Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama pada

tulang.1 Menurut Mansjoer A, 2002, fraktur adalah terputusnya kontinuitas

jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma yang

ditentukan sesuai jenis dan luasnya.2 Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka

fraktur dentoalveolar yaitu kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras

pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.


Di Indonesia, Insidensi fraktur dentoalveolar sering terjadi. Keterlibatan

trauma orofasial diperkirakan terjadi sekitar 15 % dari semua pasien emergensi,

dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi

pada seorang anak yang terjatuh dan juga terjadi pada kecelakaan kendaraan

bermotor.

Tujuan dari penulisan referat ini dibuat adalah agar dapat memahami

berbagai hal mengenai fraktur dentoalveoar seperti definisi fraktur dento-alveolar,

etiologi, klasifikasi, tanda-tanda klinis, perawatan secara umum, perawatan segera

sehingga dapat mendeteksi secara dini dan meningkatkan kelangsungan hidup

pasien.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur Dento-Alveolar

2.1.1. Definisi
Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama

pada tulang.1 Menurut Mansjoer A, 2002, fraktur adalah terputusnya

kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh

trauma yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya.2 Berdasarkan definisi-

definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar yaitu kerusakan atau putusnya

kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan

trauma.
2.1.2. Klasifikasi
Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi

beberapa macam. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara

penanganan yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan

prognosis yang baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga

dapat memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk

mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut.


Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO) diterapkan

pada gigi sulung dan gigi tetap yaitu klasifikasi yang meliputi cedera pada

jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung.3
A. Cidera pada jaringan keras gigi dan pulpa :

Injury Criteria
Enamel infraction Fraktur mahkota yang tidak sempurna
pada enamel tanpa kehilangan substansi

2
gigi
Enamel fracture Fraktur dengan kehilangan substansi gigi
(uncomplicated) pada enamel
Enamel-Dentin Fraktur dengan kehilangan substansi gigi
fracture pada enamel dan dentin
(uncomplicated)
Complicated crown Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
fracture hingga pulpa terbuka
Uncomplicated Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
crown-root fracture dan sementum, tapi tidak membuka
pulpa
Complicated crown- Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
root fracture dan sementum, dan membuka pulpa
Root fracture Fraktur yang melibatkan dentin dan
sementum, dan pulpa
Tabel 2.1. Cidera pada jaringan keras gigi dan pulpa.3

Gambar 2.1. Cidera pada jaringan keras gigi dan pulpa.3

3
B. Cidera pada jaringan periodontal

Injury Criteria
Concussion Luka pada jaringan pendukung gigi
tanpa pelepasan abnormal atau
perpindahan dari gigi, tetapi bereaksi
terhadap perkusi
Subluxation (loosening) Luka pada jar.pendukung gigi dengan
pelepasan abnormal, tetapi dengan
perpindahan gigi
Extrusive luxation (peripheral Perpindahan sebagian dari gigi dari
dislocation, partial avulsion) soketnya
Lateral luxation Perpidahan gigi dengan arah selain
aksial. Diikuti dengan fraktur soket
alveolar
Intrusive luxation (central Perpindahan gigi ke tulang alveolar.
dislocation) Diikuti dengan fraktur soket alveolar
Avulsion (exarticulation) Perpindahan gigi sepenuhnya keluar
dari soket
Tabel 2.2. Cidera pada jaringan periodontal.3

Gambar 2.2. Cidera pada jaringan periodontal.3

4
C. Cidera pada tulang pendukung

Injury Criteria
Comminution (pengurangan Hancurnya dan penekanan pada soket
secara bertahap partikel kecil) alveolar. Kondisi ini ditemukan dengan
of the maxillary alveolar terjadinya intrusive dan lateral luxation
socket
Comminution of the
mandibular alveolar socket
Fraktur dinding soket alveolar Fraktur yang terbatas pada bagian
maksila fasial atau oral dinding soket
Fraktur dinding soket alveolar
mandibula
Fraktur prosesus alveolar Fraktur prosesus alveolar, dengan/
maksila tidak melibatkan soket alveolarnya
Fraktur prosesus alveolar
mandibula
Fraktur maksila dan Fraktur yang melibatkan dasar maksila
Mandibula atau mandibula dan prosesus alveolaris
(fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/
tidak melibatkan soket alveolar
Tabel 2.3. Cidera pada tulang pendukung.3

