Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Asam dan Basa merupakan dua golongan zat kimia yang sangat penting

dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan sifat asam Basa, larutan

dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu bersifat asam, bersifat basa, dan bersifat

netral. Asam dan Basa memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga dapat kita bisa

menentukan sifat suatu larutan. Untuk menentukan suatu larutan bersifat asam atau

basa, ada beberapa cara. Yang pertama menggunakan indikator warna, yang akan

menunjukkan sifat suatu larutan dengan perubahan warna yang terjadi. Misalnya

Lakmus, akan berwarna merah dalam larutan yang bersifat asam dan akan berwarna

biru dalam larutan yang bersifat basa. Sifat asam basa suatu larutan juga dapat

ditentukan dengan mengukur pH-nya. pHmerupakan suatu parameter yang

digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman larutan. Larutan asam memiliki pH

kurang dari 7, larutan basa memiliki pH lebih dari 7, sedangkan larutan netral

memiliki pH=7. pH suatu larutan dapat ditentukan dengan indikator pH atau dengan

pH meter.

Bronkopneumonia merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah

yang biasanya didahului dengan infeksi saluran pernafasaan bagian atas dan sering

dijumpai dengan gejala awal batuk, dispnea, demam. Selain disebabkan oleh infeksi

dari kuman atau bakteri juga didukung oleh kondisi lingkungan dan gizi pada anak.

Salah satu penyebab bronkopneumonia pada anak adalah karena kebiasaan yang

kurang bersih pada anak, contoh; anak tidak mencuci tangan sebelum makan, suka

memasukkan benda ke dalam mulut dan kurangnya keluarga tentang pola hidup

1
sehat. Akibat kebiasaan yang salah dan tidak disadari ini dapat menimbulkan

gangguan saluran pernafasan dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap

kondisi anaknya, sehingga pada umumnya anak dengan bronkopneumonia dibawa

ke rumah sakit jika kondisinya sudah parah, antara lain; sesak nafas, sianosis, dan

pernafasan cuping hidung. Bronkopneumonia dapat mengakibatkan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan pada anak karena kondisi lingkungan dan gizi

sangat berpengaruh pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak. Dimana anak

memerlukan nutrisi yang adekuat untuk mencukupi kebutuhan energi sehari-hari

dan tumbuh 3 kembang.

Hydrocephalus itu sendiri adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam

ventrikel serebral, ruang subaracnoid, ruang subdural (Suriadi dan Yuliani, 2001).

Hydrocephalus dapat terjadi pada semua umur tetapi paling banyak pada bayi yang

ditandai dengan membesarnya kepala melebihi ukuran normal. Meskipun banyak

ditemukan pada bayi dan anak, sebenarnya hydrosephalus juga biasa terjadi pada

oaran dewasa, hanya saja pada bayi gejala klinisnya tampak lebih jelas sehingga

lebih mudah dideteksi dan diagnosis. Hal ini dikarenakan pada bayi ubun2nya

masih terbuka, sehingga adanya penumpukan cairan otak dapat dikompensasi

dengan melebarnya tulang2 tengkorak. Sedang pada orang dewasa tulang tengkorak

tidak mampu lagi melebar.

Hemangioma adalah tumor jaringan lunak yang tersering pada bayi baru

lahir dengan persentase 5-10% pada anak-anak yang berusia kurang dari satu tahun.

Meskipun dilihat dari jumlah kejadian hemangioma yang cukup besar pada anak-

anak, tapi patogenesisnya tidak sepenuhnya dapat dimengerti, dan penanganan yang

terbaik untuk hemangioma masih kontroversial.Pembagian klasik hemangioma

adalah hemangioma pada kulit bagian atas atau hemangioma kapiler, hemangioma

2
pada kulit bagian dalam atau hemangioma kavernosa, dan hemangioma campuran

antara keduanya. Hemangioma muncul saat lahir, meskipun demikian dapat hilang

sendiri beberapa bulan setelah lahir. Hemangioma dapat muncul pada setiap bagian

tubuh, meskipun demikian hemangioma lebih mengganggu bagi para orang tua

ketika hemangioma tumbuh pada muka atau kepala bayi.

Tujuan penyajian case report ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai Prosedur Penanganan pasien dengan Respiratory Asidosis Pada

Bronkhopneumonia Berat dengan Hemangioma dan Hidrocephalus dengan VP

Shunt.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Pasien bayi Fathan Chandra, umur 1 tahun 4 bulan, jenis kelamin laki-laki, beralamat
di Galagamba, Kabupaten Cirebon. Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal
12 Juli 2017. Pasien merupakan anak dari Tuan Wawan, berumur 39 tahun bekerja sebagai
karyawan tidak tetap dan ibu pasien bernama nyonya Turini, berumur 28 tahun dengan
pendidikan terakhir SMA bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga.

ANAMNESIS
Alloanamnesis pada ibu pasien tanggal 14 Juli 2017.

Dari anamnesis lebih lanjut diperoleh keterangan bahwa pasien datang dibawa orang
tuanya ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan terus-menerus. Sebelumnya pasien sempat mengalami hal yang
serupa 1 minggu yang lalu dan dirawat namun sempat sembuh. Keluhan disertai demam yang
terus-menerus sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Namun saat dibawa kerumah sakit
pasien sudah tidak demam lagi. Batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan berdahak
warna bening. Terdapat bintik-bintik merah di bagian wajah, kepala, badan dan kaki sejak
pasien berusia 1 bulan. Awalnya bintiknya hanya di perut saja, lama-kelamaan semakin
bertambah. Terdapat pembesaran pada kepala yang diakui sejak pasien berusia 3 bulan dan
semakin lama semakin membesar. Pada 1 bulan yang lalu orangtua pasien mengatakan bahwa
pasien telah melakukan operasi pada kepalanya.

Anamnesa lebih lanjut, ibu mengatakan bayinya lahir dengan proses persalinan normal
di bidan. Ibu pasien mengatakan tidak ada keluhan semasa kehamilannya. Namun semasa
kehamilannya ibu pasien tidak pernah memeriksa kehamilannya di dokter. Riwayat kehamilan,
usia kehamilan 39 minggu dengan berat badan 3000 gram.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Umum (Tanggal 14 Juli 2017)

4
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dengan kesadaran
somnolen, tanda vital pasien ditemukan suhu 37,00C, nadi 50 kali per menit, tidak teratur,
teraba lemah, napas 68 kali per menit, cepat. Berat badan 8 kilogram, panjang badan 72,5
cm, lingkar kepala 48cm, lingkar lengan atas 11,4 cm.
Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan atas dibandingkan dengan umur.
Berdasarkan kurva Center of Disease Control (CDC):
8
BB X 100% = X 100% = 74 %
10,8

Kesimpulan status gizi pasien ini adalah underwight.


2. Pemeriksaan khusus
Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit tidak ada icterus dan tampak bercak-
bercak kemerahan diseluruh tubuh berwarna merah, konsistensi kenyal, tidak ada sikatrik,
tidak terdapat edema diseluruh tubuh. Bentuk kepala, terdapat hidrosefalus, yang telah
terpasang VP Shunt, fluktuasi +, UUB cembung, UUK datar, tidak terdapat luka. Bentuk
kedua bola mata kanan kiri normal, palpebral superior dan inferior normal. Kedudukan
bola mata dan bentuk alis mata kanan dan kiri simetris, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, terlihat sklera terdapat kemerahan, kornea jernih, pupil bulat isokor diameter 1mm,
reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif. Telinga bentuk normal, simetris kanan
dan kiri, dan tidak tampak adanya serumen pada telinga kanan dan kiri. Bentuk hidung
simetris, tidak ada sekret dan tidak deviasi. Tidak terdapat nafas cuping hidung. Bentuk
mulut tidak ada kelainan. Bibir pucat dan kering, terlihat sianosis, tidak ada tremor. Tonsil
T1-T1, tenang, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis. Leher tidak ada kelainan, kelenjar
getah bening tidak teraba membesar trakea ditengah.
Pada pemeriksaan torak didapatkan inspeksi, bentuk dada normal, simetris
dengan respiratory rate 68 kali/menit. Terdapat retraksi intercostalis, pergerakan dinding
dada dalam keadaan statis dan dinamis simetris kanan dan kiri. Pada pemeriksaan palpasi
didapatkan fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada
fraktur dan tidak ada massa. Pada pemeriksaan perkusi terdengar hipersonor, sedangkan
pada pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi nafas ronki di seluruh lapang paru.
Pada pemeriksaan jantung terlihat dan teraba iktus cordis pada sisi kiri. Pada
perkusi batas jantung, batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis dextra, batas jantung
kiri di ICS 5 linea midclavicula sinistra, sedangkan batas pinggang jantung pada ICS 2
linea parasternalis sinistra. Pada saat auskultasi tidak terdengar suara bunyi jantung
tambahan yaitu murmur ataupun galoop.

5
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi abdomen normal datar dan tidak
tampak gambaran asites. Pada auskultasi terdengar suara bising usus normal. Pada
pemeriksaan perkusi terdengar suara timpani diseluruh lapang abdomen, tidak ditemukan
shifting dullness. Pada palpasi tidak teraba masa, tidak terdapat nyeri tekan, dan nyeri
lepas dan terdapat perabaan hepar 5 cm dari arcus costae.
Pada pemeriksaan genitalia eksterna tampak jenis kelamin laki-laki, terdapat
pembesaran skrotum, berwarna kulit, tidak terdapat nyeri tekan. Pada pemeriksasaan
ekstremitas atas dan bawah didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema. Sianosis tidak
terlihat pada keempat ekstremitas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi (tanggal 12 Juli 2017 pukul 15:35)

LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL

Darah Lengkap
Hemoglobin 11,8 gr/dl 11.5 16.5
Hematokrit 35,5 % 31.0 45.0
Lekosit 34,4 H 103/uL 4000 11000
Trombosit 449 103/uL 150000 - 450000

Eritrosit 4,25 mm3 4.1 6.3


Index Eritrosit
MCV 83,5 Fl 79 99
MCH 27,8 Pg 27 31
MCHC 33.2 g/dL 33-37
RDW 13,0 Fl 11.5 14.5
MPV 4,5 Fl 6.7 9.6
PDW 16,9 Fl 39.3-64.7
Hitung Jenis (DIFF)
Eosinophil 1.8 % 03

Basophil 0.3 % 01

Segmen 75,4 H % 45 75

Limfosit 18,7 L % 35-47


Monosit 3,8 H % 3-16

6
Luc 0.0 % 3-6

Pemeriksaan Analisa Gas Darah (tanggal 13 Juli 2017)


AGD Results Flags Unit Normal
PH 7,250 L mmHg 7,35-7,45
PCO2 50,2 H mmHg 35 48,8
PO2 31 mmHg 80,0 108,0
HCO3 22,0 L mmol/L 22 26
TCO2 23,5 H mmol/L 19 24

Beb -5,6 L mmol/L (-2) (+3)


Beed -5,4 mmol/L
SBC 19,5
%sO2c 53,3 L % 94 98
ctO2 8,8
Natrium 152 H mmol/L 136 145
Kalium 4,62 mmol/L 3,50 5,10
Chloride 102 mmol/L 95 105
Thb 11,8 L gr/dL 12 14
HCT 33 H /mm3 37 - 43
IO2 73 H
Kimia Klinik
SGOT 124 H U/L 8 - 37
SGPT 25 U/L 8 - 40
Foto Thorax (Tanggal 17 September 2016)

7
Foto Thorax (tanggal 18 Juli 2017)

Ct scan pada tanggal 15 mei 2017

8
Foto Pasien

9
10
11
PEMANTAUAN

Tanggal 14 Juli 2017

Keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus-menerus.
Sebelumnya pasien sempat mengalami hal yang serupa 1 minggu yang lalu dan dirawat namun
sempat sembuh. Keluhan disertai demam yang terus-menerus sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Namun saat dibawa kerumah sakit pasien sudah tidak demam lagi. Batuk sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit dan berdahak warna bening. Terdapat bintik-bintik merah di
bagian wajah, kepala, badan dan kaki sejak pasien berusia 1 bulan. Awalnya bintiknya hanya
di perut saja, lama-kelamaan semakin bertambah. Terdapat pembesaran pada kepala yang
diakui sejak pasien berusia 3 bulan dan semakin lama semakin membesar. Pada 1 bulan yang
lalu orangtua pasien mengatakan bahwa pasien telah melakukan operasi pada kepalanya.

