Tulang manusia saling behubungan satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk
untuk memperoleh fungsi sistem muskuloskeletal yang optimal. aktivitas gerak tubuh
manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal dengan unit unit
neuromuskular yang menggerakkannya. Elemen-elemen tersebut juga berinteraksi untuk
mendistribusikan stres mekanik ke jaringan sekitar sendi. otot, tendon, ligamen, rawan
sendi dan tulang saling bekerjas ama dibawah kendali system saraf agar fungsi tersebut
dapat berlangsung dengan sempurna. 1
1. sendi fibrosa
persendian yang tidak dapat digerakkan, dimana letak tulang-tulangnya sangat
berdekatan dan hanya dipisahkan oleh selapis jaringan ikat fibrosa, contohnya
sutura diantara tulang-tulang tengkorak. Sutura hanya terdapat pada tengkorak
dan tidak bersifat permanen karena jaringan fibrosa pengikat itu dapat diganti
oleh tulang di kemudian hari. Penyatuan tulang yang dihasilkan itu dikenal
sebagai sinostosis. 2,3,4,5
Sendi pada tulang yang dipersatukan oleh jaringan ikat fibrosa yang jauh lebih
banyak daripada yang terdapat pada sutura disebut sindesmosis. Sendi macam ini,
misalnya sendi radioulnar dan tibiofibular, memungkinkan gerak dalam batas
tertentu. Jenis fibrosa ketiga, yaitu gomfosis, merupakan sendi khusus terdapat
pada gigi dalam maksila dan mandibular; jaringan fibrosa penyatu itu membentuk
membrane periodontal. 4
3. sendi synovial
Tulang rawan sendi dibentuk oleh tulang rawan jenis hialin, walaupun matriksnya
mengandung banyak serat kolagen. Pada beberapa tempat, seperti fosa glenoid dari
sendi bahu dan asetabuum sendi panggul, tulang rawannya bersifat fibrosa. Lapis
terdalam tulang rawan sendi mengapur dan melekat sangat erat pada tulang di
bawahnya. Tulang rawan sendi tidak memiliki serat saraf atau pembuluh darah dan
tidak dibungkus oleh perikondrium. 3,4
Simpai sendi menyatukan tulang-tulang. Lapisan luar simpai adalah jaringan ikat
padat kolagen yang menyatu dengan periosteum yang membungkus tulang dan pada
beberapa tempat menebal membentuk ligamen-ligamen sendi. Lapis dalam simpai,
yaitu membran synovial membatasi rongga sendi, kecuali di atas tulang rawan sendi,
dan, bila ada, diskus intra-artikular. 4
Membran sinovial menghasilkan cairan sinovial. Cairan kental ini diduga terutama
terbentuk sebagai dialisat (hasil dialisis) plasma darah dan limfe. Unsur musin dari
cairan sinovial yang terdiri atas asam hialuronat dan secara kovalen terikat pada
protein, dihasilkan oleh sel-sel sinovial. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas dan
nutritif untuk sel tulang rawan sendi. Rongga sendi kadang-kadang terbagi
sebagian atau seluruhnya oleh diskus intra-artikular yang terdiri atas
fibrokartilago. Pada tepinya, diskus ini berhubungan dengan lapis fibrosa dari
simpai.14
A. Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak diketahui
pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis perifer dan simetris. Keduanya
pada umumnya merupakan akibat dari inflamasi arthritis dan kerusakan sendi, serta
gangguan fisik. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA menimbulkan berbagai
manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul pada lapisan subcutaneous, lung
involvement, pericarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan keabnormalan dari
hematologi. ((Braunwald, et.al., 2012))
2. Hormon Seks
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada
observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan.
Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang
mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi
sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus (Suarjana, 2009).
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan
progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon
imun selular (Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
kemungkinan RA atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih
berat (Suarjana, 2009).
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme diduga
menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA
Agen infeksi Mekanisme patogenik
E. Patofisiologi
Peranan sinovial mediator pada AR Synovial mediator ataupun sitokin
yang dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten mengaktivasi
endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut
mensekresi sitokin. Pada AR tampak gangguan keseimbangan sitokin pro
inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai
sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF-
merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam pathogenesis AR. Kedua
sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas
dan kondrosit.( Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007)
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel
sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4 bersama dengan determinan HLA-DR yang
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4. Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut
akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4, IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD4 akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi
sel tersebut. Proliferasi sel CD4 ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4 yang telah teraktivasi juga
mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain
yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya
dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4. Setelah
berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan
membebaskan komponen-komplemen C5
a.Komponen-komplemen C5
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke
arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial. Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin
dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi
rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya
depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2
(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya
resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa
imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan
dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi
akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor
reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai
pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen
atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi
mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim
proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat. (Kumar, 2007), (velyn,c
pearce,2006)
1.Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2.Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3.Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
Penegakan Diagnosis
Rheumatoid arthritis umumnya hadir dengan nyeri dan kekakuan pada beberapa sendi,
biasanya pasien mengalami gejala awalnya hanya di satu lokasi atau beberapa lokasi
persendian (Harris, 2005).
