ISI
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-
0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan
mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien
memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
3
berperan dalam patofisiologi depresi. Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah
menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai
gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine,
dan bupropion, menurunkan gejala depresi. 3
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik.
Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan
pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal,
tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti. Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik
kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH. 3 Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti
perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang
merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH. Pada orang lanjut
usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase.
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami
kehilangan secara selektif pada sel sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan
sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks
dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius. Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur
tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak.
Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun
dibandingkan dengan umur 60-an tahun.
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2
sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada
kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot. Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik
terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan
dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual,
sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan
3
objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab
gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan
finansial, dan penurunan fungsi kognitif3 Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi
penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan
sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian,
psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial. 3
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan
stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para
klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
3
depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti
kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang
berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi.
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu,
seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai
proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah. 3
Faktor psikodinamika dan psikoanalitik. Berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. 3 Dalam upaya
untuk mengerti depresi, Sigmud Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek
dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan
secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi
mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan
melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan
harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri,
sedangkan orang yang berkabung tidak demikian. 3
Ketidakberdayaan yang dipelajari (Learned helplessness). Dalam percobaan binatang
yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang
akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar
bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan
ketidakberdayaan yang mirip. 3
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif,
pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi.
3
GANGGUAN DEPRESI AKIBAT KONDISI MEDIS UMUM
Berbagai kondisi medis dapat secara langsung menimbulkan depresi. Walaupun demikian,
penderita-penderita yang akan berkembang mengalami syndrome depresi tidak dapat kita
prediksi. Beberapa penyakit mempunyai kecenderungan yang tinge until menimbulkan
depresi (misalnya, 50% atau bahkan lebih penderita stroke mengalami depresi, begitu pula
kanker pankreas dan syndrome Cushing). Penyakit lain data pula menyebabkan depress
secara tidak langsung atau sebagai reaksi terhadap penyakit. Hal ini tidak berarti bahwa
semua kondisi medis umum dapat menimbulkan depresi. Gangguan medik mum yang
cenderung memperlihatkan depresi yaitu :
Tumor : terutama tumor otak dan paru; kanker pankreas (50% memperlihatkan gejala
psikiatri sebelum diagnosis ditegakkan.)
Gangguan Endokrin : penyakit cushing (60% pasien, juga akibat steroid eksogen); hipotiroid
(beberapa ahli menyarankan untuk memeriksa fungsi tiroid pada pasien depresi), gejala yang
berhubungan dengan kadar Ca, diabetes, dan syndrome turner.
Darah : Anemia
Nutrisi dan elektrolit : pellagra, hiponatrium, hypokalemia, hiperkalsemia
Lain - lain : penyakit Parkinson, stroke, trauma kepala, depresi pasca stroke, terutama lobus
frontal, away penyakit hungtington, syndrome prahaid, menopause
Semua obat yang disalahgunakan dan tocsin dapat menimbulkan gangguan mud dengan
berbagai bentuk. Kemungkinan terjadinya gejala mud akibat penggunaan zat serta
keberanekaragaman bentuk gejala yang ditimbulkannya tidak hanya bergantung jenis obat,
tetapi juga dosis, dan duress penggunaan sat, sorta apakah pasien dal am keadaan intoksikasi
atau putus zat, dan juga faktor individual yang ada pada diri pasien.
Depresi pasca-stroke (PSD) merupakan salah satu komplikasi stroke yang ditandai oleh
abnormalitas mood, menyalahkan diri sendiri, kesedihan dan depresi. PSD merupakan factor
utama yang dapat menghambat penyembuhan fungsi neurologi dan aktivitas harian pada
pasien stroke, dan berhubungan dengan mortalitas
1. Lokasi lesi
Robinson, dkk. Melaporkan stroke hemisfer kiri khususnya di region frontal
kiri dan basal ganglia secara signifikan berhubungan dengan depresi. Tetapi
beberapa studi lain menemukan hubungan lesi hemisfer kanan dengan PSD dan
penelitian lain tidak menemukan hubungan antara lokasi lesi dan resiko PSD. Lesi
frontal kiri dan basal ganglia kiri merupakan tipe lesi tersering pada pasien depresi
mayor.
2. Ukuran infark
Ukuran infark berhubungan dengan timbulnya dan beratnya PSD. Infark luas
menyebabkan kerusakan berat pada area yang memodulasi perilaku emosional dan
perubahan biokimia. Deficit neurologi berat akibat infark luas dapat menjadi factor
psikologis sosial yang berhubungan dengan pathogenesis PSD. Studi PSD di Cina
menunjukan volume infark akut lebih besar pada grup PSD, dan Nys, dkk.
Melaporkan PSD awal secara signifikan berhubungan dengan ukuran lesi.
3. Depresi vaskuler
Lesi silent yang mengganggu jalur kortiko-striato-pallido-talamo-kortikal
menimbulkan gejala depresif. Brodaty dan Santos menyatakan PSD berhubungan
dengan akumulasi patologi vaskuler otak atau lesi pada area kritis ini.
