Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan
pencemaran lingkungan oleh bahan kimia buatan manusia. Di antara polutan-
polutan tersebut, terdapat polutan organik yang disebut organoklorin.
Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat
terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup
lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi
di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam
Soemirat, 2005).
Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus dan
ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai
pestisida, sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama.
Terdapat pula kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi.
Dikarenakan karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang
tinggi dalam lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam jaringan hewan yang
prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang
terlibat dalam rantai makanan. Pestisida jenis ini masih digunakan di negara-
negara berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini dikarenakan
harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan persistensinya. Kebanyakan
negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana pada umumnya
memiliki temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat
membuat perpindahan residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya
berkonstribusi terhadap kontaminasi global.
Proporsi pestisida yang akan mencapai target, seperti hama, ditemukan
tidak lebih dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada
di lingkungan (Karina S.B, Julia E., and Victor J. Moreno, 2002). Penggunaan
Pestisida organoklorin telah mengakibatkan pencemaran terhadap udara, tanah,
dan air. Area persawahan yang menggunakan banyak materi organik akan
mengandung residu pestisida yang tinggi karena tanah yang seperti ini dapat

1
mengabsorbsi senyawa hidrokarbon yang mengandung klor (hidrokarbon
terklorinasi). Faktanya, organoklorin juga telah dilarang di Indonesia, namun
masih banyak petani yang menggunakannya. Telah dibuktikan bahwa
organoklorin masih terkandung dalam tanah di daerah pertanian Pantura Jawa
Barat. Hal ini menandakan organoklorin masih digunakan di daerah tersebut. Jenis
organoklorin yang terdeteksi adalah DDT, Dieldrin, Endrin, dan masih banyak
lagi. Dikarenakan kondisi daerah pertanian di Jawa Barat tidak terlalu berbeda,
maka tanah daerah pertanian di Sub DAS Citarum Hulu diperkirakan mengandung
senyawa organoklorin (Nugraha, 2007).

1.2. Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk menegtahui deskripsi pestisida organoklorin.
1.3.2 Untuk menegtahui toksikologi pestisida organoklorin
1.3.3 Untuk mengetahui mekanisme keracunan pestisida organoklorin.
1.3.4 Untuk menegtahui sasaran organisme dari pestisida organoklorin.
1.3.5 Untuk mengetahui dampak aplikasi pestisida organoklorin terhadap
lingkungan dan kesehatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ORGANOKLORIN
2.1.1 Pengertian
Pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk
mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang
mengerat, nematode, gulma, virus, mikroorganisme lainnya yang dianggap hama
kecuali virus, bakteri atau mikroorganisme lainnya yang terdapat pada manusia
dan hewan. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk
membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang
diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Disamping itu pestisida dalam
budidaya pertanian dapat memperbaiki tampilan produk pertanian. Akan tetapi
disis lain pestisida dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan. Sehingga dapat meningkatkan polutan di lingkungan,
diantara polutan-polutan tersebut terdapat polutan organik yang disebut
organoklorin.
Organokhlorin atau disebut Chlorinated hydrocarbon terdiri dari
beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling
populer dan pertama kali disinthesis adalah Dichloro-diphenyl-trichloroethan
atau disebut DDT. Pestisida Organoklorin atau biasa disebut juga sebagai
hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut dalam
air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan jenis
pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan
pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena
sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negative yang
besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya.
Ciri ciri fisik Klorida substituen memodifikasi sifat fisik senyawa
organik dalam beberapa cara. Mereka biasanya lebih padat daripada air karena
kehadiran atom tinggi klorin. Substituen klorida interaksi antarmolekul
menyebabkan lebih kuat dari hidrogen substituen. Efek ini diilustrasikan oleh tren

3
dalam titik didih: metana(-161,6 c), metil klorida (-24,2 c), diklorometana(40
c), kloroform (61.2 c), dan karbon tetraklorida(76,72 c). Peningkatan interaksi
antarmolekul tersebut diberikan untuk efek kedua van der waals dan polaritas.