Gambar 2.3. Cidera pada tulang pendukung.3


2.1.3. Etiologi
Penyebab dento-alveolar dibagi menjadi dua yaitu trauma langsung

dan trauma tidak langsung. Yang dinamakan trauma langsung yaitu apabila

5
terdapat benturan yang langsung mengenai gigi. Yang termasuk trauma tidak

langsung yaitu terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas.

Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi,

resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan

sudut arah gaya impaksi.3 Perilaku manusia seperti hiperaktivitas dengan

menggigiti bulpoin dan membuka bungkus makanan juga dapat menjadi

penyebab terjadinya fraktur.4


2.1.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis terjadinya fraktur dento-alveolar diantaranya yaitu:2
1. Adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu
segmen
2. Terdapat laserasi pada gingiva dan vermilion bibir
3. Adanya pembengkakan atau luka pada dagu yang memerlukan
pemeriksaan Radiografi untuk memastikan diagnose
4. Terdapat luka pada gingiva dan hematom di atasnya
5. Terdapat nyeri tekan pada daerah garis fraktur yang disertai
pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Riwayat mekanisme dan kejadian yang lengkap harus

didapatkan dan langsung dilakukan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk

menjamin diagnosa dan perawatan yang tepat.


Langkah pertama dalam proses mendiagnosa yaitu mendapatkan

riwayat kecelakaan yang akurat. Riwayat yang komprehensif harus

didapatkan dari pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi

yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana

kejadiannya, terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya.5

1. ANAMNESIS

6
Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya

trauma. Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang

harus diketahui antara lain sebagai berikut:2

a. Kapan Terjadinya Trauma.

Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan berpengaruh

terhadap prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami

avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi, maka

prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang

proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya

ditunda.

b. Dimana Tempat Trauma Terjadi.

Hal ini penting karena penderita memerlukan suntikan anti

tetanus jika luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang

kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri.

c. Bagaimana Trauma Terjadi.

Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut

mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma

pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur mahkota gigi,

sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti

siku biasanya dapat mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi.

d. Perawatan yang Sudah Didapat.

e. Riwayat Trauma pada Gigi

f. Penyakit Sistemik yang Diderita.

7
g. Keluhan Lain.

h. Gangguan Pengunyahan.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi

pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran

dan suhu tubuh.

Pemeriksaan Ekstra Oral Pada kasus trauma gigi anterior ini dapat

dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada wajah

dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang yang

menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan

saraf serta hematoma. 2

Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk

mendapatkan informasi agar dapat memberikan pertolongan pertama.

Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada pemeriksaan intra oral yaitu:2

A. Perkusi Gigi dengan memperhatikan :

a. Kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar.

b. Adanya perubahan warna gigi.

c. Kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit-

langit dan lidah.

d. Perubahan letak gigi

B. Tes vitalitas dari gigi dengan memperhatikan kerusakan prosesus

alveolaris, dengan cara palpasi prosesus alveolaris.

3. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

8
Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa

kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya

pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai

perawatan dan pada saat kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi

terhadap perawatan yang telah dilakukan.2

Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya :

a. Untuk melihat arah garis fraktur

b. Adanya fraktur akar

c. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami

instrusi atau ekstrusi

d. Adanya kelainan dari jaringan periodontal

e. Tingkat perkembangan akar

f. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar

g. Adanya fraktur rahang

h. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain

disekitar rongga mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.