Anamnesa lebih lanjut, ibu mengatakan bayinya lahir dengan proses persalinan normal di
bidan. Ibu pasien mengatakan tidak ada keluhan semasa kehamilannya. Namun semasa
kehamilannya ibu pasien tidak pernah memeriksa kehamilannya di dokter. Riwayat kehamilan,
usia kehamilan 39 minggu dengan berat badan 3000 gram.

Tanggal 15 Juli 2017

Pasien masih sesak dan batuk. Keluhan demam sudah tidak ada. Hidrochepalus, hemangioma.
RR : 67 kali/menit, P : 100 kali/menit, suhu : 37o C, SPO2 : 70 kali/menit, Ronkhi +/+. Pasien
mendapatkan terapi O2 4 lpm, infus KAEN 3B 10 tpm, Nebulizer Ventolin + bisolvon 15
tetes/8jam, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg.

Tanggal 16 juli 2017

Pasien masih sesak nafas namun sudah membaik dari kemarin dan batuk masih dirasakan.
Hydrocephalus (+), hemangioma invantil campuran (+). RR : 63 kali/menit, P : 97 kali/menit,
suhu : 36oC, SPO2 : 80 kali/menit, ronkhi +/+. pasien mendapatkan terapi O2 4 lpm, infus
KAEN 3B 10 tpm, Nebulizer Ventolin + bisolvon 15 tetes/8jam, dexamethasone 3x 2,5 mg,
cefotaxime 2x450mg.

Tanggal 17 Juli 2017

Pasien masih sesak nafas namun sudah membaik dari kemarin dan batuk masih dirasakan.
Hydrocephalus (+), hemangioma invantil campuran (+).RR : 49 kali/menit, P : 80 kali/menit,
suhu : 36oC, SPO2 : 76 kali/ menit, ronkhi +/+. pasien mendapatkan terapi O2 2 lpm, infus

12
KAEN 3B + meylon 25cc 10 tpm, Nebulizer salbutamol 0,4ml/8jam, dexamethasone 3x 2,5
mg, cefotaxime 2x450mg dan amicasin 2x80mg.

Tanggal 18 Juli 2017

Pasien masih sesak nafas namun sudah membaik dari kemarin dan batuk masih dirasakan
namun kadang-kadang. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil campuran (+).RR : 40
kali/menit, P : 120 kali/menit, suhu : 37oC, SPO2 : 90 kali/menit, ronkhi +/+. pasien
mendapatkan terapi O2 2 lpm, infus KAEN 3B + meylon 25cc 10 tpm, Nebulizer salbutamol
0,4ml/8jam, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg, sonde 6x20cc
jam 9 malam-jam 5 pagi istirahat. Dilakukan foto rontgen thoraks dan tes mantoux. Konsultasi
Fisioterapi.

Tanggal 19 Juli 2017

Pasien masih sesak nafas namun sudah membaik dari kemarin dan batuk masih dirasakan
namun kadang-kadang. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil campuran (+).RR : 48
kali/menit, P : 100 kali/menit, suhu : 370C, SPO2 : 90 kali/menit, ronkhi +/+. pasien
mendapatkan terapi O2 3 lpm, infus KAEN 3B 750 cc/24 jam + meylon 25cc 10 tpm, Nebulizer
salbutamol 0,4ml/8jam, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg,
sonde 6x20cc jam 9 malam-jam 5 pagi istirahat. Foto rontgen didapatkan kesan
bronchopneumonia duplek disertai suspek atelectasis segmentalis lobus superior dekstra. Tes
mantoux sedang proses.

Tanggal 20 Juli 2017

Pasien sudah tidak sesak dan tidak ada batuk. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil
campuran (+).RR : 30 kali/menit, P : 100 kali/menit, suhu : 37oC, SPO2 : 95 kali/menit, ronkhi
+/+. pasien mendapatkan terapi O2 2 lpm, infus KAEN 3B 750 cc/24 jam + meylon 40cc 10
tpm, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg, sonde 6x40cc jam 9
malam-jam 5 pagi istirahat. Tes mantoux sedang proses.

Tanggal 21 Juli 2017

Pasien sudah tidak sesak dan tidak ada batuk. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil
campuran (+).RR : 30 kali/menit, P : 122 kali/menit, suhu : 37oC, SPO2 : 96 kali/menit, ronkhi
-/-. pasien mendapatkan terapi O2 2 lpm, infus KAEN 3B 750 cc/24 jam + meylon 80cc 10

13
tpm, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg, sonde 6x50cc jam 9
malam-jam 5 pagi istirahat. Tes mantoux sedang proses.

Tanggal 22 Juli 2017

Pasien sudah tidak sesak dan tidak ada batuk. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil
campuran (+).RR : 30 kali/menit, P : 122 kali/menit, suhu : 36,70C, SPO2 : 96 kali/menit,
ronkhi -/-. pasien mendapatkan terapi O2 2 lpm, infus KAEN 3B 750 cc/24 jam + meylon 80cc
10 tpm, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg, sonde 6x50cc jam
9 malam-jam 5 pagi istirahat. Tes mantoux (-).

Tanggal 23 Juli 2017

Pasien sudah tidak sesak dan tidak ada batuk. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil
campuran (+).RR : 30 kali/menit, P : 122 kali/menit, suhu : 36,7oC, SPO2 : 96 kali/menit,
ronkhi -/-. pasien mendapatkan terapi O2 dilepas, infus KAEN 3B 750 cc/24 jam + meylon
80cc 10 tpm, dexamethasone 3x 2,5 mg, cefotaxime 2x450mg, amicasin 2x80mg, sonde
6x80cc jam 9 malam-jam 5 pagi istirahat.

Tanggal 24 Juli 2017

Pasien sudah tidak sesak dan tidak ada batuk. Hydrocephalus (+), hemangioma invantil
campuran (+).RR : 40 kali/menit, P : 112 kali/menit, suhu : 36,7oC, SPO2 : 98 kali/menit.
Pasien dipulangkan.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Asidosis Respiratorik
1.1 Definisi Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik terjadi bila tekanan parsial arteri pada karbon dioksida (Pa CO2)
meningkat di atas kisaran normal (> 44 mmHg) yang menyebabkan pH darah lebih
rendah dari 7,35. Menurut definisi, diagnosis asidosis respiratorik memerlukan
pengukuran Pa CO2 dan pH. Bila diagnosis dibuat, penyebabnya harus diselidiki secara
menyeluruh1.
Asidosis pernapasan bukan penyakit tertentu. Sebaliknya, ini adalah kelainan yang
diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara produksi karbon dioksida oleh tubuh dan
ekskresi oleh paru-paru, karena ventilasi yang tidak memadai. Ventilasi yang rendah
dapat terjadi di mana saja sepanjang sistem pernafasan berlangsung, mulai dari inisiasi
ventilasi sentral sampai pertukaran gas yang tepat pada antarmuka alveolar kapiler.
Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat proses akut atau kronis dan dapat terjadi pada
usia berapapun. Asidosis respiratori akut dapat mengancam jiwa bila terjadi
peningkatan tajam pada PaCO2 yang dikaitkan dengan hipoksemia berat dan asidemia.
Sebaliknya, asidosis respiratori kronis (> 24 jam) ditandai dengan peningkatan bertahap
dan berkelanjutan pada PaCO22.

1.2 Patofisiologi Asidosis Respiratorik


Pa CO2 berbanding lurus dengan produksi karbon dioksida dan berbanding terbalik
dengan ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar bertanggung jawab atas eliminasi
karbondioksida dan dihitung saat laju pernafasan dikalikan dengan perbedaan antara
volume tidal dan ruang hampa fisiologis. Asidosis respirator terjadi terutama bila
ventilasi alveolar menurun atau bila produksi karbon dioksida meningkat2.
Banyak skenario klinis berkontribusi terhadap pembuangan karbon dioksida yang tidak
adekuat dari darah. Beberapa contoh termasuk penggerak pernafasan sentral yang
tertekan, kelumpuhan akut pada otot-otot pernapasan, paru-paru parenkim akut dan
penyakit saluran napas, dan peningkatan ruang mati atau ventilasi terbuang. Jika
pernapasan berhenti, karbon dioksida arterial meningkat lebih lanjut pada tingkat 3-6
mmHg/menit. Dalam kasus lain, hipercarbia secara bertahap berkembang seperti pada
penyakit neuromuskular progresif, pada skoliosis yang memburuk yang menyebabkan

15
penyakit paru-paru yang membatasi, atau pada penyakit paru kronis. Dalam skenario
ini, peningkatan PaCO2 yang terus-menerus menyebabkan mekanisme kompensasi
yang efektif2.
Dalam kasus yang jarang terjadi, peningkatan produksi karbon dioksida dapat melebihi
kemampuan pasien untuk memberi kompensasi, yang menyebabkan asidosis
pernapasan. Keadaan ini terjadi selama keadaan hipermetabolik, seperti luka bakar
yang meluas, hipertermia ganas, atau demam saat pasien tidak dapat meningkatkan
menit ventilasi. Ketika PaCO2 meningkat secara akut, sistem organ lain terpengaruh.
Efek fisiologis dan metabolik umum karbon dioksida dibawa dalam darah dalam 3
bentuk : gas larut, bikarbonat, dan protein terikat. Ini berdifusi bebas melintasi
membran sel, dan difusi ini memungkinkannya dipindahkan secara efisien dari jaringan
perifer ke paru-paru untuk ekskresi. Saat terjadi hiperkapnia, properti yang sama
menyebabkan kelebihan karbon dioksida bergeser secara intraseluler dan menurunkan
pH intraselular2.
Karbon dioksida (CO2) biasanya digabungkan dengan air (H2O) untuk membentuk
asam karbonat (H2 CO3), yang kemudian terdisosiasi untuk melepaskan ion hidrogen
(H +) dan bikarbonat (HCO3-), seperti dalam persamaan berikut:
CO2 + H2 O H2 CO3 H + + HCO3-
Bila asidosis pernafasan ada, kelebihan karbon dioksida meningkatkan pembentukan
H2CO3, menggeser kesetimbangan persamaan terhadap akumulasi ion hidrogen2.
Tubuh memiliki beberapa sistem kompensasi untuk meminimalkan penurunan pH.
Protein intraselular dan fosfat anorganik pada awalnya merupakan buffer yang paling
efektif. Penyangga darah yang paling penting adalah hemoglobin. Deoksigenasi
hemoglobin memudahkan menerima ion hidrogen untuk mencegah perubahan pH yang
substansial, dan sekitar 10% karbon dioksida terikat pada hemoglobin untuk
membentuk karbaminohemoglobin2.
Penyangga seluler meningkatkan kadar bikarbonat plasma (HCO3-) sedikit dan
menyebabkan HCO3 plasma - meningkat sebesar 1 mEq / L untuk setiap kenaikan 10
mm Hg dalam PaCO22.
Kompensasi ginjal untuk hypercapnia berkelanjutan dimulai pada 6-12 jam, namun 3-
5 hari berlalu sebelum kompensasi maksimal terjadi. Ginjal meningkatkan ekskresi ion
hidrogen (terutama dalam bentuk amonium [NH4 +]) dan klorida sambil
mempertahankan HCO3- dan sodium (Na +). Proses ini meningkatkan konsentrasi

