengan. Karakteristik biofisik
yang berbeda tersebut akan membawa konsekuensi logis bagi pendekatan aspek
pengelolaan antara hulu dan hilir.
Curah hujan adalah masukan utama sumber air di suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Curah hujan akan mengalir atau meresap menjadi sumber air dalam bentuk air
tanah, mata air, sungai, danau atau waduk. Karakteristik DAS (watershed properties)
akan menentukan kualitas dan kuantitas air yang mengalir di suatu DAS. Selain
penggunaan lahan, variabel DAS lainnya yang relatif tetap (seperti sifat geologi atau
tanah, topografi dan kemiringan lereng). Perubahan variabel penggunaan lahan dan
kekedapan tanah akan menentukan jumlah resapan dan limpasan air permukaan, secara
sederhana dapat diilustrasikan dalam diagram I-O pada Gambar 71.

Gambar 71 Diagram I-O untuk melukiskan kejadian interaksi curah hujan dan sistem
DAS
Untuk mengetahui dampak variabilitas hujan dan konversi lahan terhadap debit
aliran sungai sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sumber air. Curah hujan
adalah variabel acak dan mempunyai fluktuasi yang tinggi. Hujan yang berkarakter acak
akan menjadi debit aliran dengan sifat yang acak pula, (meskipun hujan relatif lebih
independent daripada debit) dan menunjukkan perubahan probabilitas musiman yang
ditunjukkan pada Gambar 72 dan Gambar 73. Karena hujan dan debit merupakan
variabel acak, maka instrumen statistik dapat digunakan untuk mengetahui perubahan
perilakunya. Curah hujan yang berupa impulse diskrit akan berinteraksi dengan
hidrograf satuan yang bertindak sebagai fungsi transfer untuk menghasilkan fungsi
limpasan atau debit yang berupa rangkaian data deret waktu yang deterministik non-
95

periodik. Fungsi seperti itu telah banyak dikenal oleh para peneliti sebagai fungsi chaos
yang menunjukkan karakteristik acak namun terkandung elemen-elemen periodik yang
mempunyai sifat prediktibilitas.

Gambar 72 Variabilitas dan probabilitas musiman curah hujan di DAS Cisangkuy


Variabilitas curah hujan merupakan penyebab utama jumlah kesetimbangan air di
setiap DAS dalam skala ruang dan waktu. Oleh karena itu variabilitas curah hujan
memiliki peranan terhadap limpasan. Distribusi curah hujan sangat bervariasi terhadap
ruang dan waktu. Dampak variabilitas hujan yang terkopel dengan dampak konversi
lahan terhadap debit aliran sungai sangat penting untuk diketahui. Pengembangan
kawasan Cekungan Bandung sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang
bertumpu pada peningkatan ekonomi, menyebabkan kawasan ini mengalami eksploitasi
lahan termasuk DAS Cisangkuy yang menjadi ba gian Cekungan Bandung. Salah satu
bagian
bentuk dampaknya adalah berkurangnya daerah resapan air (recharge area/RA).
Sebagian daerah RA di kawasan Cekungan Bandung telah banyak beralih fungsi
menjadi permukiman dan kawasan industri akibat tekanan populasi dan aktivitas
produksi di kawasan ini yang semakin meningkat (Wangsaatmaja 2004). Eksploitasi
lahan telah menyebabkan gangguan terhadap keseimbangan komponen utama hidrologi
(hujan dan debit). Pengelolaan DAS yang kurang memperhatikan integrasi antara aspek
lahan dan air menjadi salah satu akar permasalahan di kawasan ini (Pribadi dan Oktavia
2007).
Dari Gambar 72 dan Gambar 73 dapat dianalisis bahwa kejadian kontras baik
kuantitas maupun probabilitas yang terjadi pada curah hujan dan debit limpasan di DAS
Cisangkuy di musim kemarau dan musim hujan. Pada saat musim hujan (DJF), curah
hujan rata-rata harian sebesar 10.5 mm dengan densitas probabilitas sebesar 4% dan
debit bulanan rata-rata sebesar 20 m3/detik dengan densitas probabilitas sebesar 2%.
Kedua fungsi curah hujan dan debit menunjukkan fungsi densitas probabilitas log-
96

normal yang melebar ke kanan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kedua parameter
tersebut mempunyai potensi kecenderungan nilai ekstrem ke sebelah kanan pada musim
penghujan. Probabilitas untuk menemukan nilai ekstrem kanan akan semakin besar
untuk masa-masa mendatang yang berakibat volume limpasan semakin besar. Aspek
pengelolaan dalam tahap perencanaan perlu mempertimbangkan nilai-nilai esktrem
tersebut dalam rangka antisipasi dan mitigasi bencana seperti banjir, lonsor dan bencana
lain terkait variabilitas iklim. Sebaliknya kontras pada musim kemarau (JJA), dengan
rata-rata curah hujan harian sebesar 1.7 mm dan debit bulanan 10 m3/detik dengan
probabilitas sangat kecil dengan bentuk fungsi densitas probabilitas eksponensial yang
memuncak ke arah nol. Dengan demikian potensi kekeringan secara hidrologis masa-
masa mendatang semakin besar. Potensi kejadian ini pula harus masuk pada tahap
perencanaan.

Gambar 73 Variabilitas dan probabilitas debit akibat pengaruh musiman di DAS


Cisangkuy
Berdasarkan analisis spektrum dan metode wavelet yang diuraikan pada Bab 3
maka dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi penurunan debit pada musim kemarau
namun peningkatan debit pada musim penghujan dan menimbulkan bencana banjir di
beberapa kawasan sehingga perlu dikaji dari aspek variabilitas iklim. Data curah hujan
dan debit bulanan dari tahun 2000-2011 telah diolah dengan menggunakan analisis
Coefficient of Variation (CV), wavelets dan moving average (simple, exponential,
adaptive). Hasil analisis menunjukkan bahwa data curah hujan bulanan dari empat
stasiun: Cileunca CV~78%, Kertamanah CV~82%, Cipanas CV~84%, Ciherang
CV~70%, mempunyai osilasi dominan sekitar 8-16 bulan (annual oscillation) dan data
debit dari dua stasiun hidrologi (Pataruman, CV~97% dan Kamasan, CV~86%)
mempunyai osilasi masing-masing sekitar 128 bulan (ten to twelve oscillation) dan
sekitar 64 bulan (ENSO oscillation, osilasi 2-5 tahunan). Dari hasil analisis metoda
moving average (simple, exponential, adaptive) menunjukkan bahwa telah terjadi
97

peningkatan periode debit lima tahunan yang signifikan selama interval waktu
pengamatan yang menimbulkan peristiwa banjir di daerah Kamasan Banjaran. Osilasi 8-
16 bulan terkait erat dengan pergerakan semu Matahari Utara-Selatan yang
menyebabkan variasi regional unutk intensitas monsun. Sedangkan osilasi 128 bulan
berkorelasi dengan osilasi temperatur troposfer tropis yang berosilas antara 10-12 tahun.
Osilasi 64 bulan berhubungan erat dengan fenomana El Niño (kondisi hangat) dan La
Niña (kondisi dingin) di Pasifik Tropis yang berosilasi 2-7 tahun dan dikenal dengan
siklus ENSO.
Model hubungan antara curah hujan dan elevasi dikaji pada Bab 3 berdasarkan
data curah hujan spasial bulanan dari WorldClim selama 50 tahun dan Digital Elevation
Model (DEM) dari CGIAR-CSI di DAS Cisangkuy. Kedua data tersebut telah dikaji dan
dianalisis untuk mengatahui hubungan antara curah hujan dan elevasi. Pengkajian
didasarkan pada penurunan profil curah hujan terhadap elevasi dengan menggunakan
SIG dari elevasi 650 m di atas permukaan laut (dpl) yaitu hilir sungai Cisangkuy sampai
1530 m dpl yaitu daerah hulu Situ Cileunca (Garis CD). Analisis regresi menunjukkan
hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-rata koefisien
korelasi sebesar 89%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi rata-rata 11.62 mm
setiap 100 m kenaikan elevasi pada garis profil CD (Gambar 19), kecuali pada bulan
Agustus kenaikan terjadi sampai ketinggian 1156 m lalu turun dengan laju 9.5 mm
setiap penurunan 100 m. Musim penghujan yang diwakili oleh bulan DJF mempunyai
kenaikan sebesar 17.7 mm dan musim kemarau yang diwakili bulan JJA mempunyai
kenaikan sebesar 5.9 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Dengan menggunakan analisis
regresi curah hujan bulanan terhadap elevasi maka akan didapat model yang sederhana
namun efektif untuk pendugaan curah hujan pada berbagai elevasi di daerah aliran
sungai tersebut. Di dapatnya hubungan antara curah hujan dan elevasi akan sangat
mempengaruhi proses penanganan dalam pengelolaan DAS di daerah berlereng. Besar
limpasan pada daerah-daerah dengan kelerengan atau kemiringan lahan tinggi sangat
dipengaruhi oeh besar curah hujan, vegetasi, jenis tanah dan faktor-faktor pengelolaan.
Pola sebaran spasial curah hujan di DAS Cisangkuy membentuk dipole antara
hulu dan hilir. Curah hujan di hulu relatif selalu lebih tinggi dari daerah hilir baik pada
musim basah maupun musim kering. Analisis ini membuktikan hipotesis awal bahwa
DAS dataran tinggi berperan sebagai menara air tawar (fresh water tower) di daerah
tropis. Bahkan di musim kering selalu muncul bentangan curah hujan pada elevasi 920-
1100 m dengan kelerengan antara 20-40 derajat. Lokasi tersebut perlu mendapatkan
prioritas penanganan karena akan mengakibatkan kecepatan limpasan permukaan yang
tinggi terlebih bila curah hujan tinggi saat musim basah. Pola dipole tersebut terjadi
pula pada besaran temperatur, evapotranspirasi dan potensi defisit serta surplus
cadangan air permukaan, sehingga karakteristik DAS Cisangkuy menunjukkan dua
lokasi dengan indek kelembapan iklim yang berbeda antara hulu dan hilir.
Dalam rangka mitigasi, peringatan dini dan skenario dari variabilitas iklim ke
masa depan di DAS Cisangkuy maka perlu dikembangkan teknik prediksi untuk
melengkapi metode-metode yang telah tersedia. Oleh karena itu pada Bab 5
dikembangkan model prediksi deret waktu berbasis linear dan nonlinear. Sesuai dengan
karakteristik data maka metode analisis deret waktu linear dan non-linear yang sesuai
telah diterapkan untuk mendapatkan nilai statistik deskriptif, probabilitas, pemodelan
dan prakiraan ke depan berbasis data curah hujan bulanan dari tahun 1993 sampai 2011
di atas Situ Cileunca yang berada di DAS Cisangkuy Kabupaten Bandung. Data curah
hujan bulanan terdiri dari 230 data dengan koefisien variabilitas sebesar 78%,
98

sedangkan untuk pemodelan digunakan 200 data dalam rangka memperoleh parameter
non-linear optimal. Langkah pertama dicari waktu tunda dari keseluruhan data yang
diterapkan dengan menggunakan metode autokorelasi dan informasi mutual yang
menghasilkan waktu tunda 2 lalu dicari dimensi embedding secara iterasi. Diperoleh
dimensi embedding 23 dengan koefisien korelasi 0.6 yang merupakan nilai paling besar
dari 30 dimensi embedding yang dicoba. Dimensi embedding 23 merupakan batas atas
dari jumlah variabel bebas yang cukup untuk pemodelan dinamika curah hujan. Hasil
prediksi musiman atau antar musiman sangat bermanfaat dalam proses perencanaan
pengelolaan DAS. Apabila dikombinasikan dengan hasil pada Bab 3 dimana pengaruh
musiman dan ENSO sangat dominan pada curah hujan dan debit maka hasil-hasil
prediksi dan juga metode yang dikembangkan akan membantu dalam perencanaan
pengelolaan DAS jangka pendek dan menengah.
Dampak variabilitas dan perubahan iklim telah mendapat perhatian intensif dan
serius yang mendorong penelitian ke arah tersebut selama beberapa dekade terakhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dapat
mempengaruhi sifat-sifat dan pola hidroklimat di berbabagai tempat. Hal ini akan
berdampak pula terhadap perubahan sistem tata kelola air di suatu DAS. Atribusi
perubahan iklim perlu diidentifikasi karena banyaknya elemen yang membangun sistem
iklim Bumi. Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim seperti temperatur, curah
hujan (presipitasi), kelembapan, tekanan, angin, radiasi dan sebagainya. Secara garis
besar perubahan iklim dapat diwakili terutama oleh perubahan temperatur udara
permukaan, seperti kecenderungan temperatur yang diteliti di DAS Cisangkuy pada
Gambar 74 dan perubahan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu yang panjang antara periode 30 tahunan ditunjukkan pada Gambar 75,
sedangkan unsur-unsur lain mengakibatkan atau terpengaruh oleh kedua unsur iklim
tersebut (NAS and TRS, 2013).
Dalam tataran pengelolaan DAS konvensional, variabilitas dan perubahan iklim
masih dipandang sebagai dua fenomena yang berada diluar kendali pengelolaan dan
dianggap sebagai fenomena yang terjadi begitu saja secara natural. Kekeliruan cara
pandang tersebut mulai disadari di seluruh dunia dengan munculnya realitas dampak
negatif terhadap kehidupan. Dampak negatif pada skala DAS mulai terasa dengan
munculnya kejadian-kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Program-program
perencanaan mulai memasukan variabilitas dan perubahan iklim dengan berbagai
kemungkinan skenario dalam rangka mitigasi dan adaptasi.

Gambar 74 Kecenderungan temperatur di daerah aliran sungai Cisangkuy


99

Untuk membedakan variabilitas iklim secara alami dan perubahan iklim yang
dipicu oleh manusia maka diperlukan sejumlah data yang panjang dan lengkap. Dekade
merupakan kerangka waktu minimum untuk mendeteksi perubahan temperatur, akan
tetapi sangat sulit untuk mendeteksi perubahan curah hujan. Perubahan curah hujan
akan jelas terlihat dengan melakukan analisis PDF (Probability Density Function),
seperti pada Gambar 75.

Gambar 75 Perubahan curah hujan pada musim basah (DJF) di DAS Cisangkuy
Dapat diterangkan dengan merujuk pada Gambar 68 bahwa data curah hujan pada
periode 1911-1940 mempunyai nilai kurtosis 2.46 dan skewness 1.58 (Weibull (3))
dengan bentuk lancip yang tidak simetris berubah menjadi nilai kurtosis -0.89 dan
skewness 0.29 (Weibull (2)) pada periode 1921-1950 yang lebih landai dan simetris lalu
berubah lagi menjadi nilai kurtosis -0.92 dan skewness 0.04 (Gamma (2)) yang landai
dan lebih simetris di periode 1971-2000.
Memahami iklim di suatu DAS dan kecenderungan (trend) dalam temperatur,
curah hujan dan kejadian-kejadian ekstrem lainnya merupakan hal penting dan vital
dalam aspek pengelolaan DAS terutama tahap perencanaan untuk mitigasi dan adaptasi
bagi kehidupan manusia. Karena kecenderungan perubahan dan kejadian-kejadian
ekstrem tersebut berada diluar kendali manajemen atau pengelolaan sumberdaya air,
lahan dan komponen DAS lainnya yang telah berlangsung beberapa dekade. Dengan
munculnya dampak perubahan iklim di berbagai sisi kehidupan manusia maka sangat
perlu dan penting untuk memasukan dampak-dampak yang mungkin terjadi di masa
mendatang kedalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air, lahan dan sumberdaya
DAS lain.
Iklim adalah kontruksi statistik yang dihitung dari sampel data meteorologi
selama periode tertentu yang menurut konvensi pertemuan WMO tahun 1937 periode
sampling tersebut selama 30 tahun (Larson 2012). Model iklim tidak memodelkan iklim
secara langsung, tetapi hanya menghitung pemecahan persamaan evolusi keadaan sesaat
sistem iklim atau sistem Bumi lalu dituliskan data tersebut dalam file histori yang
kemudian diproses untuk menghitung rata-rata klimatologi. Oleh karena itu, untuk
mengidentifikasi perubahan iklim dalam suatu daerah secara regional atau bahkan
dalam skala lokal sepeti daerah aliran sungai dibutuhkan data pengamatan dalam selang
waktu minimal dekade (WMO 2013) atau bahkan 30 tahun.
Dalam kajian perubahan iklim, digunakan anomali curah hujan yaitu perbedaan
antara curah hujan pada periode yang dikaji dengan periode baseline yang dihitung
100

dengan merata-ratakan selama 30 tahun atau lebih (NOAA, 2014). Anomali positif
menunjukkan curah hujan yang dikaji lebih besar dari baseline, sedangkan anomai
negatif adalah curah hujan yang dikaji lebih kecil dari baseline.
Hasil proyeksi model iklim global (GCM) resolusi 1 km dengan skenario paling
besar RCP85 (Representative Concentration Pathways 8.5 W/m2) dan paling rendah
RCP26 (Representative Concentration Pathways 2.6 W/m2) ditunjukkan pada Gambar
76 dan Gambar 78. Gambar-gambar tersebut dianalisis untuk mengetahui anomali curah
hujan masa depan terhadap garis dasar (baseline) rata-rata tahun 1950-2000.

A B

Gambar 76 Anomali curah hujan rata-rata 2041-2060 terhadap rata-rata baseline


(1950-2000) pada musim basah dengan skenario RCP26 (A) dan RCP85
(B).

