Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ilmu ekonomi regional, analisa tentang perdagangan, mobilitas barang

dan faktor produksi memegang peranan sangat penting. Hal ini sesuai dengan

kenyataan bahwa mobilitas barang dan faktor produksi dalam negeri lebih sempurna

dibandingkan dengan mobilitas internasional. Berlainan dengan perdagangan

internasional yang biasanya terdapat bea masuk (tariff) dan pembatasan impor (import

restriction), dalam perdagangan antar wilayah umumnya tidak ada pembatasan. Ini

berarti mobilitas barang dan faktor produksi antar wilayah lebih lancar dibandingkan

dengan mobilitas internasional. Karena itu, sering kali analisa dalam ilmu ekonomi

regional mengasumsikan bahwa mobilitas barang dan faktor produksi antar wilayah

lancar (imobile) sedangkan dalam ilmu ekonomi internasional adalah sebaliknya, yaitu

tidak lancar (inmobile).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi fokus pembahasan pada

makalah ini dirumuskan sebagai berikut:

1) Apa saja model mobilitas antar wilayah?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Model Mobilitas Antar Wilayah

Terdapat dua model dasar yang melandasi analisa tentang mobilitas barang

dan faktor produksi antar wilayah. Pertama, adalah model keuntungan komparatif

(comparative advantange) yang pada dasarnya adalah model klasik yang dipelopori

oleh David Ricardo dan kemudian dimodernisir oleh Heckser dan Ohlin. Model ini

mengasumsikan bahwa mobilitas sumberdaya antar wilayah adalah tidak lancar

(inmobile). Kedua, adalah model mobilitas sumberdaya (resources mobility) yang

mendasarkan analisanya pada perbedaan harga barang dan faktor produksi antar

wilayah yang merupakan faktor pendorong terjadinya mobilitas tersebut. Pada model

kedua ini, mobilitas antar wilayah diasumsikan lancar (perfectly mobile). Berikut ini

diuraikan secara sistematis ide pokok dan logika dari kedua model tersebut.

2.1.1 Model Keuntangan Komparatif

Prinsip dasar dari model keuntungan komparatif (comparative advantange

model) adalah bila mobilitas sumber daya (faktor produksi) antar wilayah tidak

lancar, maka masyarakat suatu daerah akan lebih diuntungkan bila memfokuskan

(berspesialisasi) pada kegiatan produksi yang wilayah tersebut dapat

memperoduksinya dengan biaya relatif lebih murah (efisien) dibandingkan dengan

wilayah lainnya. Relatif murahnya biaya produksi tersebut akan ditentukan oleh

harga faktor produksi yang berlaku pada wilayah bersangkutan. Sedangkan

perbedaan harga faktor produksi antar wilayah tersebut ditentukan pula oleh

tingkat kandungan relatif faktor produksi (relatif faktor abundance) yang dimiliki

oleh setiap wilayah.


Relatif rendahnya biaya produksi tersebut, selanjutnya memungkinkan

wilayah yang bersangkutan menetapkan harga hasil produksi yang lebnih murah

dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perbedaan harga ini selanjutnya

memungkinkan wilayah tersebut untuk menjual produknya ke wilayah lain dimana

harga barang yang sama relatif lebih tinggi. Perbedaan harga hasil produksi ini,

selanjutnya akan mendorong kegiatan perdagangan antar wilayah yang

menguntungkan kedua belah pihak. Dengan demikian, terlihat bahwa

perdagangan (mobilitas barang) antar wilayah terjadi karena adanya perbedaan

keuntungan komparatif secara relatif.

Berdasarkan prinsip tersebut, wilayah yang relatif terbelakang dan masih

didominasi oleh kegiatan pertanian akan lebih diuntungkan bila memfokuskan

kegiatan produksinya pada faktor tersebut dan menjual hasil produksinya kepada

wilayah maju yang sudah merupakan daerah industri. Sebaliknya, wilyah yang

sudah relatif lebih maju dan kegiatan ekonominya sudah didominasi oleh kegiatan

industri dan dapat memproduksi barang-barang hasil produksi sector industri

dengan lebih murah, karena biaya produksi yang lebih rendah, akan diuntungkan

pula bila menjual hasil produksinya ke wilayah agraris. Dengan demikian, wilayah

yang masih terbelakang akan cenderung berspesialisasi pada sector pertanian

dan kegiatan ekstraktif lainnya, sedangkan wilayah yang lebih maju akan

cenderung pula berspesialisasi pada sector industri dan jasa. Bila hal ini

dilakukan, maka kedua belah pihak akan sama-sama diuntungkan sehingga dapat

diperoleh manfaat dari kegiatan perdagangan (gains from trade), baik antar

Negara maupun antar wilayah.


Untuk lebih menjelaskan model keuntungan komparatif ini, dengan

mengikuti penjelasan Blair (1991), dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 2.1 Ilustrasi Prinsip Dasar Keuntungan Komparatif

Wilayah
Wilyah I Wilayah II
Produksi
(1) Bahan makanan 1 3
(2) Barang hasil industri 2 4

Wilayah
Wilyah I Wilayah II
Oportunity Cost
(1) Biaya per unit bahan
makan dibandingkan
produksi barang
industri.
(2) Biaya per unit barang
industri dibandingkan
2 4/3
produksi bahan
makanan.

Diumpamakan disini, terdapat 2 wilayah (region), yaitu Wilayah I

merupakan daerah terbelakang yang menghasilkan produk pertanian, yaitu bahan

makanan. Sedangkan Wilayah II merupakan daerah maju yang menghasilkan

produk sector industri. Biaya produksi yang diperlukan oleh wilayah I untuk

menghasilkan bahan makanan adalah 1 unit sedangkan untuk produk industri

menjadi 2 unit. Sedangkan untuk Wilayah II adalah sebaliknya yaitu 3 unit biaya

diperlukan untuk menghasilkan makanan dan 4 unit untuk menghasilkan produk

sector industri. Berdasarkan perbandingan biaya produksi tersebut dapat pula

dihitung opportunity cost untuk masing-masing wilayah. Wilayah I dalam hal ini

akan mempunyai opportunity cost sebesar unit bila memutuskan untuk

memproduksi bahan makanan dan 4/3 unit bila memproduksi barang-barang

sector industri. Berdasarkan perbandingan ini maka Wilayah I akan


menguntungkan bila memprioritaskan kegiatan produksinya pada bahan makanan

dan Wilayah II pada produk sector industri.

Dalam rangka memperlihatkan manfaat spesialisasi produksi dan

perdagangan antar wilayah, kita perlu membandingkan produksi dan konsumsi

pada Wilayah I baik sebelum maupun sesudah adanya perdagangan. Bilamana

kegiatan perdagangan belum ada, maka upah rill untuk satu hari kerja pada

Wilayah I diperkirakan sama dengan 1 unit makanan atau setengah unit barang

hasil produksi industri. Upah rill pada Wilayah II akan menjadi 1/3 unit atau unit

barang hasil produksi industri.

Bilamana perdagangan antar wilayah terjadi dan ongkos angkut antar

wilayah untuk sementara dianggap tidak ada, maka harga relatif (relatif price)

pada Wilayah I secara bertahap akan sama dengan Wilayah II. Alasannya adalah

karena konsumen akan membeli barang yang lebih murah harganya. Oleh karena

harga barang hasil produksi industri biasanya lebih mahal harganya dari makanan

pada Wilayah I, maka para pedagang akan membawa barang tersebut ke wilayah

II yang harganya lebih tinggi. Akibatnya harga pada Wilayah I juga akan

cenderung naik karena

2.1.2

2.2

Anda mungkin juga menyukai