Macam-macam foto rontgen yang biasa digunakan dalam

melakukan pemeriksaan riologis pada kasus trauma gigi anterior

adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan

diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan foto

postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat.2

2.1.6. PENATALAKSANAAN

9
Prinsip perawatan fraktur dentoalveolar pada ini adalah mencegah

prognosis yang buruk dan mengurangi rasa sakit akibat fraktur. Semakin cepat

cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik. Banyak komplikasi pasca

trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang lambat.6

Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu

perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan

terhadap bagian dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif).6

1. Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum dan Segera,

meliputi:6

a. Kondisi Saluran Pernapasan


Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-

benar mengenai pernapasannya. Tindakan pertama adalah aspirasi

darah, pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha

mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol

perdarahan dari mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi

yang sangat goyang yang dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau

terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-fraktur tertentu misalnya

fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur maksilla

dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring,

cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen

symphysis mandibulae bergeser ke posterior, maka dukungan ke

arah anterior terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan

kolaps lidah ke arah posterior (ke faring). Pergeseran maksilla ke

arah inferoposterior bisa mengakibatkan penyumbatan mekanis

10
langsung pada orofaring. Lidah bisa dikontrol dengan melakukan

penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah dan

menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan

maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi

dari fraktur, atau paling tidak pada imobilisasi sementara yang

dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula yang

masih utuh.
b. Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda
Sumbatan tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena

pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh

hematom sublingual, luka-luka lingual, menghisap udara panas

atau menelan bahan kausatik. Hematom bisa menyebabkan elevasi

dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar

sering menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga

menyebabkan lidah tergeser ke arah posterior. Cedera pada saraf

sering mempersulit masalah yang sudah ada, yakni berupa

gangguan dalam melakukan kontrol gerakan lidah. Apabila

diperkirakan akan terjadi edema lingual atau faringeal, maka

penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi interdental

yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan, sehingga

membuat lidah cenderung bergerak ke arah posterior dan berakibat

fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bisa dilakukan

pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi

endotracheal dan tracheostomi pada kasus tertentu.


c. Perdarahan

11
Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal.

Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung

dengan menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar

kasus perdarahan rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan

kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat pembuluh yang

terlibat (biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna).

Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah

yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada

waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma orofasial

mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk

keperluan tranfusi.
d. Antibiotik
Terapi antibiotic profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi

individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi,

terutama untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur

terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan

kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan

definitif harus ditunda.


e. Kontrol Rasa Sakit
Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena

pasien yang mengalami cedera yang relatif berat, tidak terlalu

menderita seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik

cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan

penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien

jelas mengalami cedera kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan

12
narkotik untuk pemberian intravena atau intramuscular sering

digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non narkotik

mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk

cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa

mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus mengontrol edema.


f. Perawatan Pendukung
Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi

pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan

yang cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian

cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk

perawatn di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan lewat

mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein

atau vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa

selama menunggu pembedahan.

2. Perawatan fraktur Mahkota dan Akar

Langkah-langkah perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki

fraktur sehingga gigi bisa berfungsi kembali dengan normal yaitu:6


a. Fraktur Email
fraktur email adalah fraktur tidak mengenai jaringan gigi yang

lebih dalam (dentin mauapun pulpa) namun hanya sebatas email.

Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang baik. Perawatan

yang dapat diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian

email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki

struktur gigi tersebut.


b. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup

13
Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya

sebatas pada email namun juga sudah mengenai dentin namun

pulpa masih terlindungi. Perawatan yang bisa dilakukan adalah

dengan menggunakan material komposit untuk mengembalikan

struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni

menempelkan kembali fragmen fraktur tersebut pada jaringan gigi

setelah sebelumnya dilakukan etsa asam dan dengan bantuan

bonding agent.
c. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka
Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan

complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan

juga pulpa. Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak

sesederhana dua kasus di atas. Hal lain yang harus diperhatikan

saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, ini penting untuk

menentukan apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau

belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan

diberikan.

Untuk perawatan gigi dengan apeks yang masih terbuka

dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan formokresol. Tahap

yang bisa dilakukan:

o Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet


o Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal sampai

garis serviks dengan bur bulat steril.