2.1.2 Klasifikasi Pestisida Organoklorin


Kelompok Komponen
Cyclodienes Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor, endrin,
Toxaphen, Kepon, Mirex.
Hexachlorocyclohexan Lindane
Derivat Chlorinated-ethan DDT
Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat
terbioakumulasi di alam serta bersifat toksisk terhadap manusia dan makhluk
hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat
tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon
dalam Soemirat, 2005). Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang
bagus dan ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan.
Sebagai pestisida, sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol
hama. Terdapat pula kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi.
Dikarenakan karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang
tinggi dalam lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam jaringan hewan yang
prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang
terlibat dalam rantai makanan. Pestisida jenis ini masih digunakan di negara-
negara berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini dikarenakan
harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan persistensinya. Kebanyakan
negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana pada umumnya
memiliki temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat
membuat perpindahan residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya
berkonstribusi terhadap kontaminasi global. Proporsi pestisida yang akan
mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang
diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di lingkungan (Karina S.B,
Julia E., and Victor J. Moreno, 2002).
Salah satu jenis Pestisida yang umum digunakan di Indonesia adalah
golongan organoklorin (Tarumingkeng, 1992). Kelompok Pestisida organoklorin
mulai diperkenalkan pemerintah pada pertanian sejak awal 1950 (Untung dalam

4
Sudaryanto et al., 2007). DDT digunakan selama program pemberantasan
penyakit malaria sebanyak 2600 ton/tahun selama tahun 1974 1982 khususnya
di Pulau Jawa (UNIDO, 1984). Organoklorin dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
diklorodifenil etan (contoh : DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor),
siklodin (contoh : aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan
sikloheksan benzene terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan). Organoklorin
merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang
sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya yang toksik kronis, persisten dan
bioakumulatif (Zhou et al., 2006). Dalam jangka waktu 40 tahun, organoklorin
masih ditemukan di lingkungan dan biota, dan terdistribusi secara global bahkan
ke daerah terpencil di mana organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et
al., 2007).
Sejak akhir 1990, semua jenis Pestisida organoklorin sudah dilarang
penggunaannya di Indonesia. Namun karena harganya yang murah, mudah
digunakan, dan efektif membasmi hama, maka beberapa jenis organoklorin seperti
DDT masih digunakan di Indonesia, selain karena kurangnya ketegasan peraturan
dan hukum yang berlaku (Sudaryanto et al., 2007).

2.1.3 Toksikologi
Toksikologi adalah studi tentang efek samping bahan kimia yang
menjelaskan tentang hubungan antara dosis dan efek terhadap organisme terkena.
Kriteria utama mengenai racun kimia adalah dosis, yaitu jumlah paparan

5
substansi. Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke
II.
Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate
(TEPP),parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai Pestisida, tetapi juga
cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan
komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia
seperti malathion, tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.
Pestisida dalam kelompok ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon.
Kadang-kadang ada juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur. Organoklorin
mengandung unsur karbon, hidrogen, dan klorin (DDT dan D3 aldrin). Daya
racun terhadap organisme tertentu dinyatakan dalam nilai LD 50 ( Lethal Dose
atau takaran yang mematikan). LD 50 menunjukkan banyaknya racun persatuan
berat organisme yang dapat membunuh 50% dari populasi jenis binatang yang
digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan sebagai berat bahan racun dalam
milligram, perkilogram berat satu ekor binatang uji. Jadi semakin besar daya
racunnya semakin besar dosis pemakainnya.
Senyawa-senyawa OK (organokhlorin, chlorinated hydrocarbons)
sebagian besar menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen selubung sel
syaraf (Schwann cells) sehingga fungsi syaraf terganggu. Peracunan dapat
menyebabkan kematian atau pulih kembali. Kepulihan bukan disebabkan karena
senyawa OK telah keluar dari tubuh tetapi karena disimpan dalam lemak tubuh.
Semua Pestisida OK sukar terurai oleh faktor-faktor lingkungan dan bersifat
persisten, Mereka cenderung menempel pada lemak dan partikel tanah sehingga
dalam tubuh jasad hidup dapat terjadi akumulasi, demikian pula di dalam tanah.
Akibat peracunan biasanya terasa setelah waktu yang lama, terutama bila dose
kematian (lethal dose) telah tercapai. Hal inilah yang menyebabkan sehingga
penggunaan OK pada saat ini semakin berkurang dan dibatasi. Efek lain adalah
biomagnifikasi, yaitu peningkatan peracunan lingkungan yang terjadi karena efek
biomagnifikasi (peningkatan biologis) yaitu peningkatan daya racun suatu zat
terjadi dalam tubuh jasad hidup, karena reaksi hayati tertentu.

6
2.1.4 Dampak Organoklorin Bagi Tubuh
Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. sangat toksik (aldrin, endosulfan, dieldrin)
2. toksik sederhana (Clordane, DDT,lindane, heptaklor)
3. kurang toksik (Benzane hexacloride (BHC))
Keracunan karena senyawa organoklorin seringkali terjadi, pada umunya
keracuan terjadi karena adanya kontak secara langsung dengan racun jenis ini.
Apabila keracunan, pada umumnya racun ini langsung menyerang pada syaraf
pusat yang dapat menyebabkan kejang ataupun bisa menyebabkan koma, sesak
nafas, serta bisa juga berujung pada maut.
Organoklorin masuk ke tubuh korban melalui kulit, bahan racun dapat
memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan
yang larut minyak (polar). Melalui mulut, racun dapat terserap seperti halnya
makanan, langsung masuk peredaran darah. Melalui saluran pernapasan racun
dapat terserap ke dalam sistem tubuh dan dapat langsung mempengaruhi sistem
pernapasan (pengambilan oksigen dan pembuangan CO2). Pengaruh racun dapat
timbul segera setelah masuknya racun (acute toxicity), dalam hal ini racun
tersebut racun akut. Gejala keracunan dapat pula terjadi lambat, setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun dan di bahan racun penyebabnya disebut racun kronis
(chronic toxicity). Racun jenis organokhlorin atau hidrokarboberkhlor seperti
DDT, Chlordan, Lindane dll. merupakan racun kronis yang baru terasa efeknya
setelah bertahun-tahun karena diperlukan waktu yang lama untuk menumpuk
(akumulasi) racun ini dalam lemak tubuh. Sebaliknya, racun akut yang sebagian
besar terdiri dari senyawa-senyawa larut dalam air bekerja sangat cepat tapi tidak
bersifat akumulatif dan mudah tercuci serta terurai menjadi komponen yang tidak
beracun.
RACUN KRONIS
Racun kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang relatif
lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang
terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air,
tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah
menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya. Ada di antara

7
racun ini yang dapat dirombak oleh kondisi tanah tapi hasil rombakan masih juga
merupakan racun. Demikian pula halnya, ada yang dapat terurai di dalam tubuh
manusia atau hewan tapi menghasilkan metabolit yang juga masih beracun.
Seperti racun organoklorin, Dieldrin yang disemprotkan dipermukaan tanah untuk
menghindari serangan rayap tidak akan berubah selama 50 tahun sehingga praktis
tanah tersebut menjadi tercemar untuk berpuluh-puluh tahun. Dieldrin ini bisa
diserap oleh tumbuhan yang tumbuh di tempat ini dan bila rumput ini dimakan
oleh ternak misalnya sapi perah maka dieldrin dapat menumpuk dalam sapi
tersebut yang kemudian dikeluarkan dalam susu perah. Manusia yang minum susu
ini selanjutnya akan menumpuk dieldrin dalam lemak tubuhnya dan kemudian
akan keracunan. Jadi dieldrin yang mencemari lingkungan ini tidak akan hilang
dari lingkungan, mungkin untuk waktu yang sangat lama.
Racun kronis sangat berbahaya bagi lingkungan karena daya
bertahannya (residual effects) yang sangat lama disebabkan sukar terurai sehingga
sekali racun ini digunakan ia akan berada dalam lingkungan untuk waktu yang
sangat lama sampai berpuluh-puluh tahun. Sebagai contoh, Ddt tidak terurai oleh
sinar matahari ataupun sinar ultraviolet. Tekanan uapnya 1.5 x 10 -7 mm Hg --
demikian rendahnya sehingga DDT merupakan racun yang sangat besar efek
residunya. Salah satu sifat buruk DDT dan pestisida-pestisida organokhlorin
lainnya adalah kecenderungannya untuk menempel pada lemak (lipofilik),
sebagaimana telah disinggung di atas. Pestisida golongan organokhlorin dan
senyawa-senyawa heterosiklin yang bersifat racun kronis kuat adalah: DDT,
Rothane, Dilan, Kelthane, gamma BHC, Chlordane, Heptachlor, Aldrin, Endrin,
Toxaphene, Strobane, Kepone dan Mirex. Daya larut bahan-bahan racun ini dalam
air sangat rendah: DDT hanya 0,2 part per billion(ppb).
Struktur Racun DDT yang tergolong senyawa organoklorin
Dosis yang menyebabkan keracunan:
1. 1 gr lindane yang terkonsumsi oleh anak-anak akan menyebabkan kejang.
2. 10-30 gr terkonsumsi pada orang dewasa akan mendatangkan maut.
3. 3-7 gr Aldrin dan klordane dan 2-5 gr dieldrin yang terkonsumsi oleh
anak-anak dan orang dewasa dapat mendatangkan maut.
Ciri-ciri keracunan Organoklorin:

8
1. orang yang terkena racun organoklorin pada awalnya akan mengalami
mual hingga muntah-muntah yang kemudian disusul dengan jeritan-
jeritan, kebingungan, mengalami ketakutan, menggigil, kejang, gangguan
pernafasan, koma dan dimungkinkan untuk meninggal.
2. Organoklorin yang terkonsumsi dalam tubuh akan merusak hati serta buah
pinggang yang memiliki kandungan lemak yang tinggi, hal ini dikarenakan
organoklorin mudah larut dalam minyak yang juga termasuk dalam
golongan lemak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit kanker
pada manusia.
3. Keracunan akut dari organoklorin dapat langsung menyebabkan sesak
nafas, sehingga korban perlu untuk diberikan nafas buatan.

2.1.5 Pertolongan Korban Keracunan Pestisida


Pertolongan pertama pada korban keracunan. Tindakan pada kasus
keracunan bila tidak ada tenaga dokter di tempat adalah sebagai berikut:
1. Tentukan secara global apakah kasus merupakan keracunan
2. Bawa penderita segera ke rumah sakit, terutama bila tidak sadar Sebelum
penderita dibawa kerumah sakit, mungkin ada beberapa hal yang perlu
dilakukan bila terjadi keadaan sebagai berikut:
3. Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera (sebelum dibawa kerumah
sakit) dengan sabun dan air yang banyak. Begitu pula bila kena mata (air
saja). Jangan menggunakan zat pembersih lain selain air.
4. Bila penderita tidak benafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan
buatan sampai dapat bernafas sendiri, sambil dibawa ke rumah sakit
terdekat. Bila tanda-tanda bahwa insektisida merupakan penyebab, tidak
dibenarkan meniup ke dalam mulut penderita.
5. Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan penderita
bila sadar. Memuntahkan dapat dengan merogoh tenggorokan (jangan
sampai melukai).
6. Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet,
diaduk dengan air secukupnya.

9
7. Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa
kasusnya tidak berbahaya.
8. Simpanlah muntahan dan urin (bila dapat ditampung) untuk diserahkan
kepada rumah sakit yang merawatnya.
9. Bila kejang, diperlakukan seperti dibahas di atas.

2.1.6 Aplikasi Pestisida Organoklorin

a. Vinil klorid
Penerapan terbesar adalah organochlorine kimia produksi vinil
klorida, pendahulu PVC. Dengan produksi tahunan pada tahun 1985
sekitar 13 miliar kilogram, hampir semua yang diubah menjadi
polyvinylchloride.

b. Chloromethanes
Kebanyakan berat molekul rendah diklorinasi hidrokarbon seperti
kloroform, diklorometana, dichloroethene, dan trichloroethane berguna
pelarut. Pelarut ini cenderung relatif non-polar; mereka sehingga tidak
bercampur dengan air dan efektif dalam aplikasi seperti membersihkan
degreasing dan dry cleaning. Beberapa miliar kilogram methanes
diklorinasi diproduksi setiap tahun, terutama oleh klorinasi metana:
Yang paling penting adalah diklorometana, yang terutama
digunakan sebagai pelarut. Chloromethane adalah pendahulu untuk
chlorosilanes dan Silikon. Historis signifikan, namun dalam skala yang
lebih kecil adalah kloroform, terutama yang pendahulu
chlorodifluoromethane () dan tetrafluoroethene yang digunakan dalam
pembuatan Teflon.

c. Pestisida
Banyak pestisida mengandung klorin. Contoh terkenal termasuk
DDT, dicofol, heptachlor, endosulfan, Chlordane, aldrin, dieldrin, endrin,
mirex, dan pentachlorophenol. Ini dapat berupa hidrofilik atau hidrofobik
tergantung pada struktur molekul mereka. Banyak dari agen ini telah
dilarang di berbagai negara, misalnya mirex, aldrin.
Poliklorinasi bifenil (PCB) yang umum digunakan sekali insulator
listrik dan agen perpindahan panas. Mereka menggunakan secara umum

10
telah dihapus karena masalah kesehatan. PCB digantikan oleh
polybrominated difenil eter (), yang membawa racun yang serupa dan
bioaccumulation keprihatinan.

2.1.7 Pencemaran Organoklorin


Organoklorin merupakan bahan kimia yang mengandung karbon dan
klorin. Banyak organoklorin yang berbahaya karena mereka tidak rusak
dengan mudah. Ini berarti mereka tinggal di lingkungan dan tubuh kita
untuk waktu yang lama. Mereka dapat terkonsentrasi dalam rantai makanan
sehingga hewan-hewan di bagian atas rantai makanan, seperti manusia, akan
memiliki tingkat tertinggi. Ada 12 organoklorin terdaftar sebagai POP
(bertahan polutan organik).
Organoklorin adalah membentuk uap dan dapat dibawa oleh udara
untuk jarak jauh. Akhirnya, mereka mengembun dan didepositkan di daratan
atau dilarutkan dalam air. Contoh pestisida organoklorin yang sering
digunakan dalam kehidupan;
Aldrin
Dieldrin dicofol
Endosulfan
Endrin chlordane
DDT
Heptaklor
Lindane
Benzane hexacloride (BHC)
Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang
terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang
berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air,
lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi
dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan.
Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sangat toksik : aldrin, endosulfan, dieldrin
2. toksik sederhana : Clordane, DDT,lindane, heptaklor

11
3. kurang toksik : Benzane hexacloride (BHC)
Organoklorin yang telah digunakan termasuk dioxin, poliklorinasi
bifenil (PCB), pentachlorophenol(PCP), dieldrin dan dichloro-diphenil-
trichloroethane(DDT). PCB dan PCP bersifat racun dalam hak mereka
sendiri tetapi keduanya juga mengandung dioksin.
Organoklorin telah digunakan sebagai insektisida seperti domba
dieldrin mencelupkan, PCP telah digunakan dalam merawat kayu, dan
semprotan DDT telah digunakan di lahan pertanian dan di rumah.
Penggunaan pestisida organochlorine dibatasi oleh serangkaian undang-
undang sehingga, pada pertengahan 1970-an, mereka tidak sedang
digunakan dalam pertanian dan hortikultura.
Dioxin adalah organochlorine namun tidak dibuat sebagai adalah
PCB, PCP, dieldrin dan DDT. Hal ini dihasilkan ketika bahan organik
dibakar di hadapan klorin. Pembakaran limbah, klorin pemutihan pulp dan
kertas, dan beberapa proses industri semua dapat menciptakan dioksin
dalam jumlah kecil. Mereka mungkin juga dapat terbentuk dari sumber-
sumber alam seperti kebakaran hutan.
Kebanyakan dioksin melarikan diri ke lingkungan dari emisi udara.
Dioksin dapat tinggal di udara untuk waktu yang lama dan dibawa jarak
yang sangat jauh sebelum menetap di tanah atau air. Jika dioksin pastoral
menetap di tanah, mereka mungkin diambil oleh binatang pemakan rumput
dan hewan yang tersimpan dalam daging dan susu. Dioxin juga dapat
memasukkan sungai kami, danau dan muara di limbah lucutan, di mana
mereka dapat diambil oleh ikan dan kerang. Lebih dari 90 persen terpapar
dioksin kita berasal dari makan daging, produk susu dan ikan. Bayi juga
dapat terpapar dioxin yang telah terkumpul di dalam air susu ibu.
Pencemaran Organoklorin di Laut
Laut mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam, selain
kandungan hayati lautnya, laut juga memiliki kekayaan bahan non-organik
seperti mineral-mineral, minyak bumi dan bahan-bahan tambang lainnya.
Bahan-bahan tersebut terbentuk melalui proses geologi, fisika, kimia dan
biologi yang tidak hanya terjadi di lautan, tetapi juga melibatkan daratan.

12
Misalnya, material letusan gunung berapi yang terjatuh sampai di laut, atau
kikisan material dari darat yang terbawa oleh air sungai. Dengan demikian,
mineral-mineral di lautan memiliki distribusi yang luas.
Terjadinya pencemaran di laut tidak lepas dari masuknya mineral
mineral yang terbawa melaluai run off atau aliran sungai yang membawa
berbagai macam logam berat. Ancaman juga datang dari pencemaran limbah
industri, terutama logam dan senyawa organoklorin. Dua jenis bahan
berbahaya ini mengakibatkan terjadinya akumulasi (penumpukan
kandungan) logam berat padang melalui proses yang disebut magnifikasi
biologis. Persis seperti penumpukan kandungan merkuri yang menimpa
kerang.
Organoklorin Pada Bulu Walet Sarang Putih
Hasil penelitian di Yogjakarta mengenai kandungan organoklorin pada
sampel berupa bulu walet sarang putih menunjukkan bahwa 10% sampel
(n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-
DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0
sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm.
Heptaklor yang terdapat pada bulu walet sarang putih adalah epoxide
heptaklor yang terakumulasi dalam jaringan lemak pada ikan dan burung,
bahkan dapat ditemukan pula pada hati, otot dan telur burung. Selain
heptaklor, pada bulu mengandung pp-DDD (hasil degradasi yang
diturunkan dari dehidroklorinasi biologis dan deklorinasi reduktif DDT)
(Connell & Miller (1995). Senyawa pp-DDD bersifat stabil dan aktif secara
biologis.
Variasi jenis dan jumlah organoklorin pada bulu walet sarang putih
disebabkan karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah
perbedaan daerah jelajah masing-masing walet sarang putih yang ditangkap.
Menurut Mardiastuti et.al., (1998), daerah jelajah walet sarang putih
berkisar antara 25 sampai 40 km. Dengan demikian, semakin jauh daerah
jelajah walet sarang putih maka kemungkinan mengalami kontak dengan
insektisida semakin besar.

13
Kemungkinan kedua adalah perbedaan usia masing-masing walet
sarang putih yang ditangkap. Hal ini terlihat pada variasi ukuran tubuh walet
sarang putih saat pengamatan di lapangan dan variasi berat sampel bulu
walet sarang putih yang ditangkap. Rata-rata ketahanan hidup walet sarang
putih adalah 14 tahun (variasi 10 sampai 20 tahun), sedangkan daya tahan
insektisida organoklorin pada jaringan hewan berkisar antara 3 sampai 5
tahun dan kemudian akan terus mengalami transformasi di dalam jaringan
hewan dalam waktu 5 tahun (Hassal, 1990 ; Connell & Miller, 1995).
Dengan demikian, semakin besar usia walet sarang putih maka
kemungkinan akumulasi insektisida organoklorin dalam tubuhnya semakin
tinggi.
Kandungan pp-DDD pada bulu walet dimungkinkan karena masih
digunakan DDT. Penggunaan DDT dilarang oleh Pemerintah Indonesia
sejak tahun 1973 (Untung, 1993), namun dijelaskan oleh Anonim (2000)
dan Kusno (1994) bahwa DDT masih dianjurkan penggunaannya di sektor
kesehatan hingga tahun 2000 untuk mengendalikan nyamuk malaria. Alasan
larangan tersebut adalah karena sifat persistensinya yang sangat lama di
tanah maupun di jaringan tanaman dan jaringan hewan. Hal tersebut
dijelaskan Untung (1993) bahwa kurun waktu 17 tahun residu DDT dalam
tanah masih 39%.
Selain DDT, sejak tahun 1990 penggunaan heptaklor dilarang oleh
Pemerintah Indonesia (Untung 1993 ; Anonim 2001a), sedangkan oleh
Pemerintah Amerika Serikat heptaklor dilarang sejak tahun 1983 (Peterle,
1991).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran kandungan heptaklor
pada bulu walet sarang putih antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD
antara 0 sampai 0,0929 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 0,5855
mg heptaklor dalam 1 kg bulu walet sarang putih dan 0,0929 mg pp-DDD
dalam 1 kg bulu walet sarang putih.

14
Organoklorin dan Kanker Payudara
Beberapa baris bukti menunjukkan bahwa organoklorin berkontribusi
terhadap kanker payudara di populasi umum. Bukti eksperimental. Ratusan
organoklorin telah terbukti menyebabkan kanker pada hewan laboratorium
dan / atau manusia. Dari ribuan yang belum diuji, setidaknya beberapa
kemungkinan besar akan berubah menjadi karsinogenik.
Setidaknya 16 organoklorin atau kelompok organoklorin telah
ditemukan secara khusus menyebabkan kanker payudara di laboratorium
hewan, walaupun hanya sedikit telah diuji untuk efek ini. Beberapa adalah
pestisida, seperti DDT, aldrin, dieldrin, dan Chlordane-yang telah dibatasi
tetapi tetap Common kontaminan lingkungan hidup dan masih digunakan di
negara-negara lain. Tapi organoklorin lain diidentifikasi sebagai karsinogen
mammae masih umum digunakan, termasuk yang berikut:
Atrazine: salah satu yang paling banyak digunakan herbisida di
Amerika Utara dan Eropa dan kontaminan yang sangat umum air tanah
dan air permukaan;
Vinyl chloride, ethylene dichloride, dan vinyledene klorida: bahan baku
untuk plastik Common polyvinyl chloride (PVC, atau vinil) dan
polyvinylidene klorida (Saran wrap);
Metilena klorida: pelarut yang umum dan cat-penari telanjang;
Dichlorobenzidines, dichloropropane dan Trichloro-propana:
intermediet yang digunakan dalam industri kimia untuk memproduksi
pewarna dan bahan kimia lainnya.
Sebagian besar organoklorin belum diuji untuk membuktikan besar
pengaruhnya terhadap kanker payudara, tetapi kemungkinan bahwa
beberapa di antaranya, khususnya mereka yang secara struktural atau
toxicologically serupa dengan yang sudah diidentifikasi sebagai karsinogen
mammae, ternyata akan menyebabkan efek yang sama.
Mekanisme biologis. Penelitian terbaru perilaku organoklorin dalam
tubuh menunjukkan bagaimana bahan kimia ini dapat berkontribusi
untuk kanker payudara pada manusia. Organoklorin telah terbukti
menimbulkan mutasi genetik, menekan sistem kekebalan tubuh, dan

15
mengganggu kontrol alami tubuh pada pertumbuhan sel dan replikasi.
Beberapa organoklorin yang dikenal sebagai "hormon aktif": mereka
meniru atau sebaliknya mengganggu tindakan alami alami tubuh
hormon seks, termasuk estrogen. Karena estrogen adalah faktor risiko
untuk kanker payudara, zat kimia yang bertindak seperti estrogen juga
cenderung meningkatkan risiko penyakit. Paparan bahan kimia ini
selama masa dewasa dapat menyebabkan estrogen-seperti efek dan
mempromosikan kanker payudara. Dan dalam rahim paparan hormon
bahan kimia aktif seumur hidup dapat menyebabkan perubahan dalam
sistem endokrin yang dapat menyebabkan risiko kanker payudara
bertahun-tahun kemudian.
Kanker payudara pada wanita dengan eksposur yang tinggi. Perempuan
terpapar lebih tinggi dari tingkat normal sintetis kimia-termasuk
organoklorin-telah ditemukan memiliki tingkat tinggi secara signifikan
kanker payudara. Kelompok-kelompok ini termasuk wanita pekerja
industri kimia terpapar dioxin, perempuan yang tinggal di dekat lokasi
limbah berbahaya, wanita ahli kimia, dan perempuan pekerja terkena
diklorinasi dan non-diklorinasi pelarut.
Studi jaringan. Penelitian baru yang penting terhubung organoklorin
risiko kanker payudara di kalangan wanita dari populasi umum-mereka
yang tidak biasa eksposur kimia. Beberapa studi telah menemukan
hubungan antara tingkat organoklorin tertentu dalam darah wanita,
lemak, atau jaringan payudara dan risiko kanker payudara. Perempuan
dengan konsentrasi tertinggi organochlorine tertentu pestisida dalam
tubuh mereka telah ditemukan memiliki risiko kanker payudara 4-10
kali lebih tinggi daripada perempuan dengan tingkat yang lebih rendah.
Jika penelitian masa depan menegaskan bahwa efek dari bahan kimia
ini memang yang kuat, organoklorin akan menjadi di antara yang paling
penting faktor risiko kanker payudara yang pernah diidentifikasi.
Kasus Israel. Di Israel, kebijakan nasional untuk melarang organoklorin
tampaknya telah membantu mengurangi tingkat kanker payudara.
Hingga pertengahan 1970-an, baik tingkat kanker payudara dan tingkat