RCP adalah trayektori konsentrasi gas rumah kaca (bukan emisi) yang diadopsi
oleh IPCC dalam laporan penilaian kelima (fifth Assessment Report (AR5)). RCP
digunakan di dalam pemodelan iklim dan penelitian yang mensimulasikan kemungkinan
iklim masa depan. Semua kemungkinan telah diperhitungkan, sehingga simulasi
bergantung pada berapa banyak gas rumah kaca yang diemisikan pada tahun-tahun
mendatang. Empat skenario RCP yang digunakan IPCC yaitu RCP26, RCP45, RCP6
dan RCP85 dengan nilai radiative forcing pada tahun 2100 relatif terhadap nilai
sebelum masa revolusi industri masing-masing (2.6, 4.5, 6.0 dan 8.5 W/m2). Perubahan
dalam radiative forcing terkait dengan kenaikan GRK di atmosfer yang akan
meningkatkan pemanasan di permukaan.
101

A B

Gambar 77 Anomali curah hujan rata-rata 2061-2080 terhadap rata-rata baseline


(1950-2000) pada musim basah dengan skenario RCP26 (A) dan RCP85
(B)
Didasarkan pada proyeksi model iklim NorESM1-M, maka pada musim basah
atau musim penghujan (DJF) nilai anomali curah hujan positif secara spasial dari kedua
skenario (RCP26 dan RCP85) untuk rata-rata 2041-2060 dan rata-rata 2061-2080 yang
ditunjukkan pada Gambar 67 dan Gambar 68. Dengan skenario RCP26 kemungkinan
terjadi peningkatan curah hujan di periode rata-rata 2041-2060 pada musim basah
sebesar 4-7 mm/bulan dan skenario RCP85 pada rentang 15.5-24.5 mm/bulan. Pada
periode rata-rata 2061-2080 dengan skenario RCP26 kemungkinan terjadi kenaikan
curah hujan sebesar rentang 1.5-5.5 mm/bulan dan skenario RCP85 mengalami
kenaikan sebesar rentang 39-67.5 mm/bulan. Secara umum proyeksi perubahan curah
hujan menunjukkan lebih variasi karena curah hujan dipengaruhi oleh variasi geografi
lokal. Bagian selatan daerah penelitian (bagian hulu) DAS Cisangkuy didominasi oleh
pegunungan dengan dengan ketinggian antara 1500-2050 m dpl, sehingga proyeksi
kenaikan curah hujan yang relatif besar terlihat jelas bila dibandingkan dengan daerah
utaranya (daerah hilir) yang mempunyai ketinggian rata-rata 650 m dpl.
Proyeksi perubahan temporal musiman anomali curah hujan minimum dan
maksimum dapat ditunjukkan pada Gambar 78 dan Gambar 79 dengan skenario RCP26
dan RCP85 pada rata-rata periode tahun 2041-2060 dan 2061-2080.
102

A B

Gambar 78 Pola temporal proyeksi anomali curah hujan bulanan minimum (A) dan
Maksimum (B) pada periode 2041-2060 dengan skenario RCP26 dan
RCP85
Pada Gambar 78 terlihat bahwa pola curah hujan musim basah pada periode
rata-rata 2041-2060 terjadi pergeseran musim. Musim basah dimulai dari pertengahan
Oktober-Nopember-Desember-pertengahan Januari dan nilai curah hujan kemungkinan
akan naik. Musim kering dimulai dari pertengahan Juli-Agustus-September-pertengahan
Oktober dan kemungkinan curah hujan akan berkurang pada musim kering tersebut.
Dengan kata lain secara temporal, berdasarkan skenario RCP85 maka musim basah
akan semakin basah dengan anomali bernilai positif pada rentang 12-58 mm/bulan dan
musim kering akan semakin kering dengan anomali bernilai negatif pada rentang -28
sampai -11 mm/bulan. Berdasarkan skenario RCP26 dapat ditunjukkan pada Gambar 7
bahwa musim basah akan semakin basah dengan rentang anomali 2-45 mm/bulan dan
musim kering akan semakin kering dengan rentang nilai -27 sampai -3 mm/bulan. Hasil
ini didukung oleh hasil penelitian Naylor at al., 2007 tentang pengaruh perubahan iklim
terhadap curah hujan di pulau Jawa. Hasil penelitian Naylor at al. 2007 menunjukkan
bawah kemungkinan kenaikan curah hujan pada musim panen (April-Juni) sebesar
~10% dan penurunan pada musim kering sebesar 50% di Jawa Barat dan Tengah pada
tahun 2015 berdasarkan skenario A2. Namun penelitian ini masih menggunakan model
iklim Ar4 tetapi sudah mengakomodasi efek lokal dengan dikembangkannya EDM
(Emperical Downscaling Model). Model ini mampu menangkap hubungan antara
presipitasi sub-grid lokal dan variabel skala luas, topografi lokal dan rekaman
pengamatan yang berkualias dan memenuhi durasi yang cukup untuk menentukan
hubungan empiris yang akurat.
Pada Gambar 79 terlihat bahwa anomali curah hujan di musim basah akan
meningkat dalam nilai minimum maupun maksimum dan kemungkinan durasi musim
basah akan lebih panjang mulai Oktober-Maret pada periode 2061-2080 dibandingkan
dengan pada periode 2041-2060. Perubahan iklim yang diindikasikan dengan
berubahnya curah hujan yang merupakan imbuhan utama DAS akan sangat
mempengaruhi ketersediaan air tawar (Fresh Water). Masyarakat dan ekosistem flora
dan fauna kemungkinan akan sangat terpengaruh oleh ketersediaan air tawar. Hasil
simulasi model ini menunjukkan bahwa curah hujan pada periode iklim mendatang
(periode 30 tahunan mendatang) terutama pada musim basah kemungkinan akan
semakin besar dan berpotensi merusak infrastruktur seperti jalan, bendungan dan
jembatan. Sebaliknya pada saat musim kering kemungkinan curah hujan akan semakin
103

kecil sehingga kekeringan akan berpotensi lebih intensif dan sangat diperlukan pola
strategi pengelolaan air yang mengakamodasi perubahan iklim.

A B
Gambar 79 Pola temporal proyeksi anomali curah hujan bulanan minimum (A) dan
Maksimum (B) pada periode 2061-2080 dengan skenario RCP26 dan
RCP85
Peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan
mengalami peningkatan. Peningkatan kebutuhan lahan mendorong terjadinya perubahan
penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi
karakteristik hidrologi suatu wilayah, sehingga dapat dijadikan acuan kritis tidaknya
suatu wilayah secara hidrologis. DAS Cisangkuy merupakan salah satu sub DAS
Citarum yang merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Sub DAS Bagian
hulu dari DAS Citarum yang lain adalah Sub DAS Cikapundung, Citarik, Cirasea, dan
Ciwidey. Kondisi DAS Cisangkuy pada saat ini mengalami penurunan, hal ini ditandai
dengan meningkatnya bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau.
Untuk menghindari kejadian ekstrem di sungai Cisangkuy, seperti banjir dan
kekeringan, maka perlu dilakukan pengendalian terhadap komponen-komponen yang
menjadi parameter dalam fungsi hidrologis suatu DAS. Karena parameter-parameter
yang berfungsi hidrologis yang dimiliki oleh suatu daerah aliran sungai (DAS) sangat
berpengaruh dalam menentukan kuantitas dan kualitas air yang masuk ke sungai. Suatu
DAS dengan fungsi hidrologis yang baik, memiliki kapasitas untuk mengalirkan air
secara bertahap. Kapasitas yang mampu menjaga fluktuasi aliran permukaan, stabilisasi
aliran sungai sehingga dapat menyangga aliran pada musim hujan supaya tidak meluap
dan menjamin kontinuitas ketersediaan air di musim kemarau. Pada Bab 6 diteliti
pengaruh perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Cisangkuy dan
kemiringannya terhadap limpasan.
104

Dengan demikian pengaruh variabilitas iklim terhadap DAS Cisangkuy secara


temporal dan spasial dapat ditunjukkan pada Tabel 23

Tabel 22 Pengaruh variabilitas iklim di DAS Cisangkuy secara temporal dan spasial
Sistem Pengaruh pada DAS
No dengan Skala Cakupan analisis
Temporal Hulu Tengah Hilir
Jangka
A
pendek
Terjadi Curah hujan Curah hujan Curah hujan
Altitude kenaikan curah tinggi pada selalu tinggi relatif rendah
1.
Pegunungan hujan rata-rata musim hujan pada musim
11 mm/ 100 m hujan
Hasil analisis Terjadi Terjadi Terjadi
Perubahan dua stasiun perubahan perubahan perubahan
2. rezim hidrologi dan 4 rezim/mode rezim/mode rezim/mode
hidroklimat stasiun curah curah hujan dan curah hujan dan curah hujan
hujan debit debit dan debit
Jangka
B
menengah
Hasil analisis 2 Pengaruh musim Pengaruh musim Pengaruh
Variasi stasiun hidrologi kuat sangat kuat musim kuat
1.
musiman dan 4 stasiun
curah hujan
Hasil analisis 2 Curah hujan dan Curah hujan dan Curah hujan
stasiun hidrologi debit debit dan debit
2. ENSO
dan 4 stasiun terpengaruh terpengaruh terpengaruh
curah hujan ENSO ENSO ENSO
Jangka
C
panjang
Berdasarkan Anomali curah Anomali curah Anomali
analisis keluaran hujan relatif hujan relatif curah hujan
Model Global tinggi. tinggi. relatif
Musim hujan Musim hujan sedang.
semakin basah semakin basah Musim hujan
Perubahan dan musim dan musim semakin
iklim kemarau kemarau relatif basah dan
semakin kering tidak terlalu musim
kering kemarau
semakin
kering

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data curah hujan, debit dan data
penggunaan lahan DAS Cisangkuy untuk tahun 2001 dan 2010 sebagai simulasi dan uji
coba model hidrologi pada aspek pengelolaan dan pengendalian penatatagunaan tutupan
lahan. Dari Tabel 10 terlihat jelas bahwa area hutan, sawah tada hujan, sawah irigasi
dan kebun/perkebunan menurun sekitar 0.04%, 6.81%, 15.04% dan 10.24% masing-
masing antara tahun 2001 dan 2010 sementara area terbangun atau pemukiman naik
sekitar 107,04%. Area terbangun naik sekitar hampir dua kali antara tahun 2001 dan
2010. Dari perbandingan hidrograf akibat perubahan tata guna lahan dapat diamati
105

bahwa limpasan puncak naik sekitar 0.44 m3/detik antara tahun 2001 dan 2010.
Disamping itu, waktu menuju puncak 5 jam dalam tahun 2001, namun menjadi 4 jam
pada tahun 2010. Terdapat peningkatan bilangan kurva CN dan peningkatan limpasan
apabila kemiringan meningkat. Skenario perubahan penatagunaan lahan dibuat untuk
kondisi eksisting 2010 dan kondisi RTRW 2030 untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap limpasan di masa mendatang berdasarkan model prediksi curah hujan yang
dikembangkan pada Bab 5. Dengan metode statistik non-linear didapat parameter untuk
prediksi curah hujan yaitu waktu tunda 2 dan nilai embedding 23 dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0.60. Validasi model limpasan dengan data pengamatan dilakukan pada
rentang 2001-2011 didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.65. Hasil skenario eksisting
2010 didapat puncak limpasan sebesar 5.51 m3/dt sedangkan skenario RTRW sebesar
4.26 m3/dt, terjadi reduksi sebesar 1.25 m3/dt. Rasio limpasan rata-rata untuk skenario
2010 terhadap skenario RTRW selama rentang proyeksi 2015-2050 sebesar 0.55 atau
turun sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa penatagunaan lahan sesuai dengan
peruntukannya yang disusun berdasarkan pola RTRW dapat menurunkan tingkat
limpasan ke level yang signifikan.
Dengan mempertimbangkan karakteristik biofisik yang unik dan variabilitas serta
perubahan iklim yang terjadi di DAS Cisangkuy ditinjau dari skala waktu dan ruang,
maka perlu dikaji tingkat kepentingan program jangka panjang pada tataran
perencanaan untuk mengantisipasi dampak negatif. Menentukan program kunci dalam
pengelolaan suatu DAS untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS secara
menyeluruh adalah suatu tantangan dalam level perencanaan dan operasional. Oleh
karena itu dalam penelitian ini dipaparkan MODM (multi-objective decision model)
dengan menggunakan pendekatan yang berbasis ISM untuk memperkaya dan
menginialisasi suatu aktivitas organisasi. Identifikasi variabel-variabel (program-
program) yang berada di akar dari banyak program lain (yang disebut pengendali
program) dan variabel yang sangat dipengaruhi oleh yang lainnya (disebut program
yang dkendalikan) akan bermanfaat untuk pengelolaan puncak (top management) dalam
tata kelola DAS. Hal ini dapat menjadi panduan dalam mengambil tindakan yang tepat
untuk menangani program dalam pengelolaan DAS. ISM digunakan untuk
mengidentifikasi dan meringkaskan hubungan antara variabel tertentu yang
mendefinisikan suatu persoalan atau masalah (Ravi dan Shankar 2005). Oleh karena itu,
berbagai variabel dikategorikan yang memungkinkan dan mendapatkan hasil dari suatu
pengelolaan DAS dianalisis dengan menggunakan metodologi ISM yang menunjukkan
interelasi program dan level-levelnya. Variabel-variabel ini juga dikategorikan
bergantung pada kekuatan pengendali dan kebergantungannya. Setelah mereview
literatur, bersama-sama dengan pengumpulan pendapat pakar digunakan untuk
mengembangkan matriks hubungan yang kemudian digunakan dalam pembuatan model
ISM.
ISM adalah proses pembelajaran interaktif yang terdiri dari kumpulan elemen-
elemen yang berbeda namun terkait secara langsung lalu distrukturisasi ke dalam suatu
model sistemik yang komprehensif. Warfield (1974) dan Sage (1977). ISM dapat
digunakan secara luas dalam mengidentifiasi dan menganalisis interaksi diantara
program (elemen) dari sistem. Malone (1975) pertama kali mendemontrasikan
penggunaan ISM dalam menganalisis barriers untuk inverstasi di pemukiman kota.
Mandal dan Deshmukh (1994) menggunakan model ISM untuk mengidentifikasi
kriteria pemilihan vendor. Singh dan Kant (2008) menggunakan model ISM untuk
mempelajari barriers dalam pengelolaan pengetahuan di industri manifaktur tertentu.
106

Ravi dan Shankar (2005) menerapkan ISM untuk menganalisis barriers dalam rantai
pasok logistik. Wang et al (2008) menggunakan ISM unutk menganlisis barriers
terhadap penghematan energi di China. Kannan and Haq (2007) mempresentasikan
pemilihan pemasok terintegrasi dan model dan inventori distribusi multi-echelon dalam
lingkungan rantai pasok terbangun untuk order dengan menggunakan fuzzy AHP dan
genetic algorithm.
ISM membantu dalam mengidentifikasi inter-relasi diantara variabel. ISM
menyediakan pendekatan sistemik untuk meningkatkan rantai pasok. ISM ditujukan
terutama sebagai proses pembelajaran kelompok. Metode ini merupakan interpretatif
sebagai penilaian kelompok memutuskan apa dan bagaimana variabel terhubung. ISM
diterapkan untuk mengembangkan suatu kerangka untuk permasalahan pengelolaan
DAS untuk mencapai tujuan-tujuan berikut:
1. untuk menurunkan inter-relasi diantara variabel-variabel (program-program)
yang mempengaruhi pengelolaan DAS
2. Untuk mengklasifikasikan variabel-variabel tersebut menurut kekuatan
pengendali dan kebergantungan. Dengan basis hubungan, maka struktur
keseluruhan diekstraksi dari kumpulan variabel yang kompleks. ISM adalah
teknik pemodelan yang mengungkapkan hubungan khusus dan struktur
keseluruhan untuk digambarkan dalam suatu model grafik. ISM mulai dengan
identifikasi variabel yang relevan terhadap permasalahan atau persoalan dan
kemudian memperluas dengan suatu metodologi ISM teknik pnyelesaian
masalah kelompok untuk membantu menentukan level dan arah pada
kompleksitas hubungan antar elemen dalam sistem.
Berdasarkan teknik ISM dari hasil pengumpulan data melalui FGD, kuisioner dan
wawancara mendalam terhadap para pihak (stakeholder) dan pakar, seperti yang
diuraikan dalam Bab 7. Untuk elemen kepentingan kebutuhan program yang di survey
terkait variabilitas dan perubahan iklim di DAS Cisangkuy ditunjukkan pada Tabel 17
Berdasarkan diagram klasifikasi, diketahui bahwa kebutuhan untuk menyukseskan
program pengelolaan DAS pada tataran perencanaan sebagian besar berada pada Sektor
III atau Linkages (pengait) dari sistem tersebut. Variabel program dari B1 (Penegakan
hukum), B2 (Peningkatan luas kawasan lindung), B4 (Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan aparat), B5 (Restrukturisasi kelembagaan), B6 (Tata Ruang yang tepat),
dan B12 (Teknologi pengelolaan DAS) berada pada posisi tersebut, yang berarti
pemenuhan kebutuhan program ini akan mendukung keberhasilan dari program
pengelolaan DAS yang optimal, sedangkan jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka
pengelolaan DAS yang optimal dapat tidak berjalan dengan baik (atau gagal). Variabel-
variabel pada sektor III ini harus dikaji secara seksama karena sifat hubungannya yang
tidak stabil tapi sangat berkaitan sekaligus berdampak pada variabel lainnya terutama
yang berada di Sektor II (Dependent). Pada sektor II ini terdapat beberapa variabel
seperti B3 (Peningkatan pendapatan masyarakat), B7 (Pemberian insentif dan
disinsentif), B10 (Pengembangan kearifan lokal), dan B11 (Peningkatan lapangan
pekerjaan). Variabel-varibael ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang
diberikan pada sistem. Untuk variabel B8 (peningkatan kesadaran stakeholder) berada
pada Sektor IV atau Independent, yang berarti variabel ini mempunyai kekuatan
penggerak (driver power) yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan
terhadap program lain. Pada Sektor I / Autonomous tidak terdapat variabel kebutuhan,
yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen kebutuhan ini yang tidak terkait.
107

Implementasi program B2 (Peningkatan luas kawasan lindung) tertuang pula


dalam rencana aksi nasional-adaptasi perubahan iklim (RAN-API 2014) melalui
rencana aksi rehabilitasi dan konservasi DAS hulu untuk meningkatan daya serap air
untuk mengurangi ancaman kekeringan dan banjir dengan penanggung jawab BP DAS.
Sedangkan B6 (Tata Ruang yang tepat) melalui rencana aksi kajian penataan ruang,
penatagunaan hutan berbasis DAS dan keanekaragaman hayati melalui Review RTRWP
dan peta kerawanan serta keterancaman.
Berdasarkan karaktersitik biofisik DAS, survey lapangan dan tingkat
kepentingan program kebutuhan di DAS Cisangkuy yang diuraikan pada Bab 7 maka
rencana strategis untuk aksi menghadapi variabilitas dan perubahan iklim di DAS
Cisangkuy, dapat ditunjukkan pada Tabel 23
Tabel 23 Rencana strategis untuk aksi menghadapi variabilitas dan perubahan iklim
108

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

DAS Cisangkuy yang terletak di Kabupaten Bandung mempunyai sifat yang


menarik ditinjau dari aspek iklim yaitu antara daerah hulu dan daerah hilir mempunyai
indeks kelembapan iklim yang berbeda, sifat temperatur, curah hujan, evapotranspirasi,
pola limpasan permukaan yang berbeda dan dampak perubahan iklim yang berbeda pula.
Hal ini disebabkan oleh karakteristik biofisik yang berbeda antara hulu dan hilir
terutama topografi. Karakteristik biofisik yang berbeda tersebut akan membawa
konsekuensi logis bagi pendekatan aspek pengelolaan antara hulu dan hilir. Disamping
keunikan tersebut beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Curah hujan mempunyai variabilitas tinggi yang ditunjukkan dengan nilai CV dari
hulu-hilir masing-masing 84%, 82%, 78%, 70% dan mempunyai osilasi dominan
sekitar 12 bulan (annual oscillation). Debit sungai Cisangkuy di dua stasiun
hidrologi juga mempunyai variablitas tinggi masing-masing 97%, 86% dan
mempunyai osilasi masing-masing sekitar 128 bulan dan sekitar 64 bulan. Telah
terjadi peningkatan periode debit lima tahunan yang signifikan selama interval waktu
pengamatan.. Osilasi 12 bulan terkait erat dengan pergerakan semu Matahari Utara-
Selatan yang menyebabkan variasi regional untuk intensitas monsun yang disebut
osilasi tahunan. Sedangkan osilasi 128 bulan berkorelasi dengan osilasi temperatur
troposfer tropis yang berosilasi antara 10-12 tahun. Osilasi 64 bulan berhubungan
erat dengan fenomena ENSO yang berosilasi 2-7 tahun. Variabilitas curah hujan dan
debit sungai yang tinggi dan terkombinasi dengan fenomena iklim regional dan
global maka kejadian ekstrem perlu diwaspadai. Analisis regresi linear menunjukkan
hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-rata
koefisien korelasi sebesar 89%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi mempunyai
nilai rata-rata 11.62 mm per 100 m. Musim penghujan yang diwakili oleh bulan DJF
mempunyai kenaikan sebesar 17.7 mm dan musim kemarau yang diwakili bulan JJA
mempunyai kenaikan sebesar 5.9 mm per 100 m. Pola kemiringan curah hujan
terhadap perubahan elevasi sangat dipengaruhi musim. Pola tersebut mirip dengan
pola curah hujan musiman terutama di wilayah Indonesia selatan garis ekuator.
2. Untuk prediksi curah hujan diperoleh nilai lag time 2, lalu dicari nilai embedding
secara iterasi yang menghasilkan nilai embedding 23 untuk nilai koefisien korelasi
sebesar 0.60 yang merupakan nilai terbesar dari 30 nilai embedding yang dicoba.
3. Simulasi limpasan di DAS Cisangkuy, maka aliran puncak naik dari 5.07 ke 5.51
m3/dt sekitar 0.44 m3/detik antara tahun 2001-2010 yang disebabkan oleh perubahan
tata guna lahan. Disamping itu, waktu menuju puncak sekitar 5 jam dalam tahun
2001 dan 4 jam tahun 2010. Perubahan dalam aliran puncak disebabkan oleh
perubahan dalam area hutan, sawah tada hujan, sawah irigasi dan kebun/perkebunan
menurun sekitar 0.04%, 6.81%, 15.04% dan 10.24% masing-masing antara tahun
2001 dan 2010 sementara area terbangun atau pemukiman naik sekitar 107.04%.
Kinerja model diuji dengan bantuan empat kriteria seperti galat mutlak rerata (mean
absolute error/MAE), galat akar kuadrat rerata (root mean square error/RMSE),
koefisien Theil (U) dan koefisien determinasi (R2), diperoleh nilai masing-masing
0.83, 1.08, 0.14 dan 0.93. Terdapat peningkatan bilangan kurva CN dan peningkatan
limpasan apabila kemiringan meningkat. Hasil skenario eksisting 2010 didapat
109

puncak limpasan sebesar 5,51 m3/dt sedangkan skenario RTRW sebesar 4.26 m3/dt,
terjadi reduksi sebesar 1.25 m3/dt. Rasio limpasan rata-rata untuk skenario 2010 dan
skenario RTRW selama rentang proyeksi 2015-2050 sebesar 0.55 atau turun sebesar
44%.
4. Berdasarkan diagram klasifikasi, program kunci untuk meningkatkan strategi
konservasi pengelolaan DAS seacara optimal berbasis variabilitas iklim adalah B8
(peningkatan kesadaran para pihak), juga diketahui bahwa kebutuhan untuk
menyukseskan program pengelolaan DAS sebagian besar berada pada Sektor III atau
Linkages (pengait) dari sistem ini. Variabel pelaku dari B1 (Penegakan hukum), B2
(Peningkatan luas kawasan lindung), B4 (Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
aparat), B5 (Restrukturisasi kelembagaan), B6 (Tata Ruang yang tepat), dan B12
(Teknologi pengelolaan DAS) berada pada posisi ini, yang berarti pemenuhan
kebutuhan ini akan mendukung keberhasilan dari program pengelolaan DAS yang
optimal, sedangkan jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka pengelolaan DAS yang
optimal dapat tidak berjalan dengan baik (atau gagal). Variabel-variabel pada sektor
III ini harus dikaji secara seksama karena sifat hubungannya yang tidak stabil tapi
sangat berkaitan sekaligus berdampak pada variabel lainnya terutama yang berada di
Sektor II (Dependent). Pada sektor II ini terdapat beberapa variabel seperti B3
(Peningkatan pendapatan masyarakat), B7 (Pemberian insentif dan disinsentif), B10
(Pengembangan kearifan lokal), dan B11 (Peningkatan lapangan pekerjaan).
Variabel-varibael ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada
sistem. Untuk variabel B8 (peningkatan stakeholder) berada pada Sektor IV atau
Independent, yang berarti variabel ini mempunyai kekuatan penggerak (driver
power) yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program ini.
Pada Sektor I / Autonomous tidak terdapat variabel kebutuhan, yang berarti tidak ada
variabel dalam elemen kebutuhan ini yang tidak terkait.