14
o Kemudian lakukan irigasi dengan akuades steril atau

garam fisiologis (NaOCl) dan keringkan dengan cotton

pellet steril.
o Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di

atas sisa jaringan pulpa (3 menit)


o Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer

pasta Zn oksid dan formokresol di atas jaringan pulpa.


o Tambahkan adukan kental semen ZOE
o Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat
o Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan sampai

penutupan apeks memungkinkan untuk dilakukan

perawatan saluran akar.

Namun jika ingin hasil restorasi yang lebih estetik dapat

dilakukan restorasi komposit, dengan tahapan:

o Lakukan langkah a-c seperti di atas.


o Diberikan pelapis CaOH.
o Tambahkan semen glass ionomer
o Lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang

berlaku.

Untuk perawatan gigi dengan apeks yang sudah menutup

sempurna yaitu dilakukan dengan melakukan pulpektomi disertai

dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya

dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin

ginggiva dan diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti.

Perawatan saluran akar tentunya akan sangat membantu sebagai

tahap persiapan. Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini

terjadi pada gigi sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni

15
pencabutan dan pulpotomi. Semua ini bergantung pada usia pasien,

jika setengah bagian apeks sudah resorpsi maka pencabutan adalah

indikasi utama.

d. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka


Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan

keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka

perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun

jika apeks masih terbuka maka perawatan yang bisa dilakukan:


o Perawatan seperti abses alveolar akut
o Jika terjadi drainase maka biarkanterbuka dan pasien diminta

datang 5-7 hari kemudian


o Pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluran

akar
o Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril
o Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar
o Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.
o Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan

klinis dan radiografik.


e. Fraktur Akar
Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar,

hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan

kembali segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama

kurang lebih 12 minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk

melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta

mengetahui kevitalan pulpa.

a) Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik


o Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:
o Melakukan anestesi lokal
o Melepaskan segmen korona

16
Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat

sehingga bisa dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi

untuk pasak dan mahkota.


b) Fraktur Sepertiga Tengah
Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi

fragmen fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua

fragmen fraktur.
c) Fraktur sepertiga apeks
Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti

pada kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi

fragmen korona secara konvensional dan diisi gutta perca,

fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap

vital. Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan

preparasi fragmen korona dan mengisinya secara

konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan

dilakukan pengisian retrogard dengan amalgam.


d) Fraktur Mahkota-Akar
Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya

tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien

datang, fragmen korona sering sangat goyang dapat tetap

melekat melalui ligament periodontal. Biasanya anestesi local

perlu diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan

pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial,

maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan

pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan

lebih sulit untuk mengisolasi gigi untuk perawatan saluran

17
akar dan ekstruksi ortodonti dari akar perlu dipertimbangkan

sebelum merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila

fraktur sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil

untuk mendukung restorasi bahkan setelah dilakukan ekstruksi

ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).

18
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Fraktur dentoalveolar yaitu kerusakan atau putusnya kontinuitas

jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang

komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan

perawatan tersebut.
Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO) diterapkan

pada gigi sulung dan gigi tetap yaitu klasifikasi yang meliputi cedera pada

jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung.

Pada perawatan fraktur dento-alveolar terdapat prinsip untuk mencegah

prognosis yang buruk dan mengurangi rasa sakit akibat fraktur. Perawatan fraktur

dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan segera setelah terjadinya

trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap bagian dentoalveolar yang

terkena trauma (perawatan definitif).


3.2 Saran
1. Edukasi dapat diberikan kepada masyarakat mengenai fraktur alveolar

untuk menghindari komplikasi akibat fraktur alveolara.


2. Penanganan langsung yang dapat dilakukan ditempat yang efektif pada

penderita fraktur alveolar untuk menjaga kelangsungan hidup penderita.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta : EGC. 2009.

2. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Medica

Aescupalius. 2002.

3. Welbury R. Pediatric Dentistry, 3th Edition. New York : Oxford University

Press. 2005.

4. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed.

Pennsylvanya: Elsener Mosby : 2005.

5. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-

Maret 2008;Vol.21.

6. Fonseca, R.J dan Walker R.V. Oral and Maxillofacial Trauma, 2th edition,

vol 1. USA : W.B. Saunders Company. 2005.

20

Anda mungkin juga menyukai