16
HCO3 plasma sekitar 3,5-4 mEq / L untuk setiap kenaikan 10 mm mm di CO2 Pa.
Akibatnya, NaHCO3 tambahan - tersedia untuk menyangga ion hidrogen bebas2.
Karena neonatus dan bayi memiliki jumlah hemoglobin dan cairan interstisial yang
relatif besar untuk berat badan mereka, peningkatan konsentrasi HCO3 plasma dan
penurunan konsentrasi ion hidrogen plasma lebih besar daripada pada anak yang lebih
tua2.
Chemoreceptors di batang otak dan di tubuh karotid dengan cepat mendeteksi
perubahan pada PaCO2. Karbon dioksida adalah stimulan pernafasan yang bagus, dan
kadarnya meningkat menyebabkan peningkatan ventilasi untuk meningkatkan jumlah
karbon dioksida dan menormalkan pH. Namun, efek ini dilemahkan jika tingkat karbon
dioksida tetap tinggi selama lebih dari beberapa jam. Secara umum, asidosis pernafasan
akut tidak menyebabkan perubahan atau hanya sedikit peningkatan kadar potassium
dan fosfat ekstraselular2.
Efek Pernafasan
Ketika pasien asidosis pernafasan menghirup udara, persamaan gas alveolar
memprediksi bahwa hipoksemia akan berlangsung. Persamaan gas alveolar (Persamaan
2) menyatakan bahwa tekanan parsial alveolar oksigen (PAO2) sama dengan tekanan
parsial oksigen terinspirasi (PIO2) dikurangi kuantitas tekanan parsial alveolar karbon
dioksida (PACO2) dibagi oleh Pernafasan (RQ), sebagai berikut2:
PAO2 = PIO2 - (PACO2 / RQ)
RQ adalah rasio volume karbon dioksida yang kadaluwarsa dengan volume oksigen
yang dikonsumsi oleh organisme. Dalam keadaan cukup, tubuh manusia menghasilkan
karbon dioksida dengan kecepatan sekitar 200 mL / menit dan mengkonsumsi oksigen
dengan kecepatan 250 mL / menit; Oleh karena itu, RQ adalah sekitar 0,8. Jika RQ
dibulatkan menjadi 1, persamaan gas alveolar dikurangi sebagai berikut2:
PA O2 = PI O2 - PA CO2
PI O2 sama dengan perbedaan antara tekanan barometrik (PB) dan tekanan parsial uap
air (PH2 O) dikalikan dengan fraksi oksigen terinspirasi (FI O2), sebagai berikut:
PI O2 = FI O2 (PB - PH2 O)
Mengingat kesetaraan ini, persamaan gas alveolar dapat dinyatakan sebagai berikut:
PA O2 = FI O2 (PB - PH2 O) - PA CO2
Jika persamaan ini disusun ulang, PA CO2 pada akhirnya bergantung pada tingkat
oksigen terinspirasi, sebagai berikut:
PA CO2 = FI O2 (PB - PH2 O) - PA O2
17
Karena PB di permukaan laut adalah 760 mmHg dan PH2O di atmosfer adalah 47
mmHg, ketika seseorang menghirup udara (FI O2 = 0,21), jumlah PA CO2 dan PA O2
bertambah hingga kira-kira 150 mmHg, seperti Berikut ini:
PA O2 = 0,21 (760 mmHg - 47 mm Hg) - PA CO2
PA O2 = 149,7 mm Hg - PA CO2
PA O2 + PA CO2 = 149,7 mmHg
Pada kondisi akut, nilai Pa CO2 lebih tinggi dari 80-90 mmHg sementara pasien
bernafas udara mengancam nyawa karena adanya hipoksemia. Bila Pa CO2 melebihi
100 mmHg, kondisi iatrogenik atau akut pada kondisi kronis ada. Hipoventilasi dapat
menyebabkan hypercarbia signifikan secara klinis tanpa hipoksemia hanya jika pasien
mengdapat oksigen tambahan2.
Pertimbangkan kasus anak di ICU pediatrik yang menghirup oksigen tambahan yang
diberikan oleh masker (FI O2 = 0,80). Anak tersebut mengalami penyumbatan jalan
napas parsial atau hipoventilasi sentral yang sekunder akibat pemberian narkotika.
Oksigen tambahan memungkinkan peningkatan PaCO2 yang diberikan prinsip
persamaan gas alveolar tanpa desaturasi arterial2.

1.3. Etiologi Asidosis Respiratorik


Etiologi asidosis respiratorik adalah sebagai berikut :2
1. Penyebab asidosis respiratorik yang berkaitan dengan sistem saraf pusat (SSP)
penekanan pada respiratory drive meliputi:
Trauma
Infeksi (misalnya, ensefalitis, meningitis, atau infeksi virus pernapasan
syncytial).
Neoplasma
Pukulan
Hipoksia
Racun, overdosis (misalnya, narkotika atau alkohol)
Kejang - Postictal state
2. Penyebab spinal (misalnya trauma pada C3-C5 atau penurunan fungsi saraf frenik)
Penyebab terkait saraf meliputi:
Atrofi otot spinal
Sindrom Guillain-Barr

18
Polio
Trauma saraf frenik
3. Penyebab terkait neuromuskular meliputi:
Myasthenia gravis
Botulisme
Blokade neuromuskular
4. Penyebab otot (misalnya, distrofi muskular)
Penyebab terkait jalan napas meliputi:
Kehilangan kontrol SSP (misalnya, dari cedera otak, toksin atau overdosis,
trauma, angioedema, hipertrofi adenoid tonsillar, luka bakar termal atau kimia,
benda asing, abses faring, epiglotitis, atau pita suara yang lumpuh)
Lesi kongenital (misalnya stenosis subglotis, laringomalacia, kelainan
kraniofasial, cincin trakea, atau serabut pembuluh darah)
Laryngotracheobronchitis (croup)
Neoplasma, massa mediastinum
Bronchiolitis
Asma
5. Penyebab terkait cedera paru akut meliputi:
Pneumonia
Edema paru
Contusion paru
Bronchiolitis
6. Penyebab yang terkait dengan pembatasan dinding dada dan penurunan pernafasan
adalah sebagai berikut:
Flail chest
Pneumotoraks
Efusi pleura
Kyphoscoliosis
Distensi abdomen

19
7. Penyebab terkait dengan peningkatan produksi karbon dioksida menyebabkan hal
berikut:
Hipertermia
Luka bakar yang luas
Makan berlebih

1.4. Pemeriksaan Asidosis respiratorik

Banyak temuan klinis pada pasien yang memiliki asidosis respirasinya disebabkan oleh
penyakit yang mendasari proses itu sendiri dan tidak harus pada hiperkkapnia.3

Temuan neurologis yang terkait dengan asidosis pernapasan meliputi:


o Tanda awal meliputi kecemasan, disorientasi, kebingungan, dan kelesuan.
Somnolence atau koma terjadi ketika tekanan parsial arterial karbondioksida
(Pa CO 2) melebihi 70 mmHg.
o Tremor, mioklonus, atau asteriks kadang-kadang terlihat
o Refleks tendon dalam yang cepat terlihat pada asidosis respiratorik ringan
sampai sedang
o Refleks tendon dalam yang tertekan terlihat pada asidosis pernafasan berat
o Papilledema atau kaburnya cakram optik mungkin ada
Temuan kardiovaskular yang terkait dengan asidosis pernapasan meliputi:
o Takikardia
o Bounding arteri pulses
o Hipotensi (asidosis pernafasan berat atau asidemia dan hipoksemia)
Temuan kutaneous yang terkait dengan asidosis pernapasan meliputi:
o Kulit hangat, memerah, atau berbintik-bintik
o Diaphoresis
Temuan pernapasan yang terkait dengan asidosis pernapasan meliputi:
o Hypercapnia akut terlihat berhubungan dengan peningkatan kerja pernapasan
o Takipnea, dyspnea, atau nafas dalam yang berat dapat diamati
o Penggunaan otot aksesori dan nasal flaring biasanya ada
o Dengan penyakit sistem saraf pusat atau perifer, gangguan pernapasan mungkin
tidak ada.

20
o Berkurangnya aerasi, crackles, wheezes, atau tanda-tanda penyakit saluran
napas lainnya dapat diamati.
o Clubbing adalah tanda penyakit pernapasan kronis

Studi Laboratorium
Kegagalan untuk mempertimbangkan asidosis campuran dapat menyebabkan terapi dan
diagnosis yang tidak terjawab. Selalu kritis menganalisis nilai asam-basa dengan
menilai pH, tekanan parsial dari karbon dioksida (Pa CO2), dan konsentrasi bikarbonat
(HCO3-).2
Diagnosis asidosis respiratorik ditentukan dengan nilai gas darah arterial. Wawasan
terhadap penyebab dan mekanisme etiopatologis memerlukan penyelidikan lebih
lanjut, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Tingkat HCO3 serum dan pH dapat
membantu dalam membedakan hiperkapnia akut dari hiperkapnia kronis. Jika pH lebih
besar dari 7,45, Pa CO2 yang tinggi dapat mengkompensasi alkalosis metabolik dan
bukan merupakan proses primer.2
Dalam pengaturan asidosis respiratorik akut, pH menurun sebesar 0,08 untuk setiap
kenaikan 10 mm Pa CO2. Konsentrasi HCO3 meningkat sebesar 1 mEq / L untuk setiap
kenaikan 10 mm Pa CO2. Jika Pa CO2 meningkat tajam sampai 80 mmHg, pHnya 7,12,
dan nilai HCO3 adalah 28 mEq / L.2
Dalam pengaturan asidosis respiratorik kronis, pH menurun 0,03 untuk setiap kenaikan
10 mm Pa CO2. Konsentrasi HCO3 sama dengan 24 mmol / L 4 untuk setiap kenaikan
10 mm Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg. Misalnya, jika Pa CO2 adalah 80 mmHg,
pH 7,28, dan nilai HCO3 adalah 40 mEq / L 4.2
Proses efisien HCO3-resorpsi. Jika pasien dengan hiperkapnia kronis memiliki pH
lebih tinggi dari 7,20, asidosis respirator akut pada onset kronis atau asidosis metabolik
bersamaan juga dapat terjadi.3
Toksikologi untuk narkotika, benzodiazepin, alkohol, atau antidepresan trisiklik harus
dilakukan jika diindikasikan. Penilaian elektrolit diindikasikan untuk kelainan yang
terkait dengan kelemahan otot (misalnya hipofosfatemia, hipokalemia,
hypomagnesemia, dan hypocalcemia).3

21
Radiografi, CT, dan MRI
Temuan radiografi dada dapat membantu dalam diagnosis.
Computed tomography (CT) dada ditunjukkan jika riwayat dan temuan fisik
menunjukkan penyakit paru primer. CT angiografi dapat diindikasikan untuk
menyingkirkan emboli paru.
Pemindaian CT atau MRI otak ditunjukkan jika temuan sejarah dan fisik menunjukkan
tanda-tanda proses intrakranial. MRI tulang belakang dapat ditunjukkan oleh riwayat
dan temuan fisik.3
Tes lainnya
Studi tambahan yang dapat dipertimbangkan meliputi:
Tes fungsi pulmonal, termasuk spirometri, jika anak bisa bekerja sama
Elektromiografi (EMG), jika diindikasikan untuk mengevaluasi penyakit
neuromuscular.
Polysomnography (sleep study) untuk mengevaluasi apnea sleep obstruktif atau
sentral, jika diindikasikan.

