Anda di halaman 1dari 13

KARYA TULIS ILMIAH

SEJARAH INDONESIA
SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI
MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)

Kelas : XII AK 4
Kelompok : 2

PAKET KEAHLIAN AKUNTANSI


SMK NEGERI 1 TUREN
Jl. Panglima Sudirman No. 41 Telp/Fax. (0341) 824059 Turen
Website : http://smkn1turen.blogspot.com E-mail : smkn01trn@yahoo.com
M A L A N G 65175
TAHUN 2017
Nama Anggota Kelompok :
1. Arvie Diah Pratiwi (05)
2. Aulia Fransisca (07)
3. Finda Kumalasari (15)
4. Sinta Herawati (30)
5. Steviana Christanti (31)
6. Vicky Jahrul (32)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam perjalanan sitem politik di Indonesia banyak bukti menunjukan bahwa UUD
tidak dapat dijadikan pegangan dalam sistem politik maupun penegakan hukum. Telah terjadi
empat periode pemerintahan masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin
(1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang).

Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem
Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Setelah
dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang
liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan pada masa ini disebut masa
Demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan
berdasarkan Undang undang Dasar Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal.
Pada saat itu, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin
oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).

Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai
partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi
logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem
multi partai yang dianut, maka partai partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui
pertimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 1959.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan sistem pemerintahan masa demokrasi parlementer di
Indonesia ?
2. Bagaimana perkembangan sistem politik masa demokrasi parlementer di Indonesia ?
3. Bagaimana perkembangan sistem ekonomi pada masa demokrasi parlementer di
Indonesia ?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan sistem pemeritahan masa demokrasi parlementer di Indonesia.
2. Menjelaskan sistem kepartaian dan pemilihan umum tahun 1955 masa demokrasi
parlementer di Indonesia.
3. Menjelaskan sistem ekonomi masa demokrasi parlementer di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. SISTEM PEMERINTAHAN
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi
parlementer yang disebut Masa Demokrasi Liberal. Pada saat itu Indonesia dibagi manjadi
10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang Undang Dasar Sementara
tahun 1950. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu
dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR).
Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Demokrasi Liberal berlangsung
selama hampir 9 tahun. Selama itulah di Indonesia kerap kali terjadi penggantian kabinet
hingga tujuh kali. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai
yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan
baik. Berikut tujuh kabinet yang terbentuk pada masa demokrasi liberal.

1. Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951

Kabinet yang dilantik pada tanggal 6 September 1950 dengan Mohammad Natsir
(Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI
sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta. Sehingga PNI menjadi oposisi
bersama PKI dan Murba. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh tokoh terkenal duduk
di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kabinet ini mempunyai program kerja utama diantaranya: menggiatkan usaha
keamanan dan ketentraman, mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan, menyempurnakan organisasi Angkatan Perang, mengembangkan dan
memperkuat ekonomi rakyat, dan memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini adalah dalam memperjuangkan Irian Barat
mengalami kebuntuan, dan terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia,
seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan
Kabinet Natsir adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya
mengenai masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI
menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI
menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan
memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, Presiden Soekarno


kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi)
sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI pada 26
April 1951. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI)
yang dipimpin oleh Soekiman.
Adapun program kerja pada kabinet ini adalah: menjamin keamanan dan ketentraman,
mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan
kepentingan petani, mempercepat persiapan pemilihan umum, dan menjalankan politik luar
negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini yaitu adanya Pertukaran Nota Keuangan antara
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada
Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik karena kurang tegasnya tindakan
pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. DPR
akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya pada
23 Februari 1952 kepada presiden karena adanya pertentangan dari Masyumi dan PNI.

3. Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953

Pada 30 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur
dan berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga
bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program kerja kabinet ini terbagai menjadi program dalam negeri yaitu
menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan
kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan dan
program luar negeri yaitu penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, pengembalian
Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis
ekonomi, terjadi defisit kas negara, munculnya gerakan separatisme dan sikap provinsialisme
yang mengancam keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan
TNI sebagai alat sipil sehingga munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Akibat
peristiwa 17 Oktober 1952 pula, kabinet Wilopo gagal melaksanakan tugas pokoknya yaitu
mengadakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante.
Konflik semakin diperparah dengan adanya peristiwa Tanjung Morawa mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Peristiwa bentrokan yang melibatkan
aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan. Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955

Kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 30 juli 1953. Kabinet Ali ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam
kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr.
Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).
Adapun program kerja kabinet ini adalah meningkatkan keamanan dan kemakmuran
serta segera menyelenggarakan Pemilu, pembebasan Irian Barat secepatnya, pelaksanaan
politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB, dan penyelesaian pertikaian
politik
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu;
Persiapan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955,
menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kabinet ini menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat
terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Berpangkal pada
peristiwa 17 Oktober 1952 yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD menjadi
faktor utama krisis kabinet. Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang semakin
memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan serta
memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Selain itu, munculnya konflik antara
PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-
mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. NU menarik dukungan
dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali
harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956

Pada tanggal 11 Agustus 1955 diumumkan terbentuknya Kabinet Burhanuddin


Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk partai oposisi. Kabinet
Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum.
Selain itu, kabinet ini mempunyai program kerja utama lain: mengembalikan kewibawaan
pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada
pemerintah, masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi, perjuangan pengembalian
Irian Barat, dan menyelenggarakan politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar
negeri bebas aktif.
Tugas utama kabinet ini berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-
rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih
anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante
dilakukan pada 15 Desember 1955. Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27
partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Kabinet ini juga berhasil memperjuangkan
diplomasi penyelesaian masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Selain itu berhasil melakukan pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi
yang dilakukan oleh polisi militer, terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan
Kabinet Burhanuddin, dan menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan
mengangkat Kolonel A. H. Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan
pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Dengan berakhirnya pemilu maka
tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang
cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Maka, akan dibentuk kabinet baru yang
harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957

Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada
tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan
NU. Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah
kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut: memperjuangkan pengembalian Irian Barat,
membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD,
mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai, menyehatkan perimbangan
keuangan negara, dan mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat. Selain itu, program pokok kabinet ini adalah pembatalan
perjanjian KMB, pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun,
menjalankan politik luar negeri bebas aktif, dan melaksanakan keputusan KAA.
Sedangkan, masalah yang dihadapi oleh kabinet ini diantaranya berkobarnya
semangat anti Cina di masyarakat, muncul pergolakan atau kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan separatisme dengan pembentukan dewan
militer, pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai
nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia, timbulnya perpecahan antara Masyumi dan
PNI, dan puncaknya pada mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil
Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden pada tanggal 14 Maret 1957.

7. Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959

Pada 9 April 1957 berhasil dilantik sebuah kabinet dengan nama Kabinet Karya atau
sering disebut Kabinet Djuanda. Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang
terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya yang diipimpin oleh Ir.Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah program yang disebut dengan Panca
Karya yaitu: membentuk Dewan Nasional, Normalisasi keadaan RI, melancarkan
pelaksanaan pembatalan KMB, perjuangan pengembalian Irian Jaya, dan mempergiat atau
mempercepat proses pembangunan.
Pada masanya, kabinet ini berhasil mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut
teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia
dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Selain itu, berhasil
membentuk Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan
pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya.
Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin. Serta pada kabinet ini
berhasil mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di
berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Adapun kendala maupun masalah yang dihadapai kabinet ini adalah gagal
menghadapi pergolakan di daerah seperti munculnya pemberontakan PRRI/Permesta. Hal ini
menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Selain itu, keadaan ekonomi
dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Serta
terjadinya peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadiri pesta sekolah tempat putra-
purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan
negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin. Berakhirnya kabinet
ini juga menjadi simbol berakhirnya masa demokrasi liberal yang ada di Indonesia yang
mampu bertahan hingga sembilan tahun.

