Anda di halaman 1dari 24

PANGAN FUNGSIONAL

OLEH :

OLEH :

SAIFUDDIN SIRAJUDDIN

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser. Bahan pangan

yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang

baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi

fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol,

dan kadar gula darah, serta meningkatkan penyerapan kalsium, (Astawan 2003).

Goldberg (1994) menyebutkan bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara

maju dalam memilih bahan pangan bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi serta

kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh. Fenomena tersebut

melahirkan konsep pangan fungsional.

The International Food Information Council (IFIC) mendefinisikan pangan

fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat gizi

dasar (IFIC Foundation,1998).

American Dietetic Association (1999) menyatakan bahwa yang termasuk pangan

fungsional tidak hanya pangan alamiah tetapi juga pangan yang telah difortifikasi atau

diperkaya, dan diperkaya, dan memberikan efek potensial yang bermanfaat untuk

kesehatan jika dikonsumsi sebagai bagian dari menu pangan yang bervariasi secara

teratur pada dosis yang efektif.

2
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh

suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah:

1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang

berasal dari bahan (ingredien) alami,

2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari,

3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam

proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah

penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu,

menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk menjelaskan pengertian, klasifikasi, factor-faktor

yang mempengaruhi dan mekanisme kerja pangan fungsional.

BAB II

PEMBAHASAN

3
2.1 Pengertian

Pengertian Pangan Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya

dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat

gizi yang terkandung di dalammya (The First Internasional Conferensi East- West

Perspective on Fungsional Foods 1996 ).

Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung bahan-bahan yang

berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak membahayakan,

dan bermanfaat bagi kesehatan (Wildman 2001). Pangan fungsional adalah pangan yang

dapat memberikan manfaat kesehatan diluar zat-zat gizi dasar (The International Food

Information).

Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui

proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah

dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan.

Serta dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan atau minuman, mempunyai

karakteristik sensori berupa penampakan, warna dan tekstur dan cita rasa yang dapat

diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek

samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi

lainnya (Badan POM, 2001).

The International Food Information Council (IFIC) mendefinisikan pangan

fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat gizi

4
dasar (IFIC Foundation,1998). Menurut konsensus pada The First International

Conference on East-West Perspective on Functional Foods yang diorganisir oleh ILSI

(International Life Sciences Institute) tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan

yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan,

di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya

(Clydesdale, 1999). Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences,

Food and Nutrition Board , Institute of Medicine (1994), menyatakan bahwa yang

tergolong pangan fungsional adalah pangan yang konsentrasi satu atau lebih

ingradiennya telah dimanipulasi atau dimodifikasi untuk meningkatkan kontribusinya

sebagai pangan yang menyehatkan.

American Dietetic Association (1999) menyatakan bahwa yang termasuk pangan

fungsional tidak hanya pangan alamiah tetapi juga pangan yang telah difortifikasi atau

diperkaya, dan diperkaya, dan memberikan efek potensial yang bermanfaat untuk

kesehatan jika dikonsumsi sebagai bagian dari menu pangan yang bervariasi secara

teratur pada dosis yang efektif.

Pangan Fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat

memberikan manfaat bagi kesehatan di luar manfaat yang diberikan zat gizi yang

terkandung di dalamnya. Dikenal dengan nutraceutical, designer food, medicinal food,

therapeutic food, food ceutical dan medifood.

Pangan fungsional adalah pangan yang memiliki tiga fungsi yaitu fungsi primer,

artinya makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat, protein, lemak,

vitamin dan mineral); fungsi sekunder artinya makanan tersebut dapat diterima oleh

5
konsumen secara sensoris dan fungsi tersier artinya makanan tersebut memiliki fungsi

untuk menjaga kesehatan, mengurangi terjadinya suatu penyakit dan menjaga

metabolisme tubuh. Jadi pangan fungsional dikonsumsi bukan berupa obat (serbuk)

tetapi dikonsumsi berbentuk makanan. Contoh makanan fungsional yaitu makanan yang

mengandung bakteri yang berguna untuk tubuh: yoghurt, yakult, makanan yang

mengandung serat, misalkan bekatul, tempe, gandum utuh, makanan yang mengandung

senyawa bioaktif seperti teh (polifenol) untuk mencegah kanker, komponen sulfur

(bawang) untuk menurunkan kolesterol, daidzein pada tempe untuk mencegah kanker,

serat pangan (sayuran, buah, kacang-kacangan) untuk mencegah penyakit yang

berkaitan dengan pencernaan.

2.2. Klasifikasi

Klasifikasi penggolongan pangan fungsional menurut Juvan et al. 2005 adalah

sebagai berikut.

1. Berdasarkan golongan dari pangan tersebut (produk susu dan turunannya,

minuman, produk sereal, produk kembang gula, minyak, dan lemak)

2. Berdasarkan penyakit yang akan dihindari atau dicegah (diabetes, osteoporosis,

kanker kolon)

3. Berdasarkan efek fisiologis (imunologi, ketercernaan, aktivitas anti-tumor)

4. Berdasarkan kategori komponen bioaktif (mineral, antioksidan, lipid, probiotik)

5. Berdasarkan sifat organoleptik dan fisikokimia (warna, kelarutan,tekstur)

6. Berdasarkan proses produksi yang digunakan (kromatografi, enkapsulasi,

pembekuan)

6
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

1. Akses Pangan
Akses pangan (rumah tangga) adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial,
teknologi, finansial/keuangan, alam, manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/atau
ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan, termasuk di rumah tangga.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua
rumah tangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.
Masalah akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan
dari masalah kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan
tidak tetap, serta terbatasnya daya beli. Aksesibilitas pangan atau keterjangkauan pangan
oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: harga pangan, tingkat
pendapatan atau daya beli, kestabilan keamanan sosial, anomali iklim, bencana alam,
lokasi dan topografi, keberadaan sarana dan prasarana transportasi, kondisi jalan, dan
lainnya.
Permasalahan akses pangan secara fisik masih disebabkan oleh kurang
memadainya fasilitas prasarana jalan, pelabuhan, dan sarana angkutan/transportasi yang
menyebabkan biaya distribusi pangan menjadi mahal. Sarana distribusi pangan seperti
fasilitas pasar umum, sarana
penyimpanan dan pengolahan hasil pertanian, masih terbatas jumlahnya. Terbatasnya
sarana tersebut menyulitkan masyarakat untuk melakukan penyimpanan dan pengolahan,
sehingga tidak dapat diperoleh mutu pangan dan nilai tambah yang tinggi. Peraturan
perundangan juga belum mendukung kelancaran distribusi pangan, berbagai pungutan
dan retribusi mengakibatkan meningkatnya biaya distribusi pangan.
Rendahnya akses masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang
meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan

7
pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan
pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah.
2. Sarana prasarana Transportasi
Masalah dan tantangan fisik utama yang dihadapi dalam perbaikan akses
pangan masyarakat antara lain adalah masih terjadinya kesenjangan, ketersediaan, dan
distribusi pangan setempat dengan kebutuhan. Hal ini antara lain disebabkan masih
belum meratanya sarana-prasarana transportasi untuk mendukung distribusi pangan,
khususnya pengiriman bahan/komoditas pangan dari daerah surplus ke daerah deficit
pangan. Sejumlah daerah, khususnya di wilayah Indonesia Bagian Timur masih belum
memiliki sarana transportasi yang memadai, padahal di wilayah tersebut justru terjadi
defisit pangan. Sebagai dampaknya, akses pangan di wilayah tersebut menghambat
pertumbuhan pasar-pasar pangan di wilayahwilayah yang defisit pangan tersebut.
Sebagai akibatnya, maka terjadi hambatan untuk memperoleh pangan untuk memenuhi
konsumsi sesuai kaidah gizi seimbang dan PPH yang diharapkan.
3. Ekonomi dan daya Beli Masyarakat
Masalah dan tantangan ekonomi karena masih rendahnya pendapatan
masyarakat berakibat pada daya beli masyarakat terhadap komoditas pangan menjadi
menurun. Rendahnya daya beli masyarakat tidak hanya terjadi di wilayah pedesaan,
tetapi juga terjadi di wilayah perkotaan. Masalah ini antara lain juga disebabkan oleh
persoalan pengangguran serta kondisi ekonomi wilayah yang masih belum baik.
Rendahnya daya beli ini antara lain menyebabkan tingkat konsumsi pangan masyarakat
masih di bawah yang direkomendasikan untuk mendukung kehidupan yang sehat dan
aktif.
Tantangan ekonomi lainnya yang menjadi hambatan dalam peningkatan
aksesibilitas pangan adalah rendahnya sumberdaya yang tersedia di wilayah untuk
mendorong terciptanya dampak pengganda ekonomi yang dapat menciptakan sumber-
sumber pendapatan dan mata pencaharian.
4. Pendidikan Masyarakat

8
Masalah dan tantangan sosial yang masih menjadi penghambat aksesibilitas
terhadap pangan terutama adalah faktor pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Secara umum tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah akan berdampak pada
masih rendahnya kapasitas individu sehingga membatasi ruang gerak dalam
memperoleh sumber-sumber pendapatan (mata
pencaharian).
Kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah umumnya menggantungkan
hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya alam secara primer, sehingga tidak dapat
memperoleh nilai tambah ekonomi. Rendahnya pendidikan masyarakat juga
menyebabkan hambatan proses adopsi teknologi yang sebenarnya dapat mendorong
produktivitas usaha.
5. Budaya
Permasalahan lain yang menyangkut konsumsi pangan adalah masih adanya
budaya dalam masyarakat yang terkait dengan pantangan makanan dan kepercayaan
yang bertentangan dengan gizi dan kesehatan.

ekspresi gen
2.5. Mekanisme Kerja Kedelai sebagai salah satu Pangan Fungsional
dan fungsi
sel-beta. Impaired insulin secretion
Sekresi insulin Sekresi insulin ekspresi gen
dan fungsi
sel-beta.
CREB aktif

PKA aktif CREB9aktif


cAMP
aktif
cAMP PKA aktif
aktif
Genestein PPAR inaktif

Genistein PPAR Teraktivasi

Lipolisis, Asam lemak bebas, TNF-, Leptin,


Pengaruh Isoflavon pada Tempe dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah
Adinopectin

Kestabilan glukosa darah melibatkan empat organ utama yakni pannkreas, hati,
Meningkatkan
sensivitas Insulin
dan otot/jaringan adipose. Keempat organ tersebut juga sangat dipengaruhi oleh status

10
kesehatan seseorang seperti obesitas, pola makan, aktivitas fisik, hormonal. Serta

aradox. Ketidakstabilan pada ketiga organ tersebut akan berdampak pada ketidakstabilan

glukosa darah yang berupa hiperglikemia. Untuk itulah isoflavon pada tempe berupa

genistein dapat memotong jalur patofisiologi hiperglikemia.

Waktu paruh plasma dari genistein dan daidzein pada orang dewasa adalah 7,9

jam dan mencapai kadar puncak 68 jam setelah pemberian komponen murni. Sebagai

konsekuensinya, konsumsi terus menerus dari diet yang mengandung kedelai pada

akhirnya akan menghasilkan konsentrasi isoflavon plasma yang tinggi dan menetap

(Cassidy et all, 1995).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dian S.Ghozali,dkk menunjukkan bahwa

konsumsi tempe pada tikus induksi STZ (Streptozotocin) yang menyebabkan

peningkatan glukosa darah mempengaruhi penurunan gula darah pada tikus tersebut

dibandingkan kelompok aradox. Hal ini memperlihatkan bahwa tempe secara

signifikan memiliki efek hipoglikemik.

Efek penurunan gula darah tersebut karena tempe merupakan sumber isoflavon.

Tepatnya komponen bioaktif isoflavon yang berupa genistein dan daidzein telah

dihubungkan dengan aktivitas penurunan gula darah. Berikut ini adalah peran zat aktif

tempe dalam menurunkan glukosa darah:

Aktivasi cAMP (Siklus AdenoMonofosfat)

cAMP merupakan second messenger yang dibentuk dari senyawa ATP oleh
2+
kerja enzim Adenilat Siklase dengan adanya Mg yang membentuk suatu kompleks

dengan ATP untuk bertindak sebagai substrat untuk reaksi (Indah, 2007).

11
Sistem adenilat siklase-cAMP mempunyai peran penting dalam mengontrol

sekresi insulin dari sel beta aradox . Secara invivo, adenilat siklase dirangsang untuk

meningkatkan kadar cAMP intraseluler dalam sel beta oleh aradox-hormon seperti

aradox , dan hal ini akan dapat meningkatkan pelepasan insulin dengan akibat dapat

menurunkan konsentrasi glukosa (Juniastutik, 2005).

Glukosa dan aktivitas cAMP memiliki mekanisme yang searah untuk untuk

meningkatkan sekresi insulin, hal ini kemungkinan karena (W. Phang, et all, 1984);

a. Glukosa menghambat pengeluaran Na+ - Ca2+,

b. cAMP meningkatkan sensivitas jaringan terhadap insulin dengan cara

meningkatkan sekresi Ca2+.

Dari kombinasi keduanya yakni aktivitas cAMP dan peningkatan pemasukan

Ca2+, serta menghalangi pertukaran Na+ - Ca2+, serta meningkatnya sekresi Ca2+ memicu

peningkatan sekresi insulin oleh sel -pakreas (W. Phang, et all, 1984).

cAMP berperan sebagai second messenger pada molekul intraseluler dari

beberapa hormone diantaranya epinefrin, ACTH, dan LH. cAMP memiliki signal target

pula pada PKA (Duthoid. 2005) . Genistein mempunyai efek yang bermanfaat tidak

hanya pada variasi jaringan, tapi juga pada fisiologi sekresi insulin. Genistein

meningkatkan laju sekresi insulin menstimulasi glukosa, glucose-stimulated insulin

secretion (GSIS) pada Insulin-secreting cell lines (INS-1) dan mouse pancreatic islets

(MIN6) glukosa-merangsang sekresi insulin) pada jalur sel-mensekresi insulin (INS-1)

dan mouse pulau aradox (MIN6). Dalam hal ini genistein meningkatkan GSIS hingga

>50%. Genistein meningkatkan intracellular cAMP (signal cAMP memiliki peranan

12
penting pada sekresi insulin) dan aktifnya protein kinase A (PKA) pada kedua jalur sel

dan sel pada pulau langerhans dari mekanisme. Induksi cAMP dari genistein, pada

konsentrasi fisiologi, dihasilkan dari tingginya aktivitas siklus adenylate (peran aktivitas

siklus adenylate pada induksi genistein cAMP mengakumulasi sel ), genistein pada

aktivitas siklus adenylate pada isolasi membrane plasma pada sel INS-1. cAMP

mempunyai efek yang baik pada sel , termasuk proteksi sel dari proinflamatori sitokin

dan rusaknya induksi lipid serta apoptosis stimulasi kelangsungan hidup sel dan

proliferasi, dan langsung mengatur gen ekspresi. Insulin Farmakologi atau intervensi

aradox pada aktivasi PKA termasuk efek insulinotropik pada genistein adalah media

utama melalui PKA. Penemuan ini membuktikan bahwa genistein yang langsung

bekerja pada sel- aradox , yang berperan penting untuk mengaktifkan signal

cAMP/PKA mendesak efek insulinotropik, hal itu melengkapi peranan genistein pada

regulasi sekresi insulin (Liu, et al ,2006).

Penurunan aktivitas Glukosa-6-fosfatase dan Aktivasi Glukokinase

Seperti pada glikolisis, glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa 6-fosfat

yang dikatalisis oleh enzim heksokinase di otot dan glukokinase di hati untuk

membentuk glikogen. Di hati peran glikogen adalah menyediakan glukosa bebas untuk

diekspor guna mempertahankan kadar glukosa dalam darah, di otot peran glikogen

adalah sebagai sumber glukosa 6-fosfat untuk glikolisis sebagai respon terhadap

kebutuhan akan ATP untuk konstraksi otot (Murray, et all, 2009: 166).

Pada tahap glikogenesis glukosa ditambah ATP dengan bantuan Mg2+ dan

glukokinase akan menghasilkan gukosa 6-fosfat. Gukosa 6-fosfat selanjutnya

13
mengalami isomerisasi menjadi glukosa 1-fosfat dengan bantuan fosfoglukomutase dan

Mg2+. Glukosa 1-fosfat selanjutnya akan disintesis menjadi glikogen dengan melibatkan

UDP (uridin difosfat) dan glikogen sintetase. Ketika asupan glukosa rendah maka akan

terjadi hipoglikemia yang akan direspon oleh sel -pakreas untuk mensekresikan

hormone glucagon dan memulai terjadi proses glikogenolisis (perombakan glikogen).

Pada tahap glikogenolisis glikogen dengan bantuan 1 ion fosfat (P1) dan enzim glikogen

fosfokinase akan terbentuk glukosa 1 fosfat. Glukosa 1 fosfat dengan bantuan enzim

fosfoglukomutase dan Mg2+ akan terbentuk glukosa 6-fosfat yang selanjutnya glukosa 6-

fosfat ditambah H2O dengan bantuan enzim glukosa 6-fosfatase akan membetuk glukosa,

glukosa 6-fosfat juga dapat memasuki jalur glikolisis untuk menghasilkan arado hingga

tercapai kadar gula darah yang stabil (Murray, et all, 2009 : 168-169).

Dari berbagai imformasi dan referensi yang kami kumpulkan dapat disimpulkan

bahwa aktivitas glukosa 6-fosfatase dan glukokinase sangat berperan penting dalam

menjaga kestabilan glukosa darah.

Aktivitas glukokinase dapat menkonversi glukosa yang beredar dalam plasma

menjadi glikogen pada hati, sedangkan aktivitas glukosa 6-fosfatase mengkatalisis

penguraian glikogen hati menjadi glukosa yang selanjutnya akan diedarkan pada plasma

darah, jadi meningkatnya aktivitas enzim glukosa 6-fosfatase dan terhambatnya

glukokinase memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap kasus hiperglikemia.

Genistein dan daidzein berperan sebagai antihiperglikemik melalui mekanisme

aktivasi glukokinase (GK), penghambatan glukosa-6-fosfatase (G6pase), pada keadaan

setelah makan, kadar glukosa darah yang meningkat akan ditangkap oleh sel beta

14
melalui glucose transporter 2 (GLUT2) dan dibawa ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa

akan mengalami fosforilase menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dengan bantuan enzim

penting, yaitu glukokinase. Glukosa 6 fosfat kemudian akan mengalami glikolisis dan

akhirnya akan menjadi asam piruvat. Dalam proses glikolisis ini akan dihasilkan 6-8

ATP. Penambahan ATP akan meningkatkan rasio ATP/ADP dan ini akan menutup

terowongan kalium. Dengan demikian kalium akan tertumpuk dalam sel dan terjadilah

depolarisasi aradox sel, sehingga membuka terowongan kalsium dan kalsium akan

masuk ke dalam sel. Dengan meningkatnya kalsium intrasel, akan terjadi translokasi

granul insulin ke aradox dan insulin akan dilepaskan ke dalam darah. Mengingat

GLUT2 mempunyai sifat mengangkut glukosa ke dalam sel tanpa batas, agaknya enzim

glukokinase bekerja sebagai pembatas agar proses fosforilasi berjalan seimbang

sesuai kebutuhan, dengan demikian peristiwa depolarisasi dapat diatur dan pelepasan

insulin dari sel beta ke dalam darah disesuaikan dengan kebutuhan. Oleh karena itu

enzim glukokinase disebut sebagai glucose sensor karena bertindak sebagai sensor

terhadap glukosa (Merentek, E., 2006).

Pada penelitian yang dilakukan pada tikus-tikus NOD (Non-obese diabetetic). Di

hati, genistein dan daidzein menghasilkan glukosa-6-fosfat (G6Pase) yang rendah

dibandingkan dengan kelompok aradox. Hasil yang didapatkan membuktikan bahwa

genistein dan daidzein mempunyai peranan penting pada regulasi homeostatis glukosa

pada tikus yang mengidap diabetes tipe 1 dari menurunnya aktivitas G6Pase (Choi. Et

all, 2007).

15
Genistein dan daidzein merupakan isoflavon yang terkandung pada tempe

berperan sebagai antihiperglikemik melalui mekanisme aktivasi glukokinase (GK) dan

penghambatan glukosa-6-fosfatase (G6pase).

Pada kasus hiperglikemia terhambatnya glukosa 6-fosfatase yang berarti

terhambatnya penguraian glikogen pada hati menjadi glukosa dapat mengurangi beban

hiperglikemia. Serta dengan aktivasi glukokinase yakni enzim yang mampu mensintetis

glikogen dari glukosa dapat segera menstabilkan glukosa plasma. Dengan demikian

tingginya kadar glukosa plasma dapat segera distabilkan dengan aktivasi glukokinase

yang memicu terjadinya sintesis glikogen (glikogenesis) dan penghambatan glukosa-6-

fosfatase (G6pase) yakni penguraian glikogen (glikogenolisis) oleh genestein dan

daidzein yang terkandung pada tempe (Rimbawan, 2004).

Aktivasi PPAR (Peroxisome proliferator-activated receptor gamma)

Peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) adalah reseptor inti

yang berperan pada aradox metabolism (Picard F dan Auwerx J).

Isoflavon juga diduga dapat menstimuli daya tahan sel beta aradox dan

menurunkan gula darah dengan cara mengaktifkan reseptor PPAR (peroxisome-

proliferator activated receptor), suatu reseptor inti yang berpartisipasi dalam pengaturan

gula darah dan kerja insulin (Dian,dkk 2010).

Penelitian pada PPAR gamma berorientasi terhadap perannya pada sensitifitas

insulin, yang mana terinspirasi dari penemuan agen antidiabetik, thiazolisinediones,

pada PPAR. Stimulasi PPAR meningkatkan toleransi glukosa dan sensitivitas insulin

pada diabetes tipe 2 serta contoh hewan yang mengalami resistensi insulin Ketika aktif,

16
PPAR heterodimerizes dengan reseptor retinoid X, mendapatkan spesifik kofaktor, dan

mengikat elemen DNA, kemudian menstimulasi transkripsi pada target gen. Karena

PPAR konsentrasinya tinggi pada jaringan adipose aradox a PPAR berperan besar

pada diferensiasi adipose, Hal ini berarti efek PPAR pada jaringan adipose penting

sekali untuk menjelaskan perannya pada sensitifitas insulin. Walaupun aradox manjur

pada aksi kepekaan insulin. Data dari penelitian aradox pada manusia dan dari PPAR

heterozigot menyerang tikus-tikus termasuk bahwa reduksi pada aktivitas PPAR dapat

secara aradox meningkatkan sensitifitas insulin. Hal ini memunculkan saran bahwa

modulasi pada aktivitas PPARgamma dari sebagian lawan atau senyawa yang

memberikan efek kofaktor rekrutmen dapat digunakan untuk perlakuan pada resistensi

insulin (Picard F dan Auwerx J).

Isoflavon genistein dan daidzein juga ditunjukkan mengikat PPAR sama dengan

PPAR and , penelitian secara in vitro telah membuktikan bahwa isoflavon

meningkatkan ekspresi pada PPAR (Janice, et all.2008).

Berdasarkan studi literature yang kami lakukan ditemukan bahwa isoflavon

genestein dan daedzein yang terkandung dalam tempe mampu mengaktivasi PPAR

sehingga dengan teraktivasinya PPAR maka akan meningkatkan sensivitas insulin dan

menurunkan resistensi insulin, sehingga glukosa darah akan dimasukkan ke dalam sel

hati, otot, maupun adipose dengan bantuan isulin tanpa hambatan, dengan demikian

akan menurunkan hiperglikemia. Salah satu penyebab terjadinya hiperglikemia adalah

resistensi insulin yakni ketidakmampuan sel merespon glukosa yang dihantarkan oleh

insulin untuk dimasukkan ke dalam sel.

17
Aktivitas Antioksidan Asam Akorbat pada Semangka

Tindakan asam askorbat pada semangka sebagai agen reduksi di larutan encer

seperti darah dan dalam sel. Bagian kecil berbeda, askorbat adalah antioksidan lawan

dari oksidasi. Agen reduksi atau antioksidan seperti askorbat boleh menghalangi

oksidasi dengan menyumbangkan electron dan ion hydrogen. Potensial reduksi pada

askorbat seperti membaca penyumbangan electron/ ion hydrogen untuk regenerasi

vitamin E yang baik untuk radikal bebas dan spesies oksigen reaktif.

Sebagai antioksidan, askorbat (ditunjukkan pada AH2) bisa bereaksi di larutan

encer (darah atau intrasel) dengan variasi spesies oksigen reakif memberikan electron

pada ion hidrogen kepada radikal. Radikal bebas ada dan mengandnung satu atau lebih

electron tidak berpasangan di luar orbital mengelilingi nucleus pada atom. Ingat pada

biokimia menjelaskan electron sering menemukan bagian di orbital. Radikal bebas dan

spesies oksigen reaktif lainnya dibentuk selama metabolism sel normal; proses ini

didiskusikan pada bab 10 terakhir.

Contoh beberapa spesies oksigen reaktif pada Vitamin C pada semangka

termasuk :

Radikal hidroksil (OH-), oksigen yang sangat reaktif pusat radikal

Radikal hidroperoksil (HO2-), sebagai pusat oksigen radikal

Radikal superoksida (O2-), sebagai pusat oksigen radikal

18
Radikal alkoksil (RO-) sebagai pusat oksigen radikal

Radikal peroksil (RO2-) sebagai pusat oksigen radikal

Hidrogen peroksida, H2O2, bukan radikal karena tidak mempunyai electron yang

berpasangan pada orbital, contoh spesies oksigen reaktif , seperti asam

hypochlorus (1O2) dimakan oleh Vitamin C pada semangka.

Sekali terbentuk, radikal bebas dan spesies oksigen reaktif menyerang asam

nukleat di DNA, asam lemak polyunsaturated di fosfolipid, dan protein di sel. Asam

askorbat pada semangka telah ditunjukkan untuk berinteraksi dengan oksidan di fase

pengenceran sebelum mulai kerusakan khususnya pada sel lemak. Selebihnya, asam

askorbat pada semangka memimpin pada antioksidan vitamin larut air yang lain seperti

bilirubin, asam urat, dan protein thiol.

Beberapa contoh reaksi meliputi askorbat sebagai antioksidan termasuk:

Askorbat + OH- radikal semidehydroaskorbat + H2O

Askorbat + O2- dehydroaskorbat + H2O2

Askorbat + H2O2 dehydroaskorbat + 2H2O

Peranan Vitamin C pada semangka dan antioksidan lain sebagai agen pertahanan

oksidatif kerusakan untuk sel didiskusikan pada perspektif terakhir bab 10.

Walaupun askorbat adalah agen reduksi terkuat dan mungkin lebih suka reduktan

pada reaksi oksidasi reduksi, aksi mungkin nonspesifik. Fungsi askorbat pada sel

mungkin seimbang atau kumpulan potensial redoks. Pada selular lain substansi vitamin

larut air sebagai glutathione. Sebagai tambahan, Vitamin C pada semangka bisa transfer

electron untuk radikal tokoferol pada membrane.

19
Sebagai antioksidan, askorbat menyediakan electron dan menjadi oksidasi pada

prosesnya. Regenerasi askorbat dari radikal semidehydroaskorbat bisa bereaksi: 2

radikal semidehydroaskorbat askorbat + dehidroaskorbat. Sebagai gantinya, reduktasi

ditemukan pada kebanyakan jaringan untuk mereduksi radikal semidehydroaskorbat

untuk askorbat. Glutathione di bagian reduksi ( GSH) dan niasin sebagai nikotinamida

adenine dinukleotida atau nikotinamida adenine dinukleotida fosfat (NADPH) fungsinya

pada kapasitas ini ditunjukkan disini:

2 radikal semidehydroaskorbat + 2GSH 2 askorbat + GSSG

Dehidroaskorbat + 2GSH askorbat + GSSG

2 radikal semidehydroaskorbat + NADH + H+ 2 askorbat + NAD+

Pro-oksidant

Vitamin C pada semangka juga bisa sebagai pro-oksidant. Vitamin C pada

semangka dapat mereduksi transisi logam, seperti ion cupric (Cu2+) menjadi cuprous

(Cu1+), dan ion ferric (Fe 3+


) menjadi ferrous (Fe2+) sedangkan Vitamin C pada

semangka sendiri mengoksidasi untuk semidehydroascorbat, yang ditunjukkan disini:

Askorbat (AH2) + Fe3+ atau Cu 2+


radikal semidehydroaskorbat (AH-) + Fe2+

atau Cu1+

Produk Fe2+ dan Cu1+ menyebabkan reaksi dapat diproses untuk menyebabkan sel rusak

sehingga generasi pada spesies oksigen reaktif dan radikal bebas. Contoh:

Fe2+ atau Cu1+ + H2O2 Fe3+ atau Cu2+ + OH2 + OH

Fe2+ atau Cu1+ + O2 Fe3+ atau Cu2+ + O2-

20
21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komponen yang terdapat dalam pangan fungsional, yang berdasarkan

kajian ilmiah terbukti tidak membahayakan kesehatan dan dapat memberikan

manfaat kesehatan dan memberikan manfaat kesehatan dari zat gizi yang

dikandungnya

Pangan fungsional memiliki tiga fungsi yaitu:

- Fungsi primer, artinya makanan tersebut

dapat memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan

mineral);

- Fungsi sekunder artinya makanan tersebut

dapat diterima oleh konsumen secara sensoris

- Fungsi tersier artinya makanan tersebut

memiliki fungsi untuk menjaga kesehatan, mengurangi terjadinya suatu penyakit

dan menjaga metabolisme tubuh.

3.2 Saran

Hendaknya masyarakat meningkatkan konsumsi makanan yang baik dan sehat

serta memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan

darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah, serta meningkatkan penyerapan kalsium.

22
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Wwwkompas.com.

Diakses tanggal 15 Januari 2014.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan

fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan

Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Goldberg, I. 1994. Functional Foods, Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals.

Chapman & Hall, London.

Groff, James L dan Sareen S. Gropper. 2000. Advanced Nutrition and Human

Metabolism: Third Edition. Amerika: Wadsworth Thomson Learning. 53(4):

5053.

Pilar Durruty A., Manuel Garca de los Ros A. Glucotoxicidad y lipotoxicidad:

factores en la patognesis evolucin de la diabetes tipo 2: Glucose and lipid

toxicity in the pathogenesis and evolution of type 2 diabetes. Revista mdica de

Chile versin impresa ISSN 0034-9887 Rev. md. Chile v.

129 n.6 Santiago jun. 2001. www.scielo.com. Dengan modifikasi oleh penulis

dari berbagai sumber.

Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi

Pertanian, Jakarta. hlm. 146.

Witwer, R.S. 1999. Marketing bioactive ingredients in food products. Food Technol.

23
24

Anda mungkin juga menyukai