Anda di halaman 1dari 14

BAB II

ISI

2.1 Definisi Depresi


Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya,
serta bunuh diri.3 Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat
disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter
(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan
emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi
emosional saat itu. 3

2.2 Epidemiologi Depresi


Gangguan depresif adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi.
Prevalensi gangguan depresif pada populasi dunia adalah 3-8 % dengan 50% kasus terjadi pada
usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization menyatakan bahwa gangguan
depresif berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Di Indonesia berdasarkan Studi
Proporsi Gangguan Jiwa oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, di 16 kota
selama kurun waktu 1996-2000 menjumpai gangguan disfungsi mental (kecemasan,depresi,
dsb) sebanyak 16,2 %. Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar mengalami
gangguan depresif daripada laki-laki. Gangguan depresif mengenai sekitar 20% wanita dan
12% laki-laki pada suatu waktu dalam kehidupan. Alasan dalam penelitian di negara barat
dikatakan karena masalah hormonal, dampak melahirkan, stressor dan pola perilaku yang
dipelajari. Ada kecenderungan hubungan famili dengan kejadian depresi 8-18% pasien depresi
memiliki sedikitnya satu keluarga dekat (ayah, ibu, kakak atau adik) yang memiliki sejarah
depresi. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah penderita gangguan depresif semakin meningkat
dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia.
Banyak orang mengalami gangguan depresif terkait dengan penggunaan napza dan
alkohol karena napza terdiri dari substansi kimia yang mempengaruhi fungsi otak, terus
menggunakan napza akan membuat zat kimiawi otak mengalami ketidakseimbangan, sehingga
mengganggu proses pikir, perasaan dan perilaku. Pasien depresi juga beresiko terhadap
terjadinya alcoholism, penyalahgunaan obat, kejadian bunuh diri, gangguan kecemasan, dll.

2.3 Etiologi dan Patofisologi Depresi


Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi
faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.

a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-
0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan
mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien
memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
3
berperan dalam patofisiologi depresi. Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah
menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai
gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine,
dan bupropion, menurunkan gejala depresi. 3
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik.
Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan
pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal,
tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti. Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik
kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH. 3 Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti
perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang
merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH. Pada orang lanjut
usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase.
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami
kehilangan secara selektif pada sel sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan
sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks
dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius. Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur
tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak.
Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun
dibandingkan dengan umur 60-an tahun.

b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2
sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada
kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot. Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik
terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan
dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual,
sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.

c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan
3
objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab
gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan
finansial, dan penurunan fungsi kognitif3 Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi
penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan
sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian,
psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial. 3
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan
stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para
klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
3
depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti
kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang
berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi.
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu,
seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai
proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah. 3
Faktor psikodinamika dan psikoanalitik. Berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. 3 Dalam upaya
untuk mengerti depresi, Sigmud Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek
dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan
secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi
mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan
melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan
harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri,
sedangkan orang yang berkabung tidak demikian. 3
Ketidakberdayaan yang dipelajari (Learned helplessness). Dalam percobaan binatang
yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang
akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar
bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan
ketidakberdayaan yang mirip. 3
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif,
pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi.
3
GANGGUAN DEPRESI AKIBAT KONDISI MEDIS UMUM

Berbagai kondisi medis dapat secara langsung menimbulkan depresi. Walaupun demikian,
penderita-penderita yang akan berkembang mengalami syndrome depresi tidak dapat kita
prediksi. Beberapa penyakit mempunyai kecenderungan yang tinge until menimbulkan
depresi (misalnya, 50% atau bahkan lebih penderita stroke mengalami depresi, begitu pula
kanker pankreas dan syndrome Cushing). Penyakit lain data pula menyebabkan depress
secara tidak langsung atau sebagai reaksi terhadap penyakit. Hal ini tidak berarti bahwa
semua kondisi medis umum dapat menimbulkan depresi. Gangguan medik mum yang
cenderung memperlihatkan depresi yaitu :

Tumor : terutama tumor otak dan paru; kanker pankreas (50% memperlihatkan gejala
psikiatri sebelum diagnosis ditegakkan.)

Infeksi : influenza, mononucleosis, syndrome keletihan flu, dan hepatitis

Gangguan Endokrin : penyakit cushing (60% pasien, juga akibat steroid eksogen); hipotiroid
(beberapa ahli menyarankan untuk memeriksa fungsi tiroid pada pasien depresi), gejala yang
berhubungan dengan kadar Ca, diabetes, dan syndrome turner.

