Anda di halaman 1dari 20

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Seksio Sesarea
A. Definisi

Seksio sesarea adalah melahirkan janin yang sudah mampu hidup


(beserta plasenta dan selaput ketuban) secara transabdominal melalui
insisi uterus (Benson dan pernoll, 2009. hal 456).

B. Jenis-Jenis Seksio sesarea

Menurut Oxorn dan Forte (2010), ada beberapa tipe seksio sesarea yaitu:

1. Seksio Sesarea Abdominalis (Insisi Abdominal)

Pemilihan insisi abdominal pada seksio sesarea didasarkan


pada tipe inisisi uterus yang direncanakan dan perlu atau tidaknya
jalan masuk ke perut bagian atas. Seksio sesarea segmen bawah rahim
terdiri dari insisi melintang dan insisi membujur (insisi Pfannenstiel)
pada abdomen (Benson dan Pernoll, 2009).

Insisi abdominal terdiri dari:

a. Insisi Abdominal Melintang

Cara ini memungkinkan persalinan seksio sesarea yang aman,


sehingga insisi tipe ini merupakan prosedur pilihan. Abdomen
dibuka dan uterus disingkapkan. Setelah memasuki peritoneum,
letak lipatan peritoneum vesicouterina ditentukan, lalu diinsisi
melintang. Lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama-
sama dengan kandung kemih didorong ke bawah, kemudian ditarik
agar tidak menutupi lapangan pandang. Pada segmen bawah uterus,

12
dibuat insisi melintang yang kecil. Selanjutnya, luka inisisi ini
dilebarkan ke samping dengan menggunakan jari-jari tangan dan
berhenti di dekat daerah pembuluh- pembuluh darah uterus. Kepala
janin diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya,
kemudian plasenta dan selaput ketuban. Lalu, insisi melintang
tersebut ditutup dengan jahitan catgut bersambung satu lapis atau
dua lapis. Kemudian, lipatan vesicouterina dijahit kembali pada
dinding uterus dan dinding abdomen ditutup lapis demi lapis
(Oxorn dan Forte, 2010).

Insisi melintang ini memberikan hasil kosmetik yang lebih


baik dan pasien dapat mengenakan pakaian renang bikini tanpa
terlihat luka parut. Selain itu, penyembuhan lebih cepat, insisi tidak
terlalu sakit, dan risiko pembentukan hernia lebih kecil (Benson
dan Pernoll, 2009).

Gambar 3.1 Insisi Melintang Seksio caesaria

b. Insisi Abdominal Membujur

Inisisi dilakukan setinggi selubung rektus anterior yang


dibebaskan dari lemak subkutan untuk memperlihatkan fascia
selebar 2 cm di linea mediana dengan menggunakan skalpel.
Teknik lainnya yaitu dengan membuat luka kecil, kemudian
13
menginsisi lapisan fascia dengan gunting. Insisi harus cukup
panjang supaya bayi dapat dilahirkan dengan mudah. Oleh sebab
itu, panjang insisi harus sesuai dengan perkiraan ukuran janin
(Cunningham, et al., 2013).

Keuntungan dari inisisi ini adalah lebih cepat dilakukan


dibandingkan dengan insisi melintang dan merupakan jalan masuk
yang lebih baik ke perut bagian atas (Benson dan Pernoll, 2009).

2. Seksio Sesarea Klasik

Seksio sesarea klasik merupakan tindakan yang paling


sederhana. Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak
janin melintang, dan jika persalinan cepat sangat penting (Benson dan
Pernoll, 2009). Insisi dilakukan secara longitudinal di garis tengah
dengan menggunakan skalpel ke dalam dinding anterior uterus, lalu
dilebarkan ke atas dan ke bawah dengan gunting berujung tumpul.
Bayi sering dilahirkan dengan bokong terlebih dahulu sehingga
diperlukan luka insisi yang lebar. Janin dan plasenta dikeluarkan, lalu
uterus ditutup dengan jahitan tiga lapis. Pada masa modern ini, seksio
sesarea klasik sudah hampir tidak dilakukan lagi (Oxorn dan Forte,
2010).

4. Seksio Sesarea Ekstraperitoneal

Seksio sesarea ekstraperitoneal dilakukan untuk menghindari


histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas. Ada 3
metode dalam seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu metode Waters,
Latzko, dan Norton. Namun, tekniknya relatif sulit sehingga dapat
masuk ke dalam cavum peritoneal dan dapat menyebabkan
peningkatan insiden cedera vesicourinaria. Sekarang, tindakan ini
sudah jarang digunakan karena tersedianya darah, antibiotik,

14
penurunan insiden kasus terlantar, dan perawatan prenatal yang lebih
baik. Walaupun demikian, metode ini tidak boleh dibuang karena
dapat digunakan sebagai cadangan bagi kasus-kasus tertentu (Oxorn
dan Forte, 2010).

5. Histerektomi Sesarea

Histerektomi sesarea merupakan seksio sesarea yang dilanjutkan


dengan pengeluaran uterus. Secara teknis, histerektomi sesarea sama
seperti histerektomi lainnya, kecuali dalam hal ukuran uterus dan
kerapuhan jaringan/pembuluh darah yang luar biasa. Indikasi
histerektomi sesarea adalah kegagalan mengendalikan perdarahan
(misalnya: akibat atoni yang tidak terkendali, plasenta previa), ruptur
uteri, plasenta akreta, infeksi masif uterus yang melibatkan nekrosis
jaringan, dan tumor uterus atau serviks (misalnya: leiomioma uteri,
karsinoma serviks in situ). Histerektomi subtotal (misalnya:
meninggalkan serviks) dilakukan untuk kasus-kasus yang mengancam
keselamatan pasien akibat lamanya operasi (biasanya perdarahan) dan
risiko histerektomi total. Dengan kata lain, tujuan histerektomi
subtotal adalah menyelesaikannya secepat mungkin (Benson dan
Pernoll, 2009).

Menurut Purwoastuti dan Walyani (2015), seksio sesarea dibagi menjadi


elektif dan darurat.

1. Seksio sesarea elektif

Seksio sesarea telah direncanakan jauh hari sebelum jadwal


melahirkan dengan mempertimbangkan keselamatan ibu maupun
janin.

2. Seksio sesarea darurat

15
Seksio sesarea darurat dilakukan ketika proses persalinan telah
berlangsung. Hal ini terpaksa dilakukan karena ada masalah pada ibu
maupun janin. Menurut Benson dan Pernoll (2009), ada beberapa
faktor risiko terjadinya seksio sesarea daruratyaitu bagian terbawah
janin letaknya sangat rendah atau sangat tinggi, tidak ada tanda-tanda
persalinan atau persalinan sangat lama, umur kehamilan muda, pecah
selaput ketuban pada saat persalinan, riwayat seksio sesarea, dan
keterampilan operator.

C. Indikasi-Indikasi Seksio Caesar

Seksio sesarea dilakukan jika persalinan pervaginam mengandung


risiko yang lebih besar bagi ibu atau janin. Indikasi ini dapat bersifat
mutlak atau relatif (Benson dan Pernoll, 2009). Yang termasuk indikasi
mutlak adalah setiap keadaan yang membuat kelahiran melalui jalan lahir
tidak dapat terlaksana, seperti kesempitan panggul yang sangat berat dan
neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Sedangkan pada indikasi relatif,
kelahiran melalui vagina bisa terlaksana, tetapi ada keadaan tertentu yang
menyebabkan kelahiran melalui seksio sesarea akan lebih aman, baik bagi
ibu, anak, ataupun keduanya (Oxorn dan Forte, 2010).
Indikasi seksio sesarea terbagi dua, yaitu indikasi medis dan
indikasi nonmedis.

1. Indikasi Medis

Indikasi medis seksio sesarea didasarkan pada tiga faktor, yaitu


faktor ibu, uteroplasenta, dan faktor janin (Norwitz dan Schorge,
2007).

FAKTOR INDIKASI MEDIS SEKSIO SESARIA


Absolut Relatif
Ibu Induksi Persalinan Seksio sesaria elektif

16
yang gagal Penyakit Ibu
Proses persalinan (Preeklampsia Berat,
tidak maju ( Distosia Penyakit jantung,
Persalinan) diabetes, kanker
Disproporsi serviks)
sefalopelvik

Uteroplasenta Bedah uterus Riwayat bedah uterus


sebelumnya (sesaria sebelumnya
klasik) (miomektomi dengan
Riwayat Ruptur uteri ketebalan penuh)
Obstruksi jalan lahir Presentasi funik (Tali
(Fibroid) Pusat) Pada saat
Plasenta previa, persalinan
abruptio plasenta
berukuran besar
Janin Gawat janin/hasil Malpresentasi janin (
pemeriksaan janin Sungsang, presentasi
yang tidak alis, presentasi
meyakinkan gabungan)
Prolaps tali pusat Makrosomia
Malpresentasi janin Kelainan janin
(posisi melintang) (hidrosefalus)

Sumber : Norwitz dan Schorge, 2007

a. Seksio Sesarea Sebelumnya (Oxorn dan Forte, 2010)

Pada sebagian besar negara, ada kebiasaan yang


dipraktikkan akhir- akhir ini yaitu setelah prosedur pembedahan
sesarea dikerjakan, maka semua kehamilan yang datang harus
diakhiri dengan cara yang sama. Menurut Achadiat (2004), semua
17
kehamilan dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya harus
diusahakan untuk dilahirkan pervaginam. Namun, pasien dengan
riwayat seksio sesarea sebelumnya memiliki risiko ruptur uteri dan
gawat janin sampai dengan kematian janin intrauteri.Oleh sebab
itu, apabila syarat untuk persalinan pervaginam tidak terpenuhi,
dapat segera dilakukan seksio sesarea kembali.Pasien dengan
riwayat seksio sesarea sebelumnya harus melahirkan di suatu
rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
kemampuan untuk melakukan seksio sesarea kembali
secepatnya.Selain itu, menurut Cunningham, et al.(2013), seksio
sesarea berulang elektif lebih dipilih oleh banyak wanita karena
kenyamanan pada persalinan yang direncanakan dan juga karena
ketakutan akan persalinan yang lama dan mungkin berbahaya.

b. Persalinan Macet (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Ini dapat terjadi pada fase pertama (fase litatasi) atau fase
kedua (ketika mengejan). Persalinan macet merupakan penyebab
tersering seksio sesarea. Beberapa alasan yang dijadikan
pertimbangan ialah kontraksi tidak lagi efektif, janin terlalu besar
sementara jalan lahir ibu sempit, dan posisi kepala janin yang tidak
memungkinkan dilakukan penarikan dengan vakum maupun
forsep.

c. Prolaps Tali Pusat (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Yaitu jika tali pusat keluar melalui mulut rahim, bisa


terjepit sehingga suplai darah dan oksigen ke janin berkurang.
Keadaan ini berbahaya jika janin dilahirkan secara normal melalui
vagina, sehingga perlu tindakan seksio sesarea segera.

d. Gawat Janin (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

18
Yaitu jika denyut jantung janin menurun sampai 70 kali per
menit, maka harus segera dilakukan seksio sesarea. Normalnya
denyut jantung janin adalah 120/160 kali per menit.

e. Janin dengan Presentasi Bokong (Oxorn dan Forte, 2010)

Sekitar sepertiga dari presentasi bokong harus dilahirkan


melalui abdomen. Bukan saja akibat langsung kelahiran vaginal
terhadap janin lebih buruk pada presentasi bokong dibanding pada
presentasi kepala, tetapi juga terbukti adanya pengaruh jangka
panjang sekalipun kelahiran tersebut tanpa abnormalitas. Menurut
Leveno, et al. (2009), janin dengan presentasi bokong berisiko
lebih besar mengalami prolaps tali pusat dan terjepitnya kepala jika
dilahirkan pervaginam dibandingkan janin dengan presentasi
kepala. Oleh karena itu, presentasi bokong sering menjadi indikasi
untuk dilakukan sesar.

f. Kehamilan Kembar (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Perlu dipikirkan untuk melakukan seksio sesarea pada


kasus janin pertama/terbawah selain presentasi kepala. Pada kasus
kehamilan kembar dengan janin hanya memiliki satu kantong
ketuban, risiko untuk saling mengait/menyangkut satu sama lain
terjadi lebih tinggi sehingga perlu dilakukan seksio sesarea
terencana.

g. Plasenta Previa (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Artinya plasenta terletak di bawah dan menutupi mulut


rahim. Plasenta terdiri dari banyak pembuluh darah dan lokasi
plasenta yang menutupi jalan lahir sangat rawan dengan terjadinya
perdarahan yang dapat mengancam nyawa janin dan ibu. Seksio

19
sesarea untuk plasenta previa sentralis dan lateralis telah
menurunkan mortalitas fetal dan maternal (Oxorn dan Forte, 2010).

h. Masalah Kesehatan Ibu (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Di antaranya: preeklampsia, diabetes, herpes,penderita


HIV/AIDS, penyakit jantung, penyakit paru kronik, tumor rahim
(mioma) yang ukurannya besar atau menutupi jalan lahir, kista
yang menghalangi turunnya janin, serta berbagai keadaan lain
merupakan hal-hal yang menyebabkan seksio sesarea lebih
diutamakan.

i. Masalah Kesehatan Janin (Purwoastuti dan Walyani, 2015)

Misalnya pada janin dengan oligohidramnion (cairan


ketuban sedikit) atau janin dengan gangguan perkembangan.

2. Indikasi Nonmedis

Menurut Maryunani (2014), indikasi nonmedis seksio sesarea adalah


permintaan pasien (walaupun tidak ada masalah atau kesulitan dalam
persalinan normal). Menurut National Institute of Health (2006) dalam
Qin, et al. (2012), angka seksio sesarea yang dilakukan atas
permintaan ibu di Cina bagian Tenggara pada tahun 2003 adalah 22%.
Padahal, angka seksio sesarea atas permintaan ibu secara global
hanyalah sekitar 4- 18%.Ini menandakan bahwa kejadian seksio
sesarea atas indikasi permintaan ibu tinggi di Cina.

Menurut Maryunani (2014), permintaan pasien didukung oleh adanya


mitos-mitos yang berkembang di masyarakat yaitu:

a. Anak yang dilahirkan pada tanggal dan jam sekian akan


memperoleh rezeki dan kehidupan yang baik. Ini dibuktikan

20
dengan masih banyaknya penduduk di kota-kota besar yang
mengaitkan waktu kelahiran dengan penguntungan nasib anak.
b. Ibu takut mengalami kerusakan jalan lahir (vagina) pada
persalinan normal. Padahal, penelitian membuktikan bahwa mitos
tersebut tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina
hampir sempurna.
c. Anggapan bahwa bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea
menjadi lebih pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir.
Padahal, sebenarnya tidak ada perbedaan kecerdasan bayi yang
dilahirkan secara seksio sesarea dengan pervaginam. Selain itu,
seksio sesarea dipilih karena kekhawatiran atau kecemasan
menghadapi rasa sakit pada persalinan normal (Maryunani
(2014). Seksio sesarea akan meningkat atas dasar permintaan
istri untuk kepentingan keharmonisan keluarga. Permintaan itu
seyogyanya dipenuhi oleh karena merupakan hak azazi manusia-
keluarga. Tindakan seksio sesarea tersebut dilakukan dengan
insisi Pfannelstiel demi kepentingan kosmetik (Manuaba, dkk.,
2007).

Selain itu, para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain
menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin
membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain
meliputi :

1. Indikasi Medis

Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :


a. Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain
yang mempengaruhi tenaga.

21
b. Passanger

Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan


letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak
tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal
distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).

c. Passage

Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius


pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang
diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes
genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih),
condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip
kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
(Dewi Y, 2007, hal. 11-12)

2. Indikasi Ibu
a. Usia

Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.

b. Tulang Panggul

Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar


panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat

22
menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat
menentukan mulus tidaknya proses persalinan.

c. Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea

Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak


mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi
atau tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan
dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul
terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa
saja dilakukan.

d. Faktor Hambatan Jalan Lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang


kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor
dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit
bernafas.

e. Kelainan Kontraksi Rahim

Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate


uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat
melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak
terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.

f. Ketuban Pecah Dini

Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat


menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air
ketuban merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air
ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.

23
g. Rasa Takut Kesakitan

Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan


mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit
di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan menggigit.
Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan
merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa
karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit.
Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan
alami yang berlangsung. (Kasdu, 2003, hal. 21-26)

3. Indikasi Janin
a. Ancaman Gawat Janin (fetal distress)

Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin


berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung
janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk
menyelematkan janin.

b. Bayi Besar (makrosemia)

(Cendika, dkk. 2007, hal. 126).

c. Letak Sungsang

Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak


sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada
posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain.

d. Faktor Plasenta
1) Plasenta previa

Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian


atau selruh jalan lahir.
24
2) Plasenta lepas (Solution placenta)

Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih


cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan
operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia
mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.

3) Plasenta accreta

Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim.


Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang
berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan
ibu yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang
menyebabkan menempelnya plasenta.

e. Kelainan Tali Pusat


1) prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)

keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada


keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali
pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.

2) Terlilit tali pusat

Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya.


Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen
dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003,
hal. 13-18).

D. Kontra indikasi seksio sesarea

Kontraindikasi seksio sesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu


maupun untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, seksio sesarea tidak

25
dilakukan kecuali tidak dalam keadaan terpaksa. Seksio sesarea tidak
boleh dilakukan pada kasus-kasus seperti ini:

1) Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini dokter memastikan
denyut jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan janin anak
dan dari pemeriksaan USG untuk memastikan keadaan janin,
2) Janin terlalu kecil untuk mampu hidup diluar kandungan,
3) Terjadi infeksi dalam kehamilan (Cunningham, et,al 2006. hal 592).

Menurut Benson dan Pernoll (2009), ada beberapa kontraindikasi


seksio sesarea, yaitu infeksi piogenik dinding perut, janin abnormal yang
tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu),
dan kurangnya fasilitas, perlengkapan, atau tenaga yang sesuai.

E. Keuntungan Seksio Caesar

Operasi caesar lebih aman dipilih dalam menjalani proses persalinan


karena telah banyak menyelamatkan jiwa ibu yang mengalami kesulitan
melahirkan. Jalan lahir tidak teruji dengan dilakukannya seksio sesarea,
yaitu bilamana di diagnosa panggul sempit atau fetal distress didukung
data pelvimetri. Bagi ibu yang paranoid terhadap rasa sakit, maka seksio
sesarea adalah pilihan yang tepat dalam menjalani proses persalinan,
karena diberi anastesi atau penghilang rasa sakit (Fauzi, 2007. hal 8).

F. Kerugian Seksio Caesar

Prosedur anastesi pada operasi biasa membuat anak ikut terbius,


sehingga anak tidak spontan menangis, keterlambatan menangis ini
mengakibatkan kelainan hemodinamika dan mengurangi apgar score. Ibu
akan mendapat luka baru di perut dan kemungkinan timbulnya infeksi bila
luka operasi tidak dirawat dengan baik. Gerak tubuh ibu menjadi sangat
terbatas sehingga proses penyembuhan luka akan semakin lama. Tindakan
Seksio Caesar biasanya dianggap sebagai suatu penyiksaan bagi yang tidak
26
memiliki kebiasaan beristirahat lama di rumah sakit setelah melahirkan
(Fauzi, 2007. hal 11).