1.5. Terapi Asidosis Respiratorik


Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyebab yang mendasari dan
mengembalikan tekanan parsial arang parsial karbon dioksida (Pa CO2) ke awal. Pasien
dengan asidosis respiratorik akut memerlukan perwatan pada unit perawatan intensif
(ICU) untuk pemantauan ketat dan kemungkinan pengelolaan jalan napas lanjut dengan

22
bantuan pernapasan mekanis. Kegagalan untuk secara agresif menangani asidosis
pernapasan akut dengan ventilasi bantu dapat menyebabkan penangkapan pernafasan
atau kardiovaskular yang dapat dihindari. Penggunaan obat penenang pada pasien yang
tidak diintubasi dapat memperburuk asidosis pernafasan ringan, yang menyebabkan
narcosis karbondioksida yang tidak dikenal.2
Jika hipoksemia menyertai hiperkkapnia, oksigen harus diberikan. Diagnosis dan terapi
terarah harus menyertai pemberian oksigen. Pada hiperkapnia kronis, terapi oksigen
tambahan dapat memperburuk hiperkkapnia dengan mengurangi dorongan pernafasan
dan meningkatkan ventilasi ruang mati melalui hilangnya vasokonstriksi paru hipoksia.
Beberapa institusi telah berhasil menggunakan oksigenasi membran ekstrakorporeal
(ECMO) untuk mengurangi keadaan Pa CO2 -tinggi (misalnya, dalam perawatan
pasien dengan asma berat). Kelainan elektrolit yang berhubungan dengan kelemahan
otot, seperti hipophosphatemia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan hipocalcemia.
Maksimalkan nutrisi, tapi hindari kandungan makanan berlebih dan kandungan
karbohidrat tinggi, karena ini bisa meningkatkan produksi karbon dioksida. Jika
alkalosis metabolik berkembang selama terapi diuretik, perbaiki dengan mengganti
klorida dan jika diperlukan, penggantian potasium dengan hati-hati.2
Ventilasi Pembantu
Ventilasi tekanan positif noninvasif
Ventilasi tekanan positif noninvasif (NPPV) dapat disampaikan secara terus menerus
atau sebentar-sebentar untuk meningkatkan ventilasi alveolar dan mengurangi kerja
pernapasan. Hal ini efektif dalam pengobatan kegagalan pernapasan kronis pada pasien
dengan penyakit paru-paru yang membatasi (misalnya penyakit neuromuskular atau
kyphoscoliosis).2
Kelebihan NPPV termasuk penurunan kejadian infeksi nosokomial (misalnya sinusitis
atau pneumonia), peningkatan kenyamanan dibandingkan dengan intubasi trakea, dan
kemampuan untuk mempertahankan komunikasi verbal. Kekurangannya meliputi
nekrosis kulit wajah, konjungtivitis, dan aspirasi.2
Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanis meningkatkan ventilasi dan menurunkan ruang mati. Ini adalah
pengobatan andalan untuk hiperkapnia akut. Keputusan untuk memulai ventilasi
mekanik bila penyakit yang mendasari dikaitkan dengan asidosis pernafasan kronis
harus dipikirkan dengan baik dan mendapat informasi dengan baik. Karena cadangan

23
paru awal yang terbatas, penyapihan dari ventilasi dan ekstubasi biasanya sulit
dilakukan.2
Pada hiperkapnia akut, ventilasi mekanis biasanya dapat dengan cepat dan aman
memperbaiki Pa CO2 ke nilai normal. Pada hiperkapnia kronis, tujuan ventilasi
mekanis mendekati pH normal dengan baseline Pa Pa CO2. Jika PaCO2 harus
dinormalisasi, ini harus dilakukan selama 2-3 hari untuk mencegah peningkatan pH
serebrospinal (CSF) secara tiba-tiba, yang dapat menyebabkan kejang.2
Ventilasi pulmonal intratrakea
Terkadang, ventilasi mekanis tidak efektif dalam mengurangi hypercapnia karena
bertambahnya ruang mati. Dalam kasus tersebut, ventilasi paru intratrakeal dapat
membantu dalam mengobati hiperkkapnia yang sulit dikendalikan. Prosedur ini
melibatkan pelepasan kateter ke tabung endotrakea untuk menghasilkan aliran balik ke
tabung. Gas ruang mati dilepaskan, dan rebreathing karbondioksida berkurang.2
Hiperkapnia permisif. Pada acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS), strategi volume tidal rendah (4-6 mL / kg) memungkinkan Pa CO2
naik menjadi 60-70 mmHg sehingga terhindar dari paru-paru yang diinduksi regangan.
cedera. Dalam percobaan acak multisenter, ventilasi mekanis dengan volume tidal
rendah menurunkan angka kematian dan meningkatkan jumlah hari tanpa penggunaan
ventilator. Asidosis pernafasan (pH> 7,25) dapat diterima asalkan cukup oksigenasi dan
stabilitas kardiovaskular dipertahankan. Permisif hiperkapnia dikontraindikasikan pada
pasien dengan cedera otak traumatis, hipertensi pulmonal, atau penyakit ginjal, karena
Pa CO2 yang meningkat dapat memperburuk penyakit yang mendasarinya.2
Terapi Farmakologi
Pengobatan asidosis metabolik bersamaan atau penyangga asidemia dengan asidosis
respiratorik dapat dipertimbangkan. Trometamin (THAM) telah digunakan untuk
mencegah dan memperbaiki asidosis sistemik atau pernafasan. Pemberian NaHCO3
harus digunakan dengan hati-hati jika pasien tidak dapat meningkatkan ventilasi menit
karena meningkatkan jumlah karbon dioksida yang akan diekskresikan. Oleh karena
itu, NaHCO3 - harus diberikan perlahan jika digunakan.2
Intervensi spesifik penyakit mungkin diperlukan, seperti berikut ini:
Antibiotik untuk pneumonia
Nalokson untuk hipoventilasi terkait narkotika
Bronkodilator (misalnya albuterol) dan steroid untuk asma

24
Ringkasan Obat
Ventilasi mekanis merupakan terapi andalan untuk kegagalan pernapasan yang terkait
dengan hiperkkapnia sampai keadaan penyakit yang diendapkan dapat dibalik.
Trometamin (THAM) telah digunakan untuk mencegah dan memperbaiki asidosis
sistemik atau pernafasan. Sodium bikarbonat (NaHCO3-) kadangkala digunakan tetapi
harus diberikan dengan hati-hati jika digunakan.2
Agen alkalinizing.
Pengobatan asidosis metabolik bersamaan atau penyangga asidemia dengan asidosis
respiratorik dapat dipertimbangkan. Dalam kasus tertentu, THAM mungkin bisa
membantu.2
Trometamin (THAM), juga dikenal sebagai tris [hidroksimetil] -aminometana,
digunakan untuk mencegah dan memperbaiki asidosis sistemik atau pernafasan. Ini
adalah basis lemah secara biologis yang dapat menyangga kelebihan karbon dioksida.
Ini menggabungkan dengan ion hidrogen untuk membentuk buffer bikarbonat (HCO3),
sebagai berikut:2
R-NH2 + CO2 + H2O = R-NH3 + HCO3
Pada suhu 37 C, pKa adalah 7,8; Oleh karena itu, THAM adalah penyangga yang
lebih efektif daripada NaHCO3 - dalam kisaran pH darah fisiologis. Ini bukan protein
terikat dan didistribusikan terutama di ruang ekstraselular. Saat diprotonasi, THAM
diekskresikan oleh ginjal dan bertindak sebagai diuretik osmotik. Hal ini paling tepat
diberikan sebagai infus jangka pendek selama jendela terapeutik untuk memperbaiki
asidosis pernapasan akut.2

2. Bronkopneumonia
2.1. DEFINISI

Bronchopneumonia (pneumonia lobular) adalah radang supuratif eksudatif akut


pada paru-paru yang ditandai dengan fokus konsolidasi yang dikelilingi oleh parenkim
normal. Umumnya diproduksi oleh bakteri: staphylococcus, streptococcus,
Haemophilus influenzae, proteus, Escherichia coli.

Bronchopneumonia mempengaruhi satu atau lebih lobus, sering bilateral dan


basal. Secara makro, seseorang dapat mengidentifikasi beberapa fokus kondensasi

25
(diameter 1 - 3 cm), putih kekuningan, tidak tepat dibatasi, berpusat pada bronkiolus,
dipisahkan oleh parenkim paru normal. Pada anak-anak, ini memiliki kecenderungan
untuk berkumpul, menghasilkan daerah kondensasi yang besar (pseudolobar
pneumonia)

Mikroskopi: fokus kondensasi inflamasi yang berpusat pada bronkiolus dengan


bronkiolitis akut (eksudat supuratif yang kaya akan neutrofil di lumen, fokus ulserasi
epitel dan radang parietal). Lens alveolar yang mengelilingi bronca dipenuhi neutrofil
("alveolitis leukosit"). Kapiler di dinding alveolar menunjukkan kemacetan. Fokus
inflamasi dipisahkan oleh parenkim aerasi normal.

2.2. KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
6, 7
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.

Berdasarkan lokasi lesi di paru

a)
Pneumonia lobaris
b) Pneumonia interstitialis

c) Bronkopneumonia

Berdasarkan asal infeksi

a. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia/ CAP)

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia bakteri

b. Pneumonia virus

c. Pneumonia mikoplasma

d. Pneumonia jamur

26
Berdasarkan karakteristik penyakit

a) Pneumonia tipikal
b) Pneumonia atipikal

Berdasarkan lama penyakit

a) Pneumonia akut

b) Pneumonia persisten

Ada dua definisi klinis pneumonia:

1. Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus


atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution)
2. Pneumonia lobaris yang mirip dengan bronkopneumonia kecuali rontgen toraks
berupa peradangan yang membentuk konsolodasi lobaris.

2.3 EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2
7
tahun.

Pneumonia menyebabkan hingga 5 juta kematian per tahun pada anak-anak berusia
kurang dari 5 tahun di negara berkembang. Dari perkiraan sebanyak 12,9 juta
kematian secara global pada tahun 1990 pada anak di bawah usia 5 tahun, lebih dari
3,6 juta dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan akut sebagian besar disebabkan
oleh pneumonia. Ini mewakili 28% dari seluruh kematian pada anak-anak dan
menempatkan pneumonia sebagai yang terbesar penyebab tunggal kematian anak. Di
Malaysia prevalensi ISPA pada anak di bawah usia lima tahun diperkirakan 28% -
8
39,3% .

27
Gambar 1. Percentage of deaths among children under age 5 attributable to
pneumonia, 2015.9

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan


sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan lain-lain). Pada
pneumonia pertanyaan penting adalah apa penyebabnya, virus atau bakteri. Penyebab
tersering adalah bakteri, namun seringkali diawali oleh infeksi virus yang kemudian
mengalami komplikasi infeksi bakteri. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien. Secara umum bakteri yang paling
berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia
10
dan mikoplasma. (Tabel 1).

Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan


imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zinc (Zn), dan faktor
lingkungan (polusi udara) merupakan faktor risiko untuk IRBA. Pada keadaan
malnutrisi selain terjadinya penurunan imunitas seluler, defisiensi Zn merupakan hal
utama sebagai faktor risiko pneumonia. Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa
pemberian vitamin A pada anak dapat menurunkan risiko kematian karena
pneumonia. Kejadian IRBA meningkat pada anak dengan riwayat merokok atau
10
perokok pasif.

28
Berat badan lahir rendah, kurang gizi, kolonisasi nasofaring, lingkungan miskin dan
asap tembakau merupakan faktor risiko untuk mengembangkan pneumonia. Dua
penelitian lokal dilakukan pada anak-anak dirawat di rumah sakit dengan infeksi
saluran pernapasan bawah akut mengidentifikasi faktor risiko kejadian pneumonia
adalah berat badan lahir rendah, sedikitnya pemberian ASI, imunisasi tidak lengkap,
8
terdapat keluarga yang batuk di rumah, kamar tidur yang keramaian.

Beberapai agen etiologi tidak dapat diidentifikasi dalam 40% sampai 60% kasus.
Virus pneumonia tidak dapat dibedakan dari pneumonia bakteri berdasarkan pada
kombinasi temuan klinis. Sebagian besar infeksi saluran pernapasan bawah yang ada
pada anak-anak disebabkan oleh virus, seperti respiratory syncytial virus, influenza,
adenovirus dan virus parainfluenza. Salah satu indikator membantu dalam
memprediksi agen etiologi adalah kelompok usia seperti yang ditunjukkan pada Tabel
8
2.

Tabel 2. Patogen penyebab pneumonia

29
2.5 PATOFISIOLOGI

Pada dasarnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan
mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan
lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,
komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah
melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang
melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi
saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan
respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului
dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru
yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri
dimulai dengan terjadinya hiperemia akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi
cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan
stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance
paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi
menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching)
yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen
menyebabkan peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi


progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi
konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk
selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri
menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya
empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
7
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan.

30
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:6

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung


pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas
ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi

oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

31
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk adalah
bercak-bercak yang difus, mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus dan ditandai
dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi saluran-saluran
nafas yang lebih kecil.

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,


sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa
bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan
dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi
sebagai bercak-bercak kosolidasi merata diseluruh lapangan paru (bronkopneumonia),
dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia
11
lobaris).