Darah : Anemia
Nutrisi dan elektrolit : pellagra, hiponatrium, hypokalemia, hiperkalsemia

Lain - lain : penyakit Parkinson, stroke, trauma kepala, depresi pasca stroke, terutama lobus
frontal, away penyakit hungtington, syndrome prahaid, menopause

GANGGUAN DEPRESI AKIBAT ZAT

Semua obat yang disalahgunakan dan tocsin dapat menimbulkan gangguan mud dengan
berbagai bentuk. Kemungkinan terjadinya gejala mud akibat penggunaan zat serta
keberanekaragaman bentuk gejala yang ditimbulkannya tidak hanya bergantung jenis obat,
tetapi juga dosis, dan duress penggunaan sat, sorta apakah pasien dal am keadaan intoksikasi
atau putus zat, dan juga faktor individual yang ada pada diri pasien.

DEPRESI PASCA STROKE

Depresi pasca-stroke (PSD) merupakan salah satu komplikasi stroke yang ditandai oleh
abnormalitas mood, menyalahkan diri sendiri, kesedihan dan depresi. PSD merupakan factor
utama yang dapat menghambat penyembuhan fungsi neurologi dan aktivitas harian pada
pasien stroke, dan berhubungan dengan mortalitas

Etiology dan patofisiologi

1. Lokasi lesi
Robinson, dkk. Melaporkan stroke hemisfer kiri khususnya di region frontal
kiri dan basal ganglia secara signifikan berhubungan dengan depresi. Tetapi
beberapa studi lain menemukan hubungan lesi hemisfer kanan dengan PSD dan
penelitian lain tidak menemukan hubungan antara lokasi lesi dan resiko PSD. Lesi
frontal kiri dan basal ganglia kiri merupakan tipe lesi tersering pada pasien depresi
mayor.
2. Ukuran infark
Ukuran infark berhubungan dengan timbulnya dan beratnya PSD. Infark luas
menyebabkan kerusakan berat pada area yang memodulasi perilaku emosional dan
perubahan biokimia. Deficit neurologi berat akibat infark luas dapat menjadi factor
psikologis sosial yang berhubungan dengan pathogenesis PSD. Studi PSD di Cina
menunjukan volume infark akut lebih besar pada grup PSD, dan Nys, dkk.
Melaporkan PSD awal secara signifikan berhubungan dengan ukuran lesi.
3. Depresi vaskuler
Lesi silent yang mengganggu jalur kortiko-striato-pallido-talamo-kortikal
menimbulkan gejala depresif. Brodaty dan Santos menyatakan PSD berhubungan
dengan akumulasi patologi vaskuler otak atau lesi pada area kritis ini.
Hipertensi rentan menimbulkan kelainan neurodegenerative melalui
mekanisme stress oksidatif dan menimbulkan gejala depresi melalui perubahan
struktur limbic yang diketahui mengatur emosi dan perilaku. Pada pasien hipertensi
terjadi perubahan dinding pembuluh darah dan gangguan vasodilatasi yang
dimediasi oleh endothelium akibat terbentuknya kolagen sehingga menyebabkan
berkurangnya distensi pembuluh darah., mengakibatkan berkurangnya cerebral
blood flow (CBF) dan reaktivitas serebrovaskuler. Perubahan abnormal CBF
regional pada pasien hipertensi terjadi pada region subkortikal otak, yaitu struktur
limbic dan paralimbik.
4. Neurotransmitter
Perilaku emosional diatur oleh neurotransmitter seperti monoamine dan
disfungsi monoamine dapat menimbulkan berbagai gejala psikiatri termasuk
depresi. Hipostesis ini menjelaskan lokasi lesi pada pathogenesis PSD. Lesi
serebral menyebabkan terputusnya proyeksi ascending dari midbrain dan batang
otak, melewati thalamus dan basal ganglia dan mencapai korteks frontal,
menyebabkan penurunan bioavailabilitas biogenic amin termasuk serotonin (5-
HT), dopamine (DA) dan norepinefrin (NE) sehingga menimbulkan gejala depresi.
5. Disfungsi imun
Depresi terbukti berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi speerti
level interferon gamma, interleukin-1 beta, tumor necrotizing factor alfa dan
penurunan IL-10. Kerusakan jaringan dan kematian sel merupakan jembatan antara
inflamasi dan PSD. Pada model hewan depresi, terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi eperti interleukin 1 beta dan tumor necroting factor alpha di
hipokampus dan striatum yang merupakan area kritis kelainan mood, dan dapat
meningkatkan ukuran infark serta pembentukan edema. Sitokin inflamasi berperan
penting dalam pengaturan kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis,
khususnya pada area rentan seperti hipokampus. Meningkatnya kematian sel akibat
perluasan infark serebri berhubungan dengan gejala depresi.
6. Aktivasi aksis hipotalamik pituitary adrenal (HPA)
Fungsi aksis HPA secara normal adalah untuk merespon stress lingkungan.
Aktivasi aksis HPA setelah stroke berupa peningkatan kadar glukokortikoid seperti
hiperkotisolisme. Glukokortikoid dapat meningkatkan sitokin IL-1 beta dan TNF
alpha yang terbukti berhubungan dengan PSD dan pengaturan fungsinya.
7. Neurogenesis
Hipokampus memegang dalam control mood. Terjadinya penurunan
neurogenesis pada hipokampus berkaitan dengan PSD.

