Anda di halaman 1dari 2

Pilkada, Sebuah Refleksi Kehidupan Berdemokrasi

Dinamika perpolitikan di Indonesia seolah tiada


Oleh: hentinya. Belum lepas dari ingatan kita, bagaimana
Irawan Hasan hingar bingarnya Pemilihan Presiden 2014 yang
TA Pelatihan cukup menguras waktu, pikiran dan tenaga kita.
OSP-8 Provinsi Sulawesi Barat Pasca pemilihan pun tidak berarti selesai sudah
PNPM Mandiri Perkotaan dinamika pesta demokrasi itu, hingga pada
akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilu
Presiden tahun 2014. Itupun tidak dilakukan dalam sekejap mata, proses panjang yang melelahkan
mewarnai jalannya proses persidangan di MK.

Rakyat Indonesia seharusnya sudah tenang dan lega pasca penetapan hasil Pemilu Presiden tersebut, itu
yang menjadi harapan kita semua. Akan tetapi dunia perpolitikan Indonesia kembali terguncang
dengan permainan politik yang diperankan oleh para anggota dewan ataupun elit-elit politik di negeri
ini.

Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang saat ini
sementara digodok di DPR-RI menjadi polemik yang membumbuhi perjalanan politik Indonesia pasca
pilpres. Opsi Pilkada secara langsung dan Pilkada diserahkan ke DPRD menjadi perbincangan hangat,
yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat. Pro dan kontra terhadap kedua opsi tersebut
memunculkan opini yang berbeda-beda pula.

Yang pro dengan Pilkada langsung menganggap bahwa bila pilkada diserahkan ke DPRD untuk
menentukan kepala daerah, maka itu sama saja mencederai reformasi dan demokrasi di Indonesia yang
susah payah dibangun. Sementara itu, yang pro dengan Pilkada lewat DPRD berpendapat akan
menghemat anggaran dibanding dengan Pilkada langsung. Apapun alasan yang melatarbelakangi
sehingga mereka berpendapat demikian, itu hak dan kebebasan berpendapat yang melekat pada setiap
warga negara, yang pastinya pendapat itu berdasarkan kajian dan sudut pandang masing-masing.

Sekedar merefresh, bahwa bangsa Indonesia sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD, yaitu
pada zaman Orde Baru. Pasca rezim Orba, banga ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita
mulianya adalah pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi idaman, dan salah satu penanda
pelaksanaan demokrasi adalah ditandai dengan pelaksanaan Pilkada hingga pemilihan presiden secara
langsung.

Pilkada yang diserahkan kepada DPRD, secara substansi akan menghianati hak berdemokrasi dan
kedaulatan rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa anggota dewan/legislatif yang terpilih adalah hasil
pilihan rakyat, sehingga dapat dikatakan wakil rakyat. Namun demikian, timbul pertanyaan, apa
memang benar mereka mewakili rakyat. Secara penamaan, anggota legislatif bernaung di bawah
lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi sejatinya, mereka para anggota legislatif benar-
benar berjalan dan bertindak sesuai aspirasi yang mereka wakilinamanya juga wakil; bukan nafsu
politik.

Tapi ternyata dalam perjalanannya dan realita yang terjadi, untuk menjadi anggota legislatif ternyata
ada transaksi, rakyat diiming-imingi berbagai janji-janji yang meninabobokkan, terjadi jual beli suara,
kampanye hitam dan kampanye negatif. Jangan salahkan rakyat, kita liat secara jernih, mengapa
demikian itu terjadi. Apakah kita semua, terutama elit-elit politik sudah melakukan pendidikan politik
yang bermartabat dan ideal secara tuntas, apakah partai politik pengusung berani menghukum dan
membatalkan mandatnya jika calon yang diusungnya melanggar etika demokrasi, apakah pernah ada
partai politik menyuarakan bila ada calon dari partai melakukan money politic atau transaksi jual beli
suara rakyat, maka akan dibatalkan pencalonannya dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang,
apakah pernah ada partai politik melakukan fit and proper test untuk menentukan calon dalam
pemilihan legislatif, dan belum lagi hal yang terkait pembayaran mahar ke partai politik.