2.6 MANIFESTASI

Gejala yang didapatkan pada pasien pneumonia adalah:

Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,

keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan

gejala infeksi ekstrapulmoner

Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas cuping

hidung, air hunger, merintih dan sianosis

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia hal-hal


6
sebagai berikut:

1. Pada inspeksi : terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkonstal,

32
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan
pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-
bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub
kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal
yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif.
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal
lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae


supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan
adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head
bobbing, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala
disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat
dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya
pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior
dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama

inspirasi.

2. Pada palpasi : ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps

paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3. Pada perkusi : tidak terdapat kelainan

33
4. Pada auskultasi : ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non

musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan

spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses
penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan sampai
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan
prosedur diagnostik invasif, etiologi non-infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor
pathogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting
yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
11
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi


11
diagnosis pneumonia:

A. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia

34
bakteri di dapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/ mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak

dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.

B. C-ReactiveProtein(CRP)

CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP segera cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi
pastinya belom diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan non-infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri

superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.

C. Pemeriksaan Mikrobiologik

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan


kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
punsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan
dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian
bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. Spesimen dari
nasofaring untuk kultur maupun deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat karena
tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.

D. Pemeriksaan Rontgen Toraks

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya

35
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang
bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala
klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah
gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan
foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, peyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut.

Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di


Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Foto rontgen
toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik
distress pernapasan seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas
yang melemah.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,

peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi

dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai

lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu

tegas, dan menyerupasi lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak- bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan

peningkatan corakan peribronkial.

2.9 DIAGNOSIS

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis


merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, menentukan penyebab pneumonia
tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh
karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis.

36
Predikator paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu
gejala respiratori sebagai berikut takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki,
11
dan suara napas lemah . Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas
pneumonia pada balita, maka dalam upaya penanggulangan, WHO mengembangkan

pedoman diagnosis dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini terutama

ditujukan untuk pelayanan kesehatan primer, dan sebagai pendidikan kesehatan untuk
12
masyarakat di negara berkembang. Tujuannya ialah:

1. Menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat

langsung dideteksi

Gejala klinis yang sederhana tersebut meliputi:

Napas cepat

Sesak napas (dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah

kedalam ketika menarik napas/ retraksi epigastrium)


Tanda bahaya
o Pada anak usia 2 bulan 5 tahun: tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun,

stridor, dan gizi buruk.

o Pada anak dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun,

stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.

2. Menetapkan klasifikasi penyakit

Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut: Bayi dan
anak berusia 2 bulan-5 tahun

Pneumonia berat

Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut:
o Kepala terangguk-angguk
o Pernapasan cuping hidung
o Tarikan dinding dada bagian bawah ke dala

o Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia

37
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini :

o Napas cepat
o Suara merintih (grunting)
o Pada auskultasi terdengar: Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial harus dirawat dan diberikan antibiotic

Pneumonia

Bila tidak ada sesak napas

Batuk atau kesulitan bernapas

Ada napas cepat dengan laju napas:

o >50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun

o >40 x/menit untuk anak >1-5 tahun tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

Bukan Pneumonia

Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas

Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan

simptomatik seperti penurun panas

Bayi berusia di bawah 2 bulan


Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah

terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada

kelompok usia ini adalah sebagai berikut :

Pneumonia

Bila ada napas cepat (>60x/menit) atau sesak napas

Harus di rawat dan diberikan antibiotik

38
Bukan pneumonia

tidak ada napas cepat atau sesak napas

tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

2.10 DIAGNOSIS BANDING 12

1. ASMA

Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan penyempitan saluran pernapasan yang
reversibel. Tanda karakteristik berupa episode wheezing berulang, sering disertai
batuk yang menunjukkan respons terhadap obat bronkodilator dan anti-inflamasi.
Antibiotik harus diberikan hanya jika terdapat tanda pneumonia.
Diagnosis asma dapat ditegakkan jika terdapat:

episode batuk dan atau wheezing berulang

hiperinflasi dada

tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

ekspirasi memanjang dengan suara wheezing yang dapat didengar

respons baik terhadap bronkodilator.

Bila diagnosis tidak pasti, beri satu dosis bronkodilator kerja-cepat. Anak dengan asma
biasanya membaik dengan cepat, terlihat penurunan frekuensi pernapasan dan tarikan
dinding dada dan berkurangnya distres pernapasan. Pada serangan berat, anak

mungkin memerlukan beberapa dosis inhalasi.

2. TB PARU

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada


pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
pada biopsi jaringan. Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak disebabkan
oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan
spesimen sputum.

39
Pertimbangkan Tuberkulosis pada anak jika:

Anamnesis:

Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal

tumbuh.

Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.

Batuk kronik 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.

Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.

Pemeriksaan fisis:

Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal.

Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang.

Uji tuberkulin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bisa negatif pada

anak dengan TB milier atau yang juga menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau baru

menderita campak.

Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat menurut

panjang/tinggi badan.

Untuk memudahkan penegakan diagnosis TB anak, IDAI merekomendasikan

diagnosis TB anak dengan menggunakan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap

gejala atau tanda klinis yang dijumpai, seperti terlihat pada tabel 3. Setelah

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan


pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor 6 (sama atau lebih
dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat pengobatan dengan obat
anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke
arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,

40
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang
dan sendi, funduskopi, CT-Scan dan lain-lainnya (yang mungkin tidak dapat

dilakukan di rumah sakit ini).

Tabel 3. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak

3. BRONKHIOLITIS

Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus, yang

biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai
dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Penyebab paling sering adalah
Respiratory syncytial virus. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi dan biasa terjadi pada
keadaan tertentu. Penatalaksanaan bronkiolitis, yang disertai dengan napas cepat atau
tanda lain distres pernapasan, sama dengan pneumonia. Episode wheezing bisa terjadi

beberapa bulan setelah serangan bronkiolitis, namun akhirnya akan berhenti.

Diagnosis dapat diteggak bila wheezing, yang tidak membaik dengan tiga dosis
bronkodilator kerjacepat ekspirasi memanjang/expiratory effort, hiperinflasi dinding
dada dengan hipersonor pada perkusi, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,

crackles atau ronki pada auskultasi dada. sulit makan, menyusu atau minum.

4. PERTUSIS

Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi.

41
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan
keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa.
Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis.
Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu

sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.

Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna, adalah batuk
paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi sering disertai muntah, perdarahan
subkonjungtiva, anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertussis, bayi
muda mungkin tidak disertai whoop akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya
napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk, periksa anak untuk tanda
pneumonia dan tanyakan tentang kejang.

2.11 TATALAKSANA

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2


7, 13
macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus:

Penatalaksaan Umum

a) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit: sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada

analisis gas darah 60 torr.

b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan Khusus

a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal.

b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau

42
penderita kelainan jantung

c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.


Pneumonia ringan: amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka

resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi:

1. Kuman yang dicurigai atas dasar data klinis, etiologis dan epidemiologis

2. Berat ringan penyakit

3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan


berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan
12
antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.

1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan):

a. ampicillin + aminoglikosid

b. amoksisillin - asam klavulanat

c. amoksisillin + aminoglikosid

d. sefalosporin generasi ke-3

2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)


a. beta laktam amoksisillin

b. amoksisillin - asam klavulanat

43
c. golongan sefalosporin

d. kotrimoksazol

e. makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)

a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus
dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari
ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam: ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman
penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit
seperti empiema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

Tabel 3. Terapi Antibiotik Berdasarkan Etiologi (sumber: IDSA Guideline of


Pneumonia, 2011)

44
2.12 KOMPLIKASI

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema toraks, perikarditis, purulent,


pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema
toraks merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri 5.

2.13 PROGNOSIS

Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-
anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan4.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor
infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendir

3. Hidrochepalus
3.1. Definisi
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan
cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan sebagai
suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan serebrospinal
sehingga terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini
juga dapat diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.15
Hidrosefalus merupakan gangguan yang terjadi akibat kelebihan cairan serebrospinal
pada sistem saraf pusat. Kasus ini merupakan salah satu masalah yang sering ditemui
di bidang bedah saraf, yaitu sekitar 40% hingga 50%. Penyebab hidrosefalus pada
anak secara umum dapat dibagi menjadi dua, prenatal dan postnatal. Baik saat prenatal
maupun postnatal, secara teoritis patofisiologi hidrosefalus terjadi karena tiga hal
yaitu produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi liquor yang berlebihan,
dan peningkatan tekanan sinus venosa.15

45
3.2. EPIDEMIOLOGI
Kasus ini merupakan salah satu masalah dalam bedah saraf yang paling sering
ditemui. Data menyebutkan bahwa hidrosefalus kongenital terjadi pada 3 dari 1000
kelahiran di Amerika Serikat dan ditemukan lebih banyak di negara berkembang
seperti Brazil yaitu sebanyak 3,16 dari 1000 kelahiran. Sedangkan di Indonesia
ditemukan sebanyak 40% hingga 50% dari kunjungan berobat atau tindakan operasi
bedah saraf.15

3.3. Etiologi

Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penyebab prenatal dan postnatal. Penyebab prenatal Sebagian besar anak dengan
hidrosefalus telah mengalami hal ini sejak lahir atau segera setelah lahir. Beberapa
penyebabnya terutama adalah stenosis akuaduktus sylvii, malfromasi Dandy
Walker, Holopresencephaly, Myelomeningokel, dan Malformasi Arnold Chiari.
Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang terjadi. Penyebab lain
dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan faktor genetik. Stenosis
Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi baru lahir. Insidensinya
berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Insidennya 0,5-1% kasus/1000
kelahiran. Malformasi Dandy Walker terjadi pada 2-4% bayi yang baru lahir dengan
hidrosefalus. Malformasi ini mengakibatkan hubungan antara ruang subarakhnoid
dan dilatasi ventrikel 4 menjadi tidak adekuat, sehingga terjadilah hidrosefalus.
Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah Malformasi Arnold Chiari (tipe II),
kondisi ini menyebabkan herniasi vermis serebelum, batang otak, dan ventrikel 4
disertai dengan anomali inrtakranial lainnya. Hampir dijumpai di semua kasus
myelomeningokel meskipun tidak semuanya berkembang menjadi hidrosefalus
(80% kasus). Penyebab postnatal Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus
hidrosefalus, kista arakhnoid dan kista neuroepitelial merupakan kedua terbanyak
yang mengganggu aliran likuor. Perdarahan, meningitis, dan gangguan aliran vena
juga merupakan penyabab yang cukup sering terjadi. 15

3.4. klasifikasi

Hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam beberapa sebutan diagnosis.


Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, sedangkan

46
hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di
atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di mana ada
hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan spinal,
sedangkan hidrosefalus nonkomunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat
blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid.
Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran
likuor mengalami obstruksi. Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat
berdasarkan waktu onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan
kronis (berbulan-bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan
gejalanya yaitu hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik. 15

Hidrosefalus obstruktif Hidrosefalus komunikans

Kongenital Kongenital

Stenosis akuaduktus Malformasi ArnoldChiari (tipe II,


jarang pada type I)
Kista Dandy Walker
Ensefalokel
Benign intracranial cysts (seperti kista
arachnoid) Deformitas basis kranii

Malformasi vaskular (seperti Didapat


aneurisma vena Galen)
Infeksi (intrauterin misalnya CMV,
Didapat Tumor (seperti ventrikel 3, toxoplasma, postbacterial meningitis)
regio pineal, fossa posterior)
Perdarahan (IVH pada infan, sub-
Lessi massa lainnya (seperti giant arachnoid haemorrhage)
aneurysms, abses)
Hipertensi vena (seperti trombosis
Ventricular scarring sinus venosa, arteriovenous shunts)

Meningeal carcinomatosis

47
Sekresi berlebihan CSF (papiloma
pleksus koroidalis)

3.5. PATOFISIOLOGI

Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem


ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan kanalis
spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:

1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling


jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya
tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi
akibat dari hipervitaminosis vitamin A.

2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus


hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya
sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili
arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini,
yaitu:

a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya


stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.

b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran


likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan
hematom.

c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,


termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.

48
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom
vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan
serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau
pseudotumor serebri.

3.6. Diagnosis 15

Diagnosis dapat ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis.


Makrokrania merupakan salah satu tanda dimana ukuran kepala lebih besar dari
dua deviasi standar di atas ukuran normal atau persentil 98 dari kelompok
usianya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial dan
menyebabkan empat gejala hipertensi intrakranial yaitu fontanel anterior yang
sangat tegang (37%), sutura tampak atau teraba melebar, kulit kepala licin, dan
sunset phenomenon dimana kedua bola mata berdiaviasi ke atas dan kelopak
mata atas tertarik.

Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar
daripada bayi, gejala ini mencakup nyeri kepala, muntah, gangguan
okulomotor, dan gejala gangguan batang otak (bradikardia, aritmia respirasi).
Gejala lainnya yaitu spastisitas pada eksremitas inferior yang berlanjut menjadi
gangguan berjalan dan gangguan endokrin.

Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG dapat mendeteksi


hidrosefalus pada periode prenatal, dapat pula digunakan untuk mengukur dan
memonitor ukuran ventrikel, terutama digunakan pada anak prematur. CT Scan
dapat digunakan untuk mengukur dilatasi ventrikel secara kasar dan
menentukan sumber obstruksi. CT Scan dapat menilai baik secara fungsional
maupun anatomikal namun tidak lebih baik daripada MRI, namun karena
pemeriksaannya cukup lama maka pada bayi perlu dilakukan pembiusan

3.7. PENATALAKSANAAN 15

Terapi sementara Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk


mengurangi cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari;
furosemid 0,1 mg/kg BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau
tidak dalam jangka waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan

49
metabolik. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan bayi
dan anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular posthemoragik pada
anak.

Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi dapat


dilakukan pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal dengan
drainase likuor eksternal. Namun operasi shunt yang dilakukan pasca drainase
ventrikel eksternal memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya infeksi.15 Cara
lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan pungsi ventrikel yang dapat
dilakukan berulang kali.

Operasi shunting Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk


membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan
kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi
operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan
fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak
setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan
menyebabkan kematian.

Endoscopic third ventriculostomy Metode Endoscopic third


ventriculostomy (ETV) semakin sering digunakan di masa sekarang dan
merupakan terapi pilihan bagi hidrosefalus obstruktif serta diindikasikan untuk
kasus seperti stenosis akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior, infark serebral,
malformasi Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa malformasi
Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel, ensefalokel,
tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada kasus
block shunt atau slit ventricle syndrome. Kesuksesan ETV menurun pada
kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi. Perencanaan operasi
yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat, serta keterampilan dokter bedah
dan perawatan pasca operasi yang baik dapat meningkatkan kesuksesan
tindakan ini.

3.8. PROGNOSIS15

Prognosis Pada pasien hidrosefalus, kematian dapat terjadi akibat herniasi


tonsilar yang dapat menyebabkan penekanan pada batang otak dan terjadinya

50
henti nafas. Sedangkan ketergantungan pada shunt sebesar 75% dari kasus
hidrosefalus yang diterapi dan 50% pada anak dengan hidrosefalus komunikans.

Pada anak dengan hidrosefalus obstruktif yang memiliki korteks serebral


intak, perkembangan yang adekuat dapat dicapai hanya dengan ETV, meskipun
pencapaian tersebut lebih lambat. Pada anak dengan perkembangan otak tidak
adekuat atau serebrum telah rusak oleh hidrosefalus maka perkembangan yang
optimal tidak dapat dicapai hanya dengan terapi ETV meskipun tekanan
intrakranial terkontrol.

4. Hemangioma

4.1. Definisi
Hemangioma merupakan tumor yang sering ditemukan yang tersusun atas
pembulh-pembuluh darah, lesi lesi ini mencakup 7 % dari seluruh tumor jinak
pada bayi dan anak-anak, sebagian besar terjadi saat anak lahir, dan mula mula
ukurannya bertambah , namun banyak yang pada akhirnya mengalami regresi
spntan. Walaupun hemangioma merupakan lesi yang lokal dna terbatas pada daerah
kepala dan leher namun tumor ini dapat tumbuh ekstensif (angiomatosis) dan dapat
tumbuh pada tubuh bagian dalam, hampir sepertiga dari lesi internal ini ditemukan
dihati.transformasi maligna jarang terjadi. 16
4.2.ETIOLOGI & PATOGENESIS 17
Etiologi dan patogenesis hemangioma infantil sampai saat ini masih belum jelas
walaupun terdapat beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan proses
terbentuknya hemangioma infantil. Salah satunya menyebutkan bahwa hemangioma
terbentuk berawal dari mutasi somatik sel endotel yang kemudian mengalami ekspansi
klonal dan menjadi hemangioma.3,5 Teori berikutnya menyebutkan hemangioma
infantil terbentuk karena adanya ketidakseimbangan antara faktor angiogenik dengan
faktor antiangiogenik. Sel endotel hemangioma mengekspresikan cluster of
differentiation-31 (CD31), von Willebrand factor, vascular endothelial growth factor
(VEGF), proliferating nuclear antigen, urokinase, dan peran hormon pertumbuhan
endogen dikatakan berperan dalam pertumbuhan hemangioma infantil. Sedangkan
tissue inhibitors of metalloproteinase yang merupakan penghambat angiogenesis
diekspresikan pada masa involusi. Adapula teori lainnya yang menyatakan awal
terbentuknya hemangioma terkait vaskulogenesis postnatal yang berbeda dengan

51
konsep angiogenesis seperti pada teori lainnya. Pembuluh darah baru pada
vaskulogenesis tumbuh dari sel progenitor endotel 5 yang berasal dari sumsum tulang
yang beredar dalam darah. Pada hemangioma infantil terjadi peningkatan mobilisasi
dan recruitment sel progenitor endotel dari sumsum tulang yang diregulasi oleh
mediator seperti stromal cellderived factor 1 (SDF-1) dan vascular endothelial
growth factor-A (VEGF-A). Mediator ini diproduksi secara lokal oleh sel endotel yang
mengalami hipoksia akibat adanya hypoxia inducible factor- 1 (HIF-1) pada jaringan
yang mengalami iskemia. Pengecatan histologis dan imunohistokimia memperlihatkan
aspek biokimia dari siklus hidup hemangioma infantil yang kemudian berdasarkan
pertumbuhannya dibagi kedalam tiga fase, fase proliferation (proliferasi), fase
involution (involusi), fase involuted. Hemangioma infantil pada fase proliferasi terlihat
besar yang terdiri atas sel endotel yang cepat membelah yang tipis dan dikelilingi
pericyte. Peningkatan proses angiogenesis diketahui dari ekspresi antigen nuklear sel
yang berproliferasi, yang dimediasi oleh dua peptida angiogenik yaitu vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Juga
ditemukan enzim yang berperan dalam remodeling matriks ekstraseluler untuk
pemecahan kolagen sehingga tersedia tempat kapiler yang tumbuh. Erythrocyte type
glucose transporter protein-1 (GLUT1) adalah khas terdapat pada jenis hemangioma
infantil yang tidak ditemukan pada tumor vaskuler lain maupun malformasi vaskuler.
Pada fase involusi terjadi regresi yang ditandai dengan menurunnya aktivitas sel endotel
dan pembesaran luminal. Sel endotel berdegenerasi dan terdapat deposisi progresif dari
perivaskuler dan intralobuler, influks sel stromal (sel mast, fibroblast, dan makrofag),
munculnya penghambat jaringan dari metaloproteinase (TIMP)-1, dan penghambat
pembentukan pembuluh darah baru. Sel mast yang berinteraksi dengan 6 makrofag dan
fibroblas ini disebutkan menghasilkan modulator yang menekan turnover/pergantian
endotel. Di akhir siklus hidup hemangioma, yang tersisa adalah pembuluh mirip kapiler
dan vena. Multi laminated basement membrane, penanda ultrastruktural dari fase
proliferasi terdapat disekitar pembuluh yang kecil. Dominsai parenkim selular
digantikan oleh jaringan fibro-fatty longgar diselingi oleh kolagen yang tebal dan serat
retikular.17
4.3.klasifikasi
Secara morfologi hemangioma dapat dikelompokkan menjadi localized, segmental,
intermediate, dan multifocal. Tipe localized ditujukan pada jenis hemangioma yang
tumbuh dari satu titik atau terlokalisir pada suatu area tanpa perkembangan konfigurasi
52
linier yang jelas. Hemangioma segmental merupakan hemangioma yang berkelompok
membentuk suatu konfigurasi. Sedangkan tipe intermediate adalah hemangioma yang
tidak dapat dikelompokkan pada jenis localized maupun segmental, dan disebut
hemangioma multifocal jika terdapat >10 hemangioma kutis. Hemangioma bisa hanya
mengenai bagian superfisial (capillary) pada 50-60% kasus, dalam (cavernosus) pada
15% kasus, atau campuran (capillarycavernosus) pada 25-35% kasus. Hemangioma
jenis capillary umumnya muncul pada kulit dan jarang pada organ viseral. Bentuknya
bervariasi mulai dari yang lunak, nodul merah-terang hingga ungu atau berbentuk plak
yang sudah kelihatan sejak lahir, atau segera setelah lahir, tumbuh dengan cepat, dan
terjadi involusi spontan biasanya pada usia 5 tahun. Hemangioma dalam (cavernosus)
muncul dalam berbagai bentuk, bisa keras, lentur dan bisa muncul sebagai suatu massa
subkutan berwarna biru atau keunguan tanpa ada bagian yang menonjol ke permukaaan.
Hemangioma campuran muncul sebagai tumor kulit berwarna merah, dengan dasar
biru, dan massa subkutan yang berwarna kemerahan (25-35%).
Beberapa ahli lain membagi hemangioma menjadi 5 tipe:
Tipe 1 : Neonatal staining
Tipe 2 : Intradermal capillary hemangiomas
A. Salmon patch
B. Port wine stain
C. Spider angiomas Tipe
3 : Juvenile hemangiomas
A. Strawberry mark
B. Stawberry capillary hemangioma
C. Capillary cavernous hemangioma
Tipe 4 : Arteriovenous fistulae A. Arterial hemangiomas B. Hemangiomas giantism
Tipe 5 : Cirsoid angioma (racemose aneurysm)

4.4.Manifestasi klinis16

Hemangioma dapat muncul di bagian tubuh mana saja. Biasanya hemangioma di kulit
tampak pada neonatus usia 2 minggu, berupa bercak macula atau telangiektasi berwarna
kemerahan. Sedangkan yang terletak agak didalam seperti subkutan atau visceral baru
muncul pada usia 2 hingga 3 bulan. Sebanayk 60% muncul di daerah kraniofasial, badan
25 % dan ekstremitas 15%. Delapan puluh persen hemangioma kulit jumlahnya tunggal

53
, 20 % dapat multiple . hemangioma multiple dapat ditemukan dibagian organ dalam
tubuh termasuk hati.

Hemangioma dapat berhubungan dengan kondisi lain yang mendasarinya, seperti


hemangioma lumbosacral, lipmeningocele, dan diastematomielia. Hemangioma wajah
mungkin berhubungan dengan kelainan fossa posterior, malformasi arteri besar, dan
kelainan okuler, yaitu sindrom PHACES (posterior fossa brain malformations,
hemangioma of the face, Arterial cerebrovascular anomalies, cardiovascular anomalies,
eye anomalies and sternal defects of supraumbillical raphe).

Fase proliferasi

Hemangioma yang muncul dipermukaan kulit yang menyebabkan kulit akan tampak
meninggi, menebal, berbatas tegas, konsistensi lunak, dan berwarna kemerahan.
Apabila hemangioma muncul di bagian subdermis dan subkutis akan terlihat sedikit
peninggian kulit dan berwarna agak kebiruan. Hemangioma pada fase ini tumbuh cepat
pada 6-8 bulan pertama.

Fase involusi

Gambaran klinis berinvolusi yaitu warna merah, hemangioma mulai memudar


keunguan, kulit secara bertahap memucat dan tegangan permukaan tumor terasa
berkurang. Fase involusi berlanjut sampai anak berusia lebih dari 5 tahun. Sebagian
besar bekas-bekas warna hilang pada usia 5-7 tahun.