Gangguan Psikiatrik pada Tumor Otak


Tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant) pada otak dapat mempengaruhi
sindrom mental organik yang serius. Tumor ganas atau kanker otak yang bermula pada otak
disebut faktor penyebab primer. Sedangkan kanker otak yang terjadi akibat penyebaran kanker
dari bagian tubuh lainnya disebut faktor penyebab sekunder.2
Tumor otak dan penyakit serebrovaskular dapat menyebabkan hampir semua gejala
atau sindrom psikiatri. Oleh karena itu diperlukan pendekatan diagnosis dengan anamnesis
klinis yang menyeluruh dan pemeriksaan neurologis lengkap.3
Gejala mental dialami pada suatu waktu selama perjalanan penyakit pada kurang lebih
50 persen pasien tumor otak. Pada sekitar 80 persen pasien dengan gejala mental, tumor terletak
di regio frontal atau limbik otak dibanding di regio parietal atau temporal.3
Tumor otak dapat menyebabkan gangguan psikologik, fisik, dan sosial. Yang menjadi
ketakutan utama adalah kematian, ketergantungan, disabilitas, menjadi cacat, gangguan dalam
hubungan interpersonal, gangguan fungsi, dan kekurangan finansial.1
Konsep yang salah mengenai diagnosis tumor otak yang seringkali dihubungkan
dengan kematian memberikan dampak negatif misalnya fobia terhadap tumor otak bagi orang-
orang yang tidak menderita tumor otak; sebaliknya, terjadi mekanisme pertahanan (defense
mechanism) patologik misalnya penyangkalan bagi orang-orang yang sebenarnya memang
mempunyai gejala-gejala tumor otak.1,3
Gangguan psikitarik pada tumor otak dapat berupa defisit kognitif, perubahan
kepribadian, atau gangguan mood seperti ansietas dan depresi. Menurut penelitian, prevalensi
gejala-gejala psikitarik pada pasien dengan tumor lobus temporalis adalah 94%, lobus frontalis
90%, dan infra tentorial 47%. Penelitian lain melaporkan pula bahwa sekitar 51% pasien
dengan tumor otak memperlihatkan gejala-gejala neuropsikiatrik. Sekitar 18% telah
memperlihatkan perubahan perilaku pada manifestasi awal tumor otak. Prevalensi depresi pada
pasien tumor otak meningkat dengan bertambah beratnya penyakit, munculnya nyeri, dan
keletihan. Sekitar 2% kematian akibat kanker disebabkan oleh tumor otak.1,3
Respon stres akut merupakan reaksi pertama terhadap diagnosis tumor otak. Respon ini
bisa sangat berat tetapi keadaan ini biasanya sementara. Respon stres akut biasanya terjadi pada
awal penyakit dan kemudian berlanjut dengan gangguan depresi. Depresi pada kanker sering
tidak terdiagnosis dan tidak diobati karena ada kepercayaan bahwa depresi merupakan reaksi
normal akibat penyakit serius. Walaupun demikian, ada bukti bahwa depresi dapat
mempercepat progresifnya kanker dan mortalitas. Penatalaksanaan yang berfungsi mengurangi
depresi dan ansietas dapat memperpanjang waktu bertahan hidup (survival time). Oleh karena
itu, gejala-gejala depresi pada pasien dengan tumor otak perlu diatasi secara serius.1
Depresi pada orang dengan tumor otak juga terkait dengan tekanan emosional. Tingkat
depresi dapat meningkat dari waktu ke waktu, terutama jika kualitas seseorang hidup
dipengaruhi oleh gejala yang sedang berlangsung, kekambuhan, maupun efek samping
pengobatan. Depresi juga lebih umum terjadi pada orang yang telah mengalami depresi di masa
lalu. Depresi mempengaruhi emosional, kognitif dan keluhan fisik yang bisa menyebabkan
peningkatan kelelahan pada penderita tumor otak, konsentrasi yang menurun, perubahan berat
badan, insomnia, motivasi hidup yang menurun dan keluhan lainnya. Faktor risiko gangguan
depresi pada penderita tumor otak banyak terjadi pada usia muda, pada perempuan, sosial-
ekonomi yang rendah, penyalahgunaan alkohol, riwayat depresi dan bunuh diri, stadium
penyakit yang parah, terapi pengobatan yang kompleks dan ganggaun fungsi tubuh.4
Masalah dalam mengidentifikasi depresi pada orang dengan tumor otak adalah bahwa
gejala yang dialami mungkin karena tumor, pengobatan atau depresi. Hal ini juga berkaitan
dengan gejala psikologis (misalnya perasaan sedih, marah atau bersalah karena menjadi tidak
sehat) dan gejala fisik (misalnya kelelahan, perubahan dalam tidur/nafsu makan).5
Lokasi Tumor1
Tumor Lobus Frontal
Pada awal perjalanan penyakit, tumor lobus frontal sering kali secara klinik tenang.
Setelah tumor membesar, perubahan perilaku seperti disinhibisi, iritabilitas, gangguan daya
nilai, tidak adanya inisiatif (abulia) dapat terlihat. Hemiparese, kejang, afasia, gangguan
berjalan (gait) dapat muncul. Refleks primitif dan gangguan tatapan mata dapat terlihat. Pasien
dengan lesi frontal kiri memperlihatkan akinesia, abulia, dan mood depresi.1
Ventrikel Tiga
Tumor sekitar ventrikel tiga dapat menimbulkan gejala-gejala akibat disfungsi
hipotalamus, disfungsi otonom, dan gangguan memori. Tumor di talamus dapat menyebabkan
perubahan kepribadian dan mood. Gejala vegetatif depresi dikaitkan dengan disfungsi
hipotalamus.1
Korpus Kalosum
Tumor pada korpus kalosum dapat menyebabkan berbagai manifestasi psikiatrik.
Depresi dan gejala-gejala kognitif dapat disebabkan oleh lesi di sepanjang anterior korpus
kalosum.1
Tumor Hipofisis
Tumor hipofisis dinyatakan menyebabkan berbagai simptom neuropsikiatrik seperti
depresi, apati dan paranoia. Gangguan psikiatrik ini terjadi akibat gangguan endokrin.1