Hipertensi rentan menimbulkan kelainan neurodegenerative melalui
mekanisme stress oksidatif dan menimbulkan gejala depresi melalui perubahan
struktur limbic yang diketahui mengatur emosi dan perilaku. Pada pasien hipertensi
terjadi perubahan dinding pembuluh darah dan gangguan vasodilatasi yang
dimediasi oleh endothelium akibat terbentuknya kolagen sehingga menyebabkan
berkurangnya distensi pembuluh darah., mengakibatkan berkurangnya cerebral
blood flow (CBF) dan reaktivitas serebrovaskuler. Perubahan abnormal CBF
regional pada pasien hipertensi terjadi pada region subkortikal otak, yaitu struktur
limbic dan paralimbik.
4. Neurotransmitter
Perilaku emosional diatur oleh neurotransmitter seperti monoamine dan
disfungsi monoamine dapat menimbulkan berbagai gejala psikiatri termasuk
depresi. Hipostesis ini menjelaskan lokasi lesi pada pathogenesis PSD. Lesi
serebral menyebabkan terputusnya proyeksi ascending dari midbrain dan batang
otak, melewati thalamus dan basal ganglia dan mencapai korteks frontal,
menyebabkan penurunan bioavailabilitas biogenic amin termasuk serotonin (5-
HT), dopamine (DA) dan norepinefrin (NE) sehingga menimbulkan gejala depresi.
5. Disfungsi imun
Depresi terbukti berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi speerti
level interferon gamma, interleukin-1 beta, tumor necrotizing factor alfa dan
penurunan IL-10. Kerusakan jaringan dan kematian sel merupakan jembatan antara
inflamasi dan PSD. Pada model hewan depresi, terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi eperti interleukin 1 beta dan tumor necroting factor alpha di
hipokampus dan striatum yang merupakan area kritis kelainan mood, dan dapat
meningkatkan ukuran infark serta pembentukan edema. Sitokin inflamasi berperan
penting dalam pengaturan kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis,
khususnya pada area rentan seperti hipokampus. Meningkatnya kematian sel akibat
perluasan infark serebri berhubungan dengan gejala depresi.
6. Aktivasi aksis hipotalamik pituitary adrenal (HPA)
Fungsi aksis HPA secara normal adalah untuk merespon stress lingkungan.
Aktivasi aksis HPA setelah stroke berupa peningkatan kadar glukokortikoid seperti
hiperkotisolisme. Glukokortikoid dapat meningkatkan sitokin IL-1 beta dan TNF
alpha yang terbukti berhubungan dengan PSD dan pengaturan fungsinya.
7. Neurogenesis
Hipokampus memegang dalam control mood. Terjadinya penurunan
neurogenesis pada hipokampus berkaitan dengan PSD.
Tahapan Psikologik
Ketika seseorang dinyatakan menderita tumor otak, terdapat tahapan-tahapan
psikologik yang terjadi yaitu:1,5
1. Penyangkalan
Terapis harus menyadari kemungkinan adanya penyangkalan pasien terhadap diagnosis
yang dinyatakan dokter. Penyangkalan yang hebat menunjukkan rapuhnya ego.
Pemberitahuan kepada pasien yang menggunakan mekanisme penyangkalan, tentang
penyakitnya, hendaklah hati-hati. Bila tidak hati-hati, pasien bisa menjadi sangat
frustrasi bahkan sampai bunuh diri. Usaha mengurangi penyangkalan perlu dilakukan
sehingga pasien bisa lebih adaptif.
2. Kemarahan
Pada fase ini, pasien sering marah pada dokter dan tim medis atau pada Tuhan.
Manifestasi kemarahan dapat berupa penolakan pasien terhadap pemeriksaan, ingin
mengganti dokter, atau minta keluar dari rumah sakit. Peran psikiater sangat diperlukan
dalam tahap ini untuk mendukung pasien. Strategi terapi kognitif untuk mengoreksi
kepercayaan yang salah terhadap kanker dapat digunakan.
3. Bargaining
Pada fase ini pasien melakukan tawar-menawar dengan Tuhan atau takdir. Pasien
berjanji akan hidup lebih baik, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan akan melakukan
amal kebaikan bila selamat. Pasien menjadi lebih dekat dengan dokternya dan mereka
menyadari bahwa dokter mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalahnya.
Apabila hasil pengobatan tidak sesuai dengan harapannya, dokter akan disalahkan dan
hubungan dengan dokter menjadi buruk.
4. Penerimaan
Pasien siap menerima diagnosis tetapi kadang-kadang tidak siap menerima kenyataan
penyakit yang mengancam jiwanya. Beberapa pasien dapat dengan mudah melewati
fase-fase diatas sehingga ia lebih cepar menerima kenyataan bahwa dia sedang
menderita penyakit yang serius. Penerimaan ini mempermudah kelancaran terapi,
pasien bersikap kooperatif sehingga kita dapat memberikan pilihan-pilihan terapi
dengan mudah, memobilisasi dukungan-dukungan yang diperlukan, pasien dapat
mengerti proses penyakitnya, mengontrol penyakitnya, dan mengerti proses kehidupan
atau kematiannya. Pasien harus dibantu agar ia lebih cepat memasuki fase penerimaan
ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ismail I R, Siste K. Gangguan Depresi. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2013.h. 228-43.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Ed 2. Jakarta: EGC; 2010.h.75-6.
3. Pelletier G, Verhoef MJ, Khatri N, Hagen N. Quality of life in brain tumor patients: the
relative contributions of depression, fatigue, emotional distress, and existential issues. J
Neuro-oncology 2012;57:h.416.