Sendi yang paling sering terkena adalah persendian dengan rasio tertinggi sinovium pada
tulang rawan artikular. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan
kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan
kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang
menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak (Harris, 2005).
Kurang lebih 70% penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit
, dimana hal ini menunjukan penyakit berjalan progresif. Keterlibatan sendi pergelangan
tangan, metacarpophalangeal (MCP) dan proximal inter phalangeal (PIP) hampir selalu
dijumpai, sementara keterlibatan distal interphalangeal (DIP) lebih jarang dijumpai.
Bentuk awal dari deformitas adalah tenosinovitis yang menyebabkan tendon menjadi
lemah, memanjang, bahkan ruptur. Selain itu, penderita AR dengan keterbatasan
mobilitas memiliki kemungkinan terjadinya penurunan kekuatan otot sebesar 30-70%
dibandingkan orang normal, dengan penurunan endurans mencapai 50% (Widiani, 2011).
1. Anamnesis :
Beberapa pemeriksaan anamnesis yaitu (Daud, 2006):
a. Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan
kronologis.
c. Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita oleh wanita
dari pada pria dengan perbandingan 3:1.
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:
1) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera
mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi, sementara tungkai yang nyeriakan
lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikut oleh gerakan lengan yang
asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.
2) Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular pada
sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri tersebut senyaman mungkin,
biasanya dalam posisi fleksi.
3) Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.
5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di daerah sendi
tersebut.
6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak, atau tulang.
7) Nyeri raba
9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang
diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
11) Ketidakstabilan.
12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada
penggunaan normal seperti bangkit dari kursi atau kekuatan menggenggam.
13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya ditemukan pada
permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum).
14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis atau serpihan
darah.
15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang pergerakan sendi,
adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
artritis reumatoid. Beberapa hasil uji serologis laboratorium menunjukan adanya
kenaikan titer antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG -1 dan IgG -
2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF) ditemukan negatif (<5%) pada
30% penderita AR stadium dini meskipun begitu tidak serta-merta mematahkan
diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria utama. Kenaikan C-
Reactive Protein (CRP) umumnya terjadi sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan kenaikan laju endap darah
(LED) hingga >30mm/jam. Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk
memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR sering pula ditemukan
penurunan kadar Hb yang bila kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi
menunjukan anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada sumsum
tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/L
dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan
pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis RA (Kasper et al., 2005).
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau
erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan
pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian
selanjutnya (Suarjana, 2009). Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih
berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur rawan
sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas
tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel (Price, 2005).
c. Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran yang jelas
dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang
dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu mendeteksi adanya erosi
sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan
struktur sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).
2. Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association), yaitu (Daud, 2006)
a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan
maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3 daerah sendi atau lebih
secara bersamaan yang diobservasi oleh dokter.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau pergelangan tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal faktor rheumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yangmembrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol
yang diperiksa.
Diagnosa Banding
I. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-orang yang berhubungan
dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk rregimen obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
(Price,2005)
b. Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid arthritis karena
penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa kurang
nyaman biasanya dapat diperingan dengan beristirahat (Price,2005).
c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua kali dalam
sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk mengurangi
nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling baik diatur
dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus, seperti
fisioterapi atau terapis kerja. Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan
fungsi sendi (Price,2005)
2. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan (Suarjana,
2009).
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari. Mekanisme kerja : untuk
meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus
disertai pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan pada
stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan
jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
klorokuin, metotreksat salazopirin, leflunomide dan garam emas.
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak diteliti dan memiliki
efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi (Suarjana, 2009).
e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50 mg/minggu sampai
terdapat bukti remisi (biasanya setelah pemberian 500 mg). pasien yang memberikan
respons, interval dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa
dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisis rutin.
Leucopenia dan trombositopenia atau proteinuria biasanya bersifat reversible jika
pemberian emas dihentikan (Rubenstein, David. et al., 2005).
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat
3) Ada ruptur tendon
(Suarjana, 2009).
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan kembali dan
memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut,
jari-jari tangan. Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas
yang berat (Rubenstein, David. et al., 2005).
Kriteria Remisi
Mnurut kriteria ACR, AR dikatakan mengalami remisi jika memenuhi 5 atau lebih dari
kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut:
kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit2.
Tidak ada kelelahan.
Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
.Tidak ada pembngkakan jaringan lunak atau sarung tendon
LED <30mm/jam untuk perempuan atau <20 mm/jam untuk laki-laki (dengan
metode westergren)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel
Vaskular dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
2. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel
Vaskular dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083
3. . Leeson C.R., Leesn T.S., Paparo A.A.1996. Buku Ajar Histologi. EGC. pp: 156-7.
4. http://3.bp.blogspot.com/_NiVOb51htJ0/TQl05t9D2HI/AAAAAAAAABI/xwm3J
3LQj5c/s1600/rangka17.gif diakses pada tanggal 2 Januari 2014.
5. http://www.reshealth.org/images/greystone/em_0391.gif diakses pada tanggal 9
januari 2014.