Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS ISLAM DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

INDONESIA
STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Untuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Firman M Ichwan Tanda Tangan
NIM 12711100
Tanggal Presentasi
Rumah sakit RSUD SOEDIRMAN KEBUMEN
Gelombang Periode

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 79 th
Agama : Islam
Pekerjaan : Tukang kayu
Alamat : Pecarikan Kebumen
Suku : Jawa

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 13 September 2017 pukul : 13.00
Keluhan Utama
Sulit menelan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sulit menelan sejak 5 hari SMRS. Mulut sulit
membuka. Kaku juga dirasakan pada anggota tubuh lain yaitu di leher, punggung
,perut, dan kaki. Rasa kaku dirasakan memberat pada saat beraktifitas dan berkurang
ketika digunakan untuk beristirahat. Pasien merasa kesakitan pada saat berbicara
atupun tersentuh oleh orang lain. Pasien juga kesulitan untuk berbicara.
Keluhan lain yang dirasakan adalah nyeri saat menelan. Keluhan seperti
demam, sesak napas dan mual muntah tidak didapatkan. Riwayat luka pada jempol
kaki kiri kurang lebih 2 minggu SMRS. Pasien belum pernah mengobati keluhan saat
ini.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok di rumah sakit (-)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat DM (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa pada keluarga pasien disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal

Kebiasaan dan Lingkungan


Pasien bekerja sebagai tukang kayu di desa. Dalam bekerja pasien tidak
menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, dan lainnya sehingga rawan
terkena kecelakaan kerja.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)

Dilakukan pada tanggal : 13 September 2017 pukul : 13.15


Tekanan darah : 147/93 mmHg
Suhu tubuh : 37 C
Frekuensi denyut nadi : 89 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/ menit
IV. PEMERIKSAAN FISIK

KeadaanUmum : Lemah, Compos Mentis


Kepala : Rambut hitam, uban (+), ikal (-), distribusi merata (+), alopesia
(-),
Mata : supersilia rata (-/-), palpebra superior oedem (-/-), hordeolum
(-/-), sklera ikterik (-/-); konjungtiva pucat (-/-), hiperemis (-/-),
pupil isokor, diameter pupil (3/3) mm;
Hidung : nafas cuping hidung (-), hidung sianosis (-), deviasi septum (-
), secret (-/-), perdarahan (-/-), mukosa hidung hiperemis/pucat
(-/-).
Telinga : deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), secret (-/-), tuli (-/-).
Mulut : bibir kering (+), pucat (-), sianosis (-), lidah kotor dan tremor (-
), tepi ujung hiperemis (-), gusi berdarah (-); stomatitis (-), faring
hiperemis (-); tonsil tenang, ukuran (T1/T1), mulut kaku (+),
rahang susah dibuka (+)
Leher : deviasi trakhea (-), pembesaran limfonodi (-), leher kaku (+)

Thoraks
Inspeksi : Dinding dada kanan kiri simetris, otot dada kaku (+), otot
punggung kaku (+) opistotonus (+)
Paru
Anterior
dextra sinistra
Inspeksi simetris statis dan dinamis simetris statis dan dinamis
Palpasi - -
Perkusi - -
Auskultasi
Suara Dasar vesikular vesikular
Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-)
wheezing (-) wheezing (-)
Posterior
dextra sinistra
Inspeksi simetris statis dan dinamis simetris statis dan dinamis
Palpasi - -
Perkusi - -
Auskultasi
Suara Dasar vesikuler vesikular
Suara tambahan ronkhi (-) ronkhi (-)
wheezing (-) wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V, linea midklavikula
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V, lnea midklavikula sinistra, kuat angkat
(-), trill (-).
Perkusi :-
Auskultasi:
Suara dasar : S1 S2 murni, regular, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi : dinding distended (-), jaringan parut (-), masa (-), perut kaku (+)
Auskultasi : bunyi peristaltik (+), frekuensi 16 x/menit
Palpasi : supel (+), nyeri tekan (+), perut tegang dan kaku (+) nyeri ulu
hati (-), massa (-), ballotemen ginjal (-/-), Hepar teraba (-), Lien
teraba (-)
Perkusi :-
Inguinal : tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Ekstrimitas: superior inferior
Dex/sin dex/sin
Sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Kaku -/- +/+

V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :


Kepala : mulut kaku (+) susah dibuka (+)
Leher : Leher kaku (+)
Thorax : Otot dada kaku (+) Otot punggung kaku (+) Opistotonus (+)
Abdomen : Perut teraba tegang (+) kaku (+) Nyeri tekan (+)
Ekstremitas : Kaki kaku (+)
VI. TINDAKAN DIAGNOSTIK /PEMERIKSAAN PENUNJANG :

