Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tatalaksana gangguan jantung, operasi kardiovaskular merupakan


salah satu tindakan yang sering dilakukan. Namun, terdapat kemungkinan
komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi. Beberapa komplikasi yang
sering ditemukan pada pasien yang dirawat di ICU selain Acute Kidney Injury
(AKI), tamponade jantung, aritmia, perdarahan berulang, serta gangguan saraf
pusat, adalah systemic inflammatory response syndrome (SIRS), postoperative
cognitive dysfunction (POCD), sindroma vasoplegik, capillary leak syndrome,
acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan stress ulcer.
Pada pasien yang menjalani operasi jantung, terjadi penurunan perfusi
renal yang disebabkan oleh karena mekanisme pembedahan. Hal lain yang
juga menjadi faktor penyebab terjadinya AKI adalah pelepasan agen inflamasi
renal maupun sistemik, serta adanya stress oksidatif yang akan memperparah
terjadinya iskemik jaringan. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya AKI
dapat dinilai dari peningkatan jumlah peningkatan kretainin serum pada pasien
pasca pembedahan.2,4
Selain penurunan perfusi renal, operasi jantung juga dapat
menyebabkan terjadinya peregangan dari kantung pericardium oleh karena
efusi (tamponade jantung) yang dapat menyebabkan penekanan pada dinding
ruang jantung tertentu. Hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan
irama jantung. Gangguan irama yang paling sering terjadi adalah atrial
fibrilasi yang dapat dilihat melalui pemeriksaan EKG.1,7
Pada pasien dengan gangguan faktor pembekuan yang dilakukan
pembedahan, kemungkinan perdarahan berulang belum dapat disingkirkan.
Meskipun perdarahan yang terjadi disebabkan oleh gangguan mikrovaskular,
kejadian perdarahan pada pasien post operasi jantung perlu ditangani dengan
pembedahan ulang.3
Faktor lain yang sering menjadi komplikasi pada operasi jantung
adalah adanya gangguan saraf pusat. Kerusakan dapat terjadi pada otak,

1
medulla spinalis, aupun gangguan pada saraf perifer. Gangguan yang terjadi
dibagi menjadi dua yaitu gangguan neurologis dan gangguan psikologis.6,7,8
Operasi jantung di bawah CPB (cardiopulmonary bypass)
menyebabkan SIRS karena trauma bedah, kontak darah dengan bahan asing,
tekanan abnormal, iskemia, reperfusi, hipotermia, dan kondisi yang tidak
fisiologis.34,35
POCD merupakan sekuel neurologis pasca bedah jantung yang paling
sering terjadi. POCD sendiri membuat pasien merasa kehilangan kemandirian,
kualitas hidup, dan penarikan diri dari masyarakat. Jika timbul hingga 3 bulan
setelah operasi, hal ini terkait dengan konsekuensi jangka panjang dan
implikasi keuangan utama seperti risiko yang lebih tinggi untuk meninggalkan
pekerjaan dan ketergantungan pada pembayaran kesejahteraan sosial, dan juga
meningkatkan angka kematian.36
Sindroma vasoplegik ditandai dengan hipotensi, takikardia, curah
jantung yang normal atau meningkat, dan penurunan tahanan vaskular
sistemik (SST) dan tekanan pengisian yang rendah, dan kurang atau tidak
responsif terhadap peningkatan volume dengan infus cairan. Kondisi ini
adalah komplikasi yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien yang
menjalani operasi jantung pada cardiopulmonary bypass (CPB).38
Capillary Leak Syndrome merupakan komplisai yang paling sering
terjadi pada anak-anak dan bayi pasca operasi jantung, sindrom ini akan
menyebabkan ketidakstabilan sistemik dari tubuh pasien.39
ARDS merupakan salah satu penyebab kegagalan napas post operatif
dengan mortalitas 40% pada populasi umum dan 80% pada pasien dengan
operasi jantung. Peningkatan risiko ARDS berhubungan dengan penggunaan
cardiopulmonary bypass (CBP), transfusi darah, dan ventilasi mekanis. ARDS
merupakan kelainan yang berlangsung progresif dan cepat, dengan manifestasi
dyspnea, takipnea, dan hipoksemia dan berkembang cepat menjadi kegagalan
pernapasan.40,41,42
Stress ulcer merupakan salah satu komplikasi pasca operasi jantung.
Prevalensi yang dilaporkan sebanyak 0,35%-0,9%. Stress ulcer pasca operasi
jantung dapat meningkatkan angka mortalitas hingga 22%. Ulkus

2
duodenal/gaster umumnya 60% ditemui pada pasca operasi jantung dan 40%
pasca operasi vaskular. Perdarahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal
berhubungan dengan gagal jantung dan stroke.43
Oleh karena itu, referat ini disusun untuk meningkatkan pemahaman
mengenai komplikasi pasca operasi kardiovaskular di ICU adalah AKI,
tamponade jantung, aritmia, perdarahan berulang, gangguan saraf pusat,
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), postoperative cognitive
dysfunction (POCD), sindroma vasoplegik, capillary leak syndrome, ARDS
dan stress ulcer.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acute Kidney Injury (AKI)


Risiko AKI sangat sering terjadi pada pasien yang mengalami operasi
kardiovaskular. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian AKI dapat
ditemukan pada hampir 30% pasien yang menjalani operasi. Banyak dari
faktor yang mempengaruhi terjadinya AKI merupakan faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi, seperti usia, hipertensi, dan hiperlipidemia. Faktor lain
yang juga berpengaruh terhadap AKI adalah tindakan anestesi selama
pembedahan, proses pembedahan, dan manajemen ICU pasca pembedahan.
Hal ini sangat penting urtuk diperhatikan oleh dokter sehingga angka kejadian
AKI pasca operasi kardiovaskular dapat ditekan. Karakteristik khusus pada
operasi kardiovaskular adalah beberapa tindakannya seperti Cardiopulmonary
Bypass (CPB), aorta cross-clamping, transfusi produk darah dalam jumlah
yang besar dan, penggunaan vasopresor eksogen dengan dosis yang tinggi
uniknya dapat meningkatkan terjadinya AKI diibandingkan dengan operasi
non-kardiak. Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu perfusi, mencetuskan
terjadinnya iskemia, menigkatkan kerusakan oksidatif, serta meningkatakan
kemungkinan terjadinya inflamasi renal maupun sistemik. Mekanisme ini
akan mempengaruhi terjadinya AKI.2,4

2.1.1 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya AKI yang berhubungan dengan operasi
kardiovaskular diantaranya adalah iskemik renal perioperatif, gangguan
reperfusi, hemolisis dan nefropati pigmen, stress oksidatif, serta
inflamasi. Penurunan transport oksigen, kadar hematokrit yang rendah,
dan pompa aliran selama CBP merupakan faktor risiko disfungsi ginjal.
Perfusi renal merupakan suatu sistem yang kompleks. Selama proses
pembedahan banyak faktor yang mengganggu perfusi renal dan tubulus
pada corticomedullary unction dan medulla lebih sering mengalami

4
kerusakan. CPB menyebabkan aliran darah nonpulsatif dan dapat
mengganggu keseimbangan perfusi medulla dan korteks. Peningkatan
perfusi korteks akan mempresipitasi iskemik pada corticomedullary
karena peningkatan konsumsi oksigen pada medulla. Kanalisasi dan
cross-clamping aorta akan meningkatkan atheroemboli pada ginjal,
iskemia, dan menginduksi terjadinya inflamasi. Faktor lain seperti
aktivasi saraf simpatis, pelepasan katekolamin pada sirkulasi, dan induksi
terhadap sistem rennin-angiotensin-aldosteron dapat memperparah
gangguan oksigenasi renal selama pembedahan.2,4
Peningkatan konsentrasi sitokin inflamasi plasma post
pembedahan berhubungan dengan diagnosis terajdinya AKI dan
peningkatan mortalitas pasien. Mekanisme peningkatan faktor inflamasi
masih belum banyak diketahui, namun aktivasi kontak pada darah di
dalam saluran CPB, gangguan reperfusi dan iskemik, serta kerusakan
oksidatif berkontribusi terhadap terjadinya kerusakan ginjal. Infiltarasi
parenkim dan aktivasi dari sel imun akan meningkatkan terjadinya AKI
dan menyebabkan suatu fibrosis jaringan. Sirkuit CPB terdiri dari pompa,
oksigenator, kateter suction, dan filter yang dapat merusak eritrosit dan
meningkatkan kadar free-plasma hemoglobin yang pada akhirnya dapat
merusak ginjal dengan mengkatalisasi produksi radikal bebas, presipitasi
dengan protein Tamms Horsfall pada sistem pengumpul ginjal, serta
menginduksi vasokonstriksi arteriol dengan mengeliminasi nitrite oxide.
Beberapa penilitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami AKI
pada akhir dari CPB memiliki kadar plasma-free hemoglobin dua kali
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami AKI.2,4

2.1.2 Diagnosis
Diagnosis AKI berdasarkan guideline terbaru menggunakan
kriteria KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes),
dikatakan bahwa AKI adalah keadaan dimana terjadi kenaikan serum
kretainin sebesar 0,3 mg/dL (> 26,5 mmol/l) dibandingan kadar awal
dalam 48 jam sebelum pembedahan, peningkatan 50% serum kreatinin

5
dari kadar awal dalam 7 hari sebelum pembedahan, atau penurunan urine
output dibawah 0,5ml/kgBB/jam dalam 6 jam. Seluruh konsesus terbaru
terhadap kriteria diagnosis AKI, termasuk RIFLE, AKIN, dan KDIGO,
menggunakan perubahan konsentrasi serum kreatinin dan urin output.
Oliguria biasanya terjadi pasca pebedahan jantung dan disertai dengan
peningkatan serum kreatinin pada AKI, akan tetapi hal ini sering menjadi
suatu keadaan yang muncul akibat hipolemia. Selain itu pengukuran
jumlah urin output setiap jam masih belum akurat. Oleh karena itu, AKI
lebih sering didiagnosis dengan menggunakan pengukuran terhadap
serum kreatinin. Jumlah akhir dari serum kreatinin lebih valid
dibandingkan dengan jumlah akhir dari urin output.Akan tetapi, jumlah
jam atau hari dalam mendiagnosis AKI masih kurang sensitive terhadap
kerusakan ginjal yang ringan, sebab ginjal dapat mempertahankan filtrasi
glomerulus meskipun nefron sudah mulai mengalami kerusakan.
Sehingga, perubahan minimal dari konsentrasi serum kreatinin dapat
diartikan sebagai proses inflamasi sistemik nonspesifik yang mengarah
kepada AKI.2,8
Beberapa penelitian menemukan bahwa beberapa protein
dikeluarkan selama terjadi proses kerusakan ginjal dan beberapa lainnya
difiltrasi oleh glomerulus. Penanda dari kerusakan ginjal (NGAL, KIM 1,
IL-18, NAG, dan GST) dan fungsi (cystatin C) memberikan teori yang
menguntungkan dibandingan peningkatan serum kreatinin. Peningkatan
konsentrasi biomarker di dalam plasma dan urin dalam beberapa jam
selama kerusakan, mungkin lebih spesifik dan sensitive. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Haase dkk, keadaan dimana NGAL-positif
akan tetapi kreatinin-negatif pada AKI dapat memprediksi lamanya
perawatan ICU di rumah sakit. Akan tetapi, kemungkinan pengukuran
marker kerusakan ginjal tersebut masih sangat jarang dilakukan.
Sehingga sebagian besar dokter menggunakan serum kreatinin sebagai
standar diagnosis, prediksi, prognosis dan monitoring dari AKI. 2,8

6
2.1.3 Pencegahan
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
AKI, dimulai dari manajemen dalam pemberian cairan intravena.
Meskipun operasi jantung berhubungan dengan kerusakan mikrovaskular
dan edema jaringan, pemberian koloid tidak lebih baik dibandingkan
dengan pemberian kristaloid. Pada beberapa penelitia, dikatan bahwa
pemberian koloid dapat mempertahankan volume intravaskular
dibandingkan dengan kristaloid serta pemberian albumin maupun
hydroxyethyl starch berhubungan dengan peningkatan angka kejadian
AKI. Akan tetapi, pada penelitian terbaru terhadap pemberian albumin
selama off-pump coronary artery bypass surgery (OpCABP)
emnunjukkan adanya penurunan angka kejadian AKI dibandingkan
dengan pemberian kristaloid. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan
terjadinya hipoalbumin adalah salah satu faktor risiko terjadinya AKI
pada OpCABP. Berdasarkan komposisi dari cairan kristaloid, pemberian
normal saline isotonik berhubunga dengan kejadian AKI, kemungkinan
penyebabnya adalah peningkatan kadar klorida (Cl).2,8
Monitoring teknik terhadap pemberian cairan intravena dan agen
vasoaktif bertujuan untuk mengurangi agka kejadian AKI dan lamanya
perawatan pasca pembedahan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa
optimalisasi dari stroke volume (dicapai dengan monitoring efek
pemberian challenge cairan sebanyak 250 ml pada stroke volume
ventrikel kiri) mengurangi angka kejadian AKI pasca operasi jantung dari
19,9% menjadi 6,5%. Untuk memperbaiki keseimbangan antara suplai
oksigen ke ginjal dan konsumsinya, dokter harus melakukan pengobatan
untuk meningkatkan aliran darah dan menurunkan konsumsi oksigen.
Fenoldopam, salah satu derivate dari benzazepine, adalah agonist selektif
dopamine-1 (DA1) reseptor yang banyak digunakan. Fenoldopam
menyebabkan relaksasi dari otot polos, vasodilatasi dan inhibisi dari
reabsorpi sodium di dalam tubulus ginjal. Pemberian fenoldopam secara
intravena akan meningkatkan perfusi ginjal dan menurunkan resistensi

7
perifer pada pasien dengan hipertensi. Penghentian obat yang berpotensi
merugikan minimal 48 jam sebelum operasi (termasuk ACE-Is, ARBs,
NSAIDs, metformin, diuretik, bila memungkinkan) dan mencapai
normovolemia, studi pengamatan menggunakan calcium channel blocker
seperti nifedipin, diltiazem dan nicardipine menunjukkan efek manfaat
namun penggunaannya tidak pernah memenuhi syarat sebagai standar
yang diterima.2,8

2.1.4 Terapi
Penanganan secara farmakologi maupun non-farmakologi telah
gagal dilakukan untuk mencegah terjadinya AKI pasca operasi
kardiovaskular pada beberapa penelitian, meskipun beberapa kejadian
menunjukkan bahwa pengobatan efektif dilakukan pada pasien-pasien
tertentu. Strategi lain yang kdapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
AKI yang disebabkan oleh tindakan operasi kardiovaskular adalah
manajemen cairan intravena, teknik operasi, serta stabilitas hemodinamik
yang berpengaruh terhadap perkembangan AKI. Apabila pencegahan
gagal dilakukan, diagnosis yang cepat dan tepat harus dilakukan oleh
dokter yang merawat pasien pasca operasi untuk menentukan strategi
yang dapat dilakukan sehingga fungsi ginjal dapat segera diperbaiki.
Pada umumnya, diagnosis AKI dilakukan dengan menilai konsentrasi
serum kreatinin (SCr) dan urin output. Akan tetapi, pemeriksaan urin
output relatif tidak spesifik dan peningkatan konsentrasi serum kreatinin
membutuhkan waktu beberapa hari yang akan memperpanjang waktu
diagnosis AKI, sehingga tindakan selanjutnya akan terhambat. 2,8
Pengukuran beberapa marker kerusakan ginjal mungkin dapat
menjadi solusi dalam mendiagnosis AKI secara cepat dan tepat,
meskipun beberapa biomarker masih membutuhkan validasi dan
penelitian lebih lanjut untuk dijadikan kriteria diagnosis pada AKI.
Pilihan terapi pada AKI difokuskan pada pencegahan dari iskemik,
penurunan inflamasi intrarenal dan terapi suportif. Saat ini, usaha untuk

8
menurunkan angka kejadian AKI setelah operasi kardiovaskular dan
pengaruhnya terhadap morbiditas pasien difokuskan pada manipulasi
hemodinamik, perhatian terhadap strategi resusitasi intravena,
mengurangi eksposure terhadap CPB, serta mengidentifikasi faktor risiko
yang berhubungan.2,8