Saran

1. Aspek mitigasi dan antisipasi prioritas utama daerah hulu dan aspek penanganan
dampak prioritas daerah tengah dan hilir. Aspek adaptasi perlu dikampanyekan
kepada para pihak yang terkait di DAS Cisangkuy.
2. Penggunaan dan peruntukan lahan semestinya harus sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah Kabupaten Bandung.
3. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk konservasi di DAS Cisangkuy, tetapi
sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan
lahan pertanian, bahkan permukiman. Perlu pengendalian dan penegakan hukum.
110

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Climatology.
23:1435-1452.
Anders AM, Roe GH, Hallet B, Montgomery DR, Finnegen NJ, Putkonen J. 2006.
Spatial patterns of precipitation and topography in the Himalaya. Geological Soc
of Amer Special Paper. 398:39-53.
[ARC] ArcGIS Resource Center. 2014. ArcGIS 10.2 Help. [Internet]. [diunduh pada
2014 Okt 20]. Terdapat pada http://help.arcgis.com/.
Aron G, Miller AC, Lakatos DE. 1977. Infiltration formula based on SCS curve number.
J of Irrigation and Drainage Division ASCE. 103(IR4):419-427.
Aronoff S. 1989. Geographhical Information System Management Perspective. Ottawa
(Kanada): WDL Publication.
Arwa DO. 2001. GIS based rainfall runoff model for the Turasha sub catchment Kenya
[tesis]. Enschede (NL): International institute for aero space survey and earth
sciences.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Pr.
Bantzer CH, Wallace JM. 1996. Intraseasonal Variability in Tropical Mean
Temperature and Precipitation and their Relation to the Tropical 40-50 Day
Oscillation. J of Atmos Sci. 53(21):3032-3045.
Barlow M, Wheeler M, Lyon B, Cullen H. 2005. Modulation of daily precipitation over
Southwest Asia by the Madden-Julian oscillation. Mon Wea Rev. 133:3579-3594.
Bates BC, Kundzewicz ZW, Wu S, Palutikof JP. 2008. Climate Change and Water.
Technical Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva
(CH): IPCC Secretariat.
Bolson JA. 2010. Integrating Climate Information into Water Resource Decision-
Making in South Florida [Dissertation]. Miami (US): University of Miami.
Bond NA, Vecchi GA. 2003. The influence of the Madden-Julian oscillation on
precipitation in Oregon and Washington. Weather Forecasting. 18:600-613.
[BPWS] Balai Pengembangan Wilayah Sungai Citarum. 2008. Laporan DAS Citarum.
Bandung (ID): BPWS.
Carpenter TM, Georgakakos KP. 2001. Assessment of Folsom lake response to
historical and potential future climate scenarios: 1. Forecasting. J Hydrology.
249:148-175.
Chatfield C. 1980. The Analysis of Time Series: An Introduction. London (GB):
Chapman & Hall Ltd.
Chen CL. 1982. Infiltration formulas by curve number procedure. J of Hydraulics
Division, ASCE. 108(HY7):823-829.
Chow VT, Maidment DR, Mays LW. 1988. Applied Hydrology. New York (US):
McGraw-Hill.
Daly C, Nelson RP, Phillips DL. 1994. A statistical-topographic model for mapping
climatological precipitation over mountainious terrain. J of Appl Meteorology.
33:140-158.
Deltares. 2011. Modeling for Peak Runoff Zoning, Peak Flow Model Using ArcGIS. In
the 6 CI's River Basin Teritory-Package B
111

Drake K, Hogan M. 2013. Watershed Management Guidebool. Thomsen Shelly and


HOGAN, Debbie, editor. Tahoe Resource Conservation Distric, USA: An
Integrated Environmental Restoration Service, Inc. Publication.
Dunne T, Leopold LB. 1978. Water in Environmental Planning. New York (US): W.H.
Freeman & Co. hlm 818.
[ERDAS] Earth Resources Data Analysis System. 1999. ERDAS Field Guide, 5th Ed.
Atlanta: ERDAS Inc.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor
(ID): IPB Pr.
[ESRI] Environmental Systems Research Institute. 2002. ArcView 8.3. Redlands: ESRI
Institute.
Farmer JD, Sidorowich JJ. 1987. Predicting chaotic time series. Physical Review Lett.
59(8):856.
Fraedrich K. 1990. Estimating the dimension of weather and climate atractor. J of Atm
Sci. 43(5):419-432.
Gandini ML, Usunoff EJ. 2004. SCS curve number estimation using remote sensing
NDVI in a GIS environment. J of Environmental Hydrology. 12(16).
Garreaud RD. 2000. Intraseasonal variability of moisture and rainfall over the South
American Altiplano. Mon Wea Rev. 128:337-346.
Giannini A, Kushnir Y, Cane MA. 2007. Interannual variability of caribbean rainfall,
ENSO, and the Atlantic Ocean. J of Clim. 13:297-311.
Granger CWJ, Andersen AP. 1978. An Introduction to Bilinear Time Series Models.
Gottingen: Vandenhoeck and Puprecht.
Grassberger P, Procaccia I. 1986. Measuring the strangeness of strange attractors.
Physica. 9D:189-208.
Hackert EC, Hastenrath S. 1986. Mechanism of Java rainfall anomalies. Mon Wea Rev.
14:745-757.
Hasan M, Sapei A, Purwanto J, Sukardi. 2011. Kajian kebijakan pengelolaan sumber
daya air pada daerah aliran sungai Citarum. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Air, BPPK. 7(2).
Hawkins RH. 1979b. Runoff curve number from partial area watersheds. J of Irrigation
and Drainage Engineering Division, ASCE. 105(HY4):375-389.
Hawkins RH. 1993. Asymptotic determination of runoff curve numbers from data. J of
Irrigation and Drainage Engineering. 119(2).
Haylock M, McBride JL. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian west
season rainfall. J of Clim. 14:3882-3887.
Hegger R, Kantz H, Schreiber T. 1999. Practical Implementation of Non-Linear Time
Series Methods: The TISEAN Package. Max Planck Institute for Physics of
Complex Systems
Hendon H. 2003. Indonesian rainfall variability: impact of ENSO and local air-sea
interaction. J of Clim. 16:1775-1790.
Hjemfelt JrA T. 1980. Curve number procedure as infiltration method. J of Hydraulics
Division, ASCE. 106(HY6):1107-1110.
Hjemfelt JrA T. 1991. Investigation of curve number procedure. J of Hydraulic
Engineering Division, ASCE. 117(6):725-737.
Hufschmidt MM, Reksohadiprodjo S, Martopo S. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan
Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
112

Huke JP. 2006. Embedding non-linear dynamical system: a guide to taken theorem.
[Internet]. [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada:
http://www/manchester.ac.uk/mims/eprints
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007a. The Physical Science Basis.
IPCC Fourth Assessment Report. Geneva (CH): Working Group I Report.
Jones C, Carvalho LMV, Higgins RW, Waliser DE, Schem JKE. 2004a. Climatology of
tropical intraseasonal convective anomalies. J of Climate. 17:523-539.
Jones C, Waliser DE, Lau KM, Stern W. 2004b. Global occurence of extreme
precipitation and Madden-Julian oscillation: observations and predictability. J of
Clim. 7:4575-4589.
Juaeni I, Siswanto B. 2006. Variabilitas curah hujan di Indonesia berdasarkan luaran
model area terbatas resolusi 20 km. Prosiding PIT Himpunan Ahli Geofisika
Indonesia.
Juaeni I, Tjasjono BHK, Ratag MA. 2006. Periodisitas curah hujan dominan dan
hubungannya dengan topografi. J Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 7(2).
Kannan G, Haq NA. 2007. Analysis of interactions of criteria and sub-criteria for the
selection of supplier in the built-in-order supply chain environment. Int J of
Production Research. 45:1-22.
Kates R. 2000. Cautionary tales: adaptation and the global poor. Climate Change. 45:5-
17.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Data Ratio Debit Air Sungai. Jakarta
(ID): KLH.
Kodoatie RJ, Hadimuljono MB. 2005. Kajian Undang-Undang Sumber Daya Air.
Yogyakarta (ID): Penerbit Andi.
Kodoatie RJ, Sjarief R. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi Offset.
Kohler T, Wehrli A, Jurek M. 2014. Mountains and Climate Change: A Global Concern.
Bern (CH): Swiss Agency for Development and Cooperation.
Krishnamukti V, Shukla J. 2007. Intraseasonal and seasonally persisting patterns of
Indian monsoon rainfall. J of Climate. 20:3-20.
Liebmann B, Hendon HH, Glick JD. 1994. The relationship between tropical cyclones
of the western Pacific and Indian Oceans and the Madden-Julian oscillation. J of
Met Soc. 72:401-411.
Lopez-Moreno JI, Zabalza J, Vicente-Serrano SM, Revuelto J, Gilaberte M, Azorin-
Molina C, Moran-Tejeda E, Garcia-Ruiz JM, Tague C. 2014. Impact of climate
and landuse change on water availability and reservoir management: scenarios in
the upper Aragon river, Spanish Pyrenees. Sci of the Tot Environment. 493:1222-
1231.
Lorenz E. 1963. Deterministic non-periodic flow. J of Atm Sci. 20:130-146.
Loucks DP, Beek EV. 2005. Water Resources Systems Planning and Management. An
Introduction to Methods, Models, and Applications. Turin (IT): UNESCO.
Madden RA, Julian PR. 1994. Observation of the 40-50 day tropical oscillation: a
review. Mon Wea Rev. 122(5):814-837.
Malone D. 1975. An introduction to the application of interpretive structural modeling.
Proceedings of the Institute of Electrical and Electronics Engineers. 63:397-404.
Mandal A, Deshmukh SG. 1994. Vendor selection using interpretive structural
modeling (ISM). Int J Oper Prod Manag. 14(6):52-59.
113

Marganingrum D, Maria R, Rizka, Cahyarini SY, Narulita I. 2009. Studi korelasi pola
distribusi curah hujan dan indeks ENSO di cekungan Bandung. Prosiding
Pemaparan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta
(ID): Grasindo.
Marimin. 2009. Teori dan Aplikasi: Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor
(ID): IPB Pr.
[MEA] Millenium Ecosystem Assesment. 2005. Ecosystem and Human Well-being,
Synthesis. Washington DC (US): Island Pr.
Melvin LBT. 1993. Estimating the attractor dimension of the equatorial weather system.
Acta Physica A. Supplement:27-35.
Meybeck M, Green P, Vorosmarty C. 2001. A new typology for mountains and other
relief classes: an application to global continental water resources and population
distribution. Mountain Research and Development. 21:34-45.
Meyers MP, Snook JS, Wesley DA, Poulos GS. 2003. A Rocky mountain storm. Part II:
the forest blowdown over the west slope of the northern Colorado mountains -
observations, analysis, and modelling. Wea Forecasting. 18:662-674.
Mishra SK. 1998. Operation of a multipurpose reservoir [disertasi]. Roorkee (IN): Univ
of Roorkee.
Mishra SK, Singh VP. 1999. Another look at SCSCN method. J of Hydrologic Engrg.
14:257-264.
Mishra SK, Singh VP. 2002b. SCS-CN Based Hydrologic Simulation Package,
Mathematical Models in Small Watershed Hydrology. Singh VP and FREVERT,
D K, editor. Littleton: Water Resources Publication.
Misra V. 2005. Simulation of the intraseasonal variance of the South American summer
monsoon. Mon Wea Rev. 133:663-676.
Nicolis C, Nicolis G. 1984. Is there a climatic attractor. Nature. 311:534-594.
Pabon JD, Delgado JD. 2008. Intraseasonal variability of rainfall over northern south
America and caribbean region. Ingenieria de Recursos Naturales y del Ambiente.
No 7.
Peel MC, McMahon TA, Finlayson BL. 2002. Variability of annual precipitation and its
relationship to El Nino-Southern Oscillation. J of Climate. 15(6):545-551.
Petersen WA, Nesbitt SW, Blaskeslee RJ, Cifelli R, Hein P, Rutledge SA. 2002.
TRMM observations of intraseasonal variability in convective regimes over the
Amazon. J of Clim. 15:1278-1294.
Pilgrim DH, Cordery I. 1993. Chapter 9. Flood Runoff. Handbook of Hydrology. New
York (US): McGrow-Hill.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara PLENGAN. 2010. Sejarah Cileunca. Bandung (ID):
PLN.
Ponce VM, Hawkins RH. 1996. Runoff curve number: has it reached maturity? J Hyd
Eng:11-19.
Poveda G. 2004. La hidroclimatologia de Colombia: una sintesis desde la escala inter-
decadal hasta la escala diurna. Rev Acad Colomb. 28(107):201-222.
[PPSDA] Pusat Pengembangan Sumber Daya Air. 2011. Data Debit DAS Cisangkuy.
Bandung (ID): PPSDA.
RAN-API [Rencana Aksi Nasional-Adaptasi Perubahan Iklim].2014. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasioanl/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
114

Ravi V, Shankar R. 2005. Analysis of interactions among the barriers of reverse


logistics. Int J of Tech Forecasting. 72(8):1011-1029.
Rohmat D. 2009. Solusi Aspiratif Penangan Masalah Sungai Mati. Kasus: Desa Andir
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. J GEA.
Ropelewski CF, Halpert MS. 1987. Global and regional scale precipitation patterns
associated with the El Nino/Southern Oscillation. Mon Wea Rev. 115:1606-1626.
Ruminta. 2006. Persistensi dan variabilitas hidrometeorologi daerah aliran sungai
Citarum. Proseeding Seminar Tahunan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. 581-
594.
Safarina AB. 2007. Modifikasi hydrograf satuan sintetik nakayasa sungai Cisangkuy
dengan metoda optimasi ULTIMATE. J Ilmiah Teknik Sipil. 3(2).
Sage AP. 1977. Interpretive Structural Modeling: Methodology for Large-Scale Systems.
New York (US): McGraw-Hill.
Sarminingsih A. 2007. Evaluasi kekritisan lahan daerah aliran sungai (DAS) dan
mendesaknya langkah-langkah konservasi air. J Presipitasi. 2(1).
Sediyono E, Nataliani Y, Rorimpandey CM. 2009. Klasifikasi sidik jari dengan
menggunakan wavelet symlet. J Informatika. 5(2).
Seth A, Bales RC, Dickinson RE. 1999. A framework for the study of seasonal snow
hydrology and its interannual variability in the alpine regions of the Southwest. J
Geophys Res. 104(D18):22117–22135.
Setiawan S. 1991. Chaos Gelora Sains Baru. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi Offset.
Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta (ID):
Gajah Mada University Pr.
Sharples JJ, Hutchinson MF, Jellet DR. 2005. On the horizontal scale of elevation
dependence of Australian monthly precipitation. J of Appl Meteorology. 44:1850-
1865.
Sharpley AN, William JR. 1990. Erosion Productivity. Technical Bulletin no 1768
Shreshtha MN, Mohan S. 2000. Evaluation of effects of Land use change by distributed
hydrological model using remote sensing and GIS. Proc. of 12th Congress of Asia
Pacific Div. of the Intl. Association for Hydraulic Engg and Research:1093-1103.
Singer AC, Wornell GW, Oppenheim AV. 1992. Acoustics, speech, and signal
processing. IEEE International Conference. 5.
Sinukaban. 2007. Pengaruh Penutupan Mulsa Jerami terhadap Aliran Permukaan,
Erosi dan Selektivitas Erosi, dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci
Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal RLPS. hlm 46-60.
Smith BR. 1979. The influence of mountain to the atmosphere. Advanced in Geophysics.
21.
Sultan B, Janicot S, Diedhiou A. 2003. The west African monsoon dynamics. Part I:
documentation of intraseasonal variability. J of Climate. 16:3389-3406.
Suriadikusumah A, Herdiansyah G. 2014. J Penelitian dan Informasi Pertanian. 18(1).
Tjasjono BHK, Gernowo R. 2008. Curah hujan ekstrim di area monsun basin Bandung.
J Meteorologi dan Geofisika. 8(2).
Tjasjono BHK, Juaeni I, Harijono SWB. 2007. Proses meteorologis bencana banjir di
Indonesia. J Meteorologi dan Geofisika. 8(2).
Torrence C, Compo GP. 1998. A Practical Guide to Wavelet Analysis. Bull Amer Met
Soc. 79:61-78.
[UPTD] Unit Pelaksana Teknis Dinas. 2011. Sub DAS Cisangkuy. Kabupaten Bandung:
PEMDA.
115

USDA SoilConservation Service. 1985. National Engineering Handbook, Section 4


Hydrology. Washington DC (US): US Gov Printing Office.
Vorosmarty CJ, Green P, Salisbury J, Lammers RB. 2000. Global water resources:
vulnerability from climate change and population growth. Science. 289:284-288.
Warfield JW. 1974. Developing interconnected matrices in structural modeling. IEEE
Transaction Systems Man and Cybernetics. 4(1):51-81.
Ye H, Cho H-R. 2001. Spatial and temporal characteristics of intraseasonal oscillations
of precipitation over the United States. Theor and Applied Clim. 68:51-66.
116

LAMPIRAN

Lampiran 1 Posisi strategis DAS Cisangkuy menurut regulasi di kawasan Cekungan


Bandung

UU No. 41 UU No. 7 UU No. 32


UU No.26 2007
1999 2004 2009
RTRW Nasional

PP No. 26/ PP No. 37


2008 2012

Kawasan Strategis
Nasional Perda No. 22 2010
RTRW Provinsi Jawa Barat

Perda No.3
Cekungan 2008 RTRW
Bandung Kabupaten
Bandung

KSP Wayang
Salah satu daerah DAS Windu
penyokong CISANGKUY
KSP Hulu Citarum
Hutan Lindung

Sumber Air
Masalah lingkungan
117

Lampiran 2 Variabilitas dan Probabilitas Curah hujan dan Debit di DAS Cisangkuy
yang berubah kontras secara musiman
118

