Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai

dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan

kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi

sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis,

anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat. Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang

lalu dengan berbagai nama yang merupakan sinonim dari lupus, seperti yang

dikemukakan oleh Hippocrates (460370s.m) sebagai herpes esthiomenos dan herpes

ulcerosus dari Amatus1.

Lusitanus (1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu

seborhea kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran

seperti kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya

manifestasisistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William

Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan

endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan gambaran

patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan Schifrin serta

Gross, Keith dan Rowntree 2. Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per

100.000 penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per

100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13 . Belum

terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun

2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari
2

total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS

Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang

berobat ke poliklinik reumatologi selama 20102.

Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana

dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan 1 klinis yang

kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali

ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi menjadi 3

tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat 4.

Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data yang

diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien dengan

LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun pertama

mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.

tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan

dengan penyakit vaskular aterosklerosis2.

Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan

risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta

penatalaksanaan yang tepat, untuk inilah referat ini dibuat.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan

penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran

gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Kekeliruan

dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Terkait dengan kemampuan diagnosispara

dokter umum, internis maupun ahli reumatologi dan ahli lainnya dengan latar belakang

yang sangat berbeda, maka diperlukan suatu rekomendasi yang diawali bagaimana

mendiagnosis SLE dan dilanjutkan dengan pengelolaannya, pada berbagai

tingkatan kemampuan dokter tersebut.

Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang

ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem

dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks

imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1. Sistemik Lupus eritematosus adalah

penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap

autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan

kerusakan pada beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik

(berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan

mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari

penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari

jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit

LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus
4

dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak

diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab

terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi

sistem imun.

B. Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama

didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering ditemukan

pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak

mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi

paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1 1.

Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah

sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-

1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di

Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di

Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.

C. Patogenesis

Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat

banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor

lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang

peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara

kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
5

yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga

berhubungan dengangen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor

kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang

berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2)

telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode

reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin 6.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan

HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwagen MHC (Major

Histocompatibility Complex) mengatur produksiautoantibodi spesifik. Penderita lupus

(kira-kira 6%) mewarisi defisiensikomponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-

15. Kekurangankomplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh

sistemfagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat

dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia denganperjalanan klinis

yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,

kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal

ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi

secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri

sendi yangberpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh

manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya

akan memenuhi kriteria LES.


6

1. Manifestasi konstitusional1

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan

biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai

karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia,

meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.

Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan

penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini

memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan

juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis

ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau

akibat gejalagastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain

seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain

seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

2. Manifestasi Muskuloskeletal1

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering terjadi

pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot (myalgia),

nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi

sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena

keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya

deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis

juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid.
7

3. Manifestasi Kulit9

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,

butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan

lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit,

misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.

4. Manifestasi Paru9

Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang

interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau

perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara

kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan

mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun

pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis

lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.

5. Manifestasi Kardiologis1,9

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa

perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat

ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang

memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Penyakit jantung koroner dapat pula

dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark

miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada

penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan

steroid jangka panjang.


8

6. Manifestasi Renal1

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum

terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal pada

penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.

7. Manifestasi Gastrointestinal1,9

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara

klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,

inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa

hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain

itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap

kemungkinan hepatitis autoimun.

8. Manifestasi Hemopoetik9

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan

anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,

penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik

autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.

Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES

ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran

trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah

ditemukan gambaran LES yang lain.


9

9. Manifestasi Susunan Saraf9

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,

neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi

anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada

LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Keterlibatan

saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik seringditemukan, mulai dari anxietas,

depresi sampai psikosis. Kelainanpsikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.

Analisis cairanserebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang

spesifik,kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi(EEG)

juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otakkadang-kadang diperlukan

untuk membedakan adanya infark atauperdarahan.

E. Penegakan Diagnosis

Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih

kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu

1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat

badan.

3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis

4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia,

fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.


10

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali

10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,

gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan

laboraturium.American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan

11kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosisLES

dapat ditegakan (lihat tabel 1).

Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik10

No Kriteria Batasan

1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau

menonjol, pada daerah malar dan

Cenderung tidak melibatkan lipat

nasolabial.

2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik

dan sumbatan folikular. Pada

LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik

3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi

abnormal terhadap sinar matahari,

baik dari anamnesis pasien atau yang

dilihat oleh dokter pemeriksa.


11

4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya

tidak nyeri dan dilihat oleh

dokter pemeriksa.

5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua

atau lebih sendi perifer,

ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau

efusia.

6. serositis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc

a. Pleuritis friction rub yang didengar olehdokter

b. Perikarditis pemeriksa atau terdapat bukti efusi

pleura. Terbukti dengan rekaman EKG

atau pericardial friction rub atauterdapat

bukti efusi perikardium

7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari

atau >3+ bila tidak dilakukan

pemeriksaan kuantitatif. atau

Silinder seluler : - dapat berupa silinder

eritrosit, hemoglobin, granular,

tubular atau campuran.

8. Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh

obat-obatan atau gangguanmetabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbanganelektrolit). atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh


12

obat-obatan atau gangguanmetabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbanganelektrolit).

9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis.

hematologi atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih. atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih. atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa

disebabkan oleh obat-obatan

10. Gangguan imunologik a. Anti -DNA: antibodi terhadap native

DNA dengan titer yang abnormal.

Atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi

terhadap antigen nuklear Sm. Atau

c. Temuan positif terhadap antibodi anti

fosfolipid yang didasarkanatas:

1) kadar serum antibodi anti kardiolipin

abnormal baik IgG atauIgM,

2) Tes lupus anti koagulan positif

menggunakan metoda standard,

atau

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap


13

sifi lis sekurangkurangnyaselama 6 bulan

dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi

Treponema pallidum atau tes fluoresensi

absorpsi antibodi treponema.

11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear

berdasarkan pemeriksaan

12. antinuklear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan

(ANA) setingkat pada setiap kurun

waktuperjalan penyakit tanpa

keterlibatan obat yang diketahui

berhubungandengan sindroma lupus

yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memilikisensitifitas

85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteriadan salah satunya ANA

positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosisbergantung pada pengamatan klinis.

Bila hasil tes ANA negatif, makakemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA

positif dan manifestasiklinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi

jangka panjangdiperlukan.
14

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus

Sistemik (LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil

pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopenia, limfopenia, atauleukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)

meningkat selamapenyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin

tinggi,ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,hasil

pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanyaproteinuria, hematuria,

peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,heme granular atau sel darah merah

pada urin.

2. Pemeriksaan imunologik

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah

tes ANA generik. (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANAdikerjakan/diperiksa hanya

pada pasien dengan tanda dan gejala mengarahpada LES. Pada penderita LES

ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat

positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES

misalnya infeksikronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed

connectivetissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau

pada orang normal.

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi

perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LESseringkali dinamis dan berubah,

mungkin diperlukan pengulangan tesANA pada waktu yang akan datang terutama jika
15

didapatkan gambaranklinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel

Hep-2sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LESumumnya

diagnosis LES dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes

ANA positifadalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk

antidsDNA,Sm,nRNP,Ro(SSA),La(SSB),Scl-70dananti-

Jo.PemeriksaaninidikenalsebagaiprofilANA/ENA.Antibodianti-

dsDNAmerupakantesspesifikuntuk

LES,jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-

dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan

titer yang rendah. Jika titernya sangatrendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang

bukan LES.

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positifmenunjang

diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidakmenyingkirkan adanya LES.

Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% 30%pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada

penyakit lain atau orangnormal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat

digunakan untukdiagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES.

Sepertianti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan


Monitoring

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan

kreatinin urin.

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, proil lipid)*

4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid


16

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))

6. Foto polos thorax

pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.

* Setiap 3-6 bulan bila stabil

Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan

untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien

G. Derajat Berat Ringannya Penyakit

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama

menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan

efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upayayang dilakukan untuk

memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalahdengan ditetapkannya gambaran

tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai

mengancamnyawa.

1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:

a. Secara klinis tenang

b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan

saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan

kulit.
17

2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:

a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

c. Serositis mayor

3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,

tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark

paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,sindroma demielinasi.

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit<1.000/mm3), trombositopenia

< 20.000/mm3 , purpura trombotiktrombositopenia, trombosis vena atau arteri.

H. Penatalaksanaan LES Secara Umum

1. Edukasi

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baruterdiagnosis. Hal ini

dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepadapenderita atau dengan membentuk

kelompok penderita yang bertemusecara berkala untuk membicarakan masalah

penyakitnya. Pada umumnya,penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga


18

penderita harus selaludiingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari.

Merekadinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari,baju

lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari.Pekerja di kantor juga

harus dilindungi terhadap sinar matahari darijendela. Selain itu, penderita LES juga

harus menghindari rokok. Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita

harusselalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,

terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,obat-obat

sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung,ulkus di kulit dan

mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkanpada penderita LES yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabutgigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan

kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau

penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan,

misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan

eksaserbasi akut LESdan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu,

pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. Sebelum penderita

LES diberi pengobatan, harus diputuskan duluapakah penderita tergolong yang

memerlukan terapi konservatif, atauimuno supresif yang agresif. Pada umumnya,

penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan

organ, dapatditerapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa

danmengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang

meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.


19

2. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES

tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu halpenting adalah

pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabilapasien dengan LES dibiarkan

dalam kondisi immobilitas selama lebih dari2 minggu. Disamping itu penurunan

kekuatan otot akan terjadi sekitar 15%per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai

latihan diperlukan untuk

mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberianpanas atau dingin

diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkankekakuan atau spasme otot.

Demikian pula modalitas lainnya sepertitranscutaneous electrical nerve stimulation

(TENS) memberikan manfaatyang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan

otot.

