Anda di halaman 1dari 24

2.

1 Anatomi dan Fisiologi Muskuloskeletal

Tulang manusia saling behubungan satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk
untuk memperoleh fungsi sistem muskuloskeletal yang optimal. aktivitas gerak tubuh
manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal dengan unit unit
neuromuskular yang menggerakkannya. Elemen-elemen tersebut juga berinteraksi untuk
mendistribusikan stres mekanik ke jaringan sekitar sendi. otot, tendon, ligamen, rawan
sendi dan tulang saling bekerjas ama dibawah kendali system saraf agar fungsi tersebut
dapat berlangsung dengan sempurna. 1

2.11 Struktur Sendi


Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-
tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain. Tempat tertemu dua atau tiga unsur rangka, baik tulang atau tulang rawan, dikatakan
sebagai sendi atau artikulasi.Sistim muskuloskeletal pada manusia terdiri dari tulang, otot
dan persendian dibantu oleh tendon, lgamen dan tulang rawan. Sistem ini memungkinkan
anda untuk duduk, berdiri, berjalan atau melakukan kegiatan lainnya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain sebagai penunjang dan pembentuk tubuh, tulang, juga berfungsi
sebagai pelindung organ dalam.2,3

Sendi berperan dalam mempertahankan kelenturan kerangka tubuh. Tanpa


persendian,tidak mungkin bisa melakukan berbagai gerakan.Sedang yang berfungsi
menarik tulang pada saat bergerak adalah otot, yang merupakan jaringan elastik yang
kuat. Sendi mungkin temporer atau permanen. Sendi temporer terdapat selama masa
pertumbuhan misalnya epifisis tulang panjang menyatu dengan bagian batang tulang
melalui tulang rawan hialin dari diskus epifisis. Sendi demikian menghilang jika
2,3
penumbuhan terhenti dan epifisis menyatu dengan bagian batang.

Kebanyakan sendi bersifat permanen, dan dapat digolongkan berdasarkan ciri


susunannya menjadi 3 golongan utama yaitu fibrosa, kartilaginosa dan sinovial. Kedua
jenis pertama seringkali disebut sinartrosis (sin, bersama ; arthron, sendi) sendi yang
tidak memungkinkan atau memungkinkan sedikit gerak. Sendi sinovial, yang
memungkinkan gerak bebas, disebut sebagai diartrosis (di, terpisah) 2,3,4,5

Macam- macam tipe persendian


Ada 3 jenis persendian yang dibedakan berdasarkan jangkauan gerakan yamg dimiliki:

1. sendi fibrosa
persendian yang tidak dapat digerakkan, dimana letak tulang-tulangnya sangat
berdekatan dan hanya dipisahkan oleh selapis jaringan ikat fibrosa, contohnya
sutura diantara tulang-tulang tengkorak. Sutura hanya terdapat pada tengkorak
dan tidak bersifat permanen karena jaringan fibrosa pengikat itu dapat diganti
oleh tulang di kemudian hari. Penyatuan tulang yang dihasilkan itu dikenal
sebagai sinostosis. 2,3,4,5

Sendi pada tulang yang dipersatukan oleh jaringan ikat fibrosa yang jauh lebih
banyak daripada yang terdapat pada sutura disebut sindesmosis. Sendi macam ini,
misalnya sendi radioulnar dan tibiofibular, memungkinkan gerak dalam batas
tertentu. Jenis fibrosa ketiga, yaitu gomfosis, merupakan sendi khusus terdapat
pada gigi dalam maksila dan mandibular; jaringan fibrosa penyatu itu membentuk
membrane periodontal. 4

2. sendi tulang rawan


persendian kartilaginosa, yaitu persendian yang gerakannya terbatas, dimana
tulang-tulangnya dibuhungkan oleh tulang rawan hialin, contohnya tulang iga.
Sendi ini, sering dikatakan sebagai sendi kartilaginosa sekunder untuk
membedakannya dari sendi primer. Paling jelas ditunjukkan oleh sendi diantara
badan-badan vertebra yang berdekatan. Permukaan tulang yang berhadapan
dilapisi lembar-lembartulang rawan hialin, yang secara erat dipersatukan oleh
lempeng fibrokartilahp. Simfisis, seperti sendi pubis dan manubriosternal,
merupakan contoh sendi kartilaginosa sekunder. Sendi demikian berbeda dari
diskus intervertebralis karena dibagian pusatnya terdapat rongga kecil. Tetapi
rongga sendi ini tidak memiliki ciri khusus suatu sendi synovial. 3,4