(11-09-2017)
Pemeriksaan Darah Rutin
- Hemoglobin : 14,9 (11.7-15.5 g/dl)
- Leukosit : 11,4 (3,6-11.0 103/uL)
- Hematokrit : 46 (35-47%)
- Eritrosit : 5,9 (3.8-5.20106/uL)
- Trombosit : 298 (150-450 103/ul)
- MCH : 26 (26-34pg)
- MCHC : 33 (32-36 g/dl)
- MCV : 78 (80-100fl)
- Hitung jenis
Neutrofil : 69,2 (50-70 103/uL)
Limfosit : 19,3 L (25-40 103/uL)
Monosit : 9,7 (2-6 103/uL)
Eosinofil : 1,2 L (1-2 103/uL)
Basofil : 0,60 (0-1 103/uL)

Pemeriksaan kimia klinik


- GDS : 115 mg/dl (70-120 mg/dl)
- Ureum : 40 mg/dl (10-50 mg/dl)
- Kreatinin : 1,25 mg/dl (0.4-0,9 mg/dl)
- SGOT : 59 U/L H (<37 U/L)
- SGPT : 44 U/L H (<42 U/L)
Sero Imunologi
- HbsAg : Non-reaktif

VII. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS DAN


PEMERIKSAAN FISIK)
VI.A. Masalah aktif :
Badan terasa kaku
Opistotonus
Perut papan
Trismus
Disfagia
Disfonia

VI. B. Masalah pasif :


Riwayat terkena luka
Riwayat Hipertensi
Riwayat diabetes militus

VI. DIAGNOSIS
- Tetanus
- Rabies
- Meningitis

VII. RENCANA TINDAKAN TERAPI :

Farmakologis
Infus Assering 1000cc + Diazepam 2A /24 jam
Inj Ranitidin 2 x 500mg
Inj Penicillin prokain (IM) 2 x 1,5 juta UI
Inj Ketorolac 2 x 40mg
Inj Metronidazol 3 x 500mg
Inj Ceftriaxone 2 x 1g

Non Farmakologis
- Perawatan pada ruangan yang tenang dan bebas dari rangsangan luar
- Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
yang diderita pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS

I. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditandai dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Tetanus adalah
gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani.

II. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani
adalah organisme bersifat obligat anaerob pembentuk spora, gram positif,
bergerak, yang berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai
binatang, kadang feces manusia.
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat anaerob
murni. Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena bentuk
yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Spora clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak
kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap
antiseptic, pemanasan 100 c dan bahkan pada otoklaf 120 c selama 15-20
menit. Dari berbagai studi yang berbeda, spora ini tidak jarang ditemukan pada
feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.

III. Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi
bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin
terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter
inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang
makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia
timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,
saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi,
gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi
dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom
harus dikenali dan dikelola dengan teliti.

IV. Klasifikasi
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung
dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang
desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan
pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen.
Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali
ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia,
hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot
bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme
dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme
dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan
waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat
yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi
setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga
tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis
biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi
pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah
kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.
Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum
ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

5. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan.
Sebagian besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir.
Kelompok khas adalah pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir
didapatkan dari penderita dengan trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan
spasme tetapi tetap sadar, maka dapat diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
6. Langkah Diagnosis
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan
perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media
supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL.
Pemeriksaan fisik
Adanya kekakuan lokal atau trismus.
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya
penyulit
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman
anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada
luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.


Beberapa sistem scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor
Philips, Dakar, Ablett, dan Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis.
Sistem scoring Tetanus menurut Ablett

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic
spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya
dapat menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering
digunakan Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett
dan dikenal sebagai skor Udwadia.

Sistem scoring Tetanus menurut Udwadia


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit, apneic
spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat berlebih, dan
peningkatan salivasi.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (>
160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau
hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
3. Rabies : dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
4. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

8. Tatalaksana
a. Secara Umum
1. Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
2. Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan
diberi pada sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
4. Oksigen pernafasan dan trakeotomi bila perlu.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.
b. Obat obatan
1. Antitoksin 20.000 IU/I.M/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah
dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2. Anti kejang/Antikonvulsan
Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/I.M. untuk anak diberikan mula-
mula 60-100 mg/I.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200
mg/hari).
Klorpromasin 3 x 25 mg/I.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6
mg/kg BB.
Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam.
3. Antibiotik
Penizilin prokain 1, juta IU/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/I.V dapat
memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses
neurologiknya.
Penisilin G 100.000 200.000 IU/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis.
Metronidazole 500 mg/6 jam/I.V

9. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30% dengan perawatan kesehatan yang
modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya
adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan
jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga
memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap
sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal
yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan
angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.
LAPORAN KASUS
TETANUS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Di RS dr. Soedirman Kebumen
Kebumen

Disusun oleh :
Firman M Ichwan
12711100

Pembimbing : dr. Gularso, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai