Anda di halaman 1dari 97

FILSAFAT MANUSIA

(Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar)

Skripsi
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:
Hairus Saleh
109033100052

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 08 Juli 2014

Hairus Saleh

ii
FILSAFAT MANUSIA
Antara Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar

Skripsi
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan
untuk Memeroleh Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh
Hairus Saleh
NIM: 109033100052

Di Bawah Bimbingan

Dr. Edwin Syarif, MA


NIP: 10670918 199703 1 001

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H./2014 M.

iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul FILSAFAT MANUSIA; STUDI KOMPARATIF

ANTARA ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADL MUTHAHHAR,

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Juli 2014. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam

(S. Th. I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 08 Juli 2014

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Edwin Syarif, MA Dra. Tien Rohmatin, MA


NIP: 10670918 199703 1 001 NIP: 19680803 199403 2 002

Anggota,

Dr. Syamsuri, MA Dr. A. M. Romly, M. Hum


NIP: 19590405 198903 1 003 NIP: 150 19232 34

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

= a = f
= b = q
= t = k
= ts = l
= j = m
= = n
= kh = w
= d = h
= dz =
= r = y
= z
= s Untuk Madd dan Diftong
= sy =
= sh =
= dl =
= th = aw
= zh = ay
=
= gh

v
ABSTRAK

Hairus Saleh
Filsafat Manusia (Studi Komparatif antara Pemikiran Abdurrahman Wahid dan
Murtadl Muthahhar)

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara


makhluk-makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki
makhluk lain. Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai
hakikatnya sebagai manusia.
Para sufi mengatakan bahwa manusia yang hakiki adalah ia yang mampu
memenuhi kebutuhan jiwanya. Pencapaian jiwa manusia akan Tuhannya
merupakan tanda bahwa ia sudah mencapai manusia hakiki. Manusia yang
demikian tak akan lagi mengedepankan dunia.
Tetapi bagi Gus Dur dan Murtadl tidak demikian, terdapat sisi di mana
manusia harus mengoptimalkan potensi rohaninya untuk memenuhi kebutuhan
batin, di sisi lain manusia juga mempunyai potensi jasmani untuk memenuhi
kebutuhan lahirnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai jiwa tetapi juga hidup di dunia dan berinteraksi dengan
orang lain dan alam.
Meskipun keduanya sama-sama mengakui potensi lahir dan batin manusia,
tetapi mereka mempunyai perbedaan-perbedaan dalam menjabarkan tentang
konsep mengenai hakikat manusia. Bahkan puncak pencapaian dari rumusan
tersebut juga berbeda. Gus Dur menyimbolkan manusia yang hakiki dengan
manusia yang mampu mengoptimalkan seluruh potensinya untuk kesejahteraan.
Sedangkan Murtadl menyimbolkannya dengan makhluk yang mampu
menyeimbangkan segala potensinya demi tercapainya ketauhidan yang benar.
Apa yang diuraikan penulis dalam tulisan ini, secara otomatis akan
memberikan gambaran-gambaran tentang hubungan pemikiran kaum Sunni dan
Syiah. Dari itu pembaca sudah bisa melihat persamaan dan perbedaan pemikiran
keduanya.

vi
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis serahkan jiwa dan raga ini

kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada

penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam

senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya,

para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan warisan

kenabian dan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas konflik

tajam antara pengikut sunni dan syiah di Sampang Madura yang kemudian

melahirkan permusuhan yang tak berkesudahan. Isu yang berkembang di

masyarakat, konflik antara keduanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman

terhadap teks-teks agama. Oleh karena itu penulis begitu tertarik untuk

mengkomparasikan pemikiran dua tokoh yang masing-masing berasal dari dua

aliran tersebut, yaitu Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar. Kajian

pemikiran kedua tokoh tersebut difokuskan pada pembahasan tentang filsafat manusia.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya

merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat beserta

jajarannya.

2. Dr. Edwin Syarif, MA. (Ketua Jurusan Aqidah Filsafat dan juga sebagai

pembimbing skripsi), terima kasih telah menyetujui proposal skripsi dan

membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

vii
dengan baik. Dra. Tien Rohmatin, MA (Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat),

yang baik hati dan ramah, terima kasih atas nasihat dan bantuannya, akhirnya

penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini.

3. Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, menghaturkan

beribu-ribu terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua

penulis Ayahanda Abd. Munim Siraj dan Ibunda Hamidah, yang tak henti-

hentinya memberikan doa demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini.

Juga kepada kakak-kakakku, Siti Maryamah, Siti Hafsoh dan Siti Hasanah

yang selalu mendukung serta mengingatkan penulis untuk secepatnya

menyelesaikan skripsi.

4. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi

dan birokrasi.

5. Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan

ilmu yang luas kepada penulis.

6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan fakultas

Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya yang rela

meminjamkan beberapa literatur dalam penulisan skripsi ini.

7. Teman seperjuangan Izaumal Hikmah, Ar Rahmah, Fifin, Burhan, Daqoiq,

Fitri M, Ali Humaini, Dwi Astrianingsih dan teman-teman yang lain yang tak

bisa disebutkan semua. Terimakasih telah memberikan semangat.

Jakarta, 08 Juli 2014

Hairus Saleh

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. ii


LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Batasan Masalah ...................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
D. Metode Penelitian ..................................................................................... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................ 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 9
G. Sistematika Pembahasan ....................................................................... 10

BAB II BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADL


MUTHAHHAR
A. Abdurrahman Wahid ............................................................................ 12
1. Riwayat Hidup .................................................................................. 12
2. Karya-karya ...................................................................................... 17
3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam ........ 20
B. Murtadl Muthahhar ........................................................................... 24
1. Riwayat Hidup .................................................................................. 24
2. Karya-karya ...................................................................................... 28
3. Kedudukan Murtadl Muthahhar dalam Pemikiran Islam ....... 30

BAB III FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN


WAHID DAN MURTADL MUTHAHHAR
A. Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid ............................... 35
1. Mengenai Hakikat Manusia ............................................................ 35
2. Dimensi-dimensi Manusia ............................................................... 40
B. Filsafat Manusia menurut Murtadl Muthahhar .............................. 47
1. Perspektif Murtadl Muthahhar tentang Manusia ..................... 47
2. Dimensi-dimensi Manusia ............................................................... 51

ix
BAB IV KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
MURTADL MUTHAHHAR TENTANG FILSAFAT MANUSIA
A. Pandangan mengenai Ayat-ayat tentang Manusia ............................. 57
B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh ........................................... 61
1. Manusia yang Hakiki ........................................................................ 61
2. Dimensi-dimensi Manusia ................................................................. 65
3. Tentang Kebebasan Manusia ........................................................... 69
C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar
................................................................................................................... 76

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 81
B. Saran-saran ............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Hendrik Rapar yang diambil dari

definisi Plato dalam Pengantar Filsafat bahwa filsafat ialah ilmu yang berupaya

untuk memahami hakikat realitas ada dengan mengandalkan akal budi. 1 Karena

filsafat mencoba memahi segala realitas yang ada, sehingga objeknya melingkupi

segala yang ada termasuk juga manusia.

Ketika filsafat berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji

tentang seluk-beluk manusia. Dalam artian, filsafat akan membahas mengenai

manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi hidupnya. Jika dikaitkan

dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut mengenai

manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian menganai filsafat

manusia mengarah pada hakikat manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam

kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah

makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang

menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan

menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir

maupun batin.2

1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2010), Cet. Ke-14, h. 15.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987), Cet. Ke-1, h. 291.

1
2

Al-Quran menyebutkan manusia dengan beberapa istilah, yaitu basyar,

insn dan ns. Istilah basyar mempunyai arti bahwa manusia merupakan makhluk

yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis.3 Istilah insn

digunakan dalam al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh

totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan

yang lain akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.4 Maka aspek jiwa dan

raga inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang memang benar-benar

berbeda dengan makhluk lain. Sedangkan istilah ns digunakan untuk

menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia.

Artinya ketika menyebut ns berarti adanya pengakuan terhadap spisies di dunia

ini yaitu manusia.5

Insn merupakan istilah yang sangat cocok untuk menggantikan istilah

manusia yang akan dibahas dalam kajian ilmiah ini. Dalam membahas tentang

manusia (insn dalam bahasa al-Quran), para tokoh Islam mempunyai beragam

pendapat, sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Menurut al-Jl, manusia merupakan makhluk yang keruhaniannya

merupakan unsur pokok dalam hidupnya. Unsur pokok tersebut yang menjadikan

manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat Tuhan.6 Dengan usaha ini,

sesungguhnya manusia berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan.

3
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 300.
4
M. Qurash Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan 1997), h. 278.
5
Bahruddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Quran
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 76.
6
Abdul Karm Ibnu al-Jl, Insn Kmil: Ikhtisar Memahami Kesejatian Manusia dengan
Sang Khliq hingga Akhir Zaman, terj. Misbah el-Majid (Surabaya: Pustaka Hikma Perdana, 2006), h.
319.
3

Keintiman antara manusia dan Tuhan merupakan titik akhir dari pengembaraan

tersebut. Pada tahap ini manusia sesungguhnya sudah mencapai realitasnya

sebagai manusia yang hakiki.

Berbeda dengan Al Syariat, ia memandang bahwa manusia tidak akan

pernah mencapai realitasnya, karena antara manusia dan Tuhan selalu terdapat

jarak yang memisahkan keduanya. Sehingga manusia pada hakikatnya selalu

berada dalam proses menuju realitasnya.7 Jadi meskipun dengan segala unsur-

unsur individunya ia berpotensi untuk mencapai taraf yang lebih tinggi dari

tingkatan kemanusiaan yang dicapainya, tetapi pencapaiannya hanya sebatas terus-

menerus maju ke arah realitasnya.8

Kalau kedua tokoh di atas membahas tentang manusia dalam kaitannya

dengan penyatuannya dengan Tuhan, tetapi Abudurrahman Wahid dan Murtadl

Muthahhar membahas tentang manusia yang dikaitkan dengan eksistensi manusia

sebagai makhluk yang hidup di dunia dan bertugas untuk menjaga

keberlangsungan hidupnya. Dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia,

kedua tokoh tersebut menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang kemudian

diarahkan untuk menjaga keseimbangan berbagai aspek dari hidup manusia.

Tetapi keduanya mempunyai perbedaan titik tekan dalam mencapai tujuan

dari konsepnya. Gus Dur menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang

7
Al Syariat, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin (Jakarta:
YAPI, 1990), h. 68-69.
8
Al, Tugas Cendikiawan Muslim, h. 64.
4

dikembangkan itu berujung pada ranah sosial.9 Sedangkan Murtadl Muthahhar

menjabarkan dimensi-dimensi manusia tersebut berpangkal pada keimanan dan

keilmuan.10

Dalam merumuskan konsep tentang hakikat manusia (filsafat manusia),

kedua tokoh sama-sama mendapatkan inspirasi dari al-Quran. Al-Quran

merupakan landasan utama keduanya dalam konsep tersebut, sehingga dalam

membahas tentang manusia, keduanya juga menyertakan ayat-ayat yang kemudian

dijabarkan. Maka pembahasan kedua tokoh tentang ayat-ayat mengenai manusia

perlu juga dibahasnya. Selain pembahasan mengenai kebebasan manusia dalam

menentukan masa depannya.

Latar belakang dari penulisan skripsi ini adalah berawal dari konflik Sunni

dan Syiah yang terjadi di Sampang pada 26 Agustus 2012. Berdasarkan MUI Jawa

Timur konflik tersebut lahir karena perbedaan aliran, yaitu Sunni dan Syiah.

Meskipun para peneliti menyebutkan bahwa faktor digerakkannya masyarakat

adalah masalah keluarga pemimpin masing-masing kelompok, tetapi faktanya

masyarakat itu bergerak atas nama membela Islam dari kesesatan Syiah.

Ajaran-ajaran Syiah yang sangat berbeda dengan Sunni yang kemudian

dianggap sesat antara lain ialah anggapan Syiah yang memposisikan Imam seperti

nabi, anggapan Syiah tentang selainnya adalah pelacur, menghalalkan darah Sunni,

9
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), Cet. Ke-1, h. 30.
10
Murtadl Muthahhar, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, terj. Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 1992), Cet. Ke-6, h. 30.
5

melecehkan Nabi dan Ummul Muminin dan lainnya.11 Ajaran-ajaran ini yang

membakar jiwa jihat Sunni Sampang, sehingga mereka menganggap ajaran Syiah

sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam. Mereka menjadi tak lagi mampu

melihat persamaan-persamaan bahwa mereka juga berlandaskan al-Quran dan

hadis.

Dari faktor inilah, penulis terpanggil untuk mencari titik persamaan dari

kedua aliran tersebut melalui pengkajian terhadap pemikiran masing-masing satu

tokoh dari kedua aliran tersebut. Dengan demikian penulis mengambil

Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar sebagai perwakilan. Alasannya,

kedua tokoh tersebut hidup di masa yang sangat dekat, umurnya hanya selisih 20

tahun. Di samping itu, keduanya merupakan tokoh yang mempunyai pengaruh

yang cukup besar di Sunni dan Syiah dan bahkan di dunia pemikiran. Kemudian,

kedua tokoh tersebut sama-sama tidak hanya membaca buku-buku pemikiran

Islam, tetapi juga membaca dan mengkaji secara mendalam buku-buku karya

filosof barat.

Di tengah perbedaan yang begitu menyeramkan itu, menjadi sangat

menarik ketika pemikiran keduanya tersebut dibahas untuk kemudian mencari titik

temu yang tepat sekaligus perbedaannya dalam suatu kajian komparasi. Maka

untuk mencapai hal itu, penulis mengangkat tema tersebut dalam sebuah penelitian

skripsi yang berjudul Filsafat Manusia: Studi Komparasi antara Abdurrahman

Wahid dan Murtadl Muthahhar.

11
MUI Jawa Timur, Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Jawa Timur, No.
Kep-01/SKF-MUI/JTM/I2012, Tentang kesesatan ajaran Syiah.
6

B. Batasan Masalah

Penulis memfokuskan pembatasan masalah skripsi ini pada pemikiran

tentang manusia menurut Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar yang

ditinjau dari aspek penafsiran tentang manusia, hakikat, unsur-unsur dan

kebebasan manusia.

Dalam judul skripsi menyebutkan istilah filsafat manusia. Maksud dari

istilah filsafat manusia itu sendiri ialah kajian yang mendalam mengenai hakikat

manusia itu sendiri. Pengertian mengenai filsafat sebagai kajian yang mendalam

diambil dari buku Kamus Filsafat yang ditulis oleh Loren Bagus. Tepatnya, ia

menjelaskan bahwa filsafat merupakan penyelidikan kritis atas pernyataan-

pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.12

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut: bagaimana konsep manusia menurut

Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar? Apa persamaan dan perbedaan

pemikiran keduanya tentang filsafat manusia?

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi

pustaka dengan rujukan buku primer tulisan-tulisan karya Abudurrahman Wahid,

seperti Islam Kosmopolitan, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan,

12
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), Cet. Ke-4, h. 242.
7

Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur dan lain-lain.

Sedangkan mengenai tulisan pemikiran Murtadl Muthahhar, buku yang akan

dijadikan kajian utama ialah Insn Kmil, yang diterjemahkan oleh Abdillh

mid Baabud menjadi Manusia Seutuhnya, Man and Universe, Bedah Tuntas

Fitrah, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama karya Murtadl yang

disunting Haidar Bagir dan lain-lain.

Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas atau yang

berkaitan dengan manusia. Sumber sekunder ini akan digunakan untuk

menganalisis pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar mengenai

manusia sekaligus persamaan dan perbedaannya yang kemudian akan ditemukan

titik temu antara kedua pemikiran tersebut.

Dalam pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik,

yaitu menggunakan sumber-sumber yang ada, lalu mendeskripsikannya, kemudian

dianalisis mengenai bagaimana pemkiran Abdurrahman Wahid dan Murtadl

Muthahhar tentang menusia sekaligus titik temunya.

Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,

2007. Sedangkan transeliterasi didasarkan pada pedoman transeliterasi

Paramadina.
8

E. Tinjauan Kepustakaan

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengaji pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar, tetapi tidak satu pun dari

pembahasan tersebut mengkomparasikan antara pemikiran kedua tokoh tersebut

mengenai kajian tentang manusia. Di antara penelitian-penelitian tersebut yaitu:

Penelitian skripsi yang berhubungan dengan Murtadl Muthahhar ialah

Pertama, skripsi yang berjudul Kebebasan Manusia dalam Persepektif John Stuart

Mill dan Murtadl Muthahhar (Sebuah Studi Komparasi) yang ditulis oleh Yuli

Astuti pada tahun 2001. Yuli memfokuskan pada kebebasan manusia yang

menurutnya terdapat perbedaan dan persamaan dalam pemikiran kedua tokoh

tersebut. Kedua, Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam Perspektif Teologi

Murtadl Muthahhar yang merupakan skripsi Izkar Sobah pada tahun 2006.

Skripsi ini difokuskan pada keadilan Tuhan dan kejahatan yang tidak membuatnya

untuk tidak adil. Ketiga Konsep Fitrah Murtadl Muthahhar yang ditulis oleh

Muniroh pada tahun 2008. Dalam skripsi ini ia membahas fitrah yang berkaitan

dengan masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain

bersifat fitrah.

Keempat, Konsep Zuhud Murtadl Muthahhar yang ditulis Nurdin Kadir

pada tahun 2008. Ia memokuskan penulisannya pada zuhud yang akan

mengakibatkan seseorang merasa puas dengan kehidupan yang sederhana.

Keenam ialah Pemikiran Murtadl Muthahhar tentang Filsafat Sejarah yang

ditulis oleh Muslim pada tahun 2011. Skripsi ini difokuskan pada filsafat sejarah
9

Murtadl yang kemudian dilanjutkan pada kritiknya terhadap materialisme

dialektis dan materialisme historis Karl Marx.

Sedangkan karya ilmiah yang berkaitan dengan Gus Dur di antaranya

ialah Kontroversi Kebijakan Politik Presiden Abdurrahman Wahid pada Era

Reformasi yang ditulis oleh asep hikmatillah tahun 2006. Penelitian ini membahas

tentang kebijakan presiden mengenai pencabutan TAP MPR tentang pelarangan

ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial, juga

penerahangan, badan pemantapan stabilitas nasional dan lembaga penelitian

khusus. Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Asas

Negara yang ditulis oleh Warno pada tahun 2009. Skipsi ini mengaji tentang

hubungan antara agama dan negara. Hal ini dilakukan untuk menemukan makna

Pancasila dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari

banyak suku, ras, agama serta budaya. Dan Demokrasi dalam Pandangan

Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh Ato Sugiarto pada tahun 2010. Skipsi ini

membahas tentang pilar-pilar demokrasi, relasi Islam dengan demokrasi dan

analisis pemikiran Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan

perbedaan antara pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan tokoh besar

Sunni dan Murtadl Muthahhar sebagai tokoh berpengaruh Syiah tentang filsafat

manusia.
10

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini meliputi kegunaan praktis dan

akademis. Kegunaan praktis dari penelitian ini yaitu: Pertama, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan solusi terhadap pertikaian antara aliran Sunni dan

Syiah khususnya di Sampang, bahwa ajaran kedua aliran tersebut tidak

bertentangan dan bahkan di beberapa aspek mempunyai persamaan-persamaan

yang dengan hal itu kedua aliran tersebut dapat hidup berdampingan dengan

damai. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan model terbaik

kepada seluruh umat tentang hakikat manusia. Sedangkan kegunaan akademisnya

ialah penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah intelektual Islam dan

Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,

maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan Bab Pendahuluan, memuat latar belakang, rumusan dan

batasan masalah, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, tujuan dan kegunaan

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II akan dijelaskan mengenai biografi Abdurrahman Wahid dan

Murtadl Muthahhar. Dalam bab ini penulis akan membahas biografinya yang

perlu diangkat dalam penelitian ini. Di dalam biografi tersebut, terdapat sub

pembahasan yang terdiri dari riwayat hidup dan kedudukan kedua tokoh tersebut

dalam pemikiran Islam.


11

Mengenai pemikiran filsafat manusianya, penulis akan membahas seluk-

beluk pemikirannya mengenai filsafat manusia seperti aspek-aspek kemanusian

manusia yang memang harus ditekankan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga

aspek kemanusiaan itu perlu dilindungi. Tetapi tidak hanya itu, hal-hal yang

berkaitan dengan konsep manusia akan penulis ungkapkan dalam bab ini.

Bab III akan dijelaskan tentang pemikiran kedua tokoh yang penulis

bahas mengenai filsafat manusia. Filsafat manusia tersebut terdiri dari kajian

tentang manusia secara hakiki beserta dimensi-dimensi kemanusiaan manusia yang

memang tertanam dalam diri manusia.

Bab IV menjelaskan tentang komparasi pemikiran Abdurrahman Wahid

dengan Murtadl Muthahhar mengenai pemikiran filsafat manusia. Di kesempatan

ini penulis akan membahas persamaan sekaligus perbedaan pemikiran keduanya

mengenai filsafat manusia beserta analisis terhadap pemikiran kedua tokoh tentang

filsafat manusia. Sedangkan Bab V adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan

saran-saran.
BAB II

BIOGRAFI
ABDURRAHMAN WAHID DAN MURTADL MUTHAHHAR

A. Abdurrahman Wahid
1. Riwayat Hidup

Nama Abdurrahaman Wahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat

Indonesia. Abdurrahman Wahid dikenal juga dengan nama Gus Dur. Gus

adalah panggilan kehormatan untuk putra dari keluarga Kiai. Gus itu sendiri

adalah kependekan dari kata bagus. Di Madura, gus (bagus) dikenal dengan

istilah lora. Dia adalah anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan priyai

terkemuka di Indonesia. Bapaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim adalah putra

Kiai Hasyim Asyari yang merupakan pendiri oraganisasi Islam terbesar di

Indonesia, bahkan di dunia, jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan

ibunya, Nyai Sholehah, adalah putri dari tokoh besar NU dan juga seorang Kiai

terkemuka, Kiai Bisri Syamsuri.12

Mengenai hari kelahiran Gus Dur, beberapa penulis berbeda pendapat.

Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), id.wikipedia.org dan

beberapa penulis menyebutkan bahwa tanggal kelahirannya bertepatan pada 4

Agustus 1940 M. Sedangkan Greg Barton menyebutkan bahwa pada 7

September adalah tanggal kelahiran Gus Dur. Alasannya, penanggalan

12
Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), Beyond the Symbols: Jejak
Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: INCRES, 2000), Cet. Ke-1, h. 4.

12
13

kelahiran Gus Dur berdasarkan pada penanggalan Islam, yaitu 4 Syaban yang

bertepatan pada tanggal 7 September 1940 M.13

Tetapi Greg Barton dan Tim Institut of Culture and Religion Studies

(INCRES) sepakat bahwa Gus Dur adalah keturunan dari Lembu Peteng (raja

Brawijaya VI) melalui Jaka Tingkir (putera Lembu Peteng), pangeran Bawana

(putera Jaka Tingkir).14 Jaka tingkir adalah tokoh yang pertamakali dianggap

sebagai orang yang memperkenalkan Islam di daerah pantai timur laut pulau

Jawa. Sedangkan pangeran Bawana merupakan orang yang rela meninggalkan

kemegahan kerajaan demi mengajar sufisme kepada masyarakat.15

Sejak belajar bersama kakeknya, Gus Dur memang sudah terbiasa hidup

sederhana. Dalam pendidikan ia justru belajar di sekolah-sekolah sederhana. Di

masa kecil ia belajar di pondok pesantren yang diasuh kakeknya. Ketika di

Jakarta, ia belajar di sekolah dasar KRIS (Jakarta Pusat) dan pindah ke SD

Matraman Pertiwi.16 Untuk tingkat sekolah menengah pertama ia sekolah di

Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Tanah Abang, dan pindah ke

SMEP Yogyakarta. Di samping itu ia juga belajar ilmu agama kepada Kiai

pengasuh pondok pesantren seperti KH. Maksum Ali, KH. Fatah, KH. Masduki

dan KH. Bisri Syamsuri.17

Selain kakeknya, ayah Gus Dur, Wahid Hasyim (pemimpin Islam

sekaligus pejabat kementerian agama) mempunyai jasa yang besar terhadap


13
Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. Lia Hua (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25.
14
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6.
15
Greg, Biografi Gus Dur, h. 27.
16
Greg, Biografi Gus Dur, h. 70.
17
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Bina Utama, 1999), h. 4-5.
14

perkembangan intelektual Gus Dur. Ayahnyalah yang mengajarkannya banyak

hal, terutama dalam hal pluralitas dan toleransi. Karena Gus Dur adalah orang

yang selalu menemani Wahid Hasyim dalam setiap aktivitasnya dengan

berbagai golongan, termasuk dengan Tan Malaka.18

Gus Dur memang sosok yang mempunyai kebiasan berbeda dengan

lainnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa berbaur dengan berbagai golongan dan

keadaan sebagaimana diajarkan kakek dan ayahnya. Kebiasaan ini turut

memperkaya khazanah intelektualnya, karena setiap orang yang pernah

berinteraksi dengannya pasti membawa budaya, ideologi serta kemampuan

intelektualnya. Seperti Willem Buhl, di samping mengajarinya bahasa Belanda,

ia juga menyuguhkan musik klasik ala Eropa.19 Inilah modal awal Gus Dur

yang akan menyadarkanya tentang pentingnya saling menghormati dan

pentingnya memanusiakan manusia.

Dari aspek intelektual, Gus Dur juga merupakan sosok yang mempunyai

kebiasaan berbeda dengan orang lain seusianya. Ketika di Jakarta, ia sering

membaca buku di Perpustakaan Umum dan akrab dengan berbagai majalan,

surat kabar, novel, filsafat, dokumen sejarah manca negara, cerita silat hingga

fiksi sastra.20 Hal itu didukung oleh anjuran ayahnya untuk membaca buku apa

saja yang disukai dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang

mereka temukan.21

18
Greg, Biografi Gus Dur, h. 35.
19
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 6.
20
Tim INCRES, Beyond the Symbols, h. 7.
21
Greg, Biografi Gus Dur, h. 40.
15

Maka dari itu, menjadi sangat wajar jika dalam usia 15 tahun saja ia

sudah membaca buku-buku berat seperti Das Kapital karya Karl Marx, buku-

buku filsafat Plato, Thales, novel-novel William Bocher dan Romantisme

Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilych.22 Bacaannya tentang pemikiran

filsafat barat juga diteruskan sampai ia kuliah di Universitas Baghdad Iraq. Ia

banyak membaca pemikiran Emile Durkheim dan filosof-filosof Barat

lainnya.23 Tetapi yang tidak kalah bahwa ia juga belajar dengan tekun tentang

buku-buku Islam tradisional sejak keberadaannya di pondok pesantren,

Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Baghdad. Serta banyak membaca

tentang sastra dan kebudayaan Arab, dan teori sosial.24

Meskipun Gus Dur banyak membaca buku tentang pemikiran-pemikiran

barat, tetapi tidak kemudian melupakan bacaan-bacaan dan ajaran Islam

tradisional yang merupakan identitas ideologinya. Pemikiran-pemikiran barat

tampak banyak memengaruhinya, sehingga ia mampu berpikir secara

sistematis. Yaitu kajian-kajian yang dikelutinya dilakukan secara empiris

dengan menggunakan pisau mitodologi yang tajam. Ia juga tetap

mempertahankan ajaran spritualitas dengan mengunjungi makam para wali. Di

samping itu ia mendapat pengokohan ajaran spiritualitasnya dengan menggeluti

ajaran Imam Junaidi al-Baghdadi.25

22
INCRES, Beyond the Symbols, h. 9.
23
Greg Barton, Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid
dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 170.
24
Ibid, h. 168.
25
Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme,
dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 18.
16

Dalam pandangannya mengenai Islam, ia banyak mengaji mengenai

Islam tradisional dan menghormati kebudayaan lokal. Hal itu yang menjadikan

Gus Dur tidak terbatasi oleh ideologi, sehingga ia mempunyai ruang yang lebih

luas di ranah nasional dibandingkan dengan Kiai lain. Dengan demikian ia

dijuluki dengan sebutan Kiai ketoprak.26

Tidak puas-puasnya Gus Dur belajar. Meskipun sudah menjabat sebagai

presiden, ia tetap tidak gengsi untuk terus belajar pada orang-orang yang

dianggap lebih hebat darinya. Orang yang dijadikannya guru selain guru di

pesantren ialah Presiden Kim Dae Jung yang merupakan Presiden Seoul dan

Sulakhshi Bharaksa dari Thailand. Keduanya ialah guru Gus Dur yang masih

hidup di masanya. Sedangkan gurunya yang sudah meninggal di antaranya

Ialah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi dan

Soekarno.27

Sepulangnya ke Indonesia, Gus Dur banyak berkiprah di dunia

penulisan dan aktivitas akademis lainnya. Misalnya ia aktif menulis di Majalah

Tempo, Jurnah Prisma, Kompas dan Pelita.28 Kemudian dia mendirikan Forum

Demokrasi (FORDEM). Sekaligus penggagas berdirinya Gerakan Anti

Diskriminasi (Gandi).

Gus Dur juga pernah menjadi salah seorang presiden pada Konfrensi

Dunia untuk Agama dan Perdamaian yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Ia

juga pernah menjadi anggota Pembina Simon Pereze untuk Perdamaian yang

26
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: al-Ruzz, 2004), h. 71.
27
Tim INReS, Beyond the Symbols, h. 22.
28
Ibid, h. 19.
17

Bermarkas di Tel Aviv, Israel dan menjadi dewan penasehat pada Internasional

Dialoque Foundation on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di

Den Haag, Belanda.29

Berbagai penghargaan juga pernah dinobatkan kepadanya. Salah

satunya ialah penghargaan Nobel Asia yang disebut Hadiah Ramon Magsaysay

yang digelar di Manila, Filipina. Penghargaan tersebut diberikan berdasarkan

keterlibatan yang besar dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap

demokrasi serta upaya menumbuhkan toleransi antar umat beragama di

Indonesia.30 Penghargaan yang diterima tersebut tidak salah, karena selama

hidupnya Gus Dur memang memerjuangkan kemanusiaan lewat demokrasi.

Menurut putrinya, Yenny Zannuba Wahid, di sambutan dalam suatu buku,

bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk

kemanusiaan.31

2. Karya-Karya

Gus Dur memang terkenal sebagai akademisi yang produktif dalam tulis

menulis. Karya-karyanya banyak menyebar di berbagai media. Tulisan-tulisan

itu kemudian diformat dalam bentuk buku. Di antara bukunya ialah:

Tuhan tidak Perlu Dibela merupakan buku kumpulan tulisannya yang

dimuat di Tempo dari tahun 1970-an sampai 1990-an. Dalam buku ini, Gus Dur

29
Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid, h. 37.
30
Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam (Bandung:
Mizan, 2002), h. 167.
31
Yenny Zannuba Wahid, Gus Dur: Seorang Pejuang Kemanusiaan, Rumadi (ed), Damai
Bersama Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), h. xix.
18

menjelaskan tentang paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam,

perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antarkelompok dalam

konteks kebangsaan dan ke-Indonesia-an.

Prisma Pemikiran Gus Dur merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang

dimuat di jurnal Prisma yang dicetak dalam bentuk buku. Spektrum yang

menjadi perhatiannya dalam tulisan ini meliputi politik, ideologi, nasionalisme,

gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya.

Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang

dianggap aktual sejak 1980-an hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi

kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun

nasional. Dalam buku itu, ia menjelaskan tentang Islam yang multi wajah,

wajah manusiawi. Islam, dalam buku tersebut, adalah agama yang tampil sejuk,

pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat

manusia, bukan agama yang menebar ketakutan kepada umat agama lain.

Pergulatan Negara, Islam dan Kebudayaan, karya Gus Dur ini

menjelaskan tentang sebuah negara yang tidak seharusnya berurusan dengan

kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup (the art of living) atau

kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun dari interaksi

antar manusia; individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian

adalah representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive. Intervensi

negara atas (meminjam istilah Gus Dur) birokratisasi-kebudayaan hanya akan


19

memutarnya ke arah kebalikan, yakni pembekuan daya cipta masyarakat yang

sedang berada dalam perubahan besar-besaran.

Karya Gus Dur yang berjudul Kiai Nyentrik: Membela Pemerintah ini

dikumpulkan dari kolom-kolom yang dia tulis di majalah Tempo era 1970-an

dan 1980-an. Esai-esai ini bertutur tentang rasionalitas yang penuh warna, yang

bergerak antara ortodoksi dan penyiasatan pragmatik, agar kehidupan tetap

berlangsung.

Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, buku ini merupakan

kumpulan essai Gus Dur tentang pesantren, yang mengambil format hubungan

pesantren, negara, pembangunan, dan juga deskripsi atas kebudayaan pesantren.

Deskripsi Gus Dur ini turut mempersempit kesenjangan dan kekeliruan

pengertian antara pihak luar dan pihak dalam pesantren. Tawaran pembaruan

yang dikemukakan Gus Dur untuk pesantren, seperti hal penyusunan

kurikulum, peningkatan sarana, pembenahan manajemen kepemimpinan,

pengembangan watak mandiri, dan beberapa yang lainnya tetap merupakan

agenda pesantren hingga sekarang.

Buku selanjutnya ialah Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Dalam buku ini

Gus Dur menjelaskan tentang apa yang ia lihat mengenai kejayaan Islam yang

terletak pada kemampuan agama Islam untuk berkembang secara kultural.

Dalam hal ini, ia menulak konsep mengenai negara Islam. Karena menurutnya

Islam merupakan jalan hidup yang tak memiliki konsep jelas tentang negara.
20

3. Kedudukan Abdurrahman Wahid dalam Pemikiran Islam

Dalam ranah pemikiran Islam Indonesia, Gus Dur mempunyai posisi

yang cukup tinggi dan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap

pemikiran Islam pada masa itu dan sesudahnya. Hal ini tidak mengherankan,

karena kapasitas keilmuan Gus Dur yang tidak diragukan lagi kehebatannya,

baik mengenai keilmuan agama maupun keilmuan lain. Tidak hanya itu, yang

menjadikannya mempunyai pengaruh dan wibawa yang hebat terhadap umat

Islam Indonesia ialah posisinya sebagai cucu dari pemimpin besar kelompok

Islam terbesar sedunia, yaitu Hasyim Asyar.

Berdasarkan perjalanan intelektualnya, Gus Dur dibentuk oleh

pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Kedua pendidikan

tersebut memberikan modal yang sangat baik untuk mengembangkan

pemikirannya mengenai Islam Indonesia. Tampaknya kedua pendidikan

tersebut yang menjadikannya mempunyai cara pandang yang lebih luas

dibandingkan dengan tokoh Islam lainnya, yaitu pandangan yang menekankan

pada hal yang bersifat substansial.32

Hal yang tidak dapat dilupakan ialah Gus Dur merupakan bagian dari

gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.33 Gerakan baru yang

menekankan pemahaman Islam yang terbuka, terutama dalam menerima

kenyataan tentang kemajemukan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

32
Tim INCReS, Beyond the Symbols, h. 55.
33
Greg, Biografi Gus Dur, h. 134.
21

Hal tersebut kemudian menekankan sikap toleran dan harmonis dalam

hubungannya dengan komunitas lain.34

Gus Dur dikenal dengan seorang pemikir Islam yang sangat bijak.

Dalam memahami ajaran Islam, ia juga mempertimbangkan kearifan lokal yang

menurutnya harus tetap dipertahankan35 tanpa harus menghilangkan ajaran

keimanan dan peribadatan formal.36 Karena budaya lokal merupakan identitas

suatu masyarakat yang bersangkutan, yang kemudian membedakannya dengan

masyarakat lain.

Di samping itu, Gus Dur merupakan pemikir Islam yang disamakan

dengan filosof Yunani ternama yang molontarkan komentar-komentar humoris.

Filosof tersebut ialah Socrates.37 Sebagai tokoh intelektual yang disamakan

dengan Socrates, keagungan Gus Dur dalam ranah akademis sudah sewajarnya

menjadi panutan umat.

Bapak Humanis Islam adalah sebutan yang tidak berlebihan untuk Gus

Dur. Ia hadir di dunia memang untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.

Tak pernah ada rasa ragu dan takut dalam memperjuangkan Hak Asasi

Manusia. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur selalu menghindari

kekerasan sebagaimana dilakukan salah satu tokoh favoritnya, Mahatma

34
Abdurrahman Wahid, Pemikiran Islam yang Brilian, dalam Badiatul Rozikin, dkk, 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: E-Nusantara, 2009), h. 38.
35
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogjakarta: LKiS, 2010), h. 126.
36
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 92.
37
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesarans Gus Dur, h. 22.
22

Gandhi.38 Bahkan, dia pernah berpesan seandainya ia wafat, di batu nisan

hendaknya dituliskan dengan kalimat di sini dikubur seorang humanis.39

Dalam suasana intelektual umat Islam yang mulai stagnan, di tengah

keterbungkaman intelektual muslim Indonesia karena tekanan sesepuhnya yang

terus menghantui kaum muda untuk berpikir kritis, Gus Dur tampil sebagai

pahlawan yang cukup gagah dan sukses dalam mendorong dan memupuk

tumbuhnya intelektual umat Islam Indonesia. Dialah, Gus Dur yang melahirkan

dan menumbuh suburkan kultur kaum muda NU. Kaum muda yang melahirkan

pemikiran-pemikiran yang mencengangkan dalam merespon isu-isu modern.40

Djohan Efendi juga memberikan penilaian yang sama mengenai hal ini,

bahwa era kepemimpinan Gus Dur di organisasi Islam terbesar dunia itu telah

melahirkan banyak intelektual muda yang punya kompetensi yang hebat dan

kreatif dalam merespon problematika zaman yang datang silih berganti. Hal

itulah kiranya yang menjadikan NU tidak tergoncang dikala arus globalisasi

membanjiri dunia Islam Indonesia.

Tema-tema yang menjadi ajang dialog aktif dan terbuka antarintelektual

di antaranya mengenai isu tentang Islam dan negara, Islam dan budaya lokal,

Islam dan modernisme, Islam dan kemanusiaan. Gus Dur sangat aktif merespon

isu-isu tersebut dengan dasar-dasar yang sangat kuat, dan mampu memberikan

jalan tengah antara Islam dan isu-isu yang berkaitan dengannya.

38
Iip D. Yahya, Gus Dur: Berbeda Itu Asyik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Cet. Ke-5, h. 60.
39
Djohan Efendi, Gus Dur: Sang Presiden yang Humanis, dalam Ahmad Gaus AF, Sang
Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi (Jakarta: ICRP, 2009), h. 191.
40
Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, h. 30.
23

Respon-respon Gus Dur kemudian memberikan kemantapan hati umat

Islam untuk tetap tidak gentar menghadapi arus globalisasi. Karena mereka

sudah menemukan jalan terbaik untuk dilalui di tengah hantaman arus budaya-

budaya dunia yang siap mengikis ajaran dan budaya mereka. Gus Dur juga

menunjukkan suatu sikap yang benar-benar terbuka terhadap segala di luar

Islam tanpa harus menghilangkan hakikat Islam itu sendiri. Tetapi dengan

catatan selama apa yang ada di luar Islam itu dapat memberikan manfaat

terhadap kesejahteraan umat manusia.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur tidak hanya diterima di kalangan umat

Islam Indonesia, tetapi pemikirannya sudah mewakili pemikiran Islam dalam

menyuarakan pemikiran-pemikiran cemerlang yang menjadi perhatian

intelektual dunia. Bukti diterima pemikirannya di kancah pemikiran

internasional ialah banyaknya penghargaan internasional yang diteriman Gus

Dur.41 Bahkan Gus Dur tidak hanya berteori, ia juga tidak segan-segan

memperaktekkan teori tersebut dalam kehidupan nyata.

Dalam wacana Hak Asasi Manusia, Gus Dur tidak hanya memberikan

konsep-konsep kosong mengenai pembelaan HAM, tetapi ia juga

mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Misalkan pembelaan terhadap hak-

hak kaum Konghucu yang terpasung selama Orde Baru. Atas kerja keras

tersebut Gus Dur mendapatkan penghargaan dari sebuah yayasan yang bergerak

di bidang penegakan Hak Asasi Manusia, Simon Wiesenthal Center, dan dri

41
Mohammad, Gus Dur, h. 54-55.
24

Mebal Valor.42 Bahkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan langkah-

langkah yang mencengangkan itu juga mendapatkan perhatian dari Universitas

Tampel. Dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman

Wahid Chair of Islamic Study.43

Keluasan cakrawala keilmuannya yang melintasi ilmu agama serta

kepiawayannya memanfaatkan ilmunya untuk memberikan solusi-solusi kreatif

mengenai seluruh aspek permasalahan-permasalahan umat merupakan

keunggulan Gus Dur yang patut dijuluki sebagai pendekar intelektual yang

handal. Bahkan sampai saat ini tampaknya belum ada tokoh Islam yang mampu

menggantikan posisi tersebut.

B. Murtadl Muthahhar
1. Riwayat Hidup

Murtadl Muthahhar merupakan putra dari seorang ulama terkemuka

dan dihormati, Syekh Muhammad Husain Muthahhar.44 Muhammad Husain

adalah orang pertama yang memperkenalkannya dengan ilmu pengetahuan. Ia

berada di bimbingan ayahnya sampai 12 tahun setelah kelahirannya.45

Kelahirannya bertepatan pada 2 Februari 1920 M yang bertepatan dengan 12

Jumadil Ula 1228 H di Fariman.46

42
Abdurrahman Wahid, http://id.wikipedia.org.
43
Ibid.
44
Haidar Baqir, Murtadl Muthahhar, Sang Mujahid Sang Mujahid (Bandung: Yayasan
Muthahhar, 1998), h. 25.
45
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar (Laporan Penelitian
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 8.
46
Haidar, Murtadl Muthahhar, h. 26.
25

Bekal ilmu keagamaan pertamakali didapatkan dari ayahnya. Sehingga

sang ayah bukan hanya sekedar orang tua darinya, tetapi juga menjadi seorang

guru yang sangat mempunyai perhatian yang cukup tinggi terhadap

pendidikannya, sehingga ia selalu membimbingnya dengan baik. Sedangkan

keilmuan tentang membaca, menulis, surat-surat pendek al-Quran dan

pengentar sastra Arab didapatkan dari madrasah di Fariman tempat ia belajar.47

Tampaknya, ilmu-ilmu yang didapatkan itulah yang kemudian menjadi bekal

dan bahkan mampu memengaruhi perkembangan intelektualnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia kemudian

berpetualang ke Hawzah Masyhad untuk melanjutkan studi keagamaannya.

Tempat itu adalah pusat pendidikan agama Syiah. Di Hawzah Masyhad

tersebut, Muthahhar telah menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam

upaya mempelajari ilmu-ilmu Islam. Di sana, beliau juga telah menunjukkan

minat besar terhadap filsafat dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak

terinspirasi oleh kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu,

Mirza Mehdi Syahidi Razavi.48

Tepatnya pada 1936, ia pindah ke Qom untuk memperdalam ilmu

keagamaan. Di tempat tersebut, ia belajar di bawah bimbingan Ayatullah

Boroujerdi dan Khomeini.49 Tentunya kepindahan tersebut berlasan yang kuat.

47
Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.
313.
48
Muhsin Labib, Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra (Jakarta: Lentera, 2005), h. 278.
49
Jamaluddin Rahmat, Kata Pengantar, dalam Murtadl Muthahhar, Perspektif al Quran
tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1992), h. 8.
26

Di antara faktor-faktor yang menjadikannya pindah ialah pertama, guru

yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada

tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga,

adanya tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan,

terhadap seluruh lembaga-lembaga ke-Islam-an, termasuk Hawzah Mashyad.50

Kerajaan Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam

tersebut dapat mengganggu stabilitas politis negara.51

Khomeini merupakan guru yang mempunyai hubungan yang sangat

dekat dengannya. Sang imam adalah pengajar muda yang mempunyai

kedalaman dan keluasan wawasan keislaman dan kemampuan

menyampaikannya kepada orang lain dengan sangat baik. Kehebatannyalah

yang menjadikan pelajaran-pelajaran khomaeni terutama pelajaran mengenai

irfannya meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hati Muthahhar. Bahkan

materi yang disampaikan Khomaeni itu masih terngiang-ngiang di telinganya

sampai beberapa hari setelah mendengarkannya.

Tidak hanya Khomaeni yang menjadi gurunya. Bahkan Allamah

Thabatthaba yang juga merupakan ulama besar di masanya juga menjadi guru

favoritnya di bidang filsafat dan irfan. Sedangkan pemikiran Allamah juga

dipengaruhi kajian-kajian mengenai Nahj al-Balghah. Nahj al-Balghah

50
Muhsin, Filosof, h. 279.
51
Murtadl Muthahhar, Mutiara Wahyu, terj. Syekh Al al-amd (Bogor: Cahaya, 2004), h.
155-156.
27

merupakan kumpulan wacana, pidato, surah-surah dan kata-kata bijak khalfah

keempat dan imam pertama dalam madzhab Syiah, Al bin Ab Thlib.52

Pada tahun 1950 Murtadl konsentrasi lebih keras lagi pada studi

filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia

dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai

mengikuti diskusi Kamis Thabatthaba tentang filsafat materealis. Diskusi

ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-

e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik).

Murtadl kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang

luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap

menerbitkannya (1953-1985). Di samping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn

Sina dengan Thabatthaba. Di antara teman kelasnya adalah Muntazeri dan

Behesti

Mengenai Nahj al-Balghah, selain dikenal merupakan suatu model

ketinggian sastra Arab, seperti antara lain diungkapkan oleh Syaikh

Muammad Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis,

filosofis, dan mistis yang amat sophisticated. Dari kitab ini (di samping ucapan-

ucapan para imam lain) kaum Syiah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan

irfan. Inkorporasi Nahj al-Balghah ke dalam sistem Filsafat Islam yang

berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mullah

Shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat

52
Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullh Murtadl Muthahhar (Yogyakarta:
UGM, 2004), h. 2.
28

Muthahhar, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini

Muthahhar dalam karyanya yang berjudul Sayre dar Nahu al-

Balghah (pelancangan dalam Nahj al-Balghah). Teologi dan metafisika,

suluk (tasawuf) dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan

keduniaan (dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi

terhadapnya).

Dari kesemuanya di atas itulah yang membentuk dasar karakter pola

pikir Muthahhar menjadi seorang pemikir Syi yang dapat memadukan antara

filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan

filosofis, sebagaimana di dalam Syair dan Nahj al-Balghah, misalnya

Murtadl membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa

rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan pengaruh

budaya intelektual Persia dari pada budaya intelektual ke-Islam-an. Dia

menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana

ditunjukkan oleh al-Quran, Hadis nabi dan ajaran para imam.

2. Karya-Karya

Murtadl Muthahhar cukup produktif dalam menghasilkan karya. Ia

mempunyai karya yang cukup banyak, yaitu sekitar enam puluhan. Tulisan

tersebut terdiri dari tulisan sendiri dan juga banyak akumulasi dari pidato-

pidatonya yang kemudian diterbitkan menjadi buku.

Di antara buku-buku yang telah diterbikan ialah al-Adl al-Ilhi, buku

ini menjelaskan tentang konsep keadilan, baik keadilan Ilahi maupun keadilan
29

manusia. Bis Guftr, buku ini merupakan kumpulan 20 ceramah yang secara

keseluruhan mengacu pada pembahasan mengenai keadilan, hak-hak, ilmu,

akal, hati dan tentang cara berpikir yang ideal dalam kehidupan.

Fundamentals of Islamic Thought God, Man and Universe, buku ini

menjelaskan tentang persoalan Tuhan, manusia dan alam semesta. Goal of Life.

Buku ini menjelaskan tentang tujuan penciptaan, landasan etika personal dan

etika sosial, agama, madzhab pemikiran dan pendangan dunia Islam serta

proses penyempurnaan manusia serta tauhid Islam.

Hak wa al-Bathil, buku ini menjelaskan nilai-nilai pandangan dunia

ideologi Islam di hadapan pandangan dunia dan ideologi lain, buku ini

memberikan tawaran pemikiran alternatif tentang kebenaran dan kebatilan, plus

sebagai kritik yang jitu terhadap berbagai penyelewengan pemikiran yang

sedang berkembang.

Inna al-Dn Inda Ilh al-Islm, buku ini menjelaskan tentang cara

melihat kebenaran ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan

keyakinan ketuhanan, pola pikir dan kepercayaan yang konstruktif dan

konfrehensif. Dan cara mengenal kondisi umat Islam harus senantiasa cemat

melihat orientasi perkembangan sains dan pengetahuan, mana fenomena yang

menyimpang, imam yang sebenarnya secara substansial harus dikembangkan.

Insne Kmil, buku ini menjelaskan tentang hakikat manusia. Yang

menurutnya manusia hakiki itu adalah manusia multi dimensional dengan

melaksanakan seluruh ajaran potensi kemanusiaannya dengan utuh dan


30

harmonis. Buku ini merupakan ceramahnya yang disampaikan pada bulan

Ramadhan.

Introduction to Kalam, buku ini membahas tentang ilmu kalam yang

merupaka ilmu yang mengaji mengenai dasar-dasar pokok aqidah seseorang

terhadap teologi. Man and Universe, buku ini merupakan akumulasi poin-poin

penting tentang berbagai problematika manusia dan alam semesta yang

diimbangi dengan argumentasi yang ilmiah, filosofis, logis serta merujuk

kepada al-Quran.

Masal-ye Syenkh, buku ini merupakan kumpulan ceramahnya

tentang penguatan landasan filsafat Islam yang pada waktu itu penganut

Marxisme melakukan aktifitas besar-besaran di bidang kebudayaan. Penguatan

itu dengan cara memperbaiki kerangka pemikiran umat Islam dalam ranah

epistemologis yang mengarahkan pada hakikat epistemologi Islam. Ceramah itu

disampaikan pada bulan Muharram 1397 H/1977 M.

Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, buku ini

menjelaskan menenai tiga persoalan pokok yaitu manusia dan keimanan,

manusia menurut al-Quran, manusia dan takdirnya.

3. Kedudukan Murtadl Muthahhar dalam Pemikiran Islam

Murtadl adalah pemikir yang mengabdikan hidupnya untuk perjuangan

ideologi dan politik.53 Selain itu ia merupakan seorang cendekiawan muslim

yang mempunyai pengetahuan dan wawasan mendalam tentang berbagai hal.

53
Haidar Bagir, Murtadl Muthahhar Sang Mujahid (Bandung: Yayasan Muthahhar, 1988),
h. 56-58.
31

Syamsuri menyebutkan bahwa ia adalah intelektual muslim yang taat

beragama, moderat, dan terbuka dan senantiasa berkeinginan mengembangkan

dan memperluas wawasan berpikir generasi muda Islam Iran dan meningkatkan

kualitas pendidikan mereka.54

Beliau adalah seorang filosof besar yang tidak hanya menguasai filsafat

Islam, namun juga filsafat Barat. Meskipun ia juga menguasai filsafat Barat,

tetapi ia tetap menjadi cendikiawan yang sangat gagah dan tidak pernah rendah

diri terhadap ilmuwan Barat, bahkan ia tidak malu untuk mengutip pemikiran-

pemikiran ilmuwan Islam. Tidak sama dengan kebanyakan ilmuan yang merasa

rendah diri dihadapan pemikir barat sehingga kemudian ia memuja pemikiran

Barat tanpa berpikir kritis terhadapnya.

Dari pemikiran dan metodologi yang beliau gunakan, Murtadl

termasuk dalam kategori pemikiran Islam atau islamic thought (al-fikr al-

islm). Beliau sudah menggunakan metode dan pendekatan dalam

pemikirannya, namun di samping itu juga beliau masih berada dalam lingkaran

sebagai seorang muslim yang taat terhadap agama Islam sekte Syiah, sebagai

agama yang beliau anut sejak kecil.

Tidak heran, karena memang sejak dini ia sudah memperlihatkan

kecenderungan yang kuat pada filsafat Islam. Kecenderungannya itu dipicu oleh

pandangannya tentang filsafat sebagai senjata ideologi yang ampuh untuk

menghadapi ide-ide sekular yang tersebar cepat di Iran pada waktu itu.

54
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar, h. 15.
32

Dari aspek pemikiran, Muthahhar memang tidak kalah intelektualnya

dengan ilmuan barat yang terkenal seperti Sartre, Heidegger atau Buber. Karena

dalam pemikiran mengenai eksistensi manusia dan alam, Muthahhar sudah

melakukan permenungan yang aktif dan menyajikannya dengan sangat kritis

dan analitis.55

Sedangkan dalam ranah filosof muslim, ia disamakan dengan al-

Ghazl. Kesamaannya terletak pada kecenderungannya melihat filsafat sebagai

senjata ampuh ideologi untuk menangkal ide-ide filosofis. Tetapi perbedaannya

ialah terletak lawan yang dihadapinya. Kalau al-Ghazl menghadapi ide-ide

filosofis para filosof muslim yang dianggap tidak ortodoks. Sedangkan yang

dihadapi Muthahhar ialah ide-ide sekular Barat, khususnya Marxisme. Tetapi

keduanya mempunyai semangat yang sama.56

Dalam mengkritik ideologi Marxisme, Muthahhar sampai pada satu

kesimpulan bahwa ideologi Marxisme tidak sesuai dengan ideologi Islam,

sehingga tidak pantas bagi ummat untuk mengusung ideologi tersebut.

Memudahkan memahami argumentasi yang dipakainya, Muthahhar

mengajukan diagram di bawah ini.

Epistemologi --> Paradigma --> Ideologi --> Praktik

Diagram di atas menjelaskan relasi antara ideologi dengan paradigma

(worldview) seseorang ibarat fondasi dasar sebuah bangunan dengan bagian

55
Jalaluddin Rahmat, Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama,, h. 8.
56
Mulyadi Kartanegara, Renungan-renungan Filosofis Murtadl Muthahhar (Makalah
Seminar Internasional Pemikiran Murtadl Muthahhar di Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt.2,
2004), h. 4.
33

atas bangunan tersebut. Singkatnya, ideologi sebagai hikmat amali (ilmu

praktis) mesti berlandaskan pada hikmat nazhari (ilmu teoritis) tertentu.57

Tetapi menurut amd Dabbash -sebagaimana diungkapkan Mulyadi

Kartanegara dalam makalahnya- bahwa sumber-sumber yang dipakai

Muthahhar untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-

sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh

kaum Marxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx

ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.58

Selain itu, Murtadl merupakan salah satu tokoh yang memberikan

perhatian yang serius terhadap filsafat. Menurutnya filsafat mempunyai peran

penting dalam pertempuran ideologi. Ia merupakan senjata ideologi, sehingga

Muthahhar berusaha menghidupkan kembali tradisi filosofis, dan ia percaya

filsafat merupakan prioritas utama dalam skala makna di antara semua cabang

ilmu pengetahuan.

Maka dari itu Murtadl dikenal sebagai pemikir filosofis juga dikenal

sebagai salah seorang tokoh pembela kebebasan berpikir. Muthahhar

berkeyakinan bahwa eksistensi Islam tidak bisa dipertahankan kecuali dengan

kekuatan ilmu dan pemberian kebebasan terhadap ide-ide yang muncul. Oleh

karena itu, ajaran Islam yang dipercayai dan diyakini kebenarannya harus

melindungi kebebasan berpikir.

57
Haidar Bagir, Resensi Buku Murtadl Muthahhar : Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah
Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi
Pandangan Dunia (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. ii.
58
Mulyadi, Renungan-Renungan Filosofis Murtadl Muthahhar, h. 2.
34

Filsafat bagi Muthahhar merupakan alat dan metode untuk memahami

ajaran-ajaran Islam, di samping untuk mempertahankan diri dari pengaruh

ideologi-ideologi yang menyimpang. Tetapi, menurut Muthahhar, filsafat

bukan merupakan kebenaran yang berdiri sendiri, di sampingnya, ada

kebenaran agama.

Kebenaran filsafat dan kebenaran agama, bagi Muthahhar tidak saling

bertentangan. Berdasarkan keyakinan ini, Muthahhar selalu mendasarkan

pemikirannya pada kebenaran-kebenaran agama, kemudian dipahami,

diinterpretasikan, dan dipertahankan dengan kebenaran-kebenaran filosofis.

Muthahhar memandang serbuan pemikiran Barat sebagai musuh

terbesar dari pemikiran Islami. Menghadapi pertempuran intelektual ini

menurut Muthahhar harus dengan menggunakan senjata intektual pula.

Muthahhar tidak menolak Barat dengan mengumumkan shalat istikharah, tidak

pula dengan menyesuaikan ajaran Islam pada kerangka pemikiran Barat (seperti

kaum modernis yang membungkus paham Barat dengan kemasan Islam).

Muthahhar mengadakan penelitian tentang dasar-dasar pemikiran yang sudah

terbaratkan; Ia mengkaji dan menyangkal secara rasional aliran-aliran filsafat

intelektual dan sosial Barat dan memberikan interprestasi baru tentang

pemikiran dan praktik-praktik keislaman secara logis dan rasional.59

59
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj: Luqman
Hakim (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), Cet. Ke-1, h. 195.
BAB III

FILSAFAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID


DAN MURTADL MUTHAHHAR

A. Filsafat Manusia menurut Abdurrahman Wahid


1. Mengenai Hakikat Manusia

Konsep tentang hakikat manusia merupakan pemikiran fundamental

Gus Dur dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal, baik dalam

kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap

individu. Tampaknya Gus Dur memang benar-benar memposisikan manusia

pada tempat yang sebenarnya. Terbukti dalam setiap langkahnya Gus Dur

selalu mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan.

Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai

kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan Tuhan. Ia

adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk

mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.63

Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.

Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki

kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus

memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.64 Karena posisi manusia

yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan

63
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
64
Samsul Bakri dan Udhofir, Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h.
49.

35
36

manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia

dipandang sebagai manusia.

Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai

dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah

melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang

dimaksud ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas65

dan rasionalitasnya. 66

Apa yang disebutkan tadi merupakan dimensi-dimensi kemanusian yang

bersifat universal, karena setiap individu pasti mempunyai dimensi-dimensi itu.

Melekatnya fitrah dalam diri manusia, menjadikan manusia berbeda dengan

makhluk lainnya. Dalam artian, fitrahnya menjadikan manusia sebagai makhluk

termulia di jagat raya.

Untuk menjadi manusia seutuhnya, manusia harus memberikan ruang

gerak yang cukup bagi dirinya sendiri di luar dan di dalam dirinya sendiri.67

Maka dari itu dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi demi lahirnya

kebebasan dimensi-dimensi manusia dalam rangka perkembangan hidup

manusia yang optimal. Kebebasan tersebut menjadikan manusia dapat

mengembangkan pemikiran dan kepribadiannya tanpa intervensi dari luar

baginya.68 Jika kalau tidak demikian, manusia sebagai individu cenderung

65
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara,
2001), Cet. Ke-2, h. 180.
66
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11.
67
Ibid, h. 36
68
Wawan Kurniawan, Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur tentang
Islam dan HAM, Kajian Kebudayaan dan Demokrasi, Weltanscauung Gus Dur, Edisi. vi (Juni 2010),
h. 40.
37

memperlakukan dirinya secara berlebihan. Akibatnya, kebebasan keakuan

manusia justru akan mengganggu manusia lainnya dalam meraih hakikatnya

sebagai manusia.

Kebebasan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Tetapi kebebasan

manusia yang dimaksud Gus Dur tidak lain ialah kebebasan yang dibatasi oleh

kebebasan manusia lainnya. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai kebebasan

yang dilandaskan pada dimensi-dimensi kemanusiaan. Hal tersebut harus

tumbuh dari hati nurani manusia. Karena kesadarannya akan hakikat manusia

itu sendiri merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya saling

menghargai di antara sesama manusia.69 Sartre membahasakan dengan

kebebasan yang juga harus memerhatikan kebebasan orang lain, yang oleh

Sartre diistilahkan dengan kata Faktisitas.70

Manusia yang mampu menerapkan penghargaan kepada sesama, pada

dasarnya ia sadar bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan mulia. Ia

terlahir dalam keadaan dibekali dimensi-dimensi dasar yang sangat manusiawi.

Tetapi dalam kehidupannya, terkadang manusia sendiri justru melupakan

dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut. Jika manusia dapat memahami dan

melaksanakan dimensi-dimensi tersebut dengan baik dalam kenyataan,

69
Abdurrahman Wahid, Pengembangan Ahlussunah wal Jamaah di Lingkungan Nahdlatul
Ulama, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wa al-Jamaah: Sebuah Kritik Historis (Jakarta: Pustaka
Cendekia Muda, 2008), Cet. Ke-1, h. viii.
70
Lili Tjahjadi, Ateisme Sartre: Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia, dalam Filsafat
Eksistensialisme Jean-Paul Sartre (Yogyakarta: Kanisius, 2003), Cet. Ke-3, h. 131.
38

sesunggunya manusia yang demikian merupakan manusia yang sempurna,

manusia yang sesuai dengan hakikat dirinya sebagai manusia yang mulia.71

Kemuliaan manusia dilengkapi oleh Allah dengan firman-Nya pula


dalam surat al-Tn/95: 4, yaitu, laqad khalaqn al-insna f asani
taqwm (sesungguhnya telah Ku-jadikan manusia dalam bentuk
kemakhlukan yang sebaik-baiknya) dan dengan keseluruhan peranan
status dan bentuk kemakhlukan itu manusia dijadikan Allah sebagai
pengganti-Nya di muka bumi (khalfatullh f al-ardl).72

Fitrah manusia yang diterangkan di atas merupakan anugerah dari Allah

kepada manusia agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalfah-

Nya. Kepercayaan Tuhan akan diri manusia merupakan derajat yang sangat

spesial yang tidak satu pun makhluk lain mendapatkannya. Jabatan itu

menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mempunyai posisi

tertinggi ke-2 setelah Tuhan.

Tuhan tidak akan pernah salah pilih dalam menentukan suatu pilihan,

termasuk juga dalam memilih manusia untuk menjadi pengganti-Nya di muka

bumi. Menurut Gus Dur, Tuhan memilih manusia sebagai pengganti-Nya tidak

lain karena dalam penciptaannya, manusia dibekali berbagai potensi yang

dimungkinkan dapat mengemban tugas berat tersebut.

Diutusnya manusia mempunyai tugas-tugas utama. Dalam suatu tulisan,

Gus Dur mengatakan bahwa tugas utama manusia sebagai khalfah tidak lain

ialah untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Sebagaimana Nabi Muhammad diutus Allah untuk kesejahteraan manusia.

71
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 368-369.
72
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 153.
39

Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana


saja: bertauhid, melaksanakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di
muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus
kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu
dinyatakan dalam al-Quran surat al Azab/33: 21, yaitu laqad kna
lakum f raslillh uswatun asanah (telah ada bagi kalian keteladanan
sempurna dalam diri Rasulullah). Keteladanan itu tentunya paling utama
terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia (ramatan lial-lamn). Karena meneladani
peranan pembawa kesejahteraan itulah manusia diberi status tinggi di
hadapan Allah, seperti firman-Nya dalam surat al-Isra/17: 70, yaitu,
laqad karramn ban dam (sungguh telah Ku-muliakan anak
Adam).73

Dalam teks di atas, Gus Dur ingin menjelaskan bahwa urutan pesan

yang dibawakan Islam merupakan suatu urutan menuju pada kesempurnaan

manusia sebagai khalfah Tuhan. Bertauhid merupakan menjadi modal utama

yang harus tertanam dalam diri manusia untuk menjadi diri yang sempurna.

Kebertauhidan manusia mendorongnya untuk menjalankan syariah yang

dihasilkan dari persaksian manusia akan Tuhan. Maka menjalankan syariah

merupakan suatu tanda bahwa seseorang itu bertauhid. Tidak hanya itu,

kebertauhidan dan melaksanakan syariah itu pula mendorong manusia untuk

berbuat sebagaimana perintah Tuhan yaitu menciptakan kesejahteraan untuk

alam semesta.

Seseorang yang bertauhid dan melaksanakan syariah dengan baik dan

benar sudah merupakan kepastian baginya untuk terus berusaha memakmurkan

dan menyejahterakan seluruh jagat raya. Sehingga seseorang yang tidak

menyebarkan rahmat berupa kesejahteraan tidak dapat dikatakan sebagai

manusia yang bertauhid dan melaksanakan syariah.

73
Ibid, h. 153.
40

Dengan demikian, Gus Dur menempatkan kesejetahteraan sebagai

ukuran hakikat manusia itu sendiri. Sedangkan unsur-unsur dasar kemanusiaan

merupakan modal awal yang sangat penting untuk menuju pada derajat

tertinggi manusia. Derajat tertinggi manusia ialah jika ia mampu memanfaatkan

dimensi-dimensi manusia demi kesejahteraan umat manusia. Manusia yang

nilai-nilai kemanusiaannya berkembang dengan seimbang ialah dia yang

menyejahterakan seluruh umat manusia. Maka itulah hakikat manusia, yang

seharusnya menjadi cita-cita seluruh umat manusia agar dirinya mampu

menjadi manusia yang sesungguhnya.

Gus Dur tidak hanya menyusun teori tentang hakikat manusia. Tetapi ia

juga memberikan contoh yang sangat baik mengenai teorinya tentang manusia

yang sebenarnya. Gus Dur tidak ragu-ragu menggunakan segala kekuatannya

untuk kesejahteraan manusia. Ketika menjadi presiden, kesejahteraan

masyarakat menjadi perjuangan utamanya. Saking pedulinya pada

kesejahteraan, Franz Magnis Suseno SJ menyamakan Gus Dur dengan para

khalfah Mongul yang memang benar-benar bertanggung jawab atas

kesejahteraan dan kebahagiaan minoritas yang hidup di bawah

pemerintannya.74

2. Dimensi-dimensi Manusia

Terdapat beberapa dimensi yang menurut Gus Dur harus diasah jika

manusia ingin menjadi diri yang sesungguhnya. Dimensi-dimensi itulah yang

74
Franz Magnis Suseno, Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia Mempunyai Presiden seperti
Kita, dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000), Cet.
Ke-1, h. 21.
41

akan benar-benar menampilkan kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk

lainnya. Dimensi-dimensi itu ialah dimensi badani, keyakinan, moralitas,

kepemilikan, kreativitas dan rasionalitasnya.

Manusia berposisi sebagai makhluk yang terdiri dari aspek materi, yaitu

susunan fisik yang disebut tubuh. Aspek materi manusia merupakan suatu alat

untuk merealisasikan segala apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang.

Dengan demikian, untuk mengoptimalkan potensi ini, individu harus mampu

mengembangkan persamaan hak dan derajat antarsesama manusia.75 Persamaan

hak dan derajat akan melahirkan saling menghormati segala potensi manusia

antarsesama yang memang harus memiliki kesempatan yang sama dalam

mengembangkan segala pontensinya.

Selain dimensi materi, manusia juga mempunyai dimensi keyakinan

yang memang sudah melekat dalam diri manusia. Keyakinan inilah yang

memungkinkan manusia untuk mendekat dan menemukan Tuhannya. Sehingga

menangkap eksistensi Tuhan itu oleh Gus Dur disebut sebagai bagian dari fitrah

manusia. Hal tersebut yang menjadikan Gus Dur tidak ragu untuk mengatakan

bahwa manusia dituntut memiliki landasan berupa bekal keyakinan yang kuat,76

karena hal itu merupakan bagian dari penyempurna hakikat diri manusia itu

sendiri.

75
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 5.
76
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKIS,
2007), Cet. Ke-2, h. 184.
42

Dalam tatanan alam, sebenarnya manusia mempunyai posisi yang

sangat unik, yaitu keberadaannya di antara alam semesta dan Tuhan. 77 Sebagai

makhluk yang berkeyakinan yang merupakan bagian dari rohani, manusia

mempunyai potensi untuk menangkap pesan-pesan dari Tuhan. Sebagai

makhluk materi kemudian manusia menyampaikannya atau

mengaplikasikannya kepada alam semesta.78 Manusia ibarat suatu jembatan

yang menjadi perantara yang amat baik untuk menyatukan alam semesta

dengan Tuhan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Gus Dur menambahkan bahwa

sebagian dari unsur dasar manusia ialah hakikatnya sebagai makhluk bermoral.

Moral oleh Gus Dur diartikan sebagai kerangka etis yang utuh maupun dalam

arti kesusilaan.79 Dimensi moralitas ini yang oleh Gus Dur disebut sebagai

landasan keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.80

Dimensi moral ini merupakan suatu bekal manusia dalam hidup berdampingan

dengan manusia lainnya.

Konsep mengenai manusia sebagai makhluk bermoral, Gus Dur juga

mengambilnya dari kandungan al-Quran yang banyak menyatakannya. Ayat

yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang berbangsa dan bersuku-suku

merupakan salah satu yang menjelaskan tetang aspek moralitas manusia.81

77
R.A. Nicholson, Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi: Ibn Ab al-Khair, al-Jl dan Ibn al-
Farid, terj. Uzair Faizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 144.
78
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia
(Jakarta: Erlangga, 2009), h. 12.
79
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6.
80
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 6.
81
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 25.
43

Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat/49: 13 yakni wa jaalnkum

syuban wa qabila litaraf (Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal).

Dimensi moralitas ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial

manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.82 Antara yang

satu dengan yang lainnya terjadi hubungan timbal balik yang saling

membutuhkan demi serangkaian penemuan identitasnya untuk meningkatkan

kualitas hidup mereka sendiri.83 Dengan demikian, kehidupan sosial manusia

membutuhkan pengakuan manusia pada eksistensi manusia yang lain. Sehingga

perbedaan tiap individu harus diakui mempunyai kebebasan yang sama.

Karena mempunyai kebebasan yang sama dalam tiap individu, sehingga

dibutuhkan saling menghormati antara kebebasan yang satu dengan yang

lainnya. Hubungan yang baik itu akan melahirkan perkembangan segala potensi

dalam dirinya. Inilah bentuk pengabdian diri manusia terhadap sesama.

Menurutnya, hasrat mengabdikan diri kepada sesama merupakan suatu hal yang

harus dipupuk dalam hubungannya dengan sesama.84

Syamsul Bakri dan Mudhofir mengungkapkan dengan sangat baik

dalam bukunya mengenai pemikiran Gus Dur tentang manusia sebagai makhluk

bermoral.

Bagi Abdurrahman Wahid, penanggulangan kemiskinan harus dilakukan


dengan mendudukkan martabat manusia pada tempat yang tinggi, yaitu

82
Ibid, h. 161.
83
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 90.
84
Hamdan, Dari Teologi Profesional ke Teologi Praktisi, h. 131.
44

sebagai makhluk bermoral dengan hak-hak asasi dan kebutuhannya


sendiri.85

Dalam kutipan di atas, dinyatakan bahwa Gus Dur memosisikan

manusia sebagai makhluk yang sangat tinggi ketika manusia mampu hidup

dengan sesama, dengan segala pemenuhan seluruh haknya sebagai manusia

yang utuh. Jika hal tersebut tidak dicapai, manusia tidak dapat dikatakan

sebagai manusia, melainkan hanyalah bayangan mengenai manusia.

Adelbert Snijders juga mengungkapkan mengenai pentingnya manusia

hidup dalam suatu interaksi dengan sesama. Menurutnya, manusia tidak akan

pernah menjadi manusia sampai ia hidup bersama manusia pula. Kebersamaan

hidup manusia tersebut juga akan menjadikan dunia sebagai tempat yang

manusiawi.86

Tetapi hidup manusia bersama dengan manusia lainnya tidaklah cukup

menjadikannya sebagai makhluk yang unggul. Terdapat hal lain yang juga

melengkapi keunikan manusia sebagai makhluk terbaik Tuhan, yaitu dimensi

kepemilikan. Manusia menurut Gus Dur tidak bisa tidak memiliki sesuatu

dalam hidupnya. Itu berarti, memiliki adalah salah satu kodrat manusia yang tak

bisa dihilangkan.

Bukti mengenai hakikat manusia merupakan makhluk yang

berkepimilikan ialah tidak berhasilnya konsep Plato diterapkan di mayarakat.

85
Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. Ke-1, h.
65.
86
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Galang Press, 2010), Cet. Ke-5, h. 217.
45

Konsep Plato tersebut menyebutkan bahwa manusia tidak diperkenankan

memiliki sesuatu secara pribadi, segala sesuatu yang dimiliki sesungguhnya

bukan miliknya, tetapi milik seluruh umat manusia.87 Konsep itu sudah pernah

dicoba diterapkan di negara polisnya, dan dicoba dihidupkan kembali oleh Karl

Marx. Tetapi sampai sekarang konsep itu tidak dapat diterapkan dengan

sempurna. Hal itu terjadi karena konsep mengenai ketidak pemilikan manusia

adalah bertentangan dengan hakikat manusia itu sendiri dan merupakan konsep

berupa pemerkosaan terhadap kodrat manusia.

Tampaknya fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki dapat

melahirkan semangat kepada manusia agar terus berlomba-lomba untuk

memiliki sesuatu. Perlombaan itu kemudian melahirkan kemajuan pada suatu

individu, dan kalau setiap individu sudah maju, maka kelompok (masyarakat)

yang individu yang terdapat dalam suatu negara akan maju seiring dengan

majunya tiap individu tersebut.

Tidak dapat dipungkiri pula bahwa akal merupakan salah satu potensi

manusia yang sangat penting. Kinerja dari akal disebut berpikir. Maka

sesungguhnya manusia merupakan makhluk yang berpikir. Melalui kinerjanya

yang berpikir, akal dapat memberikan pencerahan pada manusia agar dapat

membedakan antara kebaikan dengan keburukan, serta antara yang bermanfaat

dan membahayakan.88

87
Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Kompas Gramedia, 2006), h. 116.
88
Ibrahim Amini, Risalah Tasawuf: Kitab Suci para Pesuluk, terj. Ahmad Subandi dan
Muhammad Ilyas (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2001), h. 61.
46

Gus Dur menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk rasional,

yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan akal.89 Sebagai makhluk rasional,

manusia hendaknya mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari

keharusan berpegang pada kebenaran.90 Wawasan terjauh tersebut bisa saja

terus menerus mencari sisi-sisi yang paling tidak masuk akal dari kebenaran

yang ingin dicari dan ditemukan. Apa yang terkait dengan kemampuan akal

manusia itu sebenarnya sangat terkait dengan metafisika. Hasil dari berpikir

itulah yang disebut dengan konsep.

Tetapi manusia tidak hanya membutuhkan suatu konsep. Lebih dari itu,

manusia membutuhkan realisasi terhadap apa yang telah dirumuskan melalui

akalnya. Maka realisasi itulah yang disebut dengan berkreasi. Lebih dalam lagi

Gus Dur menjelaskan bahwa kreatif mempunyai arti mengambil inisiatif untuk

mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.91 Manusia

boleh mempunyai seribu konsep mengenai hidup yang sejahtera, tetapi ia tidak

akan mampu bertahan hidup tanpa berkreasi, atau tanpa merealisasikan apa

yang telah disusunnya.

Bahwa berkreasi atau berkarya (meminjam istilah Soerjanto

Poespowardojo) sebenarnya mempunyai arti yang positif, yakni mempunyai

makna yang sangat manusiawi, karena berkreasi merupakan proses

89
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
90
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 11.
91
Ibid.
47

penyempurnaan manusia itu sendiri.92 Dengan demikian dalam kreativitasnya

tercermin mutu dan martabat manusia.

B. Filsafat Manusia menurut Murtadl Muthahhar


1. Perspektif Murtadl Muthahhar tentang Manusia

Murtadl Muthahhar memberikan perhatian yang cukup serius

mengenai tema tentang hakikat manusia. Ia banyak membahas hakikat manusia

di berbagai buku yang ditulisnya. Bahkan ia menulis buku khusus yang

menyoroti tentang manusia, yaitu buku yang berjudul Insone Komel yang dialih

bahasakan oleh Abdillh mid Baabud menjadi Manusia Seutuhnya: Studi

Kritis berbagai Pandangan Filosofis.

Penjelasan Muthahhar menganai hakikat manusia sangatlah menarik.

Konsep yang ia tawarkan sangat berbeda dengan konsep manusia hakiki

sebagaimana banyak orang pahami dari pelopor konsep insn kmil, Ibn Arabi,

yang memang menjadi icon utama dalam perbincangan tentang hakikat

manusia. Bahwa apa yang ia sampaikan mengenai manusia yang benar-benar

manusia adalah suatu hal yang baru.

Muthahhar memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari apa

yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.93 Dengan demikian, dalam

diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur kehewanan

meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang tidak dimiliki

92
Soerjanto Poespowardojo, Menuju Manusia Seutuhnya, dalam Sekitar Manusia (Jakarta:
Gramedia, 1983), Cet. Ke-4, h. 5.
93
Murtadl Muthahhar, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis, terj.
Abdillh mid Baabud (Jakarta: Sadra Institute, 2012), Cet. Ke-1, h. 27.
48

hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut,

sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur

tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang

menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan

melebihi makhluk lain.

Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan

kedalam jiwanya.94 Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan

dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam

diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya

sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam

dirinya terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena

potensi-potensi tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya

tidak mempunyai potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai

lebih manusia dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang

tidak dimiliki makhluk lain..

Peneliti handal dari UIN Syarif Hidayatullah, Syamsuri, mengatakan

dalam laporan hasil penelitiannya mengenai konsep hakikat manusia

Muthahhar, bahwa manusia mempunyai banyak potensi. Potensi itu biasa

disebut juga dengan dimensi kemanusiaan atau nilai kemanusiaan. Menurutnya,

Muthahhar mengklasifikasikan dimensi-dimensi tersebut setidaknya menjadi

94
Murtadl Muthahhar, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks
yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011), Cet.
Ke-1, h. 321.
49

lima bagian, yaitu dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi

ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.95

Dalam pandangannya mengenai hakikat manusia, ia menjadikan

dimensi kemanusiaan tersebut sebagai ukuran yang sangat menentukan

kemanusiaan manusia. Manusia yang benar-benar manusia adalah ia yang

segala dimensi kemanusiaannya berkembang secara seimbang dan stabil.96

Seimbang dalam hal ini menurutnya ialah seiring perkembangan potensi-

potensi kemanusiaannya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya.

Sehingga tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan

nilai-nilai lain. Manusia seperti itulah yang disebut sebagai imam.

Kalau berbicara mengenai perkembangan, tentunya terdapat titik awal

dari perkembangan tersebut. Bahwa suatu perkembangan pasti diawali oleh titik

rendah dan kemudian bergerak menuju arah yang lebih sempurna. Sama halnya

dengan perkembangan manusia menjadi manusia. Titik awal dari kemanusiaan

tidak lain ialah berpangkal pada aspek kehewanannya yang kemudian terus

berkembang menjadi kemanusiaan.97

Pada mulanya, manusia hanyalah sekadar susunan fisik, tetapi

bersamaan dengan perkembangan esensinya, ia menjadi lebih bersifat spiritual.

Menurutnya, roh manusia berasal dari keberadaan fisiknya dan berkembang

menuju kebebasan. Itu berarti, kehewanannya bertindak sebagai suatu sarang.

Di dalam sarang tersebut kemanusiaannya tumbuh dan menjadi sempurna.

95
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar, h. 36.
96
Murtadl, Manusia Seutuhnya, h. 28.
97
Murtadl, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, h. 68.
50

Sehingga kebebasan dinilai olehnya sebagai kemampuan manusia dalam

penguasaan terhadap aspek-aspek lainnya.

Dengan demikian manusia yang hakiki adalah ia yang menguasai secara

relatif, baik lingkungan internal maupun eksternalnya tanpa menghilangkan

keimanan dan keilmuan bahkan menguatkan keduanya. Sebagaimana yang

diungkapkan dalam bukunya:

Individu yang hakiki ialah yang terbebaskan dari ikatan internal maupun
eksternal dan mengikatkan diri pada suatu keimanan dan keyakinan.98
Perbedaan yang paling penting dan mendasar antara manusia dan
makhluk-makhluk lainya terletak pada iman dan ilmu yang merupakan
kriteria kemanusiaannya.99

Maka, kebebasan manusia dari ikatan internal dan eksternal yang

kemudian mengikatkan dirinya pada suatu keimanan dan keilmuan merupakan

tanda atau ukuran mengenai hakikat manusia. Bahwa, seseorang yang

dikatakan perkembangan seluruh nilai kemanusiaannya seimbang dan stabil

jika individu tersebut bebas dari segala ikatan internal dan eksternal yang

kemudian memupuk keimanan dan keilmuan.

Keimanan merupakan media dalam memperluas manusia secara

vertikal, sedangkan keilmuan memperluas manusia secara horizontal.

Keimanan dan keilmuan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.

Karena keimananlah yang mengilhami manusia tentang apa yang mesti kita

kerjakan. Sedangkan keilmuan menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana.

98
Ibid, h. 68.
99
Ibid, h. 65.
51

Dari apa yang disampaikan di atas, Murtadl ingin menekankan bahwa

keseimbangan dari segala aspek nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditandai oleh

keimanan dan keilmuan seseorang. Jika keimanan dan keilmuan seseorang

stabil, sudah merupakan kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaannya sudah

seimbang sebaigamana dijelaskannya. Karena menurut Murtadl, keilmuan

saja tidak mampu menyelamatkan manusia dari kehancuran.100 Dengan

demikian, puncak hakikat manusia ialah berada pada keimanan dan

keilmuannya.

2. Dimensi-Dimensi Manusia

Sebagaimana dituliskan dalam buku Muthahhar yang berjudul Bedah

Tuntas Fitrah yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad, bahwa dimensi-

dimensi manusia tersebut di antaranya ialah mencari kebenaran, moral, estetika,

kreasi dan penciptaan, kerinduan dan ibadah. Sedangkan Syamsuri

menyebutnya dengan istilah dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis,

dimensi ibadat (ritus) dan dimensi kreativitas.101

Sebagai salah satu dari dimensi kemanusiaan, dimensi intelektual

manusia sebenarnya sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir. Dimensi

intelektual itu merupakan dimensi yang melahirkan dorongan-dorongan suci

untuk mencari kebenaran. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan

untuk mengetahui dan menalar hakikat sesuatu.102 Artinya, manusia ingin

100
Murtadl Muthahhar, Neraca Kebenaran dan Kebatilan, (Bogor: Ebook yang
dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001), h. 45.
101
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar, h. 38-43.
102
Murtadl Muthahhar, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif
Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), h. 49.
52

memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda

dalam keadaan yang sesungguhnya. Murtadl menyebut keadaan itu dengan

kesadaran filosofis atau pencarian kebenaran.

Dalam kajian Sidi Gazalba, otak diposisikan sebagai organ yang tak

akan berfungsi tanpa adanya jiwa.103 Jiwalah yang kemudian dapat

menggerakkan otak, sehingga ia dapat berpikir. Fungsi berpikir ini yang

kemudian membedakan dengan hewan. Hewan juga mempunyai otak tetapi

tidak dapat berpikir sebagaimana manusia, karena memang hewan tidak

memiliki jiwa yang mendorong otak untuk berpikir. Maka keunikan manusia

sebagai makhluk berpikir ini yang Murtadl sebut dengan dimensi intelektual.

Selain itu, manusia akan selalu terarah pada kecenderungan-

kecenderungan moral, yaitu kecenderungan tentang bagaimana ia bersikap.104

Sebagian manusia cenderung pada yang memberikan manfaat secara fisik,

selebihnya cenderung pada keutamaan dan kebajikan.105 Kecenderungan

pertama ia sebut sebagai kebaikan materi, sedangkan kedua ia sebut sebagai

kebaikan spiritual. Dalam diri manusia sebenarnya yang pertama muncul adalah

rangsangan kebaikan, bukan kenikmatan.106

Manusia sesungguhnya mempunyai ketergantungan terhadap kebaikan-

kebaikan spiritual. Manusia sangat menyukai kejujuran dan sebaliknya dengan

kebohongan. Ketergantungan manusia terhadap kebaikan-kebaikan spiritual

103
Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), Cet. Ke-3, h.12.
104
Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi (Jakarta: al-Huda, 2008), Cet. Ke-1, h. 16.
105
Murtadl, Bedah Tuntas Fitrah, h. 53.
106
Murtadl, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, h. 95.
53

atau keutamaan itu dibagi menjadi ketergantungan individu dan ketergantungan

sosial.107

Ketergantungan individu merupakan ketergantungan terhadap kebaikan

yang memang terdapat dalam diri seperti ketergantungan kepada penguasaan

diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati. Sedangkan ketergantungan

sosial ketergantungan terhadap hubungan dengan manusia lainnya. Misalkan

senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk

orang lain, baik dengan jiwa maupun harta. Bahkan, ketergantungan kebaikan

spiritual ini merupakan prilaku yang dapat meningkatkan derajat manusia.108

Aspek sosial merupakan bagian terpenting dari ranah moral. Dalam

tulisannya ia juga menjelaskan bahwa kepentingan sosial jauh lebih penting di

bandingkan kepentingan pribadi, karena terdapat kebahagiaan tersendiri ketika

seseorang dapat bersosial.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kepantingan umum mesti lebih


diutamakan di atas kepentingan perorangan atau bahkan di atas
kepentingan pribadi. Karena, jika setiap orang hanya mengutamakan
kepentingan pribadi atau perorangan saja, niscaya kepentingan umum,
bahkan termasuk kepentingannya sendiri akan terabaikan, karena itu ada
sebagian orang yang berkorban demi membela kepentingan umum.109

Dalam wacana Muthahhar mengenai dimensi moral manusia, tampak

melandaskan moral tersebut kepada aspek spiritual. Bahwa manusia

sesungguhnya akan mencapai kebahagiaan, yang emang diidamkan dalam

107
Ibid, h. 53.
108
Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Bandung: Mizan, 2007), Cet. Ke-1,
h. 150.
109
Murtadl Muthahhar, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad
Bahruddin (Jakarta: Sadra, 2011), Cet. Ke-1, h. 251.
54

hidupnya, jika ia seseorang melandaskan hidupnya pada aspek kebaikan

spiritual. Hal ini sejalan dengan ungkapan W. Poespoprodjo bahwa moral

tersebut harus berlandaskan spiritual, tanpanya moral tidak akan terialisasi

dengan baik bahkan gagal.110

Ketertarikan manusia pada kebahagiaan tidak dapat dipungkiri, tetapi

ketertarikannya terhadap keindahan pun tidak dapat diabaikan dari kehidupan

manusia. Justru karena keindahan-keindahan manusia mampu hidup penuh

optimis. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seseorang tidak akan dapat

mengabaikan keindahan pribadi ataupun di luar dirinya. Bagaimanapun juga,

manusia akan terus memburu keindahan tersebut. Arahnya yang tak dapat

dipisahkan dari keindahan itulah yang disebut dengan dimensi estetis. Itulah

keunikan manusia.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menangkap dunia

sekitarnya sebagai suatu yang sangat mengagumkan.111 Artinya manusia

mampu menangkap keindahan yang tertuang di balik benda itu sendiri sehingga

benda atau alam sekitar itu menjadi mengagumkan. Suatu bentuk (keindahan)

yang tidak dapat ditangkap makhluk lain.

Dimensi-dimensi kemanusian mempunyai hubungan langsung dengan

fitrah dan fitrah dapat ditafsirkan. Penafsirannya ialah dalam diri manusia

terdapat hakikat kemanusiaan yang suci. Salah satu di antaranya adalah

kecendungan mencari Tuhan. Kecenderungan mencari Tuhan sebenarnya

110
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), Cet. Ke-1, h. 28.
111
Soerjanto Poespowardojo, Menuju Manusia Seutuhnya, h. 5.
55

berasal dari kerinduan yang tertanam dalam diri manusia karena kerinduan

hakiki manusia menyatu dengan roh manusia, setelah roh itu sampai dan

menemukannya. Maka kerinduan itu sendiri berperan sebagai penggerak.

Kerinduan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebersamaan dan

pertemuan. Ia berpusat dalam diri individu itu sendiri. Kerinduan dapat

mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di situ ia ingin menjadikan

yang dicintainya sebagai tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya sebagai

hambanya. Sehingga yang dicintai disebut sebagai yang mutlak ada dan dirinya

sebagai tidak ada. Maka kerinduan itu sendiri yang Murtadl sebut sebagai ritus

atau ibadat.112

Menurut Murtadl Muthahhar, kerinduan yang sangat tinggi ialah

kerinduan akan Tuhannya. Kerinduan terhadap Tuhan merupakan suatu

kecenderungan manusia untuk dekat dengan Tuhan.113 Dalam artian, manusia

sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Tetapi

pertanyaannya ialah kalau memang hakikat manusia itu mempunyai

kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan, mengapa tidak sedikit orang yang

jauh dari-Nya. Muthahhar menjelaskan bahwa lahirnya segala keraguan dan

keingkaran manusia kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari

fitrah mereka sendiri.114

Terlepas dari kecenderungan manusia untuk mensucikan sesuatu

sebagaimana telah diterangkan, manusia masih mempunyai nilai dasar yang

112
Murtadl, Bedah Tuntas Fitrah, h. 55.
113
Murtadl, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, h. 118.
114
Ibid, h. 118.
56

tampaknya hal ini sering diabaikan. Bahwa manusia mempunyai ketertarikan-

ketertarikan yang mendasar untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum

dibuat orang.115 Membuat sesuatu yang belum ada atau kata lain menciptakan

merupakan bentuk dimensi kreativitas manusia.

Dalam diri manusia, akan lahir kebahagiaan tersendiri yang

menyelimuti hidup seseorang ketika ia mampu berkreasi. Dalam artian, ia

mampu berkreasi dan kemudian mengaktualisasikan dalam bentuk nyata. Saat

itulah menurut Muthahhar seseorang merasakan kepribadiannya. Merasakan

kepribadiannya lewat kreativitas merupakan salah satu tanda bahwa ia benar-

benar sadar akan dirinya. Pada saat itu manusia paham bahwa dirinya mampu

menciptakan sesuatu dan mampu mewujudkan sesuatu yang bersifat

metafisikan menjadi fisika.

115
Murtadl, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54.
BAB IV

KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID


DAN MURTADL MUTHAHHAR TENTANG FILSAFAT MANUSIA

A. Pandangan mengenai Ayat-Ayat tentang Manusia

Pandangan Gus Dur dan Murtadl Muthahhar mengenai manusia memang

tidak akan lepas dari dasar utama agama yang mereka anut, al-Quran. Keduanya

menjadikan al-Quran sebagai landasan utama dalam merumuskan pemikiran

mengenai manusia. Tetapi memang mereka menginterpretasikannya dengan cara

yang berbeda.

Dalam pembahasan mengenai status manusia di muka bumi, keduanya

menafsirkan surat al-Baqarah yang menjelaskan tentang ke-khalfah-an manusia

dengan ragam penafsiran yang tidak sama. Misalkan dalam menafsirkan surat al

Baqarah/2: 29, berikut teksnya:

Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya aku hendak


menjadikan seorang khalfah di bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan dara. Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.

Kata khalfah merupakan fil yang berarti yang menggantikan atau yang

datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Tetapi dalam memahami istilah ini,

57
58

khalfah diartikan yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan

menerapkan ketetapan-ketetapannya.114

Menurut Gus Dur, posisi manusia sebagai khalfatullh merupakan

kedudukan tertinggi setelah Tuhan dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan

makhluk lain. Dengan demikian manusia sesungguhnya adalah makhluk

kepercayaan Tuhan untuk menggantikan-Nya di muka bumi. Tentunya manusia

diberikan kepercayaan sebesar itu dikarenakan ia mempunyai potensi-potensi yang

memungkinkannya dapat memahami dan merealisasikan maksud-maksud Tuhan.

Kedudukan manusia sebagai khalfatullh, Gus Dur maknai sebagai fungsi

kemasyarakatan. Dengan itu, manusia mempunyai keharusan untuk

memperjuangkan dan melestarikan cita-cita hidup kemasyarakatan yang mampu

menyejahterakan manusia itu sendiri secara menyeluruh.

Selanjutnya, Islam memberikan hak kepada manusia untuk menjadikan


pengganti Allah di muka bumi, sebuah fungsi kemasyarakatan yang
mengharuskan kaum muslimin untuk senantiasa memperjuangkan dan
melestarikan cita hidup kemasayarakatan yang mampu menyejahterakan
manusia itu sendiri secara menyeluruh.115

Ungkapan ini memberikan gambaran kepada penulis bahwa inti dari status

manusia sebagai makhluk nomor satu di jagat raya adalah tidak lain kecuali sebagai

rahmat atau kesejahteraan bagi seluruh alam. Syaiful Arif116 mengatakan bahwa

dalam hal ini Gus Dur memaknai rahmat tidak hanya sebagai kasih sayang, tetapi

juga kesejahteraan. Dalam makna kesejahteraan ini, rahmat memiliki makna

114
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, V. I
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-5, h. 142.
115
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) Cet. Ke-1, h. 30.
116
Pengamat pemikiran Gus Dur lulusan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) sekaligus tutor kuliah
pemikiran Gus Dur di The Wahid Institute.
59

praksis, sebab ia akan mengupayakan kesejahteraan di tengah realitas hidup yang

tidak sejahtera.117

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Gus Dur menginterpretasikannya

dengan menggunakan pendekatan sosial. Artinya, manusia sebagai khalfatullh

diukur dengan peranannya dalam ranah sosial, karena menurut Gus Dur pesan-

pesan Islam untuk umatnya tidak lain kecuali untuk memberikan kontribusi besar

terhadap tatanan sosial yang lebih baik berupa kesejahteraan.118

Pernyataan Gus Dur tentang al-Quran sebagai kitab moral119 merupakan

upayanya dalam merangsang pembaca yang beriman untuk kembali mengaji al-

Quran dengan lebih manusiawi. Tampaknya Gus Dur ingin menunjukkan bahwa

tuntunan dalam al-Quran tidak mengajarkan umat Islam tentang kekerasan, tetapi

mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan kesejahteraan. Maka ini adalah

jurus handal Gus Dur untuk memupuskan seluruh bentuk diskriminasi dan

penindasan dalam bentuk apa pun.

Sedangkan menurut Murtadl manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang

disebut dengan istilah khalfatullh. Manusia diciptakan khusus untuk diuji oleh

Allah demi mengukuhkan statusnya sebagai khalfah. Hal tersebut sebagaimana

dijelaskan Allah dalam surat al-Anam/6: 165, yaitu Wa huwa al-ladz jaalakum

khalifa al-ardl wa rafaa badlukum fauqa badlin liyabluwakum f m tkum

(dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi, untuk mengujimu

117
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Jakarta: The
Wahid Institute, 2013), h. 169.
118
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 153.
119
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara dan
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), Cet. Ke-1, h. xix.
60

tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu). Sehingga ia mempunyai banyak

keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain. Keunggulan-keunggulan tersebut

merupakan suatu tanda ke-khalfah-an manusia itu sendiri.

Manusia mempunyai dua dimensi, yaitu makhluk semi-samawi dan semi-

duniawi. Kedua dimensi tersebut merupakan keunggulan manusia yang tidak

dimiliki makhluk lain. Tetapi keunggulan itu bukanlah kriteria manusia sebagai

wakil Tuhan. Justru yang menjadikannya sebagai wakil Tuhan yang sesungguhnya

ialah tertanamnya keyakinan yang benar dalam dirinya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa makluk Allah, yang dipujikan oleh para
malaikat dan yang berlimpahan dengan segala sesuatu serta kesempurnaan
adalah manusia yang berkeyakinan, bukan manusia tanpa keyakinan.120

Jadi, keseimbangan seluruh dimensi kemanusia sesorang ditandai oleh

kebenaran keyakinan manusia itu sendiri. Keyakinan mempunyai peranan penting

dalam hidup manusia untuk membentuk dirinya munuju pada kesempurnaan-

kesempurnaan yang kemudian mengarahkannya pada penerapan di setiap tindakan.

Tentunya tindakan-tindakan yang dimaksud adalah prilaku yang telah tertuang

dalam al-Quran.121

Dengan demikian, penafsiran yang digunakn Murtadl dalam kajian di atas

ialah menggunakan pendekatan tauhid. ke-khalfah-an manusia menurutnya, tampil

ketika ia nilai-nilai tauhid tertanam dengan baik dalam dirinya. Alasannya, tauhid

120
Murtadl Muthahhar, Perspektif al-Quran tetanng Manusia dan Agama, terj. Haidar Baqir
(Bandung: Mizan, 1992), Cet. Ke-6, h. 123.
121
Ibid, h. 123.
61

merupakan langkah dasar menuju kealiman, amal saleh, dan bekerja keras di jalan

Allah.122

B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh


1. Manusia yang Hakiki
Mengenai pandangan kedua tokoh tentang hakikat manusia, masing-

masing mempunyai konsep yang menarik. Manusia oleh Gus Dur dipandang

sebagai makhluk Tuhan yang sangat mulia. Kemuliaan itu tercermin pada

potensi-potensi yang tidak terdapat di makhluk selainnya. Sedangkan Murtadl

mengatakan bahwa manusia sebenarnya satu-satunya makhluk Tuhan yang

diciptakan untuk diuji. Sehingga wajar jika ia dibekali oleh Tuhan kemampuan-

kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain yang tidak diciptakan untuk diuji.

Tetapi dalam menjelaskan lebih lanjut mengenai manusia, Gus Dur

menitik tekankan hakikat manusia itu kepada penggunaan segala daya upaya

manusia untuk kesejahteraan manusia. Daya upaya di sini lebih pada potensi

kemanusiaan manusia yang digunakan maksimal dan seimbang demi

kemaslahatan bersama. Itu berarti segala usaha manusia dalam segala

aktivitasnya hanya untuk kesejahteraan manusia.123 Jadi, manusia itu akan tampil

ketika ia benar-benar manusia jika ia kemudian memperjuangkan kesejahteraan

umat.

Apa yang diungkapkan Gus Dur itu sangat menarik, karena dalam

memandang manusia yang juga sama-sama berlandaskan al-Quran, tetapi

122
Ibid, h. 123.
123
Syaiful, Humanisme Gus Dur, h. 12.
62

melahirkan teori yang berbeda dengan teori Muthahhar mengenai hakikat

manusia.

Kalau dilihat dari aspek epistemologi, konsep mengenai hakikat manusia

Gus Dur dan Murtadl sama-sama berlandaskan al-Quran dan Hadis. Itu

artinya, bahwa konsep kedua tokoh tersebut bersumber dari al-Quran dan

Hadis. Karena memang, al-Quran dan hadis merupakan bagian dari sumber

ilmu pengetahuan.124 Karena bersumber dari al-Quran dan Hadis, maka

pemikiran keduanya tentang manusia pun tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai

landasan tersebut.

Memang keduanya sama-sama berlandaskan al-Quran dalam menyusun

konsep hakikat manusia itu sendiri. Tetapi Gus Dur dalam

menginterpretasikannya lebih menekankan pada aspek sosial. Baginya, manusia

yang sesungguhnya akan tampak ketika segala potensi kemanusiaannya

digunakan dan mempunyai dampak sosial yang positif bagi umat manusia. Itulah

yang disebut dengan ramatan lil lamn.

Maka seandainya terdapat dua diskriminasi, yaitu diskriminasi terhadap

Tuhan dan manusia. Maka manusia seharusnya memilih membela manusia

untuk dibebaskan dari diskriminasi itu. Karena Tuhan itu sendiri tidak perlu

dibela. Tuhan itu Mahakuasa, jika manusia memilih membela Tuhan, itu sama

saja dengan menyepelekan kemahakuasaan Tuhan. Bahkan meletakkan

124
Dinar Dewi Kania, Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu, dalam Filsafat Ilmu: Perspektif
Barat dan Islam, Adian Husaini et al (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 93-101.
63

kemahakuasaan Tuhan di bawah kekuasaan manusia, karena Ia butuh

pertolongan manusia.

Gus Dur menjadikan Manusia yang ramatan lil lamn itu sebagai

model manusia paling ideal. Karena itulah hakikat diturunkannya manusia di

muka bumi. Manusia diturunkan ke muka bumi untuk mengolah dengan baik

baik isi alam demi rahmat untuk seluruh alam termasuk kesejahteraan manusia.

Nabi Muhammad lahir di bumi pada hakikatnya diutus untuk membebaskan

manusia dari segala penindasan, diskriminasi dan lain sebagainya. Maka hakikat

kedatangan Muhammad ialah untuk memanusiakan manusia.

Tetapi Muthahhar berpandangan berbeda dengan apa yang disampaikan

Gus Dur. Muthahhar menekankan esensi kemanusiaan manusia berada pada

aspek ketauhidan. Bahwa manusia yang esensial ialah dia yang beriman.

Keimanan menurutnya merupakan hal yang dapat mengarahkan manusia pada

cara-cara yang harus ia lalui. Maka yang menjadikan manusia manusia yang

utuh itu tampil pada keimanannya.125 Tetapi diredaksi lain ia juga menambahkan

bahwa kehakikian manusia tampil juga pada keilmuannya.126

Seseorang yang beriman, dalam tiap tindakannya tentu tidak akan pernah

lepas dari ajaran-ajaran Tuhan, yaitu yang tertuang dalam al-Quran. Bahwa

tindakan manusia yang menjadikannya sebagai manusia yang bertingkah laku

sebagaimana dalam al-Quran ialah beramal baik, yaitu menggunakan segala

125
Murtadl, Perspektif al-Quran tetanng Manusia dan Agama, h. 123.
126
Ibid, h. 68.
64

potensinya untuk kebaikan dan demi ridha Allah.127 Tentu keimanan yang

dimaksud harus dilandaskan pada ilmu, sehingga objek yang diimani tidak salah

sasaran.

Sebenarnya Gus Dur tidak mengabaikan tauhid atau ketuhanan dalam

mengungkapkan teorinya mengenai manusia. Manusia yang hakiki bukan dia

yang asal menciptakan kesejahteraan di muka bumi dan kemudian meniadakan

Tuhan. Tetapi justru menciptakan kesejahteraan umat manusia itu merupakan

suatu bentuk keimanannya kepada Tuhan. Dalam istilah lain, menciptakan

kesejahteraan merupakan bentuk aplikasi yang sesungguhnya dari keimanan

kepada Tuhan.

Yang menarik dari Gus Dur ialah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,

manusia hendaknya tidak memisahkan antara kepentingan hidupnya dan

moralitas yang dianutnya.128 Maka, menciptakan kesejahteraan manusia

merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Tuhan, atau dalam rangka

membentuk keimanan seseorang kepada Tuhan itu sendiri.

Sedangkan Murtadl justru berkebalikan darinya. Untuk menciptakan

kesejahteraan, manusia harus beriman. Sedangkan keberimanan manusia

merupakan fitrah yang terdapat dalam diri manusia.129 Kalau mengambil contoh

cara Nabi Ibrahim dalam membangkitkan keimanannya, ia justru mendapatkan

keimanannya melalui pendayagunaan intelegensia secara optimal dan benar.

127
Ibid, h. 65.
128
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2010), Cet. Ke-4, h.
85.
129
Murtadl Muthahhar, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif
Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), 135.
65

Maka intelegensia inilah bentuk keilmuan seseorang yang menurut Murtadl

tidak dapat dipisahkan dari keimanan pada manusia hakiki.130

Maka Muthahhar sesungguhnya lebih menekankan pada ketauhidannya.

Kalau manusia sudah beriman, sudah seharusnya ia berprilaku baik kepada

seluruh alam demi ridha-Nya. Jadi keimanan bagi Murtadl merupakan segala-

galanya bagi manusia itu sendiri. Karena imanlah yang menunjukkan bahwa

segala potensi kemanusiaannya berjalan dengan maksimal dan seimbang.

Sedangkan menurut Gus Dur, segala potensi kemanusiaan manusia tersebut

berjalan dengan baik dan seimbang jika manusia mampu memperjuangkan

kesejahteraan umat manusia.

Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri ialah persamaan anjuran kedua

tokoh agar terus berprilaku baik antar sesama dan berlaku arif terhadap

lingkungan lingkungan demi kebaikan mamanusia itu sendiri. Di samping itu

keduanya juga sama-sama tidak kemudian membuang unsur keyakinan dalam

diri manusia dalam melihat manusia yang hakiki tersebut.

2. Dimensi-dimensi Manusia
Mengenai dimensi-dimensi manusia yang ditawarkan kedua tokoh

tersebut, penulis akan mengalisisnya dengan baik. Gus Dur tidak serta-merta

menentukan dimensi-dimensi kemanusiaan. Demikian juga dengan Muthahhar.

Keduanya mempunyai landasan-landasan yang cukup menarik menganai

dimensi-dimensi manusia itu sendiri.

130
Mulyadi Kartanegara, Renungan-Renungan Filosofis Murtadl Muthahhar (Makalah
Seminar Internasional Pemikiran Murtadl Muthahhar di Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt.2,
2004), h. 2.
66

Dalam hal ini, Gus Dur memandang bahwa dimensi-dimensi manusia

merupakan aspek terpenting bagi perkembangan manusia menuju

kesempurnaannya sebagai makhluk terbaik Tuhan, demikian juga Murtadl

memandangnya. Hanya saja secara sepintas dimensi-dimensi kemanusia yang

ditawarkan kedua tokoh tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan istilah.

Menurut Gus Dur, dimensi-dimensi manusia yang dimaksud ialah

dimensi badani, keyakinan, moral, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitas.131

Sedangkan Muthahhar mengistilahkan dimensi-dimensi kemanusiaan itu

sebagai dimensi intelektual, moral, estetis, ibadat dan kreativitas.132

Kalau penulis hitung, akan menemukan jumlah klasifikasi yang berbeda

antara keduanya. Gus Dur menentukan nilai-nilai dasar tersebut menjadi enam,

sedangkan Murtadl menentukannya menjadi lima. Tetapi secara substansial,

istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan-persamaan pembahasan yang

mendasar meskipun titik tekannya berbeda.

Dari dimensi keyakinan yang diungkapkan Gus Dur tampaknya penulis

dapat menelusuru titik temu atau titik persamaan di sela-sela pembahasannya

dengan kajian dimensi ibadat menurut Muthahhar. Dimensi keyakinan menurut

Gus Dur merupakan dorongan yang lahir dalam diri manusia untuk meyakini

keberadaan Tuhan dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya.133 Menurut Murtadl,

dimensi ibadat merupakan kemampuan untuk menjangkau suatu tempat di luar

131
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan Kebudayaan (Depok:
Desantara, 2001), Cet. Ke-2, h. 180.
132
Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar (Laporan Penelitian
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 36.
133
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 6.
67

alam material dan hasrat untuk menguasai cakrawala yang lebih tinggi dan luas.

Hasrat semacam itu merupakan ciri seluruh umat manusia.134

Kajian antara keyakinan dan ibadat merupakan kajian mendasar

keagamaan. Dengan demikian, pemikiran kedua tokoh tersebut dipertemukan

dalam lingkup keagamaan, bahwa fitrah manusia merupakan dorongannya untuk

menjadi makhluk beragama. Hal ini telah disinggung dengan baik oleh Syamsuri

dalam penelitiannya, bahwasanya dalam lubuk hati manusia telah tertanam suatu

kesadaran untuk beriman dan menyembah Allah (beragama).

Dalam kaitannya dengan dimensi moral menurut Gus Dur dan dimensi

etis menurut Murtadl, penulis dapat menelusuri persamaan pandangan

keduanya tentang kedua hal tersebut. Bahwa manusia tidak akan pernah mampu

hidup dengan baik dan tidak akan hidup dalam suatu masyarakat tanpa

dilandaskan pada nilai-nilai moral. Gus Dur juga membahas pentingnya

moralitas itu yang dibingkai dengan istilah etika sosial. Bahkan Gus Dur

menyebutkan bahwa al-Quran merupakan kitab moral.135 Untuk menjadikannya

dekat dengan Tuhan, manusia tidak boleh memisahkan diri antara kepentingan

hidupnya dari moralitas yang dianutnya.136 Sedangkan Murtadl sendiri juga

membahas aspek moralitas manusia tidak pernah lepas dari ranah sosial

manusia.137 Maka ketika pembahasan tentang moral, pada hakikatnya hal

134
Murtadl, Perspektif al-Quran tetanng Manusia dan Agama, h. 131.
135
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. xix.
136
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 85.
137
Murtadl Muthahhar, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad
Bahruddin (Jakarta: Sadra, 2011), Cet. Ke-1, h. 251. Lihat juga Murtadl Muthahhar, Manusia dan
Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya (Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org), h.
93.
68

tersebut membahas ranah sosial. Karena moral membahas mengenai hubungan

manusia yang satu dengan yang lainnya.

Manusia juga mempunyai dimensi kreativitas. Dalam hal ini, Gus Dur

memandang dimensi kreativitas ini sebagai sisi manusia yang begitu penting

untuk melahirkan pengembangan-pengembangan dari yang telah ada menjadi

hal baru yang begitu bermanfaat untuk kepentingan hidup manusia itu sendiri.138

Maka di sinilah letak persamaan pembahasan istilah bekerja ala Gus Dur dengan

istilah kreativitas ala Murtadl. Karena Murtadl memaknai kreativitas dengan

menciptakan sehingga melahirkan hal baru yang bermanfaat.139

Dimensi rasionalitas manusia dalam pandangan Gus Dur tampaknya

tidak berbeda dengan dimensi intelektual menurut Murtadl. Murtadl

menyatakan bahwa dorongan manusia untuk mengetahui dan menalar hakikat

sesuatu merupakan dimensi intelektual manusia.140 Bahkan manusia tidak hanya

mengetahui, tetapi juga mampu menemukan tentang hukum alam semesta dan

kebenaran umum yang berlaku di dunia.141 Sedangkan nalar merupakan aktivitas

berpikir manusia yang oleh Gus Dur disebut sebagai fungsi akal. Maka manusia

merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan akal.142

Mengenai dimensi-dimensi manusia berikutnya, tampaknya kedua tokoh

tersebut mengalami perbedaan yang signifikan. Misalkan dimensi materi dan

kepemilikan dalam pandangan Gus Dur tidak terdapat dalam segenap susunan
138
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 11.
139
Murtadl, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54.
140
Ibid, h. 49.
141
Murtadl Muthahhar, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya
(Bogor: ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org), h. 4.
142
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30.
69

nilai-nilai kemanusiaan yang dirangkai Murtadl. Sebaliknya, dimensi estetis

yang menurut Murtadl merupakan bagian dari unsur dasar kemanusian, ternyata

Gus Dur tidak menjadikannya sebagai bagian dari unsur-unsur dasar

kemanusiaan.

Tidak hanya itu, perbedaan yang mencolok dari pemikiran keduanya

ialah penekanan dan orientasi penyusunan dimensi-dimensi manusia. Gus

menitik tekankan pada dimensi-dimensi universal manusia yang mengarah pada

kesejahteraan. Artinya, manusia akan sempurna jika unsur-unsur universal

manusia itu digunakan secara optimal dan seimbang demi terlahirnya

kesejahteraan umat manusia. Sedangkan Murtadl, berorientasi pada keimanan

dan keilmuan.

3. Tentang Kebebasan Manusia

Perdebatan mengenai kebebasan sudah tidak lagi menjadi kajian yang

baru dalam dunia pemikiran. Tetapi tema ini akan tetap menjadi kajian yang

menarik karena perdebatan mengenainya tidak pernah tuntas dan menjadi lebih

menarik lagi ketika konsep tentang kebebasan tersebut dikontektualkan.

Dalam tiap perjalanan hidup manusia, akan terus menghasilkan

pengalaman-pengalaman yang berbeda tiap individu. Dua orang yang

berkunjung ke Burobudur, salah satunya tidak dapat menyalahkan atau

membenarkan pengalaman lainnya, karena apa yang dialami dan dipikirakan tiap

individu mengenai Burobudur merupakan suatu yang berbeda. Maka pemaksaan

terhadap orang lain untuk menerima kebenaran mutlak pengalaman seseorang


70

sehingga menyalahkan pengalaman lainnya merupakan tindakan tidak

rasional.143

Ulasan di atas menampilkan konsep kebebasan manusia dalam berpikir.

Bahwa tiap individu mempunyai kesempatan untuk berpikir berbeda dengan

orang lain yang tak bisa dapat disalahkan dan dipaksakan oleh orang lain. Dalam

konsep kebebasan Gus Dur memperlihatkan pentingnya saling mengerti dan

menghormati antara individu yang juga mempunyai kebebasan yang sama.

Seseorang yang sudah mencapai taraf ini akan merasa bahagia dan bangga atas

perbedaan yang dimilikinya dan tidak kemudian memaksakan pemikirannya

kepada orang lain.

Maka kebebasan manusia menurut Gus Dur ialah kehendak manusia

yang tidak dipaksa oleh segala kehendak di luar dirinya. Dalam artian,

kehendaknya adalah keputusan yang dilakukan oleh diri sendiri secara sadar.

Tetapi kebebasan itu tidak didasarkan pada egoisme, tetapi lebih tepat harus

didasarkan pada jiwa kemanusiaan.144

Menurutnya, manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki kebebasan

menggunakan rasionya. Bahwa kemerdekaan berpikir manusia harus dijunjung

tinggi karena ia adalah keniscayaan dalam Islam.145 Tetapi kemerdekaan itu

tidak menjadikan manusia bebas berpikir tanpa batas. Dalam memahami

kemerdekaan berpikir ala Gus Dur, kita harus melanjutkannya pada suatu titik

mengenai batas-batas kemerdekaan itu.

143
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 67.
144
Ibid, h. 307.
145
Ibid, h.143.
71

Manusia tidak akan pernah mampu berpikir sebegitu bebasnya, karena ia

mempunyai banyak kekurangan-kekurangan. Manusia tak dapat berpikir dengan

kemerdekaan yang sempurna kerena yang sempurna itu hanyalah Allah. Maka

batasan-batas kemerdekaan manusia ialah kesempurnaan Allah.

Kebebasan berpikir ini hendaknya harus diimbangi dengan kesadaran

akan kebebasan individu, bahwa setiap individu memiliki kebebasan yang sama

antara yang satu dan yang lainnya. Tiap individu mempunyai peluang

berpendapat yang sama, sehingga tiap individu juga berpeluang yang sama untuk

berbeda pendapat mengenai hasil pemikirannya tentang suatu objek. Tetapi

perbedaan itu tidak merupakan malapetaka bagi kehidupan manusia, bahkan

perbedaan itu adalah rahmat.146 Tetapi dalam berpikir, manusia seharusnya

berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan,147 keadilan, menghormati dan

bersikap benar terhadap fakta.148

Kebebasan manusia untuk berpikir merupakan senjata utama dalam

mencari solusi problematika hidup yang kemudian dilengkapi dan didukung

dengan fasilitas-tasilitas lain. Segala fasilitas itu dituangkan Tuhan kepada

manusia karena manusia memang disiapkan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Tuhan hanya menyediakan kehidupan itu sendiri.149

Dalam surat al-Baqarah/2: 61 difirmankan bahwa wa dluribat alaihimu

al-dzillatu wa al-maskanatu wa b bi ghadlabin mina Allahi (dibuatkan

146
Ibid, h. 145.
147
Ibid, h. 307.
148
Ibid, h. 335.
149
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 102.
72

bagi kaum mulimin kehinaan dan kemiskinan). Menurut Gus Dur, ayat ini

menjelaskan bahwa Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng

dan tetap. Maka dari itu, manusia mempunyai kebebasan untuk tetap

melestarikan kemiskinan tersebut atau merubahnya menjadi kekayaan. 150 Maka

Allah tidak menentukan nasib manusia, melainkan manusia sendiri yang

menentukan.151

Bahkan dalam menentukan kebenaran, termasuk kebenaran suatu agama,

Tuhan menyerahkannya kepada akal sehat manusia.152 Itu berarti pilihan agama

bagi seseorang merupakan pilihan akal sehatnya yang merupakan bentuk

kebebasannya. Hal ini menunjukkan keharusan kepada manusia untuk

menghormati keputusan-keputusan seseorang dalam memilih agamanya.

Tetapi dalam tulisannya yang berjudul Kerangka Pengembangan Doktrin

Ahlu al-sunnah wa al-Jamaah, Gus Dur membatasi kebebasan manusia pada

kekuasaan Tuhan yang menurutnya tidak dapat dilawan.

Manusia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimaunya, walaupun


kehendak itu sendiri harus tunduk kepada kenyataan akan kekuasaan
Allah yang tidak dapat dilawan lagi.153

Sayangnya, Gus Dur tidak melanjutkan menjelaskan konsep kuasa Tuhan

atas manusia itu. Tetapi kalau melihat latar belakang Gus Dur, konsep itu sama

dengan teori yang diungkapkan Asyariyah. Bahwa manusia mempunyai

kemerdekaan kehendak tetapi atas persetujuan Tuhan.154

150
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 215.
151
Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 91.
152
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 14.
153
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 35.
154
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 81.
73

Dalam memandang hal ini, Murtadl Muthahhar juga berkomentar

mengenai kebebasan manusia. Menurutnya, manusia bebas dari kungkungan

kekuatan absolut yang menjadikannya tertekan ketakutan. Maka dari itu

sesungguhnya takdir Tuhan tidak membatasi kebebasan manusia, melaikan

hanya sebagai hakikat sejati.155

Artinya taqdir Tuhan merupakan keputusan mutlak dari peristiwa-

peristiwa dan fenomena-fenomena. Dalam kata lain, taqdir merupakan ketetapan

suatu hukum yang pasti mengenai suatu kejadian seperti hukum kausalitas.

Manusia memang bebas dari pengaruh taqdir Tuhan secara langsung mengenai

tindakannya dan kehendaknya, tetapi ia tidak akan pernah bebas dari hukum-

hukum yang telah ditentukan tadi.

Tetapi ketetapan itu tidak menjadikan manusia terbelenggu, justru hal

tersebut yang mengahruskan manusia agar memiliki kehendak bebas dan sifat

yang penuh kearifan. Sedangkan kebebasan itu sendiri ialah tidak adanya

berbagai rintangan dalam jalan pertumbuhan.156 Dengan demikian manusia akan

mampu sepenuhnya membebaskan diri dari kepatuhan terhadap kendali

lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka. Sebagaimana ia ungkapkan

dalam bukunya.

Ketetapan Ilahi itu mengharuskan manusia memiliki kearifan dan


kehendak bebas, agar mereka mampu sepenuhnya membebaskan diri dari
kepatuhan terhadap kendala lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib
mereka.157

155
Murtadl, Perspektif al-Quran tetanng Manusia dan Agama, h. 143.
156
Murtadl Muthahhar, Wacana Spiritual, terj. Strio Pinandito (Jakarta: Firdaus, 1991), h. 39.
157
Murtadl, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, h. 143
74

Ungkapan di atas juga memeberikan penulis penjelasan bahwa

kebebasan manusia itu tidak hanya dipandang dari kebebasannya dari belenggu

kekuatan Tuhan yang absolut itu. Tetapi juga dilihat dari aspek sosial. Bahwa

manusia yang bebas adalah manusia yang tidak patuh terhadap lingkungan dan

sosial yang kemudian bebas mengatur nasibnya.

Kebebasan sosial ialah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan

individu-individu lain dalam suatu masyarakat sehingga tidak menghalangi

pertumbuhannya, tidak memenjarakannya untuk mencegah berbagai

aktivitasnya, tidak memeras atau memperbudaknya, tidak memeras segala

kekuatan fisik dan mentalnya demi berbagai kepentingannya sendiri, yang dapat

pula digolongkan ke dalam beberapa jenis.158

Orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak

mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh

kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Satu dari tujuan

diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia.

Yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang

lain.

Tidak hanya itu, Murtadl juga menjelaskan tentang kebebasan dari

tekanan-tekanan internal seseorang. Dalam artian, manusia adalah makhluk yang

bebas dari belenggu diri sendiri.159 Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan lagi

158
Murtadl, Wacana Spiritual, h. 40.
159
Murtadl, Perspektif al-Quran tetanng Manusia dan Agama, h. 68.
75

dengan kalimat dan mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan.160

Tampaknya mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan itulah yang disebut

dengan kebebasan spiritual.

Kebebasan spiritual ialah kebebasan diri seseorang terhadap kebebasan


sosial, kebebasan dari berbagai ikatan yang lain.161

Kecenderungan spiritual yang tertuang dalam diri manusia

menjadikannya berusaha untuk terus melangkah di jalan pertumbuhan dan

kesempurnaan spiritual dan tidak mengikuti kecenderungan materi saja. Itu

berarti bebas dari rakus, ketamakan, syahwat, marah dan hawa nafsu dapat

merealisasikan kebebasan spiritual. Orang-orang yang bebas secara hakiki di

dunia ini adalah mereka yang pada awalnya telah membebaskan dirinya dari

tawanan hawa nafsu.

Ia mencontohkannya pada pandangan seseorang kepada seorang wanita

tetapi ia mencegah dorongan nafsu tersebut dan mematuhi kesadarannya. Orang

yang demikian, Murtadl menyebutnya sebagai manusia bebas.162

Muthahhar menilai kebebasan spiritual sangat penting dalam kehidupan

manusia, bahkan menyebutnya sebagai sarana bagi manusia untuk meraih

kebebasan sosial. Dengan kata lain, manusia yang telahmencapaikebebasan

spiritual, manusia yang mendapat didikan ajaran para nabi, pasti menghormati

hak-hak sosial manusia lainnya. Mereka tidak akan melakukan kezaliman,

berbuat yang melampaui batas dan menghianati orang lain.