3. sendi synovial

Persendian synovial adalah persendian yang gerakannya bebas, merupakan bagian


terbesar dari persendian pada tubuh orang dewasa, contohnya sendi bahu dan
panggul, sikut dan lutut, sendi pada tulang-tulang jari tangan dan kaki, pergelangan
tangan dan kaki. Pada sendi synovial, tulang-tulang ditahan menjadi satu oleh suatu
simpai sendi dengan permukaan yang berhadapan, dilaipisi tulang rawan sendi,
dipisahkan oleh celah sempit yang menggandung cairan synovial.

Tulang rawan sendi dibentuk oleh tulang rawan jenis hialin, walaupun matriksnya
mengandung banyak serat kolagen. Pada beberapa tempat, seperti fosa glenoid dari
sendi bahu dan asetabuum sendi panggul, tulang rawannya bersifat fibrosa. Lapis
terdalam tulang rawan sendi mengapur dan melekat sangat erat pada tulang di
bawahnya. Tulang rawan sendi tidak memiliki serat saraf atau pembuluh darah dan
tidak dibungkus oleh perikondrium. 3,4

Simpai sendi menyatukan tulang-tulang. Lapisan luar simpai adalah jaringan ikat
padat kolagen yang menyatu dengan periosteum yang membungkus tulang dan pada
beberapa tempat menebal membentuk ligamen-ligamen sendi. Lapis dalam simpai,
yaitu membran synovial membatasi rongga sendi, kecuali di atas tulang rawan sendi,
dan, bila ada, diskus intra-artikular. 4

Membrane synovial merupakan membrane vascular tipis yang mengandung


kapiler-kapiler lebar dan lebih ke dalam mengandung banyak sel lemak. Satu sampai
tiga lapis sel-sel synovial membentuk lapis permukaan, tidak ada membrane basal di
bawah sel-sel ini sehingga demikian kapiler di bawahnya tidak dipisahkan sawar dari
rongga sendinya. Dapat dibedakan dua jenis sel synovial, yang mungkin merupakan
jenis sel sama dengan tahapan perkembangan fungsional berbeda. Sel jenis A (atau
sel M), yang berjumlah paling banyak, mirip makrofag didalam sitoplasmanya
mengandung banyak mitokondria dan vesikel mikropinositotik, lisosom, dan suatu
aparat golgi yang menonjol. Sel ini berdaya fagositosis aktif. Dalam sel synovial B
(atau sel F), organel-organel ini kurang berkembang tetapi sebaliknya sistem
reticulum endoplasma granular sangat luas dan biasanya mempunyai ciri-ciri truktural
menyerupai fibroblast. Membrane synovial seringkali menjulur ke dalam rongga
sendi berupa lipatan kasar (vili synovia) dan dapat menonjol (evaginasi) keluar
menembus lapis luar simpai, diantara tendo dan otot berdekatan membentuk saku
yang dikenal sebagai bursa. 13

Membran sinovial menghasilkan cairan sinovial. Cairan kental ini diduga terutama
terbentuk sebagai dialisat (hasil dialisis) plasma darah dan limfe. Unsur musin dari
cairan sinovial yang terdiri atas asam hialuronat dan secara kovalen terikat pada
protein, dihasilkan oleh sel-sel sinovial. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas dan
nutritif untuk sel tulang rawan sendi. Rongga sendi kadang-kadang terbagi
sebagian atau seluruhnya oleh diskus intra-artikular yang terdiri atas
fibrokartilago. Pada tepinya, diskus ini berhubungan dengan lapis fibrosa dari
simpai.14

Pada sendi sinovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling berhubungan


dilapisi rawan sendi. Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak
memiliki jaringan saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh
kedalam sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrisit) dan
matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matriks
rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks
rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Proteoglikan
merupakan molekul yang kompleks yang tersusun atas inti protein dan molekul
glikosominoglikan.

Glikosominoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri dari keratin sulfat,


kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat. Bersama-sama dengan asam
hialuronat,proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air dari
sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan
yang baik sesuai dengan fungsi rawan sendi. Rawan sendi merupakan jaringan
yang avaskuler, oleh karena itu makanan didapatkan dengan jalan difusi. Beban
yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi fungsi difusi nutrien untuk rawan
sendi.7
Cairan sendi yang normal bersifat jernih, kekuningan dan viskous, hanya
beberapa ml volumenya dalam sendi yang normal. 2,3

Peran Sinovium Dalam Kerusakan Sendi


Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara
fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta
mengeluarkan sisametabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-
friction lining. Secara normal, sinovium diharapkan mampu memelihara,
mendukung dan mengganti substansiyang diperlukan dalam kerja sendi sebagai
suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Perubahan- perubahan
yang terjadi pada sinovium tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap sendi.
Sebagian besar perubahan tersebut disebabkan oleh peningkatan dari volume
sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan komposisi dari sel yang
secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit, fibroblast, makrofag, sel
mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi sel- sel tertentu ke
dalam sinovium .Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada berbagai penyakit
memiliki mekanisme yang berbeda. Pada RA ditemukan pada sinovium adanya
hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit B pada bagian
luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi yang meningkat
dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang merupakan peran
utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya kerusakan sendi terletak
pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang (pannus) dengan rawan sendi
dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat kerusakan periartikuler dan erosi tulang
(16). (Bermawan, Penyakit Radang Sendi 2011)
Komponen penunjang sendi yaitu:
1) Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian
dalamnya terdapat rongga.
2) Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung
tulang yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah
dislokasi.
3) Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang
menutupi kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.
4) Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.

Ada berbagai macam tipe persendian:


1) Sinartrosis
Sinartrtosis adalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan. Dapat
dibedakan menjadi dua:
a) Sinartrosis sinfibrosis: sinartrosis yang tulangnya dihubungkan jaringan ikat
fibrosa. Contoh: persendian tulang tengkorak.
b) Sinartrosis sinkondrosis: sinartrosis yang dihubungkan oleh tulang rawan.
Contoh: hubungan antarsegmen pada tulang belakang.
2) Diartrosis
Diartrosis adalah persendian yang memungkinkan terjadinya gerakan. Dapat
dikelempokkan menjadi:
a) Sendi peluru: persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah.
Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat.
b) Sendi pelana: persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi, namun
tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan jari tangan.
c) Sendi putar: persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi).
Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).
d) Sendi luncur: persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu bidang
datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.
e) Sendi engsel: persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh:
sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta.
3) Amfiartosis adalah persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan
sehingga memungkinkan terjadinya sedikit gerakan
a)
Sindesmosis: Tulang dihubungkan oleh jaringan ikat serabut dan ligamen.
Contoh:persendian antara fibula dan tibia.
b)
Simfisis: Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk
seperi cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang. 15

2.2 Rheumatoid Arthritis

A. Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak diketahui
pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan simetris. Keduanya
pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan kerusakan sendi, serta
gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA menimbulkan berbagai
manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul pada lapisan subcutaneous, lung
involvement, pericarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan keabnormalan dari
hematologi. ((Braunwald, et.al., 2012))

B. Etiologi dan Predisposisi


1. Faktor Genetik
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis (RA) belum diketahui secara pasti.
Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan
ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan HLA class II histocompatibility
antigen, DRB1-9 beta chain (HLA-DRB1) dengan kejadian RA telah diketahui
dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan RA
seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor
nuclear factor kappa B (NF-B) (Suarjana, 2009). Gen ini berperan penting dalam
resorpsi tulang pada RA. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi RA
karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine
methyltransferase untuk metabolisme methoraxate dan azathioprine ditentukan
oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk
berkembangnya RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang
mengekspresikan HLA-DL1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuain sebesar
80% (Suarjana, 2009).

2. Hormon Seks
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada
observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan.
Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang
mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi
sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus (Suarjana, 2009).
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan
progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon
imun selular (Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
kemungkinan RA atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih
berat (Suarjana, 2009).