2.2 Tamponade Jantung


Pada operasi jantung, kejadian dari tamponade jantung beravariasi
berdasarkan jenis operasi yang dilakukan, berkisar antara 0,2% pada pasien
yang menjalani tindakan coronary artery bypass hingga 4,8% pada pasien
transplantasi jantung. Faktor yang berpengaruh diantaranya adalah pemberian
antikoagulan, gangguan koagulasi, perdarahan mediastinal yang berlebih, serta
proses pengangkatan pacing wire setelah tindakan pembedahan. Tamponade
jantung pasca pembedahan yang muncul lebih lama (> 7 hari setelah
pembedahan) diketahui memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tamponade jantung yang muncul lebih awal. Di Amerika
Serikat, insiden tamponade jantung adalah 2 kasus per 10.000 populasi. 9

2.2.1 Patofisologi
Tamponade jantung adalah kompresi jantung yang mengancam
jiwa, lambat atau cepat karena akumulasi pericardial dari cairan, nanah,
darah, gumpalan atau gas akibat radang, trauma, ruptur jantung atau
diseksi aorta. 10
Pada seluruh jenis tamponade jantung, termasuk tamponade
setelah operasi jantung, kantung perikardium lama-kelamaan akan
meregang sebagai kompensasi dari peningkatan volume. Pada umumnya,
jumlah cairan perikardium tetap berdasarkan siklus jantung. Ketika
kemampuan dari perikardium untuk meregang berlebih karena akumulasi
cairan yang cepat, penambahan jumlah cairan akan menyebabkan
peningkatan tekanan pada kantung perikardium. Pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraperikardium yang melebihi tekanan di dalam
jantung, maka tekanan positif trasmural akan mengkompresi ruang
jantung yang berdekatan. Karena tekanan pada jantung bervariasi

9
berdasarkan siklus jantung, tekanan perikardium akan mempengaruhi
tekanan pada ruang jantung yang berbeda-beda sesuai dngan tahap pada
siklus jantung. Ruang jantung kanan dengan tekanan yang lebih rendah
akan tekena dampak lebih dahulu. 1,10
Tekanan ventrikel yang tinggi saat diastolik, menyebabkan
pengurangan pengisian ventrikel, volume sistolik, dan tekanan sistolik
ventrikel dipengaruhi oleh kontraktilitas dari ventrikel dan tekanan
perikardium. Tekanan akhir diastolik dan MAP yang tinggi menyebabkan
hipertensi vena pulmonal dan sistemik. Meskipun tekanan vena tersebut
dipertahankan pada level yang ideal dengan tingginya tekanan atrium,
aliran darah yang masuk ke dalam ventrikel dapat dipertahankan. Pada
situasi ini, cardiac output dipertahankan secara primer oleh takikardi.
Pada tingkat tamponade sedang, pengisian mungkin terjadi hanya selama
sistolik atrium, khusunya pada saat frekuensi jantung meningkat.1,10
Pada operasi jantung, tamponade regional dapat muncul ketika
bagian tertentu dari jantung tertekan oleh efusi yang terlokalisasi yang
biasanya disertai oleh adhesi pericardium lokal. Abnormalitas
hemodinamik hanya ditemukan pada penekanan terhadap ruang tertentu
atau zona tertentu. Fenomena tersebut muncul lebih cepat dan pada
tekanan yang lebih rendah pada pasien hipovolemik, yang sering terjadi
pasca pembedahan. Tindakan terapeutik yang menginduksi hipovolemia
atau penurunan tekanan pengisian (diuresis, agen vasodilator)
mengakibatkan kerusakan yang parah terhadap cardiac output dan
tekanan darah yang dapat mengancam nyawa.1,10
Mekanisme kompensasi yang terjadi pada situasi tamponade
jantung adalah stimulasi adrenergik (alfa dan beta) yang dapat
disimpulkan sebagai 4 efek mayor yaitu, peningkatan frekuensi jantung
(beta), peningkatan relaksasi pada saat diastolik (beta), peningkatan
resistensi perifer untuk mempertahankan tekanan arteri yang adekuat dan
aliran pada koroner (alfa), dan peningkatan dari inotropik untuk
meningkatkan fraksi ejeksi.1,10

10
Respirasi juga berpengaruh terhadap tekanan intrakardia. Selama
inspirasi, pada pernapasan spontan pasin tanpa tamponade jantung,
tekanan intrathoraks dan intraperikardium akan menurun. Hal ini akan
menyebabkan akumulasi aliran menuju atrium kanan dan ventrikel kanan
serta penurunan aliran vena pulmonalis menuju ke atrium kiri dan
ventrikel kiri. begitupun sebaliknya pada saat ekspirasi. Pada pasien yang
mengalami tamponade jantung dan bernapas spontan, akan terjadi
gangguan pada fenomena tersebut yang menyebabkan suatu pulsus
paradoxus. Pulsus paradous didefinisikan sebagai penurunan tekanan >
10mmHg pada arteri perifer pada saat inspirasi.1,10
Pada pasien dengan tempoade jantung yang menggunakan
ventilasi mekanik akan terjadi suatu gangguan yang lebih jauh. Ventilasi
mekanik akan meningkatkan tekanan di pleura dan transpulmonal
(perbedaan antara tekanan alveolar dan pleural). Selama inspirasi, stroke
volume pada ventrikel kiri akan meningkat karena peningkatan dari
preload, dimana afterload pada ventrikel kiri menurun. Hal ini akan
meningkatkan tekanan pada arteri pada akhir dari inspirasi. Sebaliknya,
stroke volume pada ventrikel kanan menurun saat inspirasi karena
tekanan balik vena dan preload dari ventrikel kanan menurun, sedangkan
afterload dari ventrikel kanan akan meningkat. Karena lamanya
pulmonary transit dari darah (mencapai 2 detik), inspirasi akan
menurunkan output dari ventrikel kanan dan menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel kiri dan outputnya, biasanya terjadi pada saat
ekspirasi. Kesimpulannya, pada pasien dengan tamponade jantung,
ventilasi mekanik dan positive end-expiratory pressure (PEEP) dapat
memperburuk keadaan hemodinamik pasien. 1,10

11
2.2.2 Diagnosis
Diagnosis tamponade jantung dapat diketahui dari manifestasi
klinis dan pemeriksaan echocardiography. Tanda klinis pada pasien
dengan tamponade jantung meliputi takikardia, hipotensi, pulsus
paradoxus, tekanan vena jugularis yang meningkat, bunyi jantung yang
teredam, penurunan voltase elektrokardiografi dengan alternans listrik,
dan siluet jantung yang membesar pada rontgen dada dengan efusi yang
terjadi dengan cepat 10,11,12,13
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan tamponade
jantung merupakan tanda dan gejala yang masih kurang spesifik untuk
dikenali seperti dyspneu, orthopneu, suara jantung yang melemah, nyeri
dada, takikardi, hipotensi, bahan syok kardiogenik. Salah satu
manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada pasien adalah gangguan
hemodinamik yang ditandai dengan adanya takikardi dan hipotensi,
penemuan klinis yang mungkin berhubungan dengan multipel diagnosis
pada pasien pascaoperasi kardiovaskular.1,10
Temuan diagnostik utama adalah pulsus paradoxus (didefinisikan
secara konvensional sebagai penurunan tekanan sistolik sistolik 10
mmHg selama pernapasan normal). Pulsus paradoxus disebabkan oleh
terjadinya interdependensi ventrikel yang berlebihan yang terjadi saat

12
tamponade jantung, ketika keseluruhan volume ruang jantung menjadi
konstan dan setiap perubahan volume salah satu sisi jantung
mengakibatkan perubahan yang berlawanan pada sisi lain (yaitu
peningkatan venous return inspirasi dan ruang jantung kanan, dengan
penurunan volume ruang jantung kiri dan penurunan tekanan darah
sistemik). Besarnya anomali klinis dan hemodinamik tergantung pada
tingkat akumulasi dan jumlah kandungan substansi perikardial, distensi
dari perikardium dan tekanan pengisian dan compliance dari ruang
jantung. 13
Beberapa faktor dapat menentukan adanya tamponade jantung,
seperti rata-rata akumulasi cairan, status fungsi ventrikel sebelumnya,
volume darah pasien, serta ada atau tidaknya hipertensi pada pasien.
Adanya peningkatan pulsus paradoksus pada merupakan salah satu kunci
yang menandai adaanya tamponade jantung pada pasien dengan
pernapasan spontan. Meskipun pulsus paradoksus tidak selalu ada pada
pasien pascaoperasi yang menggunakan ventilasi mekanik dan kadang
muncul pada pasien dengan faktor komorbid lain yang tidak mengalami
tamponade jantung.1,10
Pada pasien dengan kecurigaan klinis tamponade jantung,
beberapa alat diagnostik diperlukan. EKG mungkin menunjukkan tanda-
tanda perikarditis, terutama dengan voltase QRS rendah dan alternansi
listrik jantung. Kedua tanda EKG umumnya dianggap sebagai ekspresi
efek redaman cairan perikardial. Echocardiography adalah alat
diagnostik yang paling berguna untuk mengidentifikasi efusi perikardial
dan memperkirakan ukuran, lokasi dan tingkat dampak hemodinamiknya.
Selain itu, ekokardiografi digunakan untuk melakukan perikardiosentesis
supaya lebih aman dan meningkatkan efektivitas tindakan. Tanda
tamponade dapat diidentifikasi dengan ekokardiografi: swinging heart,
kolaps dari early diastol pada ventrikel kanan, kolaps diastolik atrium
kanan, gerakan septum ventrikel abnormal, variabilitas pernapasan yang
berlebihan (25%) pada kecepatan inflow mitral, penurunan inspirasi dan
peningkatan ekspirasi pada aliran balik diastolik di pulmoner, variasi

13
akibat pernafasan pada ukuran ruang ventrikel, kecepatan arus keluar
aorta (echocardiographic pulsus paradoxus) dan plethora vena kava
inferior.14,15
CT dan CMR seringkali kurang tersedia dan umumnya tidak
diperlukan kecuali ekokardiografi Doppler tidak mungkin dilakukan.
Kateterisasi jantung jarang digunakan untuk mendiagnosis tamponade
jantung. Pemeriksaan tersebut dapat menunjukkan penyebab langsung
dari pulsus paradoxus, yaitu kesetimbangan tekanan diastolik rata-rata
dan karakteristik respirasi resiprokal tekanan jantung, yaitu peningkatan
inspirasi di sebelah kanan dan penurunan yang bersamaan di sebelah kiri.
Kecuali pada tamponade tekanan rendah, tekanan diastolik di seluruh
jantung biasanya berkisar antara 15-30 mmHg.14,15

Pada pemeriksaan rontgen thoraks, ukuran jantung yang normal


masih dapat ditemukan sampai terjadi efusi sedang (mencapai > 200 ml),
lama-kelamaan ukuran jantung akan semakin besar membentuk suatu
gambaran water-bottle. Penemuan tersebut ungkin tidak terlihat pada
efusi pericardium yang terlokalisasi.1,10
Tamponade jantung post operasi jantung memiliki gambaran
klinik dan hemodinamik yang bervariasi dikarenakan penumpukan cairan
terlokasi pada bagian ruang jantung tertentu atau hipovolemia. Gambaran
klinis atipikal yang juga muncul pada keadaan ini diantaranya adalah
hipovolemia berat, disfungsi ventrikel kiri, iskemik mayor, atau systemic
inflammatory response syndrome. Oleh karena itu, diagnosis dari
tamponade jantung harus difikirkan ketika terjadi gangguan

14
hemodinamik atau tanda kegagalan atau penurunan output pada pasien
pasca operasi jantung.1,10
Meskipun diagnosis dari tamponade jantung secara dominan
dapat dilihat dari tanda klinis, gejala yang biasanya muncul tidak spesifik
pada pasien pasca operasi jantung dan dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi dalam penentuan tindakan yang akan dilakukan. Jika terdapat
kecurigaan yang mengarah ke tamponade jantung, tindakan
echocardiography baik secara transthoracic maupun transesophageal
harus dilakukan. Echocardiography digunakan untuk melihat jumlah
cairan yang menumpuk pada ruang pericardium, mengukur konsekuensi
hemodinamik yang terjadi karena efusi, bahkan sebagai pertimbangan
pemilihan terapi.1,10

2.2.3 Terapi
Pada awal periode post operasi setelah operasi jantung,
dekompresi pembedahan diindikasikan terhadap pasien dengan
tamponade jantung perdarahan dan bukti adanya clots, yang terajdi pada
mayoritas kasus. Drainase emergensi diindikasikan jika terdaat bukti
adanya tamponade dengan pericardiocentesis atau operasi
pericardiotomy. Pericardiocentesis dengan menggunakan petunjuk USG
merupakan terapi pilihan dan terbukti efektif pada 97% kasus.
Sedangkan sternotomy hanya mencapai 3%. Drainase juga
direkomendasikan pada efusi pericardium yang berhubungan dengan

15
disfungsi ventrikel kiri pada pasien dengan PPV dan adanya lokalisasi
cairan pada sisi kanan ruang jantung. Mengurangi sedikitnya 50 mL
cairan pericardium dapat menunjukkan kemajuan hemodinamik. 1,10
Pengobatan tamponade jantung dengan melibatkan drainase
cairan perikardial, sebaiknya dengan perikardiosentesis jarum, dengan
penggunaan panduan ekokardiografi atau fluoroskopi, dan harus
dilakukan tanpa penundaan pada pasien yang tidak stabil. Sebagai
alternatif, drainase dilakukan dengan pendekatan bedah, terutama pada
beberapa situasi seperti perikarditis purulen atau dalam situasi
mendesak dengan perdarahan ke perikardium.16

2.2.4 Manajemen Anestesi


Manajemen anestesi sebelum dan setelah induksi yang dapat
dilakukan dintaranya adalah:
a. Optimalisasi preload, dilakukan dengan meningkatkan volume
intravaskular untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Hal
ini sangat penting dilakukan terutama pada pasien yang mengalami
penurunan cairan karena kegagalan diastolik. Produk darah harus
tersedia pada kasus tamponade jantung dengan perdarahan.1
b. Optimalisasi inotropik. Pengugunaan obat-obatan inotropik akan
meningkatkan kerja dari katekolamin endogen. Dobutamin
dipertimbangkan sebagai obat pilihan oleh beberapa ahli karena
kemapuan inotropiknya dan penurunan resistensi sistemik.1
c. Mempertahankan afterload. Hipotensi sering terjadi pada pada
periode pasca operasi jantung dan penggunaan vasopresor, seperti
phenylephrine atau norepinephrine, sering dibutuhkan untuk
meningkatkan perfusi dan memperbaiki fungsi ventrikel sampai
terjadi resolusi dari tamponade dan perbaikan dari fungsi jatung.1
d. Mempertahankan sinus rhytm: pada early dan late tamponade.
Pengisian ventrikel bergantung pada kontraksi atrium dan adanya
atrial fibrilasi atau flutter dapat menyebabkan pengaruh negatif

16
terhadap tekanan darah dan cardiac output. Oleh karena itu, obat-
obatan antiaritmia dan defibrillator dibutuhukan.1
e. Ventilator. Ventilasi mekanik memiliki efek yang sangat baik
terhadap tamponade jantung. Mempertahankan ventilator spontan
dibandingkan dengan prosedur lain memiliki toleransi yang lebih
baik dibandingkan dengan mode ventilasi yang lain. Pada saat
pemasangan ventilator, perlu diperhatikan untuk menghindari
tekanan yang tinggi, dan menggunakan tidal volume yang rendah
sampai dilakukan release tamponade, serta menggunakan
respiratory rate yang tinggi dan menghindari PEEP.1

2.3 Aritmia
Aritmia merupakan komplikasi pasca oeprasi kardiovaskular yang
cukup sering terjadi dan berperan sebagai sumber utama yang mempengaruhi
mortalitas dan morbiditas pasien. Atrial takiaritmia merupakan gangguan
irama jantung yang paling sering terjadi, sedangkan ventricular aritmia dan
bradiaritmia jarang terjadi. Pascoperasi atrial fibrilasi (POAF) merupakan
komplikasi yang paling sering dijumpai setelah tindakan bedah jantung.7
Manipulasi bedah, peradangan dan kerusakan reperfiks, serta
penggunaan agen inotropik sering menyebabkan gangguan konduksi listrik.
Gangguan listrik yang paling sering terjadi setelah operasi jantung adalah
fibrilasi atrium, berkisar antara 10 sampai 50% pasien dan fungsi sistolik
ventrikel kiri yang berpotensi memburuk. Mekanisme patofisiologis yang
paling relevan adalah manipulasi fokus listrik pada muara vena pulmonal.29,30
Demikian pula, takiaritmia ventrikel dapat timbul yang mengganggu kontraksi
ventrikel dan mengurangi fraksi ejeksi; Meskipun demikian, kejadian ini
kurang sering dibandingkan aritmia supraventrikular (kurang dari 2% pasien)
dan hasilnya sangat terkait dengan stabilitas hemodinamik dan kondisi pasien
pra operasi. Juga bradyarrhythmias relatif umum terjadi setelah operasi
jantung. Episode ini biasanya terjadi setelah operasi katup, karena cedera
mekanis dan pengembangan edema lokal yang menghalangi konduksi

17
stimulus listrik. Gangguan irama ini biasanya dikontrol dengan menempatkan
alat sementara atau akhirnya permanen. Untuk mencegah komplikasi fatal dan
takiaritmia termodinamika signifikan, kardioversi farmakologis atau elektrik
biasanya dilakukan.31 Penggunaan kortikosteroid profilaksis, yang diberikan
sebelum operasi, telah terbukti mengurangi kejadian fibrilasi atrium,
memperpendek masa tinggal di rumah sakit dan hilangnya darah, tanpa
meningkatkan kejadian infeksi.32,33 Namun, dalam uji coba metilprednisolon
tidak mengurangi angka kematian atau morbiditas utama. 17
Kejadian POAF 30% setelah operasi CABG (coronary artery bypass
grafting), 40% setelah operasi pergantian atau perbaikan katub, dan meningkat
menjadi 50% bila tindakan kombinasi. Kejadian ini diperkirakan akan
meningkat di kemudian hari, oleh karena populasi pasien yang menjalani
prosedur bedah jantung berusia tua dan kejadian AF berkorelasi kuat dengan
umur.18, 19, 20, 21
POAF cenderung muncul dalam 2-4 hari setelah tindakan dan
mencapai puncaknya pada hari ke-2 pascaoperasi. Tujuh puluh persen terjadi
sebelum hari keempat dan 94% sebelum akhir hari ke 6 paskah operasi.18,19
Meskipun biasanya dapat ditoleransi dengan baik, POAF dapat
mengancam jiwa, khususnya bila terjadi pada pasien usia lanjut dan adanya
disfungsi ventrikel kiri. POAF telah dilaporkan sebagai kejadian morbiditas
utama, bersamaan dengan peningkatan resiko tromboemboli dan stroke,
gangguan hemodinamik, disritmia ventrikel, dan komplikasi iatrogenik. Risiko
stroke perioperatif 3 kali lebih sering pada POAF. Almassi dkk, menemukan
bahwa pada 3855 pasien bedah jantung, angka kematian (6% vs 3%) dan
angka kematian dalam 6 bulan (9% vs 4%) pada penderita POAF.18
Dampak POAF pada lamanya rawat inap penderita memanjang 4.9
hari, dengan pengeluaran ekstra U$ 10.000-11.500 di Amerika Serikat.
Menurut American Heart Association (AHA), pada tahun 2004, dari 640.000
pasien bedah jantung, insiden POAF mencapai 30% dan biaya ekstra yang
harus dikeluarkan mencapai U$ 2 juta milyar/tahun.18, 19, 20

18
2.3.1 Patofisiologi
Prediktor utama munculnya POAF adalah pertambahan umur.
Mathwe dkk melaporkan setiap dekade tedapat peningkatan 75%
peluang terjadinya POAF dan penderita umur 70 tahun keatas
merupakan risiko tinggi terjadinya AF. Hal ini oleh karena pada usia
lanjut terjadi proses degenerasi dan inflamasi sehingga terjadi
perubahan anatomi atrium (dilatasi, fibrosis), yang menyebabkan
gangguan elektrofisiologi atrium (pemendekan masa refraktori efektif,
dispersi refraktori dan konduksi, abnormal automatisasi, anisotropik
konduksi). Proses terakhir ini berperan sebagai substrat potensial
terjadinya POAF. Selain faktor umur, banyak faktor yang telah
diidentifikasikan termasuk: riwayat AF sebelumnya, berjenis kelamin
pria, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri,
operasi katup jantung, penyakit paru obstruktif kronis, gagal ginjal
kronik, diabetes mellitus, dan penyakit jantung rematik. Penelitian
terbaru mengatakan, obesitas merupakan prediktor bebas terjadinya
AF onset baru pada populasi umum dan pada penderita yang
menjalani operasi jantung. Obesitas merupakan faktor resiko yang
kuat timbulnya POAF setelah operasi CABG terutama pada usia di
atas 50 tahun, namun pada umur lebih muda belum ada penelitiannya.
Sindroma metabolik merupakan faktor independen metabolik satu-
satunya terjadinya POAF pada usia muda. 18, 19, 20
Banyak faktor perioperatif yang berpengaruh terhadap
terjadinya aritmia pada pasien yang akan dilakukan operasi
kardiovaskular. Faktor risiko dapat dibagi menjadi dua yaitu pasien
dan pembedahan yang akan dilakukan.7
a. Pasien:
-
Usia. Peningkatan usia dikatakan memiliki hubungan yang
berarti dengan kemungkinan terjadinya postoperative
arrhythmias (POAs). Usia berhubungan dengan strukturak
elektrofisiologi.
-
Penyakit jantung. POAs sering terjadi pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung sebelumnya. Pasien yang dilakukan

19
operasi jantung sering mengalami pelebaran pada atrium dan
peningkatan tekanan atrim, perubahan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya atrial tachyarrhythmias.
-
Faktor komorbid ekstrakardiak. Faktor lain dilaporkan juga
dapat mempengaruhi terjadinya aritmia pada pasien yang
dilakukan operasi jantung seperti, obesitas, riwayat stroke, dan
riwayat PPOK.7
b. Faktor pembedahan
-
Trauma dan Inflamasi. Terjadinya traua pada operasi jantung
merupakan suatu predisposisi untuk menjadi atrial dan
ventricular aritmia. Mekanisme inflamasi mencetuskan
terjadinya Postoperative Attrial Fibrilation (POAF) dengan
punack kejadian 2-3 pasca pembedahan. Inflamasi sering
berhubungan dengan tanda klinis perikarditis.
-
Stress hemodinamik. Perubahan pada atrium yang muncul
pada saat pembedahan, seperti pelebaran pada atrium, iskemia,
hipertensi dan trauma akibat kanalisasi, diketahui menajdi
faktor risiko terjadinya atrial aritmia pasca operasi. Perubahan
hemodinamik juga dapat mencetuskan terjadinya focal aritmia.
Peregangan dari atrium, hipertensi, pergeseran tekanan dan
volume, serta tingginya katekolamin dapat mencetuskan
terjadinya Atrial fibrilasi.
-
Iskemic injury. Iskemia dan atau infark pada atrium dan
ventrikel dapat mencetuskan tetrjadinya POAs. Hipoksemia,
hiperkapni, katekolamin endogen dan eksogen, keseimbangan
asam-basa, dan efek samping obat merupakan faktor mekanik
yang dapat menyebabkan myocardial fokal iskemia. Hal ini
dapat mencetuskan terjadinya POA.
-
Obat-obatan perioperatif. Beta adrenergic bloker dan
digoxin sering digunakan sebagai obat-obatan perioperatif.
Penghentian penggunaan beta-bloker berhubungan dengan
peningkatan angka kejadian dari supraventrikular aritmia pasca
operasi. Peningkatan katekolamin juga disebabkan oleh

20
penggunaan beta bloker yang menyebabkan peningkatan
jumlah reseptor beta adrenergik. Penggunaan agen inotropik
dilaporkan dapat menyebabkan peningkatan waktu konduksi
dari SA node dan penurunan waktu konduksi dari AV node.
-
Ganguan elektrolit. Hipokalemia dapat mencetuskan
terjadinya aritmia pasca operasi yang diketahui mengganggu
listrik jantung. Pelapasan katekolamin meningkatkan ambilan
kalium dan menurunkan kadar kalium serum.
-
Kondisi khusus. POAs diketahui sebagai komplikasi dari
operasi jantung bbaik pada gangguan jantung congenital
maupun pada transplantasi jantung. Faktor spesifik yang
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya POAs adalah
adanya defek pada jantung pasca pembedahan. 7
Pasien yang memiliki substrate struktural sebelum operasi
lebih cenderung terjadi re-entri elektrikal atrium dan lebih mudah
terkena gangguan fisiologi yang dijumpai pascaoperasi. Penjelasan
lain adalah struktural substrate ini merupakan hasil dari prosedur
operasi itu sendiri. Sangat mungkin gangguan struktur jantung ini
akibat insisi atrium atau iskemia perioperatif yang meningkatkankan
suseptibilitas gangguan irama.18, 19, 20, 21, 22, 23
Aktifasi neurohormonal telah diketahui dapat meningkatkan
suseptibilitas terjadinya POAF. Peningkatan aktifasi simpatis dan
aktifasi mengganggu refraktori atrium (pemendekan periode refrakter
efektif atrium), kemungkinan dapat memberikan konstribusi
terjadinya substrat aritmia. Hoque dkk telah melaporkan, pasien
POAF dengan variasi RR interval tinggi atau rendah, peningkatan
rangsang simpatis atau tonus vagal muncul sebelum onset aritmia.
Penemuan ini menduga intervensi yang mengatur baik simpatis dan
parasimpatis dapat memberikan keuntungan dalam menekan
terjadinya aritmia pascaoperasi.18, 19
Adanya peningkatan proses inflamasi memainkan peranan
penting dalam patogenesis POAF. Dua penelitian terbaru
menunjukkan inflamasi dapat mengganggu konduksi atrium,

21
memfasilitasi re-entri dan merupakan predisposisi terbentuknya
POAF. Extracorporeal circulation yang ditandai dengan adanya
respon inflamasi sistemik, juga bertanggung jawab terhadap timbulnya
POAF. Juga telah dilaporkan leukositosis, yang biasanya didapati
beberapa hari setelah cardiopulmonary bypass, merupakan prediktor
bebas terjadinya POAF.18, 19, 20
Obesitas berhubungan dengan kebutuhan yang lebih besar atas
curah jantung, masa ventrikel kiri, ukuran atrium kiri. Semua ini juga
merupakan predisposisi timbulnya POAF. 18
Selain hal-hal yang telah disebut tadi, mekanisme lain yang
juga berhubungan dengan terjadinya POAF, antara lain adalah:
kelebihan volume, predisposisi genetik yang diukur dengan adanya
variant gene promotor interleukin-6, gangguan stress oksidatif atrium,
dan peningkatan ekspresi dari gap-junctional protein connexin 40.18

2.3.2 Diagnosis
Takiaritmia dapat menurunkan pengisian diastolik dan cardiac
output serta meningkatkan konsumsi oksigen miokardium yang
menyebabkan hipotensi dan iskemik miokardium. Onset POAF
biasanya simptomatik karena sering berhubungan ventrikular rate
yang tinggi. Pada kebanyakan kasus, diagnosis dari POAF dapat
ditentukan berdasarkan pemeriksaan EKG. Atrial fibrilasi biasanya
ditandai dengan perubahan dengan hilangnya gelombang P pada
gambaran EKG.7

2.3.3 Prognosis
Supraventrikular takiaritmia menyebabkan morbiditas pasac
operasi jantung. Meskipun POAF dapat membaik dengan sendirinya,
gejala, respon hemodinamik, dan risiko terjadinya tromboemboli
dapat terjadi. Efek klinis aritmia bergantung dari ventricular rate,
fungsi ventricular, dan durasi aritmia.7

2.3.4 Terapi
Terapi pada supraventrikular aritmia pasca operasi jantung
terdiri dari manajemen komperhensif:

22
a. Antitrombotik. Pasien dengan atrial fibrilasi (durasi > 48 jam)
memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya tromboemboli.
Meskipun begitu, penggunaan antikoagulan baik jangka panjang
maupun jangka pendek belum terlalu jelas. Terlebih, risiko
terjadinya perdarahan lebih tinggi pada pasien yang diberikan
antikoagulan. Meskipun begitu pada pasien yang diberikan
antikoagulan, harus dilakukan monitoring yang ketat. Berdasarkan
guideline ACCP 2008 mengenai terapi antritrombotik pada atrial
fibrilasi, disarankan untuk memberikan oral antikoagulan pada
pasien POAF jika risiko perdarahan > 48 jam terakhir dapat
diterima. Target INR yang direkomendasikan adalah 2,5 (2,0-3,0).
Berdasarkan ACC/AHA 2004, guideline pemberian antikoagulan
oral harus diteruskan sampai 4 minggu, terutama pada psien yang
memiliki risiko terjadinya tromboemboli.
b. Antiaritmia. Pada pasien dengan POAF, terapi yang dipilih
termasuk sebagai rate ontrol dan electrical atau farmakologi
cardioversion. Cardioversion yang diindikasikan pada pasien yang
menimbulkan gejala.
c. Electrical cardioversion. Merupakan penatalaksanaan segera bila
dijumpai adanya ketidakstabilan hemodinamik, gagal jantung akut,
atau iskemik jantung dan digunakan secara elektif setelah
timbulnya onset AF yang pertama kali dan telah dilakukan terapi
dengan obat-obatan namun tidak berhasil kembali ke irama sinus.
Peletakan paddle di anterior dan posterior lebih baik, dan pasien
diberikan sedasi dengan short-acting anesthetic. Digunakan
gelombang biphasik dengan energi paling rendah. Yang perlu
diperhatikan pada POAF adalah timbulnya tromboemboli terutama
bila muncul lebih dari 48 jam. Untuk kasus nonsurgical, diberikan
antikoagulant 3-4 minggu sebelum kardioversi pada AF yang telah
berlangsung selama 48 jam. Pada kasus post operatif sebaiknya
dilakukan pemeriksaan transoesophageal ekokardiografi untuk
mengetahui adanya trombus sebelum dilakukan kardioversi.

23
Setelah kardioversi akan terjadi atrial stunning, untuk itu
direkomendasikan pemberian antikoagulant 3- 4 minggu setelah AF
kembali ke irama sinus.18, 21, 24

2.3.5 Pencegahan
Terapi profilaksis dapat diberikan pada pasien untuk mencegah
terjadinya POAF, terutama bagi pasien dengan faktor risiko. Terapi
profilaksis yang dipilih adalah Beta-bloker, Sotalol (antiaritia kelas
III), Amiodarone, agen Pleiotropic, serta Pacing.7
Banyak penelitian mengenai pencegahan timbulnya POAF
secara efektif, baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi. Pada
tahun 2006, telah dipublikasikan guidelines pencegahan dan
pengobatan POAF menurut ACC/AHA dan ESC.18, 19, 20, 21, 22, 23, 24
a. Beta blocker. Merupakan obat yang paling banyak diteliti sampai
saat ini. Peningkatan aktivitas simpatis yang meningkat pada
penderita pascaoperasi jantung memungkinkan untuk terjadinya
POAF. Hampir semua penelitian menunjukkan penurunan kejadian
POAF dengan penggunaan penyekat beta. Suatu metaanalisis yang
dilakukan Crystal dkk, menunjukkan pada 28 penelitian dengan
penyekat beta (4074 sampel) menunjukkan penurunan kejadian
POAF (OR 0.35). Para peneliti menganjurkan untuk tidak
menghentikan pemberian penyekat beta sebelum operasi jantung.18,
19, 20, 21, 22, 23, 24

b. Sotalol. Merupakan golongan penghambat beta yang juga


mempunyai efek antiaritmia golongan III. Banyak studi yang telah
mengevaluasi pemberian sotalol sebagai profilaksis dalam
pencegahan POAF. Bahkan dalam penelitian Burgess dkk,
ditemukan bahwa sotolol lebih efektif dari penyekat beta yang lain,
18, 19, 20, 21,
namun efek bradikardi dan hipotensinya juga lebih tinggi.
22, 23, 24

c. Amiodarone. Merupakan antiaritmia golongan III, yang juga


memiliki efek menghambat alpha dan beta adrenergik sehingga
menekan stimulasi yang berlebihan pada sistem simpatis.

24
Pemberian amiodarone sekurangnya 1 minggu pre-operatif secara
signifikan mengurangi kejadian POAF dibandingkan dengan
plasebo (25% vs 53%). Pada penelitian ARCH (Amiodarone
Reduction in Coronary Heart), pemberian amiodarone intravena
pascaoperasi mengurangi kejadian POAF dibandingkan plasebo
(35% vs 47%). 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24
d. Atrial Pacing. Manfaat atrial pacing untuk mencegah POAF
didasarkan pada pacing akan mempengaruhi konduksi intra-arterial
dan arterial refraktori. Ada beberapa mekanisme bagaimana pacing
atrial dapat mencegah POAF:
1. Mereduksi bradikardia-induced dispersion atrial repolarisasi,
yang memberikan konstribusi terbentuknya substrat
elektrofisiologi untuk terjadinya AF
2. Menekan overdrive atrial, sehingga mencegah atrial premature
beat dan supraventrikular premature beat, sehingga mencegah
terangsangnya AF
3. Pemakaian dual-site arterial pacing akan merubah bentuk
gelombang atrial yang teraktifasi, sehingga mencegah
terbentuknys intra-arterial re-entri
e. Digoxin. Pemakaian digoxin sebagai pencegahan POAF telah
ditinggalkan oleh karena tidak efektif. Metaanalisis terbaru
menemukan bahwa pemakaian digoxin pre- operatif tidak efektif
menurunkan kejadian POAF.
f. Calcium-channel bloker. Pemakaian obat ini mengurangi resiko
terjadinya supraventricular takiaritmia. Namun pada beberapa studi
ditemukan terjadinya peningkatan insidensi AV blok dan sindroma
low output, yang berhubungan dengan efek kronotropik dan
inotropik negatif.
g. Statin. Statin dapat mencegah terjadinya POAF pascaoperasi
CABG melalui mekanisme antiinflamasi. ARMYDA-3
(Artovastatin for Reduction of Myocardial Dysrhythmia After
cardiac surgery) menunjukkan dengan pemberian Artovastatin 40
mg perhari dimulai pada 7 hari sebelum operasi jantung elektif dan

25
dilanjutkan setelah paskah operasi menurunkan nangka kejadian
hinga 61%.1
h. Anti inflamasi. Pada studi yang dilakukan Cheruku dkk, pada
pasien CABG yang diberikanya ketorolac 30 mg intravena setiap 6
jam sampai kemudian diganti dengan ibuprofen oral 600 mg setiap
8 jam (bila telah mampu peroral). Hasil penelitian menunjukkan,
AF timbul pada 28.6% pada plasebo berbanding 9.8% pada
konvensional group. Mereka menyimpulkan pemberian anti
inflamasi nonsteroid efektif dalam menurunkan kejadian AF setelah
CABG. Akan tetapi rasio perbandingan antara resiko dan
keuntungannya untuk pemberian propilaksis belum jelas, karena
bila diberikan terutama pada penderita usia lanjut dapat
menimbulkan nefrotoksik.
Pada penelitian lain pemberian hydrocortisone 100 mg pada
pasien apakah operasi jantung, timbulnya POAF dalam 84 jam
18, 19, 20, 21, 22,
pertama lebih rendah dibandingkan plasebo (30% vs 48%).
23, 24

2.4 Perdarahan
Sistem hemostatik merupakan suatu sistem yang akan menghentikan
proses perdarahan apabila terjadi gangguan integritas pada vaskular. Sistem
tersebut mencakup beberapa beberapa komponen utama seperti platelet, Von
Willebrand Factor (VWF), faktor koagulasi, dan faktor fibrinolitik serta
dinding pembuluh darah. Sebagian besar pasien yang menjalani tindakan
operasi jantung akan mengalami gangguan hemostasis yang menyebabkan
terjadinya gangguan hemodinamik yang memerlukan tindakan resusitasi
cairan bersamaan dengan tindakan resusitasi. Perdarahan mikroavskular yang
tertjadi pasca operasi jantung biasanya meemrlukan pembedahan ulang yang
terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas, gagal ginjal, aritmia, sepsis,
ventilasi mekanik yang berkepanjangan dan lama rawat yang lebih lama pada
pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moulton dkk, peningkatan
angka kematian akan meningkat 3 kali lipat jika pasien tidak dilakukan

26
eksplorasi ulang dan mengalami perdarahan > 2 L dalam 24 jam setelah
operasi.2, 25

2.4.1 Patofisiologi
Tingkat keparahan pada perdarahan yang terjadi pasca
pembedahan tergantung dari jumlah defek yang terjadi dan trauma
serta tingkat keparahan berdasarkan defek multiple yang terjadi.
Disseminated Intravasular Coagulation (DIC) preoperative, gangguan
hati atau ginjal yang bermakna, gangguan jaringan ikat (misalnya,
sindrom Ehlers-Danlos) juga dapat menjadi penyebab perdarahan
yang berlebih pada pasien pasca operasi. Aktivasi jalur intrinsik dan
ekstrinsik menghasilkan thrombin yang berlebihan dean aktivasi
fibrinolitik dan menyebabkan penggunaan trombosit yang berlebih
dan faktor koagulasi yang yang labil. Risiko perdarahan pasca bedah
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis prosedur yang
dilakukan, durasi CPB dan faktor lain yang berhubungan dengan
pasien (usia, jenis kelamin, riwayat penyakit sebelumnya, dan jumlah
hematokrit sebelum pembedahan). Komplikasi perdarahan spontan
pada gastrointestinal setelah pembedahan jantung jarang terjadi.
Komplikasi yang dilaporkan biasa terjadi adalah perdarahan saluran
cerna bagian atas dan bawah, colitis, iskemia usus dan ulkus
peptikum. Perdarahan spontan pada hati jarang dilaporkan meskipun
terdapat kasus ruptur lien spontan kemungkinan disebabkan LMWH.
Pada laporan kasus lainnya perdarahan berasal dari vena yang
berdekatan dengan ligamen falciform dari hepar dan perdarahan
karena laserasi kapsul lien.3, 26

27
Tabel 2. Ringkasan kelainan hemostatik yang dapat memicu terkait pembedahan jantung yang
melibatkan sirkulasi ekstrakorporeal. 3

2.4.2 Terapi
Manajemen konvensional yang dilakukan untuk mengatasi
perdarahan yang hebat adalah pemberian agen hemostasis dan
komponen darah via intravena. Penggatian faktor koagulasi yang
dapat dicapai dengan pemberian Fresh-Frozen Plasma (FFP),
cryoprecipitate atau faktor konsentrat. National Institute of Health
(NIH) dan American Association of Anesthesiologist (ASA)
merekomendasikan penggunaan FFP perioperatif. Berdasarkan
guideline yang direkomendasikan oleh ASA, FFP yang diberikan pada
saat terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan level substansi
faktor koagulasi (protrombine time (PT) dan activated partial
thromboplastine time (APTT) > 1,5x nilai rerata pada populasi
normal). Pemberian 15mL/kgBB FFP dapat menyebabkan kenaikan
nilai faktor sebanyak 30% pada rata-rata orang dewasa.
Cryoprecipitate secara umum diberikan pada keadaan
hypofibrinogenemia (< 80-100mg/dL) atau dysfibrinogenemia. Setiap
pemberian cryopreipitatesebanyak 10 U dapat meningkatkan

28
fibrinogen 10 mg/dL dan pemberian 15 mg/kgBB FFP akan
meningkatkan fibrinogen dengan jumlah yang sama. Pada keadaan
yang tidak terlalu urgent, pemberian vitamin K dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi efek dari warfarin (penurunan faktor II, VII dan X)
dalam 6-8 jam setelah pemberian via intravena. Hampir sama dengan
konsesus NIH dan ASA menyarankan pemberian platelet pada
perdarahan aktif dengan keadaan trombositopenia (platelet <
50000/L) ketika fungsi platelet abnormal berkontribusi pada
perdarahan atau sebagai profilaksis dengan jumlah palteler <
20000/L pada pasien dengan risiko tinggi perdarahan. Pada kasus
DIC ditatalaksana dengan antibiotik, plasma beku segar, konsentrat
platelet pasien harus menjalani dialisis untuk ARF (anuria). Pasien
tetap di unit perawatan intensif (ICU) karena Intubasi dan pemulihan
lambat dari ARF. 3, 26

2.5 Gangguan Central Nervous System (CNS)


Peningkatan gangguan saraf pasca operasi kardiovaskular berdasarkan
keparahan dari gangguan jantung dan lamanya pembedahan. Efek samping
neurologis yang terjadi pasca pembedahan disebabkan oleh kerusakan pada
otak, medulla spinalis, dan atau saraf perifer. Kerusakan saraf yang terjadi
berkisar antara kelainan kepribadian, kebiasaan, dan fungsi kognitif.
Kerusakan mayor terhadap sistem saraf yang terjadi pasca pembedahan yang
telah berhasil dilakukan adalah sangat mengejutkan bagi pasien dan keluarga.
Hal ini akan berdampak status ekonomi dan sosial. 6, 27
Stroke dan disfungsi kognitif merupakan gangguan neurologis yang
paling sering terjadi. Beberapa penelitian mendeteksi kelainan yang muncul
yaitu gangguan neurologis (koma, hemiparese, kejang, dan kebutaan), serta
gangguan psikologis (depresi, disorientasi, dan kebingungan). 6, 27
Kejang setelah operasi jantung merupakan sebuah komplikasi yang
serius terutama apabila diberikan agen anti fibrinogen seperti asam tranexamat
yang diketahui sebagai agen pro-convulsant dan mempengaruhi kejang post
operasi. Sebelumnya pemberian asam traneksamat dapat mengurangi resiko

29
perdarahan ulang di sub-arachnoid post operasi, tetapi penggunaan asam
traneksamat dihentikan setelah diketahui dapat meningkatkan vasospasme
cerebral, ischemia, hydrocephalus dan kejang.27
Pada pasien infective endokarditis (IE) komplikasi Pada pasien
infective endokarditis (IE) komplikasi yang akan terjadi post operasi berupa
meningitis-encephalopathy, komplikasi iskemik, cerebral hemorrhage dan
abses otak. Pasien yang sebelumnya telah mengidap kelainan neurologis perlu
banyak pertimbangan lain sebelum melakukan operasi, bahkan dalam
beberapa kasus operasi tidak dilakukan akibat dari deteriorated neurologic
status. 27, 28
Dalam sebuah penelitian, operasi jantung berkaitan erat dengan
komplikasi neurologis. Beberapa penelitian menemukan bahwa resiko dari
kekambuhan rendah ketika operasi dilaksanakan dalam 72 jam. Apabila pasien
menderita stroke iskemik beratoperasi perlu ditunda selama 2 minggu, pada
keadaan stroke hemoragik perlu ditunda selama 4 minggu.27, 28
2.5.1 Penanda Kerusakan Neurologi
Beberapa protein dikeluarkan pada saat terjadi kerusakan otak
menjadi tolak ukur untuk menentukan adanya kerusakan otak. Setelah
terjadi hipoksia-iskemia, beberapa substansi dikeluarkan oleh neuron,
glia, endothelium, platelet, dan leukosit. Pengukuran terhadap subtansi
tersebut membantu dalam mempercepat diagnosis dan intervensi yang
lebih awal untuk mencegah terjadinya kerusakan otak.6, 28

2.5.2 Faktor Risiko

30
Pada dasarnya faktor risiko yang terjadi dibagi emnjadi dua
macam, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin,
genotip, dan riwayat medis) dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Adanya riwayat stroke sebelumnya merupakan salah satu faktor risiko
yang sangat mempengaruhi terjadinya gangguan saraf. Faktor lain
yang juga berpengaruh terhadap gangguan saraf adalah usia pasien,
aortic ateroma, penyakit serebrovaskular, diabetes mellitus, dan jenis
dari pembedahan yang dilakukan.6, 27, 28

2.5.3 Intervensi neuroprotektif


Interevensi dilakukan untuk mengurangi atau mencegah
terjadinya kerusakan otak selama proses pembedahan. Dibagi menjadi
dua kelompok yaitu fisik dan farmakologi yang dapat dilihat pada
tabel di bawah. 6, 27

31
2.6 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) telah menjadi
konsep yang diterima secara luas untuk menjelaskan patofisiologi peradangan
sistemik beberapa etiologi (yaitu trauma, infeksi atau pembedahan). SIRS
dianggap sebagai tanda peringatan dini kerusakan organ.34
Baru-baru ini, Konsensus Konferensi dari American College of Chest
Physicians/Society of Critical Care Medicine (ACCP/ SCCM) mengusulkan
definisi yang tepat untuk istilah sepsis, sepsis berat dan syok septik. Istilah
SIRS diusulkan untuk menggambarkan adanya proses inflamasi. Terlepas dari
penyebabnya karena bisa dilihat dari berbagai macam sudut pandang, SIRS
dapat dianggap sebagai perluasan mekanisme pertahanan diri fisiologis, dan
proteksi SIRS menyiratkan penurunan status pasien.34

2.6.1 Patofisiologi
Operasi jantung di bawah CPB (cardiopulmonary bypass)
menyebabkan SIRS karena trauma bedah, kontak darah dengan bahan
asing, tekanan abnormal, iskemia, reperfusi, hipotermia, dan situasi yang
tidak fisiologis. Dikatakan bahwa SIRS yang terjadi setelah operasi
jantung dikaitkan dengan induksi sitokin yang masif dan tidak seimbang.
Secara khusus, interaksi komponen darah dengan permukaan artifisial
dan cedera iskemik reperfusi pada pelepasan klem aorta menyebabkan
peningkatan kadar sitokin plasma yang signifikan selama dan setelah
operasi jantung di bawah CPB. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
tingkat tertinggi sitokin inflamasi IL-6 dan IL-8, dan sitokin IL-10
diamati dari satu jam sampai tiga jam setelah pemindahan klem penjepit
dan durasi SIRS berkorelasi dengan operasi yang diperpanjang dan/atau
lebih invasif (yaitu, waktu CPB yang lebih lama) yang menyebabkan
peningkatan kadar sitokin plasma yang signifikan. IL-6 diproduksi oleh
monosit, limfosit, dan sel endotel. Diperkirakan bahwa IL-6 merangsang
interaksi miosit neutrofil dan menginduksi kerusakan miokard setelah
operasi CPB. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat plasma tertinggi
IL-6 berkorelasi secara signifikan dengan durasi SIRS dan CPB. Oleh

32
karena itu, diduga bahwa IL-6 akan menjadi salah satu mediator utama
respons fase akut pada pasien yang menjalani operasi jantung di bawah
CPB. 34
IL-8 diproduksi oleh sel-sel monosit, polimorfonuklear (PMN)
leukosit, makrofag, fibroblas, dan sel endotel vaskular. Diperkirakan
bahwa IL-8 menginduksi penguatan neutrofil dan makrofag. Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa tingkat plasma tertinggi IL-8 berkorelasi
dengan tingkat tertinggi jumlah WBC yang meliputi neutrofil dan
makrofag. Karena IL-8 juga mengatur migrasi transendothelial neutrofil,
dan berpotensi untuk mengendalikan cedera jaringan neutrofil, diduga
bahwa penurunan jumlah leukosit akut terlihat pada tiga jam setelah
pelepasan klem aorta, tepat setelah tingkat plasma tertinggi IL-8, keadaan
yang disebut priming dalam teori second attack. Hal ini menyebabkan
peradangan lokal, selain migrasi dan akumulasi leukosit di sel endotel
vaskular dan dengan demikian menyebabkan perkembangan kerusakan
organ postoperatif di kemudian hari. 34
Baru-baru ini, ditemukan adanya respon antiinflamasi yang
mengkompensasi SIRS dan teori dugaan counter antiinflammatory
response syndrome (CARS) telah diajukan. Studi ini mengindikasikan
peningkatan produksi sitokin antiinflamasi IL-10, yang mungkin
mewakili usaha inang untuk melawan aktivitas sitokin pro-inflamasi IL-6
dan IL-8 yang berlebihan. Keseimbangan relatif antara SIRS dan CARS
menentukan prognosis; Jika keseimbangan antara SIRS dan CARS
optimal, tubuh akan pulih. Tingkat IL-10 cenderung lebih rendah pada
keseimbangan antara SIRS dan CARS yang terganggu dan SIRS menjadi
relatif dominan. Penonjolan SIRS oleh produksi sitokin inflamasi yang
berlebihan menyebabkan peningkatan potensi organ dan meningkatkan
kemungkinan bahwa neutrofil melepaskan jumlah radikal bebas dan
protease dalam jumlah yang berlebihan, yang merusak mikrosirkulasi dan
menyebabkan disfungsi organ pascaoperasi.34
Berdasarkan hipotesis tradisional bahwa sirkulasi ekstrakorporeal
(ECC) adalah pemicu utama SIRS perioperatif, adalah mungkin untuk

33
memahami studi prospektif yang mencari hubungan temporal ECC dan
SIRS. Namun, data evidence-based masih kurang. Ini mungkin karena
tampilan gejala SIRS yang kurang khas, yang terjadi pada waktu mulai
dari segera setelah dimulainya ECC sampai jam pertama di ICU. Selain
itu, kejadian SIRS di unit bedah jantung khusus relatif jarang terjadi.
Dengan demikian, ECC tampaknya tidak mewakili pemicu utama SIRS
perioperatif. 35
Baik ECC dan aktivasi kaskade komplemen mampu
mengaktifkan neutrofil (PMN) maupun sel endotel. Fenomena rolling
dan sticking PMN pada dinding pembuluh darah dan diapedesis
dimediasi oleh molekul permukaan sel PMN dan endotel, yaitu oleh
molekul adhesi. Molekul ini terbagi menjadi reseptor integrin leukosit,
yang berinteraksi dengan permukaan sel endotel, reseptor selectin, yang
diekspresikan pada leukosit dan sel endotel, dan famili super
imunoglobulin, yang hanya diekspresikan pada sel endotel. Ekspresi
molekul adhesi yang meningkat dan aktivasi PMN merupakan salah satu
faktor penting sindrom kebocoran kapiler perioperatif dan cedera
reperfusi miokard. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
blokade molekul adhesi sebelum reperfusi secara signifikan
menghasilkan kegagalan miokard. Terdapat kadar ICAM-3 preoperatif
yang lebih tinggi pada kelompok SIRS. Penelitian lain telah melaporkan
peningkatan konsentrasi ICAM-1 dan VCAM-1 pada pasien dengan
kegagalan miokard, yang berkorelasi dengan tingkat hipertensi arteri paru
dan fungsi ventrikel kiri yang terganggu. 35
Semua konsekuensi dari peningkatan ekspresi molekul adhesi
dapat dirangkum sebagai kerusakan jaringan progresif dengan penurunan
mikrosirkulasi dan pelepasan zat beracun ke jaringan. Kerusakan jaringan
ini terjadi pada organ yang berbeda, sesuai dengan ekspresi khas molekul
adhesi pada organ tertentu. 35
ET-1 merupakan salah satu vasokonstriktor yang paling kuat yang
memainkan peran penting dalam pengaturan tekanan darah. Zat ini
terutama dilepaskan dari endotelium pembuluh darah paru, dan penelitian

34
terdahulu menunjukkan bahwa konsentrasinya berkorelasi dengan durasi
ECC. Korelasi positif antara ET-1 dan laktat sehubungan dengan durasi
ECC yang lebih lama mencerminkan keadaan intraoperatif. Perfusi organ
terganggu karena aktivasi endotel yang sudah ada sebelumnya.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
pasien (dengan atau tanpa SIRS setelah operasi jantung terbuka) bahkan
sebelum operasi, yang menyarankan sebuah teori baru mengenai
pengembangan SIRS perioperatif: bukan ECC sendiri yang merupakan
pemicu utama, melainkan aktivasi endothelium, leukosit dan limfosit
yang sudah ada sebelumnya. Setelah aktivasi ini menyebabkan perfusi
terganggu pada tingkat mikrosirkulasi, terjadilah sindrom disfungsi multi
organ. Karena proses dasar SIRS yang kompleks dalam operasi
kardiovaskular, terapi kausal masih kurang. Kombinasi tindakan
laboratorium rutin dan khusus yaitu. alkaline phosphatase, ET-1, ICAM-
1, -2, -3, VCAM-1, ELAM-1, terbukti memiliki daya prediksi terbaik.
Jadi, setidaknya dalam kerangka prosedur elektif, SIRS dapat dihindari
dengan menunda operasi. Meskipun SIRS perioperatif hanya terjadi pada
2% dari semua prosedur ECC, mortalitasnya tinggi dan sebanding
dengan sepsis yang parah. Sebagai tambahan, kelompok pasien inilah
yang morbiditas perioperatifnya yang tinggi, dan sebagian besar
bertanggung jawab atas peningkatan biaya dalam hal terapi intensif.
Akibat meningkatnya jumlah pasien yang lebih tua dan kritis dalam
operasi jantung, manajemen perioperatif SIRS membutuhkan lebih
banyak perhatian di masa depan. 35

2.6.2 Diagnosis
SIRS dimanifestasikan oleh dua atau lebih dari kondisi berikut:
suhu > 38 C, detak jantung > 90 kali/menit, laju pernafasan > 20
kali/menit atau PaCO2 (karbon dioksida) < 32 mmHg, jumlah WBC >
12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau neutrofil imatur (band) > 10% dari
jumlah neutrofil total. Laju pernafasan dan PaCO2 selama ventilasi

35
mekanis dan tingkat kemajuan pasca operasi oleh alat pacu jantung
eksternal dieksklusikan dari definisi SIRS. 34

2.6.3 Tatalaksana
Karena SIRS merupakan tanda peringatan awal kerusakan organ,
pengobatan untuk mencegah produksi berlebihan sitokin inflamasi
dilakukan segera setelah pelepasan klem aorta yaitu mengurangi durasi
CPB dan pemberian obat antiinflamasi (steroid) untuk mempengaruhi
produksi sitokin antiinflamasi dan/atau antibodi monoklonal yang akan
melawan overproduksi sitokin inflamasi pada SIRS, mungkin berguna
pada pasien yang menjalani operasi jantung elektif di bawah CPB.34

2.7 Postoperative Cognitive Dysfunction (POCD)


Hampir 40.000 orang di Inggris dan banyak lagi di seluruh dunia
menjalani operasi jantung setiap tahunnya. Kelainan kondisi neurologis yang
merugikan pasca-operasi jantung telah dikenal dengan baik selama bertahun-
tahun dan merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasca
operasi. Klasifikasi oleh American College of Cardiology dan American Heart
Association membagi menjadi Tipe 1 dan 2. Tipe 1 yaitu kematian otak, stroke
non-fatal, dan serangan iskemik transien, sedangkan delirium dan
postoperative cognitive dysfunction (POCD) diklasifikasikan sebagai cedera
neurologis tipe 2. Dua kelainan neurologis klinis paling signifikan setelah
operasi jantung adalah stroke dan POCD.36
POCD merupakan sekuel neurologis pasca bedah jantung yang paling
sering terjadi. Insiden yang dikutip tergantung pada berbagai faktor, yaitu
waktu pengukuran, jenis operasi (jantung vs non-jantung), penilaian tepat
yang digunakan, dan kepekaannya. POCD dapat dikelompokkan menjadi
jangka pendek dan jangka panjang. POCD jangka pendek biasanya bersifat
sementara dan didefinisikan sebagai penurunan kognitif yang berlangsung
hingga 6 minggu pasca operasi. Hal ini terjadi pada 20-50% pasien yang
menjalani operasi jantung. Namun, POCD bisa bersifat jangka panjang yang
didefinisikan sebagai penentu kognitif dalam fungsi kognitif 6 bulan setelah

36
operasi. Hal ini terjadi pada 10-30% pasien jantung. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, tidak ada tes baku emas untuk POCD. Oleh karena
itu, kejadian yang dikutip sangat bervariasi dan diagnosis POCD tidak
seragam. 36
Masalah POCD penting karena persepsi pasien terhadap kesehatan
umum mereka berkorelasi langsung dengan fungsi neurokognitif. POCD
sendiri membuat pasien merasa kehilangan kemandirian, kualitas hidup, dan
penarikan diri dari masyarakat. Jika timbul hingga 3 bulan setelah operasi, hal
ini terkait dengan konsekuensi jangka panjang dan implikasi keuangan utama
seperti risiko yang lebih tinggi untuk meninggalkan pekerjaan dan
ketergantungan pada pembayaran kesejahteraan sosial, dan juga meningkatkan
angka kematian pada median 8,5 tahun. 36

2.7.1 Patofisiologi
Patofisiologi dan penyebab pasca-operasi jantung POCD telah
banyak diteliti selama bertahun-tahun dan banyak teori telah diajukan.
Penyebab POCD kemungkinan besar multi faktoral, dan dapat dikaitkan
dengan berbagai faktor bedah, anestesi, dan pasien. 3
Faktor pembedahan
Perbedaan teknik bedah on-off-pump cardiopulmonary
bypass (CPB) telah dibahas secara komprehensif. Selama bertahun-
tahun, diasumsikan bahwa salah satu penyebab utama POCD
adalah mikroemboli serebral selama CPB. Namun, tidak ada
keuntungan yang jelas dari operasi on-pump (CPB) dibandingkan
dengan off-pump dalam kejadian di POCD dapat dibuktikan pada
Randomized On / Off Bypass Study Group terhadap 2203 pasien.
Ketika CPB digunakan, tidak ada perbedaan antara aliran pulsatile
dan non-pulsatile dalam kaitannya dengan penurunan kognitif
pasca operasi jantung. 36
Autoregulasi serebral terjadi jika tekanan perfusi serebral
berada dalam kisaran fisiologis. Target optimal tekanan arterial
selama CPB belum didefinisikan. Selama CPB, tekanan arteri rata-
rata (MAP) biasanya dipertahankan pada +60 mmHg. Ini adalah

37
angka yang tergantung pada usia pasien, tekanan arteri pra operasi
dan riwayat kesehatan. Hal ini juga bisa terlalu rendah untuk pasien
hipertensi kronis yang memiliki pergeseran dalam kurva
autoregulasi mereka, dan karena itu dapat menyebabkan stroke
akibat hipoperfusi global. Sebuah studi baru-baru ini menemukan
bahwa peningkatan tekanan perfusi yang setara dengan kondisi
fisiologis dikaitkan dengan POCD (nilai P 0,012). Joshi dan rekan-
rekannya mampu, dengan penggunaan oksimetri serebral,
menentukan batas bawah autoregulasi otak dengan memeriksa
respons saturasi oksigen serebral individu pasien terhadap berbagai
perubahan tekanan arterial. Mereka menemukan bahwa tekanan
arteri pra operasi dan riwayat klinis sama-sama merupakan metode
yang tidak tepat untuk memprediksi MAP pada batas bawah
autoregulasi, karena variabilitas yang ada. Dalam penelitian
sebelumnya, kelompok ini menunjukkan bahwa stroke perioperatif
lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan autoregulasi.
Dengan demikian, pemantauan autoregulasi aliran otak secara real-
time terus-menerus memberikan cara untuk mengindentifikasi
MAP selama CPB. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
memastikan apakah menggunakan batas bawah secara real-time
dari penilaian dan intervensi yang dipandu autoregulasi dapat
memperbaiki hasil neurologis. 36
Bahan embolik dapat dihasilkan dari CPB serta dari lesi
aorta. Arteriosklerosis aorta sendiri mungkin merupakan sumber
emboli, terutama pada kanulasi dan cross-clamp, dan karenanya
harus diidentifikasi dan dihindari. Dua studi terpisah yang
membandingkan penggunaan darah yang diproses melalui cell
saver selama CPB untuk meminimalkan mikroembolisasi, hingga
darah yang tidak diproses kembali secara langsung kembali ke
pasien melalui sirkuit CPB, tidak dapat menemukan perbedaan
statistik dalam kejadian POCD. Sebuah teknik untuk melihat infark

38
serebral akut baru akibat emboli adalah magnetic resonance
diffusion-weighted imaging (DWI). Studi menggunakan DWI telah
menunjukkan hubungan positif antara daerah iskemik serebral baru
pasca bedah jantung dan perkembangan POCD. Namun, sulit untuk
mengkorelasikan volume dan lokasi iskemia serebral terhadap
perkembangan POCD. Dengan demikian, menggunakan DWI
untuk memprediksi POCD masih kontroversial dan buktinya tidak
mencukupi. Penurunan kognitif masih bisa terjadi tanpa infark
yang jelas. 36
Menginduksi hipotermia dalam operasi jantung menurunkan
tingkat metabolisme serebral. Ini juga menurunkan aliran darah
serebral dan mengganggu sawar darah otak. Pada tingkat sel,
hipotermia mengurangi respons neuroinflamasi, menghambat
pembentukan radikal bebas, dan mengurangi apoptosis. Oleh
karena itu, hipotermia bisa bersifat neuroprotektif. Namun, saat
melakukan rewarming cepat, edema serebral dapat terjadi karena
hipertermia serebral mengganggu mekanisme autoregulasi.
Peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan dapat
mengganggu perfusi dan oksigenasi ke jaringan otak yang
mengarah ke POCD.36
Selama CPB, hipotermia juga dapat menyebabkan perubahan
pada keseimbangan asam-basa, yang pada gilirannya
mempengaruhi aliran darah serebral. Ada dua teknik yang
digunakan untuk mengatur keseimbangan asam basa selama CPB:
pH-stat dan alpha-stat. Sesuai dengan bagaimana CO2 arterial dan
pH dikelola: pengukuran gas darah dilakukan dengan darah yang
dihangatkan sampai 37,8C (alfa-stat) atau pada nilai yang
dikoreksi pada suhu pasien sebenarnya (pH-stat). PH stat telah
dikaitkan sebagai faktor penyebab pada POCD yaitu mungkin
disebabkan oleh fakta bahwa dibutuhkan CO2 untuk ditambahkan
ke sirkuit CPB yang mengarah ke vasodilatasi serebral di atas
kebutuhan metabolik dan hilangnya autoregulasi. Selain itu,

39
peningkatan aliran darah arteri dapat menyebabkan beban emboli
meningkat dan risiko embolisasi serebral lebih tinggi. Durasi
operasi telah ditemukan terkait dengan POCD. Pembedahan sendiri
memulai respons stres dan peradangan sistemik. Aktivasi
makrofag, neutrofil, dan agregasi platelet menyebabkan regulasi
molekul adhesi dan produksi sitokin, yang mengakibatkan
penghancuran sawar darah-otak. Hal ini menunjukkan bahwa
peradangan sistemik dapat menyebabkan radang neuron yang
mengakibatkan POCD. Secara khusus, berada di bawah CPB
selama operasi jantung mengaktifkan respon inflamasi melalui
kontak langsung antara darah dan permukaan artifisial sirkuit CPB.
Meskipun demikian, respon inflamasi serupa terjadi terlepas dari
apakah CPB digunakan atau tidak, yang mungkin disebabkan oleh
faktor lain termasuk sternotomi, pemanenan cangkok, dan insisi
perikardial. Haemodilusi ekstrem (penurunan hematokrit sebesar
12% dari semula) selama operasi jantung mungkin memiliki hasil
neurokognitif yang merugikan terutama pada orang tua dan harus
dihindari jika memungkinkan.36
Faktor anestetik
Agen anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran yang
reversibel sebagai efek, namun secara intraselular konsekuensinya
mungkin lebih panjang. Masih kontroversial apakah agen intravena
atau agen volatil yang terlibat dalam perkembangan POCD. Jenis
agen anestesi mana yang terlibat dalam POCD masih belum pasti,
walaupun ada beberapa bukti, bahwa anestesi volatil dalam operasi
jantung bisa memiliki hasil kognitif yang lebih baik daripada
anaestesi propofol. Hal ini dapat disebabkan oleh pengkondisian
pra dan pasca-operasi oleh anestesi volatile diketahui mengurangi
cedera iskemia-reperfusi dari berbagai organ yang terjadi di CPB. 36
Perangkat seperti oksimetri serebral dapat digunakan untuk
mempertahankan saturasi oksigen serebral regional (rSO2) dalam
batas yang telah ditentukan, karena penurunan kognitif setelah

40
operasi jantung dapat dikaitkan dengan penurunan desaturasi
serebral oksigen. Ada juga beberapa bukti yang menargetkan
kedalaman anestesi. 36
Faktor pasien
Faktor risiko yang paling penting yang terkait adalah usia;
Banyak penelitian membuktikan ada hubungan yang kuat antara
bertambahnya usia dan POCD. Insidensi yang lebih besar pada
orang tua dapat disebabkan oleh perubahan pembuluh darah dan
regulasi otomatis aliran darah serebral. Usia juga terkait dengan
faktor risiko penyakit serebrovaskular, yang berkontribusi pada
POCD, seperti diabetes, aterosklerosis, dan hiperkolesterolemia.
Semua faktor risiko ini dapat berkontribusi pada priming sistem
kekebalan tubuh, sehingga pasien sudah berada dalam keadaan pro-
inflamasi saat menjalani operasi jantung, yang menyebabkan
amplifikasi inflamasi sistemik dan neuron. Ini memicu disfungsi
neuron yang meluas yang berkontribusi pada POCD. Selain itu,
pasien lansia mungkin sudah menunjukkan tingkat penurunan
kognitif yang sudah ada sebelumnya.36
Skor awal pra operasi selama tes neuropsikologis dikaitkan
dengan usia, hipertensi, dan tingkat pendidikan rendah, yang
mengindikasikan penurunan kognitif ringan: ini dapat
meningkatkan risiko POCD. Pada pasien yang menjalani CABG,
20 - 46% memiliki beberapa gangguan kognitif pra operasi. Pasien
dengan bukti pencitraan resonansi magnetik yang sudah ada
sebelumnya mengenai penyakit pembuluh darah serebral juga
memiliki risiko POCD yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa
disfungsi kognitif yang terlihat pasca-operasi jantung mungkin
hanya merupakan cerminan dari riwayat alami populasi pasien
yang berisiko tinggi mengalami penurunan kognitif akibat penyakit
serebrovaskular dan kardiovaskular.36
Terdapat pula beberapa variabel genetik yang turut bermain,
bahwa pasien dengan genotipe Eopopotin E4 lebih rentan terhadap

41
POCD. Selanjutnya, genotipe protein C-reaktif tertentu (CRP) dan
genotipe P-selectin lebih rentan terhadap POCD. Semua genotipe
ini menunjukkan kejadian peradangan yang lebih tinggi dan
memiliki tingkat CRP dan aktivasi platelet yang lebih tinggi, yang
menunjukkan bahwa strategi untuk mengurangi peradangan
perioperatif mungkin berguna. 36
Disfungsi ventrikel kiri preoperatif dengan fraksi ejeksi 30%
dikaitkan dengan POCD karena fungsi jantung yang buruk dapat
memicu aliran serebral sekunder. 36

2.7.2 Diagnosis
Bedford memperkenalkan konsep POCD pada tahun 1955.
Namun, POCD sulit untuk didiagnosis, karena masih belum ada
konsensus internasional. POCD adalah penurunan fungsi kognitif
setelah operasi dan anestesi dari tingkat awal pra-operasi. Hal ini
dapat mempengaruhi domain kognitif yang berbeda seperti
perhatian, memori, pembelajaran, spatial-visual, keterampilan
motorik, dan fungsi eksekutif. Bisa juga disertai perubahan perilaku.
Kecurigaan klinis terhadap POCD dapat dikonfirmasi dengan tes
neuropsikologis yang dilakukan beberapa minggu setelah operasi
dan dibandingkan dengan tes awal yang dilakukan sebelum operasi.
Tidak ada kesepakatan internasional tentang tes apa yang harus
digunakan untuk diagnosis POCD. Studi POCD yang berbeda telah
menggunakan beragam tes neuropsikologis, dengan setiap tes
mencerminkan berbagai aspek korteks serebral. Sebuah artikel
review baru-baru ini oleh Ghoneim dan Block tentang penilaian
kognisi setelah anestesi dan operasi menyoroti tes neuropsikologis
yang paling umum digunakan. 36 Beberapa alat diagnostik yang telah
digunakan yaitu: 36
Uji coba mengukur perhatian visual dan pengalihan tugas.

42
Uji pengkodean huruf-digit, menganalisis kecepatan pengolahan
informasi.
Tes penamaan Boston, melihat kemampuan mencari kata.
Uji interferensi kata Stroop, menilai kerentanan interferensi.
Tes empat kotak, menguji kecepatan psikomotor.
Tes pemindaian memori kertas dan pensil, mengukur kecepatan
sensorimotor.
Tes memori daftar kata CERAD.
Sejumlah kriteria analitik telah disarankan untuk menentukan
perbedaan antara variasi normal fungsi kognitif dan POCD. Kriteria
yang digunakan secara rutin adalah perubahan persentase dari
baseline dalam sejumlah tes neuropsikologis (biasanya penurunan
0,20% pada dua atau lebih tes) atau penurunan absolut dari skor awal
lebih besar dari proporsi standar deviasi atau lebih (biasanya 1 SD,
dihitung dari nilai awal). Masalah dengan metode ini adalah bahwa
pasien dengan skor awal yang rendah memerlukan perubahan yang
jauh lebih kecil untuk memenuhi kriteria.39

2.7.3 Tatalaksana
Metode untuk meminimalkan POCD dalam operasi jantung
diantaranya:
Praoperasi
Untuk mencegah POCD, fokus harus dilakukan pada
identifikasi pasien berisiko tinggi, dengan penilaian pra operasi
yang teliti. Dalam beberapa kasus, skrining kognitif pra operasi
telah disarankan. Namun, ini mungkin memiliki implikasi
sumber daya karena uji neurokognitif ini memerlukan bantuan
neuropsikolog terlatih khusus dan sangat menyita waktu.
Penilaian semacam itu dapat membantu pasien dan dokter dalam
proses pengambilan keputusan sebelum operasi dan dapat

43
memungkinkan perencanaan teknik bedah dan anestesi
individual.36
Intra-operatif
Secara intraoperatif, strategi bedah dan anestesi yang
berbeda dapat dipertimbangkan dan digunakan, seperti yang
dijelaskan dari faktor-faktor yang dibahas di atas. Untuk
meminimalkan POCD, tujuan utamanya adalah menjaga
stabilitas hemodinamik dan mempertahankan aliran darah
serebral dan tekanan perfusi untuk memastikan pemberian
oksigen yang adekuat. Prosedur invasif minimal dapat
menyebabkan respons stres bedah yang berkurang dan secara
teori dapat mengurangi tingkat peradangan sistemik. Ada juga
kemajuan teknologi dalam rangkaian CPB yang dapat
mengurangi migrasi emboli. 36
Secara farmakologis, seperti disebutkan di atas, agen
anestesi volatil mungkin memberikan perlindungan terhadap
POCD. Agen anestesi lain yang telah diteliti adalah antagonis
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), ketamin. Telah
ditunjukkan bahwa kejadian POCD dini lebih rendah setelah
menerima satu dosis ketamin pada induksi anestesi. Opiat
berkontribusi pada delirium setelah operasi namun tidak
meningkatkan risiko POCD.35
Lidocaine dianggap berpotensi mengurangi respons
inflamasi yang terkait dengan CPB dengan melintasi sawar
darah dan memodulasi peradangan serebral. Tidak ada bukti
untuk ini dan ketika diberikan kepada pasien diabetes mereka
lebih cenderung mengalami penurunan kognitif dalam periode
pasca operasi 6 minggu.36
Dalam sebuah studi baru-baru ini terhadap 525 pasien
yang menjalani CABG, ditemukan bahwa hiperglikemia
dikaitkan dengan penurunan kinerja kognitif pada usia 6
minggu. Mekanisme yang mungkin adalah asidosis laktat
neuronal dengan peroksidasi lipid dan akumulasi kalsium

44
intraselular, dalam kondisi anaerobik. Teori lainnya termasuk
neurotransmitter glutamat dan produksi kortikosteroid, yang
keduanya sangat penting dalam kematian neuron.36
Banyak perangkat pemantau otak intraoperatif yang
canggih yang saat ini tersedia. Ini dapat digunakan untuk
memandu manipulasi fisiologis untuk membantu pengurangan
kejadian POCD. Namun dibandingkan dengan pemantauan
organ lain seperti jantung selama anestesi, pemantauan otak
kurang berkembang dan kurang rutin digunakan.36
Oksimetri cerebral adalah monitor non-invasif yang
menggunakan teknologi spektroskopi inframerah jarak dekat
untuk memperkirakan rSO2 menggunakan spektrum absorbansi
hemoglobin teroksigenasi dan hemoglobin terdeoksigenasi.
Contoh monitor tersebut adalah Invos Cerebral Oximeter
(Somanetics / Covidien, MI, AS). Ini tidak secara langsung
melihat fungsi otak, namun mengindikasikan keseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen otak. Kisaran normal rSO2
adalah antara 60 dan 80%. Desaturasi serebral telah berkorelasi
dengan banyak manifestasi sistemik yang merugikan. Oleh
karena itu, rSO2 mungkin merupakan penanda kecukupan
perfusi di dalam organ lain dan tindakan untuk memperbaiki
rSO2 dapat mengoptimalkan perfusi sistemik juga.36
Untuk mengukur kedalaman anestesi, baik
electroencephalography (EEG) saja maupun EEG olahan seperti
indeks bispectral (BIS) dapat digunakan. Selain itu, BIS juga
dapat berperan dalam pemberian anestesi titrasi untuk
menghindari ketidakstabilan hemodinamik dan hipoperfusi yang
disebabkan oleh agen anestesi.36
Pascaoperasi
Hipoksia pascaoperasi mungkin merupakan faktor risiko
terjadinya POCD dini. Komplikasi pasca operasi seperti infeksi,
khususnya saluran pernafasan, juga dikaitkan dengan tingkat
POCD yang lebih tinggi. Selain itu, dengan memastikan faktor-

45
faktor risiko penyakit serebrovaskular yang dapat dikontrol
secara ketat, kemungkinan POCD dapat dikurangi. Manajemen
pasca operasi harus mencakup mendorong diet dan olahraga
yang baik dengan pemeriksaan dan pengendalian tekanan arteri
dan kolesterol secara teratur.36

Gambar 1. Algoritma dalam penggunaan oksimetri otak (CT, computed tomography;


Hb, haemoglobin; ICHT, intracranial hypertension; MAP, mean arterial pressure;
MRI, magnetic resonance imaging).37

2.8 Sindroma Vasoplegik


Sindroma vasoplegik ditandai dengan hipotensi, takikardia, curah
jantung yang normal atau meningkat, dan penurunan tahanan vaskular
sistemik (SST) dan tekanan pengisian yang rendah, dan kurang atau tidak
responsif terhadap peningkatan volume dengan infus cairan. Kondisi ini

46
adalah komplikasi yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien yang
menjalani operasi jantung pada bypass kardiopulmoner (CPB).38

2.8.1 Patofisiologi
Operasi jantung merangsang respons inflamasi yang kuat, yang
memiliki implikasi klinis yang penting. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian, tingkat keparahan, dan hasil klinis dari
respons inflamasi, dan, khususnya, alasan mengapa pasien tertentu
mengalami komplikasi perioperatif yang mengancam jiwa, tidak
dipahami dengan baik. Sindroma vasoplegik adalah manifestasi baru
yang sering ditemukan pada periode pascaoperasi awal setelah operasi
jantung dengan CPB. Meskipun penyebab sindrom ini tidak jelas, ini
terutama disebabkan oleh respons inflamasi sistemik yang diaktifkan
secara spesifik oleh CPB, serta aktivator nonspesifik seperti protokol
bedah, kehilangan darah atau transfusi, dan hipotermia.38
Bukti yang ada menunjukkan bahwa walaupun ada trauma bedah
yang sebanding, prosedur revaskularisasi OPCAB (tanpa penggunaan
CPB dan cardioplegic arrest) secara signifikan mengurangi sindrom
respon inflamasi sistemik. Hasil positif ini dapat menyebabkan
peningkatan fungsi organ tubuh, yang kemudian menghasilkan
pemulihan pasca operasi yang lebih baik dari operasi prosedur
revaskularisasi, terutama pada pasien yang sakit kritis. Namun, terlepas
dari adanya respons inflamasi sistemik yang berkurang setelah OPCAB,
penelitian lain telah melaporkan sindrom vasoplegik sebagai komplikasi
yang tidak biasa setelah teknik revaskularisasi miokard ini. 38
Terjadinya sindroma vasoplegik setelah OPCAB mengharuskan
teori tentang kemungkinan penyebabnya tanpa adanya sirkulasi
ekstrakorporeal. Ada kemungkinan bahwa pembentukan media
proinflamasi akibat stress pembedahan, penggunaan perangkat sekali
pakai, netralisasi heparin dengan protamin, transfusi produk darah, atau
terjadinya endotoksemia sekunder akibat episode berulang. Hipotensi di
seluruh operasi OPCAB sebagai akibat mobilisasi jantung dapat

47
memicu respons inflamasi sistemik dan sindrom vasoplegik. Faktor
tambahan yang berkontribusi terhadap inisiasi sindroma vasoplegik
meliputi gagal jantung kongestif kronis pra operasi dengan fraksi ejeksi
rendah (< 0,35), penggunaan enzim penghambat pengubah angiotensin
dan agen penyekat beta (beta blocker), dan penggunaan amiodaron dan
penghambat phosphodiesterase pra dan pasca operasi.38

2.8.2 Diagnosis
Sindroma vasoplegik ditandai dengan hipotensi, takikardia,
curah jantung yang normal atau meningkat, dan penurunan tahanan
vaskular sistemik (SST) dan tekanan pengisian yang rendah, dan
kurang atau tidak responsif terhadap peningkatan volume dengan infus
cairan. 38

2.8.3 Tatalaksana
Tatalaksana sindrom vasoplegik masih kontroversial.
Katekolamin umumnya diberikan untuk mendukung tekanan arteri
sistemik, namun keefektifannya dibatasi oleh resistensi katekolamin
dan dengan efek toksik berat pada dosis tinggi. Baru-baru ini,
penggunaan vasopressin telah dilaporkan untuk pengobatan sindrom
vasoplegik. Setelah bypass kardiopulmoner, terutama pada kasus yang
refrakter terhadap norepinephrine.38
Vasopressin, hormon endogen yang terbentuk terutama di
nukleus supraoptik hipotalamus dan disekresikan oleh kelenjar
pituitari posterior, telah menunjukkan harapan dalam pengelolaan
hipotensi refrakter dan syok vasodilatasi setelah operasi jantung dan
nonkardiak, serta sepsis. Alasan untuk menggunakan vasopressin
berasal dari pengamatan bahwa ada defisiensi arginine vasopressin
(AVP) pada pasien dengan sindrom vasoplegik. Blunting respon AVP
terhadap stimulan yang dimediasi oleh baroreseptor karena
hiponatremia setelah bypass kardiopulmoner, aktivasi reseptor

48
peregangan atrium, Atrial natriuretic peptide (ANP) serum yang lebih
tinggi dan disfungsi otonom yang menyebabkan penghambatan
pelepasan AVP yang terlihat pada pasien dengan gagal jantungadalah
beberapa mekanisme yang menjelaskan defisiensi AVP pada syok
vaskular.38
Dosis vasopressin yang berbeda telah digunakan oleh berbagai peneliti
untuk mengobati hipotensi refrakter. Namun, dosis 6 U/jam memberikan
konsentrasi plasma steady-state paling sedikit 150 pg/mL, dan
meningkatkan dosis pemberian tidak ada manfaat lebih lanjut. Mekanisme
dimana AVP bertindak sebagai pressor pada pasien yang resisten terhadap
katekolamin tidak jelas, namun ada beberapa kemungkinan. Pengaktifan
patologis beberapa mekanisme vasodilator menghasilkan syok vasodilator.
Tingkat interleukin 1 dan ANP yang meningkat akibat peradangan yang
diinduksi oleh CPB meningkatkan vasodilatasi melalui peningkatan kadar
guanosin monofosfat siklik intraseluler. Juga, saluran potassium kalium
adenosin yang diaktifkan pada otot polos vaskular diaktifkan oleh hipoksia
jaringan dan hipoperfusi (dan mungkin oleh CPB), dan aktivasi ini
menyebabkan vasodilatasi dengan menginduksi hiperpolasiasi seluler dan
menghambat saluran kalsium dengan voltase. Baik katekolamin dan AVP
mempengaruhi vasokonstriksi dengan meningkatkan kadar kalsium
intraselular pada otot polos vaskular melalui aktivasi saluran kalsium
voltage-gated; Aktivasi jalur vasodilator dapat mengganggu mekanisme ini.
Berbeda dengan katekolamin, AVP juga menghambat produksi guanosin
monofosfat siklik oleh interleukin 1 dan oleh ANP dan menghambat saluran
potassium adenosine triphosphate-activated dari otot polos vaskular.
Skenario di mana katekolamin tidak efektif dapat bergantung pada
kemampuannya untuk secara spesifik melawan mekanisme vasodilatasi
yang diaktivasi secara patologis. Pemulihan sensitivitas katekolamin yang
diamati setelah pemberian AVP juga dapat dijelaskan atas dasar ini. 38
Harus ditekankan bahwa ada keterbatasan mengenai penggunaan
vasopressin secara meluas untuk penanganan syok vasodilator refrakter

49
setelah operasi jantung. Keterbatasan ini termasuk kurangnya investigasi
dosis-respons; Risiko komplikasi seperti penurunan aliran darah koroner,
curah jantung, dan perfusi pada dosis tinggi; serta kurangnya bukti dari studi
randomized controlled trial dan prospektif yang menggunakan infus
viropresin arginine secara terus menerus pada pasien yang mengalami syok
vasodilator setelah operasi jantung.38

2.9 Capillary Leak Syndrome


Capillary leak syndrome (sindrom kapiler bocor) merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dan bayi yang dilakukan
operasi jantung. Hal ini umumnya terjadi akibat cardiopulmonary bypass
(CPB) yang lama atau circulatory arrest.

2.9.1 Patofisiologi
Sindrom ini terjadi akibat inflamasi sistemik yang menyebabkan
gangguan endotel kapiler. Bocornya kapiler mengganggu keseimbangan
antara tekanan onkotik dan hidrostatik pada albumin serta menyebabkan
molekul besar lainnya tidak bisa bertahan dalam kapiler. Protein dan
cairan pun berpindah menuju intertisium. Sindrom ini terlihat sama
dengan sepsis berat, yang akan mengganggu respon terhadap
inflamasi.39

2.9.2 Diagnosis
Gambaran klinis yang terlihat pada sindrom ini adalah sirkulasi
yang tidak stabil dengan penurunan tekanan darah, edema sistemik,
efusi pleura, ascites, tekanan pengisian jantung rendah. Hal ini terjadi
24 jam setelah CPB.39

2.9.3 Tatalaksana
Tidak ada tatalaksana spesifik yang dapat dilakukan pada
capillary leak syndrome. Hal yang dapat dilakukan adalah memberikan

50
terapi suportif. Misalnya menjaga tekanan saat pengisian jantung
dengan cardiac output yang baik. Selain itu, diperlukan tekanan
ventilator yang tinggi yaitu PEEP untuk mengatasi edema interstisial
dan efusi pleura. Pada pasien yang mengalami efusi pleura diperlukan
drainase untuk mengubah ventilasi.
Pemantauan nilai hematokrit yang normal hingga tinggi juga
dapat dilakukan untuk menstabilkan keadaan hemodinamik. Akibat
hilangnya protein, faktor pembekuan, dan imunoglobulin, terapi
penggantian cairan perlu dilakukan. Untuk mengubah gambaran klinis
ini, maka dibutuhkan transfusi albumin dan FFP (fresh frozen plasma)
jika perdarahan terjadi.39

2.10 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


ARDS merupakan salah satu penyebab kegagalan napas post
operatif dengan mortalitas mencapai 40% pada populasi umum dan 80%
pada pasien dengan operasi jantung. Peningkatan risiko ARDS
berhubungan dengan penggunaan cardiopulmonary bypass (CBP),
transfusi darah, dan ventilasi mekanis. PPOK dan CABG dikaitkan dengan
perkembangan penyakit ini, LVEF dan NYHA III-IV sebagai faktor risiko,
operasi jantung sebelumnya, syok, dan multiple transfusi sebagai prediktor
ARDS. Terdapat standar risiko yang digunakan untuk mengidentifikasi
pasien bedah yang berisiko ARDS berdasarkan adanya sembilan prediktor
independen ARDS (sepsis, operasi vaskular aorta berisiko tinggi, operasi
jantung berisiko tinggi, operasi darurat, sirosis, pengobatan sebelumnya
selain di rumah sakit, peningkatan laju pernafasan (20-29 dan >30x/menit),
FiO2>35% dan SpO2 <95%). Tidak semua prosedur bedah jantung
memiliki risiko yang sama mengembangkan ARDS.
Kejadian ARDS sebesar 8,1% setelah operasi katup, lebih dari 20%
kejadian setelah penempatan alat bantu ventrikel kiri. Dampak operasi
jantung sebagai faktor risiko pengembangan ARDS dengan hipotesis peran
kausatif dan sensitisasi protamine yang memicu rekasi kekebalan pada

51
akhir CBP dengan kompleks protamin-heparin menyebabkan pelepasan
C3a dan C4a. Reaksi kekebalan terhadap protamin mungkin juga
disebabkan oleh anafilaksis yang dimediasi IgE.40,41

2.10.1 Patofisiologi
Patofisiologi ARDS belum sepenuhnya diketahui. Diawali
dengan cedera paru maupun ekstraparu menyebabkan proliferasi
mediator inflamasi yang meningkatkan akumulasi neutrophil pada
mikrosirkulasi paru. Neutrophil ini mengaktifkan dan bermigrasi
dalam jumlah besar melintasi permukaan epitel endothelial dan
vaskular alveolar, melepaskan protease, sitokinin, dan oksigen
reaktif. Pelepasan migrasi dan mediator ini menyebabkan
permeabilitas vaskular patologis, celah pada epitel alveolar, dan
nekrosis sel alveolar tipe I dan II yang menyebabkan edema paru,
membrane hialin dan hilangnya surfaktan sehingga pertukaran
udara menjadi sulit.40,42
Pasien yang menjalani operasi jantung termasuk yang paling
sering membutuhkan transfusi darah. Hubungan antara transfusi
darah dengan komplikasi paru telah didokumentasikan, namun
pemahaman mengenai transfusion-related acute lung injury
(TRALI) jarang diketahui. TRALI didefinisikan sebagai terjadinya
hipoksia dan infiltrate paru bilateral dalam waktu 6 jam setelah
transfusi, biasanya disertai takipnea, sianosis, dyspnea dan demam.
Prevalensi diantara pasien bedah jantung 2,4% dengan angka
kematian berkisar 5-25%. Transfusi darah dianggap sebagai faktor
risiko komplikasi paru baik intraoperratif maupun pasca operasi
pada kelompok besar pasien yang menjalani operasi jantung
dengan cadangan kardiopolmuner yang rendah memiliki morbiditas
lebih tinggi.40,41
Paparan darah pada permukaan dan kondisi abnormal, pada
kasus ini adalah CBP dapat menimbulkan respon inflamasi sistemik

52
yang dapat menjadi suatu permulaan ARDS pada pasien operasi
jantung. Aktivasi jalur alternatif selama fase awal CBP dan
pelepasan C3a dan C5a dapat menyebabkan aktivasi neutrofil pada
sirkulasi pulmonal dan pelepasan lisosomal selanjutnya. Isi
granular (elastase dan myeloperoxidase) menyebabkan cedera paru
difus yang diperkuat dengan curah jantung yang rendah,
hipoperfusi splanchnic dan iskemia usus menyebabkan translokasi
endotoksin bakteri, namun respon inflamasi biasanya dapat
ditoleransi dengan baik oleh mayoritas pasien. Baru-baru ini
ditemukan adanya hubungan antara polimorfisme gen interleukin
IL-8 dan IL-6 dengan kerentanan terhadap perkembangan disfungsi
paru setelah CBP.40,41

2.10.2 Diagnosis
ARDS merupakan kelainan yang berlangsung progresif dan cepat,
pada awalnya bermanifestasi sebagai dyspnea, takipnea, dan hipoksemia
kemudian berkembang cepat menjadi kegagalan pernapasan. The
American-european consensus conference (AECC) menerbitkan kriteria
diagnostic ARDS adalah onset akut, PaO2/FiO2 200, infiltrate bilateral
terlihat pada gambaran radiologi, tidak ada bukti klinis hipertensi atrium
kiri. Pneumonia adalah penyebab utama ARDS, perlu diketahui perbedaan
pneumonia tanpa komplikasi dengan pneumonia yang berlanjut pada
ARDS. Secara umum pasien dengan pneumonia memiliki tanda
peradangan sistemik maupun paru yaitu demam, kedinginan, produksi
sputum, nyeri pleuritik, dan infiltrate lokal maupun multifocal, hipoksia
yang menyertai pneumonia berespon terhadap pemberian oksigen. Jika
hipoksia tidak respon terhadap pemberian oksigen maka diagnosis ARDS
perlu dipikirkan dan dikonfirmasi dengan kriteria diagnostik AECC. Pada
pasien dengan kombinasi pneumonia.

2.10.3 Terapi

53
Terapi suportif ARDS berupa ventilasi mekanis,
pencegahan stress ulcer dan tromboemboli vena dan terapi nutrisi.
Sebagian besar pasien ARDS membutuhkan sedasi, intubasi, dan
ventilasi. Setiap mode ventilator dapat digunakan sesuai dengan
protokol. Pengaturan disesuaikan untuk menjaga saturasi oksigen
88 sampai 95%. Pedoman praktik klinis merekomendasikan untuk
mempertahankan pH arteri 7,30-7,45. Penggunaan volume tidal 6
mL/kg lebih unggul dari volume tidal 10-15 mL/kg. Pilihan
farmakologis untuk ARDS masih terbatas, meskipun surfaktan
mungkin bermanfaat pada anak-anak dengan ARDS namun tidak
demikian dengan pasien dewasa. Penggunaan kortikosteroid masih
kontroversial, pemberian kortikosteroid awal dengan dosis
methylprednisolone dengan dosis berkisar 1-120 mg/kgbb per hari
dapat mengurangi lamanya perawatan menggunakan ventilator.
Selain tindakan ventilasi, pasien ARDS diberikan heparin dengan
berat molekul rendah 40 mg enoxaparin atau 5000 unit dalteparin
subkutan perhari atau heparin dosis rendah tidak terfragmentasi
(5000 unit subkutan dua kali sehari) untuk mencegah tromboemboli
vena kecuali kontraindikasi. Profilaksis stress ulcer dapat diberikan
sucralfate melalui pipa nasogastrik empat kali sehari atau ranitidine
150 mg oral atau melalui pipa nasogastrik dua kali sehari, 50 mg
intravena setiap enam sampai delapan jam, atau omepraxol 40 mg
oral, intravena atau melalui pipa nasogastrik.40,42
Strategi yang direkomendasikan untuk membatasi efek CBP
adalah mengurangi durasi CBP dan meminimalisasi pemberian
produk darah untuk mengurangi risiko TRALI. Strategi ventilasi
mekanis berperan dalam pencegahan ARDS. Ventilasi volume tidal
tinggi pada pasien operasi jantung dikaitkan dengan pelepasan
mediator inflamasi yang menyebabkan cedera paru. Dalam sebuah
penelitian membandingkan penggunaan volume tidal 12 mL/kgBB
dengan 6 mL/kgBB, angka kematian lebih rendah pada kelompok

54
dengan pemberian volume tidal rendah. PEEP dan oksigen juga
harus dititrasi hati-hati untuk mencapai SpO2 > 93%. Tindakan
umum untuk mengurangi kemungkinan ARDS akibat ventilator-
induced lung injury (VILI) berupa pembersihan pipa nasofaring
dan orofaring dengan menggunakan klorheksidin, aspirasi sekresi
subglotis, cuci tangan sebelum tindakan, optimalisasi terapi sedatif,
penggunaan volume tidal rendah, bahkan pada kasus yang
mengancam diberikan extracorporeal membrane oxygenation
(ECMO). Selain upaya pencegahan, terdapat intervensi pendukung
seperti pembatasan cairan dan transfuse serta vasodilator inhalasi.
Penggunaan profilaksis antibiotik spectrum luas penggunaannya
masih kontroversial karena dapat berdampak pada peningkatan
angka resistensi bakteri.41,42

2.11 Stress Ulcer


Stress ulcer merupakan salah satu komplikasi pasca operasi
jantung. Prevalensi yang dilaporkan sebanyak 0,35%-0,9%. Stress ulcer
pasca operasi jantung dapat meningkatkan angka mortalitas hingga 22%.
Ulkus duodenal/gaster umumnya 60% ditemui pada pasca operasi jantung
dan 40% pasca operasi vaskular. Perdarahan yang terjadi pada sistem
gastrointestinal berhubungan dengan gagal jantung dan stroke.43

2.11.1 Patofisiologi
Patogenesis dari stress ulcer sangat kompleks dan
multifaktorial. Selama dan setelah operasi, pasien lebih rentan
mengalami komplikasi gastrointestinal, berupa iritasi mukosa,
stress, dan efek dari penggunaan obat antiplatelet dan
antikoagulan.43

Stress
Pasien yang akan melalui operasi jantung umumnya
akan mengalami stress. Walaupun angka mortalitas rendah,
namun tanpa penanganan yang tepat banyak pasien yang
tidak dapat menyelesaikan operasi jantung dengan baik.

55
Pasien akan mengalami stress setelah dilakukan tindakan
anestesi dan prosedur operasi sehingga sering dihubungkan
dengan perdarahan pada sistem gastrointestinal. 43

Faktor utama yang mengakibatkan komplikasi adalah
rendahnya aliran darah sistemik. Hal ini menyebabkan
terjadinya defisit oksigen dan energi ke jaringan. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan keasaman pada gaster dan
permeabilitas seluler. Traktus gastrointestinal tidak
memiliki kemampuan autoregulasi untuk mengompensasi
penurunan tekanan darah. Peningkatan permeabilitas
mukosa dihubungkan dengan derajat endotexemia yang
akan menyebabkan vasokontriksi dan gangguan fungsi
seluler sehingga terjadi kerusakan mukosa. Jika terjadi
hipoperfusi dan iskemia pada mukosa lambung, maka akan
terjadi kolonisasi mikroorganisme dan infeksi. 43

Setelah operasi, PH lambung akan turun. Pemberian


porfilaksin antihistamin dan antasida sering digunakan untuk
mencegah terjadu erosi duodenum dan gaster, ulcer serta
perdarahan. Faktor lain yang menyebabkan terjadi kerusakan
mukosa gaster dan duodenal adalah lama prosedur CBAG,
pemasangan PEEP (high positive and expiratory pressure)
ventilation, transfusi darah, explorasi ulang terhadap perdarahan
dan aritmia pasca operasi.43

2.11.2 Diagnosis
Pasien yang mengalami penyakit serius (sudah dilakukan
CBAG) umumnya masih merasakan efek penggunaan ventilator
yang lama dan sedasi. Pasien juga terkadang sulit untuk dibawa ke
ruang radiologi guna dilakukan pemeriksaan endoskopi atau
radiologi. Oleh sebab itu, tanpa pemeriksaan yang lengkap, pasien

56
akan mengeluh tidak nafsu makan, tidak ada rasa saat makan dan
mual. Keluhan ini terjadi pada 20% - 40% pasien pasca operasi
jantung. Aspirin dan obat antikoagulan juga merupakan faktor
penyebab ulkus gaster. Onset terjadinya keluhan gastrointestinal
berkisar antara hari ke 9-13 pasca operasi. Menurut penelitian,
keluhan ulkus multipel dan ulkus duodenal pertama terjadi pada hari
ke-5 dan diikuti ulkus luas dan duodenal pada hari ke-21 serta 22%
mengalami perdarahan. Perdarahan berulang dapat terjadi pada
5,3%-12,5% pasien.43
2.11.3 Terapi
Pada kasus seperti ini, sulit untuk mencari sumber dari
perdarahan. Maka diperlukan nasogastric tube dan bilas lambung.
Pemeriksaan endoskopi merupakan lini pertama dalam
penatalaksanaan ulkus gaster karena sangat penting untuk melihat
lesi dari sistem gastrointestinal. Dengan melihat menggunakan
endoskopi, maka dokter dapat melihat sumber perdarahan, prognosis
untuk dilakukan operasi lanjutan dan prognosis. Obat golongan PPI
(proton pump inhibitor), transfusi RBC dan FFP (fresh frozen
plasma) dapat diberikan.43

57
BAB III
KESIMPULAN

Operasi jantung merupakan salah satu tindakan yang dipilih sebagai


tatalaksana gangguan jantung. Akan tetapi beberapa komplikasi sering terjadi
dan menjadi masalah lain yang muncul post operasi. Komplikasi yang sering
terjadi disebabkan oleh penurunan perfusi ke jaringan yang berkurang.
Penurunan perfusi renal pada saat dilakukan pembedahan dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya AKI. Selain itu, pada pasien yang
menjalani oeprasi jantung, akan terjadi perubahan struktur jantung yang dapat
mempengaruhi irama jantung. Gangguan irama jantung yang paling sering
terjadi adalah Atrial Fibrilasi. Tamponade jantung juga merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada pasien post oeprasi jantung, tamponade yang terjadi
biasanya terlokalisasi pada ruang jantung tertentu. Gangguan lain yang sering
muncul pada pasien adalah kemungkinan perdarahan berulang yang perlu
tindakan pembedahan ulang sebagai tatalaksana pilihannya. Gangguan saraf
pusat juga tidak dapat dsingkirkan pada pasien yang menjalani operasi
jantung, gangguan saraf pusat dapat terjadi karena kerusakan pada otak,
medulla spinalis, dan atau gangguan pada saraf perifer, gangguan saraf yang
terjadi dibagi menjadi dua yaitu gangguan psikologi dan neurologis.
Beberapa komplikasi lain yang dapat ditemukan pada pasien yang
dirawat di ICU pasca operasi kardiovaskuler yaitu systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), postoperative cognitive dysfunction (POCD),
sindroma vasoplegik, capillary leak syndrome, dan ARDS
SIRS dimanifestasikan oleh dua atau lebih dari kondisi berikut: suhu>
38 C, detak jantung >90 kali/menit, laju pernafasan >20 kali/menit atau
PaCO2 (karbon dioksida) <32 mmHg, jumlah WBC >12.000/mm3 atau
<4.000/mm3 atau neutrofil imatur (band) >10% dari jumlah neutrofil total.
Karena SIRS merupakan tanda peringatan awal kerusakan organ, pengobatan
untuk mencegah produksi berlebihan sitokin inflamasi dilakukan segera

58
setelah pelepasan klem aorta, yaitu mengurangi durasi CPB dan pemberian
obat antiinflamasi (steroid).
POCD adalah penurunan fungsi kognitif setelah operasi dan anestesi
dari tingkat awal pra operasi. Kriteria yang digunakan secara rutin adalah
perubahan persentase dari baseline dalam sejumlah tes neuropsikologis
(biasanya penurunan 0,20% pada dua atau lebih tes) atau penurunan absolut
dari skor awal lebih besar dari proporsi standar deviasi atau lebih (biasanya 1
SD, dihitung dari nilai awal). Metode untuk meminimalkan POCD dalam
operasi jantung terbagi menjadi preoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif.
Sindroma vasoplegik ditandai dengan hipotensi, takikardia, curah
jantung yang normal atau meningkat, dan penurunan tahanan vaskular
sistemik (SST) dan tekanan pengisian yang rendah, dan kurang atau tidak
responsif terhadap peningkatan volume dengan infus cairan. Tatalaksana
sindrom vasoplegik masih kontroversial. Katekolamin umumnya diberikan
untuk mendukung tekanan arteri sistemik. Baru-baru ini, penggunaan
vasopressin telah dilaporkan untuk pengobatan sindrom vasoplegik. Setelah
bypass kardiopulmoner, terutama pada kasus yang refrakter terhadap
norepinephrine.
Capillary leak syndrome merupakan komplikasi yang sering terjadi
pada naka-anak dan bayi pasca operasi jantung. Sindrom ini terjadi akibat
inflamasi sistemik yang menyebabkan gangguan endotel kapiler, bocornya
kapiler dapat mengganggu keseimbangan antara tekanan onkotik dan
hidrostatik. Gambaran klinis yang terjadi pada sinrom ini yaitu gangguan
sirkulasi, edema sistemik, efusi pleura, ascites dan tekanan jantung yang
rendah. Pengobatan pada sindrom ini hanya dengan pengobatan suportif,
tergantung dengan komplikasi yang terjadi.
ARDS merupakan kelainan paru progresif dan cepat, awalnya
bermanifestasi sebagai dyspnea, takipnea, dan hipoksemia kemudian
berkembang cepat menjadi kegagalan pernapasan. Kriteria diagnostik ARDS
adalah onset akut, PaO2/FiO2 200, infiltrat bilateral terlihat pada gambaran
radiologi, tidak ada bukti klinis hipertensi atrium kiri. Pneumonia adalah
penyebab utama ARDS, pneumonia respon terhadap oksigen namun tidak

59
pada ARDS. Strategi yang direkomendasikan untuk membatasi efek CBP
adalah mengurangi durasi CBP dan meminimalisasi pemberian produk darah
untuk mengurangi risiko TRALI. Penggunaan volume tidal 6 mL/kg menjadi
salah satu pilihan terapi.
Stress ulcer merupakan salah satu komplikasi pasca operasi jantung,
stress ulcer juga dapat meningkatkan angka mortalitas pasca operasi jantung.
Komplikasi dari stress ulcer berupa ulkus duodenal dan perdarahan pada
system gastrointestinal. Stress ulcer umumnya disebabkan oleh stress dan
rendahnya aliran darah sistemik yang menyebabkan rendahnya aliran darah ke
jaringan dan peningkatan leasaman pada gaster dan permeabilitas seluler.
Pasien biasanya mengeluh mual muntah dan tidak nafsu makan. Jika hal ini
terjadi harus dilakukan nasogastric tube dan bilas lambung untuk mencari
sumber perdarahan. Obat golongan PPI, transfuse RBC dan FFP dapat
diberikan pada pasien ini.
Tatalaksana yang dipilih untuk menangani kemungkinan komplikasi
yang terjadi pada pasien ditunjukkan untuk mencegah lamanya perawatan
selama di ICU.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Paula Carmona, Eva Mateodan Irene Casanovas. 2011. Management of


Cardiac Tamponade after Cardiac Surgery. Journal of Cardiothoracic and
Vascular Anesthesia, August 2011. Diambil dari:
https://www.researchgate.net/publication/51596482.
2. Oneal, et all. 2016. Acute Kidney Injury Following Cardiac Surgery:
Current Understanding and Future Directions. Critical Care, July 2016.
No.20:187-96.
3. G. Despotis, et all. 2009. Prediction and Management of Bleeding in
Cardiac Surgery. Journal of Thrombosis and Haemostasis, December
2009. Vol. 7, No. 1:111-17.
4. Keyvan Karkouti, et all. 2017. Acute Kidney Injury after Cardiac Surgery
Focus on Modifiable Risk Factors. Circulation, May 2017. No. 119;496-
502
5. Tom KM wong, et all. 2013. Diagnosis of MI after CABG with High-
Sensitivity Troponin T and New ECG or Echocardiogram Changes:
Relationship with Mortality and Validation of the Universal Definitionof
MI. Acute Cardiovascular Care, May 2013. Vol. 2 No. 4:323-33.
6. Arrowsmith J. E., et all. 2000. Central Nervous System Complications of
Cardiac Surgery. British Journal of Anaesthesia, July 2000. Vol. 3 No.
84:378-93.
7. Giovanni Peretto, et all. 2014. Postoperative Arrhythmias after Cardiac
Surgery: Incidence, Risk Factors, and Therapeutic Management.
Diambildari: http://dx.doi.org/10.1155/2014/615987. (07 Juni 2017)
8. Jose Juan, et all. 2012. Acute Kidney Injury After Cardiovascular Surgery:
An overview. Methodist DeBakey Heart & Vascular Center (2012) VIII;3.
9. Ball L, Costantino F, Pelosi P. 2016. Postoperative complications of
patients undergoing cardiac surgery. Curr Opin Crit Care. 2016 Aug;
22(4): 386-92
10. Spodick DH. Acute cardiac tamponade. N Engl J Med 2003; 349:684690.
11. Roy CL, Minor MA, Brookhart MA, Choudhry NK. Does this patient with
a pericardial effusion have cardiac tamponade? JAMA 2007; 297:1810
1818.
12. Imazio M, Mayosi BM, Brucato A, Markel G, Trinchero R, Spodick DH,
Adler Y. Triage and management of pericardial effusion. J Cardiovasc Med
(Hagerstown) 2010; 11:928935.
13. The Task Force for the Diagnosis and Management of Pericardial Diseases
of the European Society of Cardiology (ESC) Endorsed by: The European
Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS). 2015 ESC Guidelines
for the diagnosis and management of pericardial diseases. European Heart
Journal. doi:10.1093/eurheartj/ehv318
14. Klein AL, Abbara S, Agler DA, Appleton CP, Asher CR, Hoit B, Hung J,
Garcia MJ, Kronzon I, Oh JK, Rodriguez ER, Schaff HV, Schoenhagen P,
Tan CD, White RD. American Society of Echocardiography clinical

61
recommendations for multimodality cardiovascular imaging of patients
with pericardial disease: endorsed by the Society for Cardiovascular
Magnetic Resonance and Society of Cardiovascular Computed
Tomography. J Am Soc Echocardiogr 2013; 26:9651012. e15
15. Cosyns B, Plein S, Nihoyanopoulos P, Smiseth O, Achenbach S, Andrade
MJ, Pepi M, Ristic A, Imazio M, Paelinck B, Lancellotti P; on behalf of
the European Association of Cardiovascular Imaging (EACVI) and
European Society of Cardiology Working Group (ESC WG) on
Myocardial and Pericardial diseases. European Association of
Cardiovascular Imaging (EACVI) position paper: multimodality
16. Ristic AD, Imazio M, Adler Y, Anastasakis A, Badano LP, Brucato A,
Caforio AL, Dubourg O, Elliott P, Gimeno J, Helio T, Klingel K, Linhart
A, Maisch B, Mayosi B, Mogensen J, Pinto Y, Seggewiss H, Seferovic
PM, Tavazzi L, Tomkowski W, Charron P. Triage strategy for urgent
management of cardiac tamponade: a position statement of the European
Society of Cardiology Working Group on Myocardial and Pericardial
Diseases. Eur Heart J 2014; 35:22792284.
17. Whitlock RP., et al. Methylprednisolone in patients undergoing
cardiopulmonary bypass (SIRS): a randomised, double-blind, placebo-
controlled trial. Lancet Lond Engl 2015; 386:12431253.
18. Echahidi N, Pibarot P, Pibarot P,OHara G, Mathieu P. Mechanisms,
Prevention, and Treatment of Atrial Fibrillation After Cardiac Surgery.
JACC 2008; 51 (8): 793-801.
19. Palin CA, Kailasam R, Houge CW. Atrial Fibrillation After Cardiac
Surgery: Pathophysiology and treatment. Semin Cardiothorac Vasc Anesh
2004;8: 175-83
20. Fuster V, Ryden EL, Cannom SD, Crijns HJ, Curtis AB, Morais J et al
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with
atrial fibrillation: full text. Eurospace 2006; 8: 651-745.
21. Kay NG, Plumb GN. Rhythm and Conduction Disorders: Atrial
fibrillation, atrial flutter and atrial tachycardia. Hursts The Heart 2004;11
(2):825-54.
22. King ED, Dickerson ML, Sack J. Acute Management of Atrial Fibrillation:
Part I. Rate and Rhythm Control. American Family Physician 2002; 66
(2):249-56.
23. Khairy P, Nattel S. New insights into the mechanisms and management of
atrial fibrillation. JAMC 2002;167 (9):1012- 20
24. Iqbal BM, Taneja KA, Lip YHG, Flather M. Clinical Review: Recent
developments in atrial fibrillation. BMJ 2005; 330:238-43.
25. Kristensen L. Katrine. 2012. Reoperation bleeding in cardiac surgery .
Interactive Cardiovascular and thoracic surgery 14 (2012) 709-713.
26. Mir, H. Najeeb, et all. 2013. Spontaneous Bleeding from Liver After Open
Heart Surgery. International Journal of Surgery 4 (2013) 803-804.
27. Rizwan, A.M., et all. 2012. Seizure Following Cardiac Surgery: The
Impact of Tranexamic Acid and Other Risk Factors. J Can Anesth (2012)
59:6-13.

62
28. Garcia-Cabrera, E., et all. 2017. Neurologic Complications of Infective
Endocarditis: Risk Factors, Outcome, and Impact of Cardiac Surgery: A
multicenter Observational Study. Diambil dari: http://circ.ahajournals.org.
(31 Juli 2017)
29. Lomivorotov VV, Efremov SM, Pokushalov EA, Karaskov AM. New-
onset atrial fibrillation after cardiac surgery: pathophysiology, prophylaxis,
and treatment. J Cardiothorac Vasc Anesth 2016; 30:200216.
30. Premaratne S, Premaratne ID, Fernando ND, et al. Atrial fibrillation and
flutter following coronary artery bypass graft surgery: a retrospective
study and review. JRSM Cardiovasc Dis 2016; 5:2048004016634149.
31. Peretto G, Durante A, Limite LR, Cianflone D. Postoperative arrhythmias
after cardiac surgery: incidence, risk factors, and therapeutic management.
Cardiol Res Pract 2014; 2014:115.
32. Ali-Hassan-Sayegh S, Mirhosseini SJ, Haddad F, et al. Protective effects
of corticosteroids in coronary artery bypass graft surgery alone or
combined with valvular surgery: an updated and comprehensive meta-
analysis and systema- tic review. Interact Cardiovasc Thorac Surg 2015;
20:825836.
33. Cappabianca G, Rotunno C, de Luca Tupputi Schinosa L, et al. Protective
effects of steroids in cardiac surgery: a meta-analysis of randomized
double-blind trials. J Cardiothorac Vasc Anesth 2011; 25:156165
34. Shinji Hirai. Systemic Inflammatory Response Syndrome after Cardiac
Surgery under Cardiopulmonary Bypass. Ann Thorac Cardiovasc Surg.
2003. Vol. 9, No. 6
35. Jens Litmathe, Udo Boeken, Gabriele Bohlen, Dilek Gursoy, Christoph
Sucker, Peter Feindt. Systemic Inflammatory Response Syndrome After
Extracorporeal Circulation: A Predictive Algorithm for the Patient at Risk.
Hellenic J Cardiol. 2011; 52: 493-500
36. Audrey Miang Ying Tan, Derek Amoako. Postoperative cognitive
dysfunction after cardiac surgery. Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care & Pain. 2013. Volume 13 Number 6
37. Denault A, Deschamps A, Murkin J. A proposed algorithm for the intrao-
perative use of cerebral near-infrared spectroscopy. Semin Cardiothorac
Vasc Anesth. 2007. 11: 274 81
38. Shahzad G. Raja, MRCS Gilles D. Dreyfus. Vasoplegic Syndrome after
Off-Pump Coronary Artery Bypass Surgery. Tex Heart Inst J. 2004.
31:421-4.
39. King Edward Memorial Hospital. General Complications following Cardiac
Surgery and Management (14). Neonatology Clinical Guidlines.2015
40. Rong LQ, Franco AD, Gaudino M. Acute respiratory syndrome after
cardiac surgery. J Thorac Dis.2016; 8(10): 1177-1186

63
41. Hoegl S, Zwissler B, Eltzschig HK, Vohwinkel C. Acute respiratory
distress syndrome following cardiovascular surgery: current concepts and
novel therapeutic approaches. Curr Opin Anaesthesiol. 2016; 29(1): 94-
100.
42. Saguil A, Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: diagnosis and
management. Am Fam Physician.2012; 85(4): 352-358.
43. M. A. Houssa et al. 2013. Stress Gastric Ulcer After Cardiac Surgery:
Pathogenesis Risk Factors and Medical Management. World Journal of
Cardiovascular Diseases. No.3:312-316

64

Anda mungkin juga menyukai