3. Terapi Konservatif

a) Athritis, athralgia dan myalgia

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada

penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapatdiberikan analgetik sederhana atau obat

antiinflamasi nonsteroid.Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah

efeksampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efeksamping

terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan

memeriksa kreatinin serum secaraberkala. Apabila analgetik dan obat antiinflamasi

nonsteroid tidakmemberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberianobat

antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalamwaktu 6 bulan, obat ini

tidak memberikan efek yang baik, harus segeradistop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
20

bulan atau hidroksiklorokuinlebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik,

karena obat inimempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang

tidak menunjukkan responsadekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid

atau obatantimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosisrendah,

dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksatdosis rendah (7,5-15

mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untukmengatasi arthritis pada penderita LES.

b) Lupus Kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut

LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinarultraviolet, sinar inframerah, panas

dan kadang-kadang juga sinarfluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung

terhadappaparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,kaca jendela

yang digelapkan, menghindari paparan langsung danmenggunakan sunscreen. Sebagian

besar sunscreen topikal berupakrem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA

dan esternya,benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinarultraviolet A

dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.

Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada

dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikalharus hati-hati, karena glukokortikoid

topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,

teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat

steroid lokal berkekuatan rendah dan tidadiflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk

kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya

betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di

daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan
21

tinggi, misalnya betametasodipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan

tinggiharus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yanberkekuatan

lebih rendah.

Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupuskutaneus, baik lupus kutaneus

subakut, maupun lupus diskoid.

Antimalaria mempunyai efek suns blocking, antiinflamasi dan imunosupresan.

Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria dapat dipertimbangkan pemberikan

glukokortikoid sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita

lupus diskoid,vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap

sistemhematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, daanemia

hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES dikulit.

c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,

demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat

terapi glukokortikoid, sedangkapenurunan berat badan dan demam dapat juga

diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam

mengatasimasalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup

menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaayang berat dapat

menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LESdan pemberian glukokortikoid

sistemik dapat dipertimbangkan.

d) Serositis

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapatmerupakan tanda

serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapatdiatasi dengan salisilat, obat

antiinflamasi non-steroid, antimalariaatau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari).


22

Pada keadaan yangberat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk

mengontrolpenyakitnya

4. Terapi Agresif

a) Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasiendengan LES.

Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporanefek samping, kortikosteroid

tetap merupakan obat yang banyakdipakai sebagai antiinlamasi dan imunosupresi.

Dosis kortikosteroidyang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah

interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi

dan farmakokinetiknya.

Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus rematik.

Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang

sampai tinggi berguna untuk LES yangaktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse

diberikan untuk krisis akutyang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus

cerebral. Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang

mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan

intravena dengan dosis 0,5-1 grammetilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-

turut.

b) Sparing Agen Kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan

dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering
23

digunakan sebagai sparing agentini adalah siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan

metrotrexate.

1) Siklofosfamid

Indikasi siklofosfamid pada LES :

a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).

b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.

c. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau

berulang.

d. Glomerulonefritis difus awal.

e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

f. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa

adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9%

selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24jam setelah

pemberian obat, banyak digunakan secara luas padaterapi LES. Siklofosfamid

diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama

2 tahun. Selamapemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara

bertahapdengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita

denganpenurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamidditurunkan

sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit

darah harusdipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka

dosissiklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekanjumlah

leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamidyang tidak adekuat


24

sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% padapemberian berikutnya.

Toksisitas siklofosfamid meliputi mual danmuntah, alopesia, sistitis hemoragika,

keganasan kulit, penekananfungsi ovarium dan azoospermia.

2) Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagaialternatif

terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/haridan diberikan secara per oral.

Obat ini dapat diberikan selama 6-12bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya

dapat dikontrol dandosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin

jugadapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnyabetul-betul terkontrol

dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,peningkatan

enzim hati dan mencetuskan keganasan.

3) Siklosporin

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LESadalah

Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat inidapat digunakan pada LES baik

tanpa manifestasi renal maupundengan nefropati membranosa. Selama pemberian

harusdiperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.Bila kadar

kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinindarah sebelum pemberian

siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.


25

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

Keterangan :

TR : tidak respon

RS : respon sebagian,

RP : respon penuh

OAINS : obat anti inflamasi non steroid,

CYC : siklofosfamid,

NPSLE : neuropsikiatri SLE.

KS : kortikosteroid setara prednison

AZA : azatioprin

MP : metilprednisolon
26

I. Prognosis

Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila

mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES

telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup

penderita mencapai 5 tahun pada LES kurangdari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan

hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan

hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup

penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah,

mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungandengan LES dapat

dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,perbaikan dalam pengobatan

penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatanmedis umum.

J. Diagnosis Banding

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis

akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa,

yaitu:26,28

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjgren

c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid dini

h. Vaskulitis
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :

http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf

3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus

rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.

4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :

http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penatala

ksanaannya.pdf

5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo

MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus Erythematosus.

Am J Med;60:221-225.

6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.

7. J Clin Pathol; 481-490.

8. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus erythematosus.

Arthritis Rheum; 2100-2110

9. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production by

human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282288

10. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:

pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].


28

Available from

http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf

11. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al.1982.

The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupuserythematosus.

Arthritis Rheum; 1271-1277

Anda mungkin juga menyukai