Fase involusi akhir

Involusi lesi fase akhir tampak 50% pada usia 5 tahun dan 70% pada usia 7 tahun.
Gambaran klinisnya bisa bermacam-macam antara lain mendekati kulit normal(50%),
agak kepucatan, kekuningan, kriput, sisa fibrosis jaringan lemak, dan ada juga yang
meninggalkan bekas bila sebelumnya mengalami perlukaan dan ulcerasi.

54
Gambar 1 fase hemangioma : saat usia 11 bulan saat puncak proliferasi B. usia 2 tahun fase
involusi sedang berjalann dengan apoptosis C. usia 4 tahun, fasse involusi berlanjut

Gambar 2. Hemangioma dapat tumuh di bagian tubuh manapun, contoh pada gambar C sindrom
PHACES

4.5. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS DIFERENSIAL17


Penegakan diagnosis hemangioma dilakukan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Umumnya dengan kedua langkah tersebut yang disesuaikan dengan gejala klinis
hemangioma pada masing-masing fase sudah dapat menentukan atau mencurigai adanya
hemangioma. Namun pemeriksaan lanjutan yaitu dengan MRI merupakan gold standard
penegakan diagnosis hemangioma. Pemeriksaan menyeluruh dari kombinasi

55
pemeriksaan diatas akan dapat menyingkirkan diagnosis diferensial yang ada.
Pemeriksaan radiologis disarankan pada hemangioma dengan lesi subkutan dalam,
intramuskuler, atau visceral yang terlihat membingungkan. Ultrasonografi pada
hemangioma fase proliferasi memperlihatkan pola shunting yang jelas, terdiri dari
penurunan resistensi arteri dan peningkatan aliran vena. MRI dengan kontras merupakan
gold standard, namun memerlukan sedasi atau general anesthesia jika 8 pasien berusia
kurang dari 6 tahun. Biopsi dari lesi vaskuler diperlukan jika kita mencurigai adanya
keganasan (malignancy). Salah satu diagnosis diferensial hemangioma infantil yaitu
malformasi vaskular yang dapat dibedakan dengan melihat karakteristik hemangioma
infantil pertumbuhan cepat dalam beberapa bulan yang diikuti involusi atau bahkan
regresi yang tidak terjadi pada malformasi vaskular. Hemangioma sangat jarang
menyebabkan distorsi atau hipertropi tulang, hal sebaliknya ditemukan pada malformasi
vaskular.Hemangioma dalam (subkutan), khususnya di leher atau di badan, dapat
disalahtafsirkan sebagai malformasi limpatik. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan
bantuan Ultrasonografi dan MRI. Hemangioma infantil juga dapat mirip dengan
malformasi kapiler (port-wine stain), khususnya pada ekstremitas, dengan sifat
neoplastiknya digantikan oleh telangiektasis yang jelas, pembengkakan minimal, dan
vena drainase yang jelas. Keganasan merupakan diagnosis diferensial hemangioma yang
dapat disingkirkan berdasarkan perangai hemangioma pada tingkat selular, yang terdiri
dari sel endotel berdiferensiasi baik dan dewasa tanpa adanya dysplasia sel. Pyogenic
granuloma juga dapat menunjukkan penampakan klinis yang mirip dengan hemangioma.
Tumor ini biasanya muncul di sentral wajah, kecil (diameter rata-rata 6,5 mm), dan jarang
terjadi sebelum usia 6 bulan (rata-rata 6,7 tahun). Biasanya tidak ada riwayat terdapatnya
kelainan dermatologis (walaupun lesi ini dapat terjadi di area malformasi kapiler).
Pyogenic granuloma tumbuh dengan cepat, mengerupsi kulit dan membentuk cerobong
atau pedikel. Biasanya juga terdapat penghancuran epidermis dan kerak, pendarahan
berulang biasanya menginisiasi datang ke dokter atau IRD. Tumor infantil lain yang
termasuk diagnosis diferensial hemangioma adalah kaposiform hemangioendothelioma,
tufted angioma ("angioblastoma of Nakagawa"), 9 myofibromatosis ("infantile
hemangiopericytoma"), dan fibrosarcoma, namun masih sangat jarang ditemukan. Jika
terdapat hemangioma kutaneus multipel (kira-kira lebih dari 5 lesi), anak bersangkutan
harus dicurigai memiliki hemangioma viseralis, khususnya hemangioma intrahepatik.
Gejala klinis yang dapat ditemukan yaitu triad gagal jantung kongestif, hepatomegali,
dan anemia. lesi kutaneus multifokal yang terjadi biasanya kecil (diameternya <3-5 mm),
56
berwarna merah gelap berbentuk kubah. Level Thyroid-stimulating hormone (TSH)
harus dimonitor pada bayi dengan hemangioma besar, karena dapat terjadi hipotiroidisme
berat karena produksi iodothyronine deiodinase tipe 3 oleh tumor. Terdapat kasus yang
aneh dan sangat jarang terjadi dimana hemangioma fasial terjadi bersama dengan
anomali malformatif yang dinamakan sindroma PHACES (P = Dandy-Walker atau
Malformasi kistik di bagian posterior fossa kranial; H = Hemangioma fasial yang besar,
kadang seperti plaque; C = Defek kardiak; E = Anomali mata; S = Sternal cleft)

4.6.TATALAKSANA HEMANGIOMA INFANTIL 17


Salah satu algoritma terapi terhadap hemangioma dapat dilihat pada bagan berikut :

Observasi
Kebanyakan hemangioma infantil tidak memerlukan konsultasi ke dokter spesialis.
Tumor kecil yang tidak berbahaya ini dapat dibiarkan untuk berproliferasi dan 10

57
berinvolusi dengan pengawasan ketat dari dokter karena dapat meninggalkan cacat pada
kulit meskipun ada yang hasilnya normal. Bayi dengan hemangioma biasanya dirujuk
karena merupakan indikasi untuk dilakukan terapi. Namun jika tindakan khusus tidak
diperlukan, tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan.
Follow up terjadwal sangat penting untuk dilakukan. Orangtua membutuhkan jaminan
mengenai sifat jinak tumor dan antisipasi hasil setelah involusi spontan atau intervensi.
Frekuensi pemeriksaan ditambah jika hemangioma besar, mengalami ulserasi, multipel,
atau terdapat di lokasi penting pada tubuh.
Penyekat Beta
Lebreze pertama kali melaporkan efek kebetulan dari propranolol pada anak dengan
hemangioma infantil. Setelah itu banyak penelitian yang ingin membuktikan manfaat
penyekat beta (propranolol) dalam tatalaksana hemangioma infantil.18-23 Awalnya,
mekanisme penyekat beta dalam hemangioma dianggap sebagai agen vasokonstriksi,
namun penelitian terbaru menemukan penurunan ekspresi gen VEGF dan FGF melalui
penghambatan dari jalur RAF-mitogen-activated protein kinase dan memicu apoptosis
sel endotel. Dosis propranolol yang diberikan antara 2-3 mg/kg/hari, atau Acebutolol 10
mg/kg/hari. Penggunaan penyekat beta dalam hemangioma masih banyak diteliti dan
dikatakan akan menjadi terapi pilihan lini pertama karena efek sampingnya yang
minimal.
Kortikosteroid
Hemangioma kutaneus yang terlokalisasi dengan baik (<2,5 cm diameternya) diberikan
kortikosteroid intralesi. Triamcinolone (25 mg/mL) diinjeksikan perlahan dengan
tekanan rendah (3 mL syringe, 30 gauge needle), diberikan tidak lebih dari 3-5 mg/kg
tiap prosedur. Biasanya 3-5 injeksi diperlukan, diberikan dalam interval 6-8 minggu.
Respon yang terjadi hampir mirip dengan pemberian kortikosteroid sistemik. Terdapat
pengecualian pada kasus hemangioma eyelid/kelopak mata karena injeksi kortikosteroid
pada area ini dapat menyebabkan oklusi embolik pada arteri retina.
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan untuk hemangioma yang besar, berbahaya, atau
mengancam nyawa. Prednisolone oral 2-3 mg/kg/hari diberikan secara dosis tunggal di
pagi hari selama 4-6 minggu, lalu dosisnya dikurangi secara perlahan selama beberapa
bulan dan dihentikan pada usia 10-11 bulan. Karena kortikosteroid menyebabkan iritasi
gaster jadi diberikan pula H2 reseptor inhibitor. Hemangioma yang sensitif akan
menunjukkan respon sekitar beberapa hari sampai 1 minggu. Dengan terapi
kortikosteroid oral, parenteral, maupun intralesi, tingkat responnya kira-kira 85%, baik
58
regresi yang lebih cepat maupun pertumbuhannya yang stabil. Pemberian kortikosteroid
harus dihentikan jika tidak terjadi perubahan seperti warnanya lebih terang, menjadi
halus, atau pertumbuhannya hilang/tidak berlanjut. Tumor dapat tumbuh kembali jika
pengurangan dosis kortikosteroid terlalu tajam/cepat. Pemberian vaksin ditahan selama
terapi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian kortikosteroid adalah miopati,
kardiomiopati, premature thelarche, dan hirsutism.
Mekanisme bagaimana kortikosteroid dalam mengobati hemangioma belum sepenuhnya
jelas. Namun terdapat bukti yang mengarahkan kita kepada mekanisme yang
mendasarinya, yaitu meningkatkan sensitifitas hemangioma untuk secara fisiologis 12
mengalami vasokontriksi (interaksi dengan agen vasokontriksi), memblok reseptor
estradiol-17b pada hemangioma, dan berfungsi sebagai angiogenic-inhibitor jika terdapat
heparin.
Interferon -2a
Interferon (IFN) -2a atau 2b merupakan terapi lini kedua untuk hemangioma yang
berbahaya atau mengancam nyawa.27 Indikasinya adalah jika gagal/tidak ada respon
terhadap terapi kortikosteroid atau penyekat beta, kontraindikasi pemberian
kortikosteroid yang lama, terjadi komplikasi kortikosteroid, atau penolakan orangtua
terhadap terapi kortikosteroid.
Kortikosteroid dan interferon sedapat mungkin tidak diberikan bersama, pengurangan
dosis kortikosteroid harus dipercepat jika dipilih terapi dengan interferon. Dosis terapi
interferon adalah 2-3 mU/m2 , diinjeksi subkutan tiap hari. Dosis interferon ini dititrasi
seiring bertambahnya berat bayi, jika tidak dapat terjadi pertumbuhan tumor kembali.
Tingkat respon terhadap terapi ini >80%, dan biasanya diberikan dalam 6-10 bulan.

Bayi yang diberikan interferon biasanya akan mengalami demam pada 1-2 minggu awal.
Pemberian acetaminophen 1 atau 2 jam sebelum injeksi memperkecil respon febril.
Pemberian interferon dapat mengakibatkan toksikosis reversibel, sampai 5x menginduksi
transaminase liver, neutropeni transien, dan anemia. Neutropeni terjadi karena
margination bukan karena supresi sumsum tulang, dan membaik seiring terapi. Efek
samping yang mengkhawatirkan adalah spastic diplegia, yang biasanya mengharuskan
untuk penghentian terapi. Anak yang mendapat terapi interferon membutuhkan
pemeriksaan neurologis dan tumbuh kembang secara periodik.

59
Kemoterapi
Vincristine merupakan terapi lini kedua lain pada hemangioma yang tidak merespon
terapi kortikosteroid, atau kontraindikasi lain pemberian kortikosteroid. Terapi ini juga
efektif untuk kaposiform endothelioma (dengan trombositopenia) dan untuk
hemangioendothelioma lain.3,8,9 Dosis yang diberikan adalah 0,05 mg/kg intravena
untuk bayi dengan berat 10 kg.9 Vinca alkaloid harus diberikan melalui central
intravenous line. Tingkat responnya >80%. Efek samping yang terjadi misalnya
neuropati perifer, konstipasi, minor hair loss, sepsis dan komplikasi lain yang
berhubungan dengan central line.