Pengaruh Lateralisasi Lesi


Pasien dengan lesi pada hemisfer kiri cenderung untuk depresi. Sedangkan lesi pada
hemisfer kanan memperlihatkan eforia. Frekuensi depresi mayor dan akinesia dikaitkan dengan
lesi di korteks anterior kiri sedangkan lesi di sisi kanan dikaitkan dengan mania.1

Tahapan Psikologik
Ketika seseorang dinyatakan menderita tumor otak, terdapat tahapan-tahapan
psikologik yang terjadi yaitu:1,5
1. Penyangkalan
Terapis harus menyadari kemungkinan adanya penyangkalan pasien terhadap diagnosis
yang dinyatakan dokter. Penyangkalan yang hebat menunjukkan rapuhnya ego.
Pemberitahuan kepada pasien yang menggunakan mekanisme penyangkalan, tentang
penyakitnya, hendaklah hati-hati. Bila tidak hati-hati, pasien bisa menjadi sangat
frustrasi bahkan sampai bunuh diri. Usaha mengurangi penyangkalan perlu dilakukan
sehingga pasien bisa lebih adaptif.
2. Kemarahan
Pada fase ini, pasien sering marah pada dokter dan tim medis atau pada Tuhan.
Manifestasi kemarahan dapat berupa penolakan pasien terhadap pemeriksaan, ingin
mengganti dokter, atau minta keluar dari rumah sakit. Peran psikiater sangat diperlukan
dalam tahap ini untuk mendukung pasien. Strategi terapi kognitif untuk mengoreksi
kepercayaan yang salah terhadap kanker dapat digunakan.
3. Bargaining
Pada fase ini pasien melakukan tawar-menawar dengan Tuhan atau takdir. Pasien
berjanji akan hidup lebih baik, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan akan melakukan
amal kebaikan bila selamat. Pasien menjadi lebih dekat dengan dokternya dan mereka
menyadari bahwa dokter mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalahnya.
Apabila hasil pengobatan tidak sesuai dengan harapannya, dokter akan disalahkan dan
hubungan dengan dokter menjadi buruk.
4. Penerimaan
Pasien siap menerima diagnosis tetapi kadang-kadang tidak siap menerima kenyataan
penyakit yang mengancam jiwanya. Beberapa pasien dapat dengan mudah melewati
fase-fase diatas sehingga ia lebih cepar menerima kenyataan bahwa dia sedang
menderita penyakit yang serius. Penerimaan ini mempermudah kelancaran terapi,
pasien bersikap kooperatif sehingga kita dapat memberikan pilihan-pilihan terapi
dengan mudah, memobilisasi dukungan-dukungan yang diperlukan, pasien dapat
mengerti proses penyakitnya, mengontrol penyakitnya, dan mengerti proses kehidupan
atau kematiannya. Pasien harus dibantu agar ia lebih cepat memasuki fase penerimaan
ini.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Pasien