B. PERKEMBANGAN POLITIK

Sistem politik pada masa demokrasi liberal banyak melahirkan partai-partai baru,
seperti NU, PIR (Partai Indonesia Raya) sehingga sistem kepartaian yang dianut pada masa
Demokrasi Liberal adalah multipartai. Partai-partai tersebut berlomba agar mendapat kursi di
parlemen, namun ada dua partai kuat dalam parlemen yang silih berganti memegang
kekuasaan dalam empat kabinet, yaitu PNI dan Masyumi.
Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik
adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional.
Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan. Keberadaan parlemen, dalam
hal ini DPR dan MPR pada masa demokrasi liberal, tidak terlepas dari kebutuhan adanya
perangkat organisasi politik, yaitu partai politik.
Pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai
Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat
diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan
maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Maklumat Politik 3 November 1945,
yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia
yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Adapun isi Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang dimaksud ialah :
a. Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk
menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham
yang terdapat di Indonesia
b. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik
telah tersusun secara rapi sebelum dilaksankannya pemilihan anggota Badan
Perwakilan Rakyat yang dilakukan pada bulan Januari 1946
Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan
kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru. Beberapa partai politik yang
didirikan antara lain sebagai berikut. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan
pimpinan Dr. Sukirman Wiryosanjoyo didirikan pada 7 November 1945, Partai Nasional
Indonesia (PNI) dengan pimpinan Sidik Joyosukarto didirikan pada29 Januari 1945, Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dengan pimpinan Amir Syarifuddin didirikan pada 20 November
1945, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pimpinan Mr. Moh. Yusuf didirikan pada 7
November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) dengan pimpinan Nyono didirikan pada 8
November 1945, Partai Rakyat Jelata (PRJ) dengan pimpinan Sutan Dewanis didirikan pada
8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan pimpinan Ds. Probowinoto
didirikan 10 November 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) dengan pimpinan Sutan Syahrir
didirikan pada 20 November 1945, Persatuan Marhaen Indonesia (Permai) dengan pimpinan
JB Assa didirikan pada 17 Desember 1945, dan Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI)
dengan pimpinan IJ Kassimo didirikan pada 8 Desember 1945
Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang
peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha
menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini
sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-
programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya
instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan. Kondisi inilah
yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik
Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju
demokrasi terpimpin.

PEMILIHAN UMUM 1955


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan untuk
memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan
wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara). Adapun sistem Pemilu
yang digunakan dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem
ini, wilayah negara RI dibagi dalam 16 daerah pemilihan (dimana Irian Barat dimasukkan
sebagai daerah pemilihan ke-16, padahal Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda, sehingga
Pemilu tidak dapat dilangsungkan didaerah tersebut).
Pesiapan Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954,
Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI.
Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk
parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo
sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan
kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota dipenuhi
oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha untuk
mendapatkan suara yang terbanyak.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet
Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta
rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan
dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena
itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling
demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu
ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku
ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan
yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan
perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti
oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga
DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.[6]
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting
sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen
yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu,
parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang
merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki
harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun,
wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara, korupsi,
nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai
persoalan.
Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan,
pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggung jawab pemerintah dan wakil-
wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai
dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati
rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik
dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai
efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan
pilihannya.

C. SISTEM EKONOMI
Sesudah pengakuan kedaulatan, Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi
dan keuangan yang cukup berat dampak dari disepakatinya ketentuanketentuan KMB, yaitu
meningkatnya nilai utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri.
Struktur perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor
Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan yang
nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang Dunia II.

Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup


permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek
yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar
dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah
adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah. Beban berat ini
merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era ini, Pemerintah mengalami
defisit sebesar Rp 5,1 miliar. Defisit ini sebagian besar berhasil dikurangi dengan pinjaman
pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea.

Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan


menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang
tidak memiliki komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa
dampak perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas
ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.

Di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi
politik sehingga angka deficit semakin meningkat. Disamping itu, pemerintah belum berhasil
meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk
meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik
keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh
pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan
ahli-ahli yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke
ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan yang drastis.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut


diantaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro.
Sasaran yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti
pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini diikuti
dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan penanaman
modal asing.

Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi


ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini
dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia
terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
1. Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB
2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
3. Hubungan finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh
diikat oleh perjanjian lain.
Namun usul Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah
Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni
Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan
ekonomi dengan Belanda.

Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara
pada masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini
dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional.
Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT) yang
rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen.

Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat
berat untuk dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik
yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan
pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi
ini mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari angka 20% di
tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada BAB II, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu salah
satu ciri yang nampak dalam masa Demokrasi Parlementer adalah seringnya terjadi
pergantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali
Sastroamijoyo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan Kabinet
Djuanda.
Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang tidak
pernah dapat terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem kepartaian yang diterapkan
memang bersifat multipartai. Adapun, pemilu pertama di Indonesia berhasil dilaksanakan
pada masa Demokrasi Parlementer, dan menampilkan empat partai besar dalam perolehan
kursi pemilu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.

B. SARAN

Saran dari penulis kepada pembaca adalah perlunya mengamati perkembangan-


perkembangan politk yang terjadi di Indonesia diantaranya perkembangan Politik Liberal di
Indonesia sebagai pembelajaran di kehidupan politik di saat ini.

Anda mungkin juga menyukai