Anda di halaman 1dari 2

Islam Idiologis Atau Islam Kultural?

(2)
Oleh: Abdurrahman Wahid

Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan
persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri diatur oleh Undang-
Undang Dasar (UUD) yang mengingkari Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti
itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan
hidup masyarakat. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang memilih berkeyakinan Islam di
Indonesia, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya
seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua
negara itu dalam hubungan formal dan non-formal antara mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari
perhatian kita. mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan
pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa
kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, dalam tulisan ini
dicoba untuk menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan. Dengan
cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lampau yang diperbuat,
dalam menyongsong masa depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling
berbeda. Karena sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, pemerintahan dapat
berkembang lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang
sama dan birokrasi yanag tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu
Kota Nanking maupun Beijing. Kedudukan Han Lim sebagai wadah tunggal pendidikan
tenaga administrasi pemerintahan, telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Sementara
APDN (Akademi Pegawai Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita
baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat
menggembirakan. Di Jepang (Universitas Tokyo) dan Perancis (Ecole Superieur) yang
berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

*****

Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing-
masing, satu sebagai negara daratan (land-based country) di Tiongkok dan satu lagi sebagai
negara maritim, sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman
kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang
berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka
perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup
masing-masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di
Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut
antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan
Agung Hanyakra Kusuma dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem
kepegawaiannya.

Namun, pengenalan anthropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep
agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis,
yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan mereka. Umpamannya saja, kita
tunjukkan pada kuatnya akar kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class).
Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama
kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu semenjak lebih dari 2000 tahun
lampau. Kelompok birokrat ini, sanggup bertahan bahkan menghadapi tantangan kaum
pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini.

Sekarangpun, masih belum diketahui bagaimana mereka hilang dalam pemerintahan dan
sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite Militer di lingkungan Partai Komunis
Tiongkok masih sangat besar. Apakah klas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer
tersebut dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.Di negeri kita pun kekuasaan
kaum priyayi dengan nilai-nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja,
dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama
kaum santri) tampak menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan
yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi.
Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau
tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.

*****

Jelaslah, tampak betapa besar perbedaan antara Tiongkok dan Indonesia, serta betapa besar
pula persamaan antara keduanya. Kalau kita proyeksikan bayangan masa depan, sistem-
sistem politik yang dianut kedua negeri itu di masa kini dan masa depan, akan bertambah
nyata persamaan maupun perbedaan antara kedua bangsa tersebut. Bagaimana masing-
masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh
dengan persaingan, adalah pengenalan akan dua buah proses yang sama-sama menarik untuk
dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya diskripsi historis yang dikemukakan oleh kedua
sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh
administrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda).

Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan-catatan historis yang dikenal
oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan
sejarah kedua bangsa. Bahwa perbedaan-perbedaan dari orkestra-kamar (chamber orchestra)
yang memang tidak sama sejarahnya itu adalah hal yang wajar, merupakan sebuah kenyataan
yang tidak dapat dibantah. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran
yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang
wajar pula.

Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan
perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah
kita menjadi sebuah bangsa yang hanya menopang dominasi masa lampau, terlepas sama
sekali dari kontek historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang
tidak dapat menatap masa depan sendiri, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah
perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam, baik sebagai bangsa yang
sama-sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical
developments) yang berbeda?

Anda mungkin juga menyukai