Beberapa faktor dapat sangat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan dalam diri
pasien yang menderita tumor otak dimana diagnosis tumor otak mungkin menyebabkan emosi
seperti shok, putus asa, kemarahan, kecemasan, ketidakberdayaan, khawatir akan sekarat.
Respon seperti ini pada umumnya normal dialami pasien dengan penyakit berat, namun apabila
pasien tidak bisa beradaptasi dengan baik maka respon tersebut akan berlanjut menjadi
gangguan depresi dan cemas.5
Reaksi pasien dapat berupa kecemasan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, tanpa emosi
(emosi tumpul) atau tidak bereaksi. Secara kognitif pasien bisa menjadi sangat penuh perhatian
sehingga ia mencari informasi sebanyak-banyaknya atau menjadi bingung, tidak bisa
berkonsentrasi atau menyerah. Keluhan somatik bisa bertambah seperti tidak nafsu makan,
gangguan tidur dan gangguan aktivitas sehari-hari.2,3
Respon stres akut bisa sangat berat tetapi keadaan ini biasanya berlangsung sementara.
Diagnosis yang paling sering adalah gangguan penyesuaian dengan mood depresi, depresi
mayor atau minor, ansietas, dan campuran depresi dengan ansietas atau dapat pula hanya
gejala-gejala yang sangat ringan sehingga tidak bisa dikualifikasikan sebagai sindrom.6
Respon pasien ditentukan oleh faktor psikologik, interpersonal dan medik. Faktor
medik misalnya nyeri, muntah, perkiraan perjalanan penyakit, dan lokasi tumor. Faktor
psikologik ditentukan oleh karakter atau kepribadian pasien, kemampuan koping, kekuatan
ego, stadium perkembangan kehidupan, dan pengaruh serta arti kanker pada stadium
perkembangan kehidupan tersebut. Faktor interpersonal ditentukan oleh dukungan pasangan,
keluarga, sosial, dan tim yang merawat pasien.6

Respon Stres Akut


Kecemasan dalam berespons terhadap penyakit berat adalah lumrah. Ketakutan
merupakan reaksi awal terhadap tumor otak yang sering ditemui. Oleh karena itu, sumber-
sumber ketakutan terhadap tumor ini harus segera di eksplorasi. Sumber-sumber kecemasan
biasanya adalah:1
1. Kecemasan terhadap yang tidak diketahui atau disebut juga kecemasan yang
mengambang.
2. Takut terhadap kematian yaitu ketakutan yang berkaitan dengan cemas perpisahan
(takut berpisah dengan orang-orang yang dicintai).
3. Takut terhadap mutilasi yaitu kecemasan yang dikaitkan dengan ketakutan terhadap
kerusakan integritas tubuh atau fungsi tubuh atau terjadinya distorsi body image.
4. Takut terhadap ruangan tertutup yaitu kecemasan yang timbul oleh prosedur
pemeriksaan seperti magnetic resonance imaging (MRI), perawatan yang lama, harus
selalu berada di tempat tidur, atau fantasi tentang kematian serta dikubur.
5. Takut terjadinya keluhan fisik lain seperti nyeri, mual, muntah, atau akibat
khemoterapi.
Oleh karena itu, keprihatinan, fantasi-fantasi, pemikiran-pemikiran yang salah tentang
tumor yang diderita pasien harus dieskplorasi. Membangun hubungan dokter-pasien yang
bersifat empati dan memberikan dukungan serta menciptakan perasaan aman perlu dilakukan.
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya (ventilasi) sangat
membantu mengurangi kecemasan. Di bawah ini ada beberapa intervensi yang dapat
dilakukan:1,2
1. Psikoterapi individu singkat yang fokusnya untuk membantu pasien menormalisasi
perasaan takut yang hebat dan konflik yang terjadi.
2. Intervensi keluarga untuk memperkuat koping, mempererat hubungan dan
memperbaiki komunikasi.
3. Memberikan edukasi dan meurujuk pasien dan keluarga ke dalam jaringan
dukungan atau kelompok-kelompok yang memberikan dukungan guna
memaksimalkan mobilisasi pasien.
4. Intervensi farmakologik untuk kecemasan yang serius.
Respons stres akut merupakan suatu kontinuum yaitu respons stres akut pada awal
penyakit dan kemudian menjadi gangguan depresi.
Gejala-Gejala Depresi
Gejala depresi pada pasien kanker mungkin koinsiden atau reaksi fungsional. Adanya
perasaan sedih, murung, iritabilitas, ansietas, ikatan emosi berkurang, menarik diri dari
hubungan interpersonal dan preokupasi dengan kematian menunjukkan adanya depresi.1
Pasien sering mengkritik diri sendiri, mempunyai perasaan tak berharga, merasa bersalah,
pesimis, tak ada harapan, putus asa, bingung, konsentrasi buruk, tak pasti dan ragu-ragu,
mengalami gangguan memori, dan tanda-tanda neurovegetatif seperti lesu tidak bertenaga,
penurunan nafsu makan dan tidur.5
Depresi sering tidak terdiagnosis karena klinikus beranggapan bahwa gejala-gejala
depresi yang muncul disebabkan oleh reaksi pasien terhadap diagnosis tumor otak. Diagnosis
depresi bisa ditegakkan bila gejala-gejala tersebut berlangsung paling sedikit 2 minggu.
Perasaan tidak berharga, rasa bersalah yang berlebihan merupakan pembeda kuat antara
kesedihan normal dengan depresi mayor. Pasien depresi merasakan kebencian yang kuat
terhadap dirinya sendiri. Pikiran berulang tentang kematian paling sering pada pasien
depresi.1,5
Beberapa peneliti berusaha membedakan antara gejala inti depresi dengan gejala
neurovegetatif karena tanda-tanda neurovegetatif dapat pula disebabkan oleh tumornya sendiri.
Ada beberapa pendekatan dalam mendiagnosis depresi pada penyakit fisik. Pendekatan inklusif
memasukkan semua gejala tanpa menghiraukan penyebabnya. Pendekatan etiologi tidak
memasukkan gejala-gejala yang tidak berkaitan dengan penyakit fisik. Pendekatan substitusi
yaitu mengganti kriteria somatik dengan gejala kognitif. Selanjutnya, pendekatan eksklusif
menggunakan kriteria riset nonsomatis yang sangat ketat.1

Faktor Prediktor pada Depresi


Faktor yang mempengaruhi munculnya depresi pada pasien dengan tumor otak antara
lain adalah lokasi tumor, riwayat keluarga yang mempunyai gangguan psikiatrik dan kesedihan
serta kurangnya motivasi merupakan faktor prediktor utama yang menyebabkan gangguan
depresi pada pasien dengan tumor otak.7
Selain itu, menurut penelitan, keterbatasan fisik juga ditemukan mempunyai hubungan
yang erat dengan terjadinya gangguan depresi. Tingkat depresi pada wanita lebih tinggi
daripada pria meskipun belum ada penelitian yang signifikan mengenai hubungan antara
gangguan mood dengan jenis kelamin.4,7

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail I R, Siste K. Gangguan Depresi. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2013.h. 228-43.

2. Sadock BJ, Sadock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Ed 2. Jakarta: EGC; 2010.h.75-6.

3. Pelletier G, Verhoef MJ, Khatri N, Hagen N. Quality of life in brain tumor patients: the
relative contributions of depression, fatigue, emotional distress, and existential issues. J
Neuro-oncology 2012;57:h.416.

4. Anonim. 2017. Depresi. http//Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2141, diakses


pada tanggal 29 agustus 2017.

Anda mungkin juga menyukai