3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme diduga
menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA
Agen infeksi Mekanisme patogenik

Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen

Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung


Retrovirus Infeksi sinovial langsung

Enteric Kemiripan molekul


Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial Cell Walls Aktivasi mikrofag

4. Protein heat shock (HSP)


HSP adalah protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon
terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
HSP tertentu manusia dan HSP mikobacterium tuberkulosis mempunyai untain
65% yang homolg. Hipotesisnya dalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP
pad agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan
sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai
kemiripan molekul (molecular mimcry) (Suarjana, 2009).

E. Patofisiologi
Peranan sinovial mediator pada AR Synovial mediator ataupun sitokin
yang dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten mengaktivasi
endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut
mensekresi sitokin. Pada AR tampak gangguan keseimbangan sitokin pro
inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai
sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF-
merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam pathogenesis AR. Kedua
sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas
dan kondrosit.( Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007)
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel
sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4 bersama dengan determinan HLA-DR yang
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4. Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut
akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4, IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD4 akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi
sel tersebut. Proliferasi sel CD4 ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4 yang telah teraktivasi juga
mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain
yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya
dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4. Setelah
berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan
membebaskan komponen-komplemen C5
a.Komponen-komplemen C5
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke
arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial. Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin
dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi
rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya
depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2
(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya
resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa
imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan
dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi
akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor
reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai
pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen
atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi
mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim
proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat. (Kumar, 2007), (velyn,c
pearce,2006)

Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks


imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang
terbentuk dari makrofag dan sel-sel radang lainnya, factor pertumbuhan
(Fibroblast Growth Factor, FGF) yang menyebabkan proliperasi fibroblast serta
faktor angiogenesis (Vascular Endothelial Growth Factor, VEGF) yang
membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi). Secara histopatologis pada
daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus,
umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan. Kumar,
2007), (velyn,c pearce,2006)

F. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis

Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1.Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

2.Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

3.Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.

4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria


tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.

Penegakan Diagnosis
Rheumatoid arthritis umumnya hadir dengan nyeri dan kekakuan pada beberapa sendi,
biasanya pasien mengalami gejala awalnya hanya di satu lokasi atau beberapa lokasi
persendian (Harris, 2005).

Sendi yang paling sering terkena adalah persendian dengan rasio tertinggi sinovium pada
tulang rawan artikular. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan
kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan
kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang
menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak (Harris, 2005).

Atritis Reumatoid biasanya mengalami kekakuan, bengkak, dan eritematosa. Akibat


artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid yang merupakan
penyakit autoimun. Beberapa pasien mengeluh "bengkak" pada persendian tangan,
bengkak tersebut terjadi dikarenakan untuk peningkatan aliran darah ke daerah meradang.
Otot di dekat sendi meradang sering atrofi. Kekakuan pada pagi hari yang berlangsung
setidaknya 45 menit sebelum melakukan aktivitas. Pada umunya persendian dengan
posisi fleksi dapat meminimalkan distensi menyakitkan dari kapsul sendi. Beberapa
penelitian mengatakan, seseorang dapat didiagnosis AR jika onsetnya telah 6 bulan
dengan beberapa kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan gejala-gejala non
spesifik seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun,
demam ringan, kelelahan, dan keluhan sistemik lainnya mungkin timbul, terutama dalam
presentasi akut (Chan, 2004 ; Harris, 2005).

Kurang lebih 70% penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit
, dimana hal ini menunjukan penyakit berjalan progresif. Keterlibatan sendi pergelangan
tangan, metacarpophalangeal (MCP) dan proximal inter phalangeal (PIP) hampir selalu
dijumpai, sementara keterlibatan distal interphalangeal (DIP) lebih jarang dijumpai.
Bentuk awal dari deformitas adalah tenosinovitis yang menyebabkan tendon menjadi
lemah, memanjang, bahkan ruptur. Selain itu, penderita AR dengan keterbatasan
mobilitas memiliki kemungkinan terjadinya penurunan kekuatan otot sebesar 30-70%
dibandingkan orang normal, dengan penurunan endurans mencapai 50% (Widiani, 2011).
1. Anamnesis :
Beberapa pemeriksaan anamnesis yaitu (Daud, 2006):
a. Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan
kronologis.