Para pemangku-pemangku kepentingan politik kadang menuntut hal-hal yang ideal menurut versi
mereka, tetapi lupa akan kewajiban yang harus dijalankan sebagai alat demokrasi, maka yang terjadi
adalah kepentingan sesaat. Rakyat berharap banyak terhadap anggota dewan, namun kadang yang
diterima berbanding terbalik dengan harapan itu. Sehingga sering kita mendengar ungkapan yang
cukup menggelikan dari mereka yang diwakili, Kalau rakyat mau kaya, sudah diwakili oleh anggota
dewan. Kalau rakyat mau mobil, sudah diwakili anggota dewan. Kalau rakyat mau rumah, sudah
diwakili anggota dewan. Kalau rakyat mau jalan-jalan keluar negeri, sudah diwakili anggota dewan.
Nah, apakah dalam hal Pilkada, rakyat juga rela untuk diwakili, sementara rakyat adalah pemegang
kedaulatan dan pemilik sah demokrasi. Aura demokrasi akan hilang, tidak berbanding lurus dengan
kehidupan ber-DEMOKRASI yang sering digembar-gemborkan oleh para elit-elit politik dan elit-elit
pemerintahan negeri ini.

Sementara itu, Pilkada secara langsung akan memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan
siapa yang berhak untuk memimpin mereka. Selama periode pemberlakuan pemilihan langsung yang
kurang lebih sudah berjalan 10 tahun terakhir, telah banyak memberikan pembelajaran buat kita semua.
Kalau ada yang mengatakan bahwa pilkada langsung itu butuh anggaran banyak, itu bisa saja benar,
tapi yang perlu diketahui juga bahwa untuk membangun negara demokrasi, sangat membutuhkan
pengorbanan yang luar biasa dan waktu yang cukup lama. Negara-negara yang dicap sebagai negara
demokrasi saat ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kehidupan berdemokrasi,
hingga pada akhirnya rakyatnya bisa menikmati hingga saat ini. Sementara Indonesia, baru 10 tahun
terakhir ini menjalani kehidupan berdemokrasi, itupun belum sampai pada titik yang ideal, masih butuh
proses panjang untuk membangun kehidupan berdomokrasi yang mapan.

Bukan sistem pemilihannya yang harus diubah, tapi mekanisme dari awal hingga pada saat penentuan
pilihan yang perlu dikaji ulang. Mekanisme rekruitmen calon kepala daerah oleh partai politik juga
harus diperketat dan diubah (berlakukan fit and proper test), maksimalkan peran partai politik sebagai
alat demokrasi (lakukan pendidikan politik yang benar dan beradab), tidak ada lagi istilah membayar
mahar bagi calon kepala daerah kepada partai politik yang akan mengusung, partai politik harus
berkomitmen untuk menolak segala bentuk money politic (termasuk mencabut mandat calon yang
diusungnya bila ketahuan melakukan money politic), dan mekanisme serta masa kampanye juga
menjadi hal yang perlu untuk dikaji ulang.

Dalam konteks pilkada yang sudah berjalan selama ini, sebenarnya kita bisa melihat bahwa yang
membuat pilkada langsung itu membutuhkan anggaran yang banyak (dilihat dari biaya yang
dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah), itu karean partai politik yang tidak menjalankan peran
sebagaimana mestinya. Idealnya bahwa partai politik harusnya menjadi ujung tombak dalam
melakukan pendidikan politik, bagaimana berdemokrasi yang baik, menjadi ujung tombak dalam
penolakan berbagai bentuk kecurangan dalam pilkada. Partai politik harusnya menjadi ujung tombak
dalam memikirkan dan mengimplementasikan konsep-konsep dalam rangka mensejahterakan rakyat,
bukan malah sebaliknya, memelihara dan mensejahterakan individu-individu yang menjadi kader
parpol. Intinya bahwa partai politik menjadi tauladan dalam pesta demokrasi.

Biarkan rakyat yang menentukan, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan dan pemilik sah
demokrasi di negeri ini. Karena status tertinggi itulah, rakyat yang berhak menentukan siapa yang harus
mendapat mandat untuk menjadi pemimpin diantara mereka dan siapa yang berhak mendapat mandat
untuk menjadi wakil mereka di dewan. Sekedar mengingatkan kembali bahwa Negara Indonesia adalah
salah satu negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan kedalam tiga macam bentuk
kekuasaan yang disebut Trias Politika, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif
(pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang). Kekuasaan rakyat
sangat jelas dalam sistem pembagian kekuasaan ini, rakyat memiliki kekuasaan dalam menentukan
siapa saja yang pantas untuk duduk di salah dua dari tiga lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif).

Pada akhirnya kembali kepada kita semua untuk memaknai arti sejatinya sebuah demokrasi. Apa yang
telah penulis ulas dan gambarkan di atas, adalah sebuah refleksi dari kehidupan demokrasi versi
Indonesia yang penulis jalani selama ini, yaitu zaman dimana diberlakukannya Pilkada lewat DPRD
(zaman Orde Baru) dan Pilkada oleh rakyat (zaman reformasi). [Sulbar]

Editor: Nina Firstavina

Anda mungkin juga menyukai