Terapi laser
Terdapat keyakinan bahwa bedah laser jika digunakan lebih awal pada hemangioma yang
mulai timbul akan menghentikan penyebaran tumor dan mencegah komplikasi.
Flashlamp pulsed-dye laser hanya mempenetrasi 0,75 sampai 1,2 mm ke lapisan dermis.
Laser fotokoagulasi dapat memperterang kulit yang terkena, walaupun tidak ada bukti
bahwa hal ini dapat menghilangkan pembesaran atau mempercpat involusi dari
hemangioma yang letaknya lebih dalam. Pemberian terapi dengan laser yang terlalu
sering/giat dapat menyebabkan ulserasi, hipopigmentasi, dll. Potassium-Titanyl-
Phosphate (KTP) Laser merupakan salah satu terapi laser yang lumayan aman dan efektif
pada terapi hemangioma dengan obstruksi jalan nafas.
Terapi pembedahan
Hemangioma yang tumbuh biasanya diiringi penonjolan dan terdapat kulis ekstra.
Ditentukan tindakan misalnya dengan eksisi sirkular dan purse-string closure sebagai
prosedur primer yang menghasilkan bekas luka minimal. Transverse lenticular excision
dapat dilakukan pada lokasi tertentu seperti kelopak mata, bibir, leher, atau sebagai
babak/tahap final dari eksisi sirkular. Tindakan bedah yang dilakukan disesuaikan
dengan umur penderita dan fase dari hemangioma seperti pada penjelasan berikut:
Infancy (Fase Proliferasi)
Indikasi untuk reseksi dari tumor dengan lokalisasi jelas pada tahun pertama kelahiran
adalah: obstruksi yang biasanya pada tumor yang terdapat di kelopak mata atau subglotis,
deformasi (misalnya tumor periorbital yang menyebabkan ambliopi), pendarahan,
ulserasi (yang tidak berespon terhadap terapi intralesional, topikal, atau sistemik), atau
bekas luka atau rambut rontok yang terprediksi (misalnya pasien akan menjalani general
anesthetic untuk alasan lain).
60
Early childhood (Fase Involusi)
Indikasi untuk pembedahan sebelum masuk sekolah adalah: reseksi yang tidak dapat
dielakkan (misalnya postulcerative scarring), kesamaan panjang/penampakan jika eksisi
ditunda, parut mudah disembunyikan pada cutaneous tension line atau tepi dari unit
estetik wajah, atau perlunya rekonstruksi.
Late childhood (Fase Involuted)
Reseksi hemangioma pada fase ini biasanya dilakukan untuk: kulit yang rusak, kontur
yang abnormal, distorsi atau destruksi struktur anatomis, atau perlunya rekonstruksi/
penghilangan bertahap.

Terapi Lain
OK432 (denatured streptococcal protein) juga dipakai karena memiliki efek
menstimulasi sistem imunologis dan memicu fibrosis.30 Terapi dengan embolisasi dapat
pula menjadi pilihan, namun memiliki tingkat kesuksesan yang kecil karena pembuluh
yang mengalami lesi juga biasanya berukuran kecil.

4.7. PROGNOSIS 17
Prognosis hemangioma infantil ditentukan jumlah, lokasi, kecepatan pertumbuhan
dan tentunya oleh ketepatan diagnosis dan tatalaksana yang sesuai. Hemangioma
multipel, lesi dalam atau viseralis, tumbuh sangat cepat dengan komplikasi, diagnosis
atau terapi yang tidak tidak tepat akan menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Namun
kebanyakan hemangioma infantil akan memberikan prognosis yang baik.

61
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini ditemukan keterangan bahwa pasien datang dibawa orang tuanya dengan
keluhan penurunan kesadaran disertai sesak nafas. Keluhan timbul sejak 1 bulan terakhir
setelah dipasang VP shunt untuk hidrocephalusnya. Pada seluruh tubuh pasien juga terdapat
bercak kemerahan yang sudah ada sejak lahir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum somnolen, respiratory rate 68
kali/menit, denyut nadi 50 kali/menit, suhu 37 C.
Pada kepala dijumpai makrokrania dan terdapat sutura tampak atau teraba melebar,
kulit kepala licin, dan sunset phenomenon dimana kedua bola mata berdiaviasi ke atas dan
kelopak mata atas tertarik.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi abdomen normal datar dan tidak
tampak gambaran asites. Pada auskultasi terdengar suara bising usus normal. Pada pemeriksaan
perkusi terdengar suara timpani diseluruh lapang abdomen, tidak ditemukan shifting dullness.
Pada palpasi tidak teraba masa, tidak terdapat nyeri tekan, dan nyeri lepas dan terdapat
perabaan hepar 5 cm dari arcus costae.
Pada pemeriksaan kulit didapatkan bercak kemerahan yang timbul sejak umur pasien 2
bulan dan berbentuk bercak dan papul jadi berdasarkan tanda tanda tersebut pasien didiagnosa
hemangioma infantil campuran.
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan hasil leukositosis yaitu peningkatan
kadar sel darah putih meningkat 34,4 103/UL dan peningkatan segmen 75,4%, monosit 3,8%
serta penurunan limfosit 18,7%. Hasil analisa gas darah didapatkan penurunan pH 7,250
mmHg, peningkatan pCO2 50,2 mmol/L, penurunan HCO3 22,0 mmol/L, peningkatan TCO2
23,5 mmol/L, penurunan Beb -5,6 mmol/L, penurunan %s O2c 53,3%, peningkatan natrium
152 mmol/L, penurunan Thb 11,8 gr/dL, peningkatan HCT 33/mm3 dan peningkatan IO2 73.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan peningkatan SGOT 124 U/L. dari hasil analisis gas darah
pasien terdapat kesan asidosis respiratorik yang terjadi akibat penyakit paru akut yaitu
bronkopneumonia.
Pada foto rontgen thoraks terdapat kesan Bronkhopneumonia berat, disertai dengan
suspek atelectasis pulmonlis lobus superior dekstra. Tidak ter dapat limphadenophaty perihiler.
Cor tidak tampak membesar. Dari hasil foto thoraks pasien terdapat kesan bronchopneumonia
berat. Pada foto CT-scan terdapat kesan large fluid replacement hemisphere cerebri kiri yang
menyebabkan severe hemiathyophy hemisphere cerebri kanan disertai severe hydrocephalus
kanan, DD/ hydranencephaly, alobar haloprosencephaly.
62
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat, dengan terapi yang bersifat selektif yaitu
pemberian oksigen dan mengatasi penyebab asidosis respiratorik pada pasien yaitu
bronkopneumonia. Indikasi utama pemberian oksigen agar mengurangi hipoksemia yang
terjadi akibat peningkatan kadar CO2.
Bronkopneumonia pada anamnesis pasien menunjukkan gejala Bronkhopneumoniae
berat seperti Batuk dan atau kesulitan bernapas, napas cepat.
Pada pemeriksaan fisik terdapat , kepala terangguk-angguk, pernapasan cuping hidung,
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, dan pada auskultasi terdengar: Crackles (ronki),
Pada foto rontgen thoraks terdapat kesan Bronkhopneumonia berat, disertai dengan
suspek atelectasis pulmonlis lobus superior dekstra. Tidak terdapat limphadenophaty perihiler.
Cor tidak tampak membesar. Dari hasil foto thoraks pasien terdapat kesan bronchopneumonia
berat. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat, dengan pemberian oksigen dan pemberian
antibiotic untuk mengatasi bakteri pneumoniae
Penanganan hidrocephalus pada pasien ini sudah tepat yaitu dilakukan Operasi shunting
untuk membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). karena pada pasien ini sudah terjadi
transisi cairan
Pada pasien ini tidak dilakukan terapi terhadap hemangioma yang diderita pasien
karena indikasi terapi hemangioma pada pasien ini masuk dalam indikasi kosmetik, tetapi
orang tua pasien tidak mempersoalkan hal tersebut.

63
BAB V
KESIMPULAN

Asidosis respiratorik terjadi bila tekanan parsial arteri pada karbon dioksida (Pa CO2)

meningkat di atas kisaran normal (> 44 mmHg) yang menyebabkan pH darah lebih rendah dari

7,35.

Bronchopneumonia (pneumonia lobular) adalah radang supuratif eksudatif akut pada

paru-paru yang ditandai dengan fokus konsolidasi yang dikelilingi oleh parenkim normal.

Penyebab tersering adalah bakteri. Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan

gambaran klinis.

Hidrosefalus merupakan gangguan yang terjadi akibat kelebihan cairan serebrospinal

pada sistem saraf pusat. Diagnosis dapat ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis.

Makrokrania merupakan salah satu tanda. CT Scan dapat. Pada pasien yang berpotensi

mengalami hidrosefalus transisi dapat dilakukan pemasangan drainase likuor eksternal.15

Hemangioma merupakan tumor yang sering ditemukan yang tersusun atas pembulh-

pembuluh darah, lesi lesi ini mencakup 7 % dari seluruh tumor jinak pada bayi dan anak-

anak, sebagian besar terjadi saat anak lahir, dan mula mula ukurannya bertambah , namun

banyak yang pada akhirnya mengalami regresi spontan.

Pada kasus ini ditemukan keterangan bahwa pasien datang dibawa orang tuanya dengan

keluhan penurunan kesadaran disertai sesak nafas. Keluhan timbul sejak 1 bulan terakhir

setelah dipasang VP shunt untuk hidrocephalusnya. Pada seluruh tubuh pasien juga terdapat

bercak kemerahan yang sudah ada sejak lahir. Pada kepala dijumpai makrokrania dan terdapat

sutura tampak atau teraba melebar, kulit kepala licin, dan sunset phenomenon dimana kedua

bola mata berdiaviasi ke atas dan kelopak mata atas tertarik.

64
Hasil analisa gas darah didapatkan penurunan pH 7,250 mmHg, peningkatan pCO2 50,2

mmol/L, penurunan HCO3 22,0 mmol/L. Dari hasil foto thoraks pasien terdapat kesan

bronchopneumonia berat. Pada foto CT-scan terdapat kesan large fluid replacement

hemisphere cerebri kiri yang menyebabkan severe hemiathyophy hemisphere cerebri kanan

disertai severe hydrocephalus kanan, DD/ hydranencephaly, alobar haloprosencephaly.

Kesimpulannya adalah penurunan kesadaran dan sesak nafas yang dirasakan pasien

karena adanya proses asidosis respiratorik diakibatkan oleh bronchopneumoni, dan bentuk

kepala makrokranial, sutura melebar, dan terdapat sunset phenomenon menunjukkan adanya

hydrocephalus dengan post vp shunt sejak 2 bulan yang lalu. Bercak dan papul berwarna

kemerahan pada kulit sejak umur 2 bulan menandakan bahwa pasien menderita hemangioma

infantil campuran.

65
Daftar Pustaka

1. Epstein SK, Singh N. 2001. Respiratory acidosis. https://www.ncbi.nlm.nih.gov.


Respir Care.
2. Lal, Mithilesh K. 2014. Pediatric Respiratory Acidosis. Medscape.
eszhttp://emedicine.medscape.com/article/906545-overview#a6
3. Johnson, Rebecca A. 2015. Respiratory Acidosis: A Quick Reference. Department of
Surgical Sciences, University of Wisconsin-Madison.
4. (Clinical Practice Guidelines on Pneumonia and Respiratory Tract Infections in
Children)
5. (Supriyatno, Bambang. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 8, No. 2, September 2016)
6. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/. Diakses
pada tanggal 8 April 2014
7. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S., et al. 2012. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical
Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
9. pneumonia komuniti. Available at :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensuspneumoniakom/pneumonia%20komun
iti.html )
10. Said M. 2013. Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI
11. Supriyatno, Bambang. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri, Vol.
8, No. 2, September 2016)
12. WHO and Maternal and Child Epidemiology Estimation Group (MCEE) provisional
estimates 2015 https://data.unicef.org/topic/child-health/pneumonia/
13. World Health Organization. 2012. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia
14. Romana. Atlas of Pathology ed.3. Available at
http://www.pathologyatlas.ro/bronchopneumonia-lobular-pneumonia.php (akses : 20
juli 2017)
15. Apriyanto,et all. 2013. Hidrosefalus Pada Anak. JMJ
16. Nasar made, cornain santosa. Hemangioma: buku ajar patologi robbins ed 9: inggris ,
elseiver
17. Suryaguna made s, diagnosis dan tatalaksana hemangioma infantile, 2013, fakultas
kedokteran universitas udayana,

66

Anda mungkin juga menyukai