16
kontaminasi oleh beberapa organochlorine pestisida termasuk di antara
yang paling tinggi di dunia. Setelah tahap yang agresif-program dari
orang-orang kimia, tingkat kontaminasi jatuh ke tingkat yang
ditemukan di negara-negara lain, dan kanker payudara kematian segera
diikuti, jatuh ke tingkat yang sama dengan yang di negara-negara lain.
Penurunan ini, yang disebarkan di seluruh kelompok usia dalam "dosis-
respons" pola, adalah terutama penting, mengingat peningkatan pesat
kanker payudara yang terjadi di negara-negara lain selama periode yang
sama. Selanjutnya, semua makanan dan faktor risiko reproduksi di
Israel benar-benar semakin memburuk selama periode yang
bersangkutan.
Terkait efek pada orang dan satwa liar. Bukti yang muncul menyangkut
kontaminasi organochlorine global dalam array efek kesehatan lain di
antara manusia dan satwa liar. Saat ini tingkat kontaminan dalam
kisaran di mana gangguan hormonal dan efek lain diketahui terjadi.
Paparan senyawa ini telah dikaitkan dengan ketidaksuburan, kegagalan
reproduksi, gangguan perkembangan, penekanan kekebalan tubuh, dan
kemungkinan kanker lainnya kanker testis-terutama-di kalangan
mamalia laut, spesies lain ikan dan satwa liar, dan manusia. Jika tingkat
lingkungan organoklorin yang cukup tinggi untuk menyebabkan efek
ini, adalah masuk akal bahwa mereka juga cukup tinggi menyebabkan
kanker payudara.
Kecenderungan di tingkat insiden kanker payudara konsisten dengan
meningkatnya kontaminasi oleh organoklorin. Negara-negara industri,
dengan lebih parah polusi, juga cenderung memiliki kanker payudara
lebih tinggi daripada kurang tingkat negara-negara industri.

17
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat
terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup
lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi
di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah. Organoklorin
termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus dan ampuh, namun memiliki
banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai pestisida, sifat
persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama.
Organoklorin mengandung unsur karbon, hidrogen, dan klorin (DDT dan
D3 aldrin). Daya racun terhadap organisme tertentu dinyatakan dalam nilai LD 50
( Lethal Dose atau takaran yang mematikan). LD 50 menunjukkan banyaknya
racun persatuan berat organisme yang dapat membunuh 50% dari populasi jenis
binatang yang digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan sebagai berat
bahan racun dalam milligram, perkilogram berat satu ekor binatang uji. Jadi
semakin besar daya racunnya semakin besar dosis pemakainnya.
Pestisida organoklorin merupakan racun kontak dan racun perut, efektif
untuk mengendalikan larva, nimfa dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan
telur. Mekanisme peracunan organoklorin lainnya adalah dengan terjadinya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas,
gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta
kematian. Apabila organoklorin menginhibisi enzim kholinesterase pada sistem
syaraf pusatreseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer,
hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh.

3.2. SARAN
Mengingat kondisi yang ada saat ini, dimana seringkali kita menemukan
masalah-masalah terhadap penggunaan Organoklorin yang menimbulkan dampak

18
pada kesehatan manusia sampai pada pencemaran lingkungan, maka penulis
menyarankan :
Perlunya kesadaran diri dari masing-masing individu untuk lebih meningkatkan
pengetahuannya akan penggunaan Organoklorin.
Pemerintah harus membatasi dengan tegas produksi serta penggunaan
Organoklorin
Berusaha mengimbangi produksi bahan alami tanpa mengenyampingkannya.

19

Anda mungkin juga menyukai