G. Komplikasi seksio sesaria

Menurut Sofian (2013), ada beberapa komplikasi yang terjadi pada ibu,
yaitu:
1. Perdarahan
Perdarahan bisa terjadi karena banyak pembuluh darah yang
terputus atau terbuka, atonia uteri, dan perdarahan yang terjadi pada
masa nifas. Kemungkinan pasien akan membutuhkan tranfusi darah.

2. Infeksi puerperal (nifas)


Infeksi puerpural terbagi menjadi 3 tingkat, yaitu:
a. Ringan
Terjadi kenaikan suhu dalam beberapa hari saja.
b. Sedang
Terjadi kenaikan suhu yang lebih tinggi. Selain itu, terjadi
dehidrasi dan perut menjadi sedikit kembung.
c. Berat
Terjadi peritonitis, sepsis, dan ileus paralitik. Ini sering terjadi pada
partus terlantar. Sebelum infeksi berat ini muncul, telah terjadi
infeksi intrapartum yang disebabkan oleh ketuban yang sudah
pecah terlalu lama. Infeksi puerperal ini dapat ditangani dengan
pemberian cairan, elektrolit, dan antibiotik yang adekuat dan tepat
(misalnya profilaksis selama 24 jam).

3. Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter,


pembuluh darah)

27
Cedera kandung kemih dapat segera diketahui. Namun, cedera
ureter sering terlambat diketahui. Infeksi uterus relatif sering terjadi
setelah seksio sesarea (Cunningham, et al., 2013).

4. Kemungkinan akan terjadi ruptur uterus spontan pada kehamilan


berikutnya
Wanita dengan riwayat seksio sesarea mengalami kejadian
ruptur uterus yang lebih tinggi pada kehamilan berikutnya daripada
wanita dengan riwayat persalinan pervaginam. Namun, risiko ruptur
uterus tergolong rendah (Cunningham, et al., 2013).

Menurut Molika (2015), ada beberapa komplikasi seksio sesarea


yang dapat terjadi pada bayi yaitu:
1. Komplikasi respiratorik
Bayi yang lahir melalui seksio sesarea cenderung membuat
napasnya cepat dan tidak teratur karena bayi tidak mengalami tekanan
saat lahir seperti bayi yang lahir normal, sehingga cairan paru-parunya
tidak bisa keluar. Masalah pernapasan ini dapat terjadi sampai
beberapa hari setelah lahir. Menurut Oxorn dan Forte (2010), insiden
komplikasi respiratorik lebih tinggi pada bayi prematur yang
dilahirkan dengan seksio sesarea. Contoh komplikasi respiratorik
adalah atelektasis, hyaline membrane disease, dan respiratory distress
syndrome.
2. Risiko tersayatnya bayi
Hal ini disebabkan karena habisnya air ketuban sehingga
membuat volume ruang dalam rahim menyusut dan ruang gerak bayi
akan berkurang serta lebih mudah terjangkau pisau bedah. Selain itu,
semburan darah saat operasi membuat bayi sulit terlihat.

3. APGAR yang rendah

28
Angka APGAR adalah angka yang mencerminkan kondisi umum
bayi pada menit pertama dan menit kelima.Yang menyebabkan angka
APGAR rendah adalah efek anestesi dan seksio sesarea, kondisi bayi
yang stress menjelang kelahiran, dan bayi yang tidak distimulasi
sebagaimana bayi yang lahir normal.

4. Risiko kelahiran prematur


Seringkali sulit untuk menghitung umur bayi yang sebenarnya.
Bila ternyata bayi masih berumur di bawah 36 minggu (kelahiran
prematur), maka akan ada risiko seperti masalah pernapasan, suhu
tubuh, dan pencernaan.

Sedangkan menurut Benson dan Pernoll (2009), komplikasi


pembedahan selama seksio sesarea terdiri dari komplikasi mayor (80%)
dan komplikasi minor (20%).
1. Komplikasi mayor
Yang termasuk komplikasi mayor yaitu trauma pada kandung
kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uterus,
laserasi melalui ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri
uterina, trauma usus, dan trauma pada bayi dengan sekuele. Kejadian
komplikasi ini lebih tinggi pada kasus-kasus darurat (19%)
dibandingkan kasus-kasus elektif (4,2%).
2. Komplikasi minor
Yang termasuk komplikasi minor yaitu tranfusi darah, trauma
pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada ismus, dan kesulitan
melahirkan bayi.
Hampir separuh dari pasien-pasien yang menjalani seksio
sesarea mengalami komplikasi operasi dan pascaoperasi, sebagian
diantaranya bersifat serius dan bisa menyebabkan kematian.
Morbiditas standar bagi seksio sesarea adalah sekitar 20% (Oxorn dan
Forte, 2010).

29
H. Lama Perawatan
Lama perawatan pasien yang melakukan persalinan pervaginam
adalah 3-4 hari, sedangkan pada seksio sesarea adalah 4-5 hari (tergantung
keadaan setelah pembedahan). Masa pemulihan untuk persalinan
pervaginam adalah sekitar 42 hari, sedangkan pada seksio sesarea adalah
3-4 bulan (Achadiat, 2004). Namun, menurut American Academy of
Pediatrics dan American College of Obstetricians and Gynecologists
(2007) dalam Cunningham, et al. (2013), aturan untuk lama perawatan
pasien di rumah sakit adalah sampai 24 jam setelah persalinan pervaginam
tanpa komplikasi dan sampai 96 jam pada seksio sesarea tanpa komplikasi.
Tetapi menurut Strong, et al. (1993) dalam Cunningham, et al. (2013),
pemulangan pada hari ke-2 pascapartum boleh dilakukan pada wanita
tertentu yang memiliki motivasi tinggi.

I. Penatalaksanaan
a. Periksa dan catat tanda tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam
pertama dan 30 menit pada 4 jam kemudian.
b. Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat.
c. Pemberian tranfusi darah, bila terjadi perdarahan post partum.
d. Pemberian antibiotika.
Walaupun pemberian antibiotika sesudah sesar efektif dapat
dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
e. Mobilisasi.
Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat
tidur dengan dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita
sudah dapat berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.
f. Pemulangan
Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari
kelima setelah operasi (Mochtar Rustam, 2002).

30
J. Prognosis
Dulu, angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Namun,
berkat kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anestesi, penyediaan
cairan dan darah, indikasi, dan juga antibiotik, maka angka ini pun menjadi
sangat menurun. Di rumah sakit yang memiliki fasilitas operasi baik dan
tenaga-tenaga yang cekatan, angka kematian ibu tidak tinggi yaitu kurang
dari 2 per 1000 (Sofian, 2013).
Risiko morbiditas dan mortalitas ini tentu saja berhubungan dengan
komplikasi dan faktor-faktor yang memerlukan tindakan, seperti
komplikasi anestesi memberi sumbangan 10% dari seluruh kematian ibu.
Karena itu, anestesi tetap merupakan penyebab kelima atau keenam
kematian ibu (Benson dan Pernoll, 2009).
Menurut Villar, et al. (2007) dalam Cunningham, et al. (2013),
angka morbiditas ibu menjadi dua kali lipat pada persalinan seksio sesarea
daripada pervaginam. Selain itu, persalinan seksio sesarea darurat
menyebabkan risiko kematian ibu hampir sembilan kali lipat daripada
persalinan pervaginam dan persalinan seksio sesarea elektif menyebabkan
risiko hampir tiga kali lipat (Cunningham, et al., 2013).
Pada persalinan dengan cara seksio sesarea, nasib janin sangat
bergantung pada keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data
dari negara-negara yang menjalankan pengawasan antenatal yang baik dan
memiliki fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal
sekitar 4-7% (Sofian, 2013). Meskipun mortalitas janin pada seksio
sesarea terus menurun, namun angkanya masih dua kali lipat dari angka
mortalitas pada persalinan pervaginam (Oxorn dan Forte, 2010).

31

Anda mungkin juga menyukai