160
Ibid, h. 68.
161
Murtadl, Wacana Spiritual, h. 54.
162
Ibid, h. 61.
76

Tampaknya kedua tokoh tersebut sama-sama mengakui kebebasan

manusia dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Hal tersebut tampak pada

paparan di atas tentang kemampuan manusia untuk bebas. Maka menurut

keduanya, manusia mampu menjadi orang berilmu atau menjadi orang bodoh

sekalipun. Tetapi dalam mencapai pilihan-pilihan itu tetap membutuhkan usaha-

usaha yang mengarah pada pilihan-pilihan tersebut.

Tetapi memang kalau menurut Gus Dur, kebebasan tersebut tetap

dibatasi oleh kemahabebasan Tuhan. Artinya sebebas-bebasnya manusia, tetap

Tuhan yang mengiyakan segala keputusan manusia. Hanya saja, usaha manusia

sangat berpengaruh terhadap keputusan Tuhan, meskipun keputusan bebas

Tuhan itu sendiri tidak dapat diintervensi. Sedangkan Murtadl menyatakan

bahwa kebebasan manusia itu dibatasi oleh kepastian hukum alam. Manusia bisa

menjadi orang pintar jika ia melalui proses-proses alam yang telah ditentukan

Tuhan. Misalkan jika ia mempunyai otak untuk berpikir, dan berusaha untuk

mengasah otak untuk menjadi orang pintar.

C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadl Muthahhar

Dari hasil kajian sebelumnya, pemikiran keduanya dapat penulis singkat

dalam beberapa paparan dalam tabel di bawah.

Tijauan Abdurrahman Wahid Murtadl Muthahhar

Pandangan Gus Dur melandaskan Murtadl juga mendasarkan


terhadap pemikirannya tentang konsepnya tentang manusia pada
ayat manusia dalam al-Quran. Ia al-Quran, tetapi ia memaknai teks-
tentang memahami ayat-ayat teksnya menggunakan pendekatan
77

manusia menggunakan pendekatan tauhid. Dalam istilah manusia


sosial. Misalkan Gus Dur khalfah tampil ketika ia nilai-nilai
memaknai kata ramah tauhid tertanam dengan baik dalam
(manusia sebagai dengan dirinya. Alasannya, tauhid
ramah untuk seluruh alam) merupakan langkah dasar menuju
dengan kesejahteraan. Itu kealiman, amal saleh, dan bekerja
keras di jalan Allah. Jelaslah bahwa
berarti kesempurnaan
kesempurnaan manusia itu diukur
manusia oleh Gus Dur dilihat
dari keyakinan seseorang.
dari seberapa banyak ia dapat
memberikan manfaat berupa
kesejahteraan kepada seluruh
umat manusia.
Gus Dur membangun Murtadl menekankan pada aspek
konsepnya tentang manusia teologis. Menurut Murtadl
menitik beratkan pada ranah manusia yang utuh ialah ia yang
sosial. Baginya hakikat menyeimbangkan segala
manusia ialah ia yang mampu potensinya demi mencapai tujuan
merealisaskan inti ajaran tertinggi yaitu
Tuhan, yaitu berupa berkeyakinan/berkeimanan.
Hakikat
mewujudukan kesejahteraan Sedangkan keyakinan yang benar
manusia
bagi seluruh umat. ialah keyakinan kepada Allah.
Kesejahteraan menjadi tujuan Tetapi ia juga mengakui bahwa
luhur di atas apa pun. manusia juga mempunyai tugas
Maka merealisasikan untuk berbuat baik untuk ridha-Nya
kesejahteraan merupakan
bentuk keberimanannya
kepada Tuhan.
Gus Dur merumuskan Sedangkan Murtadl berdasarkan
dimensi-dimensi manusia pada teks ayat tentang dimensi
berdasarkan kulliyah al- manusia yang membedakannya
Dimensi- khamsah yang pernah dengan makhluk lain.
dimensi diungkapkan al-Ghazl. Titik temunya ialah pada
manusia Tetapi terdapat titik temu pembahasan tentang dimensi
dalam pembahasan. Yaitu ibadat, moral, kreativitas dan
dimensi keyakinan, moral, intelektual.
kreativitas dan rasionalitas
Manusia mempunyai Manusia mempunyai kebebasan
kebebasan memilih sehingga memilih dan menentukan nasibnya
Kebebasan dapat merubah nasibnya, sesuai dengan hukum-hukum alam
manusia meskipun pada akhirnya yang telah ditentukan Allah.
kebebasan itu dibatasi oleh
ketidak terbatasan Tuhan.
78

Bagi Gus Dur nilai-nilai dasar kemanusiaan merupakan unsur universal

manusia yang harus dikembangkan dengan optimal dan seimbang untuk mencapai

hakikat dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam, atau untuk menciptakan

kesejahteraan. Salah satu unsur universal itu ialah unsur rohani yang dengannya

manusia terdorong secara fitrah untuk berkeyakinan. Sedangkan keyakinan yang

paling tinggi ialah keyakinan kepada Tuhan sesuai dengan agama masing-

masing.163

Tampaknya Gus Dur memaknai keyakinan secara universal tanpa mengarah

pada keyakinan umat Islam (keyakinan kepada Allah). Maka keyakinan kepada

Tuhan bermakna kepercayaan tiap pemeluk agama kepada Tuhan sesuai dengan

ajaran agamanya. Karena seluruh Tuhan agama pasti akan selalu mengajarkan

kebaikan dan memerintah untuk menebarkan rahmat atau kesejahteraan.

Dengan demikian, setiap manusia yang berkeyakinan entah apa pun

agamanya- mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai manusia sejati,

makhluk tertinggi setelah Tuhan. Dalam Islam, makhluk yang mencapai derajat

tertinggi tersebut ialah Nabi Muhammad. Bahkan Gus Dur menjadikan Nabi

Muhammad sebagai satu-satunya manusia yang mencapai kesempurnaan paling

tinggi di antara umat-umat lain.

Tampaknya Gus Dur ingin memperlihatkan bahwa Islam yang ditampilkan

Muhammad adalah ajaran terbaik yang patut dijadikan model/landasan utama

seluruh umat manusia dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.

Tampa disadari Gus Dur sebenarnya berkampanye tentang kesempurnaan Islam.

163
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 4.
79

Konsep ini menjadi sangat menarik ketika dihadapkan pada era kontemporer

yang menuntut umat manusia selalu ikut arus globalisasi. Alasannya, konsep Gus

Dur tentang manusia ingin membetuk manusia yang berkarakter dan beridentitas

tanpa menutup diri dari apa pun di luarnya.

Tetapi konsep ini hanya bisa dipahami kalangan tertentu seperti akadimisi.

Jika disajikan kepada khalayak ramai, konsep ini akan disalah artikan. Jika ini

terjadi, yang tercipta bukan malah manusia yang beridentitas, tetapi malah tercipta

manusia tanpa identitas.

Di sisi lain, pengakuan terhadap kebenaran agama lain sebagai bentuk saling

menghormati antarsesama demi kesejahteraan bersama, akan melahirkan kesan

bahwa terdapat banyak kebenaran dalam satu individu. Sehingga, satu orang orang

awam yang tidak paham dapat menganut enam agama sekaligus. Jika ini terjadi

yang lahir bukan kedamaian dan kesejahteraan, justru pertikaian yang akan

mewarnai konsep manusia sejahtera itu.

Sedangkan bagi Murtadl keseimbangan unsur-unsur universal manusia

yang melekat dalam diri manusia merupakan aspek terpenting dalam mencapai

manusia hakiki. Seseorang akan tampak sebagai manusia hakiki jika ia benar-benar

tampil sebagai manusia yang berkeyakinan dan berilmu.

Namun, Murtadl menggaris bawahi istilah keyakinan yang dibarengi

dengan ilmu. Manusia memang makhluk yang berkeyakinan, tetapi keyakinan harus

diimbangi dengan ilmu pengetahuan. Karena keyakinan tanpa ilmu akan

melahirkan keyakinan terhadap objek yang salah. Sedangkan keyakinan yang benar

ialah keyakinan kepada Allah.


80

Tampaknya Murtadl ingin mengatakan bahwa yang mempunyai

kesempatan untuk mencapai hakikat manusia hanyalah umat yang beriman kepada

Allah demikan juga dengan ajarannya. Seseorang yang berkeyakinan, sedangkan

keyakinannya tersebut tidak kepada Allah, tentu ia tidak mengoptimalkan potensi

intelektualnya dengan baik dan seimbang. Kalau digunakan dengan baik dan

seimbang, orang tersebut pasti akan menemukan keyakinan yang benar, yaitu

keyakinan kepada Allah.

Nah, yang perlu dipertanyakan ialah Di mana letak universalitas dari ajaran

Murtadl tentang hakikat manusia jika pada akhirnya yang berhak menjadi manusia

sempurna hanyalah manusia yang berkeyakinan/beriman kepada Allah? Maka

konsep Murtadl ini tampaknya bersifat eksklusif.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gus Dur memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang unggul

karena mempunyai beberapa dimensi, di antaranya ialah dimensi badani, keyakinan,

moralitas, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitas. Manusia akan mencapai hakikat

dirinya sebagai manusia, jika seluruh dimensi-dimensi tersebut diberikan

kebebasan untuk mengekpresikan segala kemampuannya. Dengan demikian

dimensi-dimensi tersebut harus dilindungi agar tidak ada benturan antara

kebebasan yang satu dengan yang lainnya.

Sedangkan menurut Murtadl, manusia adalah makhluk yang diciptakan

untuk diuji, karena di dalamnya terdiri dari apa yang terdapat di malaikat dan

hewan. Kedua unsur yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Potensi-

potensi tersebut antara lain ialah kebenaran, moral, estetika, kreasi dan penciptaan,

kerinduan dan ibadah. Keseimbangan dari potensi-potensi itu adalah tanda bahwa

seseorang tersebut telah berada pada tingkat hakikatnya sebagai makhluk ciptaan

Tuhan yang unggul.

Antara Gus Dur dan Murtadl sama-sama menjadikan al-Quran sebagai

landasan utama pemikiran mereka tentang manusia. Sehingga pemikiran keduanya

tetap sama-sama tidak akan keluar dari nilai-nilai al-Quran. Sehingga keduanya

sama-sama ingin membawa manusia pada keadaan yang lebih baik. Tidak hanya

itu, pemikiran keduanya juga dipertemukan dalam konsep tentang dimensi-dimensi

manusia. Misalkan, dimensi keyakinan yang dikonsep Gus Dur dan dimensi ibadat

81
82

dalam konsep Murtadl dipertemukan dalam bingkai agama. Bahwa bahwa tidak

akan pernah lepas dari fitrahnya sebagai manusia yang beragama. Beragama yang

dimaksud ialah berkeyakinan dan beribadah kepada yang diyakininya.

Tetapi dalam menafsirkan al-Quran, keduanya menggunakan metode yang

berbeda. Gus Dur menafsirkan menggunakan pendekatan sosial, sedangkan

Murtadl menafsirkan menggunakan pendekatan tauhid. Sehingga hasilnya pun

menitik beratkan pada ranah yang berbeda. Gus Dur menitik beratkan pada aspek

kesejahteraan, sedangkan Murtadl lebih pada aspek keimanan.

B. Saran-Saran

Kajian ini tentu tidak sempurna, sehingga diperlukan kajian-kajian yang

lebih mendalam mengenai tema tersebut, karena kajian ini menyangkut hakikat

diutusnya manusia ke muka bumi. Dengan mengetahui tugas dan perannya di

muka bumi, ia akan hidup dengan benar, yaitu hidup sesuai dengan keharusan-

keharusan sebagaimana

Yang juga tidak kalah pentingnya ialah mengimplementasikan dalam

kehidupan sehari-hari segala hasil penelitian ini. Sehingga konsep ini benar-benar

bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Amini, Ibrahim. Risalah Tasawuf: Kitab Suci Para Pesuluk, terj. Ahmad Subandi
dan Muhammad Ilyas. Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2001.

Arif, Syaiful. Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan.


Jakarta: The Wahid Institute, 2013.

Bagir, Haidar. Membincang Metodologi Ayatullh Murtadl Muthahhar.


Yogyakarta: UGM, 2004.

____________. Murtadl Muthahhar, Sang Mujahid Sang Mujahid. Bandung:


Yayasan Muthahhar, 1998.

____________. Resensi Buku Murtadl Muthahhar: Pengantar Epistemologi


Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas
Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia.
Jakarta : Sadra Press, 2010.

Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2005.

Bahar, Ahmad. Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan


Pemikiran. Jakarta: Bina Utama, 1999.

Bahruddin. Paradigma Psikologi Islam; Studi tentang Elemen Psikologi dari al-
Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Bakhtiar, Amtsar. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.


Jakarta: Grafindo Persada, 2009.

Bakri, Syamsul dan Mudhofir. Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis


Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di
Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 2004.

Barton, Greg. Bografi Gus Dur, terj. Lia Hua. Yogyakarta: LKiS, 2003.

___________, Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman


Wahid dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad
Suaedy dkk. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997.

Dhakiri, M. Hanif. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogjakarta: LKiS, 2010.

83
84

Driyarkara. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat


Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Kompas Gramedia,
2006.

Efendi, Djohan. Gus Dur: Sang Presiden yang Humanis, dalam Ahmad Gaus
AF, Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi. Jakarta: ICRP,
2009.

Gazalba, Sidi. Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.

Hadrianto, Budi. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme,


Pluralisme, dan Liberalisme Agama. Jakarta: Hujjah Press, 2007.

Ismail, Faizal. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Mitra


Cendikia, 2004.

al-Jl, Abdul Karm Ibnu. Insn Kml: Ikhtisar Memahami Kesejatian Manusia
dengan Sang Khaliq hingga Akhir Zaman. terj. Misbah el-Majid,
Surabaya: Pustaka Hikma Perdana, 2006.

Kania, Dinar Dewi. Objek Ilmu dan Sumber-sumber Ilmu, dalam Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Adian Husaini et al. Jakarta: Gema Insani,
2013.

Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.

_________________. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan


Manusia. Jakarta: Erlangga, 2009.

__________________. Renungan-renungan Filosofis Murtadl Muthahhar.


Makalah Seminar Internasional Pemikiran Murtadl Muthahhar di
Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt. 2, 2004.

Kurniawan, Wawan. Menolak HAM atau Mengubah Fiqh?: Pemikiran Gus Dur
tentang Islam dan HAM, Kajian Kebudayaan dan Demokrasi,
Weltanscauung Gus Dur. Edisi. vi, Juni 2010.

Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang


Isu-isu Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi. Jakarta:
Paramadina, 2003.

Labib, Muhsin. Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta: Lentera,
2005.

Misbah, Mujtaba. Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi. Jakarta: al-Huda, 2008.
85

Muthahhar, Murtadl. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita,
terj. Afif Muhammad. Jakarta: Citra, 2011.

___________________. Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj.


Muhammad Bahruddin. Jakarta: Sadra, 2011.

___________________. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam


Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad
Sobandi. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011.

___________________. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Bandung:


Mizan, 2009.

___________________. Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat


Raya. Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org.

___________________. Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan


Filosofis, terj. Abdillh mid Baabud. Jakarta: Sadra Institute,
2012.

___________________. Mutiara Wahyu, terj. Syekh Al al-amd. Bogor:


Cahaya, 2004.

___________________. Neraca Kebenaran dan Kebatilan. Bogor: Ebook yang


dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001.

___________________. Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, terj.


Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1992.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj:
Luqman Hakim. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.

Nicholson, R.A.. Tasawuf Cinta: Studi atas Tiga Sufi; Ibn Ab al-Khair, al-Jl
dan Ibn al-Farid, terj. Uzair Faizan. Bandung: Mizan, 2003.

Poespoprodjo, W.. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.


Bandung: Pustaka Grafika, 1999.

Poespowardojo, Soerjanto. Menuju Manusia Seutuhnya, dalam Sekitar


Manusia. Jakarta: Gramedia, 1983.

Qamar, Mujamil. NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam.


Bandung: Mizan, 2002.

Rakhmat, Jalaluddin. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Bandung: Mizan, 2007.

Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2010.


86

Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: al-Ruzz, 2004.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,


v. i. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

________________. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1997.

Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi, bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.

Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan.


Yogyakarta: Galang Press, 2010.

Suseno, Franz Magnis. Gus Dur: Bangsa Mana di Dunia Mempunyai Presiden
seperti Kita, dalam Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman
Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2000.

Syamsuri. Manusia Sempurna Perspektif Murtadl Muthahhar, Laporan


Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2001.

Syariat, Al. Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin.


Jakarta: YAPI, 1990.

Tiahidi, Simon Petrus L.. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius,
2011.

Tim Institut of Culture and Religion Studies (INCRES). Beyond the Symbols:
Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung:
INCRES, 2000.

Tjahjadi, Lili. Ateisme Sartre; Menulak Tuhan Mengiyakan Manusia, dalam


Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius,
2003.

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan


Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

___________________. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat,


Negara dan Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

___________________. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren.


Yogyakarta: LKIS, 2007

___________________. Pemikiran Islam yang Brilian, dalam Badiatul Rozikin,


dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara,
2009.
87

___________________. Pengembangan Ahlussunah wa al-Jamaah di


Lingkungan Nahdlatul Ulama, dalam Said Aqil Siradj, Ahlussunnah
wa al-Jamaah: Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka Cendekia
Muda, 2008.

___________________. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok:


Desantara, 2001.

___________________. Prisma Pemikiran Gus Gur. Yogyakarta: LKIS, 2010.

___________________. Tuhan tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 2010.

Wahid, Yenny Zannuba. Gus Dur: Seorang Pejuang Kemanusiaan, Rumadi


(ed), Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: Kompas, 2010.

Yahya, Iip D.. Gus Dur: Berbeda Itu Asyik. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Anda mungkin juga menyukai