Lampiran 3 Profil elevasi dan curah hujan selama 50 tahun rata-rata di DAS Cisangkuy
119

Lampiran 4 Indikasi perubahan iklim di DAS Cisangkuy


120

Lampiran 5 Pola distribusi curah hujan dan temperatur musim basah (DJF) rata-rata
selama 50 tahun di DAS Cisangkuy
121

Lampiran 6 Pola distribusi curah hujan dan temperatur musim kemarau (JJA) rata-rata
selama 50 tahun di DAS Cisangkuy
122

Lampiran 7 Skenario perubahan iklim di DAS Cisangkuy


123

Lampiran 8 Pola distribusi PET musim basah (DJF) rata-rata selama 50 tahun di DAS
Cisangkuy
124

Lampiran 9 Pola distribusi PET musim kemarau (JJA) rata-rata selama 50 tahun di
DAS Cisangkuy
125

Lampiran 10 Sebaran evapotranpirasi bulanan di DAS Cisangkuy secara spasial dan


temporal: (A) Januari, (B) Februari, (C) Maret, (D) April, (E) Mei, (F) Juni,
(G) Juli, (H) Agustus, (I) September, (J) Oktober, (K) November, (L)
Desember.
126

150
140
Min
130 Max
120
mm

110
100
90
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Lampiran 11 Indek kelembapan iklim di DAS Cisangkuy


127
128

Lampiran 12 Potensi surplus limpasan permukaan di DAS Cisangkuy musim


penghujan (DJF)
129

Lampiran 13 Potensi defisit limpasan permukaan di DAS Cisangkuy musim kemarau


(JJA)
130

Lampiran 14 Kurva Nr dan resistanse aliran (n manning) terkait dengan perbedaan


LULC

Kategori LULC Number Kurva Manning


Pemukiman 90 0.012
Bangunan lainnya 90 0.012
Tanah gundul 75 0.018
Padi irigasi teknis 50 0.001
Padi irigasi semi-teknis 50 0.001
Pertanian lain-lain 75 0.080
Rerumputan 75 0.150
Semak belukar 60 0.200
Hutan 60 0.300
Lahan Basah/Rawa 60 0.010
Mangrove 100 0.001
Air 100 1
131

Lampiran 15 Model builder untuk simulasi pengaruh perubahan LULC dan kemiringan terhadap limpasan
132
133
134

Lampiran 16 Elemen kebutuhan program pengelolaan DAS terkait variabilitas


iklim
A. Elemen Kebutuhan Pengelolaan DAS dalam Kontek Variabilitas Kklim
di DAS Cisangkuy

Variabel :
B1. Penegakan hukum
B2. Peningkatan luas kawasan lindung
B3. Peningkatan pendapatan masyarakat
B4. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan aparat
B5. Restrukturisasi kelembagaan
B6. Tata Ruang yang tepat
B7. Pemberian insentif dan disinsentif
B8. Peningkatan kesadaran stake holder
B9. Penetapan Pedoman pengelolaan DAS
B10. Pengembangan kearifan lokal
B11. Peningkatan lapangan pekerjaan
B12. Teknologi pengelolaan DAS

Petunjuk Pengisian:
Isilah kolom bebas arsir di bawah ini dengan huruf V, A, X dan/atau O:

• V, adalah eij = 1 dan eji = 0 (elemen i lebih berpengaruh/penting/baik


daripada j)
• A, adalah eij = 0 dan eji = 1 (elemen i tidak lebih berpengaruh/penting/baik
daripada j)
• X, adalah eij = 1 dan eji = 1 (elemen i dan j sama-sama
berpengaruh/penting/baik)
• O, adalah eij = 0 dan eji = 0 (elemen i dan j sama-sama tidak
berpengaruh/penting/baik)
135

Lampiran 17 Kuesioner untuk elemen kebutuhan pengelolaan DAS yang optimal


Sub Elemen Kebutuhan ke - j Pengelolaan DAS yang Berkelanjutan

B3.Peningkatan pendapatan

B4.Pening. pengetahuan &

B7.Pemberian insentif dan

kesadaran

Pedoman

B10.Pengembangan kearifan

lapangan

B12.Teknologi pengelolaan
B2.Peningkatan luas kawasan

B6.Tata Ruang yang tepat


Sub

B1.Penegakan hukum
Elemen

ketrampilan aparat
B5.Restrukturisasi
Kebutuhan ke - i

pengelolaan DAS

B11.Peningkatan
B8.Peningkatan
Pengelolaan DAS

B9.Penetapan
kelembagaan

stake holder
masyarakat
yang

disinsentif

pekerjaan
lindung
Berkelanjutan

lokal

DAS
B1.Penegakan
hukum

B2.Peningkatan
luas kawasan
lindung
B3.Peningkatan
pendapatan
masyarakat
B4.Pening. pengeta-
huan & ketram-
pilan aparat
B5.Restrukturisasi
kelembagaan

B6.Tata Ruang
yang tepat

B7.Pemberian
insentif dan
disinsentif
B8.Peningkatan
kesadaran stake
holder
B9.Penetapan
Pedoman
pengel. DAS
B10.Pengembangan
kearifan lokal

B11.Peningkatan
lapangan
pekerjaan
B12.Teknologi
pengelolaan
DAS
136

Lampiran 18 Matrik kuesioner dari para pakar


(Pakar 1)
No. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8

A1 O A V O X X X

A2 A O V X X X

A3 V V V A A

A4 X A X A

A5 A X A

A6 A A

A7 X

A8

(Pakar 2)
No. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
A1 V V V O X A X
A2 A X V X A X
A3 V V V X X
A4 X O X A
A5 A X A
A6 X A
A7 X
A8
(Pakar 3)
No. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8

A1 A A V O X X O

A2 A O V X X X

A3 V V X X O

A4 X O X A

A5 A O X

A6 A A

A7 X

A8
137

Lampiran 19 Strategi Konservasi Pengelolaan LULC dan Pengaruhnya pada Limpasan di DAS Cisangkuy

Mulai
Groundwater(t) = Groundwater(t - dt) + (Time_lag - Subsurface_Flow) * dtINIT Groundwater = 0
INFLOWS:
Time_lag = CONVEYOR OUTFLOW
OUTFLOWS:
Subsurface_Flow = Groundwater*random(.6,1)
Percolating_water(t) = Percolating_water(t - dt) + (Percolate - Time_lag) * dtINIT Percolating_water = 0
TRANSIT TIME = 1
INFLOW LIMIT = INF
CAPACITY = INF
INFLOWS:
Percolate = Into_Ground
OUTFLOWS:
Time_lag = CONVEYOR OUTFLOW
UNATTACHED:
Stream_mm = Runoff + Subsurface_Flow
fasum_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_12 then 0 else (Percent_fasum/100)
* (Rainfall - .2*(25400/fasum_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/fasum_Soil-254))
fasum_Soil = 59
hankam_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_11 then 0 else (Percent_hankam/100)
* (Rainfall - .2*(25400/hankam_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/hankam_Soil-254))
hankam_Soil = 59
hutan_konservasi_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_10 then 0 else (Percent_hutan_konservasi/100)
138

* (Rainfall - .2*(25400/hutan_konservasi_soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/hutan_konservasi_soil-254))
hutan_konservasi_soil = 59
hutan_rakyat_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_9 then 0 else (Percent_hutan_rakyat/100)
* (Rainfall - .2*(25400/hutan_rakyat_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/hutan_rakyat_Soil-254))
hutan_rakyat_Soil = 59
Hutan_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain3 then 0 else (Percent_Hutan/100)
*(Rainfall-.2*(25400/Hutan_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/Hutan_Soil-254))
Hutan_Soil = 36
Into_Ground = Rainfall-Runoff
Land_usage_total = if (TIME = DT) THEN
(SUM(Percent_semak_belukar,Percent_pertanian_dan_sawah_tada_hujan,Percent_Hutan,Percent_kawsan_tanaman_tahunan,Percent__Pe
mukiman,Percent_sempadan,Percent_sawah_irigasi,Percent_semak_belukar,Percent_peternakan,Percent_fasum,Percent_hankam,Percent_
hutan_konservasi,Percent_hutan_rakyat,Percent_perairan,Percent_perdagangan_jasa)) ELSE(100)
pemukiman_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain1 then 0 else (Percent__Pemukiman/100) *(Rainfall-.2*(25400/pemukiman_Soil-
254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/pemukiman_Soil-254))
pemukiman_Soil = 94
perairan_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_13 then 0 else (Percent_perairan/100)
* (Rainfall - .2*(25400/perairan_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/perairan_Soil-254))
perairan_Soil = 59
Percent_fasum = 0.07
Percent_hankam = 0.24
Percent_Hutan = 26.98
Percent_hutan_konservasi = 7.01
139

Percent_hutan_rakyat = 0.17
Percent_kawsan_tanaman_tahunan = 24.97
Percent_perairan = 1.10
Percent_perdagangan_jasa = 0.29
Percent_pertanian_dan_sawah_tada_hujan = 7.49
Percent_peternakan = 24.97
Percent_sawah_irigasi = 19.76
Percent_semak_belukar = 6.50
Percent_sempadan = 0.08
Percent__Pemukiman = 11.52
perdagangan_jasa_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_14 then 0 else (Percent_perdagangan_jasa/100)
* (Rainfall - .2*(25400/perdagangan_jasa_soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/perdagangan_jasa_soil-254))
perdagangan_jasa_soil = 59
perkebunan_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain2 then 0 else (Percent_kawsan_tanaman_tahunan/100) *(Rainfall-
.2*(25400/perkebunan_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/perkebunan_Soil-254))
perkebunan_Soil = 89
pertanian_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain4 then 0 else (Percent_pertanian_dan_sawah_tada_hujan/100)
* (Rainfall - .2*(25400/pertanian_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/pertanian_Soil-254))
pertanian_Soil = 50
rumput_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_7 then 0 else (Percent_peternakan/100)
* (Rainfall - .2*(25400/rumput_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/rumput_Soil-254))
rumput_Soil = 61
Runoff =
pemukiman_Runoff+perkebunan_Runoff+pertanian_Runoff+Hutan_Runoff+pertanian_Runoff+semak_belukar_Runoff+sawah_irigasi_Ru
140

noff+rumput_Runoff+sempadan_Runoff+fasum_Runoff+hankam_Runoff+hutan_rakyat_Runoff+perairan_Runoff+perdagangan_jasa_Run
off+hutan_konservasi_Runoff
sawah_irigasi_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_6 then 0 else (Percent_sawah_irigasi/100)
* (Rainfall - .2*(25400/sawah_irigasi_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/sawah_irigasi_Soil-254))
sawah_irigasi_Soil = 60
semak_belukar_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_5 then 0 else (Percent_semak_belukar/100)
* (Rainfall - .2*(25400/semak_belukar_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/semak_belukar_Soil-254))
semak_belukar_Soil = 68
sempadan_Runoff = if Rainfall<Critical__Rain_8 then 0 else (Percent_sempadan/100)
* (Rainfall - .2*(25400/sempadan_Soil-254))^2
/(Rainfall+.8*(25400/sempadan_Soil-254))
sempadan_Soil = 59
Critical__Rain1 = GRAPH(pemukiman_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain2 = GRAPH(perkebunan_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain3 = GRAPH(Hutan_Soil)
141

(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain4 = GRAPH(pertanian_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_10 = GRAPH(hutan_konservasi_soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_11 = GRAPH(hankam_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_12 = GRAPH(fasum_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
142

1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_13 = GRAPH(perairan_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_14 = GRAPH(perdagangan_jasa_soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_5 = GRAPH(semak_belukar_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_6 = GRAPH(sawah_irigasi_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_7 = GRAPH(rumput_Soil)
143

(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_8 = GRAPH(sempadan_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Critical__Rain_9 = GRAPH(hutan_rakyat_Soil)
(0.00, 100), (2.00, 50.0), (4.00, 38.0), (6.00, 30.0), (8.00, 20.0), (10.0, 18.0), (12.0, 15.0), (14.0, 12.0), (16.0, 10.0), (18.0, 9.00), (20.0,
8.00), (22.0, 7.50), (24.0, 6.50), (26.0, 5.50), (28.0, 5.00), (30.0, 4.66), (32.0, 4.24), (34.0, 3.88), (36.0, 3.56), (38.0, 3.26), (40.0, 3.00),
(42.0, 2.76), (44.0, 2.54), (46.0, 2.34), (48.0, 2.16), (50.0, 2.00), (52.0, 1.85), (54.0, 1.70), (56.0, 1.57), (58.0, 1.45), (60.0, 1.33), (62.0,
1.23), (64.0, 1.12), (66.0, 1.03), (68.0, 0.94), (70.0, 0.86), (72.0, 0.78), (74.0, 0.7), (76.0, 0.63), (78.0, 0.56), (80.0, 0.5), (82.0, 0.44), (84.0,
0.38), (86.0, 0.33), (88.0, 0.27), (90.0, 0.22), (92.0, 0.17), (94.0, 0.13), (96.0, 0.08), (98.0, 0.04), (100, 0.00)
Rainfall = GRAPH(TIME)
(1.00, 431), (2.00, 243), (3.00, 487), (4.00, 329), (5.00, 87.0), (6.00, 88.0), (7.00, 0.00), (8.00, 120), (9.00, 155), (10.0, 43.0), (11.0,
300), (12.0, 464), (13.0, 523), (14.0, 146), (15.0, 292), (16.0, 116), (17.0, 63.0), (18.0, 0.00), (19.0, 0.00), (20.0, 0.00), (21.0, 0.00), (22.0,
20.5), (23.0, 283), (24.0, 178), (25.0, 293), (26.0, 329), (27.0, 381), (28.0, 132), (29.0, 76.0), (30.0, 129), (31.0, 62.0), (32.0, 0.00), (33.0,
60.0), (34.0, 233), (35.0, 303), (36.0, 175), (37.0, 232), (38.0, 256), (39.0, 210), (40.0, 153), (41.0, 9.00), (42.0, 75.0), (43.0, 57.0), (44.0,
92.0), (45.0, 102), (46.0, 248), (47.0, 396), (48.0, 314), (49.0, 421), (50.0, 230), (51.0, 148), (52.0, 135), (53.0, 96.0), (54.0, 10.0), (55.0,
4.00), (56.0, 20.0), (57.0, 29.0), (58.0, 59.0), (59.0, 116), (60.0, 205), (61.0, 430), (62.0, 430), (63.0, 400), (64.0, 323), (65.0, 211), (66.0,
300), (67.0, 126), (68.0, 24.0), (69.0, 136), (70.0, 359), (71.0, 296), (72.0, 325), (73.0, 47.0), (74.0, 275), (75.0, 432), (76.0, 253), (77.0,
219), (78.0, 18.0), (79.0, 34.0), (80.0, 13.0), (81.0, 0.00), (82.0, 336), (83.0, 348), (84.0, 383), (85.0, 322), (86.0, 252), (87.0, 268), (88.0,
282), (89.0, 199), (90.0, 45.0), (91.0, 63.0), (92.0, 95.0), (93.0, 19.0), (94.0, 112), (95.0, 341), (96.0, 287), (97.0, 349), (98.0, 143), (99.0,
319), (100, 297), (101, 156), (102, 57.0), (103, 42.0), (104, 67.0), (105, 100), (106, 287), (107, 508), (108, 86.0), (109, 553), (110, 127),
144

(111, 340), (112, 301), (113, 43.0), (114, 17.0), (115, 21.0), (116, 0.00), (117, 0.00), (118, 6.00), (119, 113), (120, 319), (121, 230), (122,
187), (123, 286), (124, 109), (125, 104), (126, 0.00), (127, 0.00), (128, 105), (129, 101), (130, 329), (131, 355), (132, 300), (133, 302),
(134, 243), (135, 321), (136, 131), (137, 233), (138, 15.0), (139, 50.0), (140, 0.00), (141, 82.0), (142, 25.0), (143, 228), (144, 336), (145,
178), (146, 458), (147, 321), (148, 83.0), (149, 97.0), (150, 72.0), (151, 34.0), (152, 37.0), (153, 23.0), (154, 178), (155, 169), (156, 345),
(157, 197), (158, 240), (159, 157), (160, 229), (161, 78.0), (162, 15.0), (163, 0.00), (164, 0.00), (165, 0.00), (166, 50.0), (167, 35.0), (168,
413), (169, 94.0), (170, 444), (171, 269), (172, 357), (173, 99.0), (174, 59.0), (175, 9.00), (176, 5.00), (177, 0.00), (178, 168), (179, 230),
(180, 324), (181, 148), (182, 101), (183, 367), (184, 193), (185, 29.0), (186, 26.0), (187, 0.00), (188, 63.0), (189, 11.0), (190, 208), (191,
456), (192, 233), (193, 222), (194, 223), (195, 243), (196, 175), (197, 167), (198, 33.0), (199, 5.00), (200, 5.00), (201, 42.0), (202, 94.0),
(203, 298), (204, 118), (205, 378), (206, 356), (207, 315), (208, 143), (209, 267), (210, 116), (211, 70.0), (212, 245), (213, 389), (214, 225),
(215, 386), (216, 316), (217, 78.0), (218, 102), (219, 304), (220, 299), (221, 151), (222, 114), (223, 15.0), (224, 0.00), (225, 0.00), (226,
126), (227, 257), (228, 253), (229, 57.0), (230, 99.0), (231, 226), (232, 196), (233, 157), (234, 120), (235, 94.9), (236, 115), (237, 128),
(238, 242), (239, 177), (240, 427), (241, 356), (242, 160), (243, 0.102), (244, 253), (245, 118), (246, 195), (247, 223), (248, 235), (249,
185), (250, 519), (251, 166), (252, 341), (253, 222), (254, 297), (255, 137), (256, 288), (257, 332), (258, 92.7), (259, 106), (260, 26.6),
(261, 48.2), (262, 118), (263, 117), (264, 194), (265, 2.72), (266, 80.3), (267, 0.557), (268, 51.1), (269, 199), (270, 60.4), (271, 204), (272,
224), (273, 285), (274, 315), (275, 290), (276, 359), (277, 136), (278, 190), (279, 181), (280, 28.2), (281, 7.87), (282, 227), (283, 83.9),
(284, 124), (285, 212), (286, 91.4), (287, 465), (288, 338), (289, 38.9), (290, 203), (291, 442), (292, 282), (293, 103), (294, 196), (295,
446), (296, 251), (297, 245), (298, 251), (299, 83.4), (300, 108), (301, 64.5), (302, 217), (303, 567), (304, 350), (305, 169), (306, 155),
(307, 187), (308, 290), (309, 260), (310, 178), (311, 161), (312, 14.4), (313, 2.75), (314, 14.4), (315, 113), (316, 62.0), (317, 57.0), (318,
40.9), (319, 152), (320, 219), (321, 202), (322, 386), (323, 196), (324, 299), (325, 236), (326, 144), (327, 281), (328, 113), (329, 127), (330,
225), (331, 129), (332, 61.4), (333, 219), (334, 12.5), (335, 30.0), (336, 252), (337, 165), (338, 199), (339, 339), (340, 41.5), (341, 309),
(342, 250), (343, 454), (344, 333), (345, 448), (346, 302), (347, 229), (348, 584), (349, 181), (350, 44.1), (351, 59.8), (352, 201), (353,
95.4), (354, 148), (355, 158), (356, 17.9), (357, 39.1), (358, 171), (359, 54.4), (360, 118), (361, 401), (362, 375), (363, 398), (364, 356),
(365, 237), (366, 197), (367, 123), (368, 325), (369, 18.8), (370, 93.8), (371, 298), (372, 259), (373, 44.8), (374, 246), (375, 150), (376,
420), (377, 136), (378, 19.9), (379, 310), (380, 372), (381, 366), (382, 160), (383, 427), (384, 609), (385, 30.0), (386, 221), (387, 82.8),
(388, 250), (389, 256), (390, 281), (391, 164), (392, 169), (393, 562), (394, 164), (395, 105), (396, 261), (397, 4.22), (398, 140), (399, 222),
(400, 88.4), (401, 127), (402, 17.6), (403, 195), (404, 65.2), (405, 312), (406, 28.5), (407, 54.3), (408, 10.4), (409, 223), (410, 72.6), (411,
135), (412, 187), (413, 75.3), (414, 266), (415, 490), (416, 103), (417, 450), (418, 445), (419, 157), (420, 586), (421, 11.4), (422, 30.9),
(423, 113), (424, 51.5), (425, 133), (426, 232), (427, 421), (428, 417), (429, 58.7), (430, 30.3), (431, 249), (432, 4.67), (433, 104), (434,
145

124), (435, 195), (436, 170), (437, 225), (438, 114), (439, 197), (440, 387), (441, 203), (442, 14.7), (443, 115), (444, 163), (445, 90.1),
(446, 151), (447, 210), (448, 414), (449, 242), (450, 60.8), (451, 23.6), (452, 361), (453, 319), (454, 187), (455, 53.3), (456, 101), (457,
49.0), (458, 183), (459, 413), (460, 177), (461, 243), (462, 27.7), (463, 111), (464, 282), (465, 294), (466, 95.4), (467, 405), (468, 296),
(469, 407), (470, 126), (471, 221), (472, 277), (473, 494), (474, 152), (475, 600), (476, 168), (477, 406), (478, 83.7), (479, 125), (480,
83.2), (481, 262), (482, 265), (483, 380), (484, 10.4), (485, 124), (486, 66.9), (487, 324), (488, 173), (489, 191), (490, 267), (491, 119),
(492, 29.2), (493, 56.2), (494, 43.1), (495, 41.4), (496, 108), (497, 147), (498, 96.3), (499, 41.1), (500, 339), (501, 457), (502, 358), (503,
59.8), (504, 52.2), (505, 134), (506, 103), (507, 172), (508, 525), (509, 223), (510, 595), (511, 542), (512, 380), (513, 301), (514, 446),
(515, 236), (516, 125), (517, 227), (518, 174), (519, 27.5), (520, 316), (521, 42.2), (522, 132), (523, 170), (524, 46.9), (525, 119), (526,
141), (527, 145), (528, 39.2), (529, 73.8), (530, 66.2), (531, 53.4), (532, 237), (533, 83.9), (534, 137), (535, 279), (536, 218), (537, 166),
(538, 150), (539, 76.2), (540, 54.1), (541, 36.4), (542, 9.19), (543, 149), (544, 249), (545, 359), (546, 144), (547, 392), (548, 372), (549,
390), (550, 26.2), (551, 157), (552, 330), (553, 149), (554, 50.6), (555, 372), (556, 263), (557, 477), (558, 274), (559, 238), (560, 211),
(561, 172), (562, 139), (563, 85.7), (564, 248), (565, 99.6), (566, 32.5), (567, 222), (568, 94.6), (569, 233), (570, 224), (571, 356), (572,
127), (573, 124), (574, 66.0), (575, 2.06), (576, 45.7), (577, 22.6), (578, 132), (579, 49.4), (580, 199), (581, 239), (582, 294), (583, 535),
(584, 216), (585, 22.3), (586, 70.3), (587, 187), (588, 65.0), (589, 156), (590, 288), (591, 108), (592, 320), (593, 439), (594, 130), (595,
320), (596, 149), (597, 73.8), (598, 115), (599, 146), (600, 32.7), (601, 9.62), (602, 113), (603, 113), (604, 54.5), (605, 212), (606, 298),
(607, 165), (608, 169), (609, 231), (610, 88.7), (611, 42.0), (612, 39.7), (613, 99.1), (614, 113), (615, 227), (616, 265), (617, 304), (618,
353), (619, 227), (620, 206), (621, 167), (622, 88.5), (623, 87.2), (624, 152), (625, 127), (626, 146), (627, 213), (628, 133), (629, 186),
(630, 313), (631, 206), (632, 97.6), (633, 45.2), (634, 90.9), (635, 168), (636, 74.2), (637, 7.98), (638, 65.6), (639, 423), (640, 373), (641,
294), (642, 220), (643, 197), (644, 185), (645, 77.4), (646, 115), (647, 154), (648, 0.802), (649, 28.8), (650, 56.4), (651, 39.8), (652, 223),
(653, 298), (654, 394), (655, 391), (656, 312), (657, 131), (658, 79.7), (659, 165), (660, 261), (661, 175), (662, 280), (663, 183), (664, 194),
(665, 237), (666, 217), (667, 164), (668, 186), (669, 106), (670, 169), (671, 112), (672, 171), (673, 144), (674, 217), (675, 247), (676, 292),
(677, 173), (678, 288), (679, 188), (680, 68.6), (681, 270), (682, 117), (683, 73.6), (684, 189), (685, 247), (686, 291), (687, 255), (688,
192), (689, 290), (690, 308), (691, 149), (692, 121)
Streamflow_Prediction = GRAPH(TIME)
(0.00, 0.00), (1.10, 0.00), (2.20, 0.00), (3.31, 0.00), (4.41, 0.00), (5.51, 0.00), (6.61, 0.00), (7.71, 0.00), (8.81, 0.00), (9.92, 0.00),
(11.0, 0.00), (12.1, 0.00), (13.2, 0.00), (14.3, 0.00), (15.4, 0.00), (16.5, 0.00), (17.6, 0.00), (18.7, 0.00), (19.8, 0.00), (20.9, 0.00), (22.0,
0.00), (23.1, 0.00), (24.2, 0.00), (25.3, 0.00), (26.4, 0.00), (27.5, 0.00), (28.6, 0.00), (29.7, 0.00), (30.9, 0.00), (32.0, 0.00), (33.1, 0.00),
(34.2, 0.00), (35.3, 0.00), (36.4, 0.00), (37.5, 0.00), (38.6, 0.00), (39.7, 0.00), (40.8, 0.00), (41.9, 0.00), (43.0, 0.00), (44.1, 0.00), (45.2,
146

0.00), (46.3, 0.00), (47.4, 0.00), (48.5, 0.00), (49.6, 0.00), (50.7, 0.00), (51.8, 0.00), (52.9, 0.00), (54.0, 0.00), (55.1, 0.00), (56.2, 0.00),
(57.3, 0.00), (58.4, 0.00), (59.5, 0.00), (60.6, 0.00), (61.7, 0.00), (62.8, 0.00), (63.9, 0.00), (65.0, 0.00), (66.1, 0.00), (67.2, 0.00), (68.3,
0.00), (69.4, 0.00), (70.5, 0.00), (71.6, 0.00), (72.7, 0.00), (73.8, 0.00), (74.9, 0.00), (76.0, 0.00), (77.1, 0.00), (78.2, 0.00), (79.3, 0.00),
(80.4, 0.00), (81.5, 0.00), (82.6, 0.00), (83.7, 0.00), (84.8, 0.00), (85.9, 0.00), (87.0, 0.00), (88.1, 0.00), (89.2, 0.00), (90.4, 0.00), (91.5,
0.00), (92.6, 0.00), (93.7, 0.00), (94.8, 0.00), (95.9, 0.00), (97.0, 0.00), (98.1, 0.00), (99.2, 0.00), (100, 0.00), (101, 0.00), (102, 0.00), (104,
0.00), (105, 0.00), (106, 0.00), (107, 0.00), (108, 0.00), (109, 0.00), (110, 0.00), (111, 0.00), (112, 0.00), (113, 0.00), (115, 0.00), (116,
0.00), (117, 0.00), (118, 0.00), (119, 0.00), (120, 0.00), (121, 0.00), (122, 0.00), (123, 0.00), (125, 0.00), (126, 0.00), (127, 0.00), (128,
0.00), (129, 0.00), (130, 0.00), (131, 0.00), (132, 0.00), (133, 0.00), (134, 0.00), (136, 0.00), (137, 0.00), (138, 0.00), (139, 0.00), (140,
0.00), (141, 0.00), (142, 0.00), (143, 0.00), (144, 0.00), (145, 0.00), (147, 0.00), (148, 0.00), (149, 0.00), (150, 0.00), (151, 0.00), (152,
0.00), (153, 0.00), (154, 0.00), (155, 0.00), (156, 0.00), (158, 0.00), (159, 0.00), (160, 0.00), (161, 0.00), (162, 0.00), (163, 0.00), (164,
0.00), (165, 0.00), (166, 0.00), (167, 0.00), (169, 0.00), (170, 0.00), (171, 0.00), (172, 0.00), (173, 0.00), (174, 0.00), (175, 0.00), (176,
0.00), (177, 0.00), (178, 0.00), (180, 0.00), (181, 0.00), (182, 0.00), (183, 0.00), (184, 0.00), (185, 0.00), (186, 0.00), (187, 0.00), (188,
0.00), (190, 0.00), (191, 0.00), (192, 0.00), (193, 0.00), (194, 0.00), (195, 0.00), (196, 0.00), (197, 0.00), (198, 0.00), (199, 0.00), (201,
0.00), (202, 0.00), (203, 0.00), (204, 0.00), (205, 0.00), (206, 0.00), (207, 0.00), (208, 0.00), (209, 0.00), (210, 0.00), (212, 0.00), (213,
0.00), (214, 0.00), (215, 0.00), (216, 0.00), (217, 0.00), (218, 0.00), (219, 0.00), (220, 0.00), (221, 0.00), (223, 0.00), (224, 0.00), (225,
0.00), (226, 0.00), (227, 0.00), (228, 0.00), (229, 0.00), (230, 0.00), (231, 0.00), (232, 0.00), (234, 0.00), (235, 0.00), (236, 0.00), (237,
0.00), (238, 0.00), (239, 0.00), (240, 0.00), (241, 0.00), (242, 0.00), (244, 0.00), (245, 0.00), (246, 0.00), (247, 0.00), (248, 0.00), (249,
0.00), (250, 0.00), (251, 0.00), (252, 0.00), (253, 0.00), (255, 0.00), (256, 0.00), (257, 0.00), (258, 0.00), (259, 0.00), (260, 0.00), (261,
0.00), (262, 0.00), (263, 0.00), (264, 0.00), (266, 0.00), (267, 0.00), (268, 0.00), (269, 0.00), (270, 0.00), (271, 0.00), (272, 0.00), (273,
0.00), (274, 0.00), (275, 0.00), (277, 0.00), (278, 0.00), (279, 0.00), (280, 0.00), (281, 0.00), (282, 0.00), (283, 0.00), (284, 0.00), (285,
0.00), (286, 0.00), (288, 0.00), (289, 0.00), (290, 0.00), (291, 0.00), (292, 0.00), (293, 0.00), (294, 0.00), (295, 0.00), (296, 0.00), (297,
0.00), (299, 0.00), (300, 0.00), (301, 0.00), (302, 0.00), (303, 0.00), (304, 0.00), (305, 0.00), (306, 0.00), (307, 0.00), (309, 0.00), (310,
0.00), (311, 0.00), (312, 0.00), (313, 0.00), (314, 0.00), (315, 0.00), (316, 0.00), (317, 0.00), (318, 0.00), (320, 0.00), (321, 0.00), (322,
0.00), (323, 0.00), (324, 0.00), (325, 0.00), (326, 0.00), (327, 0.00), (328, 0.00), (329, 0.00), (331, 0.00), (332, 0.00), (333, 0.00), (334,
0.00), (335, 0.00), (336, 0.00), (337, 0.00), (338, 0.00), (339, 0.00), (340, 0.00), (342, 0.00), (343, 0.00), (344, 0.00), (345, 0.00), (346,
0.00), (347, 0.00), (348, 0.00), (349, 0.00), (350, 0.00), (351, 0.00), (353, 0.00), (354, 0.00), (355, 0.00), (356, 0.00), (357, 0.00), (358,
0.00), (359, 0.00), (360, 0.00), (361, 0.00), (363, 0.00), (364, 0.00), (365, 0.00), (366, 0.00), (367, 0.00), (368, 0.00), (369, 0.00), (370,
0.00), (371, 0.00), (372, 0.00), (374, 0.00), (375, 0.00), (376, 0.00), (377, 0.00), (378, 0.00), (379, 0.00), (380, 0.00), (381, 0.00), (382,
147

0.00), (383, 0.00), (385, 0.00), (386, 0.00), (387, 0.00), (388, 0.00), (389, 0.00), (390, 0.00), (391, 0.00), (392, 0.00), (393, 0.00), (394,
0.00), (396, 0.00), (397, 0.00), (398, 0.00), (399, 0.00), (400, 0.00), (401, 0.00), (402, 0.00), (403, 0.00), (404, 0.00), (405, 0.00), (407,
0.00), (408, 0.00), (409, 0.00), (410, 0.00), (411, 0.00), (412, 0.00), (413, 0.00), (414, 0.00), (415, 0.00), (416, 0.00), (418, 0.00), (419,
0.00), (420, 0.00), (421, 0.00), (422, 0.00), (423, 0.00), (424, 0.00), (425, 0.00), (426, 0.00), (428, 0.00), (429, 0.00), (430, 0.00), (431,
0.00), (432, 0.00), (433, 0.00), (434, 0.00), (435, 0.00), (436, 0.00), (437, 0.00), (439, 0.00), (440, 0.00), (441, 0.00), (442, 0.00), (443,
0.00), (444, 0.00), (445, 0.00), (446, 0.00), (447, 0.00), (448, 0.00), (450, 0.00), (451, 0.00), (452, 0.00), (453, 0.00), (454, 0.00), (455,
0.00), (456, 0.00), (457, 0.00), (458, 0.00), (459, 0.00), (461, 0.00), (462, 0.00), (463, 0.00), (464, 0.00), (465, 0.00), (466, 0.00), (467,
0.00), (468, 0.00), (469, 0.00), (470, 0.00), (472, 0.00), (473, 0.00), (474, 0.00), (475, 0.00), (476, 0.00), (477, 0.00), (478, 0.00), (479,
0.00), (480, 0.00), (482, 0.00), (483, 0.00), (484, 0.00), (485, 0.00), (486, 0.00), (487, 0.00), (488, 0.00), (489, 0.00), (490, 0.00), (491,
0.00), (493, 0.00), (494, 0.00), (495, 0.00), (496, 0.00), (497, 0.00), (498, 0.00), (499, 0.00), (500, 0.00), (501, 0.00), (502, 0.00), (504,
0.00), (505, 0.00), (506, 0.00), (507, 0.00), (508, 0.00), (509, 0.00), (510, 0.00), (511, 0.00), (512, 0.00), (513, 0.00), (515, 0.00), (516,
0.00), (517, 0.00), (518, 0.00), (519, 0.00), (520, 0.00), (521, 0.00), (522, 0.00), (523, 0.00), (524, 0.00), (526, 0.00), (527, 0.00), (528,
0.00), (529, 0.00), (530, 0.00), (531, 0.00), (532, 0.00), (533, 0.00), (534, 0.00), (535, 0.00), (537, 0.00), (538, 0.00), (539, 0.00), (540,
0.00), (541, 0.00), (542, 0.00), (543, 0.00), (544, 0.00), (545, 0.00), (547, 0.00), (548, 0.00), (549, 0.00), (550, 0.00), (551, 0.00), (552,
0.00), (553, 0.00), (554, 0.00), (555, 0.00), (556, 0.00), (558, 0.00), (559, 0.00), (560, 0.00), (561, 0.00), (562, 0.00), (563, 0.00), (564,
0.00), (565, 0.00), (566, 0.00), (567, 0.00), (569, 0.00), (570, 0.00), (571, 0.00), (572, 0.00), (573, 0.00), (574, 0.00), (575, 0.00), (576,
0.00), (577, 0.00), (578, 0.00), (580, 0.00), (581, 0.00), (582, 0.00), (583, 0.00), (584, 0.00), (585, 0.00), (586, 0.00), (587, 0.00), (588,
0.00), (589, 0.00), (591, 0.00), (592, 0.00), (593, 0.00), (594, 0.00), (595, 0.00), (596, 0.00), (597, 0.00), (598, 0.00), (599, 0.00), (601,
0.00), (602, 0.00), (603, 0.00), (604, 0.00), (605, 0.00), (606, 0.00), (607, 0.00), (608, 0.00), (609, 0.00), (610, 0.00), (612, 0.00), (613,
0.00), (614, 0.00), (615, 0.00), (616, 0.00), (617, 0.00), (618, 0.00), (619, 0.00), (620, 0.00), (621, 0.00), (623, 0.00), (624, 0.00), (625,
0.00), (626, 0.00), (627, 0.00), (628, 0.00), (629, 0.00), (630, 0.00), (631, 0.00), (632, 0.00), (634, 0.00), (635, 0.00), (636, 0.00), (637,
0.00), (638, 0.00), (639, 0.00), (640, 0.00), (641, 0.00), (642, 0.00), (643, 0.00), (645, 0.00), (646, 0.00), (647, 0.00), (648, 0.00), (649,
0.00), (650, 0.00), (651, 0.00), (652, 0.00), (653, 0.00), (654, 0.00), (656, 0.00), (657, 0.00), (658, 0.00), (659, 0.00), (660, 0.00)
Stream_mm = GRAPH(Stream_mm)
(0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100,
0.00)
148

Lampiran 20 Data debit sungai Cisangkuy stasiun Kamasan tahun 2001-2012

Sungai.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2001
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2001
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.40(+0.10) M ; Q = 107.76 M3/DET ; TGL 21-10-2001
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.20(+0.10) M ; Q = 3.681 M3/DET ; TGL 03-07-2001

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2001 :


149

ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.00(+0.03) M ; Q = 166.06 M3/DET ; TGL 10-04-1999


ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 7.753 ( H - 0.660 )^1.669
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2000 S/D TAHUN 2001

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 12.3 26.3 13.6 30.7 21.8 14.1 4.28 4.9 5.23 10.4 39.7 35.1
2 9.37 25.5 12 28 23 13.4 4.28 5.12 5.23 25.1 52.3 43
3 14.2 23.4 10.7 28.2 45 13.4 4.69 5.01 6.62 14.6 40.9 32.5
4 33 23.6 9.93 36.7 24 13.9 7.37 15.1 10.8 12.2 46.1 34.8
5 28.9 25.5 10.1 34.6 22 14.2 7.88 8.54 5.45 8.82 51 39.2
6 25.7 23.4 9.79 32.3 19.9 11.6 7.12 7.24 11.6 13 67 30.2
7 39.4 32.5 11.6 38.2 16.8 13 6.75 7.12 9.23 21.1 47.4 22.8
8 30.7 54 10.2 62.7 15.6 17.7 5.57 6.38 6.03 18.2 51.2 22.4
9 37 45 11.3 36.7 15.8 17.2 5.8 18.8 5.57 13.8 39.2 24.9
10 30.7 34.1 22.6 47.7 19.2 19.2 6.87 21.1 5.23 12.5 37.5 19.2
11 22.2 31.4 23 54 18.4 18.6 5.91 13.4 6.03 9.93 33.2 23.8
12 23 30 17.7 67.3 15.1 16.5 5.45 7.62 5.8 11.6 30.5 16.8
13 19.2 28.7 14.2 51 13.9 17.3 5.68 6.62 5.8 11 23.8 17.7
14 22.8 25.9 12.8 42.7 17.2 16.6 6.62 6.5 5.12 19.9 38.7 18.4
15 19.7 25.3 11.9 43.7 28 19.2 5.01 6.75 5.91 21.6 33.7 20.7
150

16 22.2 22.2 11.7 40.9 23.6 13.4 7.24 6.03 5.01 23.4 33.9 21.5
17 14.4 22.8 16.1 39.7 16.5 14.1 6.03 7.12 4.9 22.6 33.9 21.6
18 14.1 21.3 18.2 35.3 13 9.93 8.54 6.87 5.57 20.1 45.6 25.9
19 14.7 20.1 21.1 32.3 13 10.7 17.2 7.12 7.24 22.8 47.7 15.1
20 15.3 16.8 20.3 28 10.7 8.54 8.14 6.03 5.23 23.2 56 12.6
21 13.8 16.6 19.7 25.1 21.5 6.87 16.8 6.5 5.91 42.5 52.3 12
22 14.1 15.4 22.2 24.2 61 6.87 7.24 5.68 6.26 45 49 13.4
23 18.6 14.9 23.6 23.8 21.3 7.24 6.26 5.01 5.34 32 50.7 13
24 20.1 13 21.8 22.6 25.1 6.03 7.37 5.57 5.8 28 52.3 11.4
25 15.4 13.4 26.5 46.6 19.2 7.24 6.87 5.91 6.62 23.8 59.5 13
26 19 23.6 37.7 60.7 21.5 6.26 7.24 5.68 5.68 25.5 63.9 21.1
27 15.1 10.2 40.2 38.4 16.1 5.45 6.87 6.62 5.57 29.6 53.2 24
28 33.4 11 41.7 27.6 15.9 5.01 7.24 6.26 6.14 22 52.9 16.3
29 55.2 37.7 23.8 15.6 4.38 6.62 5.23 6.75 25.7 54.3 16.1
30 32.3 32.7 24 15.1 4.48 5.57 6.14 6.62 22.8 39.9 14.1
31 27.8 34.4 14.7 5.57 5.68 23.6 16.5
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 23.02 24.15 20.23 37.6 20.62 11.75 7.1 7.67 6.28 21.17 45.91 21.58
ALIRAN KM2
(L/DET) 111.2 116.7 97.7 181.6 99.6 56.7 34.3 37 30.3 102.3 221.8 104.3
TG. ALIRAN
(MM) 297.9 282.2 261.8 470.8 266.9 147.1 91.9 99.2 78.6 274 574.9 279.3
METER KUBIK
(10^6) 61.7 58.4 54.2 97.4 55.2 30.4 19 20.5 16.3 56.7 119 57.8
--------
------------ -------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
151

DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 20.6 M3/DET; ALIRAN KM2: 99.5 L/DET; TG. ALIRAN: 3124.3 MM; METER KUBIK:
646.7x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2002
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2002
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.75(+0.22) M ; Q = 90.91 M3/DET ; TGL 11-03-2002
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.20(+0.07) M ; Q = 1.384 M3/DET ; TGL 26-10-2002

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2002 :


152

ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.00(+0.03) M ; Q = 166.06 M3/DET ; TGL 10-04-1999


ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 2.314 ( H - 0.500 )^1.966
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2000 S/D TAHUN 2002

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 6.12 25.5 11.4 19.8 10.6 4.8 2.79 3.15 2.69 2.6 2.89 2.36
2 8.52 26.7 10.6 29.2 11.3 5.62 2.79 2.89 2.41 2.45 2.55 2.09
3 6.95 22.4 7.76 24.9 10.6 6.8 2.99 2.64 2.79 2.5 2.55 2.79
4 6.8 19 8.86 22.5 10.6 5.97 2.89 2.79 2.41 2.41 2.45 3.31
5 5.83 17.5 7.51 22.6 10 4.42 2.94 2.79 2.5 2.45 2.5 5.83
6 6.27 15 8.01 19.8 10.4 4.42 2.89 3.05 2.84 2.6 2.45 3.37
7 12.7 14.5 7.27 20.3 9.86 4.67 2.84 2.69 3.05 2.55 2.45 2.89
8 7.84 12.9 7.84 20.6 10.9 3.99 2.74 2.89 2.74 2.79 2.36 8.17
9 9.49 13.4 8.01 18.6 10 4.05 2.84 2.6 2.5 2.64 2.36 7.51
10 7.43 12.5 7.84 18 12.5 3.88 2.79 2.45 2.84 2.36 2.22 6.88
11 10 12 24.9 18.5 10.8 3.76 2.69 2.74 2.45 2.69 2.5 5.27
12 13.4 12.8 43 15.3 10.5 3.48 2.55 2.64 2.41 2.41 2.22 3.99
13 7.92 18.5 26.7 18.1 9.04 3.59 2.55 2.5 2.6 2.41 2.27 3.99
14 8.26 15.3 18 14.1 6.95 3.7 2.74 2.55 2.36 2.41 2.45 5.41
15 6.12 13.9 25.2 19.9 7.76 3.48 2.74 2.79 2.74 2.45 2.36 7.51
153

16 6.34 13.2 16.9 15.5 8.17 3.65 3.37 2.5 2.55 2.31 2.31 5.69
17 6.12 11 19.7 18.5 9.13 3.48 4.42 2.6 2.5 2.55 2.41 3.7
18 17.2 10.5 23.5 18.3 6.57 3.53 4.93 2.5 2.64 2.64 2.45 3.99
19 30 9.67 29.7 24.6 6.8 3.53 4.67 2.74 2.41 2.69 2.89 6.49
20 29.8 17.8 21.1 43.7 5 3.53 3.31 2.89 2.5 2.99 2.31 3.48
21 28.4 14.2 18.9 40.5 5.76 3.37 2.74 2.74 2.31 6.49 2.45 2.69
22 29 11.2 20.1 27.5 5.9 3.53 2.89 2.5 2.45 4.42 2.41 2.84
23 26.9 17.8 14.1 23.9 5.41 3.99 2.94 2.64 2.45 4.11 2.18 5.69
24 31.1 15.1 22.9 20.5 5.2 3.53 3.2 2.89 2.55 3.37 2.55 4.11
25 28.6 11.2 17.6 19.7 4.67 3.53 2.69 2.99 2.6 2.84 3.82 7.84
26 39.1 11.7 13.7 15.7 5.48 3.2 2.64 2.74 2.5 2.14 2.36 18
27 39.1 9.49 20.2 13.8 4.17 3.31 2.69 2.55 2.99 1.84 2.31 7.67
28 35.5 10.5 28.1 12.2 4.11 3.37 2.79 2.64 2.55 2.55 2.36 4.36
29 22.6 23.6 12.3 4.17 3.31 2.94 2.64 2.6 2.6 2.6 5.27
30 25.1 21 10.4 5 3.2 2.89 2.45 2.6 2.94 2.36 10.7
31 24.1 19.8 5.76 2.69 2.64 2.5 7.59
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 17.5 14.83 17.87 20.65 7.85 3.96 3.02 2.7 2.58 2.8 2.48 5.53
ALIRAN KM2
(L/DET) 84.5 71.7 86.3 99.8 37.9 19.1 14.6 13.1 12.5 13.5 12 26.7
TG. ALIRAN
(MM) 226.4 173.3 231.2 258.6 101.6 49.5 39.1 35 32.3 36.2 31 71.6
METER KUBIK
(10^6) 46.9 35.9 47.8 53.5 21 10.3 8.09 7.24 6.7 7.49 6.42 14.8
--------
------------ -------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
154

DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 8.48 M3/DET; ALIRAN KM2: 41.0 L/DET; TG. ALIRAN: 1285.8 MM; METER KUBIK: 266.2x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2003
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107o49 BT – 065o94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2003
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.85(-0.04) M ; Q = 97.80 M3/DET ; TGL 06-10-2003
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.30(-0.03) M ; Q = 0.261 M3/DET ; TGL 08-09-2003

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2003 :


155

ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.75(+0.26) M ; Q = 213.34 M3/DET ; TGL 11-03-2002


ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 3.859 ( H - 1.000 )^2.058
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2002 S/D TAHUN 2003

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 5.81 6.94 11.9 13.7 4.44 1.26 0.78 0.58 0.5 0.42 6.31 9.64
2 2.08 2.9 11 11.8 5.33 0.78 1 0.53 0.53 0.53 5.33 9.13
3 2.76 9.76 7.38 11.1 2.56 1.4 0.78 0.5 0.47 0.56 3.7 7.16
4 1.96 7.38 4.52 8.89 2.9 1.13 0.78 0.47 0.42 4.61 1.96 5.42
5 1.21 9.76 9.01 10.8 2.56 1.04 0.75 0.5 0.37 0.85 2.76 7.27
6 1.26 5.91 9.13 8.06 1.69 0.89 0.62 0.47 0.58 13.5 3.11 3.47
7 1.21 9.26 10.5 5.14 1.96 0.75 0.78 0.56 0.35 11.2 4.02 2.9
8 2.13 4.96 10 1.26 1.64 0.93 0.56 0.53 0.3 4.52 3.18 1.85
9 1.13 6.62 6.52 1.21 1.44 1.26 0.53 0.47 0.3 4.35 2.5 7.71
10 1.26 4.1 12.8 1.49 2.08 0.89 0.5 0.53 0.3 2.63 2.19 14.1
11 1.75 3.7 16.9 5.91 1.69 0.75 0.53 0.58 0.3 1.09 2.13 13.2
12 1.8 3.7 10.5 2.9 2.02 0.78 0.58 0.53 0.35 0.93 3.4 12.4
13 1.26 4.27 8.65 1.44 4.96 0.75 0.56 0.5 0.42 0.47 2.19 13.2
14 1.69 6.11 8.53 25 1.96 0.93 0.58 0.5 0.45 2.02 2.02 11.9
15 1.3 4.1 7.71 5.81 2.31 0.75 0.53 0.42 0.37 2.08 2.13 9.01
156

16 0.89 10.2 9.89 4.87 3.25 0.78 0.5 0.5 6.01 5.42 2.97 11.4
17 1.21 25.4 16.9 3.18 2.13 0.68 0.53 0.42 3.4 12.8 5.71 7.83
18 1.26 20.9 11.5 2.76 2.31 0.75 0.5 0.68 3.04 43.1 17.9 11.9
19 1 16.9 10.5 2.44 1.59 0.78 0.56 0.53 2.9 20.7 8.41 11.9
20 0.93 13.2 11.5 2.97 3.7 0.75 0.56 0.47 1.44 9.26 9.26 10.2
21 1 17.8 11.9 2.76 1.26 0.82 0.58 0.53 0.78 6.11 9.26 11.5
22 3.62 11.5 10.8 2.56 2.19 0.68 0.53 0.56 0.75 2.63 7.49 11.8
23 2.9 9.76 8.29 2.44 1.91 0.93 0.53 0.56 0.56 2.9 2.38 12.5
24 1.17 9.26 10.5 2.44 1.4 0.82 0.71 0.5 0.47 1.91 1.91 13.1
25 1.44 7.71 9.76 2.19 1.85 0.89 0.62 0.47 0.42 1.59 3.55 10.2
26 2.7 8.65 10.8 2.13 1.85 1 0.62 0.39 0.47 1.49 3.47 -
27 2.83 6.83 8.65 3.11 1.96 1.26 0.56 0.5 0.5 2.44 8.77 -
28 1.21 9.13 9.13 4.02 1.59 1.26 0.53 0.42 0.62 1.8 2.13 -
29 30.5 9.76 10.2 1.64 1.17 0.62 0.5 0.5 9.38 3.94 -
30 8.53 12.6 27.1 1.85 0.96 0.5 0.47 0.47 8.06 1.49 -
31 7.71 11.9 1.75 0.53 0.42 4.52 -
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 3.15 9.17 10.31 6.32 2.32 0.93 0.61 0.5 0.94 5.93 4.52 32.26
ALIRAN KM2
(L/DET) 15.2 44.3 49.8 30.5 11.2 4.47 2.93 2.43 4.56 28.7 21.8 155.84
TG. ALIRAN
(MM) 40.7 107.1 133.5 79.2 30 11.6 7.85 6.5 11.8 76.7 56.6 417.39
METER KUBIK
(10^6) 8.43 22.2 27.6 16.4 6.2 2.4 1.62 1.34 2.45 15.9 11.7 86.4
----------------------------------------------------------------------------------------------------
DATA TAHUNAN :
157

RATA-RATA : 1.04 M3/DET; ALIRAN KM2: 5.01 L/DET; TG. ALIRAN: 144.1 MM; METER KUBIK:
29.8x10^6
S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2004
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2004
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.80(+0.02) M ; Q = 162.89 M3/DET ; TGL 25-01-2004
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.60(+0.01) M ; Q = 1.873 M3/DET ; TGL 02-11-2004

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2004 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.00(+0.03) M ; Q = 166.06 M3/DET ; TGL 10-04-1999
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
158

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 7.446 ( H - 1.110 )^1.991
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2002 S/D TAHUN 2004

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 18.7 31.4 45.8 33.9 14.8 10.5 4.54 5.02 27 5.51 2.97 13.1
2 18.5 32.3 51.1 25.6 16.5 7.9 4.66 3.87 30.2 6.87 2.69 6.44
3 14.3 36.1 68.1 22.4 51.8 7.45 3.66 3.77 7.3 5.26 3.46 4.31
4 18.7 30.5 50.3 21.2 51.8 8.84 4.42 4.09 6.04 6.44 3.46 3.16
5 25.6 29 49.5 18.7 44.3 7.45 4.2 4.31 8.84 5.02 3.26 4.89
6 20.9 22.9 44 15 28.7 8.84 5.26 3.56 5.64 4.09 3.56 2.97
7 14.6 20.9 38.4 15.6 42.2 5.9 4.2 3.66 5.51 3.66 3.87 3.35
8 21.7 26.7 42.9 19.7 21.4 7.3 3.66 4.54 5.02 3.87 5.02 5.14
9 20.2 26.2 41.2 30.8 45.1 7.3 4.2 3.77 4.89 3.98 4.78 14.6
10 30.2 25.1 30.5 55.4 48 6.72 4.31 4.54 4.66 3.66 5.02 5.77
11 19.9 21.7 33.6 27 28.4 6.44 4.2 4.09 4.31 3.87 5.02 20.7
12 17.6 22.9 30.5 25.1 26.7 7.01 45.8 3.87 4.09 3.46 4.42 33.2
13 18.3 19.5 58.2 18.7 21.4 7.75 13.5 3.35 4.66 3.06 3.66 43.3
14 19.9 20.9 58.2 29.6 23.7 10.5 6.58 3.35 4.09 3.06 3.46 49.5
15 16.7 21.7 62.5 18.3 19.5 6.44 8.21 4.09 7.45 3.66 3.26 34.5
16 19 19.9 71.3 21.9 16.5 6.04 7.45 3.87 5.51 2.78 3.56 20.4
17 16.5 22.7 65.9 17.8 16 5.9 12 3.98 9 4.09 5.02 8.84
159

18 17.4 17.6 54.6 27 18.7 6.04 12.9 3.77 5.51 3.77 3.46 16
19 17.8 40.5 49.5 20.2 18.7 6.72 14.6 3.46 4.66 3.56 3.26 36.4
20 24.5 22.9 49.1 17.4 19.9 5.26 16.5 3.87 4.66 3.98 2.97 25.1
21 43.3 22.4 45.8 62 20.9 5.39 10.7 4.42 5.77 5.51 13.1 37.8
22 55.8 36.1 42.2 56.2 17.6 5.64 9 3.56 4.66 5.26 30.5 31.4
23 50.3 32.9 41.2 25.1 22.2 5.26 9.17 3.77 10.4 3.56 16.7 44
24 51.1 31.4 34.5 32.6 16.7 4.31 4.54 3.26 5.14 3.77 9.33 42.2
25 68.1 35.1 32.9 23.7 14.8 4.2 4.78 3.35 4.09 3.06 4.2 31.4
26 89.2 25.6 32 30.2 13.3 4.31 4.54 3.56 4.66 3.98 5.39 36.4
27 63.3 35.1 33.6 28.7 23.7 4.66 4.66 3.66 12.7 3.98 4.2 34.5
28 56.2 26.2 38.4 19 19.9 4.31 3.77 3.26 4.66 4.66 3.35 29.3
29 40.5 37.1 53.8 18.3 16 4.09 4.2 3.56 7.3 4.42 8.21 27.3
30 45.4 36.8 19 15.4 3.66 4.2 3.35 5.26 2.88 9.84 25.1
31 36.8 41.8 12.7 3.66 3.26 3.46 33.2
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 31.97 27.36 46.07 26.54 24.76 6.41 8 3.8 7.46 4.13 6.03 23.36
ALIRAN KM2
(L/DET) 154.4 132.2 222.6 128.2 119.6 30.9 38.7 18.4 36 20 29.1 112.9
TG. ALIRAN
(MM) 413.6 331.2 596.1 332.3 320.4 80.2 103.5 49.2 93.4 53.5 75.5 302.3
METER KUBIK
(10^6) 85.6 68.6 123.4 68.8 66.3 16.6 21.4 10.2 19.3 11.1 15.6 62.6
--------
------------ -------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 18.0 M3/DET; ALIRAN KM2: 86.9 L/DET; TG. ALIRAN: 2751.2 MM; METER KUBIK: 569.5x10^6
160

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2005
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2005
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.70(+0.00) M ; Q = 99.05 M3/DET ; TGL 31-03-2005
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.60(+0.00) M ; Q = 1.265 M3/DET ; TGL 28-10-2005

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2005 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.30( +.00) M ; Q = 164.00 M3/DET ; TGL 01-11-1998
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
161

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 3.402 ( H - 1.000 )^1.937
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2002 S/D TAHUN 2005

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 16.6 16.6 17.5 40 10.9 13.9 9.19 5.83 2.48 2.96 4.69 4.31
2 20.1 16.1 19.6 22.8 13 21.7 8.66 4.24 2.66 2.48 4.09 4.69
3 13.4 12 19 28.6 10.9 19.8 8.25 2.9 2.48 2.32 6.35 3.14
4 12.8 13.3 16.4 31.8 13.3 11.4 8.46 3.54 2.6 2.37 7.56 3.6
5 17.8 15.7 26.2 31 13 9.19 7.95 7.95 2.6 2.43 6.26 4.31
6 16.1 13 26.2 31 16.8 7.27 7.75 7.95 2.26 2.37 5.49 3.4
7 12.4 10.1 38.5 30.4 15 8.46 7.95 6.89 3.21 2.37 4.84 6.8
8 15.7 11.2 28.6 24.5 16.6 5.24 9.19 6.53 3.88 2.48 5 19.9
9 14.7 14.7 18.5 33 11.2 18.2 9.08 4.69 2.37 2.54 5.49 25.3
10 14.3 17.1 23.6 28.6 17.5 10.3 17.4 5.32 3.21 2.32 4.84 23.3
11 14.7 18.5 29.1 30.4 12.2 8.15 10.9 2.9 3.6 1.95 4.69 13
12 12.2 21.7 21.2 27.3 12.4 8.87 9.51 3.4 3.02 2.43 3.27 9.19
13 11.6 24.5 28.6 25.5 15.4 17.1 10.4 2.6 3.6 2.26 3.21 6.71
14 11.4 21.2 25.3 30.4 10.9 15.3 8.25 2.6 3.21 2.9 2.9 7.75
15 13.7 24 22.8 21.2 25 5.83 8.25 2.48 3.21 3.27 3.21 9.84
16 9.51 17.1 26.8 21.2 25.5 9.29 8.46 2.43 2.32 3.14 3.14 8.66
17 11.4 21.7 23.8 16.1 12.2 6.08 8.05 2.66 2.66 2.77 3.21 15.3
162

18 12 14.7 26.8 31.4 10.3 6.99 10.3 2.43 2.6 3.88 3.08 13.7
19 12.8 10.9 23.6 35 12.2 7.66 8.97 2.66 3.27 3.47 8.77 11.6
20 20.9 26.8 23.8 27.3 12.8 6.26 8.15 2.54 3.95 2.96 5.41 10.7
21 21.2 26.8 26.8 33 14.6 6.71 7.66 2.6 3.4 3.4 6.8 7.56
22 24.8 30.4 22 24.5 15 4.09 7.08 2.66 2.66 3.74 6.26 8.15
23 38.5 26.2 33.8 20.5 11.6 6.08 5.83 2.37 2.37 14.1 5.91 11.7
24 12.2 31 42.2 27.3 14.3 6.35 5.83 2.15 2.6 4.09 3.74 16.4
25 12.7 29.1 26.2 30.4 13.3 8.15 5.41 2.54 2.9 3.74 3.95 15.3
26 18.5 37 27.3 16.1 11.2 14.6 5.66 2.66 2.66 6.71 4.31 14.7
27 14.3 27.3 26.8 18.5 8.46 15.3 5.08 2.48 2.66 1.8 3.02 10.6
28 15.4 21.2 30.4 16.1 14.3 10.3 5.32 2.54 2.66 1.39 2.9 15.7
29 14.3 20.9 14.3 16.6 8.25 6 2.6 3.27 1.8 15.8 11
30 16.6 31.8 13 18.5 8.46 5.83 2.37 2.43 1.66 10.9 13.3
31 17.5 54.1 10.4 4.46 2.37 1.71 11.6
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 15.81 20.35 26.71 26.04 14.04 10.17 8.04 3.54 2.89 3.15 5.3 11
ALIRAN KM2
(L/DET) 76.4 98.3 129 125.8 67.8 49.1 38.8 17.1 14 15.2 25.6 53.1
TG. ALIRAN
(MM) 204.6 237.8 345.6 326.1 181.6 127.4 104 45.8 36.2 40.8 66.4 142.3
METER KUBIK
(10^6) 42.3 49.2 71.5 67.5 37.6 26.4 21.5 9.49 7.5 8.45 13.7 29.5
--------
------------ -------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 12.3 M3/DET; ALIRAN KM2: 59.2 L/DET; TG. ALIRAN: 1858.6 MM; METER
163