b. Umur, penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapifrekuensi


penyakit terdapat pada umur tertentu, penyakit rheumatoid atritis banyak
ditemukan pada usia lanjut.

c. Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita oleh wanita
dari pada pria dengan perbandingan 3:1.

d. Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasien dengan


reumatik. Pada pasien RA, nyeri paling sering terjadi pada pagi hari, membengkak
disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam hari.

e. Kaku sendi, merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar


untuk menggerakan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan
cairan yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi.

f. Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak


sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi
struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).

g. Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,


organ, atau sistem tidak dapat bekerja secara adekuat. Handicap
adalah apabila disabilitas menyebakan aktivitas sehari-hari terganggu, termasuk
aktivitas sosial.

h. Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai


maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan
disertai dengan gejala siskemik seperti panas, penuruanan berat badan, kelelahan,
lesu, dan mudah terangsang. Kadang-kadang pasien mengeluhkan hal yang tidak
spesifik seperti merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan
mental.
i. Gangguan tidur dan depresi, ganguan tidur dapat disebabkan oleh
adanya nyerikronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid.

2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:

1) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera
mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi, sementara tungkai yang nyeriakan
lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikut oleh gerakan lengan yang
asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.
2) Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular pada
sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri tersebut senyaman mungkin,
biasanya dalam posisi fleksi.
3) Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.

4) Perubahan kulit, kemerahan disertai dengan kemerahan disertai deskuamasi pada


kulit disekitar sendi menunjukan adanya inflamasi pada sendi.

5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di daerah sendi
tersebut.

6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak, atau tulang.

7) Nyeri raba

8) Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua


arah.

9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang
diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.

11) Ketidakstabilan.

12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada
penggunaan normal seperti bangkit dari kursi atau kekuatan menggenggam.

13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya ditemukan pada
permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum).

14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis atau serpihan
darah.

15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang pergerakan sendi,
adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.

16) AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :


a) Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak pasien dengan
RA yang nilai RF-nya normal, sering lebih dari titik-titik tekanan (misalnya,
olekranon. Lesi kulit dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi
kulit).
b) Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang meningkat pada
pasien RA. Faktor resiko non tradisional tampak memainkan peran penting.
Serangan jantung, disfungsi miokard, dan efusi perikrdial tanpa gejala yang
umum dan gejala perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis
koroner, penyakit katup, dan cacat konduksi kadang-kadang diamati.
c) Paru: RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk termasuk efusi
pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan sindrom), dan obliterans
bronchiolitis-pengorganisasian pneumonia.
d) Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung. Umumnya akibat
pengaruh obat-obatan (misalnya : obat anti-inflamatory peradangan
(amyloidosis)).
e) Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja namun yang paling
sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai perpur gambling, borok
kulit, atau infak digital.
f) Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit anemia kronis,
termasuk anemia normokromik-normositik, trombositiosis, dan eosinofilik,
meskipun yang terakhir ini sering terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien
dengan sindrom Felty.
g) Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti pada saraf median di carpal, lesi
vasculitis, multiple mononeuritis, dan myelopathy leher rahim dapat
menyebabkan konsekuensi serius neurologis.
h) Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada orang dengan RA dan
sering manifestasi awal dari sindrom Sjogren sekunder. Mata mungkin juga
episkleritis uveitis, dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan
scleromalacia.

1. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
artritis reumatoid. Beberapa hasil uji serologis laboratorium menunjukan adanya
kenaikan titer antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG -1 dan IgG -
2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF) ditemukan negatif (<5%) pada
30% penderita AR stadium dini meskipun begitu tidak serta-merta mematahkan
diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria utama. Kenaikan C-
Reactive Protein (CRP) umumnya terjadi sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).

Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan kenaikan laju endap darah
(LED) hingga >30mm/jam. Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk
memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR sering pula ditemukan
penurunan kadar Hb yang bila kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi
menunjukan anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada sumsum
tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/L
dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan
pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis RA (Kasper et al., 2005).

Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada


AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif, dan kadar glukosa rendah (Suarjana,
2009). Analisi cairan sinovial tidak menunjukkan satupun temuan spesifik untuk
artritis reumatois, namun menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi. Cairan
sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan peningkatan
kandungan protein (Kasper et al., 2005).

b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau
erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan
pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian
selanjutnya (Suarjana, 2009). Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih
berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan
sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas
tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel (Price, 2005).

c. Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran yang jelas
dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang
dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu mendeteksi adanya erosi
sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan
struktur sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).

Gambar 1. Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat dan


penyempitan celah sendi interphalanx proksimal
(sumber: American Journal of Roentgenology)
Gambaran patognomonik artritis reumatoid
Patognomonik adalah tanda atau gejala khas yang tipikal tehadap suatu penyakit sehingga
dapat dijadikan tolak ukur dan spesifikasi penyakit tersebut. Patognomonik RA adalah
munculnya nodul-nodul reumatoid yang merupakan massa jaringan lunak yang biasanya
tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik
tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita artritis
reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan
diagnosis (Eisenberg RL, Johnson NM, 2003). Kekakuan selama minimal 1 jam dan
artritis yang simetrk juga menjadi gejala khas dari RA (Suarjana, 2009).

Gambar 2. Nodul reumatoid di zona persendian lutut (sumber: University of


California, Sandiego)

2. Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association), yaitu (Daud, 2006)

a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan
maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3 daerah sendi atau lebih
secara bersamaan yang diobservasi oleh dokter.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau pergelangan tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal faktor rheumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yangmembrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol
yang diperiksa.

g. Perubahan gambaran radiologis, perubahan gambaran


radiologis yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar X tangan posterior atau
pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan sendi.

Diagnosa AR, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria


di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal 6 minggu.

Diagnosa Banding

I. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-orang yang berhubungan
dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk rregimen obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
(Price,2005)

b. Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid arthritis karena
penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa kurang
nyaman biasanya dapat diperingan dengan beristirahat (Price,2005).
c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua kali dalam
sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk mengurangi
nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling baik diatur
dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus, seperti
fisioterapi atau terapis kerja. Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan
fungsi sendi (Price,2005)

d. Alat pembantu dan adaptif


Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat melakukan aktivitas sehari-hari,
seperti tongkat untuk membantu berdiri dan berjalan (Price,2005)

e. Terapi yang lain


Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi
spa dan latihan, suplementasi minyak ikan (cod liver oil) sebagai NSAID-sparing agent
(Suarjana, 2009).

2. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan (Suarjana,
2009).

b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari. Mekanisme kerja : untuk
meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus
disertai pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan pada
stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan
jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
klorokuin, metotreksat salazopirin, leflunomide dan garam emas.

d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak diteliti dan memiliki
efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi (Suarjana, 2009).

e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50 mg/minggu sampai
terdapat bukti remisi (biasanya setelah pemberian 500 mg). pasien yang memberikan
respons, interval dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa
dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisis rutin.
Leucopenia dan trombositopenia atau proteinuria biasanya bersifat reversible jika
pemberian emas dihentikan (Rubenstein, David. et al., 2005).

f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat
3) Ada ruptur tendon

(Suarjana, 2009).
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan kembali dan
memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut,
jari-jari tangan. Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas
yang berat (Rubenstein, David. et al., 2005).

Kriteria Remisi
Mnurut kriteria ACR, AR dikatakan mengalami remisi jika memenuhi 5 atau lebih dari
kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut:
kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit2.
Tidak ada kelelahan.
Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
.Tidak ada pembngkakan jaringan lunak atau sarung tendon
LED <30mm/jam untuk perempuan atau <20 mm/jam untuk laki-laki (dengan
metode westergren)
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel
Vaskular dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
2. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel
Vaskular dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
3. . Leeson C.R., Leesn T.S., Paparo A.A.1996. Buku Ajar Histologi. EGC. pp: 156-7.
4. http://3.bp.blogspot.com/_NiVOb51htJ0/TQl05t9D2HI/AAAAAAAAABI/xwm3J
3LQj5c/s1600/rangka17.gif diakses pada tanggal 2 Januari 2014.
5. http://www.reshealth.org/images/greystone/em_0391.gif diakses pada tanggal 9
januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai