Anda di halaman 1dari 4

1.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Daerah Jawa Barat menjadi pusat berdirinya DI/TII mengingat bahwa awal mula terbentuknya Darul
Islam ini bertempat di kota Tasikmalaya. Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji mengumumkan
secara resmi bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri.

Pada saat pasukan Siliwangi kembali dari tugasnya pada perundingan Renville, DI dan TII sedang
melakukan pemberontakan sehingga pada saat itulah terjadi kontak pertama antara DI/TII dan
pasukan Tentara Negara Indonesia (TNI).

Pasukan militer Belanda ikut turun dalam membantu DI/TII melawan TNI sehingga upaya
pemertahanan oleh TNI pada saat itu cukup sengit.

Selama memberontak di daerah Jawa Barat, DI/TII melakukan berbagai macam aksi terrorisme
seperti mengancam para penduduk dan merampas harta benda mereka demi kebutuhan sehari-
hari.

Usaha dan upaya dalam menghancurkan dan meruntuhkan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu
yang cukup lama dikarenakan beberapa faktor seperti :

Tempat tinggal DI/TII yang berada di pegunungan sangat menguntungkan mereka dalam
melancarkan berbagai macam aksi pemberontakan dan terrorismenya secara gerilya.

Pasukan Sekarmadji dapat bergerak secara leluasa di antara para penduduk karena tidak ada
yang berani melawannya pada saat itu.

DI/TII memiliki dukuang kuat dari negara Belanda dan beberapa diantara mereka adalah
para pemilik perkebunan di daerah tersebut dan orang-orang pendukung negara Pasundan.

Pada saat itu, suasana politik sedang kacau dan tidak konsisten sehingga menyebabkan
beberapa partai politik yang menghalangi pemulihan keamanan bagi bangsa Indonesia.

Setelah menyusun strategi yang sangat terstruktur, pemerintah Indonesia memerintah pasukan TNI
untuk menumpas pasukan DI/TII di Jawa Barat pada tahun 1960. Pasukan Siliwangi pun turun dan
dibantu warga untuk melaksanakan operasi "Bratayudha" dan "Pagar Betis". Pada tanggal 4 Juni
1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengikutnya berhasil ditangkap dalam operasi
Bratayudha oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat.

Setelah berhasil ditangkap oleh TNI, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dibawa ke Mahkamah
Angkatan Darat dan dijatuhi hukuman mati. Setelah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dihukum
mati akhirnya perkembangan DI/TII di Jawa Barat sudah berhenti dan dapat dimusnahkan.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, DI/TII berhasil berkembang dan masuk ke daerah Jawa Tengah. DI/TII masuk ke
Jawa Tengah setelah berdirinya sebuah majelis Islam yang dipimpin oleh Amir Fatah. Amir Fatah
adalah seorang komandan laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946

dan menggabungkan diri dengan TNI batalion 52. Amir bertempat tinggal di Brebes, Tegal, Jawa
Tengah. Amir mempunyai cara yang licik untuk mendapatkan banyak pengikut. Dia menyatukan dan
membawa berbagai macam laskar untuk masuk dan bergabung bersama TNI. Setelah berhasil
mendapatkan pengikut yang cukup banyak, ia memproklamasikan dan mendirikan DI pada tanggal
23 Agustus 1949 di Pasanggrahan, Brebes, Tegal. Setelah memproklamasikan DI, dia pun
mengumumkan bekerja sama sekaligus bergabung dengan organisasi DI/TII di Jawa Barat yang
dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Sama halnya dengan apa yang terjadi di Brebes, Tegal. Di Kebumen, Jawa Tengah juga ada
pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok Angkatan Umat Islam (AUI) dimana pemimpinnya
merupakan seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Mereka juga memiliki tujuan
untuk membuat sebuah NII dan bekerja sama dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo.

Sebenarnya, TNI sudah berhasil mendesak kelompok ini tetapi, mereka berhasil bangkit setelah TNI
batalion 423 dan batalion 426 melakukan pemberontakan di kota Magelang dan Kudus. Mereka
mendapat bantuan dari kedua batalion yang kuat ini.

Dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut, pemerintah Jawa Tengah membuat pasukan
khusus baru yang diberi nama dengan Banteng Raiders. Komando dari Banteng Raiders Gerakan
Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, Banteng Raiders berhasil menumpas DI/TII di Jawa Tengah
melalui pelaksanaan operasi Guntur dimana dalam operasi tersebut, pusat kekuatan DI/TII yang
berlokasi di perbatasan Pekalongan-Banyumas dihancurkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bukan Oktober tahun 1950 ada sebuah organisasi yang bernama Kesatuan Rakyat yang
Tertindas atau disingkat menjadi KRyT. Organisasi ini melakukan pemberontakan dan dipimpin oleh
seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar.

Ibnu Hajar dengan KRyT nya menyatakan dan mengumumkan bahwa mereka adalah bagian dari
DI/TII di Jawa Barat dan tindakan mereka pada saat itu adalah menyerang pos-pos TNI yang ada di
wilayah tersebut.
Pemerintah sempat memberikan kesempatan kepada Ibnu Hajar untuk menyerah secara baik-baik.
Akhirnya, Ibnu Hajar pun menyerahkan diri kepada TNI. Tetapi, tindakan itu hanyalah sebuah topeng
belaka. Ibnu Hajar mempunyai tujuan sendiri mengapa dia rela menyerahkan diri tanpa melawan,
yaitu dia berusaha untuk mencuri dan merampas berbgai macam peralatan TNI. Setelah
mendapatkan rampasan yang cukup, ia berhasil melarikan diri dan kembali bergabung dengan DI/TII

Melihat situasi sepert itu, pemerintah membuat sebuah Gerakan Operasi Militer (GOM) guna
menumpas dan menghancurkan pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Pada tahun 1959
GOM berhasil menangkap dan meringkus Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Ia pun diberi hukuman
mati pada tanggal 22 Maret 1959.

4. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Terjadi sebuah konflik besar antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam organisasi PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Tengku Daud Beuereuh dengan kepala adat
(Uleebalang) sesaat setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan dan diumumkan di
Aceh (Serambi Mekah).

Konflik tersebut menyebabkan terjadinya sebuah perang saudara di Aceh antara kedua kelompok
tersebut yang terjadi dari mulai bulan Desember 1945 hingga bulan Februari 1946. Melihat adanya
sebuah perang saudara, pemerintah akhirnya menemukan solusi dengan cara menjadikan status
Aceh sebagai Daerah Istimewa tingkat provinsi dan Daud Beueruh sebagai pemimpin atau
gubernurnya.

Pada bulan Agustus 1950 NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia berhasil dibentuk. Akibat
dari terbentuknya NKRI adalah pemerintah Republik Indonesia harus melakukan sebuah sistem
penyederhanaan adminstrasi pemerintahan yang menyebabkan beberapa status daerah di Indonesia
mengalami penurunan. Salah satu dari semua daerah yang mengalami penurunan status adalah
Aceh. Dari semula statusnya sebagai Daerah Istimewa tingkat provinsi, menjadi daerah keresidenan
yang dibawah kuasa Sumatera Utara.

Kejadian penurunan status Aceh ini membuat Daur Beureuh sangat kecewa dan membuat sebuah
keputusan bulat pada tanggal 20 September 1953 dengan bergabung untuk membuat NII dan
bersekutu dengan DI/TII Jawa Barat dibawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Setelah
bergabungnya Daud Beureuh dengan NII, maka mereka melakukan berbagai macam operasi yang
bertujuan untuk menggulingkan kota-kota di Aceh dan menyebarkan propaganda yang mengotori
citra pemerintah Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia langsung merespon tindakan Daud Beureuh dan kelompoknya
tersebut dengan menggunakan senjata dan operasi militer pasukan TNI. Setelah pemerintah
melakukan berbagai macam operasi untuk menghancurkan pemberontakan Daud Beureuh dan NII
dibawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, maka DI/TII yang ada di Aceh mulai hancur
dan hilang dari kota-kota yang ditempatinya semula. Sambil terus berupaya untuk menghancurkan
upaya pembentukan NII, TNI pun memberi penjelasan dan pencerahan kepada penduduk setempat
agar kembali menaruh kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia.

Atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin pada tanggal 17 sampai 28
Desember tahun 1962 mengadakan sebuah musyawarah kerukunan rakyat Aceh. Musyawarah
tersebut juga mendapatkan berbagai macam dukungan dari para tokoh masyrakat Aceh dan setelah
musyawarah tersebut berhasil diselesaikan, maka keamananan di Aceh sudah kembali pulih dan
tertib.

5. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Aceh, DI/TII juga berhasil
berkembang pesat di daerah Sulawesi Selatan. Kahar Muzakar beserta organisasinya adalah pelopor
utama pemberontakan di Sulawesi Selatan.

Pasukan Kahar Muzakar berhasil memanfaatkan keadaan medan yang sulit serta rasa kesukuan atau
sukuisme yang berkembang dikalangan penduduk Sulawesi Selatan untuk menghalau pemerintah
dalam upaya penumpasan DI/TII.

Karena keadaan medan yang dikuasai oleh pasukan Kahar Muzakar dan berbagai macam faktor
lainnya, pemerintah membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menumpas pemberontakan ini,
yaitu sekitar 14 tahun dari tahun 1951 hingga tahun 1965.

Barulah setelah pemerintah melancarkan operasi dibantu dengan militer TNI, pasukan DI/TII beserta
Kahar Muzakara berhasil diruntuhkan. Kahar Muzakar berhasil ditembak mati oleh TNI pada tanggal
3 Februari 1965

Anda mungkin juga menyukai