KUBIK: 384.7x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2006
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2006
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.00(-0.10) M ; Q = 139.17 M3/DET ; TGL 25-12-2006
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 1.80(+0.00) M ; Q = 0.384 M3/DET ; TGL 19-08-2006

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2006 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.00(-0.10) M ; Q = 139.17 M3/DET ; TGL 25-12-2006
164

ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 1.657 ( H - 1.200 )^2.863
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2005 S/D TAHUN 2006

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 5.29 9.2 13.9 5.19 12.4 3.29 1.39 0.76 0.73 0.81 1.11 1.35
2 5.6 8.5 19.1 4.9 15 13.1 1.26 0.91 0.65 0.84 1.35 1.8
3 5.5 7.7 13.7 4.34 11.5 6.36 1.39 0.91 0.7 0.78 1.01 11
4 4.52 7.7 11.2 5.7 10.3 4 0.94 0.78 0.65 0.78 0.84 15.6
5 4.61 13.1 10.3 3.67 8.63 3.14 0.84 0.73 0.73 0.94 1.35 4.34
6 10.3 9.95 10.3 3.51 8.92 4.8 0.62 0.94 0.73 0.78 0.91 8.92
7 5.09 9.95 8.92 2.86 8.63 3.91 1.04 0.81 0.78 0.76 1.08 6.83
8 13.5 12.4 8.78 2.29 7.96 3.44 1.15 0.78 0.73 0.84 1.19 5.29
9 13.5 42.3 12.6 2.12 10.3 2.86 0.73 0.78 0.7 0.88 1.8 6.59
10 32.2 16.9 11.9 8.92 7.7 2.73 0.88 0.84 0.7 0.81 0.97 11
11 28.5 28.5 6.36 18 9.2 2.29 0.81 0.81 0.76 0.73 1.15 4.52
12 12.9 30.9 6.14 7.57 8.5 2.23 0.76 0.73 0.73 0.76 1.15 3.29
13 12.1 16.5 6.36 23.6 7.7 1.96 0.76 0.67 0.76 0.78 0.91 6.36
14 10.4 22.1 7.83 18.9 7.07 1.66 0.91 0.67 0.73 0.78 0.88 3.21
15 19.4 14.8 16.5 17.8 7.32 1.47 0.73 0.73 0.91 0.94 1.01 2.86
16 18.7 28.8 5.6 8.5 6.25 1.43 0.76 0.6 0.81 1.01 0.81 2.73
165

17 19.6 27 4.99 7.83 6.25 1.85 0.81 0.73 0.91 0.84 0.67 8.78
18 9.35 12.6 5.5 4.61 5.7 1.15 1.8 0.76 0.78 0.81 0.78 4.25
19 5.6 8.22 4.34 25.3 4 1.23 1.23 0.65 1.11 0.91 1.01 2.18
20 4.43 21.6 7.32 29.7 6.59 1.01 0.88 0.73 0.81 0.76 0.91 3.67
21 4.08 17.5 15 13.1 8.63 1.04 0.73 0.65 0.81 0.91 0.67 2.12
22 11.9 20.6 5.7 27 9.2 1.71 0.84 0.73 0.76 0.84 0.94 9.64
23 12.2 18.2 5.19 14.8 6.25 1.04 1.08 0.76 0.76 0.76 0.78 19.6
24 9.49 17.5 5.09 30.3 6.71 1.35 0.94 0.73 0.91 0.84 0.78 33.2
25 7.83 30 4.99 51.9 3.91 1.47 0.84 0.78 0.81 1.3 0.76 47.6
26 7.7 43.5 6.48 25.8 2.86 1.19 0.84 0.78 0.78 0.88 0.78 30
27 11.5 25.8 4.34 19.8 2.6 1.39 0.78 0.7 0.91 1.23 0.91 19.4
28 11 15.4 5.81 16.3 4.61 1.19 0.81 0.81 0.81 2.18 1.23 18
29 9.2 3.51 14.6 7.96 1.11 0.78 0.7 0.73 1.85 1.35 16.9
30 8.09 3.36 14.4 6.14 0.73 0.7 0.67 0.76 0.88 1.66 16.7
31 9.2 3.07 3.67 0.78 0.76 0.73 16.9
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 11.07 19.18 8.19 14.45 7.5 2.54 0.93 0.75 0.78 0.93 1.02 11.12
ALIRAN KM2
(L/DET) 53.5 92.7 39.6 69.8 36.2 12.3 4.49 3.64 3.77 4.51 4.95 53.7
TG. ALIRAN
(MM) 143.3 224.2 106 180.9 97 31.8 12 9.76 9.77 12.1 12.8 143.9
METER KUBIK
(10^6) 29.7 46.4 21.9 37.4 20.1 6.58 2.49 2.02 2.02 2.5 2.65 29.8
--------
------------ -------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
166

RATA-RATA : 6.54 M3/DET; ALIRAN KM2: 31.6 L/DET; TG. ALIRAN: 983.5 MM; METER KUBIK:
203.6x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2007
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2007
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.65(-0.05) M ; Q = 151.11 M3/DET ; TGL 12-03-2007
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 2.10(-0.03) M ; Q = 1.057 M3/DET ; TGL 14-01-2007

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2007 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 5.00(+0.03) M ; Q = 166.06 M3/DET ; TGL 10-04-1999
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
167

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 1.544 ( H - 1.200 )^2.718
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2006 S/D TAHUN 2007

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 8.34 5.63 10.6 8.46 23.7 7.98 3.71 2.42 2 2.26 6.85 6.85
2 6.33 17.2 12.4 12.8 27.6 9.48 3.85 2.53 1.95 2.26 4.73 16.7
3 5.54 11.9 12.1 10.6 21.8 7.29 3.28 2.42 2.31 2.37 7.07 24.9
4 4.24 12.4 9.75 24.9 18.8 7.18 3.08 2.42 2.15 2.21 5.17 14.5
5 3.08 20.9 8.1 16.7 28.2 11.9 2.96 2.37 2.15 2.15 4.73 13.8
6 2.53 12.1 7.75 13.3 20.3 8.96 3.08 2.42 2.05 2.21 19.9 16.7
7 2.05 6.64 10.3 17.6 15.7 7.07 7.86 2.42 2.05 2.21 13.7 20.1
8 2.31 5.08 11.2 22.5 12.5 6.43 4.4 2.42 2.15 2.42 14.7 17.6
9 2.05 4.91 7.86 19 10.7 5.92 3.56 2.31 2 7.51 36.4 26.1
10 1.72 3.63 7.98 13.2 8.84 6.02 3.28 2.21 2.1 2.89 69.1 26.1
11 1.67 3.93 7.18 25.1 9.48 5.08 2.89 2.21 2.15 2.37 26.1 23.2
12 1.54 4.4 28.9 18 13.2 4.48 3.02 2.26 2.05 2.31 12.2 14.3
13 1.54 6.12 39 17.2 9.22 4.08 2.71 2.15 2.05 2.48 11.8 38.3
14 1.34 17.2 12.2 26.3 9.62 3.93 2.96 2.21 2 2.37 18.4 35.2
15 1.38 17.2 9.75 20.7 9.48 4 2.71 2.26 2.05 2.31 24.6 18
16 1.38 11.3 13.8 17.1 10.9 3.22 2.77 2.26 2.15 2.21 30.3 18.2
17 1.5 20.5 15.2 14 12.2 3.49 2.71 2.26 2.21 2.26 26.1 16.3
168

18 2.15 11.3 25.8 23.7 22.3 6.96 2.65 2.15 2.1 2.15 11.4 14.7
19 2.53 30 23.4 29.5 14.2 16.1 2.71 2.21 2.1 2.31 9.22 11.8
20 2.05 36.1 20.3 37.1 11 11.2 2.71 2.15 2.15 2.37 12.2 12.4
21 1.72 25.4 15.7 22.3 10.3 8.1 2.59 2.21 2.21 2.71 8.46 9.88
22 10.4 17.2 13 25.8 8.1 5.73 2.77 2.21 2.1 2.15 6.53 10.7
23 4 14.9 12.8 28.9 7.18 4.4 2.53 2.42 2.26 2.48 5.54 10.6
24 3.85 12.8 11.4 25.8 6.96 4 2.59 2.26 2.15 2.31 5.83 8.22
25 3.42 21.4 8.34 27.1 5.63 3.71 2.53 2.21 3.15 3.02 4.32 8.96
26 2.89 17.2 8.22 29.8 6.12 3.56 2.37 2.21 2.26 2.48 4.48 13.5
27 3.08 14 7.75 45.1 5.83 3.49 2.53 2.21 2.15 2.37 6.64 9.88
28 2.65 12.8 8.34 67.3 6.02 3.56 2.53 2.26 2.05 2.37 12.2 8.71
29 4.99 10.9 48 5.63 4.08 2.37 2.15 5.92 13.3 7.18 8.34
30 14.3 12.5 27.1 5.83 3.49 2.48 2.15 3.42 18.4 6.22 8.46
31 3.85 8.84 6.53 2.42 2.15 10.2 8.46
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 3.57 14.09 13.27 24.5 12.38 6.16 3.05 2.27 2.32 3.66 14.4 15.85
ALIRAN KM2
(L/DET) 17.2 68 64.1 118.4 59.8 29.8 14.7 11 11.2 17.7 69.6 76.6
TG. ALIRAN
(MM) 46.1 164.6 171.7 306.8 160.2 77.2 39.5 29.4 29.1 47.3 180.4 205.1
METER KUBIK
(10^6) 9.55 34.1 35.6 63.5 33.2 16 8.18 6.09 6.01 9.8 37.3 42.5
--------
------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 9.63 M3/DET; ALIRAN KM2: 46.5 L/DET; TG. ALIRAN: 1457.5 MM; METER KUBIK:
169

301.7x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2008
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2008
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.85(+0.00) M ; Q = 170.89 M3/DET ; TGL 15-03-2008
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 2.40(+0.00) M ; Q = 2.534 M3/DET ; TGL 09-09-2008

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2008 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.85(+0.00) M ; Q = 170.89 M3/DET ; TGL 15-03-2008
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
170

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 1.544 ( H - 1.200 )^2.718
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 2006 S/D TAHUN 2007

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 10.2 13.5 6.85 27.4 11.8 5.73 3.71 3.49 3.63 3.49 4.82 17.1
2 10.4 9.09 8.1 39 10.2 5.54 3.49 3.28 3.15 3.15 6.43 15.4
3 9.48 7.86 6.53 25.8 10.3 5.45 3.49 3.28 2.83 2.83 16.5 12.2
4 19 7.29 15.7 18.6 9.48 6.85 3.35 3.15 2.96 3.02 10.2 32.6
5 15.2 6.53 11.3 23.9 9.35 5.54 3.63 3.15 2.83 2.96 9.22 25.6
6 11.6 6.02 18.6 33.7 9.09 5.08 3.22 3.15 3.02 3.02 7.29 17.2
7 8.84 6.02 13.7 55.3 9.22 5.35 3.22 3.22 3.02 3.02 6.33 14.3
8 8.59 7.18 16.9 46.1 8.22 5.83 3.28 3.28 2.89 4.65 6.74 12.5
9 7.63 6.85 35.5 22.1 10.7 4.99 3.28 3.42 2.77 3.28 8.84 13.8
10 6.85 6.12 29.2 30.6 8.46 4.73 3.08 3.15 3.02 3.28 20.9 11.6
11 6.74 6.02 33.4 19.2 8.96 5.83 3.22 3.35 2.89 3.02 11.4 12.1
12 6.33 5.63 39.3 31.4 7.63 5.17 3.49 3.42 2.89 2.96 8.96 10
13 5.73 5.63 28.4 23.4 7.07 5.17 3.15 4.82 3.02 2.89 10.6 8.84
14 6.53 5.83 34.3 32.6 6.96 5.26 3.28 3.35 2.89 2.96 11.8 9.48
15 7.29 7.07 59.4 18.6 6.74 5.08 3.22 3.15 2.96 2.77 8.96 39.6
16 6.74 6.53 87.7 15.6 6.33 4.65 3.08 3.22 2.89 3.02 15.4 40.6
17 5.54 6.53 68.2 14.2 6.12 4.48 3.02 3.15 2.83 2.96 24.4 22.3
171

18 4.82 7.4 49.4 16.7 5.73 4 3.28 2.96 2.89 2.71 15.7 17.2
19 4.4 7.51 54.5 29.2 5.63 4.32 3.56 3.08 2.89 2.71 13.2 16.3
20 4.91 6.22 66.4 20.3 7.4 4 3.08 2.96 2.89 2.77 13.5 14.9
21 4.48 6.74 46.5 17.8 7.51 3.85 3.22 3.02 2.89 2.96 19.5 11.8
22 4.16 6.53 47.6 16.3 7.98 4.08 3.02 3.02 2.89 2.71 14.5 12.1
23 4.48 6.53 37.4 17.4 6.22 3.78 3.22 2.89 2.83 3.35 11.3 20.3
24 4.56 6.53 29.2 14.9 6.85 3.63 3.22 2.83 3.49 2.83 26.1 23
25 4.4 6.22 26.6 13.5 6.22 3.63 3.22 3.42 2.65 3.28 16.1 16.1
26 4.56 8.84 22.5 13.5 5.73 3.49 3.28 3.85 2.89 2.96 27.9 13.3
27 7.4 8.59 19.7 12.7 5.54 3.56 3.02 3.28 3.71 3.63 19.9 12.8
28 6.43 7.75 18.2 12.4 9.48 4.82 2.96 2.96 3.28 3.08 13.7 11.4
29 7.4 7.98 17.8 10.9 7.98 3.85 3.08 2.96 3.35 38.7 12.1 11
30 15.4 19.7 13.3 6.33 3.63 3.15 4.24 3.15 5.26 12.7 9.62
31 12.4 25.8 6.22 3.15 4.24 4 9.22
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 7.82 7.12 32.08 22.88 7.79 4.71 3.25 3.31 3.01 4.33 13.49 16.59
ALIRAN KM2
(L/DET) 37.8 34.4 155 110.5 37.6 22.8 15.7 16 14.5 20.9 65.2 80.1
TG. ALIRAN
(MM) 101.2 86.2 415.1 286.5 100.8 59 42 42.9 37.7 56 168.9 214.7
METER KUBIK
(10^6) 21 17.8 85.9 59.3 20.9 12.2 8.7 8.88 7.81 11.6 35 44.4
--------
------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 10.5 M3/DET; ALIRAN KM2: 50.9 L/DET; TG. ALIRAN: 1611.0 MM; METER KUBIK:
172

333.5x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2009
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI
DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2009
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.50(+0.00) M ; Q = 109.42 M3/DET ; TGL 10-05-2009
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 2.50(+0.00) M ; Q = 14.305 M3/DET ; TGL 04-08-2009

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2009 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 6.85(+0.00) M ; Q = 170.89 M3/DET ; TGL 15-03-2008
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
173

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 1.775 ( H + 0.100 )^2.184
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 1997 S/D TAHUN 2000

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
1 9.09 12.1 30 37.3 15 15.4 21.5 18.4 16.4 15.9 15.8 20.4
2 9.22 21.6 26.3 42.5 14.7 14 22.1 17.8 15.8 16.2 15.9 28.1
3 7.75 20.5 19.7 41.6 12.1 20.1 20.6 17.5 16.6 16.8 16.4 21.9
4 7.29 53.3 17.6 39.3 12.1 15.2 20.6 16.6 16.6 17.9 16.7 20.6
5 6.22 27.9 18.6 42.5 11.4 17.2 22.1 17.8 16.8 29.1 16.7 19.6
6 5.45 27.6 18.8 44.2 10.9 14.9 20 17.8 16.2 24.9 18.4 19.7
7 5.54 25.4 21.4 42.9 22.5 14 21 17.2 15.4 20.7 16.4 18.6
8 5.45 21.4 20.3 40.1 11.6 14 20.6 18.2 15.2 24.1 16.6 19
9 9.48 23.7 24.1 38.1 12.5 14.7 19.3 17.8 15.4 20.3 16.2 19.7
10 8.46 22.7 21.4 34.1 38.3 12.7 19.1 16.2 15.3 20.7 26.5 20.6
11 7.29 25.4 19 33.3 41.3 11.6 18.6 16.2 15.4 20.3 32.4 19.3
12 8.34 15.9 17.4 32.6 24.9 10.4 19.3 16.6 16 20.7 29.1 19.8
13 6.96 24.6 22.3 36.3 17.2 13.3 19.3 16.4 15.4 22.2 21 17.2
14 12.8 23 18.8 33.9 19.2 12.8 18.6 16.2 16.4 21.8 21.5 18.4
15 8.46 21.6 21.2 37.3 17.1 12.2 18.8 17.2 15.9 20.7 19.6 17.1
16 6.85 21.2 16.5 32.4 16.5 10.6 17.8 15.9 18.6 20.3 20.3 16.8
17 8.22 34 14.5 32.4 16.1 10.9 18.2 16.2 16.4 20.3 36.1 16.3
174

18 8.84 27.4 12.8 30.2 20.1 12.1 18.6 16.4 15.4 20.7 41.2 16.3
19 10 21.8 12.1 29.1 21.2 10.9 17.8 15.9 16.4 18.4 36.7 16.6
20 14.5 20.1 11.6 37.7 18 11.2 17.2 15.8 15.4 19.3 28.6 15.8
21 7.98 17.8 17.4 31.3 17.2 8.84 17.9 15.9 15.3 15.5 34.1 15.8
22 7.63 39 22.1 31.1 16.3 7.98 18.6 16.2 15.4 19.1 35.3 16.2
23 6.12 41.3 25.1 33.3 16.5 7.63 18.4 15.8 15.8 19.6 27.4 16.3
24 6.64 46.1 17.1 34.3 13 8.84 19.6 15.5 16.2 18.2 23.8 16.2
25 9.48 40.9 22.1 33.1 14 8.84 19.6 15.8 17.1 17.1 21.5 26.5
26 11.3 34 23 31.1 13.2 8.46 19.6 16.2 16.7 17.1 25.7 19.6
27 8.46 46.1 31.1 32 12.5 9.09 18.8 15.9 16.8 17.8 21.5 21.3
28 8.46 41.6 51.3 30 11.6 6.64 18.8 15.8 15.7 17.8 21.8 21.6
29 14.9 48 29.7 12.1 7.4 18.4 16.2 15.7 17.2 18.8 18.3
30 11.3 30.6 28.6 14.2 8.46 17.5 15.8 17.9 16.4 20.9 24.4
31 11.3 35.5 17.1 17.9 15.5 15.9 21.6
---------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- -------
Rata-rata 8.7 28.5 22.83 35.07 17.1 11.67 19.22 16.53 16.12 19.44 23.75 19.33
ALIRAN KM2
(L/DET) 42 137.7 110.3 169.4 82.6 56.4 92.8 79.8 77.9 93.9 114.7 93.4
TG. ALIRAN
(MM) 112.6 333.1 295.4 439.2 221.3 146.2 248.6 213.8 201.8 251.6 297.4 250.2
METER KUBIK
(10^6) 23.3 68.9 61.2 90.9 45.8 30.3 51.5 44.3 41.8 52.1 61.6 51.8
--------
------------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- --
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA : 19.9 M3/DET; ALIRAN KM2: 95.9 L/DET; TG. ALIRAN: 3011.2 MM; METER KUBIK:
175

623.3x10^6

S.CISANGKUY-KAMASAN
NO. POS DUGA AIR : 02-016-03-01
TAHUN : 2010
INDUK SUNGAI : CITARUM

LETAK GEOGRAFI : - 107ø49 BT - 065ø94 LS


LUAS DAERAH PENGALIRAN : 207.0 KM2 ;ELEVASI :
LOKASI : PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI
BANDUNG MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN
SAMPAI DI JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN : 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN : TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2010
JENIS ALAT : PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR : M.A. = 8.23(+0.00) M ; Q = 181.62 M3/DET ; TGL 18-02-2010
ALIRAN TERKECIL : M.A. = 2.82(+0.00) M ; Q = 18.432 M3/DET ; TGL 06-01-2010

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2010 :


ALIRAN TERBESAR : M.A. = 8.23(+0.00) M ; Q = 181.62 M3/DET ; TGL 18-02-2010
ALIRAN TERKECIL : M.A. = .30( +.00) M ; Q = .16 M3/DET ; TGL 7-11-1997
176

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG DEBIT : Q = 1.780 ( H + 0.099 )^2.182
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 1997 S/D TAHUN 2000

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


-------
------------ - ------- ------- ------- ------- -------- ------ ------- ------- ------- ------- ----------
. . . .
Tanggal JAN . PEB . MAR APR MEI JUN. JUL AGU . SEP . OKT . NOP . DES.
-------
------------ - ------- ------- ------- ------- -------- ------ ------- ------- ------- ------- ----------
1 20.3 41.2 48.6 44.5 35.6 37.1 28.9 24.7 44 38.3 34.7 72.5
2 22.7 37.6 43.4 39.3 32.6 35.7 28.2 24.2 36.2 34.7 36.2 64.4
3 22.5 33.7 39.9 40.1 40.3 34.3 28.2 23 32.9 34.3 34.5 75.5
4 26.4 38.7 39.7 38.7 44.9 32.6 30.4 24.1 32.2 35.1 38.7 66.9
5 19.6 39.9 37.3 38.1 37 31.3 30 26.9 31.8 33.7 34.1 81.5
6 19.7 59.6 36.7 39.7 33.7 38.7 32.6 23.6 62.8 32 40.1 71.4
7 22.2 43.8 37.1 47.4 33.5 41.8 31.8 24.9 48.5 31.3 42.5 70
8 21.7 51.1 38.9 40.1 58.8 38.7 27 24.1 52.1 31.3 39.7 76.9
9 21.4 46.2 43.6 37.7 40.3 39.7 37.6 24.1 51.4 30 39.7 75.8
10 23.4 40.8 40.8 35.7 36.8 37.3 27.4 24.4 44.4 28.2 36.6 68.3
11 21.4 49 50 37.1 38.9 42.3 26.4 23.3 46.7 28.2 37.6 63.6
12 21.4 47.8 44.2 35.7 44 32.6 26.5 26.5 52.1 26.7 35.6 57
13 21.9 51.4 38.7 42.5 36.2 39.1 26.2 26 52.3 30.9 34.9 51.8
14 20.6 47.4 37.9 36.7 39.7 41 25.4 24.4 44.4 31.1 35.2 47.4
177

15 21 76.9 41 36.7 39.1 30.2 26.9 24.1 41.4 30.5 34.7 46.9
16 19.7 72.8 43.4 35.7 46.2 33.1 25.2 23.6 40.5 33.1 38.9 45.1
17 21.1 63.3 57.3 35.5 42.7 36.7 23.4 28.6 55.3 30.9 40.3 41.4
18 19.1 84.9 51.6 36.1 39.3 36.5 23.8 26.9 46.5 30.4 32 42.9
19 19.8 82.1 52.6 33.1 41.8 37.7 28.2 27.9 41 30.7 38 39.1
20 20.7 65.8 84.7 32.4 50.2 37.3 29.1 30 40.3 36.2 34.5 41.2
21 19 54.5 60.5 33.1 44.7 30.7 28.2 33.9 46.9 41.4 37.4 42
22 25.4 50.9 52.4 40.1 44.2 30 26.5 33.9 42.2 46.2 39.7 46.2
23 33.1 45.3 53.6 39.1 42.2 29.7 24.9 31.8 43.6 37.6 34.9 49.5
24 34.3 50.9 60.5 37.9 41.8 30.9 24.2 29.1 48.1 38 45.1 49.5
25 41.2 43.1 47.6 36.9 38 29.3 24.9 28.1 44 40.3 43.3 42.5
26 35.2 39.1 43.1 32.4 39.3 28.4 24.7 37.2 45.6 33.1 42.7 43.3
27 31.8 41.6 48.3 31.3 37.6 30 24.4 41.4 45.3 33.5 49 42.2
28 32.4 41.6 49.7 33 36.8 32.4 24.9 29.1 43.1 38.5 46.7 42
29 41.2 44.2 35.7 39.5 30.6 26.2 26 38.7 35.4 58.1 39.7
30 38 49.3 34.3 37.6 28.8 24.9 29.5 36.2 35.4 57.8 37.8
31 47.1 45.6 37.2 26 27 36.8 37
-------
------------ - ------- ------- ------- ------- -------- ------ ------- ------- ------- ------- ----------
Rata-rata 25.98 51.47 47.16 37.2 40.35 34.47 27.19 27.49 44.35 34 39.77 53.91
ALIRAN KM2
(L/DET) 125.5 248.6 227.8 179.7 194.9 166.5 131.4 132.8 214.3 164.2 192.1 260.4
TG. ALIRAN
(MM) 336.2 601.5 610.2 465.9 522.1 431.6 351.9 355.7 555.4 439.9 498 697.6
METER KUBIK
178

(10^6) 69.6 124.5 126.3 96.4 108.1 89.3 72.8 73.6 115 91.1 103.1 144.4
-------
------------ - ------- ------- ------- ------- -------- ------ ------- ------- ------- ------- ----------
DATA
TAHUNAN :
KM2: 86.5 DET; N: METER UBIK:
RATA-RATA : 38.6 M3/DET; ALIRAN 1 L/ TG. ALIRA 5865 .9 MM; K 1 214.2x10^6

Nama Sungai CISANGKUY


Nama Tempat KAMASAN
NO. POS DUGA
AIR 02-016-03-01
INDUK SUNGAI CITARUM
TAHUN 2011

LETAK GEOGRAFI - 107°49 BT - 065°94 LS


LUAS DAERAH
PENGALIRAN 207.0 KM2 KM2
ELEVASI PDA
PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI BANDUNG
LOKASI MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI DI
JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
179

TAHUN DIDIRIKAN 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN


PERIODE PENCATATAN TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2011
JENIS ALAT PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN
EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR M.A. = 6.05(+0.00) M ; Q = 81.00 M3/DET ; TGL 01-05-2011
ALIRAN
TERKECIL M.A. = 0.13(+0.00) M ; Q = 0.056 M3/DET ; TGL 22-10-2011

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2011 :


ALIRAN TERBESAR M.A. = 21.00(+0.00) M ; Q = 997.75 M3/DET ; TGL 02-11-2011
ALIRAN
TERKECIL M.A. = 0.13(+0.00) M ; Q = 0.056 M3/DET ; TGL 22-10-2011

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG
DEBIT : Q = 2.089 ( H + 0.038 )^2.025
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 1997 S/D TAHUN 2000

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


_______________________________________________________________________________________________________________
________
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
_______________________________________________________________________________________________________________
________
1 29 28.4 27.9 30.3 59 31.5 13.8 0.28 0.39 0.41 1.6 1.07
180

2 32.2 30.3 25.5 28.4 54.1 31.7 27 0.29 0.17 0.25 0.95 1.64
3 33.7 32.3 26.4 28.2 53.4 29.8 19.8 0.28 0.36 0.36 4.12 1.39
4 33 31.7 27.8 29 50.6 30.3 13.8 0.26 0.17 0.25 1.36 1.36
5 31.3 32.8 29.2 30 53 30 8.83 0.26 0.13 0.25 0.87 1.13
6 32.5 31.2 29.7 32.3 46.1 29 5 3.94 0.13 0.28 1.04 0.84
7 32.2 32.3 29.4 29.5 43.7 27.9 8.83 0.25 0.12 0.47 1.16 0.9
8 31.3 32 28.6 30.5 45.1 27.1 8.14 0.22 0.13 0.69 5.13 0.71
9 30.8 28.9 29.4 30.5 41 27.9 6.78 0.23 0.29 0.55 4.06 0.64
10 31.3 27.3 28.4 30.5 39.1 28.2 5.89 0.25 0.32 0.39 2.12 1.96
11 29.4 27.1 27.6 31 34.9 27.5 4.48 0.23 0.32 0.59 1.72 1.04
12 28.6 26.7 33.7 29.5 33 28.6 4.12 0.55 0.28 0.36 1.36 0.92
13 28.4 27.3 30.2 27.5 33.7 26.8 2.34 0.43 0.36 0.32 1.39 2.21
14 28.1 26.7 29.5 27.8 33 27.6 1.72 0.45 0.28 0.23 1.72 1.88
15 27.5 28.9 28.4 28.1 34.4 25.9 0.62 0.43 0.62 0.1 1.83 4.67
16 26.8 27.9 27.3 27.8 43.1 25.8 0.49 0.41 0.34 0.09 1.07 2.39
17 26.7 28.2 27.3 28.1 40.8 25.5 0.53 0.43 0.38 0.16 1.36 2.3
18 26.7 26.4 26.8 32.7 38.9 25.8 0.59 0.49 0.38 0.18 1.43 1.92
19 26.4 25.8 24.6 33.9 37.6 25.5 0.43 0.39 0.38 0.13 1.8 2.17
20 28.7 25.9 25.9 35.6 43.3 26.2 0.45 0.36 0.79 0.08 1.43 1.83
21 26.7 26.2 26.1 33.7 39.6 26.4 0.45 0.32 0.55 0.13 1.53 1.32
22 27.5 26.2 24.7 38 35.1 26.7 0.62 0.41 0.49 0.06 2.52 1.13
23 27.1 25.5 25.5 40 39.1 24.3 1.26 0.41 0.51 0.31 1.53 0.9
24 27.6 25 26.4 39.5 34.9 23.6 0.69 0.22 0.43 0.2 1.76 1.39
25 28.6 25.3 35.1 36.9 35.1 23.3 0.59 0.19 0.43 0.28 1.22 6.03
26 27.5 24.7 30.7 54.1 32.7 22.3 0.55 0.18 0.43 0.29 0.98 2.76
27 27.5 26.4 32.3 59.7 33.5 23 0.64 0.17 0.34 0.29 1.13 2.43
181

28 27.8 26.4 36.3 45.9 32 27.5 0.49 0.17 0.43 0.32 1.6 2.48

29 26.5 33 44.7 30.5 28.1 0.62 0.17 0.22 0.28 1.57 2.17
30 26.8 35.6 43.3 31 41.4 0.31 0.19 0.14 0.32 1.07 2.17
31 26.4 31.5 29.4 0.29 0.41 0.25 2.3
_______________________________________________________________________________________________________________
________
Rata-rata 28.85 27.99 29.05 34.56 39.7 27.5 4.52 0.43 0.34 0.29 1.75 1.87
ALIRAN KM2
(L/DET) 139.4 135.2 140.3 167 191.8 132.8 21.8 2.07 1.66 1.38 8.44 9.04
TG. ALIRAN
(MM) 373.3 327.2 375.9 432.8 513.7 344.3 58.5 5.54 4.3 3.7 21.9 24.2
METER KUBIK
(10^6) 77.3 67.7 77.8 89.6 106.3 71.3 12.1 1.15 0.89 0.77 4.53 5.01
_______________________________________________________________________________________________________________
________
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA (M3/DET) 16.4
ALIRAN/KM2 (LT/DET) 79.2
TINGGI ALIRAN ( MM ) 2485.2
VOLUME x 10^6 ( M3 ) 514

Nama Sungai CISANGKUY


Nama Tempat KAMASAN
NO. POS DUGA
AIR 02-016-03-01
INDUK SUNGAI CITARUM
182

TAHUN 2012

LETAK GEOGRAFI - 107°49 BT - 065°94 LS


LUAS DAERAH
PENGALIRAN 207.0 KM2 KM2
ELEVASI PDA
PROP. JAWA BARAT KAB. BANDUNG KEC. BANJARAN KAMP. KAMASAN DARI BANDUNG
LOKASI MENUJU
JURUSAN BANJARAN, SAMPAI DI KAMPUNG KAMASAN, BELOK KANAN SAMPAI DI
JEMBATAN
SUNGAI CISANGKUY POS BERADA DISEBELAH KIRI ALIRAN.
KETERANGAN POS DUGA AIR :
TAHUN DIDIRIKAN 00/04/1997 PROYEK KALIBRASI BANGUNAN PEN
PERIODE PENCATATAN TANGGAL 00/04/1997 SAMPAI DENGAN 31/12/2012
JENIS ALAT PESAWAT OTOMATIK MINGGUAN/PDAB

ALIRAN
EXTRIM :
ALIRAN TERBESAR M.A. = 5.16(+0.00) M ; Q = 63.52 M3/DET ; TGL 08-03-2012
ALIRAN
TERKECIL M.A. = 0.34(+0.00) M ; Q = 0.294 M3/DET ; TGL 08-01-2012

ALIRAN EXTRIM YANG PERNAH TERJADI S/D TAHUN 2012 :


ALIRAN TERBESAR M.A. = 21.00(+0.00) M ; Q = 997.75 M3/DET ; TGL 02-11-2011
ALIRAN
TERKECIL M.A. = 0.13(+0.00) M ; Q = 0.056 M3/DET ; TGL 22-10-2011
183

PENENTUAN BESARNYA ALIRAN :


BERDASARKAN PERSAMAAN LENGKUNG
DEBIT : Q = 1.897 ( H + 0.075 )^2.121
YANG DIBUAT MENURUT DATA HASIL PENGUKURAN DEBIT DARI TAHUN 1997 S/D TAHUN 2000

TABEL BESARNYA ALIRAN HARIAN (M3/DET) :


_______________________________________________________________________________________________________________
________
Tanggal JAN. PEB. MAR. APR. MEI. JUN. JUL. AGU. SEP. OKT. NOP. DES.
_______________________________________________________________________________________________________________
________
1 19.4 18.5 32.1 30.9 34.9 19.3 15.8 14 14.6 18.5 25 32.6
2 24.3 18.2 29.1 27 27.5 19.8 15.9 14.1 14.8 19.2 26.8 31.7
3 19.2 19.3 35.4 32.1 24.7 19.8 15.9 14.2 14.2 23.6 27.5 33.6
4 19.2 18.6 30 30.9 24.4 18.6 17.2 14.1 14.3 22 27.3 32.6
5 24.3 17.3 59.5 28.3 24.3 17.8 16.3 14 14.8 20.5 28.5 31.7
6 21.3 17.8 31.7 34.9 23.9 19.8 16.5 14.1 14.7 19.2 28.8 33.6
7 21.3 17.4 30.5 27.5 23.5 19.2 15.9 14.3 14.6 19.8 29.1 34.7
8 12.7 16.3 63.5 23 21.3 19.2 15.9 14.6 15.3 19.2 28.8 33.6
9 21.3 17.4 39.7 27.1 25.5 18.3 16.5 14.3 13.6 26.5 30.5 37.3
10 19.6 17.2 36.4 30 22.7 17.8 15.5 14 15.5 25.8 32.1 41.3
11 19.8 16.9 36.4 26.3 23.5 17.8 15.7 14.2 16 24.9 37.7 33.6
12 19.2 28.3 33.7 30.2 22 18.1 15.8 14.5 15.7 25 31.6 31.7
13 19.2 15.9 30.9 26.6 20.5 18.8 16.3 14 16.3 23.8 30.5 35.4
14 18.5 24.3 30.9 30 21.3 17.3 16.8 13.8 15.9 23.8 35.8 47.7
15 18.5 17.2 26.1 27.5 26 17.2 17.3 14 16.2 25.8 32.3 35.4
184

16 19.2 16.8 23.5 25.8 20.5 17.3 17 14.3 15.5 25 30.9 47.7
17 22 19.2 25 25.4 30.3 16.7 16.5 14.1 15.8 24.4 28.3 35.4
18 20.5 23.5 23.5 30.3 30 18.1 15.9 14.1 16.3 23.5 28.1 33.6
19 19.2 17.8 22.7 30.9 28.8 17.4 15.2 14.3 15.4 24.6 28.3 35.4
20 19.8 19.8 21.6 30 24.3 16.4 15.2 14.5 16.5 25.5 28.1 33.6
21 17.8 25.8 22.1 32.6 23.5 16.3 15.3 14.2 16.3 23.9 28.3 33.6
22 17.2 20 22.7 33.7 21.4 16.5 15.3 14 16 24.1 30 35.4
23 16.2 22.7 20.8 36.4 22 16.8 15.9 14 15.7 24.7 28.3 47.7
24 16 31 22.4 30 20.5 16.5 15.3 13.9 16.3 24.6 28.1 43.4
25 15.8 25.8 22.7 25.8 20.5 15.9 15 14 16.4 23.9 29 41.3
26 16.5 42.4 24.6 23.2 19.7 16.5 15.2 14.1 16.7 24.1 30 39.3
27 17.2 28.3 24.3 27 19.2 16.8 15 14.8 16.5 23.9 30.9 37.3
28 16.7 34.5 21.6 24.3 18.8 17 15.3 14.5 16.4 24.6 29.1 35.4
29 17.2 47.7 22.7 26 19.2 16.9 14.7 14.6 16.5 24.3 27.5 33.6
30 16.3 22.7 23.9 30 16.9 14.1 14.1 16.8 23.5 26.6 34.5
31 16.5 18.8 20.5 14 14.6 24.6 32.6
_______________________________________________________________________________________________________________
________
Rata-rata 18.76 22.62 29.28 28.58 23.71 17.7 15.75 14.2 15.65 23.45 29.45 36.34
ALIRAN KM2
(L/DET) 90.6 109.3 141.5 138.1 114.6 85.5 76.1 68.6 75.6 113.3 142.3 175.6
TG. ALIRAN
(MM) 242.7 273.8 378.9 357.9 306.8 221.6 203.7 183.7 196 303.4 368.8 470.2
METER KUBIK
(10^6) 50.2 56.7 78.4 74.1 63.5 45.9 42.2 38 40.6 62.8 76.3 97.3
_______________________________________________________________________________________________________________
185

________
DATA TAHUNAN :
RATA-RATA (M3/DET) 23
ALIRAN/KM2 (LT/DET) 110.9
TINGGI ALIRAN ( MM ) : 3507.
VOLUME x 10^6 ( M3 ) : 726
186

Lampiran 21 Pola limpasan sungai Cisangkuy dibandingkan pola Indeks Monsun


dan Indeks SOI (South Oscilation Index)

25
Indeks Monsun
20 Rasio debit
15

10

-5

-10

-15

4
SOI Indeks
3 Rasio Debit Bulanan
2

1
Indeks

-1

-2

-3

-4 Waktu
187

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 24 Maret 1968 di Bandung, dari pasangan Amid
(Alm) dan Wariah (Alm). Sebagai anak ke 7 dari 10 bersaudara dan telah
berkeluarga serta dianugrahi 4 orang putra-putri. Pendidikan Dasar dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di
Bandung 1988. Pada Tahun 1988 penulis melanjutkan pendidikan S-1 Fisika pada
Fakultas MIPA Universtas Padjadjaran di Jatinangor Sumedang dan memperoleh
gelar Sarjana Sains pada tahun 1993. Tahun 1999 penulis menempuh pendidikan
S-2, dan meraih gelar Magister Sains bidang Sains Atmosfer di Institut Teknologi
Bandung. Pada tahun 2010 penulis menempuh pendidikan S-3 dan meraih gelar
Doktor, di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis adalah staf peneliti di
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN. Pada tahun 2004-2005, penulis
mengikuti kegiatan di Centre for Space Science and Technology Education in
Asia and the Pacific (CSSTEAP), India dan Tahun 2012 mengikuti pelatihan di
International Center for Theoretical Physics (ICTP) Abdussalam, Itali.
Artikel berjudul The Relationship Between Monthly Rainfall and Elevation
In the Cisangkuy Watershed Bandung Regency telah diterbitkan secara online
tahun 2014 di International Journal of Latest Research in Science and Technology
ISSN 2278-5299 (online) Volume 3.Issue 2 :page No 55-60, March-April
2014.Artikel lain dengan judul Prakiraan Curah Hujan di Wilayah Situ Cileunca
Kabupaten Bandung Dengan Metode Statistik Non-linear yang diterbit di Journal
of Aerospace Science ISSN 1412-808X Vol.10 No.1 page 48-57 Desember 2012
Terakreditasi LIPI .

Anda mungkin juga menyukai